Ratu Marah Lagi

“Istri kamu gimana?”

“Dia tau aku kesini sama kamu, dan yah—biasa aja. Mungkin karna masih suka bau duit aku.”

Jeffrey meneguk ludah kala mendengar percakapan 2 orang yang duduk tidak begitu jauh darinya. Ia lalu mengelus dada sambil geleng-geleng tak percaya.

“Kamu kenapa, Mas? Mual lagi?” tanya Ratu setengah panik.

“Enggak. Tadi aku kaya denger suara anjing,” sahutnya, sengaja menekankan intonasi pada setiap kata.

Sebenarnya wajar, jika di tempat umum seperti restoran yang mereka singgahi ini, siapapun dapat mendengar obrolan pengunjung lainnya meski tidak disengaja. Toh, si pembicara itu sendiri, memang seolah tidak berniat menyembunyikan pembicaraan mereka. Namun tetap saja, Jeffrey merasa risih. Terlebih lagi, ia datang ke restoran itu bersama Ratu.

Jeffrey harap Ratu tidak mendengar percakapan sampah itu sama sekali.

Ia memang tidak begitu paham soal kehamilan. Tapi Jeffrey tidak bodoh. Ia tahu bahwa kebanyakan ibu hamil akan jauh menjadi lebih sensitif daripada biasanya. Jeffrey takut kalau-kalau istrinya itu merasa tidak nyaman, atau sebagainya.

Rasanya ingin sekali ia melangkah pergi dari sana, namun melihat Ratu yang masih menikmati dessert di hadapannya, membuat Jeffrey mengurungkan niat.

Tidak mudah mengajak istrinya itu keluar rumah, butuh waktu cukup lama bagi Ratu untuk memilih pakaian. Pasalnya wanita itu mengklaim bahwa perutnya sudah mulai membuncit, dan ia merasa kurang percaya diri akan hal itu. Sampai-sampai Jeffrey membutuhkan banyak tenaga untuk merayu, serta membujuk Ratu.

Dipandanginya Ratu yang tengah tersenyum sumringah hanya karena semangkuk es krim rasa stroberi di hadapannya.

Jeffrey menghela hafas panjang.

“Jadi menurut kamu, istri kamu itu udah gak suka sama kamu, dan cuman suka sama duit kamu?”

“Iya. Kabar bagus kan?—

Lumayan lah, jadi punya pembantu pengertian di rumah.”

Brak!

Jeffrey yang sudah muak mendengar kedua, sontak berdiri dan menggeser kursinya dengan sangat kasar.

“Kamu udah selesai belum, Ra? Aku mau pulang!” kata Jeffrey bersungut-sungut.

Melihat wajah suaminya yang mulai memerah itu, lantas Ratu menarik sudut bibirnya. Ia meraih selembar tisu dengan santai, kemudian berdiri.

“Tunggu sebentar.”

Selanjutnya, setelah mengatakan hal itu, Ratu berjalan menuju 2 orang yang menjadi sumber kekesalan Jeffrey malam itu.

“Permisi?” sapa Ratu kemudian tersenyum lebar.

“I—iya? Siapa?” tanya laki-laki yang ia hampiri itu.

“Bukan siapa-siapa, Pak. Saya cuman mau bilang—pertama, saya liat-liat muka Bapak ini gak seberapa. Kedua, saya doain semoga Bapak jatuh miskin ya, biar Bapak sekalian ditinggal sama istri Bapak yang di rumah. Ketiga, sorry tapi—mulut lo berisik banget, kalau ngomong udah kaya pakai toa! Tuh lo liat suami gue sampai gak mood gitu gara-gara mulut lo!” hardik Ratu tanpa memberi lawan bicaranya itu kesempatan untuk menjawab.

Setelah mengatakan hal itu, lantas ia kembali menghampiri Jeffrey.

“Lo gila sih kalau kata gue, Ra.” Sepersekian detik, Jeffrey bergidik ngeri, namun kemudian ia tersenyum bangga. Dirangkulnya pinggang Ratu dengan posesif, sebelum melangkah pergi dari sana. Mengabaikan beberapa pasang mata yang menatap istrinya.

Ratu mendengus sebal. “Pengen aku cabein, Anjir mulutnya!”