Sebuah Titik Paling Awal di Antara Kita
Sore itu, langit biru membentang luas di atas kepala Bianca. Embusan angin mengusap wajahnya, membawa aroma rumput segar yang bercampur dengan harum samar dari tumbuhan mawar di halaman rumah Sabian. Bianca menggenggam tangan kecil Cica, adiknya, yang melompat-lompat dengan riang di sampingnya, sepatu ketsnya mengeluarkan bunyi kecil setiap kali menyentuh aspal. Gadis kecil itu bersenandung pelan, matanya berbinar penuh semangat lantaran akan segera bertemu Alin dan Acat, kedua adik Sabian. Melihat betapa senangnya sang adik, Bianca menarik sudut bibirnya. Namun, di balik senyum tipis yang Bianca lemparkan pada Cica itu, ada gejolak halus yang berputar di dadanya—campuran antara perasaan gugup, harapan, dan sesuatu yang sulit ia definisikan.
Mereka tiba di area depan rumah Sabian, sebuah teras yang begitu luas yang di sisi kanan dan kirinya terdapat beberapa pot tanaman kecil yang daunnya bergoyang apabila tertiup angin. Bianca tak bisa menahan diri untuk tidak memikirkan Sabian, laki-laki yang beberapa hari lalu ia temui di sebuah kafe kecil yang letaknya tak jauh dari rumah ini. Pertemuan itu singkat—hanya diisi dengan obrolan ringan, seperti pertemuan sebelumnya —akan tetapi ada sesuatu dalam cara Sabian tersenyum terakhir kali, dengan sudut bibirnya yang sedikit naik dan matanya yang hangat, yang membuat jantung Bianca berdegup tak beraturan. Kini, dengan alasan mengantar Cica, akhirnya ia dapat kembali menemui laki-laki itu, dan setiap langkah terasa seperti membawanya lebih dekat pada sesuatu yang tak bisa ia jelaskan.
Jantung Bianca berdetak lebih kencang saat melihat pintu kayu berukir sederhana di hadapannya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, sebelum jarinya menekan bel dengan hati-hati. Suara denting lembut itu terdengar. Lalu, tak lama kemudian pintu terbuka perlahan, dan di sana berdiri Sabian. Untuk sesaat, dunia Bianca seolah berhenti. Rambut laki-laki itu sedikit berantakan, mungkin karena angin atau karena ia baru saja berlari dari dalam rumah, tapi itu justru membuatnya terlihat lebih nyata, lebih manusiawi. Matanya menyipit sejenak saat cahaya sore menerpa wajahnya, lalu melebar penuh kejutan dan kehangatan saat melihat Bianca. Senyumnya muncul, kecil tapi tulus, dan Bianca merasa wajahnya memanas tanpa bisa ia kendalikan.
“Bianca?” sapa Sabian, suaranya terdengar sedikit serak, seolah ia juga sedang berjuang melawan rasa gugup yang sama. “Lo yang nganter Cica?”
Bianca membalas dengan senyuman yang ia harap tak terlihat terlalu canggung di mata Sabian. “Masabi… iya, nih, soalnya kebetulan di rumah cuma gue yang pengangguran.”
Sabian terkekeh, kemudian mengalihkan pandangannya ke Cica, lalu dengan gerakan yang lembut ia menyentuh kepala anak kecil itu. “Hey, Cica! Alin sama Acat udah nunggu kamu di dalam. Masuk aja!” katanya dengan nada penuh semangat, seolah ingin membuat Cica merasa diterima seketika.
Cica tersenyum lebar—gigi depannya yang baru saja tanggal terlihat menggemaskan—lalu mengangguk cepat. Namun, belum juga Cica sempat melangkah masuk, dari dalam rumah terdengar langkah kecil yang tergesa, Alin muncul dengan rambut panjangnya yang terurai dan berantakan. Gadis kecil itu langsung menyambar tangan Cica dengan penuh semangat, mengajaknya masuk sambil berteriak, “Ayo, kita main di kamar!” Di belakangnya, Acat mengikuti dengan langkah pelan, matanya yang besar dan polos hanya mengintip dari balik dinding, seolah ia penasaran tapi terlalu malu untuk menampilkan dirinya di hadapan Bianca kala itu. Menyadari hal itu, Bianca praktis terkikik geli. Sepertinya Acat masih belum bisa melupakan kejadian di hari ulang tahun mereka.
“Ayo masuk,” ujar Sabian sambil menggaruk tengkuknya, nada suaranya ringan namun ada sentuhan malu di dalamnya.
Bianca mengangguk, lalu melangkah masuk saat Sabian mempersilakannya dengan gerakan tangan yang sedikit kikuk. Di dalam, rumah Sabian terasa seperti pelukan hangat dari keluarga yang penuh kehidupan. Dindingnya dihiasi foto-foto keluarga dalam bingkai kayu berbagai ukuran. Samar-samar aroma masakan yang menggoda, datang dari dapur. Bianca baru ingat bahwa malam ini adalah malam tahun baru, dan keluarga Sabian sudah merencanakan perayaan sederhana dengan membakar jagung di halaman rumah mereka. Sabian menjelaskan itu dengan nada santai dan begitu singkat, tapi ada kilau kecil di matanya.
“Duduk,” kata Sabian sambil menunjuk sofa empuk di ruang tamu, suaranya lembut namun ada nada gugup yang terselip di dalamnya. “Gue mau ambil minum.”
Bianca mengangguk dan duduk, matanya berkeliling mengamati ruangan yang terasa begitu hidup. Ada tumpukan buku anak-anak di sudut dekat tangga, beberapa mainan yang tercecer, dan suara tawa samar dari arah kamar tempat Cica, Alin, dan Acat bermain. Sabian kembali tak lama kemudian dengan dua gelas air dingin yang berembun kecil di dinding gelasnya. Lalu, mereka mulai mengobrol. Awalnya, percakapan terasa kaku—kalimat pendek, tawa kecil yang dipaksakan—tapi perlahan, kata-kata mulai mengalir seperti air yang menemukan celah di antara bebatuan.
“Nggak nyangka, ternyata pertemuan kita yang selanjutnya bukan di kafe mana pun, tapi justru di rumah gue,” kata Sabian tiba-tiba, suaranya turun menjadi bisikan yang penuh perasaan, membuat Bianca tersentak.
Bianca merasa pipinya memanas, jantungnya berdetak lebih cepat hingga ia khawatir Sabian bisa mendengarnya. Ia menunduk sejenak, jari-jarinya memainkan ujung bajunya, mencari kata-kata yang tak akan membuatnya terdengar terlalu canggung. “Iya, ya? Padahal tadinya udah sempet kepikiran mau ngajak ke kafe di Jakarta Pusat,” jawabnya, suaranya pelan, hampir tenggelam dalam keheningan yang tiba-tiba menyelimuti mereka.
“Hari ini?”
Kemudian, sebuah tawa ringan lolos dari bibir Bianca, “Nggak, nggak! Baru kepikiran aja maksudnya.”
“Ohh....”
“Jauh banget mesti di Jakarta Pusat, kenapa?”
Bianca mengangkat pundaknya. “Ada kafe, kopi sama pastrynya enak banget. Gue pengen ngajak lo buat cobain itu—eh, tapi kayaknya lo udah pernah ke kafe itu, deh....”
“Enggak. Gue di Jakarta sebenernya jarang ngopi. Apalagi sampai harus ke kafe gitu.”
“Masa, sih? Kenapa? Gue pikir seenggaknya lo nongkrong di kafe.”
“Bokap gue kebetulan suka minta ditemenin minum teh herbal aromatik.”
Bianca kontan menutup mulut. “Gue juga! Gue suka teh tubruk! Aroma melati!”
“Nah, itu dia yang disebut serupa tapi tak sama, Bi.” Usai berkata demikian, Sabian mengulum senyumannya, dan untuk sesaat, dunia seolah hanya milik mereka berdua. Ada rasa malu-malu yang menggantung di udara, seperti benang tipis yang siap putus kapan saja. Untungnya, suasana itu pecah saat Mama Sabian tiba-tiba saja muncul dari dapur. Dengan membawa energi yang hangat dan ramah, ia langsung menyapa Bianca seolah mereka sudah berteman lama.
“Wah, Bianca lagi! Kayaknya hari ini kamu lebih cantik dari yang terakhir kali Tante liat,” ujar Mama Sabian dengan nada ceria, matanya berbinar penuh kehangatan.
Bianca tersenyum kikuk, melirik Sabian yang langsung memalingkan wajahnya dengan pipi memerah. “Iya, Tante. Makasih, lho, Tante lebih cantik aku,” jawabnya, berusaha menutupi rasa malu yang tiba-tiba saja menyerang.
“Bunda kamu sehat?”
“Sehat Tante, kebetulan lagi keluar sama Ayah.”
“Pacaran, tuh,” balas Mama Sabian, lalu menepuk tangan dengan semangat. “Oh iya, nanti malam kita mau barbekuan di halaman. Ikut ya, Bianca?”
Alih-alih langsung menjawab, Bianca lebih dulu melirik ke arah Sabian. Ia sedikit khawatir kalau kehadirannya di acara perayaan malam tahun baru di rumah ini, hanya akan merusak suasana dan mengganggu kenyamanan Sabian. “Aduh, Tante, jangan ajak aku. Aku makannya banyak!”
“Habisin aja kalo bisa,” timpal Sabian yang seketika membuat mamanya tertawa. Bianca tahu dari sorot matanya—Sabian tengah mencoba meledeknya.
“Iya, ih,” Mama Sabian menyentuh punggung Bianca dengan lembut. “Badan sekecil ini ngaku-ngaku kalo makannya banyak. Mana ada yang percaya? Udah ikut kumpul aja sama kita.”
Lantas, tak ada alasan lain untuk menolak, terlebih lagi Sabian sendiri tampaknya juga menginginkan ia ada di sini. Bianca sengaja membuat gestur malu-malu, seraya menganggukkan kepalanya.
Mama Sabian tertawa renyah, suaranya menggema di ruang tamu, lalu mengajak Bianca ke dapur, melihat-lihat persiapan untuk nanti malam. Tak ada perasaan sungkan yang menyelimuti Bianca tatkala ia berada di dekat Mama sabian. Mulai dari tepukan di pundak hingga usapan lembut di atas kepala, ia terima dengan sukarela. Jujur saja Bianca sudah terlanjur merasa begitu nyaman sejak memulai obrolan.
Sabian yang mengamati dari kejauhan hanya bisa tersenyum, ada rasa senang sehangat matahari yang menjalar di dadanya. Ia tak menyangka Bianca dapat begitu cepat berbaur dengan mamanya, yang meski dikenal sangat cerewet dan penuh kasih sayang—ia juga seseorang yang sangat pemilih soal lawan bicara. Tawa mereka berdua terdengar seperti melodi sederhana yang mengisi rumah sore itu, dan Sabian merasa ada sesuatu yang bergetar di dalam dirinya—sebuah harapan yang kini semakin besar.
Tak lama kemudian, Papa Sabian muncul sembari membawa beberapa kantong plastik di tangannya, aroma mobil dan udara dari luar ikut terbawa masuk. Bianca yang mulanya duduk di sebuah kursi, langsung bangkit, berniat menawarkan bantuan dengan nada yang tulus, meski kenyataannya Sabian lebih dahulu meraih kantong-kantong itu dari tangan papanya seraya berkata, “Ini berat.”
Sabian hanya bisa menggelengkan kepala, baginya Bianca terlalu aktif dan inisiatif. Ia bahkan tak ragu untuk mendekatkan diri pada sang papa. Sebetulnya keinginan Bianca untuk menjadi bagian kecil di hidup Sabian tampak sangat jelas dan nyata. Hal itu bukan seperti yang Sabian inginkan. Ialah yang ingin terlihat tengah mendekati Bianca, bukan malah sebaliknya.
Sore itu mulai merangkak menuju senja, kemudian senja berganti malam. Bianca duduk di sebuah kursi taman yang ada di halaman belakang. Ia mencoba fokus pada suara tawa samar Cica dan adik-adik Sabian yang terdengar dari dalam rumah, tapi pikirannya terus kembali pada Sabian—laki-laki yang kini berdiri di samping papanya, tertawa dan sesekali mengganggu sang papa yang tengah membalik sosis bakar di hadapannya.
Seakan sadar tengah diperhatikan dari kejauhan, Sabian tiba-tiba saja menoleh. Ia melangkah mendekat, langkahnya pelan seolah ia sedang mempertimbangkan setiap gerakan. Matanya sesekali melirik Bianca, lalu cepat-cepat beralih ke arah lain, seolah takut tertangkap basah sedang menatap terlalu lama.
“Kurang seru, ya?” tanya Sabian, suaranya lembut tapi ada getaran halus yang terselip, mungkin karena gugup.
Bianca menggeleng kecil, dan melempar senyum, meski jantungnya berdetak lebih cepat saat aroma parfum Sabian tak sengaja memenuhi indera penciumannya.
“Masabi,” ucap Bianca, suaranya hampir tersangkut di tenggorokan. Rasa sejuk angin malam menusuk ke dalam tubuhnya, tapi tak cukup untuk meredakan panas yang mulai menjalar di pipinya.
Sabian duduk di kursi yang sama, di sebelahnya. “Kenapa?”
“Selama lo di Surabaya, lo kangen nggak sih sama keluarga lo?” Bianca melempar pandangannya pada kedua orang tua Sabian yang kini tengah saling merangkul satu sama lain. “Maksud gue… keluarga lo ini hangat banget. Lo pernah kangen ada di tengah-tengahnya kayak hari ini, nggak?”
Sabian tak langsung menjawab, ia memandangi langit yang bertabur bintang di atas kepalanya terlebih dahulu, seraya tersenyum. “Sering. Setiap orang yang ninggalin keluarganya dan pergi jauh ke luar rumah pasti ngerasa gitu. Emangnya… lo, enggak?”
“Gue?”
“Hmm!”
“Gue tuh biasanya kelayapan. Gue deket sama Ayah dan Bunda tapi kayaknya nggak sedeket lo sama kedua orang tua lo. Jadi, perasaan kangen itu ada, tapi ya so so…. Setelah ngeliat interaksi lo sama keluarga lo, gue jadi mikir….”
“Mikir apa?” Sabian menatap Bianca.
“Gue kayaknya pengen lebih mendekatkan diri sama keluarga gue, deh, setelah ini.”
Mendengar itu Sabian tertawa kecil, suaranya ringan dan hangat. Sabian mengangguk, matanya kini berani menatap Bianca lebih lama, ada kilau kecil di dalamnya yang sulit ia sembunyikan. “Gue juga jadi mikir…. Kayaknya nanti pengen lebih sering pulang ke Jakarta kalo liburan.”
“Next time, mau nggak pulang pergi bareng?” tanya Bianca begitu spontan, dan seketika wajahnya memerah, seolah ia baru menyadari apa yang baru saja ia ucapkan.
“Mau, tapi temen gue ngekor—satu orang.”
Bianca merasa jantungnya melonjak, wajahnya terasa panas hingga ia harus menunduk lagi, berpura-pura sibuk menatap ibu jari kakinya. “Nggak apa-apa. Nggak masalah. Gimanapun juga lo sama Zaid, kan, nggak bisa dipisahin,” balasnya, lalu tertawa kecil untuk menyamarkan rasa gugup yang membuncah di dadanya.
Sabian ikut tertawa, suaranya sedikit lebih lega sekarang. Kemudian, ia tampak seperti tengah mengetikkan sesuatu di layar ponselnya. Membuat suasana kembali hening untuk beberapa saat.
“Bianca….”
Bianca praktis menoleh hingga rambutnya tak sengaja tersibak, “Ya???”
“HP lo mana?” tanya Sabian.
“HP gue?” Bianca langsung cepat-cepat merogoh saku celananya demi mengeluarkan benda pipih itu. “Nih, ada!” katanya sembari mengangkat ponselnya di depan wajah Sabian.
Kemudian, Sabian seolah memerintahkan Bianca untuk memeriksa pesan masuk pada ponselnya hanya dengan menggunakan gerakan dagunya yang terangkat.
“Kenap—????”
Seketika tak ada kata yang dapat Bianca katakan tatkala netranya menatap layar ponselnya, membaca pesan yang pengirimnya adalah laki-laki di sebelahnya.