Sekarang Asing, Ya?

Layaknya kumpulan benang jahit yang saling melilit satu sama lain, wajah Bian kusut. Tadi saat jam pelajaran terakhirーGeografi lintas minat, sialnya para murid diberi tugas mencatat sedikitnya dua belas halaman sebelum berhadapan dengan ulangan kenaikan kelas, minggu depan. Bian yang praktisnya sebagai penyebab kemalangan yang menimpa tangan kanan Zaid, lantas mau tak mau harus bertanggung jawab. Sebanyak, total dua puluh empat halaman dia tulis tangan. Pulang terlambat pun menjadi jalan keluar paling aman, sebab Bian harus mengumpulkan buku tulis miliknya, juga milik Zaid ke ruang guru sebelum sekolah di tutup.

Ngomong-ngomong soal Zaid. Bocah laki-laki itu sudah pulang lebih dulu. Bukan karena kadar kesetiawanan Zaid mulai berkurang, melainkan karena Bian lah yang memintanya. Hitung-hitung sebagai penebusan dosa, dan upaya mengambil hati orang tua Zaid kembaliーterutama mamanya.

“Sabian?”

Bian yang baru melangkah keluar dari ruang guru dengan susah payah, spontan menoleh saat namanya di panggil. Rupanya itu adalah sang wali kelas yang berdiri tidak terlalu jauh di belakangnga.

“Saya?” kata Bian memastikan.

“Iya, Sabian Aditama!” Kemudian, dari belakang sang wali kelas, Bian dapat menangkap presensi Ajeng.

Bian mengangguk, sebelum akhirnya mendekat. Kembali memasuki ruang guru tersebut.

“Ini kan jadwalnya Ajeng kasih laporan kas ke saya, terus saya liat ... ternyata ada satu orang yang belum bayar. Iya, kamu.”

Lantas kening Bian berkerut seketika. Seingatnya, perihal uang kas ini sudah dia titipkan pada Zaid sebelumnya. Dengan tampang penuh kebingungan, Bian melempar tatapan pada Ajengーperempuan yang belakangan ini sangat dia hindari. “Gue nitip ke Zaid, dia gak bayarin?” katanya sedikit berbisik.

Ajeng menggeleng mantap. “Zaid bayar punya dia sendiri.”

“Anjー” Bian menarik napas panjang. Orang gila mana yang berani mengumpat di depan wali kelas? Bian yakin kalau ini adalah satu dari sekian banyak kejailan yang biasa kawannya itu lakukan. Tapi kenapa harus ada sangkut pautnya dengan Ajeng dan sang wali kelas?! Bocah itu mendengkus kemudian, sebelum berakhir pasrah dan merogoh ke dalam sakunya.

“Ini ya ... dua puluh, kan?” Bian berkata dengan pasrah.

Sementara itu Ajeng mengangguk seraya meraih lembar uang kertas bernilai dua puluh ribu rupiah dari tangan Bian.

Ada sesuatu yang seakan berdesir tatkala ujung dari jemari mereka tak sengaja saling bersentuhan. Canggung. Bian mematung. Sepersekian detik, netra mereka bertemu tatap membuat Ajeng refleks menarik tangannya lebih dulu.

“Makasih ... gue catet, ya.”

Bian mengangguk sampai ekor matanya tak sengaja menangkap sosok salah seorang guru bimbingan konseling di sekolahnya. Bian baru ingat ada suatu hal yang penting, yang perlu dia tanyakan.

“Saya permisi duluan....” Usai mengatakan itu dan memberi salam pada keduanya. Bian memutuskan untuk mengejar pria paruh baya yang berada tak jauh di depannya sambil terpincang-pincang.

“Pak!” seru Bian, sambil napasnya tersengal-sengal.

“Eh, pelan-pelan! Nanti kamu jatuh terus kenapa-napa, sekolahan ini jadi horor!”

“Bapak mau ke mana, Pak?”

“Ya mau pulang, orang udah sore.... Kamu ngapain manggil saya?”

Sore itu langit memang sudah mendung sejak beberapa saat lalu. Anginnya kencang, berhembus dan menusuk ke dalam sendi-sendi Bian. Sepertinya akan segera turun hujan lebat.

Bian menggaruk pangkal hidungnya yang tidak gatal. “Saya sama temen saya baru aja kecelakaan motor, Pak. Kaki saya sampai pincang gini, ya karna kecelakaan itu.” Pandangannya turun ke bawah. Menatap sebuah gips yang masih melekat sempurna pada kaki kanannya.

“Terus?”

“Saya sendiri gak masalah. Tapi, tangan kanan temen saya masih belum bisa digerakin, Pak. Beberapa hari kebelakang ini, masih saya yang bantuin dia nulis. Yang mau saya tanyain, kira-kira bisa gak misalkan pas ulangan, saya sama dia duduknya sebelahan? Ini bentuk solidaritas saya, Pak.” Panjang kali lebar penjelasan Bianーagaknya masih belum cukup meyakinkan hati lawan bicaranya kali ini. Guru bimbingan konseling itupun menggeleng.

“Kamu jadi tau jawaban dia, dong?”

Ragu-ragu Bian mengangguk.

“Gak boleh. Pasti ada solusi lain, nanti biar saya bahas sama walas kamu dulu, ya. Nama temen kamu siapa?”

“Zaid, Pak.”

Sebuah guratan seketika tergambar jelas pada kening pria paruh baya itu. “ZAID ANAK IPA YANG NUAKAL ITU?! YANG SERING KELUAR MASUK RUANGAN SAYA? IYA?!”

Bian meneguk saliva diam-diam. Tenggorokannya tiba-tiba saja mengering tanpa sebab. “Masa iya, Pak?” Dengan tampang polos yang sengaja dibuat-buat, Bian menjawab. Bukannya Bian tidak tahu-menahu soal ini. Dia hanya cari aman.

“Iya! Zaid ituーADUH! Saya langsung pusing kalau bahas dia. Kamu cari temen yang agak bener dikit, muka kamu masih polos gitu keliatannya. Jangan sama Zaid! Dulu ibunya ngidam apa sih pas hamil dia? Aktif banget.” Sementara beliau sibuk menghardik Zaid yang bahkan tidak ada di sanaーBian justru mengsam-mengsem. “Jangan-jangan kalian nyium aspal gara-gara dia?”

Bian menggeleng semangat. “Emang lagi sial aja, Pakーakhhh!”

“Kenapa?!”

“Kaki saya keram, Pak.”

“ADUH TERUS GIMANA? MAU SAYA GENDONG?”

Bian merotasikan matanya diam-diam. “Enggak, Pak. Saya mau pulang aja, udah dijemput kayaknya. Permisi.”

Tanpa menunggu respon dari lawan bicaranya, Bian melenggang pergi. Kalau boleh jujurーhati kecil Bian tak terima kala mendengar seseorang menggosipi sobat karibnya itu.

“Julid banget anjir!” gumam Bian sambil susah payah menyesuaikan langkah kakinya dan tongkat kruk.

Samar-samar suara tetesan air hujan mulai terdengar. Bian merogoh sakunya, mengeluarkan benda pipih dari dalam sana. Pesan terakhir yang dia kirim untuk Mama rupanya sudah dibalas. Kemungkinan saat ini Mama sudah ada di depan pintu gerbang sekolah, atau bisa saja tiba-tiba muncul di hadapannyaー

“Bian!”

Nah kan! Dengan pakaian super simple, dan rambut dikuncir seadanya, tangan Mama melambai sembari kakinya berjalan mendekat.

“Sini tasnya, biar Mama yang bawa,” kata Mama.

Bian spontar memberi gestur penolakan. “Masih bisa sendiri, Ma.”

“Siniin!” Mendengar seruan Mama, satu-satunya hal yang dapat Bian lakukan adalah pasrah.

Kemudian Mama menuntun Bian berjalan menuju mobil sambil menggendong tas milik Bian yang mampu membuat punggung Mama tegap seketika karena saking beratnya.

Saat keduanya baru sampai di tempat di mana mobil Mama terparkirーhujan turun dengan sangat derasnya. Mengguyur jalanan, membasahi gedung sekolah. Buru-buru Mama membantu Bian masuk ke dalam mobil, dan duduk di kursi penumpang, sebelum Mama turut masuk dan mengisi kursi kemudi.

“Astaga, untung timingnya pas!”

Bian tertawa. Benar juga. Kalau mereka telat barang semenitpun, agaknya pakaian mereka kini sudah basah kuyup. Sesuatu yang terpantul pada kaca spion menarik atensi Bian seketika. Menghentikan tawa yang baru saja sepersekian detik lalu dia mulai.

Di sana. Tepat di bawah hujan yang kapasitasnya lumayan tinggiーberdiri seorang perempuan tanpa mantel hujan sembari mengusap wajahnya di samping sepeda bergaya klasik. Bian yakin, Diajeng Pramesti pasti tengah kedinginan. Bahkan tas yang dia kenakan saat itu, tampaknya sudah menampung air hujan di dalamnya. Tapi kenapa? Bukannya Ajeng punya pilihan untuk berteduh di gedung sekolah?

Tanpa menyadari keberadaan Bian yang tengah menatapnya dari dalam mobilーAjeng menaiki sepedanya. Mengayuh tanpa semangat, sambil sesekali mengusap wajahnya.

“Ya ampun kasian banget itu!” pekik Mama saat tak sengaja melihat Ajeng melintas di hadapan mobil yang mereka tumpangi. “Temen kamu bukan?”

Bian menatap Mama lamat-lamat. Rupanya sang mama sudah lupa dengan sosok perempuan yang sempat mencuri hati anak laki-lakinya itu.

Bian bergidik. “Ayo pulang, Ma. Takut makin deres hujannya. Licin.” Dia berkata demikian. Seolah tak lagi peduli dengan presensi mantan pujaan hati.