She's Worried

Ratu mengelus perutnya dengan gerakan memutar. Detak jantungnya tak karuan tatkala melihat ekspresi wajah yang dokter dihadapannya itu tunjukkan. Alis bertaut, serta jemari yang terus menerus memainkan pena di tangannya—bukan hanya membuat Ratu cemas, tapi juga Jeffrey.

Beberapa saat lalu Ratu baru saja selesai melakukan pemeriksaan pasalnya ia merasa bahwa bayi dalam kandungannya itu tidak seaktif biasanya—sejak dua hari yang lalu. Sebelumnya, menurut perkiraan dokter kelahiran anak pertama Jeffrey itu adalah minggu depan, namun karena tidak ingin dilanda perasaan cemas terus-menerus Ratu memilih untuk mendatangi dokter kandungannya lebih cepat dibandingkan dengan jadwal yang sudah ditentukan.

“Jadi gimana, Dok?” tanya Jeffrey memecah keheningan.

“Sebelumnya saya pernah bilang kalau pintu panggul istri Bapak terlalu sempit....”

“Jadi harus caesar ya?” Belum sempat sang dokter menyelesaikan kalimatnya, Ratu lebih dahulu memotong dengan pertanyaan—membuat dokter tersebut tersenyum masam.

“Iya, Bu, dan di luar praduga saya detak jantung bayi dalam kandungan Ibu mulai melemah, sementara posisi bayi belum sesuai prosedur untuk melakukan persalinan normal. Saya sebagai dokter yang menangani Ibu selama masa kehamilan menyarankan supaya Ibu melakukan persalinan secara caesar, karena itu adalah yang terbaik untuk saat ini.”

Lantas Ratu menoleh ke arah Jeffrey, kemudian dengan sigap Jeffrey menggenggam tangannya.

Jeffrey tahu sejak sang dokter mengatakan bahwa panggul Ratu lumayan sempit untuk melakukan persalinan secara normal. Jeffrey tahu kalau akan tiba saatnya dokter di hadapannya itu mengatakan hal demikian. Hanya saja Jeffrey tidak memiliki cukup keberanian untuk mengatakannya pada Ratu. Pasalnya Ratu acap kali membayangkan tentang melahirkan anak secara normal dan didampingi olehnya. *Kalau caesar kan gak bisa ikut nemenin di dalam,” batinnya.

“Gapapa, Ra. Jangan takut ... itu nanti dibius kok. Iya, kan, Dok?” kata Jeffrey yang berusaha meyakinkan Ratu dan diamini oleh sang dokter.

“Iya. Bius regional, berupa anestesi spinal. Jadi Ibu tidak akan merasakan nyeri dari pinggang ke bawah. Tapi Ibu tetap dalam keadaan terjaga, jadi bisa langsung melihat bayinya setelah lahir.”

Mendengar itu, Ratu meneguk salivanya. Membayangkan bagaimana bayi yang selama berbulan-bulan dalam perutnya itu akan dikeluarkan dengan cara merobek perutnya. Ratu menggeleng semangat untuk menghilangkan pikirannya tersebut.

“Persetujuan Ibu dan Bapak ditunggu secepatnya agar dapat segera dilakukan persalinan karna seperti yang saya bilang sebelumnya—detak jantung bayi dalam kandungan Ibu mulai melemah.”

Melihat Ratu yang hanya diam membisu disampingnya, Jeffrey menarik tangan yang sebelumnya menggenggam tangan Ratu. Kini ia sibuk merangkul pundak istrinya itu. Jeffrey menghela nafas panjang, kemudian menganggukan kepalanya untuk merespon ucapan sang dokter obygn itu. “Kita ikutin yang menurut anda terbaik, Dok.”


Selang beberapa menit, Ratu dan Jeffrey diarahkan ke ruangan lain oleh seorang perawat. Usut punya usut untuk menunggu sekaligus mempersiapkan proses persalinan nanti.

Ratu tak henti-hentinya mengusap wajahnya kasar. Ia takut. Takut kalau-kalau nantinya proses melahirkan anak pertamanya ini akan terasa sangat sakit dan membekas dalam ingatannya. Ratu juga takut tatkala membayangkan jika salah satu dokter yang menanganinya melakukan sebuah kesalahan yang mungkin akan menyebabkan salah satu diantara ia dan anaknya tidak selamat.

Ratu terus menggenggam tangan Jeffrey kuat-kuat. Enggan untuk ditinggal rupanya. Dalam hati Ratu berdoa agar Jeffrey diperbolehkan untuk menemaninya nanti. Ia setuju dengan anggapan bahwa sebelum memiliki anak bukan hanya finansial yang perlu diperhatikan, tapi juga mental.

“Mas.”

“Hm? Kenapa, Ra?”

Lantas Ratu memamerkan senyum masam. “Nanti kamu ikut masuk, kan?” tanyanya dengan hati-hati.

“Aku gak tau. Tapi kayaknya gak bisa, Ra. Caesar kan termasuk operasi besar(?) Jadi kemungkinan aku disuruh nunggu di luar,” tutur Jeffrey lembut.

Melihat kening Ratu yang lagi-lagi berkerut, Jeffrey tersenyum manis. Ibu jarinya sengaja memijit kening Ratu dengan gemas. “Jangan gitu, nanti kamu cepet keriput. Aku keluar sebentar, ya?”

“Mau kemana?”

“Beli minum buat kamu. Nanti kalau perawatnya balik lagi, ajak ngobrol jangan diem aja. Rileks, Ra.” Setelah mengatakan itu, kedua tangan Jeffrey menangkup pipi Ratu kemudian sengaja mengecup wajah istrinya itu sebanyak tiga kali sebelum akhirnya pergi untuk membeli air mineral kemasan seperti yang ia katakan.