Minta Izinnya, Bun
Bianca duduk dengan gelisah di sofa ruang tengah rumahnya. Televisi di dinding ruangan itu menyiarkan sebuah berita terkini, yang hanya menjadi latar belakang samar bagi Bianca. Pikirannya sibuk, memikirkan bagaimana cara terbaik untuk menyampaikan rencananya kepada Sang Bunda. Minggu depan, ia harus kembali ke Surabaya untuk melanjutkan studinya di universitas, tapi kali ini ia tidak akan naik kereta api seperti biasanya. Ia ingin menumpang mobil Sabian.
Meski Bianca sendiri yakin bahwa rencana tersebut sangat praktis, ia tahu bundanya mungkin saja akan ragu-ragu, terutama karena ini tentang perjalanan bersama dua laki-laki yang, belum pernah Bunda kenal sebelumnya.
Tak jauh dari Bianca, Bunda duduk di sofa sebelahnya, sembari memegang remote control televisi. “Hah, semakin banyak ya, korban keracunan MBG ini…,” gumam Bunda, menggelengkan kepala kemudian berdecih.
Bianca menoleh ke arah Bunda, mencuri-curi pandang untuk mencari waktu yang tepat. Wajah Bunda terlihat rileks, tapi Bianca tahu ibunya itu punya insting tajam untuk menangkap nada cemas atau ragu dari anak-anaknya. Lantas, ia merasa harus berhati-hati dalam memulai percakapan ini.
“Bun, boleh ngobrol sebentar nggak?” tanya Bianca, suaranya lembut namun cukup jelas untuk mengalahkan suara televisi. Ia memainkan ujung kaosnya, sebuah kebiasaan kecil yang selalu muncul saat ia merasa sedikit gugup.
Bunda menoleh, alisnya sedikit terangkat. “Ngobrol apa, Bi? Kok cemas gitu mukanya,” candanya sambil menurunkan volume televisi. Ia memindahkan posisi duduknya agar menghadap Bianca, tanda bahwa ia siap mendengarkan dengan penuh perhatian.
Bianca menghela napas pelan, mencoba merangkai kata-kata yang tepat. “Jadi gini, Bun, minggu depan kan aku harus balik ke Surabaya buat kuliah. Tapi, aku nggak mau naik kereta kali ini,” ujarnya, berhenti sejenak untuk melihat reaksi Bunda.
Bunda mengerutkan kening, akan tetapi ekspresinya masih tampak netral. “Lho, kalau nggak naik kereta, terus naik apa? Pesawat?” tanya Bunda, nada suaranya penuh keingintahuan.
“Bukan pesawat, Bun,” jawab Bianca cepat, lalu menarik napas dalam-dalam. “Aku mau numpang mobilnya Sabian. Dia kan juga mau balik ke Surabaya minggu depan, kebetulan banget. Jadi aku pikir, daripada naik kereta, mending numpang sama dia. Lebih hemat juga,” jelasnya, berusaha terdengar santai meski jantung di dadanya berdebar lebih cepat.
Bunda memandang Bianca dengan tatapan yang penuh pertanyaan. “Sabian? Itu siapa?” tanyanya, suaranya kini sedikit lebih tajam, seperti seorang ibu yang sedang mencium potensi masalah. “Bukan cowok yang nggak jelas, kan? Bunda nggak mau kamu pergi sama orang yang nggak kita kenal, Bi.”
Bianca buru-buru menggelengkan kepala, tahu bahwa ia harus menjelaskan dengan jelas untuk menghindari kesalahpahaman. “Bukan, Bun, bukan orang asing! Sabian itu kakaknya Alin, temennya Cica. Harusnya sih Bunda udah tau orangnya. Bunda kan akrab sama mamanya Sabian,” papar Bianca, berusaha meyakinkan.
Bunda diam sejenak, mencoba mengingat. Wajahnya perlahan mencerah, tanda bahwa ia mulai mengenali nama yang disebutkan Bianca. “Ooh, anak sulungnya Tante Ratu??” tanya Bunda, nadanya mulai melunak.
“Nah, iya, Bun! Tau, kan? Kenal, kan?” cecar Bianca tanpa jeda sedikitpun.
Bunda mengangguk pelan, tapi matanya masih menyelidik. “Ya, nggak bisa dibilang kenal juga sih…. Terus, kenapa tiba-tiba mau numpang sama dia? Apa nggak ngerepotin? Lagian, cuma kalian berdua di mobil? Bunda khawatir, Bi,” ujar Bunda, suaranya penuh perhatian namun tegas.
Bianca sudah menduga pertanyaan ini akan muncul. Ia buru-buru kembali memberi penjelasan, “Nggak cuma berdua, Bun. Ada temennya Sabian juga, cowok, namanya Zaid. Bunda inget nggak, cowok yang Bunda jodohin ke aku kapan hari itu?? Kita bertiga satu kampus!”
Mendengar satu lagi fakta menarik yang baru saja lolos dari bibir Bianca, praktis membuat Bunda mendelik. “Dunia sempit banget?”
Bianca mengangguk antusias. “Jadi kita bertiga, Bun…. Aku janji nggak bakal ngerepotin, kok. Dan, aku pastijaga diri baik-baik,” jelas Bianca panjang lebar, berharap penjelasannya cukup meyakinkan.
Bunda masih tampak ragu. Ia menyandarkan tubuhnya ke sofa, memandang Bianca dengan tatapan yang penuh pertimbangan. “Hmm… Bunda sih tahu keluarga Alin orang baik-baik. Tante Ratu sama Bunda juga sering ngobrol pas jemput anak. Tapi, Bi, kamu tahu kan, perjalanan jauh gitu—berjam-jam di dalam mobil, apalagi sama laki-laki, Bunda tetap khawatir. Sabian mungkin orang baik, tapi Bunda nggak kenal deket sama dia. Terus, temennya yang satu lagi, Zaid itu, kalian nggak canggung emangnya?” ujar Bunda, suaranya lembut tapi penuh kekhawatiran khas seorang ibu.
Bianca mengangguk, memahami kekhawatiran bundanya. Ia tahu bahwa Bunda selalu ekstra hati-hati soal anak-anaknya. “Aku ngerti, Bun. Makanya aku ceritain dulu ke Bunda sebelum mutusin apa-apa. Aku janji bakal jaga diri, kok. Nggak bakal ngapa-ngapain yang bikin Bunda khawatir,” kata Bianca dengan nada serius, matanya menatap Bunda penuh keyakinan.
Kemudian hanya menghela napas panjang yang dapat Bunda lakukan. Ia menatap Bianca dengan ekspresi yang mulai melunak sepenuhnya. “Ya udah, kalau itu emang kemauan kamu, Bunda izinin—Bunda bantu bilang ke Ayah juga. Tapi, Bi, kamu harus janji sama Bunda. Jaga diri baik-baik, jangan sampai ngerepotin Sabian atau temennya. Kalau ada apa-apa, langsung telepon Bunda, kapan pun itu. Bunda nggak peduli jam berapa, pokoknya kabarin kalau ada masalah,” pesan Bunda, suaranya penuh penekanan.
“Iya, Bun, janji! Nanti, selama di perjalanannya, aku bakal kabarin terus. Makasih, ya, Bun, udah kasih izin,” jawab Bianca, wajahnya langsung seumringah.
Namun, tiba-tiba saja, Bunda kembali membuka mulutnya, lalu menambahkan, “Satu lagi, Bi. Meskipun Sabian sama Zaid itu orang baik, dan Bunda kenal keluarganya, kamu tetap harus jaga batasan. Jangan terlalu dekat, apalagi sama laki-laki. Bunda percaya sama kamu, tapi Bunda juga tahu dunia ini nggak selalu baik. Jadi, pokoknya, pesen Bunda, hati-hati!.”
Seketika saja Bianca merasa hangat pada sekujur tubuhnya, berkat perhatian Bunda. “Iya, Bun. Aku nggak bakal lupa pesan Bunda. Aku cuma numpang, kok, nggak lebih. Lagian, aku yakin, Sabian sama Zaid juga bukan tipe orang yang aneh-aneh. Mereka cuma mau bantu aja,” ujarnya, berusaha meyakinkan sekali lagi.
Lagi-lagi Bunda mengangguk, namun kali ini dengan senyum yang lebih lebar. “Ya udah kalau gitu, Bunda tenang.”
Bianca manggut-manggut. Ia tahu betul bahwa pesan-pesan Bunda tadi bukan sekadar omong kosong, melainkan bentuk cinta yang selalu membuatnya merasa aman, meski ia akan bepergian jauh.
Televisi masih menyala. Kini menyiarkan iklan minuman teh dengan musik yang ceria. Bunda kembali menyandarkan tubuhnya ke sofa, meski matanya masih sesekali melirik ke arah Bianca, seolah ingin memastikan bahwa anaknya benar-benar siap untuk perjalanan ini. Di sisi lain, Bianca merasa lega. Izin dari orang tua sudah ia kantongi untuk minggu depan.