Satu Payung Untuk Kita

Bianca mengemudi mobil sedannya menuju sekolah, tempat Cica belajar. Membelah kepadatan kota di bawah hujan dengan intensitas ringan.

Jam di dashboard mobil menunjukkan pukul sebelas siang, ketika Bianca memarkirkan mobilnya di area parkir sekolah. Ia mematikan mesin, memeriksa ponselnya sebentar, lalu menghela napas sambil menatap langit dari balik kaca mobil. Awan-awan tebal masih bergulung di atas sana. Menutupi sinar matahari yang semestinya hangat. Rintik hujan masih setia turun membasahi jalan.

“Untung ada payung,” gumamnya, merasa lega. Cuaca Jakarta memang sulit diprediksi. Selalu sedia payung di dalam mobil, sebelum hujan, adalah langkah terbaik. Bianca meraih payung lipat hitam yang selalu ia bawa ke mana-mana. Pengalaman terjebak hujan tanpa payung, membuatnya belajar untuk selalu siap.

Bianca memutuskan untuk turun dari mobil dan menjemput Cica langsung di area penjemputan siswa, namun tepat sebelum membuka pintu mobil, matanya menangkap sosok yang berjalan dari arah parkiran menuju gerbang sekolah.

Sosok itu tinggi, mengenakan jaket hitam yang tampaknya basah karena hujan. Langkahnya cepat namun santai, seolah rintik air hujan tak terlalu mengganggunya. Bianca langsung mengenali sosok itu—Sabian—meski dari kejauhan. Ia tersenyum kecil, tak menyangka akan bertemu laki-laki itu di tempat ini. Dengan gerakan cepat, Bianca membuka pintu mobil, keluar, dan membuka payungnya lebar-lebar. Hujan terus jatuh ke aspal, mengisi genangan-genangan kecil di trotoar yang baru tercipta beberapa saat lalu.

Bianca berlari kecil menuju Sabian, payung di tangan kanannya sedikit miring karena angin yang cukup kencang. “Sabian!” teriaknya, suaranya nyaris tenggelam oleh bunyi air yang jatuh ke atas payung itu.

Sabian menghentikan langkahnya, memutar tubuh, dan matanya bertemu dengan pandangan Bianca. Ada sedikit keterkejutan di wajahnya, meski segera tergantikan oleh senyum tipis yang hangat. “Bianca?” Suaranya rendah, namun cukup jelas di tengah hujan. Rambutnya yang sedikit panjang sudah basah, beberapa helai menempel di dahinya.

Bianca mendekat, mengangkat payung hingga menutupi mereka berdua. “Jemput Alin?” tanyanya, membuka percakapan.

Laki-laki itu tersenyum kecil, tampak sedikit senang, lalu mengangguk. Mereka mulai berjalan beriringan menuju area penjemputan siswa, payung besar itu melindungi mereka dari hujan gerimis di area sekolah, siang ini.

“Kehujanan dari mana?”

“Lampu merah,” sahut Sabian.

“Astaga….”

Jarak di antara mereka terasa begitu dekat. Sesekali lengan mereka saling bersentuhan, tanpa sadar. Bianca dapat mencium aroma samar parfum Sabian yang entah kenapa membuatnya sedikit salah tingkah. Ia mencuri pandang ke arah Sabian, memperhatikan rahangnya yang tampak mengeras, mungkin kedinginan.

“Jaket lo basah banget, Sabian. Nggak ada jas hujan?” katanya setelah beberapa langkah, suaranya penuh perhatian.

“Ada, tapi lupa bawa.”

“Di mobil, ada jaket ayah gue, tuh, kering kok. Pakai aja nanti, daripada lo kedinginan.”

Sabian menggeleng, tersenyum lagi. “Nggak usah. Nanti juga kering.”

Bianca hendak memprotes, namun sebelum ia sempat berkata apa-apa, tiga sosok kecil muncul dari arah aula sekolah. Cica, Alin, dan Acat berjalan bersama. Di antara ketiganya, Alin menjadi satu-satunya yang memakai jas hujan.

Cica melambai penuh semangat begitu melihat Bianca, berlari kecil tanpa takut terpeleset oleh sisa air hujan. “Mbak!” serunya, suaranya ceria seperti biasa.

Bianca mendekat, kemudian membungkuk, memeluk adiknya sambil meletakkan payung di samping anak itu.

“Hai, Alin!” sapa Bianca pada Alin yang kini berdiri tak jauh dari Sabian, lalu beralih ke Acat. “Hai, Acat!” timpalnya.

Acat, yang biasanya hanya diam acapkali bertemu Bianca, kali ini tampak lebih bersahabat. Ia tersenyum lebar. Matanya berbinar, seolah menyimpan rahasia. “Kalian abis pakai satu payung buat berdua?” tanyanya tiba-tiba. Terdengar polos tapi penuh rasa ingin tahu. Pertanyaan itu begitu mendadak hingga membuat Bianca terkejut. Ia melirik Sabian, yang hanya tersenyum kecil sambil mengacak rambut Alin yang basah.

Menyadari bahwa Sabian tampaknya tak berniat menutupi apa yang ada di antara mereka, lantas Bianca berdeham singkat. “Iya, tadi nggak sengaja liat Masabi. Kasian dia, kehujanan di tempat parkir,” jawab Bianca, berusaha terdengar santai meski wajahnya sedikit memanas. Ia tak menyangka Acat akan begitu perhatian pada detail kecil seperti ini.

Tiba-tiba, Cica, Alin, dan Acat saling pandang, lalu tertawa kecil. Tawa mereka penuh makna, seolah mereka tahu sesuatu. Sementara itu, Sabian seperti tengah menikmati momen ini dengan diam seribu bahasa sambil tersenyum culas.

“Kalian ngetawain apa, sihq?” kata Bianca, pura-pura kebingungan dengan nada bicaranya yang main-main.

Sebelum trio kecil di hadapannya itu memberi jawaban, sebuah mobil SUV hitam berhenti di dekat mereka. Jendela mobil itu terbuka, dan sosok seorang perempuan yang tampak lebih tua dari Bianca melambaikan tangan ke mereka. “Bi?” sapanya.

Bianca mendelik. Berusaha mengingat-ingat di mana ia pernah bertemu orang itu sebelumnya, dan bagaimana bisa orang itu mengetahui namanya, namun detik kemudian Sabian mengambil langkah yang mantap di depan Bianca.

“Eh, tumben kamu yang jemput Alin?”

Sabian hanya terkekeh. Alih-alih menjawab pertanyaan, ia justru memberikan salam pada perempuan itu.

“Ibu!” pekik Acat.

Sesaat setelah mendengar itu, Bianca praktis menutup mulutnya menggunakan kedua tangan. Usut punya usut, ‘Bi’ yang baru saja ia dengar, ditujukan untuk Sabian. Dalam keterdiamannya, Bianca tertawa, ia baru ingat. Sapaan nama mereka sama persis, mungkin ini pertanda bahwa mereka benar-benar ditakdirkan bersama, pikirnya.

Acat berlari menuju mobil ibunya, namun sebelum masuk, ia menoleh ke arah Bianca dan Sabian. “Bu, yang cantik itu pacarnya Masabi. Beneran!” serunya, lalu cepat-cepat masuk ke mobil sebelum Bianca atau Sabian sempat menjawab. Ibunya tampak tertawa, mengangguk ke arah mereka.

“Cocok!” Kata itu lolos begitu saja dan terdengar sangat jelas di telinga Bianca. Membuat jantungnya berdebar seketika.

“Ibu duluan ya! Kalian hati-hati pulangnya!” timpal ibu Acat.

Sabian mengangguk paham, lalu melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan yang sementara. Tak butuh waktu yang lama, kaca mobil itu kembali tertutup, sebelum akhirnya melaju meninggalkan area sekolah.

Hujan mulai reda, hanya menyisakan gerimis halus yang hampir tak terasa. Sabian menoleh ke Alin, yang masih berdiri di sampingnya sambil memainkan ujung mantel hujannya.

“Pulang, Lin?” tanya Sabian, meski ia tahu bahwa sudah semestinya seperti itu.

“Iya, Masabi, ayo kita pulang juga!”

Yang selanjutnya Sabian lakukan adalah meraih tangan Alin “Ayo!” sahutnya, kemudian mengalihkan atensinya pada Bianca. “Makasih ya, payungnya. Gue balik duluan.” Ia mengatakan itu dengan tulus.

“Tunggu dulu,” kata Bianca cepat, menarik lengan Sabian sebelum pria itu berbalik sepenuhnya. Sabian berhenti, menatapnya dengan ekspresi penasaran. “Jaketnya. Gue serius, Sabian. Takutnya besok lo sakit gara-gara kehujanan,” sambungnya, nadanya tegas tapi penuh perhatian.

Sabian hendak menolak lagi, namun Bianca sudah lebih dulu berjalan menuju mobilnya sembari melipat payung menyelamatkan mereka beberapa saat lalu, mengabaikan Cica dan Alin yang tengah mengsam-mengsem. Kedua anak perempuan itu mengikuti Bianca di belakangnya sambil berbisik dan terkikik.

Di parkiran, Bianca membuka pintu belakang mobilnya, meraih jaket abu-abu milik sang ayah yang terlipat rapi di atas kursi penumpang. Jaket itu besar, tapi kering dan hangat—sempurna untuk menggantikan jaket basah milik Sabian.

“Nih,” kata Bianca, seraya menyerahkan jaket itu ke Sabian. “Jangan nolak lagi, ya. Tenang aja, cuma jaket, ayah gue nggak akan marah, kok.”

Sabian hanya dapat menghela napas pasrah, dan akhirnya menerima jaket itu dengan senyum kecil. “Oke, oke. Makasih, Bi. Besok gue balikin, ya,” katanya, lalu melepas jeket basahnya dan memakai jaket kering milik ayah Bianca itu. “Besok lo yang jemput Cica, lagi?” Sabian memastikan.

Bianca mengangguk mantap. “Iya, gue nganter jemput Cica,” sahutnya.

Meski jaket milik sang ayah sedikit tua, namun entah kenapa Bianca merasa Sabian terlihat baik dengan jaket itu. Bahkan, untuk sesaat, ia tak mampu mengalihkan pandangan.

“Ih, cocok di elo,” katanya tanpa sadar, lalu buru-buru mengalihkan pandangan saat menyadari Sabian menatapnya dengan senyum yang lebih lebar dari sebelumnya.

Cica dan Alin, yang berdiri tak jauh dari mereka, saling menatap dengan ekspresi tak percaya. “Mbak aku sama Masabi kamu kayaknya deket banget, ya,” bisik Cica ke Alin, cukup keras hingga Bianca dapat mendengarnya. Sementara itu, Alin mengangguk antusias.

Bianca berdeham, berusaha menyembunyikan rasa malu dalam benaknya, lalu menarik lengan Cica dan membuatnya masuk ke dalam mobil secara paksa. Membuat anak itu sedikit meronta.

Ia menoleh ke Sabian, yang kini sudah siap berjalan bersama Alin. “Gue pulang duluan, ya, Masabi.”

Sabian mengangguk, menggandeng tangan Alin ketika Bianca menaiki mobilnya dan duduk di kursi pengemudi.

“Makasih, ya! Bye-bye, Mbak! Bye-bye, Cica!” pekik Alin.

Hujan berhenti, meninggalkan udara segar dan aroma tanah basah yang khas setelah hujan. Di dalam mobil, Bianca menyalakan mesin, tapi sebelum ia menekan pedal gas, Cica yang duduk di kursi sebelahnya tiba-tiba berseru, “Mbak, kamu sadar nggak tadi Masabi senyum-senyum terus, lho, setiap kali kamu ngomong!”

“Masa, sih?” tanya Bianca, berusaha terdengar santai. Namun, di dalam hati, ia tak bisa menyangkal bahwa ada sesuatu di senyum Sabian tadi—sesuatu yang membuat hatinya sedikit berdebar. Momen di bawah payung, tawa anak-anak, dan jaket ayahnya yang kini dipakai Sabian terasa seperti akan sulit dilupakan.