Morning Sickness

Sejak kedatangan Jemian, tak banyak yang Ratu lakukan, pasalnya ia merasa bahwa tubuhnya benar-benar sangat lemas kali ini. Ditambah lagi dengan sembelit yang memang sudah ia alami sejak beberapa hari yang lalu.

Tangan Ratu terkulai lemas, kakinya pun kini sulit digerakkan. Batinnya mengeluh, ini pertama kalinya Ratu merasakan hal tersebut. Kepalanya terus berkedut, pening. Ia ingin memanggil Jemian di luar kamar, namun tenggorokannya terasa begitu kering.

Mungkin ini semua akibat ia yang terus memuntahkan isi perutnya sejak pagi. Meskipun Ratu sudah mengikuti perkataan Jeffrey untuk tetap memakan sesuatu sekedar untuk mengisi perut, namun tetap saja semua itu akan ia muntahkan lagi dan lagi.

Ratu menghela nafas, Jemian pasti tengah sibuk menonton siaran televisi, karena suara televisi di luar sana terdengar ngaring sampai kedalam kamarnya.

“Jem ... Jemian ...,” lirih Ratu.

Jemian tak kunjung memberikan jawaban apapun. Kemudian, mau tidak mau Ratu beranjak dari tempat tidurnya. Dengan kaki yang sedikit gemetar karena sangking lemasnya, Ratu berjalan keluar kamar.

“Jem ....”

Mendengar suara Ratu, refleks Jemian menoleh. “Loh Mbak? Kenapa?” tanya Jemian.

Jemian beringsut menghampiri Ratu. Melihat kondisi tubuh dan raut wajah iparnya yang terlihat aneh itu, lantas Jemian berinisiatif untuk membopong Ratu ke arah sofa.

“Kenapa Mbak?”

“Aku pusing banget, Jem. Tolong anterin ke dokter ya? Takut ada apa-apa,” pinta Ratu.

“Mau sekarang, Mbak?”

Ratu mengangguk pelan. Lalu Jemian mengurungkan niatnya untuk mendudukkan tubuh Ratu pada sofa. “Mbak mau ganti baju dulu, atau nggak usah?” tanya Jemian, yang mungkin terdengar lembut namun dalam hatinya ia sudah panik bukan main.

“Nggak, Jem. Langsung aja.”

Tanpa basa-basi lagi, Jemian langsung menuntun tubuh Ratu dengan sangat hati-hati. Perkiraannya, jarak dari unit Ratu ke parkiran mobil cukup jauh. Jemian merutuki Kakaknya yang tak kunjung membeli rumah untuk ditempati. Kalau seperti ini segalanya menjadi repot. Jemian sadar bahwa tubuhnya tidak sebesar dan sekuat Jeffrey untuk menggendong Ratu, oleh karena itu ia hanya bisa bersabar dengan langkah kaki kecil-kecil milik ipranya tersebut.


Setiba di rumah sakit, Ratu langsung masuk ke UGD untuk diperiksa. Jemian menunggu dengan harap dan cemas. Takut kalau-kalau Ratu kenapa-napa. Kemudian dengan sangat terpaksa ia harus mengganggu pekerjaan Jeffrey dengan menelpon Kakaknya itu.

Tutt!

“Halo? Mas!” seru Jemian dengan nada panik.

“Kenapa?”

“Bisa gak kerjanya lanjut besok aja? Mbak Ratu masuk UGD!”

“HAH?!”

Bagai mendengar sambaran petir, jantung Jemian hampir saja melompat keluar tatkala mendengar Jeffrey berteriak diseberang telepon.

“Kagetnya nanti aja, Mas. Mas e mendingan kesini sekarang! Jantung Jemi nderedeg! Mana gak punya uang.” Jemian tidak berbohong. Ia memang tidak membawa sepeser uang pun, dan ia yakin hal yang sama juga dilakukan oleh saudara iparnya yang tengah diperiksa di dalam sana. Pasalnya baik Jemian dan juga Ratu, mereka berdua sama-sama terburu-buru meninggalkan apartemen.


Tiba-tiba saja, seorang dokter yang memang berjaga di ruang UGD tersebut keluar, “Anda keluarga pasien?” tanyanya.

Jemian ngangguk. “Iya, saya Adiknya, Dok.”

Sebelum pembicaraan keduanya berlanjut, kedatangan Jeffrey membuat mereka berdua terkejut.

“Istri saya gimana, Dok?!” kata Jeffrey menggebu-gebu.

“Sebelumnya Bapak bisa tenang terlebih dahulu?”

Jeffrey mengusap wajahnya gusar, lalu menarik nafas dalam-dalam dan membuangnya perlahan-lahan.

“Istri Bapak mengalami Hiperemesis Gravidarum, atau biasa disebut HEG. Ini merupakan keadaan muntah-muntah yang jauh lebih parah dibandingkan dengan morning sickness, Pak. Penyebab pastinya belum diketahui sampai sekarang. Tapi ini wajar, dan normal terjadi pada saat ibu hamil masih berada dalam masa trimester pertama. Saya menyarankan supaya istri bapak diopname sampai sekitar 2 atau 3 hari kedepan, karena mau bagaimanapun juga janin membutuhkan nutrisi untuk berkembang, tapi jika makanan yang masuk ke dalam perut Ibu hamil selalu dimuntahkan keluar maka nutrisi tersebut tidak terpenuhi, dan janin akan terganggu perkembangannya,” tutur dokter itu panjang lebar.

Selanjutnya, dengan sengaja Jemian menepuk pundak Jeffrey. Ia mencoba untuk menguatkan Kakaknya itu, sebab Jemian tahu bahwa Jeffrey pasti sangat gelisah saat ini karena mendengar penjelasan mengenai kondisi Ratu dan janin dalam kandungannya.


Jeffrey diam melamun di sudut rumah sakit. Setelah berpikir panjang, akhirnya ia memutuskan untuk membiarkan Ratu diopname. Ia tidak mau terjadi apa-apa lagi nantinya.

Jeffrey sudah cukup menyesal karena menurutnya, ia kurang memperhatikan Ratu. Bahkan setelah Ratu mengutarakan keluhannya pun, Jeffrey justru lebih memilih mengutamakan pekerjaannya terlebih dahulu. Meski ini semua terjadi di luar dugaannya, namun tetap saja ia merasa bersalah. Dalam benak Jeffrey, seharusnya tadi siang ia pulang dan mengecheck langsung kondisi istrinya itu, dan bukannya malah meminta Jemian untuk menjaga Ratu.

Sekarang, bahkan sekedar melihat wajah istrinya di dalam ruang kamar inap saja, Jeffrey takut. Takut kalau-kalau yang ia lihat adalah kondisi terburuk Ratu. Jeffrey takut kalau Ratu kesal melihatnya, karena ia gagal menjadi suami yang siaga.

“Mas.” Suara Jemian membuyarkan lamunannya. “Dicariin sama Mbak Ratu, tuh. Jemi mau pulang dulu, mau nugas,” kata adiknya itu.

“Ratu gimana?”

“Gimana apanya?” tanya Jemian, bingung dengan maksud perkataan Jeffrey.

Jeffrey menghela nafas, terdengar pasrah. “Gimana keadaannya?” jawabnya kemudian.

Lantas, Jemian mengulas senyum seketika. Ia dapat menangkap sinyal bahwa Jeffrey tengah khawatir, namun enggan untuk menemui Ratu saat ini.

“Dicariin sama Mbak Ratu, Mas. Mendingan Mas Jeffrey langsung masuk aja, ngapain malah tanya Jemi? Nanti kalo Mbak Ratu kenapa-napa karna nyariin Mas, gimana?” ledek Jemian, dan dihadiahi oleh dengkusan kesal oleh Jeffrey selanjutnya.

Detik kemudian Jeffrey beranjak. Ia berniat untuk menemui Ratu secepatnya, karena mendengar perkataan Jemian barusan. *Yah, memangnya suami mana yang tidak takut jika istrinya kenapa-napa?”

Baru saja ingin melangkah, Jemian lebih dahulu menyodorkan tangannya.

“Apa?” tanya Jeffrey.

“Ongkos buat pulang, Mas.”

“Kamu kan naik mobil?

“Lho lho lhoh, bensine pie?”