Sudah Habis Kesabaran Mama
Bian terus menunduk sejak beberapa saat lalu. Diam membisu, mendengar seribu satu ocehan yang keluar dari dalam mulut Zaid. Mungkin sebentar lagi akan habis riwayat mereka bertiga, mengingat sang papa, dan barangkali teman-teman dari orang tuanya itu ikut datang.
“Lagian elo tuh—ah! nekat banget, Anjing!” Zaid menarik napas, kesal. “Elo juga, Ji. Mau-mauan aja disuruh sama dia demi duit.”
Mendengar bagaimana Zaid marah-marah, sembari menyalahkan dirinya, lantas Ozi berdecak. Dalam benak dia kesal, toh Zaid juga pada akhirnya bersedia ikut tanpa paksaan. “Terus apa bedanya sama lo?”
Kemudian, di waktu yang bersamaan dengan Bian mengangkat dagunya, dia melihat bagaimana Zaid merotasikan mata ditambah raut wajah sinis yang tercetak jelas.
“Jelas-jelas gue ikut karna lo sama Bian!” seru Zaid.
“Ya, gua juga karna Bian.”
“Karna duit!” kata Zaid mengkoreksi perkataan Ozi.
Menyaksikan perdebatan sengit itu, bahu Bian merosot. Sadar kalau masalah yang satu ini lagi-lagi karena ulahnya. Jangankan ikut menimpali keduanya, menatap wajah Zaid dan Ozi lebih lama saja Bian tidak mampu. Bian terus mengingat pesan terakhir yang Zaid dapat dari sang papa. Dia bergidik ngeri.
Tiba-tiba saja suasana mendadak hening. Zaid dan Ozi berhenti di tengah-tengah perdebatan mereka begitu saja. Lalu, detik selanjutnya Bian baru tersadar kalau presensi kedua orang tuanya lah yang membuat atmosfer di sekitar mereka berubah seketika. Sementara Zaid dan Ozi saling menyenggol satu sama lain, Bian justru diam dan mematung di tempat. Menatap garangnya wajah Papa yang perlahan tapi pasti kian mendekat. Tepat di belakang Papa, ada Mama yang kelihatannya tidak bersemangat. Mama marah? Tentu.
“Bian!” Baik Zaid maupun Ozi refleks menoleh ke arah Bian. “Ayo pulang,” kata Papa dengan nada paling dingin yang pernah Bian dengar.
Sorot mata Bian menelisik. Mengamati situasi, kira-kira seperti apa suasana hati Papa dan Mama saat ini. Kemudian, sesaat, selepas kedua manik matanya bertemu dengan milik sang Papa, suara bariton Papa kembali menginterupsi.
“Kuping kamu udah gak berfungsi, ya? Papa bilang ayo pulang!” seru Papa yang kemudian menarik bahu Bian dengan paksa.
Sementara Bian, saat dibentak oleh Papa seperti barusan bukannya takut, justru sibuk memberontak. Berusaha melepas cengkraman tangan Papa pada bahunya. “Sebentar, Pa, Bian mau pamit sama Ajeng, Pa!” rengeknya.
“Gak ada. Pulang sekarang!”
“Sebentar aja, Pa!”
Plak!
Tubuh Bian gontai seketika. Kruk bantu jalan yang semula dia pegang erat-erat pun terlepas. Tangannya spontan menyentuh pipi yang baru saja menjadi sebuah sasaran paling empuk atas kekesalan Mama. Bian membisu. Ada jejak kemerahandi pipinya, dan panas.
Zaid, Ozi, juga Papa memilih untuk bergeming tatkala melihat bagaimana ekspresi Mama setelahnya.
“Setiap kali, Bian—setiap kali kamu ngelakuin kesalahan, Mama selalu bantu kamu lolos dari Papa. Setiap kali kamu bohongin Mama, selalu Mama maafin. Semua yang kamu mau, selalu Mama penuhin sebagai orang tua. Mama gak pernah nuntut banyak dari kamu, SABIAN!” Mama menggertak. Saking pekatnya kekesalan Mama, suara napasnya bahkan seakan gemetar. “Tapi pernah gak sekali aja, kamu mikirin gimana Mama? Kamu bahkan gak pamit waktu ke sini, padahal semua orang di rumah khawatirin kamu!”
“Ma....”
“Kamu mikir, gak?!” Napas Mama tersengal-sengal. “Kok bisa, sih, kamu lebih mikirin orang asing daripada keluarga kamu? Pamit sama Ajeng kamu bilang?”
Lalu tawa sumbang Mama mengudara. Mama meraih kerah pakaian Bian dengan kasar. “Kamu kepikiran gak buat pamit sama Mama, Bi?? Enggak! Mama udah hampir gila cuman karena denger kabar kamu tiba-tiba ada di rumah sakit!”
“Ra, udah, ayo pulang.” Papa akhirnya melerai.
Diam-diam air mata Bian mengalir. Diam-diam ada banyak pasang mata yang memperhatikannya sejak tadi, karena praktisnya mereka tengah berada di sebuah lorong rumah sakit yang sudah pasti dilalui banyak orang.
Papa merangkul pundak Mama, sembari sesekali membari usapan menenangkan.
“Ozi, tolong anterin Zaid pulang dulu, di dicariin sama orang tuanya.”
“Iya, Om.” Ozi mengangguk-angguk patuh.
Selanjutnya, Papa melirik pada Bian yang sepertinya sudah hampir terisak, namun masih dia tahan. “Kamu kalau mau pulang, sekarang. Kalau gak mau, tidur aja di jalanan mulai malem ini.”