Perkara Sepele

Hal pertama yang Sabian lakukan saat menyambut kepulangan Zaid adalah, bertolak pinggang di depan pintu kamar kostan mereka, seraya memasang raut wajah sangar.

“Udah keluar dari akun gue?”

Mendengar itu, Zaid praktis cengangas-cengenges. Ia sih sudah melakukan perintah Sabian sejak masih mengantre nasi goreng dan mie nyemek pesanan Sudirman. Namun, rasa bersalahnya belum juga sirna. Dihadang seperti ini oleh sang empunya akun, tentu saja membuat Zaid salah tingkah.

Zaid melirik ke Sudirman yang sedang berdiri, tak jauh di belakang Sabian. Niat hati ingin minta diselamatkan, dengan dalih mie nyemek titipannya ikut tertahan di depan pintu karena Sabian. Namun, belum-belum, Sudirman sudah lebih dulu menggeleng—seakan ia tak berminat ikut campur dalam huru-hara yang Zaid sebabkan.

“Udah atau belum?” desaknya, lagi.

Zaid berdecak sebal. “Udah, Bi!”

“Pernah nggak, gue pakai akun lo buat macem-macem?”

“Ya, enggak, sih....”

“Terus kenapa lo macem-macem pakai akun gue?” cetus Sabian. Geram.

Sudah lama sejak terakhir kali ia berurusan dengan seorang perempuan, Sabian tak mau terlibat kesalahan pahaman dengan siapapun lagi. Namun, apa yang Zaid lakukan malam ini justru sebaliknya. Tentu saja, hal itu menyulut emosi Sabian.

“Sori, gue nggak bakal ngulangin lagi....” Pundak Zaid merosot. Ia sadar, tak ada kalimat lain, yang pantas untuk dikatakan.

“Sebelumnya lo juga pernah bilang kayak gitu.”

“Kapan?”

“Udah lama. Tapi, intinya omongan sama perbuatan lo nggak sinkron!”

Sabian dapat melihat jelas gerak-gerik Zaid di hadapannya. Mata Si Tengik itu ke atas, seakan-akan ia tengah mencoba mengingat perkataannya di masa lalu, namun, tak kunjung ingat.

“Sek, guys... anu....”

“Nggak inget, kan, lo sama omongan lo sendiri?”

“Guys....” Sudirman menggaruk-garuk pangkal hidungnya yang tidak gatal. Sebenarnya ia malas menengahi Sabian dan Zaid, hanya saja jauh di dalam lubuk hatinya, ia mulai khawatir dengan keadaan mie nyemek yang sampai saat ini masih setia digenggam Zaid.

Oke fine! Gue emang lupa! Tapi, barusan gue udah minta maaf lagi!” seru Zaid, menirukan drama televisi yang akhir-akhir ini acapkali ia tonton bersama Sudirman.

Sabian merotasikan bola matanya. “Percuma minta maaf, kalau selalu diulangin lagi!”

Menjadi saksi keributan dengan perut yang keroncongan, pada akhirnya membuat Sudirman jengah. Lantas, Sudirman berdeham, seraya memposisikan dirinya di antara Sabian dan Zaid yang masih berdiri pegal, di tengah akses depan pintu.

“Ngene, rek. Barangkali perdebatan di antara awakmu, karo awakmu iseh panjang,” Sudirman menyentuh pundak Sabian dan Zaid secara bersamaan. “Saranku, yo, ra usah dilanjut meneh. Soale opo? Soale aku arep mangan cok, jancok! Kesuen! Wetengku ra kuat!” hardiknya.

Mendengar itu, Sabian mengedipkan kedua matanya. Ia bingung harus memberi respons seperti apa. Pasalnya, Sudirman baru saja berbicara menggunakan bahasa daerah.

Usai mengatakan itu, Sudirman langsung meraih sebuah kresek yang Zaid tenteng sejak beberapa saat lalu, kemudian melenggang pergi begitu saja—tanpa berniat mengartikan perkataannya, beberapa saat lalu.

“Barusan dia ngomong apa?” tanya Sabian, begitu polosnya. Perihal kekesalannya pada Zaid itu, kini jadi nomor sekian. Saat ini, yang terpenting adalah, ia tahu apa yang baru saja dikatakan oleh Sudirman.

“Dia bilang, perkara random chat cewek aja dibikin heboh!”

Kening Sabian mengkerut seketika. “Sumpah?” Kedua matanya memicing. Sabian tak langsung percaya begitu saja.

Zaid mengangguk.

“Terus?” timpal Sabian.

“Kita disuruh baikan, demi kesejahteraan bersama.”

Sabian makin tak percaya. Batinnya, tak mungkin Sudirman mau repot-repot meminta ia dan Zaid, agar berdamai. Itu sama sekali tidak seperti Sudirman yang ia kenal.

Namun, Zaid adalah jagonya memutar balikkan fakta di hadapan Sabian. Ia memasang raut wajah serius, seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.

“Lo nggak percaya, Bi?”

Sabian mengangguk.

“Ya, udah.” Zaid mencondongkan tubuhnya. “Kata dia, kalau kita terus ribut... dia mau pindah kamar aja.”

Lalu, detik itu juga, Sabian bungkam. Tanpa Sabian sadari, ternyata ia sudah terlanjur nyaman dengan keberadaan Sudirman di antara ia dan Zaid akhir-akhir ini.