Mungkin di Lain Kesempatan

Pagi itu, Jakarta masih diselimuti embun tipis sisa hujan semalam. Matahari mengintip di ufuk timur, menyapa dunia dengan sinar lembutnya. Sabian sudah berdiri di garasi rumahnya, bahkan sejak sepuluh menit yang lalu untuk memanaskan satu-satunya motor miliknya.

Dengan jaket hitam dan helm yang ia kenakan, Sabian melirik jam tangannya. Pukul setengah tujuh pagi. Masih cukup waktu untuk mengantar Alin, adik kecilnya itu ke sekolah. Namun, di balik persiapannya pagi ini ada harapan lain yang menggelitik di hati Sabian; bertemu Bianca yang juga akan mengantar Cica.

Alin keluar dari rumah dengan seragam sekolahnya yang sedikit kebesaran, tas ransel kecil warna merah muda di pundaknya, dan sepatu yang mengilap di kedua kakinya yang mungil. “Masabi, cepetan! Udah siang, nih!” katanya dengan suara cengeng khas anak perempuan, sambil melompat-lompat kecil di tempat.

Mendengar itu, Sabian tersenyum, seraya menaiki motornya. “Iya, Lin, iya! Rame banget, udah kayak Mama aja. Naik pelan-pelan, pegangan sama Masabi, ya.” Ia membantu Alin naik ke jok belakang motor, yang memang agak tinggi untuk tubuh kecilnya, dengan sebelah tangan. Motor Sabian sebetulnya bukanlah kendaraan ideal untuk membawa anak sekecil Alin namun, Sabian akan selalu ekstra hati-hati kalau menyangkut apapun soal adiknya itu.

Alin memeluk pinggang Sabian erat-erat, helm merah mudanya yang kecil sedikit bergoyang saat ia mencoba menyesuaikan posisi. “Ayo, Masabi!” pekik Alin, suaranya penuh semangat.

Sabian terkekeh, menutup visor helmnya, dan memutar gas perlahan. “Siap, Bos!” sahut Sabian, tepat sebelum motor itu meluncur keluar dari halaman rumah menuju jalan utama, memulai perjalanan pagi mereka.

Mobil-mobil berjejer di jalan utama, rupanya macet tak terelakkan. Sepeda motor lain berlomba mencari celah di antara kemacetan. Sabian, dengan keahliannya, berusaha membelah kepadatan. Ia memainkan gas dan kopling dengan cekatan, menyelinap di sela-sela mobil yang bergerak lamban. Angin pagi menerpa wajahnya melalui celah visor, membawa aroma asap kendaraan bercampur udara segar. Sementara itu, di belakang, Alin sesekali bersorak kecil setiap kali motor yang tengah mereka tumpangi itu melaju kencang, atau sekadar berhasil menyalip kendaraan lain.

“Masabi, seru banget kayak naik roket!” teriak Alin, membuat Sabian tersenyum di balik helm. Maklum, anak itu biasa duduk manis di kursi penumpang di dalam mobil, selama Sabian berada di kota lain.

Sepanjang perjalanan, pikiran Sabian tak jarang melayang ke Bianca. Entah, sudah sedalam apa ia menaruh hati kepada perempuan itu, Sabian sendiri tak begitu yakin. Mengantar Alin ke sekolah benar-benar menjadi hal paling impulsif yang Sabian lakukan selama mendekati Bianca. Sabian berharap halaman sekolah Alin dapat menjadi tempat di mana ia bisa mencuri pandang atau—jika beruntung—berbincang sebentar dengan perempuan itu.

Jalanan terasa semakin padat tatkala Sabian dan Alin mendekati perempatan besar. Lampu merah memaksa Sabian menghentikan motor, kaki kirinya menapak aspal untuk menjaga keseimbangan. Di sekitarnya, suara klakson dan deru mesin saling bersahutan tanpa henti. Alin menggeliat di jok belakang, suaranya cemas. “Masabi, kita nggak telat, kan?”

Sabian melirik jam tangannya yang memantulkan bayangan di spion motor. “Masih aman, Lin. Lima menit lagi kita sampai.” Sebetulnya ia sendiri juga cemas, pasalnya sinar matahari sudah semakin hangat. Begitu lampu hijau menyala, ia langsung tancap gas, dan motornya kembali melesat menyusuri celah sempit di antara mobil-mobil yang ada.

Akhirnya, gerbang sekolah Alin terlihat di kejauhan. Sabian memperlambat laju, memasuki area parkir yang sudah ramai dengan orang tua dan siswa kecil yang berlarian. Ia memarkir motor di sudut yang kosong, sebelum akhirnya membantu Alin turun dengan hati-hati, dan melepas helmnya sambil memindai parkiran depan.

Harapannya melambung tinggi. Mobil sedan Bianca yang familier semestinya juga ada di sana. Namun, saat matanya usai menjelajah, hatinya sedikit ciut. Ia sama sekali tak melihat keberadaan mobil itu.

Sabian hanya bisa menghela napas panjang berkali-kali saat ia membawa Alin menuju titik pengantar murid. Begitu matanya tak sengaja melihat ke arah lapangan, ia dapat menemukan eksistensi Cica—adik Bianca yang tengah melambaikan tangan ke arah Alin.

“Alin! Cepet sini!” seru Cica, dengan wajah cerahnya.

Sabian praktis mengerutkan kening. “Lin, Masabi nggak kesiangan, kan, nganternya?” tanyanya, berusaha menyembunyikan rasa kecewa yang perlahan tapi pasti mulai menelan dirinya.

Alin, yang sibuk merapikan seragamnya, menjawab polos, “Kesiangan! Biasanya Alin sampai di sekolah lebih pagi dari ini tau, Masabi.”

Mendengar pertanyaan itu, pundak Sabian praktis merosot. Semangat anak-anak terkadang merugikan orang tua. Kekecewaan terus menggelayut dalam benak Sabian. Ia sudah membayangkan senyum Bianca, atau setidaknya sapaan singkat yang dapat menjadi bahan bakar semangatnya untuk hari ini namun, gagal berkat Cica yang sepertinya ingin sekali datang lebih cepat, bahkan di saat langit masih gelap.

Alin memeluk Sabian tanpa kata, kemudian memintanya berlutut untuk memberi sebuah kecupan singkat sebagai tanda perpisahan. “Alin masuk dulu, ya, Masabi!” serunya, lalu berlari kecil menuju Cica, meninggalkan Sabian yang masih berdiri di sana, merasakan kekecewaan yang begitu mendalam. Namun, sebelum Sabian semakin tenggelam dalam pikirannya, sebuah suara kecil tiba-tiba saja menyapa dengan penuh semangat.

“Masabi!”

Itu Acat, yang tiba-tiba mendekat dengan langkah cepat, seragam sekolahnya rapi dan wajahnya tampak sumringah. Melihat Acat, Sabian tersenyum, agak terkejut lantaran Acat begitu antusias.

“Eh, Cat!” Sabian balas menyapa, sambil memeberikan sebuah usapan lembut pada pucuk kepala anak itu.

Acat tersenyum lebar, lalu kedua matanya berbinar. “Masabi, nanti pulangnya, Acat boleh ikut motor Masabi, nggak?” kata Acat penuh harap.

Mendengar itu, Sabian lantas mengerucutkan bibirnya. “Cat… kayaknya susah. Motor Masabi kan joknya cuma buat dua orang,” kata Sabian, menyesal.

Namun, Acat tak menyerah begitu saja. Dengan wajah polos dan nada penuh semangat, Acat berdiri menggunakan ujung kakinya. “Acat sama Alin, kan, kurus! Kita berdua diitungnya satu orang.” Ia bahkan mengangkat tangannya, seolah menunjukkan betapa “kecil” dirinya.

Sabian nyaris tertawa, namun ia menahan diri. Acat memang punya cara sendiri untuk membujuk, akan tetapi Sabian tahu motornya bukan kendaraan yang aman untuk membawa tiga orang, terlebih lagi, dua di antaranya merupakan anak kecil. “Cat, bukannya Masabi nggak mau, tapi emang nggak bisa. Nggak aman. Nanti aja, kapan-kapan Masabi gantian nganter jemput Acat,” jelas Sabian, nadanya lembut tapi tegas, sengaja menggunakan bahasa sederhana agar Acat dapat mengerti.

Lantas, Acat memasang wajah cemberut. “Tapi, Masabi….”

Sabian menggeleng, tetap pada pendiriannya. Ia mengacak rambut Acat ringan, berusaha menunjukkan bahwa ia benar-benar menolak permintaan Acat namun, tidak bermaksud mengecewakannya.

Mendapat perlakuan itu membuat Acat menghela napas kecil, wajahnya berubah menjadi pasrah. “Yah, ya udah. Tapi, Masabi janji ya, kapan-kapan!” katanya, lalu berlari menuju lapangan untuk bergabung dengan Alin dan Cica. Lagi-lagi menyisakan Sabian seorang diri. Namun, Sabian menghela napas lega. Menolak Acat tanpa membuatnya sedih adalah tantangan tersendiri, terutama karena Acat masih kecil dan penuh semangat.

Sabian kembali memandang lapangan usai kepergian Acat dari hadapannya. Rasa kecewanya akibat gagal bertemu Bianca masih ada, tapi Sabian tak ingin langsung putus asa. Mungkin siang ini, ia bisa datang menjemput Alin lebih cepat atau berangkat lebih pagi di esok harinya agar dapat menemui Bianca dengan kesan kebetulan. Sabian tersenyum lebar, menyadari bahwa masih ada begitu banyak kesempatan untuknya.