Suatu Kebetulan

Cahaya lembut dari lampu meja di sudut ruangan menyinari dinding berwarna krem, menciptakan bayang-bayang yang menari pelan setiap kali angin malam menggoyangkan tirai tipis di jendela. Di luar, suara jangkrik dan sesekali deru motor yang melintas di kejauhan menambah kesunyian malam. Bianca duduk di tepi ranjangnya, bantal empuk dengan sarung bermotif bunga ia peluk erat di dadanya. Jantungnya masih berdegup tak karuan, seperti drum yang dimainkan dengan ritme yang tak bisa ia kendalikan. Ponselnya tergeletak di sampingnya, layarnya masih menampilkan pesan terakhir dari Sabian, bahkan sejak ia meninggalkan rumah laki-laki itu dengan amat tergesa.

|masabi |lo punya pacar gak? |lo keberatan gak kalo gue |deketin?

Kalimat itu seperti mantra yang terus bergema di kepala Bianca. Ada kegembiraan yang membuncah, seperti gelembung soda yang siap meledak di dalam hatinya. Ada juga ketakutan yang merayap pelan, seperti bayang-bayang di sudut ruangan yang tampak menyeramkan meski tak nyata. Bianca praktis menutup wajahnya dengan kedua tangan, mencoba menenangkan napasnya yang tersengal lantaran terus memikirkan Sabian.

“Ya Tuhan… ini harus dibales apa?” gumam Bianca. Suaranya nyaris tenggelam dalam keheningan kamar.

Bianca menutup mata sejenak, mencoba mengingat kembali bagaimana Sabian menatapnya beberapa saat lalu. Ada kelembutan di sana, tapi juga sesuatu yang lebih dalam—seperti ia sedang mencari jawaban atas pertanyaan yang ia berikan. Setiap kali Sabian tersenyum, sudut matanya melengkung, membuat Bianca merasa seperti satu-satunya orang yang pernah melihatnya saat tengah seperti itu. Dan, ketika ia mengajukan pertanyaan—pertanyaan yang kini menghantui Bianca—wajahnya tampak sangat serius dan tegas. Hal itu sukses membuat Bianca kehilangan kata-kata. Dunia seakan berhenti berputar. Pipinya panas, jantungnya seperti ingin melompat keluar, dan yang bisa ia lakukan hanyalah mematung, sebelum akhirnya tertawa gugup dan berkata, “Gue kayaknya harus pulang, deh.”

Ia kabur. Ia masih ingat bagaimana ia pamit dengan alasan yang terdengar begitu bodoh bahkan di telinganya sendiri—sesuatu tentang harus pulang karena sudah waktunya bagi Cica untuk tidur. Sabian hanya tersenyum saat ia mengatakan itu, tapi tatapannya seolah-olah ingin menahan Bianca lebih lama.

Udara malam yang dingin menyengat wajah Bianca, tapi tak cukup untuk mendinginkan gejolak di dadanya. Sepanjang perjalanan pulang, ia terus memikirkan apa yang seharusnya ia katakan, apa yang seharusnya ia lakukan. Dan sekarang, di kamarnya yang sepi, penyesalan itu bercampur dengan kegembiraan yang tak bisa ia bendung.

Bianca bangkit dari ranjang, langkahnya pelan menuju cermin besar di sudut kamar. Cahaya lampu meja memantul di permukaan cermin, membuat wajahnya terlihat lembut tapi sedikit lelah. Rambutnya yang panjang sedikit berantakan, beberapa helai menempel di pipinya yang masih merona. Ia memandang matanya sendiri, mencoba mencari tahu apa yang Sabian pikirkan malam ini.

“Sebenernya dia serius nggak, sih?” tanyanya pada bayangannya sendiri. Suaranya penuh keraguan tapi juga harap. Bianca menghela napas panjang, lalu kembali ke ranjang, memeluk bantalnya lebih erat seolah-olah itu bisa menahan badai emosi yang mengombang-ambingkan hatinya.

Perasaannya pada Sabian bukanlah sesuatu yang muncul tiba-tiba. Sudah berbulan-bulan ia menyimpan rasa itu di sudut terdalam hatinya, seperti bunga yang ia rawat dalam diam. Setiap kali ada kesempatan, ialah yang terus mencari tahu tentang kehidupan Sabian. Berawal dari sepasang sepatu milik laki-laki itu, berkembang menjadi perasaan yang mulanya tak pernah ingin Bianca akui. Sebelum hari ini, baginya, Sabian seperti langit malam; indah, luas, tapi terlalu jauh untuk disentuh. Ia tak pernah berani bermimpi bahwa laki-laki itu akan melihatnya dengan cara yang sama. Tapi malam ini, pertanyaan itu seperti bintang jatuh yang tiba-tiba melintas di hidup Bianca, membuatnya percaya—meski hanya sedikit—bahwa mungkin, hanya mungkin, mimpinya tak sepenuhnya mustahil. Namun, di tengah kegembiraan itu, ada ketakutan yang terus mengintai. Bagaimana kalau Sabian hanya bercanda? Bagaimana kalau ini hanya momen sesaat yang akan hilang besok pagi? Bianca menatap ponselnya lagi, layarnya kini gelap, tapi pesan itu masih terasa hidup di pikirannya. Ia ingin membalas, ingin menulis sesuatu yang menunjukkan bahwa ia juga merasakan sesuatu, tapi jari-jarinya seperti membeku.

Saat ia tengah tenggelam dalam lamunan, tiba-tiba terdengar ketukan pelan di pintu kamarnya.

“Bianca? Bunda boleh masuk?” Suara sang bunda lembut, seperti biasanya.

“Masuk aja, Bun!” jawabnya, buru-buru duduk tegak dan menyisir rambutnya dengan jari, berusaha terlihat tenang meskipun wajahnya masih menyimpan jejak kepanikan.

Pintu terbuka perlahan, dan Bunda masuk dengan langkah ringan. Cahaya dari luar menyelinap masuk, menciptakan siluet lembut di sekitar sosok bunda yang mengenakan piama bermotif bunga-bunga kecil. Rambutnya yang panjang diikat sederhana, dan senyumnya seperti pelukan yang tak perlu kata-kata. Ia duduk di tepi ranjang Bianca, kasur itu sedikit berderit di bawah beratnya. Bunda memandangnya dengan tatapan penuh kasih.

“Gimana tadi, Bi? Kamu bilang diajak barbekuan sama Tante Ratu, tapi kok pulangnya cepet banget?” tanya Bunda, nadanya penuh rasa ingin tahu tapi juga hati-hati, seperti tak ingin memaksa.

Bianca tersenyum canggung, merasakan wajahnya memanas lagi. “Iya, Bun, soalnya Cica kayak udah keliatan ngantuk,” jawabnya, berusaha terdengar santai meskipun jantungnya masih berdebar mengingat Sabian. Lagi-lagi ia berbohong menggunakan nama sang adik.

Bianca memainkan ujung bantalnya, berharap Bunda tak akan bertanya lebih jauh. Tapi Bunda sepertinya bisa membaca sesuatu di wajahnya. Wanita itu memiringkan kepala, alisnya sedikit terangkat. “Beneran cuma karena Cica ngantuk?” tanya Bunda memastikan.

Merasa seperti tengah diselidiki Bianca tertawa kecil, tapi tawanya penuh kegugupan. “Iya, Bun! Emangnya apalagi?” Ia buru-buru mengalihkan pandangan. Takut sang bunda akan melihat kebenaran di matanya.

Bunda menarik napas panjang, kemudian dengan nada yang lebih serius, ia melanjutkan, “Bunda terus kepikiran sama chat kamu, waktu kamu masih di Surabaya. Kamu bilang suka sama seseorang, kan? Yang… yang udah punya anak itu. Gimana kelanjutannya?”

Bianca hampir tersedak mendengarnya. Ia ingat tentang pesan itu—pesan yang ia kirimkan sewaktu ia belum benar-benar mengenal seorang Sabian. Ia tak menyangka kalau itu akan membekas dalam ingatan bundanya. “Bunda! Ya ampun, itu cuma bercanda, kok!” serunya, setengah tertawa, setengah panik. “Nggak mungkinlah aku suka sama duda!”

Bunda memandangnya dengan curiga, matanya menyipit seperti detektif yang sedang mencari petunjuk. “Beneran? Kamu kadang-kadang suka out of the box, sih! Bunda, kan, jadi bener-bener kepikiran. Takut kamu salah pilih di usia yang masih semuda ini,” katanya, nadanya lembut tapi penuh kekhawatiran tulus.

Bianca merasa hatinya menghangat mendengar itu. Meski kadang Bunda terlalu ikut campur, ia tahu semua itu karena kasih sayang.

“Bunda tenang aja,” kata Bianca, tersenyum untuk meyakinkan. “Aku udah dewasa, Bun. Aku tahu mana yang bener dan mana yang salah. Lagipula, aku nggak bakal sembarangan milih orang buat jadi pasangan, kok.” Ia meraih tangan Bunda, merasakan kehangatan telapak tangan yang sudah mulai keriput itu. Bunda mengangguk, tapi ada kilatan di matanya—sesuatu yang membuat Bianca merasa ada yang disembunyikan.

“Tapi... sebenernya Bunda ada rencana buat jodohin kamu,” kata Bunda tiba-tiba, nadanya berubah jadi sedikit ceria tapi juga misterius.

Sontak Bianca mengerutkan kening, merasa ada sesuatu yang tak biasa. “Hah?? Aku? Dijodohin?!” tanyanya dengan mata yang mendelik.

“Nggak seserius Siti Nurbaya, Bi. Kamu bisa nolak setelah ketemu dan merasa nggak cocok sama orangnya,” jawab Bunda, santai tapi penuh keyakinan.

Bianca membelalakkan mata, mulutnya terbuka tapi tak ada suara yang keluar.

“Mau, ya?”

“Apaan, sih, Bun? Aku nggak mau! Nggak perlu nunggu ketemu, pokoknya aku nggak mau!” serunya, suaranya melengking karena kaget. Ia tak menyangka Bunda akan membuat rencana sebesar ini tanpa berkonsultasi dengannya lebih dulu.

“Cuma nemuin satu kali, deh!”

“Nggak mau, Bun.”

“Eh, orangnya satu kampus sama kamu, lho. Siapa tau nanti bisa jadi temen kamu waktu balik ke Surabaya. Ganteng, dan dari keluarga baik-baik. Sedikit lebih tua dari kamu, jadi Bunda pikir mungkin kalian akan cocok.” Nada bunda penuh antusiasme, tapi Bianca tak mengatakan apa-apa.

Pikiran Bianca langsung melayang ke Sabian. Satu kampus? Sedikit lebih tua? Apa ini Sabian? Jantungnya kembali berdegup kencang, kali ini membawa harapan yang begitu besar hingga ia hampir tak bisa bernapas.

Tanpa pikir panjang, Bianca yang tadinya ingin protes lebih lanjut, langsung berubah pikiran. “O-oke, Bun. Aku setuju,” katanya cepat, suaranya penuh kegembiraan yang tak bisa ia sembunyikan.

Bunda tampak terkejut, alisnya terangkat tinggi. “Loh, kok tiba-tiba setuju? Tadi marah-marah…,” gumamnya.

Mendengar itu Bianca langsung tergagap, mencoba mencari alasan yang masuk akal. “Ehm, ya… setelah aku pikir-pikir, nggak ada salahnya cuma kenalan,” jawabnya, berusaha terdengar meyakinkan meskipun wajahnya pasti sudah memerah lagi. Bunda hanya mengangguk, seraya tersenyum lega mendengar keputusan Bianca.

“Ya udah, kalau gitu nanti kosongin jadwal, ya, di tanggal lima.”

“Aman!”

Setelah Bianca mengatakan itu, Bunda langsung keluar dari kamarnya. Pintu ditutup dengan bunyi klik pelan, meninggalkan Bianca dalam keheningan yang kini terasa berbeda. Ia kembali terduduk di ranjang, memandangi ponselnya yang masih diam. Di luar, angin malam bertiup lebih kencang, membuat tirai lagi-lagi bergoyang dan jendela berderit pelan. Tapi di dalam hati Bianca, ada badai yang jauh lebih besar—campuran antara harapan, kegembiraan, dan sedikit ketakutan.

“Emangnya boleh ya semesta se-suportif ini sama kehidupan percintaan gue?” tanyanya pada dirinya sendiri, sebelum bibirnya melukis lengkungan menjadi sebuah senyum lebar.

Malam itu, Bianca tertidur dengan hati yang penuh—seperti langit malam yang dipenuhi bintang. Di antara mimpi dan kenyataan, Bianca memeluk bantalnya erat, menanti apa yang akan dibawa esok hari.