Panggilan Tengah Malam
Sabian berbaring di atas ranjang dengan ponsel yang menempel di telinga kanannya. Cahaya lampu tidur yang lembut menerangi wajahnya di dalam kegelapan kamar. Di ujung sambungan telepon, suara Zaid terdengar santai, sesekali diselingi tawa kecil yang khas ketika ia mendengarkan cerita Sabian mengenai seorang perempuan—bernama Bianca—yang ia temui hari ini.
“Dia modis banget, Id,” kata Sabian, suaranya penuh semangat, “Selera fashionnya mantep.” Ia berhenti sejenak, seolah mencari kata yang tepat untuk mendeskripsikan perempuan yang baru saja meninggalkan kesan di benaknya itu.
Zaid yang mendangar itu, lantas menyela, “Gue langsung kebayang, lagi, sama postingan OOTD dia di Instagramnya selama ini,” kata Zaid. Kemudian, tawa kecilnya menggema di telinga Sabian.
“Nah! Persis! Tingkat percaya diri dia tinggi, gue bisa ngerasain itu. Jadi, outfit apapun yang dia pakai, keliatan cocok sama dia.”
“Mukanya secantik itu, kalo nggak percaya diri parah, sih. Nggak mensyukuri apa yang udah Tuhan kasih.”
Lantas, Sabian manggut-manggut tanda setuju, seraya berdeham singkat.
“Lo sama dia, lama nggak ngobrolnya?”
“Lumayan.” Sabian mulai bercerita. “Tapi tadi, pas kita lagi ngobrol santai, tiba-tiba Alin nelepon. Dan, tau? Sepupunya Cudil itu, tiba-tiba nyuruh gue cabut. Dia pikir yang telpon itu temen gue, dan gue ada janji lain? Tanpa drama, tanpa muka cemberut, dia nyuruh gue pergi sambil senyum!”
Zaid tergelak. “Serius?” tanya Zaid penasaran. “Perempuan yang kayak Bianca inilah yang dibutuhin dalam setiap pertemanan laki-laki, Bi!”
Sabian ikut terkekeh, tapi ada nada serius di balik tawanya. “Mulai.” Ia menghela napas, memindahkan ponsel ke telinganya yang satu lagi.
“Maaf, Kak. Siap! Salah!”
Sabian berdeham singkat.
“Terus! Terus! Lanjutin!” Zaid terdengar antusias, seperti sedang mengharapkan lanjutan spoiler dari sebuah film dengan genre kesukaannya.
“Terus gue beneran harus pulang, soalnya orang rumah udah nungguin.” Sabian tersenyum lebar, ketika mengingat kejadian yang masih segar di kepalanya. “Tapi....”
“Tapi apa?”
“Pas kita mau pisah, dia tiba-tiba bilang, kalo dia nggak bawa sepatunya. Dia lupa. Dia pikir udah masukin sepatu gue ke tas, ternyata belum.”
“LAH?! GIMANA SIH MONYET?? BISA-BISANYA KELUPAAN!”
Sabian praktis terkekeh mendengar betapa emosinya Zaid dari kejauhan. “Dia boong. A1 valid! Dia boong, karna dari awal gue dateng, gue udah tau kalo dia bawa tas tenteng yang agak penuh. Dan, gue yakin itu isinya sepatu gue. Dari muka dia pun keliatan jelas kalo dia lagi boongin gue.”
“Tapi, boong buat apa? Bukannya dia sendiri yang kepengen balikin sepatu lo?”
“Dia ngajak ketemu lagi.”
Zaid tak bisa menahan tawanya lagi usai mendengar jawaban Sabian. “Brengsek! Oke banget modusnya!” kata Zaid yang masih tak percaya. “Terus gimana? Lo mau?”
Sabian mengangguk, meski Zaid tak bisa melihatnya. “Iya....”
Hening.
“Gue nggak tau kenapa gue langsung setuju, tanpa pikir panjang. Tololnya lagi, gue udah terlanjur bilang besok bisa. Padahal jelas-jelas besok ada acaranya Alin sama Acat.”
Zaid terdengar menghela napas panjang di seberangsana. “Lo udah kena, Bi. Minta ganti hari aja,” sahutnya.
Zaid memang tahu betul sifat Sabian yang cenderung tak acuh dan sulit membuka hati setelah kegagalan cintanya dengan Ajeng—cinta pertamanya yang berakhir pahit beberapa tahun lalu. Sejak saat itu, Sabian seperti membangun tembok tinggi di sekitar dirinya. Setiap kali ada perempuan yang mendekat—entah dengan cara halus atau terang-terangan—ia selalu menghindar. Bukan karena ia tak mau, tapi karena bayang-bayang Ajeng masih ada. Ia takut mengulang momen tak menyenangkan, seperti saat ia dekat dengan perempuan dari masa lalunya itu.
“Denger, Bi... sebagai temen dan saksi hidup lo, gue seneng banget akhirnya ada satu cewek lagi yang bisa bikin lo tertarik. Gue seneng lo sekarang udah bisa seterbuka ini tentang perasaan lo. Ini pertama kalinya gue denger lo kasih respons positif buat cewek setelah Ajeng. Itu tandanya, lo sendiri sadar kalo ada sesuatu yang bener-bener beda di diri Bianca. Ubah tanggal tuh gampang. Jangan kepikiran buat ngilang gitu aja.”
Mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Zaid, membuat Sabian paham akan situasi dan apa yang tengah ia rasakan saat ini. Kawannya itu memang selalu pintar acapkali membahas perihal dunia percintaan. Zaid sudah seperti Pak Comblang, meski ia sendiri belum pernah memiliki seorang pasangan seumur hidupnya.
Saat Sabian berniat menimpali perkataan Zaid, tiba-tiba saja pintu kamarnya terbuka dari luar. Alin, adiknya muncul sembari memeluk erat sebuah bantal karakter cinnamoroll.
“Masabi.... Alin boleh nggak bobo sama Masabi malem ini? Alin masih kangen....”