Minggu Pagi di Rumah Kadavi
Rumah sederhana dengan warna dinding kuning telur asin itu terasa teduh dibawah pohon mangga besar yang dapat Rasya pastikan usianya sudah puluhan tahun.
Kedatangan gadis itu disambut oleh ibunda tercinta Kadavi. Senyumnya manis, terkesan sangat ramah pada pertemuan pertama.
“Diminum atuh teh nya.”
“Iya tante, makasih.” Sahut Rasya dengan senyuman khasnya.
“Davi nya tante suruh mandi dulu tadi, malu disamperin anak gadis tapi belum mandi. Namina saha teh?”
Rasya diam, alisnya bertaut demi mengingat-ingat apa arti dari perkataan wanita paruh baya yang kini tengah duduk didepannya.
“Ehh bukan orang sunda?”
“Asli sini tante, tapi pas kecil pindah ke Jakarta terus baru balik lagi kesini.”
Ibunda Ladavi terkekeh gemas mendengar penjelasan dari Rasya.
“Tante tadi nanya, nama kamu siapa?”
“Nama aku Rasya Tan, tapi Davi biasa manggilnya Caca.”
Ditengah-tengah obrolan mereka berdua, tiba-tiba Kadavi datang untuk menyela.
“Bun, masa tadi Caca ngespam chat aku terus kan. Dia nyuruh bukain pintu, padahal aku udah didepan dia bun!”
Ibu dari laki-laki itu tertawa geli, sementara Rasya tengah sibuk menyembunyikan rasa malunya.
“Udah ah Dav, muka Caca merah tuh gara-gara kamu ledekin.”
Davi mencomot bolu pisang yang telah dipotong-potong dan diletakkan di atas meja ruang tamu. Laki-laki itu duduk tanpa menghiraukan perkataan bundanya barusan.
“Caca, Davi ini anaknya suka banget cerita. Semuanya dia ceritain ke Tante nak, termasuk tentang kesurupannya kemarin siang.”
Ucapan wanita itu lantas membuat Rasya dan Kadavi saling bertatapan dan merasa canggung.
“Tante, maafin Caca. Caca gak ada maksud jahat kok ke Davi.” Ujar Rasya yang dibalas senyuman oleh wanita paruh baya itu.
“Tante tau kok Ca. Lagian Davi itu emang dari SD sering kerasukan.”
“Kalo boleh tau, kenapa bisa kaya gitu Tan? Maaf Caca penasaran, soalnya gak pernah ngalamin kaya gitu.”
Wanita itu meraih tangan Kadavi, ia tepuk-tepuk punggung tangan laki-laki itu.
“Dulu Almarhum ayahnya Davi nyuruh dia masuk salah satu perguruan pencak silat di daerah sini Ca. Tanpa kita sadar lama-kelamaan Davi jadi hebat, seperti yang ayahnya Davi mau.”
Terdengar helaan nafas panjang dari bibir wanita itu.
“Tapi kekuatan Davi gak murni dari sekedar latihan bela diri Ca. Entah, tante juga gak begitu paham apa yang mereka lakuin ke anak tante satu-satunya ini.”
“Seiring berjalannya waktu, Davi jadi suka ngelamun dan jarang main sama anak-anak seusianya. Akhirnya Tante dan Almarhum ayahnya Davi, bawa dia ke orang pinter. Nah, disitu baru kita tau kalau ada yang gak beres sama Davi.”
Rasya terus mengangguk kepalanya sebagai respon dari cerita ibunda Davi. Sementara netranya berkali-kali tertangkap Davi tengah memperhatikan dirinya.
“Ayahnya Davi milih untuk ngeluarin dia dari perguruan silat itu Ca. Tapi semenjak keluar, Davi justru sering kali tiba-tiba kesurupan. Alhamdulillah makin kesini, Davi mulai bisa mengontrol dirinya sendiri. Kalau kemarin sampai kecolongan, itu berarti salah anak Tante sendiri Ca, karna dia gak fokus waktu ketemu kamu.”
Mendengar itu Rasya langsung menunduk kepalanya, malu batinnya. Pipi gadis itu memanas, kemudian muncul semburat merah, membuat wanita dihadapannya kembali terkekeh.
“Kan kann, bunda suka ngaco nih. Udah ah Ca, lu pulang aja! Sini gua anterin.”