The Day; Ambil Rapot

Hari ini, sejak pagi-pagi buta sistem pencernaan Bian sudah bermasalah, sampai heboh seisi rumah. Yang mual lah, yang diare lah—aduh, Papa jadi harus menghubungi dokter saking khawatirnya.

Wajah bocah itu kini pucat pasi. Usut punya usut, ini semua terjadi bukan karena salah makan atau apa, melainkan karena perasaan panik yang memang menghantui Bian sejak semalam. Namun, Bian bukannya sedang mengada-ada. Mulas dan mual benar-benar Bian rasakan. Tatapan matanya gamang. Yang muncul di dalam kepalanya hanya soal nilai rapor dan bayang-bayang bagaimana wajah masam Papa. Bian menghela napas panjang.

“Papa sama Mama aja, kamu istirahat di rumah. Kamu gak usah ikut,” kata Papa sambil mengeratkan dasinya.

Lantas, seperti halnya orang yang melihat hantu—Bian spontan mendelik. Dia terbangun dari posisi rebahan yang sebelumnya tampak sangat nyaman. “Bian ikut, Pa!” katanya. Kemudian dengan sisa-sisa tenaga yang ada, bocah itu beranjak dari atas ranjang tanpa mempedulikan Papa dan Mama yang menatapnya kebingungan. Bian meraih pakaian dari dalam lemari secara asal-asalan.

“Bi, kamu yakin mau ikut ambil rapot?” tanya Mama khawatir.

“Iya. Papa sama Bian aja.”

Papa memilih untuk diam. Toh kalaupun dilarang pasti akan jadi usaha yang sia-sia, sebab Papa tahu jelas Bian seperti apa.

Tanpa suara, Papa merangkul Mama. Membawa Mama keluar dari kamar Bian karena sadar bahwa anak semata wayangnya itu perlu ruang untuk segera mengganti pakaian sebelum jam menunjukkan pukul sembilan pagi—waktu pengambilan rapor.


Pada akhirnya Bian di sini sekarang. Duduk di lantai, di depan kelas bersama dengan beberapa teman sekelasnya yang juga sengaja datang ke sekolah hari ini. Di sampingnya ada Zaid yang dengan santainya masih bisa cengengesan.

Sekarang entah hilang ke mana penyakit pencernaan yang sebelumnya Bian derita.

Bian berharap, setidaknya dia mendapat ranking lima belas dari dua puluh siswa yang ada. Sialnya pintu ruang kelas yang memang sudah disiapkan sebagai tempat pertemuan antar wali kelas dan orang tua sengaja ditutup rapat-rapat—tak lupa jendela kacanya pun tertutup oleh tirai.

Papa di sana, di dalam kelas, dan entah tengah mendengarkan wali kelasnya berkata apa. Yang jelas, Bian yakin seratus persen kalau urutan ranking siswa terpampang jelas pada papan tulis di depan kelas karena sebelumnya Bian melihat ketua kelas menuliskan angka satu sampai dua puluh menggunakan spidol hitam di papan tersebut.

“Lo tau gak, tadi gue liat yang dateng sama sepeda kupas bukan bokapnya.” Entah apa maksud Zaid tiba-tiba mengangkat topik seperti ini, tapi hati kecil Bian berontak. Ikut penasaran.

“Mamanya?” tanya Bian tanpa berpikir panjang.

“Tolol! Dia kan udah gak punya nyokap, Bi! Gimana sih?” Sontak Bian melotot. Benar juga.

“Terus sama siapa?”

“Sama cowok, tinggi. Kayak mas mas kuliahan, tapi ... lo pikir, deh....”

“Apa?”

“Dia kan anak tunggal? Gak mungkin kakaknya, dong? Apa jangan-jangan itu pacarnya?” Mendengar itu Bian geming seketika.

Isi kepalanya kian kompleks. Bingung mana yang harus dipusingkan terlebih dahulu. Netra Bian menatap ke segala arah mencari keberadaan Ajeng, dan dia dapati gadis itu tengah berkumpul dengan beberapa anak gadis lainnya.

“Kalo itu pacarnya, gimana?” timpal Zaid.

Bian enggan menjawab.

Dia melengos kala tak sengaja beradu tatap dengan gadis itu. “Ya, gak gimana-gimana,” sahut Bian ala kadarnya. Masa bodo, sekarang yang terpenting adalah seperti apa ekspresi Papa begitu keluar dari dalam kelas.

Bian sudah mengambil ancang-ancang saat ada suara yang muncul dari balik pintu kelas. Dan benar saja. Sesaat kemudian pintu tersebut terbuka. Riuh suara orang tua yang saling membanggakan anak mereka masing-masing terdengar layaknya suara koloni lebah. Bian berdiri, menunggu Papa keluar dengan perasaan harap-harap cemas.

“Papa!” Yang dipanggil lantas menoleh. Papa tersenyum lebar ke arah Bian. Kemudian, dengan langkah lebar-lebar Papa menghampiri tempat di mana Bian berada.

“Gimana hasilnya, Pa?” tanya Bian penasaran. Masih ada Zaid di sana.

Papa mengacungkan ibu jari kanannya pada Bian. “Bagus! Kamu pasti udah berusaha keras, kan?”

Bian tidak benar-benar yakin akan ekspresi Papa, sebab ini jauh di luar dugaannya. Hasilnya bagus? Dia hanya diam mematung. Masih tak percaya.

“Tuh, kan. Gue bilang juga apa? Hasilnya pasti gak mungkin sejelek yang lo pikirin!” bisik Zaid sesaat sebelum lehernya diapit oleh lengan seseorang di belakangnya. “AKHHH TOLONG!” pekik Zaid.

“Papa udah bilang, belajar! Jangan main hp terus!”

“Ampun! Lepas dulu, ampun!” pinta Zaid sambil tertawa dan memukul-mukul tangan lelaki yang akrab Bian sapa 'Om Dio'.

Bian dan Papa yang melihat itu hanya melempar pandangan satu sama lain. Bingung harus melerai atau apa, pasalnya Zaid justru tertawa kala papanya sibuk mengomel. Memang dasar! Zaid ... Zaid....

Tiba-tiba saja Papa berdeham, seraya merangkul pundak Bian. “Yo, gue duluan ya?”

“Langsung, Jeff?”

“Iya, ada urusan.” Usai menjawab dengan sangat singkat, Papa menjabat tangan Om Dio dan memeluk tubuh kawan lamanya itu dalam sekejap sebelum memutuskan untuk benar-benar pergi dari sana.

Saat berjalan melalui koridor, Bian pikir mungkin ada satu pekerjaan mendesak, yang harus Papa selesaikan secepatnya. Bian ikut saja. Sudah syukur Papa tidak mengomelinya seperti Om Dio mengomel pada Zaid di depan umum. Ngomong-ngomong sejelek apa ya nilai Zaid? Mengingat wajah awal Om Dio, agaknya Zaid memang berlebihan.

Sejak mobil Papa keluar dari area sekolah—Papa hanya sesekali bicara. Itupun hanya untuk menawari Bian ingin makan siang di luar atau tidak? Selebihnya hanya diisi suara playlist yang diputar.

“Papa?” Bian yang sejak awal merasakan keanehan atmosfer di antara mereka, memilih untuk angkat bicara lebih dulu.

“Apa, Bi?” jawab Papa tanpa menoleh. Pasalnya jalanan Ibu Kota saat ini tengah padat-padatnya.

“Hasilnya ... jelek ya?”

Bian dapat melihat dengan jelas genggaman tangan Papa pada kemudi mobil kian erat. Air wajah Papa berubah seketika. Dan tanpa perlu Papa jawab, Bian sudah bisa menarik kesimpulannya.

“Maaf ... Bian minta maaf udah bikin Papa malu di depan papanya Zaid,” kata Bian lirih.

“Apapun hasilnya, Papa tetep bangga sama kamu. Gak usah terlalu dipikirin.”

Bian menghela napas berat, kemudian membuang wajahnya ke arah kaca. “Papa malu, itu faktanya.” Dengan mata yang mulai berkaca-kaca bocah itu berkata demikian.

Dalam keadaan seperti ini, Papa juga bingung harus melakukan apa. Ingin parkir di pinggir jalan beberapa menit untuk sekedar menenangkan Bian rasanya sulit. Bisa-bisanya berujung di hampiri oleh polisi. Ingin buru-buru sampai ke rumah, tapi jika melihat kondisi jalanan yang padat—sepertinya tambah mustahil. Alhasil Papa hanya bisa diam, dan mendengar isakan kecil yang lolos begitu saja dari bibir Bian.


Sekiranya hampir satu jam berlalu—kini mobil Papa memasuki pekarangan rumah mereka. Bian masih diam membisu. Dan, saat Papa mematikan mesin mobil—Bian memutuskan untuk keluar dari mobil. Sudah malu sekujur tubuh. Bian bahkan tidak berani sedikitpun menoleh ke arah Papa.

Sementara di sisi lain, Papa beringsut mengejar Bian. Sebab meski diteriaki namanya, Bian sengaja pura-pura tuli.

“BI!”

Grep!

Runtuh sudah pernah tahanan Bian. Melebur sudah seluruh gengsinya dengan tangisannya tatkala Papa memeluk tubuhnya yang sudah sangat lemas itu. Malu, menyesal, kecewa pada diri sendiri—itu yang Bian rasakan. Dipeluk Papa seperti ini ... rasanya Bian semakin merasa bersalah.

Bian terus terisak. Mau bagaimanapun juga, dia masih anak remaja yang emosinya mudah naik dan turun di saat-saat seperti ini.

“Heh, dengerin Papa!” pinta Papa. Tangannya sembari menepuk-nepuk punggung Bian. “Berapapun nilai rapot kamu, gak akan bikin kamu gagal jadi anak Papa. Soal yang di sekolah tadi—Papa bukannya malu, Bi. Papa emang buru-buru karna harus ngezoom abis ini sama klien,” tutur Papa lembut. Kemudian, Papa melepas lingkaran tangannya pada punggung Bian terlebih dahulu. Digantikan dengan cengkraman erat pada punggung Bian.

“Liat Papa, Bi.”

Dengan penuh keraguan, Bian menatap lurus mata Papa. Dan saat dia hampir menangis lagi, Papa semakin menekan pundaknya kuat-kuat.

“Berapa nilainya, itu gak penting. Yang penting, usaha kamu. Kalau sekarang masih belum memuaskan, usahanya ditambah lagi! Bukannya malah nangis kayak gin—”

“MAS? BI? KOK GAK LANGSUNG MASUK?” Suara Mama tiba-tiba saja memekakkan telinga mereka berdua. “Gimana nilainya—LOH BIAN NANGIS?!”