Selamat Ulang Tahun, Sabian
Bian nyaris tidak bisa diam sepanjang hari. Meski di bibir sempat mengaku kurang semangat menyambut hari ini, namun yang dia lakukan justru sebaliknya. Bahkan sejak semalam dia terus memperingati Om Jemi, juga Tante Kila yang notabenenya adalah saudara kandung Papa, untuk datang dan membawakannya sesuatu.
Kalau Eyang Uti dan Eyang Kung sih tidak perlu diragukan lagi, sebab mereka sudah pasti datang dan membawa sebuah kotak hadiah besar untuk ulang tahun ke-17 cucunya yang satu ini. Awalnya Bian pikir itu hanya berisikan lelucon atau semacamnya, ternyata sebuah gitar listrik yang sama persis seperti keinginannya. Diam-diam Bian merasa sedikit bersalah, sebab sering kali berprasangka buruk pada kedua orang sepuh di hadapannya itu.
Beralih kepada Zaid dan Ozi yang datang bersamaan sembari menenteng sebuah tas berukuran besar di antara mereka. Bian tebak, kado yang satu ini pasti hasil patungan keduanya.
“Met Ultah, Bi,” kata Zaid serampangan, sebelum berakhir ditempeleng oleh Ozi yang berdiri tepat di sampingnya.
“Ngasih ucapan utu yang niat!”
Sontak Zaid memutar bola mata jengah sembari mencibir Ozi, “Kayak ke anaknya Presiden aja!”
Bian sendiri hanya pasrah. Niatnya di hari yang istimewa ini, dia harus menjadi pribadi yang baik di hadapan semua orang.
“Selamat ulang tahun, Bi. Semoga lo bisa masuk kampus gua.”
“Lo gak pernah doain gue kayak gitu, Ji?!” timpal Zaid tak mau kalah.
“Nanti pas lo ulang tahun.”
“Si Anjing!”
Bian bergeming sejenak, lalu celingak-celinguk seakan tengah mencari-cari keberadaan seseorang. “Ola mana?”
“Sama nyokap, lagi ngumpul sama ibu-ibu kali?” sahut Ozi.
Bian hanya manggut-manggut. “Lo berdua minum dulu aja, sambil nunggu yang lainnya.”
“Gue ke sini mau makan kue yang itu,” kata Zaid, refleks menunjuk ke arah sebuah kue ulang tahun milik Bian yang bahkan belum ditiup sama sekali.
Ozi yang tingkat kesabaran setipis tisu itu spontan membekap mulut Zaid dengan gemasnya. Sementara Bian hanya menampilkan senyum kecut di wajahnya.
“Lo diem-diem deh, Id, daripada gue gebukin di sini.” Sudah dapat dipastikan kalau yang barusan itu adalah sebuah bisikan penuh ancaman yang asalnya dari Bian.
Zaid merinding memikirkan bagaimana bisa Bian mengancamnya dengan tampang innocent seperti barusan? Lantas dia beringsut, menepis tangan Ozi seketika. “Ji, mendingan kita samperin Ola. Takut menua sebelum waktunya.”
Bian mendengkus.
Pesta ulang tahunnya ini sengaja diadakan di rumah, karena Mama yang ingin mendekor segala sesuatunya sendiri.
Ngomong-ngomong soal Mama, sejak tadi Bian belum sempat melihat Mama. Dan, mama juga belum sempat memberi sepatah kata pun untuk hari ulang tahun Bian ini. Mungking saking sibuknya mengurus inj dan itu untuk Bian.
“Bian!”
Nah, yang barusan memanggil nama Bian itu adalah Papa. “Sini, Bi!”
Bian mencibir dalam hati. Memikirkan kira-kira lelucon menyebalkan yang mana lagi yang sudah Papa siapkan untuknya. Tapi sebelum prasangka buruknya semakin meningkat, Bian samar-samar mendengar suara mesin yang menyala di halaman depan rumah. TUNGGU-TUNGGU! MOTOR?! Lantas Bian berlari sambil terseok-seok dengan kaki kanannya yang masih digips demi menyusul Papa.
“Pak, ini surat-suratnya silahkan ditandatangani.”
Bian mendelik seketika tatkala matanya menangkap eksistensi seorang pria yang baru saja menyalakan sebuah motor di halaman depan rumah.
“PAPA YANG BENER INI, PA?!”
Papa mengabaikan pertanyaan Bian, karena masih harus menandatangani beberapa surat lagi. “Ini ya, Pak.”
“Nah, beres. Makasih ya, Pak Jeffrey, kalau gitu saya pamit.” Pria itu pamit, tepat setelah menyerahkan kunci motor kepada Papa.
“PAPA!”
“Jangan teriak-teriak, Papa gak budek!”
“Itu motornya Bian?!”
Papa hanya memberi sebuah anggukan, lalu melempar sebuah kunci ke arah Bian. “Awas ya, jangan ditabrakin.”
“Tapikan Bian belum rapotan?” kata Bian yang sukses menangkap kunci tersebut.
“Gampang, nanti kalau banyak angka merah di rapot tinggal Papa jual lagi.”
Bian melongo di tempat. Namun dia tetap berpikir kalau yang satu ini adalah kado paling hebat yang pernah dia dapat.
Sementara yang lainnya sibuk bercengkrama satu sama lain, Bian tengah berdiri mematung di hadapan seseorang yang sejak tadi sudah dinanti-nanti kehadirannya. Ayah Yudhis datang dengan setelan jas yang terkesan biasa saja, tapi auranya menawan.
“Kenapa lama....”
Alih-alih merespon keluhan Bian, Ayah Yudhis justru memilih untuk mendekap tubuh Bian erat-erat selayaknya seorang Ayah memeluk anaknya sendiri.
“Jalanan mac—”
“Maaf.” Bian memotong ucapan Ayah Yudhis begitu saja. “Bian minta maaf.”
“Bi ... udah.”
“Bian bener-bener minta maaf.” Bian memeluk Ayah Yudhis jauh lebih erat.
“Shuttt ... udah dimaafin, Sabian,” kata Ayah Yudhis. Tangannya sesekali menepuk-nepuk punggung Bian dengan hangatnya. “Hei, ini hari ulang tahun kamu, jangan nangis kayak gini. Gak malu sama si Zaid?”
Lantas pelukan malam itu berakhir, sebab Bian gengsi kalau-kalau sampai kepergok oleh Zaid dan Ozi ketika dia tengah menangis. “Malu, lah!” seru Bian seraya mengusap jejak air matanya menggunakan lengan.
Ayah Yudhis terkekeh sejenak. “Kapan tiup lilinnya?”
“Tadi kayaknya masih disiapin sama Om Jemi.”
“Yaudah, ayo ke sana.”
Bian mengsam-mengsem tatkala menatap lilin demi lilin tengah ditancapkan pada kue ulang tahunnya. Namun selang beberapa detik kemudian, wajahnya berubah kusut. Malam ini menyenangkan. Semua datang, kecuali Diajeng Pramesti.
“Bi!” Suara Zaid membuyarkan lamunan Bian kala itu.
“Kenapa?” tanya Bian pada Zaid yang berdiri cukup jauh darinya.
Zaid melambaikan tangan, memberi isyarat agar Bian mendekat. “Ke sini bentar!” pintanya.
Lantas Bian menuruti permintaan kawannya itu, meski sebentar lagi kuenya siap. Bian dapat melihat bagaimana ekspresi wajah Zaid kala itu. Dia panik dan kebingungan, sementara Ozi yang berada di sebelahnya tampak tak senang dan berusaha merebut ponsel milik Zaid.
“Kenapa, sih? Lo gak liat gue mau tiup lilin?”
“Ajeng—”
Satu nama yang mampu membuat jantung Bian berdebar tak karuan, seketika keluar dari mulut Zaid.
“Gak usah lo peduliin, Anjing! Udah sana tiup lilin!” seru Ozi penuh penekanan.
“Dia harus tau, Bangsat!” kata Zaid.
Bian masih berusaha mengatur degup jantung juga napasnya yang sempat tercekat. “Gue harus tau apa?” tanya Bian penasaran.
“Ini.” Zaid menyerahkan ponselnya pada Bian dalam keadaan layar yang tengah menyala.
Satu detik, dua detik, lima detik, dan seterusnya. Pandangan Bian berubah kosong. Senyum yang sejak sore tadi terpatri di bibirnya kini tiba-tiba saja hilang entah ke mana. Cukup lama dia membeku di tempat, hingga akhirnya suara Mama menyadarkannya.
“Bian! Ayoo tiup lilinya, Bi!”
“Biannnnn!”
Kemudian tanpa mempedulikan kedua temannya, Bian kembali menuju tempat di mana kue ulang tahunnya berada. Dengan tatapan yang masih kosong, Bian berjalan susah payah.
“Sini-sini, tiup dulu lilinya, Bi.” Mama mengatur tubuh Bian di hadapan kue ulang tahun dengan lilin yang sudah menyala.
Sebuah lagu yang biasa digunakan untuk mengiringi acara ulang tahun dinyanyikan bersama-sama oleh para tamu.
“Tiup lilinnya, tiup lilinya sekarang juga, sekarang juga....”
Lilin pun padam, namun Bian masih dengan tanpa ekspresi.
“Bi, Mama sama Tante Julia punya hadiah spesial buat kamu!”
Mendengar itu, Bian mengangkat dagunya. Menatap orang-orang yang juga tengah menatapnya. Papa, Ayah Yudhis, Mama, Tante Julia, bahkan seluruh keluarganya tengah menatapnya dengan tatapan bahagia. Kecuali Zaid dan Ozi yang kala itu memilih untuk membuang muka karena mengetahui perasaan Bian yang sebenarnya.
Sebuah kotak hadiah kecil Mama berikan dengan perasaan suka cita.
Bian tersenyum, meski terpaksa. Dia buka kotak itu penuh hati-hati, dan yang Bian dapati adalah dua buah testpack yang hasilnya sama-sama positif.
“Selamat ulang tahun, Bian! Kamu akan punya dua adik sekaligus, dari Mama sama Tante Julia!”
“Kamu seneng gak, Bi?” tanya Tante Julia.
Dan di saat itu juga, air mata Bian lolos seketika. Dia bahagia, tapi air mata yang baru saja keluar adalah air mata kesedihan.