Tamu Penting
Setelah sibuk menata segala penjuru unit apartemen yang ia tempati, tentu saja Ratu kelelahan. Keningnya berkeringat—ternyata seperti ini rasanya melakukan pekerjaan rumah di masa kehamilan, batinnya. Beruntung Jeffrey sering kali melarangnya melakukan kegiatan seperti mengepel lantai dan menyikat kamar mandi. Meski kandungan Ratu baru akan menginjak usia 2 bulan, namun ia sudah merasa lebih cepat kelelahan daripada sebelumnya.
Ratu menghela nafas panjang. Sebenarnya ia ingin sekali menyambut sang Mama Mertua dengan sangat baik, tapi justru sudah tepar di atas sofa seperti saat ini. Kendati begitu, Ratu menarik sudut bibirnya—setidaknya unit yang ia sebut rumah itu, sudah cukup bersih dan nyaman untuk dikunjungi keluarga dari Jeffrey.
Tangan Ratu mengelus lembut perutnya yang sudah mulai membuncit. Ia senang, sejauh ini anak Jeffrey dalam kandungannya tidak bertingkah yang macam-macam. Ia bahkan hampir tidak pernah mengalami morning sickness. Hanya sekali, dua kali—dan itupun masih sangat normal. Berbeda dengan Jeffrey yang setiap hari dihantui dengan perasaan mual, dan perubahan mood yang sangat drastis.
Tiba-tiba bell unit tersebut berbunyi ditengah-tengah lamunan Ratu. Tanda ada seseorang di luar sana.
Ratu yakin sekali bahwa yang di luar itu, adalah Mertuanya. Lantas, Ratu beranjak dari tempat duduknya, berjalan dengan hati-hati seperti yang selalu Jeffrey perintahkan, menuju pintu masuk.
Dan benar saja, begitu pintu terbuka—ia langsung mendapat pelukan dari 4 orang sekaligus. Yah, siapa lagi kalau bukan Mama, Papa, Mba Kila, dan Jemian? Seperti halnya Teletubbies mereka memeluk Ratu cukup lama di depan pintu.
Sebenarnya Ratu tidak masalah sama sekali. Toh selama ini ia memang selalu merindukan kehangatan keluarga, dan kebetulan keluarga Jeffrey dengan senang hati membagi kehangatan itu. Tapi untuk kali ini, ia kehabisan nafas. Refleks Ratu mendorong tubuh Mama dan Mba Kila, yang otomatis mendorong Papa dan Jemian juga.
“ADUH JEMI KETATAP PINTU TAU MAH!” gaduh Jemian seketika.
Sementara Mama, Papa, dan Mba Kila sibuk menatap Ratu yang kesusahan bernafas.
“Engap ya, Sayang? Yuk duduk aja. Kita tolong bantuin Mamah tuntun adeknya nih!” kata Mama.
Lalu dengan sigap, keduanya menuntun Ratu kembali ke arah sofa, meninggalkan Jemian dan Papa yang masih di depan pintu.
“Itu Mba Ratu kenapa, Pah?” tanya Jemian penasaran.
“Hamil.”
“Jemi tau, Pah! Maksudnya yang barusan itu lho, kenapa?” Jemian mendengus sebal di akhir kalimatnya.
“Engap, Jem.”
Ha kan, memang benar, ngobrol bersama Papa adalah suatu tindakan yang sia-sia. Alih-alih mendapat jawaban atas pertanyaan, Jemian justru mendapat emosi di tengah hari bolong.
Papa sendiri malah tertawa puas melihat ekspresi kesal dari Jemian, persis seperti Jeffrey—anak tengahnya itu.
“Udah ayo masuk, anggep aja rumah sendiri,” kata Papa mempersilahkan Jemian, seperti layaknya pemilik rumah.
“TERSERAH!” Takut semakin kesal, Jemian langsung melenggang pergi begitu saja.
“Kamu abis ngapain sih? Kerja yang berat-berat ya?” tanya Mama sambil menaik turunkan tangannya, seolah tengah menuntun Ratu untuk bernafas.
Ratu tersenyum, “Abis bersih-bersih, sedikit.” Setelah mengatakan itu, Ratu membetulkan posisi duduknya, agar lebih tegap.
“Hamil muda itu masih rawan loh, Ra. Kamu gak boleh sampai kecapean,” sahut Mba Kila.
“Kenapa gak pake asisten rumah tangga aja, Mba?” sambung Jemian.
Ratu menggeleng cepat.
“Unit sekecil ini, ngapain pakai ART? Kan masih bisa dihandle sama aku, atau Jeffrey kalau cuman nyapu, ngepel, sama cuci piring. Lagian Jeffrey mau beli rumah—mendingan uangnya ditabung buat perabotan baru nanti,” tutur Ratu terbata-bata, karena masih mengatur nafas.
“Dia bilang gitu?”
“Apa pah?”
“Dia bilang gak mau pakai ART karna alasan itu?”
“Enggak, Pah. Ini pemikiran aku aja. Belum lagi kita harus nabung buat dia kan?” Ratu menatap dan mengelus lembut perutnya.
Begitu ia kembali menatap Papa, laki-laki paruh baya itu memasang raut wajah tak senang.
“Kamu tau gak kalau pemikiran kaya gitu itu salah? Sebagai suami, emang udah jadi tugas Jeffrey untuk cari uang. Ya, Papa tau kalau mungkin kamu mau menghemat. Tapi kamu tau kan penghasilan suami kamu berapa?—”
“Nak, diatas hemat, masih ada kenyamanan dan keselamatan yang harus kamu utamakan. Jeffrey gak akan kekurangan uang, selagi itu buat kamu dan anaknya. Papa gak mau ya, denger kabar kalau kamu dan anak kalian kenapa-napa. Itu tandanya anak Papa gagal.”
Ratu bergeming.
Apa yang Papa katakan, ada benarnya. Mungkin ia terlalu mengkhawatirkan Jeffrey sampai-sampai buta akan fakta sebenarnya. Padahal jelas-jelas, suaminya itu sudah berkali-kali menawarkan semua yang terbaik kepadanya sejak awal. Baik itu rumah, maupun ART, namun Ratu selalu saja menunda-nunda untuk mengiyakan pendapat Jeffrey.