Teori Tiup Awan

Bian berkacak pinggang sembari menatap sebuah kalender masehi yang menggantung dengan sangat apik pada dinding ruang keluarga. Dia meletakkan jari telunjuk di bibir, layaknya tengah memikirkan sesuatu. Besok adalah hari Sabtu, besoknya lagi jelas hari Minggu, dan besoknya lagi ulangan semester ganjil dilaksanakan.

Jadwal mata pelajaran yang diujikan sudah ada di tangan. Namun, entah kenapa rasanya seperti malas sekali belajar. Dia menghela napas berat.

Kalau dipikir-pikir, Bian kan memang seperti ini sejak dulu. Mau ulangan semester, ulangan semester genap, bahkan ujian nasional dia selalu santai dan cenderung malas-malasan. Kenapa? Ya karena dia tahu mau setinggi apapun nilainya nanti, yang bangga hanyalah Ayah Yudhis seorang.

Dulu sekali, saat dia masih kelas satu sekolah menengah pertama—Bian pernah mendapat nilai yang hampir sempurna pada setiap lembar ulangannya. Dan, saat pengambilan rapor dia berhasil mendapat ranking dua. Hebat, kan? Tapi sayang, pada saat itu Papa justru harus menemui salah seorang rekan kerjanya di luar negeri, dan tak lupa menbondong Mama bersamanya. Alhasil hanya Ayah Yudhis lah yang datang untuk menghadiri rapat wali murid dan mengambil rapornya.

Bian yang saat itu emosinya masih sangat menggebu-gebu, lantas kecewa. Semua waktu dan segala usahanya telah dikerahkan untuk mengharumkan nama keluarga Papa, tapi justru sia-sia. Kemudian sejak hari itu, Bian jadi pemalas. Benar, Sabian Aditama itu pada dasarnya bukan bodoh. Dia hanya anak pintar yang tersakiti, begitu katanya.

Sebenarnya, kalau boleh jujur iming-iming sepeda motor tidak ada apa-apanya dengan luka masa lalu yang membekas di hatinya itu. Bian sejatinya bukan benci Papa. Hanya saja, dia takut kembali merasakan hal yang sama. Meski sekarang hubungannya dan Papa membaik, tapikan tidak jaminan kalau Papa tidak akan pernah melakukan hal yang sama untuk kesekian kalinya. Di sisi lain, Bian merasa kalau mungkin setelah ini dia yang justru akan mengecewakan Papa. Dia takut Papa menaruh ekspektasi lebih tinggi di pundaknya. Yah, mengingat saat ini keduanya sudah berdamai satu sama lainnya.

Bian mendesah, dalam artian Bian sudah pasrah. Dia terlalu pusing memikirkan nanti bagaimana. Dia memutuskan untuk biasa-biasa saja. Tidak perlu terlalu berusaha keras, begitu maunya.

“Bi?”

Bian benar-benar tak berkutik tatkala suara Mama masuk ke indera pendengarannya. Bisa-bisanya kehadiran Mama tak terduga, tiba-tiba saja ada di belakangnya.

“Itu kertas apa?” tanya Mama.

Kemudian tanpa pikir panjang, Bian memutar tubuhnya. Menghadap Mama. “Ini? Ini jadwal ulangan semester ganjil,” jawab Bian sambil menatap secarik kertas di tangannya.

“Kamu gak belajar?”

“Ini mau.”

Lalu saat kakinya akan melangkah pergi dari sana, ujung pakaiannya lebih dahulu ditarik Mama. “Ikut Mama deh sebentar.” Mama merangkulnya, menuju kelantai dua rumah mereka.

“Mau ngapain, sih, Ma?”

“Udah ikut aja!”

Usut punya usut Mama mengajaknya berdiri di balkon. Sore itu langit sudah mulai redup, tapi awannya masih terlihat jelas. Mama menatap Bian yang sedikit lebih tinggi darinya.

“Mama gak tau Bian lagi mikirin apa. Bian juga gak cerita sama Mama, kan? Tapi Mama tau kalau di dalem kepala kamu itu, lagi ruwet isinya.”

Selepas mendengar perkataan Mama, Bian seperti tertangkap basah. Dia bertanya-tanya apakah semua ibu-ibu di muka bumi ini pasti memiliki kemampuan membaca pikiran seperti Mama? Tapi tentu saja pertanyaan itu hanya dia simpan dalam benaknya.

“Ah enggak juga,” kata Bian dengan nada santai.

Mama mendecih, lalu kini beralih menatap awan-awan yang seolah bergerak malu-malu di atas kepala mereka. “Dulu Mama kalau lagi gak tenang, banyak pikiran, sedih, atau marah—pasti niupin awan.”

Bian diam menyimak. Dia yakin seribu persen kalau setelah ini, Mama pasti akan kembali mengatakan sesuatu.

“Soalnya Mama percaya kalau ngelakuin itu bisa bikin beban pikiran sama beban perasaan kita ilang, walaupun sedikit,” timpal Mama.

Nahkan, benar dugaannya!

Lantas Bian cekikikan. “Itu teori aneh dari mana coba?”

Wajah Mama yang sebelumnya cerah, tiba-tiba saja mendung. Wajar saja, sebab tawa Bian lebih terdengar seperti sebuah ejekan menyebalkan di telinga Mama. Sorot matanya jengkel, sambil mendongak menatap Bian. “Terus aja ketawa, udah tau Mama lagi serius!” seru Mama.

Lalu tanpa memberi aba-aba sedikitpun, jemari Mama terampil mencubit perut Bian dengan gemas hingga bocah itupun memekik tak tertahan. “AKHH GILA SAKIT BANGET?!” Kalau harus dideskripsikan, perih sekali rasanya.

“Nyebelin banget lagian jadi anak!” Dan detik kemudian Mama melenggang pergi, meninggalkan Bian yang sibuk mengusap-usap oerutnya di area balkon.

Diam-diam Bian menahan senyuman. Ini pertama kalinya Mama menampakkan kekesalannya secara langsung di hadapan Bian. Ada perasaan aneh yang muncul dalam benak Bian. Bukankah ini artinya di antara Bian dan Mama tidak ada lagi perasaan canggung seperti sebelumnya? Bukankah ini artinya Bian dan Mama sudah selayaknya seorang ibu dan anak laki-lakinya? Kemudian tanpa sadar Bian salah tingkah. Dia mendongak menatap awan, lalu meniup-niup udara seolah tengah meniup awan.

Satu detik, tiga detik, kemudian dia tersadar dan memukul ujung bibirnya sendiri. “Tolol, ngapain sih gue?”