Sudah Jatuh Tertimpa Motor
Kalau soal belajar, sekarang Bian tidak pernah main-main. Semangatnya full batery! Sebab, yang namanya Sabian Aditama ini memegang teguh pendiriannya. Kalau tidak, bisa-bisa nanti diledek Papa habis-habisan karena sempat menangis perihal nilai rapor yang nyaris menyerempet KKM di semester lalu. Ditambah lagi, jangan lupa beban sebuah janji revolusi yang dia suarakan secara terang-terangan pada beberapa orang terdekatnya. Andaikata Bian gagal lagi, entah mau ditaruh di mana wajah tampannya itu nanti.
Hari ini jadwalnya Bian belajar di tempat les. Agaknya tempat les ini juga berperan penting dalam meningkatkan nilai-nilai pada tugas sekolah Bian, luar biasa. Pernah, sampai salah seorang yang biasanya dia minta untuk mengemban tanggung jawab sebagai 'joki tugas' bertanya terang-terangan kenapa Bian tidak pernah menitipkan tugas-tugasnya lagi. Lantas, Bian sekonyong-konyong menjawab 'udah pinter' dengan laga jumawa yang sengaja dia buat-buat. Kemudian, efek sampingnya lumayan. Selain menghemat uang saku, Bian juga jadi jauh lebih mengerti bagaimana caranya mengeksekusi tugas-tugasnya sendiri. Bahkan Zaid sukses dibuat terheran-heran, sebab biasanya dia dan Bian sering kali sharing kunci jawaban PR, tapi kini tidak lagi.
Ngomong-ngomong soal Zaid, meski katanya sedang marah dia masih Zaid yang sama seperti yang Bian kenal sejak bertahun-tahun lamanya. Masih Zaid yang kalau dibuntuti oleh Bian tidak akan menolak. Masih Zaid yang kalau melihat Bian sedang dalam kesulitan, akan langsung turun tangan apapun itu masalahnya.
Seperti halnya sore ini—Bian lupa membawa pensil dan yah Zaid dengan konflik batinnya memutuskan untuk meminjamkan Bian pensil. Namun, mengingat Bian yang tempo hari sempat membuatnya kesal lantas, pensil yang dia berikan adalah pensil yang terpendek dari yang terpendek. Tujuannya jelas, agar Bian frustasi tatkala menggunakannya.
Selama kurang lebih dua jam pensil yang Bian gunakan itu terus luput dari genggamannya. Miris.
Kegiatan belajar di tempat les sore itu akhirnya selesai. Bian menghela napas panjang seraya berjalan ke meja tempat di mana Zaid berada.
“Benci,” kata Bian begitu mengembalikan pensil milik Zaid.
“Gue lebih benci sama lo,” sahut Zaid secara spontan.
Bian mendengkus. Walaupun kenyataannya dia bisa saja meminjam benda tersebut dari orang lain, Bian sengaja memilih Zaid semata-mata untuk mencuri perhatian kawannya itu. Barang kali akan luluh, batinnya.
Zaid melirik Bian dari bawah ke atas. “Lo balik sama sia—” Belum sempat Zaid menyelesaikan kalimatnya, eksistensi Ajeng lebih dahulu mengalihkan fokus Bian.
Bocah itu berlari kecil menyusul Ajeng seraya menenteng ransel yang seharusnya dia gendong di pundak. “Aku boleh nganterin gak?” tanya Bian, kedengarannya begitu semangat.
“Rumah aku kan deket dari sini, Sab.”
“Gak masalah. Aku anterin ya??”
Nada bicara Bian sukses membuat Ajeng terkekeh. Layaknya bocah kecil yang tengah menawarkan sesuatu. Ajeng mengangguk samar-samar.
Sebenarnya tidak perlu repot-repot diantar pun Ajeng pasti selamat sampai rumah. Jarak dari tempat les ini ke rumahnya kan memang sedekat itu. Terbukti dari Ajeng yang bahkan hanya jalan kaki, sementara saat ke sekolah saja gadis itu naik sepeda.
“Ajeng!”
Itu suara Kak Xander, tutor merangkap kaka tiri bagi Ajeng. Suaranya lantang tapi tidak senyaring suara Ozi teman Bian. Mendengar namanya dipanggil, Ajeng pun menoleh. Meski begitu, tetap saja Kak Xander yang menghampiri Ajeng dan bukan sebaliknya.
“Mama sama papa mungkin baru pulang besok lusa.”
Ajeng menaikkan sudut salah satu alisnya. “Terus?” tanyanya to the point.
“Saya nginep di kostan. Kamu aman kan di rumah sendirian?”
“Oh....” Ajeng mengangguk paham. “Aman, tenang aja. Sebelum ada Kakak sama Mama—aku juga udah terbiasa sendirian di rumah,” tutur Ajeng yang kemudian sukses membuat atmosfer di antara mereka bertiga aneh seketika.
Geming.
Selanjutnya netra Kak Xander hati-hati menilik Bian dari ujung ke ujung. “Hm ... kalian berdua pacaran?” tanyanya hati-hati, meski kenyataannya mampu membuat Ajeng mendelik.
“Kita?” Bian kembali memastikan kalau yang Kak Xander maksud adalah dia dan Ajeng.
Kak Xander mengangguk.
“Enggak. Kita cuman temenan, gak lebih.”
Deg!
Bian langsung bungkam mendengar betapa yakin Ajeng dengan jawabannya yang barusan. Kalau boleh jujur hatinya mendadak nyeri. Dia tau, mungkin memang kenyataannya demikian tapi, Ajeng seolah tidak membutuhkan waktu untuk menjawab demikian. Lalu apa artinya usaha Bian selama ini? Lalu apa artinya semua momen indah yang dengan susah payah Bian wujudkan? Apa artinya pikiran, perasaan, dan waktu yang Bian dedikasikan sepenuhnya untuk Ajeng sampai harus dimarahi Mama?
Bian meringis miris di samping Ajeng. Kemudian, saat sosok Zaid hampir melewati mereka—Bian spontan merangkul pundak Zaid. “Kak, Ajeng ... duluan ya!” kata Bian. Dan tanpa menunggu respon keduanya, Bian buru-buru menarik Zaid keluar.
“Ngapain sih, Monyet?!” pekik Zaid persis ketika mereka berdua sudah ada di luar tempat les tersebut.
“Kunci motor lo mana?”
“Mau ngapain?”
“Cepetan mana?! Itu mereka keburu turun, tuh!”
Zaid yang melihat betapa paniknya ekspresi Bian lantas, hanya bisa pasrah memberikan kunci motornya pada Bian. Sementara Bian, yang kini bocah itu pikiran adalah bagaimana caranya untuk segera pergi dari sana. Dia sudah kepalang malu. Malu akan kebodohannya sendiri.
Tanpa basa-basi, Bian menyambar kunci motor dari tangan Zaid. Langkahnya buru-buru menuju parkiran, dan disusul oleh Zaid dibelakangnya.
“Naik!”
“Kok lo nyuruh-nyuruh gue, sih, Bangsat?”
“Abis ini lo tonjok muka gue gapapa, sumpah!” Suara Bian meninggi.
Mau bagaimana lagi? Raut wajah Zaid sudah nelangsa. Memang nasibnya sial karena harus berteman dengan Bian sejak kecil—dia hanya bisa pasrah. Dia duduk di jok belakang. Dan, begitu bokongnya baru mendarat—Bian langsung menancap gas! Seolah habis melakukan sebuah aksi kejahatan, Bian lupa bagaimana caranya menekan rem sampai-sampai Zaid harus berpegang teguh pada pundak tak bertulang milik Bian. Iya, tidak bertulang pasalnya pundak itu ikut merosot bersamaan dengan harga diri Bian beberapa saat yang lalu.
“BISA PELAN-PELAN GAK INI BAWA MOTORNYA?!” Jangankan dijawab, untuk mendengar perkataan Zaid saja, Bian sudah habis motivasi.
“BI?! GUE AJA DAH YANG BAWA! EMANG BANGSAT LO INI KALO ADA APA-APA GAK CUMAN LO YANG BONYOK!!”
“Gue kurang apa, sih? Gila aja masa gak ada progres apa-apa, Id? Minimal dia anggep gue sahabat atau temen deket. Emangnya gak bisa?” gerutu Bian, sambil masih terus menyetir ala ala joki tong setan. Sampai meliuk-liuk motor Zaid dibuatnya.
“SAHABAT SAHABAT BERAK!”
Plak! Suara tangan Zaid yang mendarat sempurna di kepala Bian cukup memekakkan telinga.
“SAKIT TOLOL!” pekik Bian tak tertahan. Masa bodoh dengan pengemudi motor lain yang mungkin mendengarnya.
“ELO YANG TOLOL!”
“UDAH DIEM DEH LO! GUE LAGI SAKIT HAT—”
“BI DEPAN LO MOTOR BI! SABIANNNN!”
Motor matic milik Zaid itu menghantam trotoar sebab, Bian sengaja menghindari tabrakan dengan sesama pengendara motor di depannya tadi. Mereka berdua jatuh tepat beberapa detik sesudah suara benturan terdengar cukup keras sampai memekakkan telinga.
“Apa gue bilang ... Sabian goblok....”
“Telpon ambulans, Id. Kaki gue mati rasa...,” pinta Bian. Nadanya sama lirih dengan Zaid.
“Tangan ... tangan kanan gue ketindihan....”
Entah ketindihan oleh apa, maksud Zaid. Yang jelas kini pandangan Bian mulai kabur, meski telinganya masih dapat mendengar jelas riuh suara caci maki orang-orang. Dia harap salah satu suara itu adalah milik pengendara motor yang hampir dia tabrak sebelumnya. Semoga pengendara tersebut selama tanpa mengalami luka sedikitpun.
“Gue minta maaf ya, Id....”