Tentang Sense of Humor Sampai Remedial(?)
Ratu menatap Jeffrey yang tengah memainkan ponselnya. Sudah 2 hari sejak kedatangan mereka di pulau Bali, dan malam ini adalah malam terakhir mereka disana. Karena mau tidak mau, Jeffrey harus berada di kantor pada hari Seninnya.
Jeffrey sadar jika dirinya sedang ditatap, lantas membalas tatapan Ratu. Tangan kanannya menepuk-nepuk salah satu sisi ranjang yang masih kosong.
“Duduk sini, ngapain berdiri disitu?” kata Jeffrey.
Tanpa menjawab pertanyaan suaminya itu, Ratu berjalan menuju ranjang, dan mendudukan dirinya, lurus menghadap Jeffrey.
“Are you happy or tired?”
Pundak Ratu melemas seketika. Ia meraih tangan Jeffrey, dan membawa tangan itu untuk mengusap-usap pipinya sendiri.
Jeffrey terkekeh.
“Sebenernya happy—”
“Tapi?”
“Tapi capek banget, kakinya,” ungkap Ratu.
Jeffrey mengerti, mungkin karena Ratu lebih sering menghabiskan waktunya di dalam unit mereka. Maka bepergian jauh seperti ini pasti cukup menguras tenaganya.
“Maaf,” kata Jeffrey lirih.
“Buat apa?”
Selanjutnya laki-laki itu tersenyum culas, “Maaf soalnya aku gak punya kemampuan buat bawa pulau Bali ke apartemen kita.” Tawa Jeffrey mengakhiri kalimatnya, membuat Ratu mendengus sebal.
“Kamu tau gak? Kadang aku ngerasa kalau kamu sebenernya belum siap untuk jadi Papa—kadang juga sebaliknya.”
“Kenapa?”
“Karna tingkah lo lah! Apalagi emangnya?” serunya.
Kembali digenggamnya tangan Jeffrey. “Lo gak capek apa ya? Nyebelinnn teruss!” sambungnya.
Jeffrey menggeleng semangat. Kini giliran ia yang menggenggam tangan Ratu dengan sebelah tangannya, sementara yang satu lagi sibuk merapikan anak rambut milik wanita dihadapannya itu.
“Gue gak nyebelin, cuman ngajak lo bercanda.”
“Masa bercanda terus-terusan?”
“Gue pengen terus bercandain istri gue ini, biar dia terbiasa, dan kita sampai di titik dimana sense of humor kita berdua itu sama.”
“Lagian menurut gue, dengan bercanda dan ngegodain lo terus, bisa bikin kita berdua tetep deket, tanpa ngelakuin hubungan intim,” sambungnya.
Lantas nafas Ratu tercekat. Wajahnya berubah kemerahan. “Kok gitu? Itu teori darimana?”
“Dari gue,” Jeffrey cengengesan.
Ratu meringis, “Lo ... mau?”
“Apa, Ra?”
“Coba lagi?”
Sontak tawa Jeffrey memenuhi seluruh ruangan. Bahkan Ratu sempat berpikir, jika ada orang melintasi lorong kamar hotel mereka, pasti dapat mendengar tawa suaminya itu dengan jelas.
“Kenapa sih malah ketawa?!”
Jeffrey menggosok-gosok wajahnya dengan kedua telapak tangan. Raut wajah laki-laki itu nampak frustasi—berbanding terbalik dengan ekspresinya beberapa saat lalu.
Tak lama kemudian, terdengar suara hela nafas panjang. “Gue udah fix remed ya?” tanyanya dengan wajah nelangsa yang sengaja dibuat-buat.
Ratu menahan tawanya. Takut kalau-kalau tawanya nanti dapat melukai perasaan Jeffrey.
“Iya, jadi kamu mau remedial hari ini atau tidak sama sekali. Dik?” guraunya sembari mencubit pipi laki-laki dihadapannya itu.