Semestanya Mama Siap Jadi yang Kedua?
Kalau Bian hitung-hitung, sekiranya sudah belasan kali Mama mondar-mandir ke kamar mandi selama menemaninya belajar di ruang tengah. Alih-alih fokus belajar, Bian kini justru terus mengawasi Mama. Wajah pucat pasi, juga gestur yang menandakan bahwa Mama sedang tidak baik-baik saja, sudah pasti mengusiknya.
Bian menghela napas panjang. Semangat belajarnya sudah hilang entah ke mana. Sengaja dia tutup buku yang semula sempat dia baca. “Mama kenapa, sih?” Akhirnya Bian membuka suara.
Mama acuh tak acuh. “Jangan peduliin Mama—kamu lanjut belajar aja.”
“Gak bisa. Napsu belajar Bian udah ilang gara-gara liat Mama bolak-balik ke kamar mandi.” Dua bola matanya menatap Mama, sembari membaca situasi dan kondisi yang ada. “Mama sakit perut?” tanya Bian penasaran.
Mama menggeleng spontan. “Gak sakit perut, sih. Mama cuman mual aja—sama pusing, makanya ke kamar mandi terus.”
“Masuk angin?”
“Gak tau.”
Bian lalu memicing tajam. Dia ingat bagaimana alur cerita dalam sinetron yang sering kali dia tonton di televisi. Mual seperti halnya orang masuk angin pada seorang wanita biasanya jadi pertanda kehamilan di usia dini.
Mama yang semula santai-santai saja, kini tampak salah tingkah begitu kedua matanya ditatap langsung oleh Bian.
“Apa?” tanya Mama.
“Mama hamil kali.” Tanpa memberi barang sedikitpun aba-aba Bian berkata demikian, sampai-sampai sukses membuat Mama hampir tersedak salivanya sendiri.
“Kebanyakan nonton sinetron!”
Bian tergelak kemudian. “Tapi bukannya bener, ya? Mual itu jadi salah satu tanda kehamilan? Siapa tau Mama hamil,” kata Bian, lalu dia mendapat tatapan mata menyalang dari Mama.
“Masih kecil bahas hamil-hamilan. Kamu jangan sok tau!”
Mendengar perkataan Mama barusan, membuat ingatan Bian kembali terputar ke belakang. Seingatnya materi soal kehamilan sudah dia pelajari bahkan saat masih duduk di bangku kelas 8 SMP, jadi dari segi usia agaknya Bian merasa cukup untuk berbicara soal kehamilan. Tapi, mungkin saja pembahasan ini mampu membuat perasaan Mama sedikit canggung.
Wajah Mama kemerahan. Jelas, tepat sekali dugaan Bian perihal Mama yang merasa canggung sebab dia membahas perihal kehamilan. Sambil berusaha untuk memikirkan topik pembicaraan lain, Bian memilih untuk menumpuk buku-bukunya yang sempat berserakan.
“Bi....” Belum juga menemukan topik pembicaraan baru, Mama lebih dulu menyebut namanya.
Aktivitas Bian sebelumnya, sontak saja terhenti. Bian menoleh ke arah Mama tanpa mengatakan apapun.
“Coba bayangin, deh. Kalau ternyata Mama beneran hamil lagi—”
“Bian seneng. Bian ikut seneng, kalau Mama hamil lagi.” Perkataannya sukses membuat napas Mama tercekat sepersekian detik. “Mama khawatir soal itu, kan?” timpal Bian.
Kemudian anggukan kepala Mama menjadi jawaban untuk pertanyaan yang baru saja Bian lontarkan.
“Bian udah tujuh belas, tahun ini. Mama gak perlu khawatir—Bian udah jauh dari kata puas buat dapetin semua perhatian Mama selama ini. Kalau ternyata Mama hamil lagi, Bian siap belajar buat jadi kakak yang baik.” Bian menghela napas kasar, lalu memilih bersandar pada sofa di belakangnya. “Mama pikir Bian bakal ngerasa iri, ya?” tanya Bian.
Mendengar itu, hati Mama rasanya sakit seketika. Mama sontak memutar tubuhnya mengahadap ke samping. Menatap bagaimana sorot mata Bian yang mendadak berubah menjadi sendu.
Mama menggeleng, “Bukan itu yang Mama pikirin, Bi. Mama sempet takut kalau kamu bakal ngejauh kalau Mama hamil lagi. Mama takut kalau nantinya perhatian yang Mama kasih, mungkin berat sebelah. Mama ... banyak takutnya.”
Bian menatap lurus sepasang mata Mama. Dan, di wajah Mama terukir jelas gurat kekhawatiran yang tengah Mama rasakan.
“Dulu, waktu pertama kali Mama tau kalau Mama lagi hamil kamu—Mama seneng banget. Waktu kamu lahir, Mama ngerasa kalau punya kamu sama Papa aja udah cukup. Tapi, belakangan ini sesuatu terus ganggu pikiran Mama. Gimana kalau nanti Papa sama Mama tiba-tiba dipanggil Tuhan? Kamu sendirian—”
“Ma, stop.”
“Atau, gimana kalau kamu udah nikah nanti? Mama sama Papa bakal kesepian—”
“Ma!” Bian praktis menyentuh pundak Mama dengan kedua tangan. “Pertama, Tuhan tau Bian masih butuh Papa sama Mama, jadi gak mungkin dia panggil kalian berdua secepet itu. Kedua, nikah? Bian aja belum lulus SMA?!” kata Bian menggebu-gebu.
“Lohhh? Bukannya yang di rumah sakit itu calon istri kamu, buktinya kamu lebih prioritasin dia daripada Mama.” Nada bicara Mama sok dramatis, dan direspon dengan suara decakan kesal dari mulut Bian.
“Kenapa harus dibahas lagi, sih?”
Bian hampir bangkit dari posisi duduknya, tapi gagal sebab tangan Mama menarik tubuh Bian seketika. “EH EH MAMA BERCANDA!” seru Mama sembari mendekap tubuh Bian erat-erat.
“Gak lucu, sumpah!” timpal Bian.
Bian kesal bukan karena mendengar Mama membahas Ajeng, atau semacamnya. Melainkan karena topik yang satu ini cukup melenceng dari topik sebelumnya. Kemudian, lebih dari itu—Bian spontan teringat betapa dinginnya atmosfer di sekitar Ajeng saat mereka saling berpapasan di sekolah sejak beberapa hari lalu. Entah karena gadis itu fokus menghadapi ujian, tidak dalam keadaan hati yang baik, atau mungkin Ajeng mendengar keributan yang dia ciptakan saat di rumah sakit. Pasalnya Bian sendiri merasa terlalu takut untuk sekedar menyapa lebih dulu, apalagi harus bertanya perihal alasan di balik sikap dingin Ajeng.
Mama berdecak, “Sabian ... apa sopan ngelamun depan Mama begini?”
“Bian gak ngelamun,” sahut Bian tak terima.
“Ayo lanjutin belajarnya, tanggung kalau disisain satu bab lagi.”
Bian lantas melirik Mama dengan sorot mata yang tajam. Apa semua perempuan di muka bumi ini senang sekali mengalihkan topik pembicaraan, seperti apa yang Mama lakukan sejak tadi?
“Kenapa, sih, mukanya begitu?”
“Ma?”
“Apa lagi?”
“Jujur aja, Mama lagi hamil ya?”
Mama menggeleng, lalu tangannya menyapu lembut kening Bian, sembari menatapnya lamat-lamat. “Mama gak tau, karna sama sekali belum ngecheck. Tapi kalau kenyataannya Mama beneran hamil, pasti Mama kasih tau kamu, Bi. Mama gak mungkin bohongin kamu, atau bahkan sembunyiin fakta tentang kehamilan Mama dari kamu.”
“Janji?”
Mama terkekeh, kemudian berdecak. “Iya, janji.”
Detik itu juga suara mesin mobil yang masuk ke pekarangan rumah, terdengar hingga ke dalam. Mama dan Bian saling tatap satu sama lain, sepertinya Papa baru saja pulang.
“Bian aja yang bukain pintunya, Ma!”
“Tumben?”
“Mau PDKT lagi sama Papa.”
Selanjutnya pecah tawa Mama. Tidak ada alasan untuk tidak tertawa selepas mendengar pengakuan Bian barusan. “Ada-ada aja!” seru Mama.
Lantas Bian juga ikut tertawa, seraya menjawab. “Biar jadi dibeliin motor, Ma.”