cakgrays

Ibaratnya sudah hampir mencair telinga Bian mendengar bagaimana Zaid mengeluarkan segala macam sumpah serapahnya di atas motor. Maklum, pasalnya di hari Sabtu yang panas ini mereka malah harus berkeliling di bawah teriknya matahar,i demi menuju tempat les yang sejak beberapa hari lalu sering menjadi topik pembicaraan mereka itu. Sebenarnya, yang jadi masalah bukanlah betapa kasar kata demi kata yang Zaid loloskan, tapi karena kata-kata yang terdengar justru lebih mirip dengan suara orang kumur-kumur dibandingkan marah-marah, sebab diadu dengan angin.

“Kalo sampe kita les di sini tapi gak ada hasilnya, itu semua salah lo!” seru Zaid. Pasalnya begitu mereka tiba di tempat les yang dimaksud, penampakan luar bangunannya seperti kurang meyakinkan.

Zaid menurunkan standar motornya, dan menunggu Bian turun dari jok belakang. “Lo masuk ke sini kan atas dasar kemauan lo sendiri. Lagian don't judge book by cover!” kata Bian tidak terima.

“Alah sok Inggris.”

Kaki mereka berdua mulai melangkah masuk ke dalam. Benar saja, bahkan isinya terlihat jauh lebih sempit jika dibandingkan dengan gambaran yang ada di Google.

Ketika tengah sibuk menilai ukuran dan dekorasi yang seadanya di lantai paling dasar, tiba-tiba saja muncul seorang laki-laki berperawakan lebih tinggi dari mereka, mengenakan pakaian seragam yang coraknya sama persis seperti bagian luar bangunan tersebut.

“Yang baru daftar ya?”

Bian mengangguk semangat. Ini pasti tenaga pengajarnya!. Sementara itu, di sisi lain ada Zaid yang hanya cengangas-cengenges seolah merasa tidak nyaman.

“Kenalin, saya Xander. Salah satu Tutor di sini.”

“Maaf, Kak siapa tadi? Sender?” tanya Bian memastikan.

Lantas Zaid berbatuk-batuk heboh seketika. Sengaja dibuat-buat, seraya berbisik tepat di telinga Bian. “Xander goblok. Sender mah yang suka ngetweet!” maki Zaid tertahan.

Bian yang sadar akan kebodohannya, sontak menjabat tangan laki-laki itu. Dia sengaja menampilkan sebuah senyum super lebar, sampai-sampai sudut bibirnya terasa perih seketika. “Kak Xander ya—kenalin saya Bian. Terus ini temen saya, Zaid.” Nadanya mirip opening serial Upin Ipin di televisi. Lalu yang dijabat tangannyapun tersenyum.

Kalau Bian boleh jujur, tampang-tampang seperti Kak Xander ini persis seperti impiannya. Mirip karakter dalam sebuah manga—tampan iya, cantik iya, manis juga iya. Dalam benak, tanpa sadar dia memuji visualisasi Kak Xander habis-habisan. Semoga nular, semoga nular. Begitu batinnya.

“Langsung naik ke atas aja, ya. Udah tau kan kelasnya di mana?”

Bian mengangguk. Jelas! Dia kan sekelas dengan Ajeng, sebab sama-sama anak kelas sepuluh. Hanya tinggal mencari di kelas mana gadis bendahara itu berada, kemudian beres!

Kak Xander mengacungkan jari jempol ke arah Bian. Namun, bocah itu justru salah fokus tatkala netranya menangkap ekspresi Zaid. Seperti yang kurang suka melihat keberadaan Kak Xander di sana, padahal kan baru kenalan?

Kemudian, sesaat setelah Kak Xander meninggalkan mereka—Zaid sekonyong-konyong menarik bagian belakang dari kerah pakaian yang tengah Bian kenakan.

“APAAN SIH?!”

“Pulang aja, Bi. Jangan les di sini, sumpah!”

“Kenapa emangnya?” tanya Bian. Nadanya seperti mulai tersulut emosi.

Zaid melepas cengkramannya pada kerah Bian. Dia menghela napas berat. “Lo tau gak yang tadi itu siapa?” Setelah melayangkan pertanyaan tersebut, yang Zaid dapati justru tampang tak acuh dari Bian yang sontak membuatnya gemas bukan main.

“Itu tuh, yang ngambilin rapotnya Ajeng!” sambung Zaid.

“Calon kakak tirinya Ajeng berarti?”

“Emang Ajeng mau nikah lagi?”

Bian memicingkan matanya. Tak habis pikir dengan jalan pikiran Zaid. “Bapaknya!” pekik Bian.

“Iya, kata gue juga bapaknya emang mau nikah lagi?”

“Elo tadi nanyanya gak gitu ya, Anjing!”

“Dari awal gue nanya kaya gitu!”

Selanjutnya perdebatan sengit mereka berlanjut. Mulai dari Zaid yang memukul kepala Bian, kemudian dibalas oleh sang empunya. Lupa kalau-kalau kini mereka tengah berada di tempat umum.

Ibaratnya sudah hampir mencair telinga Bian mendengar bagaimana Zaid mengeluarkan segala macam sumpah serapahnya di atas motor. Maklum, pasalnya di hari Sabtu yang panas ini mereka malah harus berkeliling di bawah teriknya matahar,i demi menuju tempat les yang sejak beberapa hari lalu sering menjadi topik pembicaraan mereka itu. Sebenarnya, yang jadi masalah bukanlah betapa kasar kata demi kata yang Zaid loloskan, tapi karena kata-kata yang terdengar justru lebih mirip dengan suara orang kumur-kumur dibandingkan marah-marah, sebab diadu dengan angin.

“Kalo sampe kita les di sini tapi gak ada hasilnya, itu semua salah lo!” seru Zaid. Pasalnya begitu mereka tiba di tempat les yang dimaksud, penampakan luar bangunannya seperti kurang meyakinkan.

Zaid menurunkan standar motornya, dan menunggu Bian turun dari jok belakang. “Lo masuk ke sini kan atas dasar kemauan lo sendiri. Lagian don't judge book by cover!” kata Bian tidak terima.

“Alah sok Inggris.”

Kaki mereka berdua mulai melangkah masuk ke dalam. Benar saja, bahkan isinya terlihat jauh lebih sempit jika dibandingkan dengan gambaran yang ada di Google.

Ketika tengah sibuk menilai ukuran dan dekorasi yang seadanya di lantai paling dasar, tiba-tiba saja muncul seorang laki-laki berperawakan lebih tinggi dari mereka, mengenakan pakaian seragam yang coraknya sama persis seperti bagian luar bangunan tersebut.

“Yang baru daftar ya?”

Bian mengangguk semangat. Ini pasti tenaga pengajarnya!. Sementara itu, di sisi lain ada Zaid yang hanya cengangas-cengenges seolah merasa tidak nyaman.

“Kenalin, saya Xander. Salah satu Tutor di sini.”

“Maaf, Kak siapa tadi? Sender?” tanya Bian memastikan.

Lantas Zaid berbatuk-batuk heboh seketika. Sengaja dibuat-buat, seraya berbisik tepat di telinga Bian. “Xander goblok. Sender mah yang suka ngetweet!” maki Zaid tertahan.

Bian yang sadar akan kebodohannya, sontak menjabat tangan laki-laki itu. Dia sengaja menampilkan sebuah senyum super lebar, sampai-sampai sudut bibirnya terasa perih seketika. “Kak Xander ya—kenalin saya Bian. Terus ini temen saya, Zaid.” Nadanya mirip opening serial Upin Ipin di televisi. Lalu yang dijabat tangannyapun tersenyum.

Kalau Bian boleh jujur, tampang-tampang seperti Kak Xander ini persis seperti impiannya. Mirip karakter dalam sebuah manga—tampan iya, cantik iya, manis juga iya. Dalam benak, tanpa sadar dia memuji visualisasi Kak Xander habis-habisan. Semoga nular, semoga nular. Begitu batinnya.

“Langsung naik ke atas aja, ya. Udah tau kan kelasnya di mana?”

Bian mengangguk. Jelas! Dia kan sekelas dengan Ajeng, sebab sama-sama anak kelas sepuluh. Hanya tinggal mencari di kelas mana gadis bendahara itu berada, kemudian beres!

Kak Xander mengacungkan jari jempol ke arah Bian. Namun, bocah itu justru salah fokus tatkala netranya menangkap ekspresi Zaid. Seperti yang kurang suka melihat keberadaan Kak Xander di sana, padahal kan baru kenalan?

Kemudian, sesaat setelah Kak Xander meninggalkan mereka—Zaid sekonyong-konyong menarik bagian belakang dari kerah pakaian yang tengah Bian kenakan.

“APAAN SIH?!”

“Pulang aja, Bi. Jangan les di sini, sumpah!”

“Kenapa emangnya?” tanya Bian. Nadanya seperti mulai tersulut emosi.

Zaid melepas cengkramannya pada kerah Bian. Dia menghela napas berat. “Lo tau gak yang tadi itu siapa?” Setelah melayangkan pertanyaan tersebut, yang Zaid dapati justru tampang tak acuh dari Bian yang sontak membuatnya gemas bukan main.

“Itu tuh, yang ngambilin rapotnya Ajeng!” sambung Zaid.

“Calon kakak tirinya Ajeng berarti?”

“Emang Ajeng mau nikah lagi?”

Bian memicingkan matanya. Tak habis pikir dengan jalan pikiran Zaid. “Bapaknya!” pekik Bian.

“Iya, kata gue juga bapaknya emang mau nikah lagi?”

“Elo tadi nanyanya gak gitu ya, Anjing!”

“Dari awal gue nanya kaya gitu!”

Ibaratnya sudah hampir mencair telinga Bian mendengar bagaimana Zaid mengeluarkan segala macam sumpah serapahnya di atas motor. Maklum, pasalnya di hari Sabtu yang panas ini mereka malah harus berkeliling di bawah teriknya matahar,i demi menuju tempat les yang sejak beberapa hari lalu sering menjadi topik pembicaraan mereka itu. Sebenarnya, yang jadi masalah bukanlah betapa kasar kata demi kata yang Zaid loloskan, tapi karena kata-kata yang terdengar justru lebih mirip dengan suara orang kumur-kumur dibandingkan marah-marah, sebab diadu dengan angin.

“Kalo sampe kita les di sini tapi gak ada hasilnya, itu semua salah lo!” seru Zaid. Pasalnya begitu mereka tiba di tempat les yang dimaksud, penampakan luar bangunannya seperti kurang meyakinkan.

Zaid menurunkan standar motornya, dan menunggu Bian turun dari jok belakang. “Lo masuk ke sini kan atas dasar kemauan lo sendiri. Lagian don't judge book by cover!” kata Bian tidak terima.

“Alah sok Inggris.”

Kaki mereka berdua mulai melangkah masuk ke dalam. Benar saja, bahkan isinya terlihat jauh lebih sempit jika dibandingkan dengan gambaran yang ada di Google.

Ketika tengah sibuk menilai ukuran dan dekorasi yang seadanya di lantai paling dasar, tiba-tiba saja muncul seorang laki-laki berperawakan lebih tinggi dari mereka, mengenakan pakaian seragam yang coraknya sama persis seperti bagian luar bangunan tersebut.

“Yang baru daftar ya?”

Bian mengangguk semangat. Ini pasti tenaga pengajarnya!. Sementara itu, di sisi lain ada Zaid yang hanya cengangas-cengenges seolah merasa tidak nyaman.

“Kenalin, saya Xander. Salah satu Tutor di sini.”

“Maaf, Kak siapa tadi? Sender?” tanya Bian memastikan.

Lantas Zaid berbatuk-batuk heboh seketika. Sengaja dibuat-buat, seraya berbisik tepat di telinga Bian. “Xander goblok. Sender mah yang suka ngetweet!” maki Zaid tertahan.

Bian yang sadar akan kebodohannya, sontak menjabat tangan laki-laki itu. Dia sengaja menampilkan sebuah senyum super lebar, sampai-sampai sudut bibirnya terasa perih seketika. “Kak Xander ya—kenalin saya Bian. Terus ini temen saya, Zaid.” Nadanya mirip opening serial Upin Ipin di televisi. Lalu yang dijabat tangannyapun tersenyum.

Kalau Bian boleh jujur, tampang-tampang seperti Kak Xander ini persis seperti impiannya. Mirip karakter dalam sebuah manga—tampan iya, cantik iya, manis juga iya. Dalam benak, tanpa sadar dia memuji visualisasi Kak Xander habis-habisan. Semoga nular, semoga nular. Begitu batinnya.

“Langsung naik ke atas aja, ya. Udah tau kan kelasnya di mana?”

Bian mengangguk. Jelas! Dia kan sekelas dengan Ajeng, sebab sama-sama anak kelas sepuluh. Hanya tinggal mencari di kelas mana gadis bendahara itu berada, kemudian beres!

Kak Xander mengacungkan jari jempol ke arah Bian. Namun, bocah itu justru salah fokus tatkala netranya menangkap ekspresi Zaid. Seperti yang kurang suka melihat keberadaan Kak Xander di sana, padahal kan baru kenalan?

Kemudian, sesaat setelah Kak Xander meninggalkan mereka—Zaid sekonyong-konyong menarik bagian belakang dari kerah pakaian yang tengah Bian kenakan.

“APAAN SIH?!”

“Pulang aja, Bi. Jangan les di sini, sumpah!”

“Kenapa emangnya?” tanya Bian. Nadanya seperti mulai tersulut emosi.

Zaid melepas cengkramannya pada kerah Bian. Dia menghela napas berat. “Lo tau gak yang tadi itu siapa?” Setelah melayangkan pertanyaan tersebut, yang Zaid dapati justru tampang tak acuh dari Bian yang sontak membuatnya gemas bukan main.

“Itu tuh, yang ngambilin rapotnya Ajeng!” sambung Zaid.

Pagi ini cerah, meski kelembaban tanahnya masih cukup tinggi akibat diguyur hujan semalaman. Bian diantar oleh Mama lagi ke sekolah, sama seperti masa liburan sekolah dimulai—mungkin sekitar dua atau tiga minggu yang lalu?

Tidak begitu banyak yang berubah di tahun baru ini. Mama masih sama, tipikal ibu-ibu yang akan meramaikan rumah sejak pagi buta. Papa juga, masih terburu-buru meninggalkan rumah untuk berangkat kerja. Kebiasaan orang-orang, serta atmosfer di sekitar Bian masih sama seperti tahun lalu. Rasanya hanya Bian yang berubah. Pergantian suasana hati Bian tidak lagi seekstrem biasanya—yah, setidaknya itu yang dia rasakan. Agaknya karena komunikasi antar Bian, Mama, dan Papa akhir-akhir ini sangat membaik, serta banyak waktu yang mereka habiskan bersama.

Memang benar, Bian sejatinya hanya butuh sedikit waktu juga perhatian. Bian sejatinya hanya mendamba luapkan kasih sayang secara nyata—bukan sekedar materi dari Mama dan Papa.

“Nanti Mama harus jemput jam berapa?” Suara Mama tiba-tiba memecah keheningan di dalam mobil. Lembut, berbeda dari beberapa saat lalu—saat masih di dalam rumah dan menyiapkan segala keperluan Bian dan Papa.

“Ntar Bian kabarin,” kata Bian singkat. Kemudian, Mama hanya manggut-manggut.

Kalau Bian lihat-lihat, Mama itu multitasking. Meski ada satu asisten rumah tangga di dalam rumah, yaitu Budhe Lasih—Mama sering terlihat mengerjakan beberapa pekerjaan rumah sendiri. Ditambah lagi siap mengantar jemput Bian setiap hari. Tiba-tiba saja terbersit di pikiran Bian kalau Mama juga harus mengantar jemput dirinya saat les—mungkin itu ide yang gila. Bawel-bawel begitu, Mama jarang sekali mengeluh apalagi melakukan penolakan. Bian jadi khawatir.

“Mama?”

Bian menatap Mama yang terus fokus menatap jalanan di depan sana. Mama mengangguk untuk sekedar memberi tanda kalau dia masih bisa mendengar Bian, bahkan tanpa harus menatapnya.

“Bian butuh motor, Ma.”

“Mama udah berkali-kali bilang ke Papa kalau kamu mau motor, tapikan kamu tau sendiri Papa kayak gimana, Bi?” Tepat saat Mama merespon perkataan Bian, mereka sampai di depan gerbang sekolah. “Alesan Papa itu jelas—karna kamu belum punya SIM. Mama kan jadi mati kutu, gak tau mau jawab apa lagi,” timpal Mama.

Ada benarnya. Bian tahu mungkin hampir seluruh jalanan di Ibukota itu padat merayap—tapi kan tidak semua jalanan ada polisinya? Begitu batin Bian.

Bian menghela napas panjang, seraya menatap Mama yang kini juga tengah menatapnya. Alis Bian seketika terangkat. Bingung melihat ekspresi wajah Mama.

“Apa?” tanya Bian.

“Kamu gak turun? Gak sekolah?”

Lantas bocah itu mendelik. Kenapa belakangan ini waktu terasa begitu cepat saat dia tengah bersama Mama atau Papa. Sepertinya beberapa saat yang lalu mobil Mama baru saja keluar dari pekarangan rumah.

“Malah ngelamun!”

“Kok cepet banget sih, Ma?!”

“Apanya?” tanya Mama kebingungan.

“Gak jadi. Ya udah, ntar pulangnya dikabarin—Bian sekolah dulu—” Usai mengatakan itu, Bian sekonyong-konyong mengecup pipi Mama sebelum akhirnya melepas seat belt dan pergi begitu saja.


Suara riuh terdengar dari dalam kelas. Di dominasi oleh teriakan para anak perempuan yang sepertinya tengah ketakutan. Awalnya Bian heran, ada gerangan apa yang menyebabkan keributan bahkan di waktu sepagi ini? Namun, begitu dia memasuki kelas—Bian langsung mengerti.

Di belakang, di antara segerombolan anak-anak perempuan yang memojokkan tubuh sebab ketakutan, ada Zaid yang dengan wajah jahilnya mengangkat tinggi-tinggi seekor belalang.

“HIHH APAAN NIH?? HIHHHH!” seru Zaid, sengaja menakut-nakuti para anak perempuan.

Meski sebenarnya belalang bukanlah sesuatu yang begitu menyeramkan, tapi lain halnya kalau binatang tersebut sengaja disodorkan tepat di depan wajah!

Bian awalnya acuh tak acuh, dan memilih melenggang begitu saja menuju ke tempat duduknya sampai suara salah seorang perempuan memekakkan telinganya.

Usut punya usut belalang tersebut melompat begitu saja, kemudian hinggap tepat di pundak Ajeng yang baru saja berteriak histeris.

“ZAID! ZAID ANJINGGGGGG!” racau Ajeng tak tertahan.

Dan di saat Zaid memutar tubuhnya untuk melarikan diri, yang dia dapati adalah Bian dengan tatapan paling horor dari yang pernah dia lihat sebelumnya.

“Bi....”

“Ambil, Id.”

“Dia loncat sendiri ... demi Tuhan!”

“Ambil, Id. Sampai itu masuk ke dalem baju dia—gue sobek-sobek baju lo, Id.”

Mati! Bian hanya berbisik demikian, tapi bulu kuduk Zaid berhasil merinding! Kemudian dengan tampang cengangas-cengenges Zaid berbalik. Mendekati Ajeng, sementara Bian menyusul di belakangnya.

“Ajeng, gue minta maaf ya. Sini diambilin, tapi jangan bergerak!” kata Zaid, sembari sesekali melirik Bian.

Anak perempuan lain sibuk memperhatikan bagaimana Bian mengontrol Zaid bahkan hanya dengan perkataan. Memang benar kalau Zaid itu yang paling nakal di dalam kelas, tapi Bian ibaratnya sudah level up. Buktinya Zaid saja menciut seperti ini.

Tak ada respon apapun yang Ajeng tunjukkan, dia sibuk menutup mata rapat-rapat saking gelinya pada binatang tersebut.

“Diem ya, jangan gerak loh....”

“ZAID ANJING MASUK, ID! ZAIDDDDD!” pekik Ajeng tatkala belalang tersebut justru masuk melalui kerah seragamnya.

Tanpa pikir panjang, Zaid memutuskan untuk berlari menjauh dari Bian seketika. “BI GUE GAK SENGAJA BI! BANGSATT JANGAN APA-APAIN GUE!”

Pagi ini cerah, meski kelembaban tanahnya masih cukup tinggi akibat diguyur hujan semalaman. Bian diantar oleh Mama lagi ke sekolah, sama seperti masa liburan sekolah dimulai—mungkin sekitar dua atau tiga minggu yang lalu?

Tidak begitu banyak yang berubah di tahun baru ini. Mama masih sama, tipikal ibu-ibu yang akan meramaikan rumah sejak pagi buta. Papa juga, masih terburu-buru meninggalkan rumah untuk berangkat kerja. Kebiasaan orang-orang, serta atmosfer di sekitar Bian masih sama seperti tahun lalu. Rasanya hanya Bian yang berubah. Pergantian suasana hati Bian tidak lagi seekstrem biasanya—yah, setidaknya itu yang dia rasakan. Agaknya karena komunikasi antar Bian, Mama, dan Papa akhir-akhir ini sangat membaik, serta banyak waktu yang mereka habiskan bersama.

Memang benar, Bian sejatinya hanya butuh sedikit waktu juga perhatian. Bian sejatinya hanya mendamba luapkan kasih sayang secara nyata—bukan sekedar materi dari Mama dan Papa.

“Nanti Mama harus jemput jam berapa?” Suara Mama tiba-tiba memecah keheningan di dalam mobil. Lembut, berbeda dari beberapa saat lalu—saat masih di dalam rumah dan menyiapkan segala keperluan Bian dan Papa.

“Ntar Bian kabarin,” kata Bian singkat. Kemudian, Mama hanya manggut-manggut.

Kalau Bian lihat-lihat, Mama itu multitasking. Meski ada satu asisten rumah tangga di dalam rumah, yaitu Budhe Lasih—Mama sering terlihat mengerjakan beberapa pekerjaan rumah sendiri. Ditambah lagi siap mengantar jemput Bian setiap hari. Tiba-tiba saja terbersit di pikiran Bian kalau Mama juga harus mengantar jemput dirinya saat les—mungkin itu ide yang gila. Bawel-bawel begitu, Mama jarang sekali mengeluh apalagi melakukan penolakan. Bian jadi khawatir.

“Mama?”

Bian menatap Mama yang terus fokus menatap jalanan di depan sana. Mama mengangguk untuk sekedar memberi tanda kalau dia masih bisa mendengar Bian, bahkan tanpa harus menatapnya.

“Bian butuh motor, Ma.”

“Mama udah berkali-kali bilang ke Papa kalau kamu mau motor, tapikan kamu tau sendiri Papa kayak gimana, Bi?” Tepat saat Mama merespon perkataan Bian, mereka sampai di depan gerbang sekolah. “Alesan Papa itu jelas—karna kamu belum punya SIM. Mama kan jadi mati kutu, gak tau mau jawab apa lagi,” timpal Mama.

Ada benarnya. Bian tahu mungkin hampir seluruh jalanan di Ibukota itu padat merayap—tapi kan tidak semua jalanan ada polisinya? Begitu batin Bian.

Bian menghela napas panjang, seraya menatap Mama yang kini juga tengah menatapnya. Alis Bian seketika terangkat. Bingung melihat ekspresi wajah Mama.

“Apa?” tanya Bian.

“Kamu gak turun? Gak sekolah?”

Lantas bocah itu mendelik. Kenapa belakangan ini waktu terasa begitu cepat saat dia tengah bersama Mama atau Papa. Sepertinya beberapa saat yang lalu mobil Mama baru saja keluar dari pekarangan rumah.

“Malah ngelamun!”

“Kok cepet banget sih, Ma?!”

“Apanya?” tanya Mama kebingungan.

“Gak jadi. Ya udah, ntar pulangnya dikabarin—Bian sekolah dulu—” Usai mengatakan itu, Bian sekonyong-konyong mengecup pipi Mama sebelum akhirnya melepas seat belt dan pergi begitu saja.

“Kalau Papa kamu anggep rumah paling nyaman. Ayah, kamu anggep apa, Bi?”

“Rumah paling aman.”

Bian ingat pernah berkata demikian seraya menggenggam erat tangan Om Yudhis saat tengah asyik duduk di teras rumah kawan papanya itu, beberapa bulan yang lalu—saat liburan usai kelulusannya di bangku sekolah menengah pertama.

Semua kawan Papa semasa muda itu baik, tapi Om Yudhis mungkin jadi satu-satunya sosok yang hampir setiap hari Bian temui sejak masih duduk di bangku taman kanak-kanak.

Sore ini, Bian kembali duduk dan merasakan dinginnya teras tersebut. Keramiknya masih sama seperti saat terakhir kali dia berkunjung. Berteman segelas es cappucino cincau buatan istri sang pemilik rumah, alias Tante Jupe, alias Tante Julia Paramitha yang rasanya luar biasa kemanisan! Bian beradu kepandaian bermain jenga dengan si pemilik rumah.

“Ayah jangan curang gitulah! Masa udah dipegang gak jadi dicabut?!” seru Bian. Matanya memicing menatap Om Yudhis, kesal.

“Gak sengaja kepegang, Bi!”

“BOONG!”

Seolah terkena dampak dari panasnya persaingan kedua laki-laki penuh ambisi itu—bukan cuman Tante Jupe yang berkeringat, tapi juga gelas yang sejak tadi nangkring di samping mereka.

Ngomong-ngomong soal Tante Jupe—bisa dibilang sebenarnya Bian ibarat cupid di antara Om Yudhis dan Tante Jupe. Dulu sekali, Bian kecil sering kali diantar jemput oleh Om Yudhis saat masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Sebab Papa sedang sibuk-sibuknya, dan Mama belum punya kendaraan pribadi untuk mengantar jemput Bian. Maka Papa menyerahkan tugas tersebut kepada Om Yudhis yang notabenenya adalah seorang sekertaris pribadi untuk Papa. Memang sangat out of the box, sih. Tapi Om Yudhis melakukan tugas tersebut dengan senang hati. Om Yudhis yang pada dasarnya memang sangat loyal pada Papa, secara tidak sadar menganggap Bian seperti anaknya sendiri. Ditambah lagi pada saat itu Om Yudhis masih melajang. Lantas, Om Yudhis yang ceria serta humoris itu dipertemukan dengan seorang ibu guru cantik—wali kelas Bian kecil.

Pertemuan-pertemuan singkat antar keduanya ternyata mampu menimbulkan percikan cinta. Dan yang Bian tahu, tidak lama dari kelulusannya—Om Yudhis dan Tante Jupe menikah.

Bian meringis. Tiba-tiba saja teringat cintanya yang baru saja ditolak. Bocah itu membuang napas dengan kasar.

“Udah ah mainnya!”

“Kok udahan?” tanya Tante Jupe terheran-heran.

Memang keadaan hati Sabian Aditama jauh lebih buruk dari remaja perempuan sekalipun. Sebentar cerah, sebentar mendung, sebentar lagi hujan petir.

“Jelek banget sih ini anak moodnya?! Lagi enak-enak main juga!” pekik Om Yudhis tidak terima.

Bian mencebik. Dua bola matanya yang polos menatap ke arah jengan. “Orang galau kok diajak main ginian ... gak jelas....”

Nah kan! Berbanding terbalik dengan Bian yang biasanya—saat bersama Om Yudhis, bahkan tanpa paksaan sedikitpun Bian akan menumpahkan semua keluh kesahnya.

Dalam beberapa kesempatan, Om Yudhis seperti yang Bian katakan sebelumnya. Yaitu tempat paling aman. Sebab, kadang ada kalanya yang dirasa nyaman belum tentu jadi yang teraman. Begitu pula sebaliknya.

Om Yudhis dan Tante Jupe saling beradu tatap. Apalagi ya kali ini?

Tante Jupe berbatuk kecil. “Tante masuk dulu, deh. Nanti abis ini Bian jangan lupa langsung mandi sore ya? Air angetnya Tante siapin dulu,” katanya sebelum memilih untuk meninggalkan sang suami beserta Bian di teras rumah.

...

Bian yang semula duduk tegap, kini bahunya merosot seolah kehilangan tulang punggungnya seketika.

“Gimana ya caranya ngobatin penyakit hati? Sakit banget ini, udah berhari-hari kok gak sembuh-sembuh,” kata Bian membuka percakapan.

Om Yudhis tertawa sumbang. “Sakit yang kayak gimana dulu nih?”

“Patah....”

“Dibawa ke yang bersangkutan, terus paksa suruh obatin. Kalo gak, ya obatin sendiri pelan-pelan.” Om Yudhis meraih gelas berisikan capuccino ekstra air es batu yang sudah mencair. Menyeruputnya, kemudian mengangguk singkat. Kini rasa minuman tersebut, tak semanis sebelumnya. “Pokoknya jangan coba-coba minta diobatin sama orang lain,” timpal lelaki itu.

Bian menarik sudut bibirnya. Yang membuat percakapan mereka seru adalah kalimat-kalimat yang tidak perlu diucapkan secara gamblang, tapi tetap jelas apa maksudnya.

“Takut gak, sih?”

“Takut kenapa?”

“Takut kayak ngemis ke yang bersangkutan,” jawab Bian begitu singkat.

Sontak Om Yudhis menggeleng penuh semangat. “Ngemis atau enggaknya, itu tergantung sama cara kamu.”

“Kalau Papa kamu anggep rumah paling nyaman. Ayah, kamu anggep apa, Bi?”

“Rumah paling aman.”

Bian ingat pernah berkata demikian seraya menggenggam erat tangan Om Yudhis saat tengah asyik duduk di teras rumah kawan papanya itu, beberapa bulan yang lalu—saat liburan usai kelulusannya di bangku sekolah menengah pertama.

Semua kawan Papa semasa muda itu baik, tapi Om Yudhis mungkin jadi satu-satunya sosok yang hampir setiap hari Bian temui sejak masih duduk di bangku taman kanak-kanak.

Sore ini, Bian kembali duduk dan merasakan dinginnya teras tersebut. Keramiknya masih sama seperti saat terakhir kali dia berkunjung. Berteman segelas es cappucino cincau buatan istri sang pemilik rumah, alias Tante Jupe, alias Tante Julia Paramitha yang rasanya luar biasa kemanisan! Bian beradu kepandaian bermain jenga dengan si pemilik rumah.

“Ayah jangan curang gitulah! Masa udah dipegang gak jadi dicabut?!” seru Bian. Matanya memicing menatap Om Yudhis, kesal.

“Gak sengaja kepegang, Bi!”

“BOONG!”

Seolah terkena dampak dari panasnya persaingan kedua laki-laki penuh ambisi itu—bukan cuman Tante Jupe yang berkeringat, tapi juga gelas yang sejak tadi nangkring di samping mereka.

Ngomong-ngomong soal Tante Jupe—bisa dibilang sebenarnya Bian ibarat cupid di antara Om Yudhis dan Tante Jupe. Dulu sekali, Bian kecil sering kali diantar jemput oleh Om Yudhis saat masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Sebab Papa sedang sibuk-sibuknya, dan Mama belum punya kendaraan pribadi untuk mengantar jemput Bian. Maka Papa menyerahkan tugas tersebut kepada Om Yudhis yang notabenenya adalah seorang sekertaris pribadi untuk Papa. Memang sangat out of the box, sih. Tapi Om Yudhis melakukan tugas tersebut dengan senang hati. Om Yudhis yang pada dasarnya memang sangat loyal pada Papa, secara tidak sadar menganggap Bian seperti anaknya sendiri. Ditambah lagi pada saat itu Om Yudhis masih melajang. Lantas, Om Yudhis yang ceria serta humoris itu dipertemukan dengan seorang ibu guru cantik—wali kelas Bian kecil.

Pertemuan-pertemuan singkat antar keduanya ternyata mampu menimbulkan percikan cinta. Dan yang Bian tahu, tidak lama dari kelulusannya—Om Yudhis dan Tante Jupe menikah.

Bian meringis. Tiba-tiba saja teringat cintanya yang baru saja ditolak. Bocah itu membuang napas dengan kasar.

“Udah ah mainnya!”

“Kok udahan?” tanya Tante Jupe terheran-heran.

Memang keadaan hati Sabian Aditama jauh lebih buruk dari remaja perempuan sekalipun. Sebentar cerah, sebentar mendung, sebentar lagi hujan petir.

“Jelek banget sih ini anak moodnya?! Lagi enak-enak main juga!” pekik Om Yudhis tidak terima.

Bian mencebik. Dua bola matanya yang polos menatap ke arah jengan. “Orang galau kok diajak main ginian ... gak jelas....”

Nah kan! Berbanding terbalik dengan Bian yang biasanya—saat bersama Om Yudhis, bahkan tanpa paksaan sedikitpun Bian akan menumpahkan semua keluh kesahnya.

Dalam beberapa kesempatan, Om Yudhis seperti yang Bian katakan sebelumnya. Yaitu tempat paling aman. Sebab, kadang ada kalanya yang dirasa nyaman belum tentu jadi yang teraman. Begitu pula sebaliknya.

Om Yudhis dan Tante Jupe saling beradu tatap. Apalagi ya kali ini?

Tante Jupe berbatuk kecil. “Tante masuk dulu, deh. Nanti abis ini Bian jangan lupa langsung mandi sore ya? Air angetnya Tante siapin dulu,” katanya sebelum memilih untuk meninggalkan sang suami beserta Bian di teras rumah.

...

Bian yang semula duduk tegap, kini bahunya merosot seolah kehilangan tulang punggungnya seketika.

“Gimana ya caranya ngobatin penyakit hati? Sakit banget ini, udah berhari-hari kok gak sembuh-sembuh,” kata Bian membuka percakapan.

Om Yudhis tertawa sumbang. “Sakit yang kayak gimana dulu nih?”

“Patah....”

“Dibawa ke yang bersangkutan, terus paksa suruh obatin. Kalo gak, ya obatin sendiri pelan-pelan.” Om Yudhis meraih gelas berisikan capuccino ekstra air es batu yang sudah mencair. Menyeruputnya, kemudian mengangguk singkat. Kini rasa minuman tersebut, tak semanis sebelumnya. “Pokoknya jangan coba-coba minta diobatin sama orang lain,” timpal lelaki itu.

Bian menarik sudut bibirnya. Yang membuat percakapan mereka seru adalah kalimat-kalimat yang tidak perlu diucapkan secara gamblang, tapi tetap jelas apa maksudnya.

“Takut gak, sih?”

“Takut kenapa?”

“Takut kayak ngemis ke yang bersangkutan,” jawab Bian begitu singkat.

Sontak Om Yudhis menggeleng penuh semangat. “Ngemis atau enggaknya, itu tergantung sama cara kamu.”

“Kalau Papa kamu anggep rumah paling nyaman. Ayah, kamu anggep apa, Bi?”

“Rumah paling aman.”

Bian ingat pernah berkata demikian seraya menggenggam erat tangan Om Yudhis saat tengah asyik duduk di teras rumah kawan papanya itu, beberapa bulan yang lalu—saat liburan usai kelulusannya di bangku sekolah menengah pertama.

Semua kawan Papa semasa muda itu baik, tapi Om Yudhis mungkin jadi satu-satunya sosok yang hampir setiap hari Bian temui sejak masih duduk di bangku taman kanak-kanak.

Sore ini, Bian kembali duduk dan merasakan dinginnya teras tersebut. Keramiknya masih sama seperti saat terakhir kali dia berkunjung. Berteman segelas es cappucino cincau buatan istri sang pemilik rumah, alias Tante Jupe, alias Tante Julia Paramitha yang rasanya luar biasa kemanisan! Bian beradu kepandaian bermain jenga dengan si pemilik rumah.

“Ayah jangan curang gitulah! Masa udah dipegang gak jadi dicabut?!” seru Bian. Matanya memicing menatap Om Yudhis, kesal.

“Gak sengaja kepegang, Bi!”

“BOONG!”

Seolah terkena dampak dari panasnya persaingan kedua laki-laki penuh ambisi itu—bukan cuman Tante Jupe yang berkeringat, tapi juga gelas yang sejak tadi nangkring di samping mereka.

Ngomong-ngomong soal Tante Jupe—bisa dibilang sebenarnya Bian ibarat cupid di antara Om Yudhis dan Tante Jupe. Dulu sekali, Bian kecil sering kali diantar jemput oleh Om Yudhis saat masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Sebab Papa sedang sibuk-sibuknya, dan Mama belum punya kendaraan pribadi untuk mengantar jemput Bian. Maka Papa menyerahkan tugas tersebut kepada Om Yudhis yang notabenenya adalah seorang sekertaris pribadi untuk Papa. Memang sangat out of the box, sih. Tapi Om Yudhis melakukan tugas tersebut dengan senang hati. Om Yudhis yang pada dasarnya memang sangat loyal pada Papa, secara tidak sadar menganggap Bian seperti anaknya sendiri. Ditambah lagi pada saat itu Om Yudhis masih melajang. Lantas, Om Yudhis yang ceria serta humoris itu dipertemukan dengan seorang ibu guru cantik—wali kelas Bian kecil.

Pertemuan-pertemuan singkat antar keduanya ternyata mampu menimbulkan percikan cinta. Dan yang Bian tahu, tidak lama dari kelulusannya—Om Yudhis dan Tante Jupe menikah.

Bian meringis. Tiba-tiba saja teringat cintanya yang baru saja ditolak. Bocah itu membuang napas dengan kasar.

“Udah ah mainnya!”

“Kok udahan?” tanya Tante Jupe terheran-heran.

Memang keadaan hati Sabian Aditama jauh lebih buruk dari remaja perempuan sekalipun. Sebentar cerah, sebentar mendung, sebentar lagi hujan petir.

“Jelek banget sih ini anak moodnya?! Lagi enak-enak main juga!” pekik Om Yudhis tidak terima.

Bian mencebik. Dua bola matanya yang polos menatap ke arah jengan. “Orang galau kok diajak main ginian ... gak jelas....”

Nah kan! Berbanding terbalik dengan Bian yang biasanya—saat bersama Om Yudhis, bahkan tanpa paksaan sedikitpun Bian akan menumpahkan semua keluh kesahnya.

Dalam beberapa kesempatan, Om Yudhis seperti yang Bian katakan sebelumnya. Yaitu tempat paling aman. Sebab, kadang ada kalanya yang dirasa nyaman belum tentu jadi yang teraman. Begitu pula sebaliknya.

Om Yudhis dan Tante Jupe saling beradu tatap. Apalagi ya kali ini?

Tante Jupe berbatuk kecil. “Tante masuk dulu, deh. Nanti abis ini Bian jangan lupa langsung mandi sore ya? Air angetnya Tante siapin dulu,” katanya sebelum memilih untuk meninggalkan sang suami beserta Bian di teras rumah.

...

Bian yang semula duduk tegap, kini bahunya merosot seolah kehilangan tulang punggungnya seketika.

“Gimana ya caranya ngobatin penyakit hati? Sakit banget ini, udah berhari-hari kok gak sembuh-sembuh,” kata Bian membuka percakapan.

Om Yudhis tertawa sumbang. “Sakit yang kayak gimana dulu nih?”

“Patah....”

“Dibawa ke yang bersangkutan, terus paksa suruh obatin. Kalo gak, ya obatin sendiri pelan-pelan.” Om Yudhis meraih gelas berisikan capuccino ekstra air es batu yang sudah mencair. Menyeruputnya, kemudian mengangguk singkat. Kini rasa minuman tersebut, tak semanis sebelumnya. “Pokoknya jangan coba-coba minta diobatin sama orang lain,” timpal lelaki itu.

Bian menarik sudut bibirnya. Yang membuat percakapan mereka seru adalah kalimat-kalimat yang tidak perlu diucapkan secara gamblang, tapi tetap jelas apa maksudnya.

“Takut gak, sih?”

“Takut kenapa?”

“Takut kayak ngemis ke yang bersangkutan,” jawab Bian begitu singkat.

Sontak Om Yudhis menggeleng penuh semangat. “Ngemis atau enggaknya, itu tergantung sama cara kamu.”

  • “Kalau Papa kamu anggep rumah paling nyaman. Ayah, kamu anggep apa, Bi?” -

  • “Rumah paling aman.” -

Bian ingat pernah berkata demikian seraya menggenggam erat tangan Om Yudhis saat tengah asyik duduk di teras rumah kawan papanya itu, beberapa bulan yang lalu—saat liburan usai kelulusannya di bangku sekolah menengah pertama.

Semua kawan Papa semasa muda itu baik, tapi Om Yudhis mungkin jadi satu-satunya sosok yang hampir setiap hari Bian temui sejak masih duduk di bangku taman kanak-kanak.

Sore ini, Bian kembali duduk dan merasakan dinginnya teras tersebut. Keramiknya masih sama seperti saat terakhir kali dia berkunjung. Berteman segelas es cappucino cincau buatan istri sang pemilik rumah, alias Tante Jupe, alias Tante Julia Paramitha yang rasanya luar biasa kemanisan! Bian beradu kepandaian bermain jenga dengan si pemilik rumah.

“Ayah jangan curang gitulah! Masa udah dipegang gak jadi dicabut?!” seru Bian. Matanya memicing menatap Om Yudhis, kesal.

“Gak sengaja kepegang, Bi!”

“BOONG!”

Seolah terkena dampak dari panasnya persaingan kedua laki-laki penuh ambisi itu—bukan cuman Tante Jupe yang berkeringat, tapi juga gelas yang sejak tadi nangkring di samping mereka.

Ngomong-ngomong soal Tante Jupe—bisa dibilang sebenarnya Bian ibarat cupid di antara Om Yudhis dan Tante Jupe. Dulu sekali, Bian kecil sering kali diantar jemput oleh Om Yudhis saat masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Sebab Papa sedang sibuk-sibuknya, dan Mama belum punya kendaraan pribadi untuk mengantar jemput Bian. Maka Papa menyerahkan tugas tersebut kepada Om Yudhis yang notabenenya adalah seorang sekertaris pribadi untuk Papa. Memang sangat out of the box, sih. Tapi Om Yudhis melakukan tugas tersebut dengan senang hati. Om Yudhis yang pada dasarnya memang sangat loyal pada Papa, secara tidak sadar menganggap Bian seperti anaknya sendiri. Ditambah lagi pada saat itu Om Yudhis masih melajang. Lantas, Om Yudhis yang ceria serta humoris itu dipertemukan dengan seorang ibu guru cantik—wali kelas Bian kecil.

Pertemuan-pertemuan singkat antar keduanya ternyata mampu menimbulkan percikan cinta. Dan yang Bian tahu, tidak lama dari kelulusannya—Om Yudhis dan Tante Jupe menikah.

Bian meringis. Tiba-tiba saja teringat cintanya yang baru saja ditolak. Bocah itu membuang napas dengan kasar.

“Udah ah mainnya!”

“Kok udahan?” tanya Tante Jupe terheran-heran.

Memang keadaan hati Sabian Aditama jauh lebih buruk dari remaja perempuan sekalipun. Sebentar cerah, sebentar mendung, sebentar lagi hujan petir.

“Jelek banget sih ini anak moodnya?! Lagi enak-enak main juga!” pekik Om Yudhis tidak terima.

Bian mencebik. Dua bola matanya yang polos menatap ke arah jengan. “Orang galau kok diajak main ginian ... gak jelas....”

Nah kan! Berbanding terbalik dengan Bian yang biasanya—saat bersama Om Yudhis, bahkan tanpa paksaan sedikitpun Bian akan menumpahkan semua keluh kesahnya.

Dalam beberapa kesempatan, Om Yudhis seperti yang Bian katakan sebelumnya. Yaitu tempat paling aman. Sebab, kadang ada kalanya yang dirasa nyaman belum tentu jadi yang teraman. Begitu pula sebaliknya.

Om Yudhis dan Tante Jupe saling beradu tatap. Apalagi ya kali ini?

Tante Jupe berbatuk kecil. “Tante masuk dulu, deh. Nanti abis ini Bian jangan lupa langsung mandi sore ya? Air angetnya Tante siapin dulu,” katanya sebelum memilih untuk meninggalkan sang suami beserta Bian di teras rumah.

...

Bian yang semula duduk tegap, kini bahunya merosot seolah kehilangan tulang punggungnya seketika.

“Gimana ya caranya ngobatin penyakit hati? Sakit banget ini, udah berhari-hari kok gak sembuh-sembuh,” kata Bian membuka percakapan.

Om Yudhis tertawa sumbang. “Sakit yang kayak gimana dulu nih?”

“Patah....”

“Dibawa ke yang bersangkutan, terus paksa suruh obatin. Kalo gak, ya obatin sendiri pelan-pelan.” Om Yudhis meraih gelas berisikan capuccino ekstra air es batu yang sudah mencair. Menyeruputnya, kemudian mengangguk singkat. Kini rasa minuman tersebut, tak semanis sebelumnya. “Pokoknya jangan coba-coba minta diobatin sama orang lain,” timpal lelaki itu.

Bian menarik sudut bibirnya. Yang membuat percakapan mereka seru adalah kalimat-kalimat yang tidak perlu diucapkan secara gamblang, tapi tetap jelas apa maksudnya.

“Takut gak, sih?”

“Takut kenapa?”

“Takut kayak ngemis ke yang bersangkutan,” jawab Bian begitu singkat.

Sontak Om Yudhis menggeleng penuh semangat. “Ngemis atau enggaknya, itu tergantung sama cara kamu.”

— “Kalau Papa kamu anggep rumah paling nyaman. Ayah, kamu anggep apa, Bi?”

— “Rumah paling aman.”

Bian ingat pernah berkata demikian seraya menggenggam erat tangan Om Yudhis saat tengah asyik duduk di teras rumah kawan papanya itu, beberapa bulan yang lalu—saat liburan usai kelulusannya di bangku sekolah menengah pertama.

Semua kawan Papa semasa muda itu baik, tapi Om Yudhis mungkin jadi satu-satunya sosok yang hampir setiap hari Bian temui sejak masih duduk di bangku taman kanak-kanak.

Sore ini, Bian kembali duduk dan merasakan dinginnya teras tersebut. Keramiknya masih sama seperti saat terakhir kali dia berkunjung. Berteman segelas es cappucino cincau buatan istri sang pemilik rumah, alias Tante Jupe, alias Tante Julia Paramitha yang rasanya luar biasa kemanisan! Bian beradu kepandaian bermain jenga dengan si pemilik rumah.

“Ayah jangan curang gitulah! Masa udah dipegang gak jadi dicabut?!” seru Bian. Matanya memicing menatap Om Yudhis, kesal.

“Gak sengaja kepegang, Bi!”

“BOONG!”

Seolah terkena dampak dari panasnya persaingan kedua laki-laki penuh ambisi itu—bukan cuman Tante Jupe yang berkeringat, tapi juga gelas yang sejak tadi nangkring di samping mereka.

Ngomong-ngomong soal Tante Jupe—bisa dibilang sebenarnya Bian ibarat cupid di antara Om Yudhis dan Tante Jupe. Dulu sekali, Bian kecil sering kali diantar jemput oleh Om Yudhis saat masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Sebab Papa sedang sibuk-sibuknya, dan Mama belum punya kendaraan pribadi untuk mengantar jemput Bian. Maka Papa menyerahkan tugas tersebut kepada Om Yudhis yang notabenenya adalah seorang sekertaris pribadi untuk Papa. Memang sangat out of the box, sih. Tapi Om Yudhis melakukan tugas tersebut dengan senang hati. Om Yudhis yang pada dasarnya memang sangat loyal pada Papa, secara tidak sadar menganggap Bian seperti anaknya sendiri. Ditambah lagi pada saat itu Om Yudhis masih melajang. Lantas, Om Yudhis yang ceria serta humoris itu dipertemukan dengan seorang ibu guru cantik—wali kelas Bian kecil.

Pertemuan-pertemuan singkat antar keduanya ternyata mampu menimbulkan percikan cinta. Dan yang Bian tahu, tidak lama dari kelulusannya—Om Yudhis dan Tante Jupe menikah.

Bian meringis. Tiba-tiba saja teringat cintanya yang baru saja ditolak. Bocah itu membuang napas dengan kasar.

“Udah ah mainnya!”

“Kok udahan?” tanya Tante Jupe terheran-heran.

Memang keadaan hati Sabian Aditama jauh lebih buruk dari remaja perempuan sekalipun. Sebentar cerah, sebentar mendung, sebentar lagi hujan petir.

“Jelek banget sih ini anak moodnya?! Lagi enak-enak main juga!” pekik Om Yudhis tidak terima.

Bian mencebik. Dua bola matanya yang polos menatap ke arah jengan. “Orang galau kok diajak main ginian ... gak jelas....”

Nah kan! Berbanding terbalik dengan Bian yang biasanya—saat bersama Om Yudhis, bahkan tanpa paksaan sedikitpun Bian akan menumpahkan semua keluh kesahnya.

Dalam beberapa kesempatan, Om Yudhis seperti yang Bian katakan sebelumnya. Yaitu tempat paling aman. Sebab, kadang ada kalanya yang dirasa nyaman belum tentu jadi yang teraman. Begitu pula sebaliknya.

Om Yudhis dan Tante Jupe saling beradu tatap. Apalagi ya kali ini?

Tante Jupe berbatuk kecil. “Tante masuk dulu, deh. Nanti abis ini Bian jangan lupa langsung mandi sore ya? Air angetnya Tante siapin dulu,” katanya sebelum memilih untuk meninggalkan sang suami beserta Bian di teras rumah.

...

Bian yang semula duduk tegap, kini bahunya merosot seolah kehilangan tulang punggungnya seketika.

“Gimana ya caranya ngobatin penyakit hati? Sakit banget ini, udah berhari-hari kok gak sembuh-sembuh,” kata Bian membuka percakapan.

Om Yudhis tertawa sumbang. “Sakit yang kayak gimana dulu nih?”

“Patah....”

“Dibawa ke yang bersangkutan, terus paksa suruh obatin. Kalo gak, ya obatin sendiri pelan-pelan.” Om Yudhis meraih gelas berisikan capuccino ekstra air es batu yang sudah mencair. Menyeruputnya, kemudian mengangguk singkat. Kini rasa minuman tersebut, tak semanis sebelumnya. “Pokoknya jangan coba-coba minta diobatin sama orang lain,” timpal lelaki itu.

Bian menarik sudut bibirnya. Yang membuat percakapan mereka seru adalah kalimat-kalimat yang tidak perlu diucapkan secara gamblang, tapi tetap jelas apa maksudnya.

“Takut gak, sih?”

“Takut kenapa?”

“Takut kayak ngemis ke yang bersangkutan,” jawab Bian begitu singkat.

Sontak Om Yudhis menggeleng penuh semangat. “Ngemis atau enggaknya, itu tergantung sama cara kamu.”