Upaya Baikan Bagian 1; Kode Keras dari Mama

Bian terkekeh sejenak, sebelum menutup aplikasi burung biru yang ada di ponselnya. Dia menarik napas cukup panjang. Apa yang Bian sampaikan pada Zaid, dapat dipastikan kalau itu hanya gurauan semata. Dia tahu betul kalau pemulihan dari sebuah cidera pada tulang tentunya tak mungkin secepat itu. Sempat terlintas dalam benaknya, bagaimana cara Zaid menulis saat masuk sekolah esok hari? Sebab, seingat Bian, Zaid itu sama sekali tidak kidal.

Dipikir-pikir, meski kakinya masih begitu nyeri untuk digerakkan—kawannya itu pasti jauh lebih tertekan. Kemudian muncul sebuah ide. Satu-satunya tanggung jawab yang dapat dia lakukan untuk Zaid, adalah menjadi tangan kanannya. Ah, ide cemerlang! Namun entah bagaimana cara Bian untuk merealisasikan ide tersebut.

Perlahan-lahan pundak Bian merosot di atas bantal. Sebenarnya rasa kantuk sudah menjalar sejak Bian baru saja menginjakan kakinya di rumah. Seperti ada yang lain, ada yang berbeda antara suasana rumah sakit dan rumah milik Papa ini. Ditambah lagi, Bian sebelumnya memang sangat merindukan ranjangnya sendiri. Ranjang yang jauh lebih nyaman serta harum detergen andalan sang mama yang datangnya dari seprei yang membungkus ranjang tersebut dengan sempurna.

Hampir saja Bian menutup mata, namun suara pintu terbuka lebih dulu mengusiknya. Itu Mama. Sambil membawa segelas air putih bertatakan nampan pink motif bunga kesayangannya, Mama berjalan mendekat ke arah Bian.

“Bi, minum dulu. Kamu belum minum dari pagi.” Suara lembut Mama kontras dengan suara langkah kaki yang cukup memekakkan telinga Bian sebab, Mama menggunakan sandal jepit di dalam rumah.

Bian menatap Mama lamat-lamat. Tersirat senyum teduh di bibirnya. Sekelebat bayangan akan Mama dengan raut wajah kecewa muncul begitu saja dalam kepala Bian. Dia ingat alasan utama motor Zaid sukses mencium aspal, karena pikirannya saat itu dipenuhi oleh the one and only Diajeng Pramesti. Bian yang saat itu kalut, kini justru sibuk memikirkan apa tanggapan sang mama jika dia tau akan hal bodoh ini.

“Bi? Malah ngelamun!” seru Mama.

Mendengar teguran Mama barusan, sontak Bian berusaha bangkit dari posisi sebelumnya. Sambil cengangas-cengenges, tangan Bian menengadah. Meminta gelas yang Mama bawa.

Mama ikut duduk di tepi ranjang seraya membantu Bian untuk minum. “Tadi mikirin apa?” tanya Mama, yang kemudian hanya dibalas gelengan kepala oleh Bian. “Kaki kamu gimana? Masih nyeri atau apa?” Lagi-lagi bocah itu hanya menggeleng.

“Bian kok cuman geleng-geleng?” Air wajah Mama berubah serius. Diraihnya gelas yang sempat Bian genggan, kemudian Mama letakan di atas nakas. “Kamu ngambek karna tadi pas di parkiran rumah sakit, Papa marah-marah?” timpal Mama, mampu membuat Bian terkekeh seketika.

“Wajah Mama panik gitu!” kata Bian, tepat sebelum tangan Mama melayang dan mendarat sempurna dipundaknya. Bugh!

“Bisa-bisanya malah ketawa!”

“Bian gapapa.” Tatapannya dalam. “Bian justru masih ngerasa bersalah sama Papa ... sama Mama ... sama Zaid ... sama semua orang yang jadi repot karna Bian kayak gini. Tolol, ceroboh—” Belum usai kalimat Bian, Mama lebih dahulu memeluknya.

“Kamu jangan kayak gini, dong! Mama udah maafin Bian! Mama jauh lebih sakit hati dengerin kamu kayak gini, Bi....”

“Maafin Bian....”

“UDAH MAMA MAAFIN!”

Sambil berurai air mata, Mama dan Bian saling memeluk satu sama lain persis seperti tayangan sebuah drama keluarga yang biasa Mama tonton di televisi.

“Ini apa-apaan sih?”

Suara bariton Papa muncul dari balik pintu. Wajahnya seolah bertanya-tanya 'ada kabar duka dari siapa?' Namun, selang beberapa detik Papa tersadar, seperti biasa Mama serta Bian hanya over acting semata. Papa segera merubah ekspresinya. “Kalian itu ngapain sih?”

“Bian lagi sedih, Mas....”

“Boong, Mama yang paling sedih.” Ha kan! Saling lempar tuduhan pun terjadi.

Bian mampu melihat Papa yang seakan tak acuh dan berniat melenggang pergi. “Papa,” kata Bian lirih.

Kaki yang sebelumnya mantap untuk melangkah itu, kini membeku lantaran Papa mendengar suara serak memanggil dari mulut Bian. Papa menoleh. Awalnya heran, karena tak ada sepatah katapun yang keluar kemudian. Tapi, kala itu tangan Mama memberi gesture sebuah ajakan.

“Mas! Ke sini, dong!”

“Ngapain?” salah satu alis Papa terangkat. Bingung akan maksud dari ajakan Mama.

“Bian mau peluk,” kata Mama sembari mengabaikan Bian yang sontak uring-uringan lantaran malu.