Our Wedding Day
Ratu menatap pantulan wajahnya pada sebuah cermin. Tangan kiri Ratu terangkat. Dikecupnya cincin pemberian Jeffreyan pada bulan Desember, tahun lalu.
Besok pagi, adalah hari pernikahan mereka berdua. Ada ketakutan yang hinggap dalam benaknya sejak beberapa hari lalu.
Gadis itu takut membayangkan jika nantinya setelah hari pernikahan, mereka baru menyadari ketidak cocokan akan satu sama lain.
Ratu berjalan dengan lemas kearah ranjangnya. Sudah semakin larut, namun rasa kantuk belum juga datang.
“Jeff ... gue- gue belum siap.”
Disinilah Ratu sekarang. Didalam ruangan serba putih, yang di penuhi oleh beberapa orang penata rias pengantin sejak pagi-pagi buta.
Ratu menyentuh keningnya sesaat sebelum seseorang memasangkan sebuah kain penutup wajah diatas kepalanya. Masih panas. Bahkan lebih panas dari semalam.
“Mba.”
Panggil Jemian yang entah sejak kapan sudah berdiri disebelahnya.
“Apa, Jem?”
Jemian tersenyum, kemudian mengacungkan kedua jempolnya. “Cuantik pol!” puji anak laki-laki itu, terhadap Ratu.
Diraihnya tangan Ratu dengan hati-hati.
“Mba tau? Mas Jeffrey pernah bilang ke Jemi, kalau dia takut nyakitin Mba dalam keadaan gak sadar. Mas Jeffrey baik. Tapi kadang-kadang, tingkah dia suka kelewatan.”
Jemian diam sejenak, kemudian tersenyum manis dengan mata berkaca-kaca. “Sebentar Mba, Jemi sedih keinget Mas Jeffrey mau nikah.” Jemian memandang langit-langit demi menahan air matanya.
“Lucu banget hehh!”
“Walaupun Mas Jeffrey suka gak bener, tapi Jemi sayang sama dia, Mba. Jemi gak mau Mas Jeffrey telat sadar kalau dia ngelakuin kesalahan, terus nyakitin orang yang dia sayang. Jadi Jemi minta ke Mba Le- Ratu, semisal nanti Mas Jeffrey nakal ... tolong langsung bilang ke Jemi ya, Mba?”
“Bilang ke kamu, biar apa?”
“Biar langsung Jemi pukulin di tempat. Tapi, jangan pernah tinggalin dia Mba. Tolong maafin dia, kalau dia buat salah,” pinta Jemian.
“Kalau aku gak bisa maafin, terus ninggalin dia?”
“Jemi bakal marah-
sama Mba.”
“Cantik banget iparku!” Kila menggenggam tangan Ratu dengan penuh semangat.
“Mba Kilaaa, aku kaget!”
Wanita itu terkekeh mendengar keluhan Ratu. Lantas memijat-mijat tangan Ratu, demi menyalurkan kehangatan.
“Jangan takut. Gak ada yang bakal berubah diantara kalian setelah pernikahan. Percaya deh sama aku. Jeffrey itu cinta banget sama kamu. Dia bakal bikin kamu nyaman dan terbiasa sama status baru kalian kedepannya,” tutur Kila dengan nada berbisik.
Ratu menghela nafasnya, dan memejamkan matanya sejenak.
“Ayo? Udah siap belum?”
Ratu mengangguk kecil.
“Papa, nih anak gadisnya udah siap!”
Seluruh pasang mata menatap kagum pada kecantikan yang dipancarkan oleh Ratu. Gadis itu didampingi oleh seorang lelaki paruh baya yang tidak lain adalah ayah kandung dari Jeffreyan.
Mereka berdua berjalan beriringan, dengan tangan Ratu yang menggenggam erat lengan Samuel. Sementara itu, para hadirin berdiri menyambut keduanya.
Disisi lain, Jeffreyan tak mampu lagi menahan senyumnya. Laki-laki itu terus memuji Ratu didalam hatinya.
Tangan Jeffrey terulur, dan langsung disambut oleh Ratu. “Yang serius, Mas!” bisik Samuel, sebelum akhirnya menyerahkan Ratu kepada anaknya.
“Kaki gue lemes, Jeff.”
“Ahahaha! Sama.”
Mereka berdua melangkah ke arah altar, untuk mengucap janji sehidup semati, kemudian saling bertukar cincin.
Seluruh tamu undangan nampak tersenyum haru, tak terkecuali Yudhis, Dio, dan Matius. Mereka bertiga turut merasa bahagia atas pernikahan sahabatnya.
Jeffreyan mengangkat veil yang Ratu kenakan dengan tergesa. Kemudian mengecup kening istrinya dalam sekejap.
“Aku ... udah boleh?” tanya Jeffrey. Netranya menatap kedua belah bibir milik Ratu.
Gemas, batin Ratu. Bahkan setelah pernikahan mereka, Jeffrey masih meminta izin untuk sekedar mencium bibirnya.
Ratu mengangguk singkat.
Detik kemudian, seluruh tamu undangan bersorak histeris, kala bibir Jeffreyan mendarat sempurna diatas bibir perempuan yang kini telah resmi menjadi istrinya.
Jeffrey menyesap bibir Ratu dengan sangat hati-hati. Menyalurkan perasaan bahagianya akan pernikahan mereka.
“Jadi gini rasanya ciuman bibir,” desis pria itu, begitu melepaskan ciumannya.
“Rating?”
“Mana bisa dirating sekarang? Ntar, kalau udah gak ada lipstiknya lah.”
Mendengar ucapan itu, wajah Ratu memerah sempurna.
“Takut banget, sumpah.”
Jeffreyan refleks mengangkat sudut bibirnya. Menahan tawa, setelah mendengar pengakuan yang baru saja istrinya lontarkan.
“Malem ini kan, Ra?”
“Malem ini kita itung amplop dulu,” jawab Ratu dengan sarkas.
Pecah sudah. Jeffreyan tak mampu lagi menahan tawanya diatas altar.
“Jeffrey bakal pegang terus janji Jeffrey ke Bunda. Sampai kapanpun, Bun.”
Flashback On
Jeffreyan tersenyum menatap semangkuk rawon buatan Bunda. Sudah kesekian kalinya ia memakan rawon dalam seminggu, sebagai syarat untuk bertamu ke rumah Ratu.
“Kamu kalau mau kesini, main aja. Jangan jadiin rawon sebagai alesan,” kata Bunda.
Wanita paruh baya itu tau segalanya. Ia tau tentang bagaimana perasaan Jeffreyan terhadap putrinya hanya dengan melihat tatapan mata laki-laki itu setiap kali berhadapan dengan Ratu.
Jeffrey terkekeh. “Lusa masak rawon lagi, Bun.”
“Bunda bosen. Emangnya kamu gak bosen sama rawon?”
“Enggak. Soalnya enak.”
Bunda menghela nafas pasrah.
“Bunda gak pernah larang Lea buat pacaran.”
Lantas Jeffreyan menoleh kearah Bunda. Rupanya Bunda salah paham akan dirinya.
“Jeffrey gak ngajak Ratu pacaran, bukan karna mikir kalau Bunda ngelarang.”
“Terus apa?”
“Jeffrey takut nyakitin Ratu, terus bikin dia pergi.”
Alis Bunda mengernyit seketika. “Kamu cowok, tapi penakut.”
Jeffrey mengusap wajahnya frustasi, setelah mendengar ucapan Bunda.
Hening, tak ada jawaban dari laki-laki itu.
“Walaupun kamu penakut, Bunda tetep paling percaya sama kamu, Jeff. Tolong jagain anak gadis Bunda ya?”
Sedikit senyuman tercetak jelas di wajah Jeffreyan. Ia mengangguk dengan penuh semangat. “Pasti, Bunda tenang aja. Jeffrey janji.”
“JEFF LO TAU DIMANA GUE TARO DOMPET GAK?” Suara Ratu dari dalam kamar, mengusik obrolan keduanya.
“Adaa sama gue, Ra. Tadi kan lo titip ke gue?”
“OH IYAAA!”
“Anak itu, kebiasaan deh teriak-teriak didalem rumah,” keluh Bunda, yang kemudian dibalas kekehan oleh Jeffreyan.
Setelah hari itu, Jeffrey tak pernah menyangka bahwa perkataan Bunda adalah pesan terakhir sebelum kepergiannya.
Selain Ratu, dirinya pun merasakan sesak bukan main kala dokter menyatakan waktu kematian Bunda. Namun disisi lain, ia harus tetap berdiri kokoh dibelakang Ratu pada saat itu.
Dan sejak hari dimana gadis itu melakukan percobaan bunuh diri, Jeffreyan sudah membulatkan tekad untuk bertanggung jawab sepenuhnya atas kehidupan Ratu—dengan kata lain, ia berencana untuk menikahi Ratu.