Si Paling Anak Mama

Mama itu, bisa dibilang yang paling tahu watak Bian. Berkacak sangar seperti tokoh gatot kaca, padahal aslinya tidak lebih kuat dari hellokitty.

Melihat bagaimana Bian menangis di hadapan Papa, Mama pikir sepertinya dunia tidak sedang baik-baik saja. Hampir wajah Papa dihantam dengan bantal sofa oleh Mama. Sebab, Mama kira bayi besarnya itu menangis karena sang papa memarahinya semata-mata karena nilai rapot yang merah semua atau bagaimana. Ternyata bukan.

Di sini lah Mama dan Bian sekarang. Di dalam sebuah kamar yang nuansa dan interiornya sebelas dua belas dengan kamar Papa semasa muda. Yah, itu menurut Mama.

Bian duduk sembari memeluk Mama erat-erat. Nyaman mungkin? Tak lupa meminta agar punggungnya terus diusap-usap oleh Mama. Kapan lagi? Mumpung ada kesempatan. Toh, Bian sudah kepalang malu karena kejadian menangis di hadapan Papa beberapa menit yang lalu.

“Nilai kamu gak jelek-jelek banget, tuh?” kata Mama, sambil menunjuk buku rapot pada Bian yang masih setia dalam dekapannya.

Bian menggeleng. Dia yakin bahwa nilai tersebut tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan nilai teman sekelasnya. “Jelek itu....”

Lantas mau tidak mau Mama mengalah. Dilihat-lihat suasana hati Bian masih belum membaik. Takut Bian tersinggung pada akhirnya.

“Nangis sambil peluk Papa enak, gak?” tanya Mama. Nadanya seolah sengaja menggoda Bian.

Kalau boleh jujur, Bian suka bagaimana cara Papa menenangkannya. Bian suka kala bahu Papa yang jauh lebih lebar dari miliknya itu, mendekap tubuhnya erat. Seperti kembali ke masa lalu. Saat Bian masih berusia sekitar lima, sampai depan tahun. Momen seperti itu, kini langka. Bahkan selang beberapa menit setelah pelukan seperti teletubbies—Papa harus langsung melakukan meeting online dengan rekan kerjanya. Oleh karena itu Mama bertanggung jawab mengambil alih Bian.

“Dulu itu ... pas kamu masih bayi, kayaknya Papa yang lebih sering gendong kamu daripada Mama. Paling tuh ya, Mama gendong kamu kalau mau bikin kamu tidur aja. Dulu, Papa over protective ke kamu, Bi.”

Sontak Bian ngangkat dagunya. Mencoba menatap Mama—masih dalam keadaan memeluknya. Dasar si manja!

“Masa iya Papa over protective?” tanya Bian, penasaran.

Sebenarnya sampai detik ini, Bian masih sering menjadi korban ke-over protective-an Papa. Namun, ada sedikit rasa penasaran perihal seperti apa Papa saat dia masih kecil.

Mama mengangguk mantap, sampai dagunya tidak sengaja membentur pucuk kepala Bian. “Dulu—pas kamu baru lahir—gak ada yang boleh pegang kamu kecuali Mama, sama Papa sendiri. Nenek kamu, kakek kamu, pokoknya semua orang tuh gak boleh! Kamu tau gak apa alesan Papa sampai kayak gitu?”

“Apa?”

“Papa gak mau kulit kamu iritasi karna kontak fisik sama banyak orang,” kata Mama, lalu terkekeh. Agaknya Mama masih tak habis pikir dengan jalan pikiran Papa pada saat itu.

“Pantes Bian kayaknya cucu nenek yang paling gak akrab sama Nenek, ya?”

Mendengar perkataan Bian barusan, sontak Mama tergelak bukan main. Secara tidak langsung Mama mengiyakan opini Bian. Memang di antara cucu-cucu mertuanya itu, hanya Bian yang tampaknya menutup diri. Malas berinteraksi dengan dengan keluarga besar kecuali dengan Om Jemi—adik Papa. Namun, itupun tak terlalu sering.

“Kamu harus akur-akur sama nenek kamu, bi.”

“Kenapa?”

“Biar dapet warisan.”

Di luar dugaan. Bian mendorong Mama, sampai Mama terguling di atas ranjang sembari tertawa terbahak-bahak.

“SI MAMA BISA-BISANYA!”