Mimpi Duka Sabian
Malam itu hujan turun dengan derasnya, mengguyur hampir seluruh komponen kota Jakarta. Bian duduk mematung di sebuah kursi plastik yang mengarah langsung pada dua buah pigura klasik milik Papa dan Mama. Pandangannya kosong. Seolah tak mampu lagi untuk mengeluarkan ekspresi kesedihan apapun. Bibir pucat keunguan, serta jejak air mata bocah itu seakan sudah mampu mengatakan pada dunia betapa kehilangannya dia saat ini.
Suara petir menjelma menjadi iring-iringan keramaian rumah Bian. Dia gemetar. Pundak hingga kakinya seolah tak lagi dapat dia kontrol dengan otaknya. Semua orang berlalu-lalang. Bergantian satu per satu untuk mengucapkan kalimat selamat tinggal bagi sang mendiang di depan sana, di dalam peti mati yang tampak sangat apik karena diukir dan dipernis sedemikian rupa.
Ada beberapa suara tangisan yang sesekali memekakkan telinga Bian. Tangis pilu yang memanggil-manggil nama Papa dan Mama secara bergantian. Namun, tak ada seorangpun yang menghampirinya, menguatkan pundaknya, atau bahkan memeluknya sebagai bentuk ungkapan turut berbelasungkawa.
Semua orang mengacuhkan Bian. Sebab bagi mereka—Bian lah orang yang bertanggung jawab atas kematian orang tuanya sendiri.
Bian dapat melihat Ozi dan Zaid berjalan dengan masing-masing keluarga mereka mendekati peti tersebut. Peti tempat Papa dan Mama terbaring kaku. Namun, tak satupun dari kedua temannya itu yang menoleh ke arahnya. Bian terpuruk dan dikucilkan, tepat di hari paling menyedihkan dalam hidupnya.
Bahkan saat dia beranjak untuk mengucapkan salam perpisahan, serta memanjatkan sebuah doa atas mendiang Papa dan Mama—dua orang tak dikenal dengan tubuh besar dan pakaian serba hitam memblokir jalannya.
Tak peduli sekeras apapun Bian berontak, dan berteriak—mereka tak sedikitpun memberi celah. Tidak seorangpun membantunya untuk lolos dari belenggu kedua orang yang menghalanginya itu.
“PAPA! MAMA!!” pekik Bian tatkala peti di depan sana perlahan-lahan mulai ditutup.
“ENGGAK! GAK BOLEH! JANGAN DITUTUP DULU PETINYA!”
Tangis Bian pecah seketika.
Di antara ramainya suara gelegar petir yang saling bersahutan, ingatan-ingatan tentang masa lalu Bian terputar begitu saja di kepalanya. Ada perasaan perih dalam hatinya. Seandainya dia sadar lebih cepat, Bian mungkin akan menekan egonya dalam-dalam. Seandainya dia diberikan satu kesempatan lagi, Bian ingin duduk di tengah-tengah Papa dan Mama sambil menceritakan semuanya hal tentangnya, mengutarakan apa keinginannya, serta mengatakan sebanyak mungkin betapa dia menyayangi keduanya. Seandainya diberi sedikit waktu saja, Bian ingin setidaknya meminta maaf untuk terakhir kalinya.
Namun nasi telah menjadi bubur. Bian hanya mampu menjerit sejadi-jadinya kala melihat peti di hadapannya itu kini telah terbakar di antara kobaran api berwarna merah yang entah darimana asalnya.
Kemudian sunyi dan dingin. Tak ada lagi orang-orang di sana. Hanya ada Bian dan menangis pilunya menyaksikan peti tersebut lama-kelamaan menghilang sebab mulai berubah menjadi butiran abu.
“SABIAN!”
Bian membelalakkan matanya seketika. Jantungnya bergemuruh kencang, sementara keningnya kini dibasahi peluh yang bercucuran. Sepasang matanya tak berkedip sekalipun saat melihat wajah Papa yang begitu nyata, ada di dekatnya. Napas Bian tersengal-sengal, tak karuan. Dia baru saja mimpi buruk.
“Kamu kenapa?” tanya Papa dengan nada khawatir.
Bian tidak mampu mencegah air matanya jatuh. Bian takut. Takut kehilangan Papa dan Mama.
Melihat itu, tanpa pikir panjang Papa menarik Bian masuk ke dalam dekapannya. Mengusap lembut punggung Bian dengan penuh perhatian. Mencoba menenangkan Bian semampunya.
“Ada yang sakit?”
Bian hanya menggeleng lemah dalam pelukan hangat Papa. Kalau boleh jujur, saat ini lidahnya bahkan terlalu kelu untuk bicara. Bian tidak pernah menyangka akan melihat kematian Papa dan Mama dalam mimpinya. Apalagi sampai harus seburuk 'itu'.
Bian membisu. Dadanya masih begitu nyeri.
“Mas, kata susternya Bian—BIAN UDAH SADAR?!”
Mendengar suara Mama yang melengking itu, Bian lantas melepas pelukan Papa dan mengusap wajah asal-asalan. Untuk sejenak dia mencoba mencerna apa yang sudah terjadi. Kenapa Mama muncul dengan membawa Ajeng di belakangnya? Gadis itu bahkan masih lengkap dengan celana training dan kaus warna coklat yang didapat dari perkemahan Pramuka. Tunggu, ini tanggal berapa? batin Bian. Bingung.
Mama meletakkan sebuah plastik berisikan beberapa obat-obatan milik Bian di atas nakas, kemudian menggantikan Papa untuk memeluk Bian. Agaknya sesuatu yang baru terjadi cukup membuat keluarga kecil ini sedikit shock.
“Kamu kenapa, sih, macem-macem aja. Ada aja tingkahnya yang bikin Mama kepikiran!” seru Mama sebelum melepaskan pelukannya, dan memegang pundak Bian erat-erat.
Bian mengerutkan keningnya, “Bian kenapa?” tanya Bian penasaran.
Saat itu juga, Bian dapat melihat sorot mata Mama berubah. Seperti ada penyesalan di sana, begitu pula dengan Papa. Tak ada jawaban yang keluar dari mulut mereka, lantas Bian melempar tatapannya pada Ajeng yang juga tengah menatapnya.
“Lo pergi abis marah-marah ke Kak Oji, kan? Terus semua orang nyariin lo, Bi. Gue, Zaid, Kak Oji, bahkan anak-anak lain akhirnya ikut nyariin lo—tapi gak ketemu. Semaleman itu semua orang kelilingin tempat perkemahan, sampe akhirnya ada anak IPS yang nemuin dalam keadaan gak sadar—” Ajeng mengarahkan jari telunjuk pada dagunya sendiri. “Lo kayanya jatoh, terus kena sesuatu—dagu lo sobek makanya dapet jaitan. Karna di sana gelap banget, kita semua gak ada yang tau lo kena apa. Lo sendiri pingsan karna ngeluarin banyak darah sama kedinginan,” tutur gadis itu dengan sangat jelas.
Tapi sepersekian detik, makin kebingungan. Agaknya Ajeng kembali menggunakan 'gue-lo' karena takut Mama dan Papa memikirkan hal yang tidak-tidak.
Selanjutnya Bian mencoba mengingat-ingat kejadian yang sebenarnya dia alami.
Kemarin malam tepatnya, saat emosinya tengah berada di puncak setelah mengetahui kalau Ozi sudah memata-matainya atas permintaan Papa—Bian pergi menjauh dari tenda-tenda peserta kemah. Langkah kakinya terus membawa Bian pergi entah ke mana. Kemudian, sepertinyanasib sial tengah mengikuti Bian hari itu. Lembabnya keadaan tanah membuat Bian tergelincir, jatuh terjerembab di dalam kegelapan malam. Usut punya usut, sepertinya luka jahitan pada dagu Bian disebabkan oleh patahan ranting pohon di sekitar tempat Bian terjatuh.
Dalam benak Bian mengucap syukur berkali-kali. Untung saja ada yang menemukan dia meski sudah dalam keadaan tidak sadar. Kalau tidak, mungkin dia sudah dikremasi hari ini.
“Nanti ada polisi yang mau tanya-tanya sedikit ke kamu, Bi. Jawab sesuai sama apa yang kamu alamin,” kata Papa.
“Apa? Polisi?”
“Papa kamu buat laporan ke kantor polisi gara-gara pihak dari sekolah lalai,” timpal Mama, kemudian mengusap pucuk kepala Bian.
Bian menggeleng cepat. Ini sama sekali bukan salahnya pihak sekolah, ini semua salah gue!
“Cabut laporannya, Pa. Ini semuanya salah Bian, Papa gak perlu lempar ke orang lain. Lagian Bian udah gapapa.”
“Dua belas jahitan di dagu, kamu bilang gapapa?”
Bian melirik ke arah Ajeng sesaat, kemudian menundukkan kepalanya. “Bian emosi ke Oji, Bian yang kabur, Bian yang cidera. Ini bukan salah pihak sekolah...,” cicit Bian, malu.
“Papa minta maaf tentang Oji.”
Ngomong-ngomong soal Ozi—setelah melihat Ozi yang tak acuh padanya dalam mimpi beberapa saat lalu, Bian jadi memikirkan kembali soal pertengkaran mereka. Dia sedikit menyesal sudah memukuli Ozi sampai sebegitunya. Sebab dalam mimpi rasanya seperti sangat kesepian kala tidak memiliki Ozi dan Zaid di sisinya. Bian menghela nafas panjang. Gue harus dengerin penjelasan dia sama Papa begitu pulang dari sini.
“Om, Tante ... karna Biannya udah siuman kayanya aku mau balik ke perkemahan dulu. Takut tasnya ditinggal sama yang lain.”
“Eh, sampai lupa bilang. Nanti kamu, Ozi, sama Zaid biar Om yang nganterin ke sana. Om juga mau ambil tasnya Bian.”
Bian dapat melihat bagaimana cara Papanya itu tersenyum pada gadis yang dia suka itu. Kalau dipikir-pikir, melihat Ajeng berdiri tak jauh dari Mama membuat keduanya tampak sedikit mirip karna gaya rambut mereka.
Tunggu, tadi Papa bilang apa?
“Oji sama Jaid di sini?!”
Ajeng mengangguk. Sudah pasti lah. Mana mungkin mereka berdua tetap asyik melakukan serangkaian kegiatan perkemahan tanpa Bian?
“Kak Ozi sama Zaid tadi katanya mau ke kantin rumah sakit. Laper deh, kayanya,” kata Ajeng menjawab pertanyaan Bian barusan.
Entah ada apa gerangan, tapi tiba-tiba saja Mama terkekeh. Membuat tiga orang lainnya keheranan.
“Mama kenapa?” tanya Bian dengan tampang polos.
Kemudian Mama sengaja mencondongkan tubuhnya. Berniat untuk membisikkan sesuatu pada Bian.
“Kamu harus cepet sehat, soalnya Mama liat-liat Ajeng gampang akrab sama orang. Nanti kamu ditikung sama Zaid atau Ozi.”
Lantas ekspresi Bian yang sebelumnya berangsur-angsur cerah, kini kembali gamang seketika.