Sabian Hilang
Kala itu senyum Papa mengembang sempurna usai mendapat kabar bahagia yang datangnya dari Om Yudhis. Sembari tergesa menuruni tangga, dia meneriaki nama Mama. Larangan yang sempat Om Yudhis katakan tentunya tak berarti apa-apa bagi Papa sebab, dia ingin membagi kebahagian ini secepatnya pada Mama.
Namun tiba-tiba langkahnya terhenti tatkala dia menangkap presensi Mama yang tengah berlarian di dalam rumah sambil memasang ekspresi panik di wajahnya. Kenapa? Seingat Papa, ini belum lama sejak Mama mengirim pesan singkat mengenai Bian yang katanya tengah tertidur, tapi tampak sangat gemas—dengan suasana hati yang sepertinya jauh lebih baik dibanding saat ini. Lalu, tanpa pikir panjang Papa kembali mengambil langkah menuruni sisa anak tangga yang ada.
“Kenapa, Ra?” tanya Papa, masih sambil berjalan mendekat sebelum akhirnya dia sadar kalau ternyata diam-diam air mata mama merembes dari sudut-sudut matanya.
“Mas—Bian gak ada. Aku udah cari ke mana-mana, tapi tetep gak ketemu, Mas.”
Kening Papa sontak mengernyit. “Bukannya lagi tidur di kamar?” tanya Papa memastikan, lalu dibalas gelengan cepat oleh Mama.
“Tadi aku ngerasa mau liat Bian lagi di kamarnya, tapi begitu aku liat, cuman ada guling sama bantal yang ditutupin selimut—Mas ... Bian ke mana?”
Mendengqr sedikit kesaksian Mama barusan mampu membuat degupan jantung Papa bekerja lebih cepat. Lantas, dengan langkah besar-besar Papa menuju pintu kamar Bian.
Brak!
Suara benturan pintu dan dinding kamar Bian agaknya mampu memekakan telingan siapapun yang mendengarnya. Dan, benar. Hening, sebab tidak ada siapa-siapa di dalam kamar Bian. Kemudian, mata Papa terpejam untuk beberapa saat. Seketika perasaan cemas yang berlebihan menjalar di sekujur tubuh Papa. Di antara bayang-bayang kenakalan Bian, Papa mencoba menormalkan kembali deru napasnya.
“Telpon Bian—” Belum usai perkataan Papa, gestur Mama menujuk ke arah sebuah nakas lebih dahulu menginterupsi.
“Hp-nya dia tinggal. Tadi sebelum kamu suruh, aku udah coba telpon dia.”
Butuh waktu setidaknya dua menit bagi Papa untuk mencerna apa yang sebenarnya tengah terjadi di sini. Guling yang sebelumnya sengaja ditutupi selimut, ponsel yang sengaja tidak dibawa oleh Bian, serta kepergian yang terkesan mendadak bahkan tanpa sepatah pun kata pamit. Di sisi lain, Mama semakin cemas. Jelas, memangnya ibu mana yang tidak akan seperti ini kalau anaknya menghilang tiba-tiba?
Papa meraih ponsel Bian tepat sebelum memutuskan untuk keluar dari kamar itu. Suara debaman pintu yang Papa pukul begitu keras, spontan mengejutkan Mama.
“Budhe Lasih!?” panggil Papa pada seorang asisten rumah tangga yang memang sudah bekerja di sana sejak lama.
Budhe Lasih sontak beringsut, sambil menenteng ujung dasternya yang usut punya usut begitu kebesaran. “I—iya, Pak?” sahut Budhe Lasih setengah gugup. Pasalnya Papa jarang sekali memanggil namanya dengan nada tinggi seperti yang baru saja Papa lakukan. Mungkin pernah, tapi dulu sekali. Terlebih biasanya Papa menghormati Budhe Lasih sebagaimana Papa menghormati orang tua lainnya.
“Budhe liat Bian?” tanya Papa to the point.
Kemudian dengan berat hati Budhe menggeleng. Wong, sejak pagi Budhe sibuk berkutat di dapur, dan menyetrika segunung pakaian yang sudah usai dijemur. “Saya gak liat, Pak,” jawab Budhe Lasih jujur.
Tak lama, Mama menyusul ke luar. “Mas, ayo lapor ke polisi.” Sambil menunduk dalam-dalam, Mama mengusap sudut matanya.
“Gak perlu. Polisi gak terima laporan tentang anak kabur dari rumah.” Lalu, Papa menjulurkan tangannya. Menyerahkan ponselnya pada Mama. “Kamu tau gak pola HP-nya?” tanya Papa. Sebab, kebetulan Papa tidak tahu-menahu perihal pola maupun sandi ponsel milik Bian. Namun, sayangnya Mama juga kurang memperhatikan acapkali Bian memainkan ponsel di dekatnya.
“Aku gak tau, Mas.” Suara Mama berbisik. Mungkin takut kalau-kalau dianggap tidak peduli soal anak mereka satu-satunya.
Melihat bagaimana Mama sekarang, membuat Papa merasa ikut bersalah. Sebeb, pada dasarnya Mama itu cengeng—maka sudah pasti akan terbawa suasana dan berakhir menangis seperti ini. Padahal jelas-jelas menghilangnya Bian ini adalah salah satu bentuk kenakalannya yang lain, tapi Mama terlalu naif. Dengan langkah kecil, Papa mendekat. Menarik Mama masuk ke dalam pelukan.
“Udah jangan nangis. Coba kita tanya ke temen-temennya dulu.”