Namanya Juga Bian
*Bian dan Zaid akhirnya di sini. Ruangan tertutup, berisikan dua ranjang khas rumah sakit yang masing-masing tengah mereka duduki. Aroma obat, alkohol, dan besi berkarat yang biasa kita temui di rumah sakit itu, menguar. Menguasai indera penciuman Bian. Miris, buntut dari perbuatan Bian ternyata sampai separah ini. Patah tulang kaki kanan miliknya, bersamaan dengan tangan kanan Zaid yang kini tengah digips sebab ada indikasi yang sama dengan Bian.
Bian menatap nanar ke arah Zaid yang berada di atas ranjang di seberangnya. Ekspresi wajah kawannya itu tampak sulit dijelaskan. Mungkin masih syok, atau tengah menahan rasa sakit. Niat hati ingin menghampiri Zaid namun, dia sadar kalau-kalau kaki kanannya masih belum bisa dibawa berjalan sebagaimana maunya.
“Id, motor lo ... gue minta maaf.”
“Gak usah bahas motor gue, Bi. Lo gak liat nih, tangan?” timpal Zaid.
“Ya, soal tangan lo juga.” Sementara Bian memasang wajah memelas, Zaid enggan menjawab.
Dari luar terdengar derap langkah kaki yang memburu, sebelum akhirnya pintu kamar inap ini terbuka dengan kasar. Suaranya memekakan telinga. Bian yakin atensi para perawat yang berada di luar, pasti sempat teralihkan untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Di sana. Di depan pintu akses masuk satu-satunya. Sosok Papa berdiri menjulang, lengkap dengan sorot mata nyalang dan kedua tangan yang terkepal. Papa melangkah masuk tanpa memberi sapaan apapun, sementara Mama tampak buru-buru menutup pintu.
Lalu dengan kasar Papa mencengkram pundak Bian. “Apa sih yang bikin kamu gak punya pikiran kayak gini?” sebuah kalimat yang menjadi awalan kemurkaan Papa malam itupun lolos begitu saja. Papa melempar beberapa lembar kertas yang merekap sejumlah pengeluaran akibat perbuatannya sore ini. “Apa sih yang bikin otak kamu ini sampai gak berfungsi kayak gini, Sabian?” Dengan wajah yang memerah dan deru napas tak karuan, jari telunjuk Papa sengaja mengetuk-ngetuk kening Bian saking kesalnya.
Sedangkan bocah itu diam tak berkutik. Zaid yang berada di sana pun memilih bungkam sebab, dia mengerti kenapa Bian sampai terkena omelan seperti ini. Lagi pula dia tak punya hak barang sedikitpun untuk ikut menimpali prahara orang tua dan anak, di hadapannya itu.
“Mas!” pekik Mama seraya menarik paksa lengan Papa.
Jauh di dalam lubuk hati, Bian paham betul apa penyebab kemurkaan Papa yang sampai seperti ini. Kalau bukan karena dia hampir menabrak sesama pengendara motor. Kalau bukan karena cidera yang dialami Zaid atas kecerobohannya.... Bian menghela napas panjang. Dia memutuskan untuk tetap diam mematung. Sebab, jangankan menjawab. Menatap ke arah Mama dan Papa saja nyalinya menciut.
Papa mendengkus. Kalau bisa disuarakan mungkin bunyi detak jantung Papa sudah dag dig dug duar! sejak diberi kabar bahwa Bian beserta Zaid, tidak ada angin, tidak ada hujan tiba-tiba masuk rumah sakit. Terlebih lagi begitu mengetahui kalau Bian biang keroknya.
“Ini, nih! Kenapa Papa males kasih kamu motor tuh ini! Ceroboh! Gak fokus! EGOIS!”
“Bian udah bilang sama Papa kalau—”
“Apa? Minta maaf?” tanya Papa menuntut. Sementara yang ditanya kembali manggut pasrah. “Emangnya kamu pikir dengan minta maaf, itu cukup buat ganti kerusakan motor orang? Emangnya dengan kamu minta maaf, itu bisa benerin kerusakan jalan, ganti motornya Zaid, sama bayar biaya rumah sakit ini?”
Sontak sorot mata Bian turun ke kaki. Menatap nanar kakinya yang juga tengah digips persis seperti tangan Zaid—tidak disebut oleh Papa.
Mama yang paham maksud dari raut wajah Bian, lantas memukul lengan Papa. Bunyinya nyaring, dan sepertinya cukup membuat Papa kesakitan. Meski sama halnya seperti Papa yang tengah marah—melihat bagaimana kondisi Bian, cukup membuat hati Mama sakit. Kaki digips, lengan yang ditempeli plester di beberapa titik—tampaknya karena hasil ciuman dengan bahu jalan, serta ada memar-memar pada wajah Bian. Ibu mana yang tidak sedih jika melihat anaknya dengan keadaan seperti itu?
Mama akhirnya memilih untuk memeluk Bian. Erat, meski harus hati-hati sebab khawatir selang infus Bian justru akan membuat darahnya naik. “It's okay, Bi. Nanti kita perbaiki semuanya begitu keluar dari sini ya, Sayang....”
“Papa itu malu, Bi! Punya anak cowok satu-satunya kok begini, sih?!” seru Papa tak tertahankan..“Ini tuh karna kamu terlalu manjain dia. Udah cukup lah, udah gede anaknya, Ra!” Nah, kan. Kini giliran Mama yang kena semprot.
Tiba-tiba saja pintu terbuka dari luar. Kemudian, eksistensi papa dan mama Zaid sukses menarik atensi keempatnya.
“Zaid!” pekik mama Zaid, seraya menghambur ke arah anaknya itu.
“Gapapa, sumpah aku gapapa! Jangan teriak-teriak, Ma!”
Sementara itu, Papa masih setia memandang Bian dengan nanar. “Lo hajar aja dia. Biar ini anak ngerti kalau konsekuensi itu banyak jenisnya, gak cuman ocehan gue doang,” kata Papa yang kemudian sukses membuat papa Zaid—Om Dio dan Bian melongo tak percaya.
Ada benarnya sih. Pasalnya Papa mau sekesal apapun pada Bian, rasanya enggan main tangan. Tapi lain halnya kalau Bian habis babak belur ditangan Om Dio yang anaknya baru saja dia buat celaka tadi sore. Tapi, alih-alih mengiyakan—Om Dio justru tertawa renyah.
“Om, Bian beneran minta maaf....”
“Santai aja, Bi. Dulu kita juga pernah nyium aspal kayak kalian.” Wajahnya kelihatan jauh lebih tenang dari Papa.
“Dulu kita gak sampai patah tulang,” sergah Papa tak terima. “Denger ya, Bi. Mulai sekarang, gak ada lagi les di luar buat kamu. Kalau mau les.di dalem rumah aja!” Miris. Terhitung kurang dari dua minggu lagi, seharusnya ulangan kenaikan kelas mulai menyambutnya tapi, malah seperti ini.
Sepersekian detik Bian tersadar. Sudah begini, bukan lagi Diajeng Pramesti yang dia pikirkan, melainkan pengambilan rapor kenaikan kelas yang sudah di depan mata.
“Bian masih mau les, Pa.”
“Gak usah!”
“Pa....”
“Kamu ini budek ya?!”
“MAS?! UDAH!” pekik Mama, hingga semua orang yang ada di ruangan itu ikut menatapnya.*
Sejak keributan beberapa waktu lalu yang membuat Papa dan Mama pulang lebih dulu, Bian tak habis-habisnya berkacak seolah tidak terjadi apa-apa. Senyumnya full, meski mata jelas sudah berkaca-kaca. Kalau kata sang nenek, sih 'ingah-ingih motone abang'.
Ngomong-ngomong, selain Mama dan Papa—keluarga Bian tidak ada yang tahu mengenai kabar kecelakaan lalu lintas yang Bian alami ini. Agaknya Papa serius saat mengatakan bahwa dirinya malu.
Om Dio dan sang istri memilih pulang terlebih dahulu, karena menurut dokter mungkin Bian dan Zaid masih harus diopname sampai satu atau dua hari kedepan, maka mereka memutuskan untuk kembali lagi besok pagi sembari membawa pakaian bersih.
Pukul setengah dua belas malam waktu Indonesia bagian Barat dan seperti kata Ayah—Om Yudhis melalui chat beberapa saat lalu, dia lah yang akan menemani Bian, dan Zaid malam ini. Tapi, kebetulan ada Ozi. Kalau dihiperbolakan, Ozi ini pantas jika diberi slogan OCA alias Ozi Cahaya Asia. Pasalnya, mau sesibuk apapun dia sebagai calon mahasiswa baru, dan semalas apapun dia melihat duo sableng di hadapannya ini—dia tetap datang dengan membawa sewadah styrofoam berisikan dua porsi bubur ayam untuk Bian, dan Zaid sekaligus.
“Apa gak malu disuapin sama Oji kayak gitu?” Suara Om Yudhis menarik atensi Zaid seketika.
“Malu itu kalau telanjang, Om,” sahutnya.
Bian terkekeh. Sesaat, dia ingat bagaimana ekspresi wajah Zaid kala mengatakan bahwa dia takut melihat sosok Om Yudhis. Rambut yang dibiarkan memanjang, serta tampang serius yang lelaki dewasa itu miliki memang agak nyentrik. Tapi, hari ini. Setelah keduanya bertemu dan berinteraksi secara langsung seperti ini—tampaknya Zaid mulai merasakan seperti apa daya tarik 'ayahnya' itu.
“Nyaut aja lo!” seru Ozi. Sambil menyuap sesendok bubur kedalam mulut Bian, Ozi memandang jengah ke arah Zaid.
Lalu dengan mulut yang baru saja diisi makanan, Bian sengaja menimpali, “Tau ya. Perasaan dulu ada yang ngakunya takut.”
“Siapa yang takut sama siapa?” tanya Om Yudhis penasaran.
Lantas dengan semangat empat lima, Bian menunjuk ke arah Zaid. “Zaid kan takut sama Ayah! Bian pernah cerita,” katanya berusaha membawa kembali ingatan lelaki yang yang dia sebut-sebut sebagai ayahnya itu. Bian berhasil membuat Zaid merasa canggung seketika.
Melihat bagaimana kedua teman yang sudah dianggap sebagai adiknya itu, Ozi tak tinggal diam. Dia menempatkan sendok, tepat di depan bibir Bian. “Sutt! Daripada lo sibuk ngeledekin Zaid, mending lo pikirin gimana caranya bikin empati orang tua lo balik lagi.”
Mulut Bian langsung mengatup. Lalu dia diam seribu bahasa.
“Sumpah tadi Om Jeffrey marahnya epik banget sih!” Kalau mau mengibaratkan Bian dan Zaid seperti saklar lampu juga boleh. Pasalnya, setelah Zaid selalu ada giliran untuk Bian. Jika sebelumnya Bian yang terus-menerus meledek Zaid, sekarang kebalikannya.
Tapi, belum sempat bocah itu melancarkan aksinya, Om Yudhis lebih dulu angkat bicara. “Ya namanya juga orang marah,” Om Yudhis berdiri, kemudian menutup tirai yang jendelanya mengarah langsung pada jalanan besar Ibu Kota. “Motornya Zaid udah ada di rumah—persis sama yang dirusakin Bian. Malem ini cuman Om yang jagain kalian, termasuk Ozi. Kamu tidur di sini aja, soalnya ini udah hampir tengah malem—rawan. ” bertepatan dengan habisnya bubur yang Ozi bawa, Om Yudhis berkata demikian.
“Ayah....”
“Apa?”
Bian menghela napas panjang. “Soal les, Papa gak bilang apa-apa?” kata Bian. Terdengar lirih di akhir kalimatnya.
Om Yudhis menggeleng, sambil berjalan mendekat ke arah ranjang pasien Bian. Laki-laki dewasa itu menatap wajah Bian lamat-lamat, lalu menggeleng perlahan. Tangannya terulur. Mengusap pucuk kepala bocah yang selama ini sudah dia anggap sebagai anaknya sendiri itu. “Papa kamu gak bilang apa-apa, Bi. Sekarang tidur dulu aja. Nanti kalau udah pulang, bisa bahas langsung sama Papa kamu.”
Perkataan Om Yudhis seperti halnya penenang. Bian mengangguk paham.
“Yaudah, gih. Kalian tidur. Ozi tidur di sofa aja, tuh.”
“Terus, Om, gimana?” tanya Ozi. Khawatir kalau kehadirannya justru membuat Om Yudhis terpaksa tidur di bawah, atau justru terjaga semalaman.
Spontan Om Yudhis merogoh saku celananya, dan mengeluarkan sebuah kotak kecil yang kelihatannya seperti bungkus rokok. “Om mau ke luar dulu. Biasa....”