Setelah Kedatangan Boneka Rannisha

Flashback On

Malam itu, sepulang menemui Randy, Eve berniat memejamkan mata sejenak. Ia berbaring diatas ranjang kesayangannya dengan nyaman, tanpa berniat menyalakan lampu sebelumnya.

Beberapa menit berlalu, hingga Eve merasakan semilir angin menerpa permukaan kulitnya. Dingin, dan aneh. Pasalnya jendela kamar masih tertutup rapat, begitupun pendingin ruangan yang sedang dalam keadaan mati kala itu.

Eve membuka matanya. Sebuah bayangan hitam di sudut ruangan seolah mendekat kearah ranjang.

“Siapa?”

Kalimat itu lolos begitu saja, meski Eve yakin bahwa hanya dirinya yang berada didalam unit apartemen itu.

Gadis itu berjalan kearah saklar lampu yang letaknya berada di luar pintu kamar, dan menghadap sebuah ruang tamu.

Klik!

Begitu lampu menyala, pandangannya langsung tertuju pada suatu objek yang berada diatas sofa—sebuah boneka dengan visualisasi menyeramkan milik Devin.

Jantungnya berdegup lebih kencang hanya dengan melihat boneka itu. Eve ketakutan.


Sabtu, 11 Desember 2021

Eve baru saja terbangun dari tidurnya. Ia menatap jam dinding didalam kamarnya, pukul 6:12 sore. Gadis itu setengah terkejut, “Semalem cuman mimpi? Gila, gua tidur lebih dari dua puluh jam!” serunya.

Ia beringsut, menuruni ranjang. Berniat menyeduh secangkir kopi agar rasa kantuknya lekas pergi.

Tak ada yang aneh, atmosfer dalam unit apartemen itu sama seperti biasanya. Eve mengaduk kopi tanpa ekspresi. Gadis itu tengah melamun.

Diangkatnya sendok teh yang sebelumnya ia gunakan. Jika biasanya ia akan melempar sendok tersebut begitu saja kearah wastafel, kali ini Eve hanya dapat mematung.

Sebuah pantulan seperti mata berwarna merah muncul di bagian sendok yang mengarah pada dirinya.

Eve menjatuhkan sendok itu. Bibirnya gemetar. Detik selanjutnya ia berjongkok dan membenamkan wajah kedalam lengannya yang bertumpu pada lutut. Eve menangis.

“Devin, aku takut, tolong-”

Gadis itu tersadar. Begitu membuka matanya, ia masih berada diatas ranjang, dengan piyama yang basah, dan tubuh bermandikan keringat. Mimpi lagi? Batinnya.

Diraihnya ponsel yang berada diatas nakas. Jantung Eve seakan nyaris melompat keluar begitu ia melihat layar ponselnya. Pukul 6:13 sore.


Minggu, 12 Desember 2021

Sudah hari kedua semenjak ketakutan menyelimuti hatinya. Eve sempat mengira bahwa semuanya hanyalah mimpi. Namun setelah ia memastikan keberadaan boneka Rannisha di dalam unit apartemennya, Eve pun tersadar, bahwa apa yang sudah ia alami bukanlah sekedar mimpi. Terlebih lagi perdebatannya dengan Devin dua hari lalu—mengenai boneka yang laki-laki itu tinggalkan di apartemennya begitu saja, benar adanya.

Ini pukul 11 malam. Eve tengah terkulai lemas diatas ranjangnya. Gadis itu terserang demam setelah menyadari semuanya. Alisnya terus saja bertaut dalam tidur, menampilkan ekspresi cemas. Nafasnya tersengal-sengal, masih dengan mata yang tertutup rapat. Tiba-tiba saja hawa dingin menjalar dalam tubuhnya.

Mata Eve membola seketika. Ia menangis dalam diam. Sebuah tangan besar seakan menekan jantungnya. Sangat sesak.

Ditatapnya sebuah makhluk yang melayang di langit-langit kamar. Rambutnya panjang menjuntai, hingga menutupi sebagian wajah Eve. Sekujur tubuhnya berlumuran cairan merah pekat, berbau anyir yang menetes membasahi seluruh permukaan ranjang.

Lidah Eve terlalu kelu untuk berteriak. Entah sejak kapan lampu unit apartemennya mati. Seluruh benda tiba-tiba saja terjatuh dari tempatnya. Menimbulkan suara yang amat bising di dalam kamarnya.

Gadis itu berdoa dalam hati. Berusaha sekuat tenaga untuk memejamkan matanya. Namun makhluk diatasnya justru kian mendekat, seakan ingin menimpa tubuh Eve. Sontak ia memejamkan matanya, sebelum akhirnya terbangun di sebuah ranjang tua.

Netra Eve menelisik ke seluruh penjuru ruangan yang terasa asing baginya. Gadis itu beranjak dari tempatnya. Berniat memeriksa apakah ada semacam pintu keluar disana. Namun nihil.

Aroma anyir dan busuk menguar di udara. Rambutnya jatuh berantakan diatas dahinya, Eve nampak putus asa.

“Evelyn ... .” Suara lirih menyebut namanya.

Sesosok wanita berdiri menjulang, dengan gaun tidur berwarna putih yang dipenuhi darah, tengah menatap kearahnya.

Sorot mata wanita itu menyeramkan. Samar-samar sebuah pintu muncul dibalik tubuhnya.

“Lewat sini!”

Eve menatap pintu itu.

“Tutup matamu. Jalan lurus, dan kamu akan keluar.” timpal wanita itu.

Seolah terhipnotis—Eve memejamkan matanya, berjalan lurus kedepan, kemudian meraih gagang pintu tersebut dan menekannya.

Pintu terbuka, Eve pun terbangun diatas tempat tidurnya.