Sial Tapi Bukan Sia-Sia

Bianca menuruni motor dengan gerakan yang sedikit kaku, kakinya menyentuh trotoar yang panas di bawah sinar matahari sore yang mulai memudar. Angin yang tadi menerpa wajahnya selama perjalanan terasa seperti tangan-tangan tak terlihat yang dengan sengaja mengacaukannya, menyebabkan rambutnya yang semula ditata rapi menjadi sedikit kusut dan acak-acakan.

“Makasih, ya, Pak!” kata Bianca, sambil menyerahkan helm kepada pemiliknya.

“Jangan lupa, bintang lima ya, Mbak Cantik!”

Tanpa mengatakan apapun, Bianca hanya memamerkan ibu jarinya, berharap pengendara ojek online itu cepat-cepat pergi dari sana.

Dan, tatkala ia benar-benar pergi, Bianca langsung menghela napas panjang. Nyatanya sial, tak mengenal tanggal. Helm yang sempat ia kenakan itu, berbau tak sedap.

“Bintang lima, bintang lima…. Helm lo, noh, bau belerang…,” gumam Bianca, seraya menyentuh kepalanya, kemudian menyadari bahwa aroma tak sedap dari helm yang ia maksud, tertinggal di sana.

Bianca praktis mencebik, rasa penyesalan menyelinap di dadanya lantaran lebih memilih naik ojek motor alih-alih ojek mobil, atau mengendarai mobil milik sang papa seperti biasa.

Saran Zaid, laki-laki yang baru-baru ia angkat menjadi sahabatnya, memang terdengar romantis, namun cukup untuk dianggap menyesatkan, membuat Bianca mulai mempertanyakan kemampuannya dalam mengambil keputusan.

Baru beberapa langkah, ia terhenti di depan sebuah etalase kaca milik toko di pinggir jalan. Pantulan dirinya di kaca itu seperti cermin yang berkata jujur namun begitu kejam. Bianca melihat seorang gadis dengan wajah sedikit kusut, rambut yang menolak patuh meski sudah disisir menggunakan jari berulang kali, dan mata yang mencerminkan campuran kekeselan, resah, dan sedikit ketidakpastian. Dengan jari-jari yang panjang, Bianca kembali merapikan rambutnya, menarik helai-helai yang membandel agar kembali pada tempatnya. Pakaian berbahan knit yang sengaja Bianca pilih karena terlihat simpel namun tetap elegan sedikit bergeser dari posisinya, dan ia buru-buru menarik ujungnya agar kembali terlihat rapi. “Relaks, please…,” bisiknya pada diri sendiri, suaranya hampir tak terdengar di tengah deru kendaraan dan suara klakson yang memenuhi udara. Jantungnya berdetak kencang, bukan hanya karena panas sore itu, tapi juga karena antisipasi bertemu dengan Sabian.

Sabian. Nama itu kini lebih familier, semenjak Sabian sendiri yang mengatakan kalau ingin mendekatinya. Belakangan, bertukar pesan di sela-sela kesibukan mereka sebagai pengangguran, menjadi sebuah rutinitas. Hari ini, pertemuan mereka mungkin dapat dikategorikan sebagai kencan pertama mereka, setelah memutuskan untuk menjadi lebih dari sekadar teman. Ada harapan yang membuncah di dada Bianca—harapan yang ia sendiri tak berani akui sepenuhnya.

Namun, harapan itu seolah ditampar realitas begitu ia menoleh pada halaman depan kafe yang dimaksud. Pintu kacanya tampak terkunci rapat, dan ada sebuah papan kecil bertuliskan “TUTUP” tergantung di gagang pintu, bergoyang pelan diterpa angin sore. Bianca mendelik, matanya membelalak tak percaya. “Serius?” gumamnya, suaranya penuh kekecewaan yang tak bisa ia sembunyikan.

Bianca mengambil langkah mendekat, berusaha mengintip ke dalam. Ruangan di dalam gelap, hanya ada bayangan samar meja-meja kosong dan kursi-kursi yang tersusun rapi. Bau debu samar tercium dari celah-celah pintu, menambah kesan sepi yang menyedihkan, seolah kafe itu sudah lama ditinggalkan

“Bianca?”

Suara itu datang memecah keheningan yang mulai menyelimuti hati Bianca. Lantas, ia memutar tubuh dengan cepat, hampir tersandung oleh trotoar yang sedikit retak. Dan, tak jauh dari sana, Sabian berdiri di samping motornya, helm hitamnya masih tergenggam di tangan kanannya. Rambutnya yang sedikit berantakan karena helm justru membuatnya terlihat lebih menarik dari biasanya.

“Masabi! Kafe ini tutup!” seru Bianca, nadanya sedikit lebih keras dari yang ia inginkan, seperti anak kecil yang tengah mengadu pada ayahnya dari kejauhan.

Sabian mengerutkan kening, ekspresinya beralih dari santai menjadi bingung. Dengan cepat, ia meninggalkan motornya, langkahnya mantap dan penuh rasa ingin tahu. Ia mendekati pintu kafe, memeriksanya dengan mata menyipit, seolah berharap pintu itu akan terbuka hanya karena ia menatapnya.

“Beneran, ya?” gumamnya, suaranya rendah, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. Ia mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya, jari-jarinya bergerak cepat di layar, mencari sesuatu.

Setelah beberapa detik, ekspresi Sabian berubah. Alisnya terangkat, dan wajahnya memerah sedikit, tanda rasa bersalah yang jelas. Ia memutar ponselnya ke arah Bianca, menunjukkan sebuah artikel yang ia temukan tentang kafe itu. “Lihat, Bi,” katanya, suaranya pelan, penuh penyesalan. “Kafe ini ternyata udah tutup permanen sejak pertengahan tahun lalu. Postingan yang gue lihat di reels… itu kemungkinan video lama.”

Bianca menatap layar ponsel itu, matanya menyusuri kalimat-kalimat yang menjelaskan bahwa kafe tersebut memang sudah tidak beroperasi karena masalah internal antar memiliknya. Informasi itu seperti pukulan kecil di dadanya, membuat harapan yang sebelumnya sempat membuncah kini kempis seketika. “Serius?” tanyanya, tak percaya. “Jadi kita nggak batal ngedate?”

Sabian terkekeh, kemudian menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, dan wajahnya semakin memerah. “Maaf, ini salah gue….”

Bianca memandangnya, ingin marah tapi entah kenapa justru merasa lucu. Ada sesuatu dalam sikap Sabian yang begitu tulus, begitu polos, sehingga kemarahannya perlahan melebur menjadi senyum kecil yang tak bisa ia tahan. “Nggak usah minta maaf, mungkin alam emang nggak merestui kita.”

Sabian tertawa kecil, tapi cepat-cepat menghentikan tawanya ketika melihat Bianca memicingkan mata. “Ayo… ayo kita cari tempat lain buat ngedate!” Nada suara Sabian, lembut namun penuh keyakinan, membuat hati Bianca sedikit melunak.

Ada kehangatan dalam caranya berbicara, dalam caranya menatap Bianca dengan penuh perhatian, yang membuatnya merasa bahwa laki-laki di hadapannya itu benar-benar ingin memperbaiki situasi.

Bianca menghela napas, mencoba menahan senyum yang semakin lebar. “Ada kafe lain di dekat sini,” katanya setelah berpikir sejenak. “Nggak jauh, cuma lima menit naik motor. Ramai, tapi enak. Lo mau ke sana?”

Sabian mengangguk tanpa ragu, matanya berbinar. “Deal. Ayo.”

Laki-laki itu berjalan menuju motornya. Dan, dengan tangan yang amatir ia membukakan pijakan kaki di motor untuk Bianca, sebelum Bianca sempat melakukannya sendiri. Gerakan kecil itu, sederhana namun penuh perhatian, membuat Bianca merasa ada kupu-kupu kecil yang beterbangan di perutnya. Beruntung, ia sudah memikirkan situasi ini sebelumnya dan memilih mengenakan celana jeans panjang yang nyaman alih-alih rok, membuatnya lebih mudah menaiki motor. Dengan bantuan tangan Sabian yang menyangga lengannya dengan lembut, ia naik ke jok belakang, merasakan permukaan kulit jok yang sedikit panas karena terpapar sinar matahari sore.

“Gue cuma ada satu helm,” kata Sabian.

“Ohh, yaudah, pake aja. Gue lebih suka kena angin,” sahut Bianca.

Selang beberapa detik, setelah keduanya sama-sama siap, motor Sabian mulai melaju, membelah bahu jalan yang ramai dengan kendaraan. Angin kembali menerpa wajah Bianca, kali ini asap kendaraan membawa serta aroma parfum Sabian yang menguar dari pakaiannya. Suara klakson dan deru mesin motor lainnya mengisi udara, tapi entah kenapa, semua itu terasa seperti latar belakang yang samar di pikiran Bianca. Ia fokus pada punggung Sabian di depannya, pada jaket kulitnya yang sedikit usang namun terasa begitu nyata di bawah genggaman tangannya. Jantung Bianca berdetak kencang, bukan hanya karena kecepatan motor, tapi juga karena kedekatan ini—kedekatan yang membuatnya merasa hidup, namun juga rentan.

Perjalanan menuju kafe lain terasa singkat, meski jalanan cukup padat. Sesampainya di sana, Bianca langsung disambut oleh keramaian yang nyata. Kafe itu penuh sesak, antrean di kasir mengular hingga hampir mencapai pintu masuk. Suara obrolan pelanggan bercampur dengan dentingan cangkir dan aroma kopi yang menggoda. Lampu-lampu gantung dengan bohlam kuning menghiasi langit-langit, memancarkan cahaya lembut yang memantul di dinding kayu kafe, memberikan nuansa tenang yang kontras dengan kegaduhan di dalamnya.

Sabian memarkirkan motornya dengan hati-hati, lalu melepas helmnya sambil menoleh ke arah Bianca.

“Gue antri pesanan, ya,” kata Bianca cepat, ingin mengambil inisiatif. Ia melangkah lebih dulu, meninggalkan Sabian yang masih sibuk meletakkan helmnya di spion motor.

Namun, baru beberapa langkah, Bianca merasakan nyeri samar di perutnya, seperti tusukan kecil yang datang tanpa peringatan. Langkahnya terhenti, tangannya secara refleks menyentuh bagian bawah perutnya. Nyeri itu bukan hal baru baginya—ia tahu itu pertanda haidnya datang, tapi intensitasnya kali ini cukup mengganggu, membuatnya sedikit meringis.

Dari belakang, Sabian bergegas menyusul, menyadari gestur Bianca yang mencurigakan. “Lo kenapa, Bi?” tanyanya, tersirat kekhawatiran, matanya menelusuri wajah Bianca dengan cermat.

Bianca menggeleng, mencoba menutupi rasa tidak nyamannya. “Nggak apa-apa,” katanya, lirih.

Beruntung Sabian tak membiarkannya begitu saja. Dengan langkah cepat, ia mendekati Bianca, berjalan tepat di belakangnya.

Bianca dapat merasakan sentuhan lembut di pundaknya—kedua tangan Sabian menyentuhnya dengan hati-hati, seolah ingin memastikan ia baik-baik saja.

“Ke toilet dulu, gue anter,” kata Sabian, tegas tapi penuh perhatian.

Bianca mengerutkan kening, bingung. “Hah?”

Sabian menunduk sedikit. “Celana lo kotor.” Suaranya pelan di telinga Bianca. Hampir seperti bisikan yang ditujukan hanya untuknya.

Detik itu juga, Bianca ingin menenggelamkan dirinya sendiri ke dasar lautan. Wajahnya memucat, jantungnya berdegup kencang, dan rasa malu menyerbu dirinya seperti gelombang yang tak bisa ia bendung. Ia menunduk, tak berani menatap Sabian, apalagi memeriksa celananya sendiri. Ini adalah kencan pertamanya dengan laki-laki setampang Sabian, dan hal yang sangat fatal malah terjadi. Rasa malunya begitu besar, seperti beban yang menekan dadanya, membuatnya sulit bernapas.

Sabian, seperti memahami kepanikan Bianca, ia mengambil aksi tanpa perlu diminta. Dengan sikap yang tenang tapi tegas, ia mengantar Bianca menuju toilet di sudut kafe. Kebetulan peminat toilet tak seramai peminat kopi. Di depan pintu toilet wanita, Sabian berhenti, menatap Bianca dengan ekspresi yang menenangkan, seolah ingin menegaskan bahwa ia tidak akan membiarkannya sendirian dalam situasi ini.

“Masuk. Tunggu sebentar di dalam.”

Bianca bergeming, tak berniat memberi jawaban.

“Tenang aja, gue beneran cuma sebentar…,” katanya, memastikan.

Lantas, Bianca hanya mengangguk lemas, sebelum akhirnya ia melangkah masuk ke dalam toilet, memilih salah satu bilik, dan mengunci pintunya dengan tangan yang sedikit gemetar. Di dalam bilik kecil, yang bau amonia pembersihnya menyengat di hidung itu, ia merasa seperti ingin menangis. Dinding bilik yang dilapisi ubin putih terasa dingin saat ia bersandar padanya, mencoba menenangkan napasnya yang tak teratur.

“Kenapa harus sekarang, sih? Kenapa harus di depan Sabian?” gumamnya pada diri sendiri, suaranya hampir tak terdengar, terkubur oleh rasa malu yang begitu besar, hampir menyakitkan. Ia membayangkan Sabian mungkin saja memandangnya dengan jijik, atau setidaknya merasa kerepotan. Pikiran-pikiran itu berputar di kepalanya, membuat dadanya terasa sesak. Waktu di dalam bilik itu terasa berjalan lambat, setiap detik terasa seperti menit. Suara gemerisik langkah kaki dan obrolan pelan dari orang-orang di luar toilet samar-samar terdengar, namun Bianca merasa terisolasi, terperangkap dalam ruang kecil yang terasa semakin menyesakkan. Tiba-tiba, ketukan pelan di pintu biliknya memecah keheningan.

“Halo? Yang di dalam sini Bianca, ya?” Suara seorang wanita, lembut namun asing, terdengar dari luar, membawa sedikit kebingungan di tengah keresahan Bianca.

“Iya,” jawab Bianca, suaranya lirih.

“Pacar kamu di luar, titip sesuatu ke saya. Boleh buka pintunya?”

Bianca mengerutkan kening, bingung namun penasaran. Dengan ragu, ia membuka pintu bilik sedikit, cukup untuk melihat seorang wanita paruh baya berdiri di depannya, memegang sebuah tas karton kecil. Wanita itu tersenyum ramah, kerutan halus di sudut matanya menunjukkan kehangatan yang tulus. Ia menyerahkan tas karton itu kepada Bianca, yang menerimanya dengan tangan yang masih gemetar.

“Makasih, Tante…,” ucapnya pelan, dan wanita itu mengangguk singkat.

Bianca kembali menutup pintu bilik. Ia membuka tas karton pemberian Sabian dengan hati-hati, dan apa yang ia temukan di dalamnya membuatnya tertegun. Ada pembalut—masih dalam kemasan plastik yang rapi, dan jaket kulit yang sempat dikenakan oleh Sabian—masih membawa aroma samar parfumnya yang maskulin. Bianca menatap isi tas karton itu, dadanya dipenuhi perasaan kagum, haru, dan sedikit rasa tak percaya. Sabian, dengan segala ketenangannya, telah pergi mencari pembalut untuknya dan bahkan memberikan jaketnya—mungkin untuk menutupi noda di celananya. Tindakan tak terduga itu terasa begitu besar di hati Bianca, seperti seberkas cahaya di tengah kegelapan rasa malunya.

Bianca menghabiskan beberapa menit di dalam bilik toilet untuk menyelesaikan urusannya. Ia mengikat jaket Sabian di pinggangnya untuk menutupi noda, sembari menatap pantulan dirinya pada cermin besar di luar bilik. Jaket itu terasa hangat, seolah menyampaikan kehangatan hati Sabian.

Bianca mengatur napasnya. Dengan hati-hati, ia akhirnya keluar dari toilet, aroma kopi dan kue yang tadi menggoda kini terasa seperti pengingat bahwa dunia di luar masih berjalan, meski hatinya masih berdebar-debar. Tatkala Bianca menoleh, ia sedikit terkejut, namun juga lega, melihat Sabian masih berdiri di sana. Di tempat ia meninggalkannya. Laki-laki itu menunggu Bianca dengan ekspresi santai namun gurat kekhawatiran tak dapat ia sembunyikan sepenuhnya.

“Udah?”

“Iya….” Bianca celingak-celinguk, menatap sekitar. Mendapati bahwa langit sudah mulai gelap.

Sabian tersenyum kecil, dan dengan gerakan yang tak terduga, ia mengacak pucuk kepala Bianca dengan gemas, jari-jarinya terasa hangat di kulitnya. “Sini, gue bantu bawa,” katanya, meraih tas karton dari tangan Bianca begitu saja. Gerakannya alami seolah itu hal yang biasa untuknya.

Sementara itu, Bianca hanya melongo, masih tak menyangka Sabian akan begitu santai setelah kejadian yang sangat memalukan menimpanya.

Namun, tatkala Sabian mulai melangkah di meninggalkannya, sesuatu dalam diri Bianca mendorongnya untuk bertindak. Dengan gerakan cepat, ia menarik ujung kaos Sabian, membuat laki-laki itu berhenti dan menoleh dengan alis terangkat.

“Apa?”

Bianca menelan ludah, merasakan jantungnya berdetak kencang, tak karuan. “Lo bisa bantu bawa yang lainnya, nggak?”

Sabian memutar tubuhnya sepenuhnya, menatap Bianca lamat-lamat, seolah mencari tahu apa maksudnya. “Bisa. Apalagi yang mau gue bawa?” tanyanya, nadanya ringan namun penuh perhatian.

Kemudian, tanpa mengatakan apa-apa, Bianca mengulurkan tangannya ke depan, telapak tangannya menghadap ke atas, terbuka seperti sebuah undangan. Ia tak tahu dari mana keberanian itu datang, tapi momen ini terasa seperti titik balik, sebuah kesempatan yang tak boleh ia lewatkan.

Sabian menatap tangan itu sejenak, sebelum akhirnya tersenyum—senyum lebar yang membuat jantung Bianca berdetak lebih kencang. Dengan gerakan yang impulsif, ia menggenggam tangan Bianca, jari-jarinya menyatu dengan jari-jari Bianca, terasa hangat dan kokoh.

“Secepet itu ya, mood lo membaiknya?” kata Sabian sambil terkekeh, memimpin mereka berdua menuju antrean yang masih mengular.

Bianca menghela napas panjang, mencoba menutupi rasa gugup yang masih tersisa. “Sebenernya gue masih malu banget, dan gak sanggup liat muka lo. Tapi… kayaknya, kebaikan dan perhatian lo nggak boleh gue sia-siain gitu aja,” katanya, penuh keyakinan.

Mendengar itu, sontak membuat Sabian tertawa, suaranya ringan dan hangat, mengisi ruang di antara mereka dengan keakraban yang baru. “Makasih, ya, timbal baliknya.”

Mereka melangkah bersama, tangan mereka tetap bergandengan, mengantre di tengah keramaian kafe. Di tengah suara tawa, aroma kopi, dan dentingan cangkir, Bianca merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Momen memalukan tadi, yang awalnya terasa seperti akhir dunia, kini menjadi titik balik. Sabian bukan hanya laki-laki yang ia sukai—ia adalah seseorang yang mampu membuatnya merasa aman, bahkan di tengah kekacauan.