Yang Lalu, Datang Lagi

Di sebuah kafe klasik yang dindingnya penuh akan coretan spidol permanen dari para pengunjung yang pernah datang, lampu neon temaramnya menyorot ke area terbuka, memantulkan bayang-bayang gelas di atas meja yang lapang. Angin malam berembus pelan, namun dinginnya sukses menembus kulit. Suara speaker berkumandang—memutar lagu-lagu yang baru-baru ini hits di media sosial—mengaduk udara lembap yang bercampur bau kopi yang khas, serta manisnya gula aren.

Di seberang, lampu jalan berwarna kuning mulai menyala satu per satu, memantul di genangan air, sisa hujan sore tadi. Mobil-mobil melaju pelan, suara klaksonnya teredam oleh angin malam.

Bianca duduk dengan santai, punggungnya menempel pada sandaran kursi, sementara tangannya memegang segelas latte yang sudah hampir habis. Busa susunya menggumpal di dinding gelas, seperti awan kecil yang tak lagi bergerak. Rasa manis dan pahitnya sudah digantikan rasa hambar berkat batu es yang mencair, sejak beberapa saat lalu. Bianca celingak-celinguk, matanya yang kecokelatan menyapu setiap sudut kafe itu, mengamati wajah tiap-tiap pengunjung yang berlalu-lalang—mencari eksistensi Yayuk.

Pesan terakhirnya sudah Bianca lihat berkali-kali: ‘Lagi di jalan, kayaknya 10 menit lagi.’ Tapi sudah lebih dari 30 menit waktu berlalu, batang hidung kawannya itu tak kunjung terlihat. Kalau boleh jujur, Bianca mulai jenuh menjadi satu-satunya perempuan di antara Sabian, Zaid, juga Sudirman. Bukannya Bianca tak serekuensi, hanya saja ia tipikal orang yang tak ingin sembarangan masuk ke dalam pembicaraan sekelompok laki-laki. Ia takut kalau-kalau ucapannya akan salah, atau bahkan menimbulkan perdebatan sengit.

Sabian duduk di seberangnya, kaos putih polosnya kini sedikit kusut di bagian dada, rambutnya berantakan karena sering ia sentuh dan sisir ke belakang menggunakan jari tangan. Tawanya terdengar renyah, seperti keripik yang baru digigit, setiap kali Zaid melempar sebuah lelucon spontan. Di sampingnya, Zaid bersandar di kursi, dengan kaki disilang, dan tangan yang memegang secangkir amerikano yang sudah dingin, sembari ikut cekikikan seperti Sabian. Lalu, Sudirman, menjadi yang paling santai di antara ketiganya, mulutnya penuh, tapi tetap bicara dengan logat daerahnya yang begitu khas.

Meski Bianca mendengar semuanya, akan tetapi ia tak benar-benar mencoba memahami apa yang para laki-laki itu bicarakan. Kata-kata mereka hanya seperti suara latar, seperti AC yang berdengung—ada, tapi tak dianggap.

Detik kemudian, Bianca kembali membuka ponsel. Layarnya menyala, namun notifikasinya masih kosong. Dan, hal itu kontan membuatnya menarik napas panjang.

“Bianca!” Tiba-tiba saja suara yang begitu lantang memecah atensi sang empunya nama, sekaligus ketiga laki-laki yang duduk bersamanya.

Bianca mendongak, matanya yang semula menatap layar ponsel, kini melihat lurus ke depan. Dan, di sana, Yayuk tengah berdiri di dekat sebuah pilar. Tas selempangnya melorot, rambut panjangnya acak-acakan, dan napasnya tampak sedikit tersengal dengan dada yang naik turun—sepertinya ia baru saja berlari dari parkiran.

Lantas, Bianca bangkit dari tempat duduknya. Sedikit memicingkan mata, tatkala menyadari bahwa Yayuk menatapnya dengan kedua pupil yang melebar, akting terkejutnya nyaris sempurna—tapi Bianca tahu, sorot matanya penuh konspirasi.

“Kamu ndek kene juga?” (kamu di sini juga) sapa Yayuk, kini raut wajahnya sengaja dibuat polos, seakan-akan ia benar-benar tak menduga bahwa Bianca juga berada di tempat yang sama.

Mendengar itu, spontan saja Bianca mengangguk kikuk, bibirnya mengulum senyum yang terasa kaku di pipinya. Ingin sekali ia tertawa, tapi ada sesuatu yang menahan—harga dirinya.

Di sisi lain, Yayuk yang penuh akan rasa percaya diri, praktis bersalaman dengan Sabian, Zaid, serta Sudirman—satu per satu, tangannya hangat, dan suaranya ceria. “Halo, guys! Aku Yayuk, konco kentel e Bianca.”

Sabian praktis menarik kursi dari meja sebelah, usai menjabat tangan Yayuk—kursi itu berderit keras, bunyinya menusuk telinga. “Duduk sini aja,” katanya, nada bicaranya begitu ramah. Seakan-akan tengah menunjukkan bahwa ia dengan tulus menerima eksistensi teman Bianca yang tiba-tiba.

Alhasil Yayuk merasa senang di dalam hatinya, lantaran telah berhasil diterima dalam kelompok kecil itu. Detik kemudian, Yayuk mendaratkan bokongnya.

Kendati begitu, tak lama sejak Yayuk duduk di sana, tawa canggung menyelimuti mereka—semua saling pandang, seperti orang-orang yang baru sadar mereka terjebak di dalam suasana yang kini sedikit terasa kaku.

Tak ingin tenggelam dalam keheningan, Sudirman bangkit tanpa memberi sedikitpun aba-aba, kursinya bergeser, hingga menimbulkan suara derit yang keras. “Mau minum, nggak? Sisan, mesen panganan ringan meneh soale,” (sekalian pesan makanan ringan soalnya) tanyanya pada Yayuk, sembari merogoh dompet dari dalam saku celana. Kebetulan sekali Yayuk belum memesan apapun, sebelumnya.

“Mau!” jawab Yayuk secara spontan. Ia pikir, malu-malu di tengah momen yang seperti ini, justru akan menambah berat atmosfer di antara mereka.

“Minum apa?”

“Opo wae lah, asal kopi,” (apa aja) katanya santai, bahunya naik-turun, dan kepalanya manggut-manggut dengan semangat.

Seakan langsung paham dengan apa yang Yayuk inginkan, Sudirman hanya mengangguk cepat sebelum akhirnya melenggang pergi, meninggalkan aroma parfum yang pekat di udara.

Bianca memperhatikan Yayuk yang duduk di sebelahnya, mata kawannya itu lamat-lamat mengamati Sabian—mulai dari rambut, kaos polos yang ia kenakan, sampai jari-jarinya yang lentik, yang terus saja mengetukkan ujung kukunya pada permukaan meja. Detik kemudian, Yayuk menoleh ke arah Bianca, alisnya naik sekilas—seperti sebuah tanda tanya tanpa kata. Lalu kembali menatap Sabian.

“Awakmu ini, pacarnya Bianca ya?” tanyanya, wajah polosnya seperti anak kecil yang baru belajar bicara, tapi suaranya cukup keras untuk menusuk telinga semua orang.

Bianca langsung mendelik, jantungnya seakan melonjak ke tenggorokan. Ia sudah tahu sejak lama kalau Yayuk memang gila, akan tetapi, ia tak menyangka bahwa kawannya itu cukup gila untuk mengatakan apa yang baru saja keluar dari mulutnya—bahkan, langsung di hadapan Sabian.

Akan tetapi, sebelum Sabian sempat membuka mulut, Zaid lebih dulu menimpali. “Belom,” katanya datar, sembari menyilangkan tangannya di depan dada.

Melihat itu, Bianca kontan memijat pelipis—kepalanya pening seketika, dan napasnya terasa berat. Tatkala ia mengalihkan pandangan, matanya sibuk mengamati Sabian—laki-laki itu tampak sibuk celingak-celinguk dengan bibirnya yang terkatup rapat, dan tangannya memegang gelas lebih erat hingga buku-buku jarinya memutih. Sabian tampak begitu gelisah.

“Loh, tak kirain wes pacaran, soale Bianca sering cerito,” sambung Yayuk, suaranya santai, tapi ada nada menggoda di ujung kalimatnya. Di bawah meja, tangannya meremas lutut Bianca pelan—diam, percaya aku—seakan-akan ia mencoba mengatakan hal itu. Akan tetapi sentuhannya terasa seperti jeratan bagi Bianca.

Sementara itu, Sabian masih diam, matanya sangat jelas terus menghindari Bianca, dan tak kunjung ada sepatah kata pun yang lolos dari bibirnya untuk menjawab keraguan Yayuk.

Di tengah kekakuan yang melekat di udara di antara mereka itu, tiba-tiba, bayangan muncul di dekat meja. Seorang perempuan—dengan rambut hitam panjang tergerai seperti air terjun malam, dan aroma parfumnya manis seperti vanila tapi menusuk hidung. Matanya besar, senyumnya memesona, tapi ada sesuatu di dalamnya—seperti luka atau mungkin kerinduan yang tak terucapkan. Ia menatap Sabian tanpa kata, seraya sesekali melirik ke arah Zaid.

“Sabian? Zaid?” sapa perempuan itu setelah beberapa saat. Suaranya lembut, tapi seperti pisau kecil yang membelah keheningan.

Sabian yang namanya pertama kali disebut, praktis mengangguk kaku, gelas di tangannya hampir tumpah. Di sisi lain, Zaid mengernyit, alisnya bertaut, tangannya mengepal di atas meja, napasnya terdengar berat.

“Apa kabar? Nggak nyangka bisa ketemu kalian lagi,” timpal perempuan itu, tapi Sabian dan Zaid hanya diam, seperti patung yang lupa cara bergerak, wajah mereka pucat di bawah lampu kuning.

Detik kemudian, ia melempar pandangan ke arah Bianca dan Yayuk, senyumnya kikuk, tangannya memegang tas kecil dengan gugup. “Emm, lagi kumpul yaa... sorry, gue ganggu, kalau gitu gue cabut ya...,” katanya buru-buru, sudah mau mundur, tapi langkahnya ragu.

“Mau pulang?” tanya Sabian spontan, suaranya serak, seperti orang yang baru bangun dari mimpi buruk. Pertanyaan itu menjadi satu-satunya kalimat yang lolos dari bibirnya sejak beberapa saat lalu. Ia bahkan masih mengabaikan perkataan Yayuk yang terlontar jauh lebih dulu.

Perempuan yang tampak begitu asing bagi Bianca itu mengangguk.

“Naik apa?” Sabian mengangkat alis, matanya tak lepas dari wajah yang ditanya.

“Taksi.”

Kemudian satu kata itu sukses membuat Sabian memutar tubuh, akhirnya ia memberanikan diri menatap Bianca. Tatapannya sulit diartikan—ragu, memohon, seperti anak kecil yang takut dimarahi, tapi juga seperti orang yang sudah menuntut pengertian.

Bianca hanya diam. Kendati begitu, justru Zaid yang menggeleng di sebelah Sabian. “Sebentar aja, gue balik lagi abis ini,” kata Sabian pada Zaid, suaranya bergetar, hampir pecah.

Seakan-akan sengaja ingin menunjukkan kekesalan lantaran isyarat dari larangannya diabaikan, Zaid terang-terangan menepis tangan Sabian dengan kasar, bunyinya seperti tamparan. “Terserah lo,” katanya dingin. Sorot mata Zaid begitu tajam tatkala ia mengatakan itu, dan ekspresi yang tergambar di wajahnya begitu sulit untuk diartikan. Seperti marah, kecewa, dan sedikit takut.

Tapi Sabian sudah gelap mata. Ia tetap beranjak, dan menarik pergelangan tangan perempuan itu, jari-jarinya mencengkeram erat, seperti takut lepas. “Ayo, gue anter,” katanya samar, mengabaikan semua orang, termasuk Bianca—perempuan yang akhir-akhir ini mengisi harinya.

“T-tapi….”

“Ayo!” Kemudian langkah lebar dan cepat milik Sabian mulai menjauh, meninggalkan aroma parfumnya yang masih menempel di udara, dan perasaan yang sulit diartikan—milik ketiga orang yang ia tinggalkan.

Bianca masih membeku, napasnya tertahan di dada, seperti ada batu besar yang menindih paru-parunya kala itu. Rasa sesak menyelimuti seperti kabut tebal, matanya kosong menatap punggung Sabian, sebelum bayangannya dan perempuan asing itu lenyap di kegelapan luar. Yayuk menatapnya penuh tanya, tangannya menyentuh lengan Bianca, tapi Bianca seakan tak merasakan apa-apa.

Sudirman yang baru saja kembali, sembari membawa kopi Yayuk dan semangkuk kentang goreng ulir yang masih panas, praktis mengubah ekspresi wajahnya saat ia menyadari bahwa Sabian menghilang. “Ke mana?” tanyanya penasaran pada Zaid, kemudian piring yang sempat ia genggam itu cepat-cepat ia letakkan di atas meja hingga menimbulkan bunyi yang sedikit keras.

Alih-alih menjawab pertanyaan Sudirman, Zaid justru menatap Bianca, sorot matanya lembut—tampak iba dan menyimpan kekesalan yang tak terucap.

“Seng mau iku, sopo?” (yang tadi itu siapa) tanya Yayuk pelan, tangannya masih di lengan Bianca.

Di saat semua pertanyaan tertuju pada Zaid, Bianca hanya balas memandangnya. Tatapan mereka saling terkunci.

Kemudian, dengan lirih, Zaid akhirnya membuka suara. “Bian baru aja pergi sama masa lalunya.”

Detik itu, tangan Bianca mengepal di bawah meja. Buku-buku jarinya memutih, kuku menusuk telapak tangan hingga terasa nyeri. Rasa sesak menenggelamkan dadanya—seperti tenggelam di dadar lautan. Ia ingat betul Zaid pernah membahas soal perempuan yang sempat mengubah seorang Sabian, meninggalkannya, dan membuatnya seakan anti dengan kehidupan romansa muda itu.

Tapi kenapa sekarang Sabian bahkan mengantar perempuan itu pulang? Batin Bianca.

Ia ingin marah, ingin menangis, ingin teriak, tapi yang keluar hanya napas tersendat, seperti orang yang lupa cara bernapas. Masalahnya akhir-akhir ini ia sudah begitu dekat dengan Sabian. Kedekatan mereka bukanlah sekadar teman lawan jenis. Sabian sendiri yang pernah mengatakan bahwa ia ingin mereka menjadi yang sesuatu yang lebih, suatu hari nanti. Namun, belum sempat angan itu tercapai, seseorang dari masa lalu Sabian kembali hadir. Dan melihat cara Sabian pergi begitu saja, bahkan sampai mengabaikan Zaid, Bianca jadi tahu bahwa dia sama sekali bukan apa-apa jika dibandingkan dengan perempuan itu.

Sayangnya nasi telah menjadi bubur. Perasaan yang Bianca miliki untuk Sabian bukan lagi sekadar ketertarikan seperti yang ia rasakan di awal kedekatan mereka. Bianca mulai familier akan semua hal yang ada pada diri Sabian. Lalu, jika akhirnya tak bisa sama-sama, ia harus apa? Jika masa lalunya yang membandel itu kembali hadir, ia bisa apa?

Mata Bianca mulai memanas, tapi air matanya tak kunjung keluar—terlalu kering, terlalu lama ia tahan di hadapan orang-orang.

“Sumpah? Jancok! Ayo balik, Ca!” seru Sudirman, suaranya menggelegar. Melihat Bianca yang hanya terdiam setelah kepergian Sabian dengan perempuan lain, kontan saja menyulut emosi Sudirman sebagai sepupunya.

Yayuk yang juga memiliki kepedulian pada Bianca, lantas manggut-manggut, “Awakku merene gowo mobil.” (aku ke sini bawa mobil) Tangannya yang sejak tadi menggenggam lengan Bianca, kini terangkat ke atas—seakan meminta untuk didengar di tengah kekacauan.

Detik kemudian, Zaid langsung mengangguk seraya raup jaketnya. “Ayo! Gue yang nyetir.” Suaranya begitu tegas, seakan tak ragu sedikitpun saat mengambil keputusan untuk meninggalkan Sabian yang sudah berjanji untuk lekas kembali.