Setelah mobil di luar sana benar-benar berhenti, Ratu dapat menghirup tipis-tipis aroma oli dan asap kendaraan khas kota Jakarta yang sepertinya menempel pada tiap-tiap inci mobil Jeffrey. Deru suara mesin mobil itu mati seketika. Menandakan sang pengemudi akan segera menampakkan batang hidungnya.
Ratu sengaja hanya mengintip dari balik jendela, sebab ia khawatir kalau-kalau si kecil Bian harus menghirup polusi udara yang baru saja Jeffrey bawa pulang. Jika tidak sedang menggendong Bian, mungkin Ratu akan berlari hingga ke depan pintu gerbang sejak tadi hanya untuk menyambut kepulangan suaminya itu.
Suara pintu mobil yang di tutup dengan cukup tenaga terdengar dari luar, membuat Bian yang sebelumnya tengah tertidur dalam pangkuan Ratu mengerjap seketika.
“Stthh...,” desis Ratu.
Awalnya ia pikir Bian akan menangis karena terkejut, namun kenyataannya tidak. Bayi laki-laki itu hanya menguap sesaat, sebelum kembali melanjutkan mimpinya.
“Bian-nya biar saya aja yang timang-timang, Bu. Kebetulan kerjaan saya di dapur udah selesai,” kata Budhe Lasih.
“Gak apa-apa, sama saya aja, Budhe.”
Budhe Lasih menggeleng. Ia tahu betul bagaimana lelahnya mengurus bayi seharian. Bahkan, Ratu masih ikut turun tangan dalam hal-hal lain—misalnya seperti menyiapkan makanan tadi siang.
Seketika raut wajah Budhe Lasih memelas. “Saya mau gendong juga, Bu. Kangen sama cucu di kampung,” lirihnya beralasan. Sebab, kalau tidak seperti itu, Ratu tidak akan mau menitipkan Bian kepadanya. Menurut Ratu, itu merepotkan orang lain.
Ratu nyaris tertawa. Bisa aja, batinnya.
Kemudian, dengan hati-hati Ratu menyerahkan tubuh mungil Bian kepada Budhe Lasih. Bayi laki-lakinya itu tertidur dengan sangat pulas rupanya. “Nitip Bian ya, Budhe,” bisik Ratu yang langsung dihadiahi anggukkan kepala oleh Budhe Lasih.
Tanpa menunggu lama, Budhe Lasih memilih untuk membawa Bian meninggalkan Ratu di ruang tamu sendirian.
Tapi tidak, pasalnya Jeffrey tiba-tiba saja muncul dari balik pintu dengan penampilan yang cukup memprihatinkan. Rambutnya sudah tidak lagi tertata rapi. Dasinya entah hilang ke mana. Kemeja yang ia kenakan pun sudah keluar dari sela-sela celana dan pinggangnya. Ratu tahu bahwa di kantor, Jeffrey sedang tidak baik-baik saja. Sebab, sejak beberapa hari yang lalu, suaminya itu terus saja bergadang di hadapan laptop meski sudah pulang ke rumah. Dan ya ia sadar bahwa belakangan ini suaminya itu selalu melenguh dalam tidurnya. Jeffrey seratus persen kelelahan.
Pandangan Ratu turun. Ia melihat seikat bunga yang Jeffrey genggam erat-erat di tangan kanannya. Sebenarnya Ratu sangat penasaran. Ada apa gerangan? Kenapa pulang membawa bunga? Tidak biasanya. Sempat Ratu ingin bertanya, namun sengaja diurungkan begitu saja niatnya tatkala ia mendengar Jeffrey menghela nafas berat.
“Mas? Are you okay?”
Jeffrey tak kunjung menjawab pertanyaan Ratu. Ia maju selangkah. Wajahnya tak berekspresi sama sekali, namun kedua tangannya terangkat dan ya—Ratu yang lebih dulu memeluknya. Menyalurkan perasaan nyaman dengan mengusap lembut punggung suaminya itu perlahan-lahan.
“Malem ini mandi air anget ya? Biar rileks. Terus, abis itu langsung tidur aja, Mas. Jangan nyalain laptop lagi. Pokoknya malem ini kamu harus istirahat,” tutur Ratu sembari terus mengusap punggung Jeffrey, hingga membuat sang empunya kini membalas pelukan Ratu tak kalah erat.
Masih dalam posisi berpelukan, Jeffrey menenggelamkan kepalanya pada ceruk leher Ratu. Mengecup pundak Ratu berulang-ulang kali sembari menunduk karena tinggi istrinya itu sedikit lebih rendah darinya.
Jeffrey sangat merindukan Ratu.
Sementara itu, Ratu terkekeh. “Santai aja, Mas. Bian belum genap satu tahun,” kata Ratu, membuat Jeffrey menghentikan kegiatannya seketika.
Laki-laki yang tengah mendekap erat tubuhnya itu pun mendengkus. “Yang barusan itu karna kangen, bukan napsu, ya!” Kemudian Jeffrey melepaskan tangannya yang sempat melingkar pada pinggang Ratu.
Ratu mengulum senyuman, lalu tangannya terulur untuk menyisir rambut Jeffrey yang berantakan menggunakan jari jemarinya dengan penuh perhatian, hingga Jeffrey memejamkan matanya seketika.
“Capek banget, ya?” tanya Ratu, kemudian dibalas anggukan seperti seorang anak kecil oleh Jeffrey.
Suaminya itu mencebik, “Boleh gak ... peluk lagi? Belum full batterynya” Menjadi kalimat pertama yang keluar dari bibir Jeffrey setelah kembali membuka mata saat sentuhan tangan Ratu sudah tidak ia rasakan di atas kepalanya.
“Mandi dulu. Nanti bobonya sambil dipeluk.”
Jeffrey menggeleng cepat. “Nanti pasti kamu sibuk ngurus Bian.”
Suaminya itu masih kekanak-kanakan. Bahkan di saat sudah memiliki anak seperti sekarang ini, sempat-sempatnya Jeffrey merasa cemburu kepada anaknya sendiri.
Ratu memijat pelipisnya yang tiba-tiba saja terasa cenat-cenut. “Makanya kata gue buruan lo mandi sebelum anak lo kebangun, Jeff!” seru Ratu.
Nah kan, kalau sudah seperti ini, nyali Jeffrey menciut seketika. Lantas, mau tidak mau, ia harus segera melakukan apa yang Ratu perintahkan.
“Semua cewek sama aja!” kata Jeffrey, kemudian berlagak mengibaskan rambut dengan gaya perempuan, lalu melangkah pergi meninggalkan Ratu.
Eits, tapi tunggu dulu!
Jeffrey melangkah mundur tanpa sepengetahuan Ratu yang tengah menutup pintu. Dan saat Ratu berbalik—cup! Jeffrey mencuri sebuah ciuman dari bibirnya!
“Happy Anniversary, Ra. I love you. I always do,” kata Jeffrey dalam satu tarikan nafas, kemudian sekonyong-konyong memberikan bunga yang sebelumnya terus ia genggam, kepada Ratu.
Selanjutnya apa? Ia lari belingsatan meninggalkan Ratu yang masih mematung di tempatnya sembari berteriak, “Bunganya buat dipajang, ya, Ra! BUKAN BUAT LALAPAN!”
Ratu mendelik seketika.
KURANG AJAR! Memangnya dia ini apa? Mbak Kunti, begitu?
Ratu memutar bola matanya malas, kemudian menyusul Jeffrey masuk ke dalam kamar mereka. Dan begitu memasuki kamar, ada sesuatu langsung menarik perhatiannya. Yaitu sebuah handuk yang masih setia bertengger pada tempatnya.
“MAS KAMU MAH KEBIASAAN ANDUKNYA GAK DIBAWA SEKALIAN!” seruan Ratu menggema hingga ke dalam kamar mandi.
Sementara itu, di dalam kamar mandi Jeffrey mati-matian menahan tawa yang hendak melesak keluar dari bibirnya. “LUPA SAYANG! AMPUN!”
No matter how many facts Jeffrey has fallen through, how bad the day he had passed, how many times he ended up at the same old tired lonely place. In the end, all of these things will vanish when Ratu—the woman with dazzling hazel eyes met Jeffrey's. As strong as dopamine and endorphin work, unconsciously painting every red and blue nightmare reality into a delicate golden daylight.