Pulang
Di sebuah pagi nan cerah, Bian dituntun oleh Mama untuk berjalan menuju parkiran rumah sakit. Usai menghabiskan waktu selama empat hari, tiga malam bersama sobat karibnya, Zaid, di dalam bilik kamar inap yang samaーakhirnya Bian diperbolehkan untuk pulang, sama halnya dengan Zaid.
Semalam, selepas hujan mengguyur kota Jakarta dengan derasnyaーPapa datang. Menjenguk Bian yang pada saat itu hanya berteman sepi sebab Zaid sudah terlelap lebih dahulu.
“Papa?” sapa Bian. Masih setengah kaget karena biasanya Om Yudhis lah yang akan menemani dia dan Zaid di malam hari, menggantikan ayahnya Zaid saat siang hari. Tapi nyatanya kali ini Papa yang datang, berbalut jaket tebal dan menenteng sebuah tas besar yang entah berisikan apa.
Papa tidak mengeluarkan suara, tapi dia mendekat. Mengeluarkan sesuatu dari dalam tas yang ternyata adalah baju hangat yang biasa Bian kenakan saat sakit. “Ini titipan Mama, cepet pake!” Begitu kata Papa.
“Tapikan Bian gak lagi masuk angin, Pa?”
Papa kemudian membuang napas kasar. “Udah pake aja,” sahut Papa, “kata Mama itu ada jimatnya, biar cepet sembuh.”
Konyol! Entah apa kolerasinya antara baju hangat dan kaki patah, pada akhirnya Bian hanya bisa pasrah menuruti perintah Mama yang disampaikan melalui Papa. Dan, ya, nyatanya jimat titipan Mama bekerja dengan sangat efektif.
“Nanti begitu sampai rumah langsung tidur, pokoknya istirahat! Gak ada acara kelayapan, Bi. Besoknya kamu sekolah,” kata Papa sembari membukakan pintu mobil untuk Bian, juga Mama.
Kalau dilihat dari gestur Papa, sepertinya sudah tidak semarah saat kali pertama melihat keaadaan Bian di rumah sakit. Namun bukan berarti Papa memaafkan kesalahan Bian sepenuhnya, terbukti dari seberapa dinginnya Papa meski disinari matahari seterik ini. Bian mendengkus, kemudian masuk ke dalam mobil dengan hati-hati dan dibantu Mama.
Sedikit banyak Bian bersyukur dipulangkan hari ini, mengingat minggu depan ada pelaksaan ujian kenaikan kelas yang harus dia dan Zaid lakukan di sekolah. Ngomong-ngomong Zaidーmereka berpisah di pintu keluar sebab, letak kendaraan Papa dan Om Dio cukup berjauhan.
“Mas, kamu udah ambil obatnya Bian?”
“Udah.”
“Kamu udah kruk buat bantu Bian jalー”
“Udah. Udah aku beli, ada di belakang!” seru Papa yang kini tengah fokus mengemudi.
Melihat bagaimana respon Papa barusan, Bian mengatupkan kedua bibirnya seketika. Sementara Mama yang juga duduk di kursi penumpang, di sebelahnya, kini menatap kikuk ke arah Bian. Papa masih sensitif. Bian dan Mama paham akan hal itu. Lantas, sepanjang perjalan keheningan melanda mereka bertiga. Baik Papa, Bian, bahkan Mama sekalipun tak ada yang berniat membuka suara. Bian pikir, mungkin sebaiknya dia cepat-cepat mengambil hati Papa kembali demi kenyamanan bersama.