Meluruskan Apa yang Seharusnya
Kebanyakan orang mungkin beranggapan kalau hubungan rumah tangga yang tidak memiliki konflik di dalamnya bagaikan sayur tanpa garam. Sebelumnya Ratu juga berpikir demikian, dengan bertengkar mungkin dapat mendewasakan sebuah hubungan, namun sepertinya itu tidak sepenuhnya benar. Lagipula apa gunanya jika terus menerus bertengkar karena hal yang itu-itu saja? Alih-alih mendewasakan hubungannya, justru membuatnya terbiasa akan konflik-konflik sepele yang memancing pertikaian besar.
Disinilah Ratu sekarang, duduk manis di hadapan Jeffrey, dan masing-masing menggenggam secangkir teh hangat di tangannya.
Setelah memilih mendiami Jeffrey selama kurang lebih sepekan, Ratu sadar bahwa metode silent treatment memang tidak pernah cocok dengan laki-laki di hadapannya itu. Ratu sengaja meminta Jeffrey pulang lebih cepat hari ini, sebelum keadaan semakin kacau, pikirnya.
Jeffrey hanya diam seribu bahasa sembari menatap cangkir tehnya. Bingung harus memulai pembicaraan mereka darimana, pasalnya ia sadar bahwa Ratu sengaja membisu di hadapannya sejak beberapa hari yang lalu. Jeffrey takut kalau-kalau ia salah bicara kemudian kembali menyulut kekesalan Ratu.
“Kalau gak aku ancem pakai minggat, kamu pasti tetep di kantor, kan, Mas?”
Hening.
Ratu menyeruput tehnya dengan sorot mata yang masih fokus mengintimidasi Jeffrey.
“Di mata kamu sekarang, aku jelek ya? Gak enak ya buat dipandang, Mas?” kata Ratu, kemudian meletakkan cangkir yang sebelumnya ia genggam ke atas meja.
“Kamu sekarang jarang banget ada di rumah. Hari Sabtu aja, tetep ke kantor. Kerja, kerja, kerja. Itu kan alesan kamu? Mana yang katanya bakal nemenin setiap aku kunjungan ke dokter kandungan? Boro-boro. Kemarin pas aku kontraksi aja, yang nganterin ke dokter malah Pak Muhtad. Kamu tuh kenapa sih, Mas?—Berubah. Udah biasa aja ya liat aku? Aku tuh gendut gini juga karna anak kamu! Kalau tau gini, mending punya anaknya nanti-nanti aja, Mas. Nunggu kamunya bangkot, biar gak bisa kabur-kaburan.” Ratu menghela napas sejenak. “Lo tau gak? Gue nyes—.”
Kalimat Ratu lantas menggantung di udara tatkala Jeffrey tiba-tiba saja membekap mulutnya. Kini justru Jeffrey yang gaduh akibat ujung jari kakinya beradu dengan meja saat berusaha meraih mulut Ratu.
“ANJING SIAPA SIH YANG NARO MEJA DI SINI?!” serunya.
Kemudian dengan cepat Ratu menepis tangan Jeffrey. “Jangan ngalihin topik, deh!” kata Ratu dengan nada sewot.
Jeffrey mendengkus. *Siapa juga yang mau ngalihin topik? Batinnya. Memang semua wanita kalau sedang dalam keadaan marah, pasti sama. Contohnya seperti Ratu dan sang mama. Namun Jeffrey sadar, penyebab kemarahan mereka pun sama, yaitu dirinya.
“Aku gak ada niat ngalahin topik, kok. Tadi kamu mau bilang apa? Nyesel, kan? Gak boleh bilang kaya gitu. Masa nyesel dikasih anak sama Tuhan? Masa kamu ... nyesel hamil anak aku?” kata Jeffrey lirih.
Dengan tampang yang sengaja dimelas-melaskan, Jeffrey mencoba meraih tangan Ratu, namun nahas Ratu justru kembali menepis tangannya dengan kasar membuat Jeffrey mendelik seketika.
“Gak perlu disedih-sedihin gitu muka lo! Udah gak mempan! Mbak Kila boong....”
Mendengar kalimat itu, sontak kening Jeffrey mengernyit. Bagus, sekarang apa hubungannya sama Mbak Kila? Gak sekalian aja Jemian, Bapak RT beserta istrinya, dan satu kecamatan dibawa-bawa?
“Kata Mbak Kila gak bakal ada yang berubah setelah nikah. Tapi nyatanya apa? Ini aja lo udah berubah gak kaya dulu lagi. Anak lo belum lahir, elo-nya udah suka ninggalin rumah. Gimana nanti kalau udah lahir? Lo juga gak pernah ngajak gue ngobrol lagi. Dulu aja, pas awal nikah maunya deeptalk terus tiap malem. Sekarang apa? Lo kerja gak inget waktu! Gue udah tidur, lo baru pulang! Terus, lo berangkat waktu gue masih tidur! Lo gak seneng liat muka gue, apa gimana?! Bilang aja, deh!—Huh hahh huh hahhh ... perut gue....” hardik Ratu, dan diakhiri dengan nafas yang tersengal-sengal akibat perutnya kembali mengalami kontraksi tiba-tiba.
Melihat gerak-gerik Ratu yang aneh, dengan sigap Jeffrey menghampiri Ratu, kemudian membopong tubuh istrinya itu, berniat menuju ranjang mereka tanpa mengatakan apapun.
“Apaan sih? Jangan pegang-pegang!” pekik Ratu tepat di sebelah telinga Jeffrey.
“Ini lagi dibantuin! Kaya bisa jalan sendiri aja. Yaudah tuh, sana jalan sendiri!” sahut Jeffrey tak kalah sengit.
Tangan yang sebelumnya menopang tubuh Ratu, ia lepaskan begitu saja. Sementara Ratu, alih-alih melepaskan pelukannya pada tubuh Jeffrey, ia justru semakin mencengkram erat pakaian suaminya itu. Ratu menggigit bibirnya, malu. Nyatanya ia memang kesusahan untuk berjalan tanpa bantuan pada saat kontraksi seperti ini.
“Gak bisa, kan?”
Jeffrey kembali menopang tubuh Ratu. Menuntun istrinya itu untuk berjalan dengan hati-hati, kemudian membaringkan tubuh Ratu di atas ranjang, lalu ikut mendaratkan bokongnya tepat di samping tubuh Ratu.
Ditatapnya manik mata Ratu, lalu tangan Jeffrey terulur untuk membetulkan posisi bantal yang Ratu gunakan. “Kalau lo percaya sama omongan Mbak Kila soal gak akan ada yang berubah setelah pernikahan, berarti lo naif, Ra.”
Ratu bergeming. Hanya fokus membalas tatapan mata Jeffrey yang hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya itu.
“Pasti bakal banyak yang berubah, Ra. Contohnya kita akhir-akhir ini. Sebentar lagi lo jadi ibu rumah tangga, dan gue sebagai kepala keluarga punya kewajiban cari duit buat lo sama anak kita nanti. Tapi apa gue lepas tangan gitu aja atas diri lo?” Jeffrey menggelengkan kepalanya. “Enggak, Ra. Gue siapin semua kebutuhan lo. Gue kerja kaya orang tolol belakangan ini juga bukan semata-mata buat nyari duit, tapi karna gue mau punya banyak waktu buat nemenin lo pasca melahirkan nanti.”
Tangan Jeffrey kini beralih mengusap lembut wajah Ratu. “Terus tadi lo bilang apa? Bosen? Gila aja, emangnya siapa yang bisa bosen sama bini spec dewi kaya gini? Gak ada, Ra.”
Seperti terhipnotis dengan kalimat-kalimat manis yang Jeffrey lontarkan, rasa sakit yang sebelumnya Ratu rasakan di perutnya itu, kini menghilang seketika.
“Kita itu bukan pasangan yang baru aja kenal terus langsung nikah, Ra. Kita udah kenal dari berjuta-juta tahun yang lalu. Menurut gue, wajar kalau lo pikir ada yang berubah dari gue, ya karna makin banyak tanggungjawab gue. Beda sama dulu yang masih bisa main-main. Tapi kalau lo pikir gue bosen, atau males liat muka lo—itu fitnah sih.” Jeffrey terkekeh sejenak tatkala melihat Ratu yang kesulitan untuk mendudukkan tubuhnya. Batinnya, mirip seperti kura-kura yang terbalik di daratan.
“Bantuinnnn!”
“Lo ngerusak keseriusan gue aja, Anjing!” keluh Jeffrey, kemudian tetap membantu Ratu.
“Jadi ... lo lembur terus bukan karna ngehindarin gue?” tanya Ratu memastikan.
Jeffrey menggeleng semangat. “Enggaklah! Satu hal yang perlu lo tau dan lo tanemin di otak lo yang gedenya gak seberapa itu adalah 'semuanya boleh boleh berubah, Ra, kecuali perasaan'.”
Ratu menarik sudut bibirnya, tak percaya laki-laki di hadapannya itu mengatakan hal demikian dengan ekspresi yang tampak sangat serius.
“Kalau lagi ngomong serius gini, suka tiba-tiba pengen ciuman gak, sih?” kata Ratu menggoda, membuat Jeffrey melengos seketika.
“Jangan mancing-mancing, Ra.”
Sontak Ratu terkekeh, “Oke, jadi menurut lo, lo masih Jeffrey yang sama kaya dulu?” kata Ratu, sembari menatap Jeffrey.
Namun bukannya merasa terintimidasi, Jeffrey justru membalas tatapan Ratu sebelum mengangguk yakin. “Iya. Gue masih Jeffie yang kalau lo pukul gak bakal bales. Gue masih Jeffie yang selalu siap ngabisin isian zuppa soup lo. Gue ... masih Jeffie yang mau selalu pastiin lo ngerasain hal-hal baik aja, Ra. Gak perduli segila apa gue kemarin, hari ini, dan besok, asalkan buat kebaikan lo—gue lakuin.” Jeffrey mengusap rahang Ratu dengan lembut setelah mengakhiri kalimatnya.
“Tapi aku gak baik-baik aja dengan kamu tinggalin kerja terus-terusan, Mas. Aku juga ... ini mungkin aneh sih ... aku cemburu setiap kali kamu bahas baby kita, tapi ngelupain aku. Aku cemburu setiap kali kamu nyuruh aku ngelakuin sesuatu, dan alesannya karna dia.” Kini pandangan Ratu mengarah pada perutnya yang sudah sangat besar. “Seolah-olah kamu sekarang lebih sayang dia, terus status aku cuman perempuan yang yang di dalem perut besarnya ini—ada anak kamu,” tutur Ratu panjang lebar.
Seketika Jeffrey merasa ditampar oleh perkataan Ratu. Ia mengingat-ingat bagaimana perlakuannya pada istrinya itu belakangan ini, dan ya, persis seperti yang Ratu katakan. Sering kali Jeffrey hanya membahas mengenai sang jabang bayi tanpa mengikut sertakan keadaan Ratu dalam topik pembahasan mereka, dan dengan bodohnya Jeffrey baru menyadari hal itu sekarang.
Sontak Jeffrey meraih tangan Ratu, tampak seperti memohon ampunan kepada sang istri. “Pukul aja, Ra, si tolol ini emang gak sadar-sadar! Aku minta maaf karena kurang peka sama keadaan kamu. Pikiran aku lagi bercabang kemana-mana belakangan ini, Ra. Ya emang gak bisa dijadiin alesan, sih, tapi aku gak punya alesan lain....” Jeffrey mencebikkan bibirnya. “Aku serius. Gak pernah sekalipun ada pikiran buat berhenti sayang sama kamu. Mau nantinya anak kita ada seribu pun, perasaan sayang aku ke kamu gak bakal berkurang, Ra. Sebelumnya kan aku sayang sama kamu seratus persen—sekarang karna ada calon anak kita, jadinya dua ratus persen dibagi dua. Udah gitu aja.”
“Nilai matematika lo di rapot berapa, sih? Ngitung persenan aja blunder,” cibir Ratu.
“Bukan blunder, tapi emang rasa sayang gue gak bakal berubah.”
“Sumpah, Jeff?”
“Sumpil, sumpah paling serius! Aku rela kesamber petir demi kamu, asalkan gak kena!” tukas Jeffrey dengan ekspresi senyum bodoh yang tercetak jelas di wajahnya, membuat Ratu terkikik seketika.
Seperti deja vu. Dulu Jeffrey memang sering sekali mengucapkan omong kosong seperti yang barusan ia dengar. Sumpil? Gila, batinnya.
Jeffrey menarik Ratu kedalam pelukannya. Ia senang sekaligus bersyukur, istrinya adalah seorang Ratu Azalea. Sebab hanya wanita dalam peluknya itu yang mampu memaklumi dan memaafkannya acapkali Jeffrey melakukan kebodohan.