Ngobrol Lagi
Jeffrey menatap sekitar. Usai makan malam bersama di atas tikar, di lantai rumah sakit beberapa saat lalu ketiga temannya pamit untuk pulang, begitu pula dengan Mama, Papa, Jemian, dan Mbak Kila sekeluarga.
“Kamu tau gak?” kata Jeffrey memecah keheningan ruangan tempat Ratu tengah berbaring.
Ratu menggeleng, sembari mengerjapkan matanya.
“Tadi siang itu, cuman kamu yang ngelahirinnya udah kayak ditungguin sama satu kelurahan alias rame banget!” Jeffrey menarik sebuah kursi, dan mendudukkan dirinya tepat di samping tempat tidur Ratu. “Ada Papa, Mama, Jemian, Mbak Kila sama suami terus anak-anaknya, ditambah lagi si Yudhis yang bawa Matius sama Dio kesini. Banyak banget ternyata yang sayang sama kamu.”
Ratu sempat memutar bola matanya. Paling-paling juga Jeffrey sendirilah yang mengabari semua orang layaknya manusia paling heboh sedunia. Bisa-bisanya mengatakan kalimat penuh basa basi seperti barusan.
Kemudian dengan niat seadanya Ratu terkekeh, “Iya, Mas.”
Jeffrey menggaruk hidungnya yang tidak gatal, kemudian beranjak dan melangkahkan kakinya dengan asal. Kali ini ia bergimik mencari sesuatu di dalam ruangan tersebut.
“Cari apa, sih?” tanya Ratu dengan nada yang terdengar sedikit kesal.
“Remot. Mau nyalain TV.”
“Ngapain nyalain TV?”
“Bosen....”
Ratu berdecak. “Tadi tuh, ada yang bilang katanya kangen lah, nungguin bangun lah, alay banget pokoknya. Eh ternyata—biasa aja. Kirain bakal dipeluk kek, atau diapain gitu? Ini malah mau dianggurin. Dasar gak jelas!” Kemudian Ratu melempar tatapan sengit ke arah Jeffrey.
Emang dasar duta gengsi sedunia! batinnya.
Alih-alih merasa takut, Jeffrey malah cengangas-cengenges sambil berjalan kembali mendekati Ratu. Ia bukan kehilangan minat, bukan juga melupakan soal perasaan rindu, cemas, dan bahagia yang yang beberapa jam lalu ia rasakan. Jeffrey hanya sedikit malu. Malu untuk menatap mata Ratu dengan perasaan yang seperti tengah meletup-letup di hatinya itu, malam ini.
Melihat bagaimana merahnya pipi suaminya itu, lantas Ratu menahan senyumannya. Gemas. Tentu saja, Ratu yang paling tahu soal perasaan Jeffrey. Ratu yang paling tahu betapa laki-laki itu menantikan anak pertamanya lahir. Ratu juga yang paling tahu bahwa kini Jeffrey sedang mati-matian menahan tangis harunya.
“Mas ... sini...,” pinta Ratu sebelum menggeser tubuhnya.
Ranjang rumah sakit, tempat ia berbaring itu cukup luas. Itu sebabnya Ratu meminta Jeffrey untuk ikut berbaring di sebelahnya.
“Mau ngapain, Ra?”
“Cepet sini!”
Sesaat setelah mengerti maksud Ratu, lantas Jeffrey mematikan lampu yang paling terang dalam kamar inap tersebut. Ia sengaja membiarkan lampu berwarna kemuning yang menyala, membuat cahaya remanglah yang tersisa di sana.
Kemudian, dengan penuh hati-hati Jeffrey ikut merebahkan dirinya di samping Ratu. Kini aroma tubuh laki-laki itu menguar, memenuhi indera penciuman Ratu. Aroma manisnya milky melon yang sejak dulu Ratu sukai itu masih tercium dari tubuh Jeffrey hingga saat ini.
Melihat Jeffrey yang diam mematung di sampingnya, tentu saja membuat Ratu tidak akan tinggal diam. Ratu kembali menggeser tubuhnya, mengahapus jarak di antara dirinya dan juga Jeffrey. Lalu tanpa memberikan aba-aba, ia memeluk tubuh suaminya itu meski kesusahan.
“Aku juga kangen,” kata Ratu menanggapi pengakuan Jeffrey dalam pesan online sebelumnya. “Tadi aku takut banget karna aku pikir gak akan bangun lagi. Soalnya aku kaya liat Bunda sekilas.”
Sontak Jeffrey menoleh, “Aku gak suka obrolan kaya gini ah, Ra.”
“Aku belum selesai ngomong, Mas.” Ratu tak terima perkataannya dipotong begitu saja. “Kamu tau gak Bunda bilang apa?” tanyanya.
Jeffrey menggeleng singkat.
“Bunda gak bilang apa-apa selain titip makasih buat kamu.”
“Ra....”
“Bunda bilang makasih buat apa ya, Mas? Emangnya kamu ngapain?”
Hening. Tak ada jawaban dari Jeffrey.
Ingatan tentang masa lalu Jeffrey kini kembali terputar. Dimana sang bunda dari wanita di sampingnya ini, dengan penuh rasa percaya menitipkan putrinya kepada dirinya beberapa hari sebelum meninggal dunia.
”... tolong jagain anak gadisnya Bunda, ya?”
Jeffrey menggigit bibirnya, menahan sebuah isak tangis yang hendak keluar.
“MAS?! Kok nangis?” Ratu yang panik melihat Jeffrey yang tiba-tiba saja menangis sesenggukan spontan menarik selimutnya. Ia sibuk mengusap air mata Jeffrey tanpa memperdulikan rasanya nyeri pada perutnya.
“Aku gak tau kamu nangis kenapa ... udah dong. Cup cup cup. Kamu kangen sama Bunda?”
Jeffrey mengangguk.
“Yaudah nanti kalau aku udah boleh pulang dari sini, kita ajak Bian tengokin nenek sama kakeknya, ya?” kata Ratu, dan lagi-lagi hanya dihadiahi oleh sebuah anggukan.
Sampai detik ini, Jeffrey sama sekali tidak pernah membahas soal janji yang ia katakan kepada Bunda. Sampai detik ini, Jeffrey tidak pernah sekalipun membahas tentang masa lalu yang menurut akan melukai atau sekedar membuat Ratu merasa sedih. Jeffrey simpan rapat-rapat semuanya. Jeffrey kenang semuanya dalam ingatannya sendiri. Karena, menurutnya Ratu hanya perlu mengetahui hal-hal yang mampu membuatnya tersenyum—dan bukannya menangis.
Jeffrey mengusap wajahnya seketika. Ia ingat bahwa harusnya hari ini ia berbahagia sebab putranya baru saja lahir dengan sangat sehat.
“Aku gak nangis, tadi itu cuman gak sengaja kecolok,” elak Jeffrey, sambil memamerkan senyum bodoh di wajahnya.
“Lah?”
“Oh iya, kamu tau gak kenapa nama anak kita Sabian?”
Ratu mengerutkan keningnya. “Gak tau. Emangnya kenapa?” tanya Ratu penasaran.
“Tadinya aku pikir anak kita cewek, Ra. Mau aku kasih nama Sabine, diambil dari salah satu nama suku di Italia yang punya karakteristik menarik, family friendly, unik, terus cerdas.” Jeffrey tersenyum bangga atas dirinya. “Tapi ternyata cowok, yaudah jadi Sabian aja.” Kemudian raut wajahnya berubah seketika.
“Pasrah banget anjir.”
“Mau gimana lagi? Orang kamu tidurnya lama,” ungkap Jeffrey penuh penekanan.
“ITU KARNA OBAT BI—,”
Ceklek!
“Permisi, Mama. Bayinya haus,” kata seorang perawat yang tiba-tiba saja masuk dengan membawa Sabian dalam gendongannya.