cakgrays

Mama itu, bisa dibilang yang paling tahu watak Bian. Berkacak sangar seperti tokoh gatot kaca, padahal aslinya tidak lebih kuat dari hellokitty.

Melihat bagaimana Bian menangis di hadapan Papa, Mama pikir sepertinya dunia tidak sedang baik-baik saja. Hampir wajah Papa dihantam dengan bantal sofa oleh Mama. Sebab, Mama kira bayi besarnya itu menangis karena sang papa memarahinya semata-mata karena nilai rapot yang merah semua atau bagaimana. Ternyata bukan.

Di sini lah Mama dan Bian sekarang. Di dalam sebuah kamar yang nuansa dan interiornya sebelas dua belas dengan kamar Papa semasa muda. Yah, itu menurut Mama.

Bian duduk sembari memeluk Mama erat-erat. Nyaman mungkin? Tak lupa meminta agar punggungnya terus diusap-usap oleh Mama. Kapan lagi? Mumpung ada kesempatan. Toh, Bian sudah kepalang malu karena kejadian menangis di hadapan Papa beberapa menit yang lalu.

“Nilai kamu gak jelek-jelek banget, tuh?” kata Mama, sambil menunjuk buku rapot pada Bian yang masih setia dalam dekapannya.

Bian menggeleng. Dia yakin bahwa nilai tersebut tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan nilai teman sekelasnya. “Jelek itu....”

Lantas mau tidak mau Mama mengalah. Dilihat-lihat suasana hati Bian masih belum membaik. Takut Bian tersinggung pada akhirnya.

“Nangis sambil peluk Papa enak, gak?” tanya Mama. Nadanya seolah sengaja menggoda Bian.

Kalau boleh jujur, Bian suka bagaimana cara Papa menenangkannya. Bian suka kala bahu Papa yang jauh lebih lebar dari miliknya itu, mendekap tubuhnya erat. Seperti kembali ke masa lalu. Saat Bian masih berusia sekitar lima, sampai depan tahun. Momen seperti itu, kini langka. Bahkan selang beberapa menit setelah pelukan seperti teletubbies—Papa harus langsung melakukan meeting online dengan rekan kerjanya. Oleh karena itu Mama bertanggung jawab mengambil alih Bian.

“Dulu itu ... pas kamu masih bayi, kayaknya Papa yang lebih sering gendong kamu daripada Mama. Paling tuh ya, Mama gendong kamu kalau mau bikin kamu tidur aja. Dulu, Papa over protective ke kamu, Bi.”

Sontak Bian ngangkat dagunya. Mencoba menatap Mama—masih dalam keadaan memeluknya. Dasar si manja!

“Masa iya Papa over protective?” tanya Bian, penasaran.

Sebenarnya sampai detik ini, Bian masih sering menjadi korban ke-over protective-an Papa. Namun, ada sedikit rasa penasaran perihal seperti apa Papa saat dia masih kecil.

Mama mengangguk mantap, sampai dagunya tidak sengaja membentur pucuk kepala Bian. “Dulu—pas kamu baru lahir—gak ada yang boleh pegang kamu kecuali Mama, sama Papa sendiri. Nenek kamu, kakek kamu, pokoknya semua orang tuh gak boleh! Kamu tau gak apa alesan Papa sampai kayak gitu?”

“Apa?”

“Papa gak mau kulit kamu iritasi karna kontak fisik sama banyak orang,” kata Mama, lalu terkekeh. Agaknya Mama masih tak habis pikir dengan jalan pikiran Papa pada saat itu.

“Pantes Bian kayaknya cucu nenek yang paling gak akrab sama Nenek, ya?”

Mendengar perkataan Bian barusan, sontak Mama tergelak bukan main. Secara tidak langsung Mama mengiyakan opini Bian. Memang di antara cucu-cucu mertuanya itu, hanya Bian yang tampaknya menutup diri. Malas berinteraksi dengan dengan keluarga besar kecuali dengan Om Jemi—adik Papa. Namun, itupun tak terlalu sering.

“Kamu harus akur-akur sama nenek kamu, bi.”

“Kenapa?”

“Biar dapet warisan.”

Di luar dugaan. “SI MAMA BISA-BISANYA!”

Bian mendorong Mama, sampai Mama terguling di atas ranjang sembari tertawa terbahak-bahak.

Mama itu, bisa dibilang yang paling tahu watak Bian. Berkacak sangar seperti tokoh gatot kaca, padahal aslinya tidak lebih kuat dari hellokitty.

Melihat bagaimana Bian menangis di hadapan Papa, Mama pikir sepertinya dunia tidak sedang baik-baik saja. Hampir wajah Papa dihantam dengan bantal sofa oleh Mama. Sebab, Mama kira bayi besarnya itu menangis karena sang papa memarahinya semata-mata karena nilai rapot yang merah semua atau bagaimana. Ternyata bukan.

Di sini lah Mama dan Bian sekarang. Di dalam sebuah kamar yang nuansa dan interiornya sebelas dua belas dengan kamar Papa semasa muda. Yah, itu menurut Mama.

Bian duduk sembari memeluk Mama erat-erat. Nyaman mungkin? Tak lupa meminta agar punggungnya terus diusap-usap oleh Mama. Kapan lagi? Mumpung ada kesempatan. Toh, Bian sudah kepalang malu karena kejadian menangis di hadapan Papa beberapa menit yang lalu.

“Nilai kamu gak jelek-jelek banget, tuh?” kata Mama, sambil menunjuk buku rapot pada Bian yang masih setia dalam dekapannya.

Bian menggeleng. Dia yakin bahwa nilai tersebut tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan nilai teman sekelasnya. “Jelek itu....”

Lantas mau tidak mau Mama mengalah. Dilihat-lihat suasana hati Bian masih belum membaik. Takut Bian tersinggung pada akhirnya.

“Nangis sambil peluk Papa enak, gak?” tanya Mama. Nadanya seolah sengaja menggoda Bian.

Kalau boleh jujur, Bian suka bagaimana cara Papa menenangkannya. Bian suka kala bahu Papa yang jauh lebih lebar dari miliknya itu, mendekap tubuhnya erat. Seperti kembali ke masa lalu. Saat Bian masih berusia sekitar lima, sampai depan tahun. Momen seperti itu, kini langka. Bahkan selang beberapa menit setelah pelukan seperti teletubbies—Papa harus langsung melakukan meeting online dengan rekan kerjanya. Oleh karena itu Mama bertanggung jawab mengambil alih Bian.

“Dulu itu ... pas kamu masih bayi, kayaknya Papa yang lebih sering gendong kamu daripada Mama. Paling tuh ya, Mama gendong kamu kalau mau bikin kamu tidur aja. Dulu, Papa over protective ke kamu, Bi.”

Sontak Bian ngangkat dagunya. Mencoba menatap Mama—masih dalam keadaan memeluknya. Dasar si manja!

“Masa iya Papa over protective?” tanya Bian, penasaran.

Sebenarnya sampai detik ini, Bian masih sering menjadi korban ke-over protective-an Papa. Namun, ada sedikit rasa penasaran perihal seperti apa Papa saat dia masih kecil.

Mama mengangguk mantap, sampai dagunya tidak sengaja membentur pucuk kepala Bian. “Dulu—pas kamu baru lahir—gak ada yang boleh pegang kamu kecuali Mama, sama Papa sendiri. Nenek kamu, kakek kamu, pokoknya semua orang tuh gak boleh! Kamu tau gak apa alesan Papa sampai kayak gitu?”

“Apa?”

“Papa gak mau kulit kamu iritasi karna kontak fisik sama banyak orang,” kata Mama, lalu terkekeh. Agaknya Mama masih tak habis pikir dengan jalan pikiran Papa pada saat itu.

“Pantes Bian kayaknya cucu nenek yang paling gak akrab sama Nenek, ya?”

Mendengar perkataan Bian barusan, sontak Mama tergelak bukan main. Secara tidak langsung Mama mengiyakan opini Bian. Memang di antara cucu-cucu mertuanya itu, hanya Bian yang tampaknya menutup diri. Malas berinteraksi dengan dengan keluarga besar kecuali dengan Om Jemi—adik Papa. Namun, itupun tak terlalu sering.

“Kamu harus akur-akur sama nenek kamu, bi.”

“Kenapa?”

“Biar dapet warisan.”

Di luar dugaan. “SI MAMA BISA-BISANYA!”

![]https://i.imgur.com/5wOnywR.jpg

Bian mendorong Mama, sampai Mama terguling di atas ranjang sembari tertawa terbahak-bahak.

Hari ini, sejak pagi-pagi buta sistem pencernaan Bian sudah bermasalah, sampai heboh seisi rumah. Yang mual lah, yang diare lah—aduh, Papa jadi harus menghubungi dokter saking khawatirnya.

Wajah bocah itu kini pucat pasi. Usut punya usut, ini semua terjadi bukan karena salah makan atau apa, melainkan karena perasaan panik yang memang menghantui Bian sejak semalam. Namun, Bian bukannya sedang mengada-ada. Mulas dan mual benar-benar Bian rasakan. Tatapan matanya gamang. Yang muncul di dalam kepalanya hanya soal nilai rapor dan bayang-bayang bagaimana wajah masam Papa. Bian menghela napas panjang.

“Papa sama Mama aja, kamu istirahat di rumah. Kamu gak usah ikut,” kata Papa sambil mengeratkan dasinya.

Lantas, seperti halnya orang yang melihat hantu—Bian spontan mendelik. Dia terbangun dari posisi rebahan yang sebelumnya tampak sangat nyaman. “Bian ikut, Pa!” katanya. Kemudian dengan sisa-sisa tenaga yang ada, bocah itu beranjak dari atas ranjang tanpa mempedulikan Papa dan Mama yang menatapnya kebingungan. Bian meraih pakaian dari dalam lemari secara asal-asalan.

“Bi, kamu yakin mau ikut ambil rapot?” tanya Mama khawatir.

“Iya. Papa sama Bian aja.”

Papa memilih untuk diam. Toh kalaupun dilarang pasti akan jadi usaha yang sia-sia, sebab Papa tahu jelas Bian seperti apa.

Tanpa suara, Papa merangkul Mama. Membawa Mama keluar dari kamar Bian karena sadar bahwa anak semata wayangnya itu perlu ruang untuk segera mengganti pakaian sebelum jam menunjukkan pukul sembilan pagi—waktu pengambilan rapor.


Pada akhirnya Bian di sini sekarang. Duduk di lantai, di depan kelas bersama dengan beberapa teman sekelasnya yang juga sengaja datang ke sekolah hari ini. Di sampingnya ada Zaid yang dengan santainya masih bisa cengengesan.

Sekarang entah hilang ke mana penyakit pencernaan yang sebelumnya Bian derita.

Bian berharap, setidaknya dia mendapat ranking lima belas dari dua puluh siswa yang ada. Sialnya pintu ruang kelas yang memang sudah disiapkan sebagai tempat pertemuan antar wali kelas dan orang tua sengaja ditutup rapat-rapat—tak lupa jendela kacanya pun tertutup oleh tirai.

Papa di sana, di dalam kelas, dan entah tengah mendengarkan wali kelasnya berkata apa. Yang jelas, Bian yakin seratus persen kalau urutan ranking siswa terpampang jelas pada papan tulis di depan kelas karena sebelumnya Bian melihat ketua kelas menuliskan angka satu sampai dua puluh menggunakan spidol hitam di papan tersebut.

“Lo tau gak, tadi gue liat yang dateng sama sepeda kupas bukan bokapnya.” Entah apa maksud Zaid tiba-tiba mengangkat topik seperti ini, tapi hati kecil Bian berontak. Ikut penasaran.

“Mamanya?” tanya Bian tanpa berpikir panjang.

“Tolol! Dia kan udah gak punya nyokap, Bi! Gimana sih?” Sontak Bian melotot. Benar juga.

“Terus sama siapa?”

“Sama cowok, tinggi. Kayak mas mas kuliahan, tapi ... lo pikir, deh....”

“Apa?”

“Dia kan anak tunggal? Gak mungkin kakaknya, dong? Apa jangan-jangan itu pacarnya?” Mendengar itu Bian geming seketika.

Isi kepalanya kian kompleks. Bingung mana yang harus dipusingkan terlebih dahulu. Netra Bian menatap ke segala arah mencari keberadaan Ajeng, dan dia dapati gadis itu tengah berkumpul dengan beberapa anak gadis lainnya.

“Kalo itu pacarnya, gimana?” timpal Zaid.

Bian enggan menjawab.

Dia melengos kala tak sengaja beradu tatap dengan gadis itu. “Ya, gak gimana-gimana,” sahut Bian ala kadarnya. Masa bodo, sekarang yang terpenting adalah seperti apa ekspresi Papa begitu keluar dari dalam kelas.

Bian sudah mengambil ancang-ancang saat ada suara yang muncul dari balik pintu kelas. Dan benar saja. Sesaat kemudian pintu tersebut terbuka. Riuh suara orang tua yang saling membanggakan anak mereka masing-masing terdengar layaknya suara koloni lebah. Bian berdiri, menunggu Papa keluar dengan perasaan harap-harap cemas.

“Papa!” Yang dipanggil lantas menoleh. Papa tersenyum lebar ke arah Bian. Kemudian, dengan langkah lebar-lebar Papa menghampiri tempat di mana Bian berada.

“Gimana hasilnya, Pa?” tanya Bian penasaran. Masih ada Zaid di sana.

Papa mengacungkan ibu jari kanannya pada Bian. “Bagus! Kamu pasti udah berusaha keras, kan?”

Bian tidak benar-benar yakin akan ekspresi Papa, sebab ini jauh di luar dugaannya. Hasilnya bagus? Dia hanya diam mematung. Masih tak percaya.

“Tuh, kan. Gue bilang juga apa? Hasilnya pasti gak mungkin sejelek yang lo pikirin!” bisik Zaid sesaat sebelum lehernya diapit oleh lengan seseorang di belakangnya. “AKHHH TOLONG!” pekik Zaid.

“Papa udah bilang, belajar! Jangan main hp terus!”

“Ampun! Lepas dulu, ampun!” pinta Zaid sambil tertawa dan memukul-mukul tangan lelaki yang akrab Bian sapa 'Om Dio'.

Bian dan Papa yang melihat itu hanya melempar pandangan satu sama lain. Bingung harus melerai atau apa, pasalnya Zaid justru tertawa kala papanya sibuk mengomel. Memang dasar! Zaid ... Zaid....

Tiba-tiba saja Papa berdeham, seraya merangkul pundak Bian. “Yo, gue duluan ya?”

“Langsung, Jeff?”

“Iya, ada urusan.” Usai menjawab dengan sangat singkat, Papa menjabat tangan Om Dio dan memeluk tubuh kawan lamanya itu dalam sekejap sebelum memutuskan untuk benar-benar pergi dari sana.

Saat berjalan melalui koridor, Bian pikir mungkin ada satu pekerjaan mendesak, yang harus Papa selesaikan secepatnya. Bian ikut saja. Sudah syukur Papa tidak mengomelinya seperti Om Dio mengomel pada Zaid di depan umum. Ngomong-ngomong sejelek apa ya nilai Zaid? Mengingat wajah awal Om Dio, agaknya Zaid memang berlebihan.

Sejak mobil Papa keluar dari area sekolah—Papa hanya sesekali bicara. Itupun hanya untuk menawari Bian ingin makan siang di luar atau tidak? Selebihnya hanya diisi suara playlist yang diputar.

“Papa?” Bian yang sejak awal merasakan keanehan atmosfer di antara mereka, memilih untuk angkat bicara lebih dulu.

“Apa, Bi?” jawab Papa tanpa menoleh. Pasalnya jalanan Ibu Kota saat ini tengah padat-padatnya.

“Hasilnya ... jelek ya?”

Bian dapat melihat dengan jelas genggaman tangan Papa pada kemudi mobil kian erat. Air wajah Papa berubah seketika. Dan tanpa perlu Papa jawab, Bian sudah bisa menarik kesimpulannya.

“Maaf ... Bian minta maaf udah bikin Papa malu di depan papanya Zaid,” kata Bian lirih.

“Apapun hasilnya, Papa tetep bangga sama kamu. Gak usah terlalu dipikirin.”

Bian menghela napas berat, kemudian membuang wajahnya ke arah kaca. “Papa malu, itu faktanya.” Dengan mata yang mulai berkaca-kaca bocah itu berkata demikian.

Dalam keadaan seperti ini, Papa juga bingung harus melakukan apa. Ingin parkir di pinggir jalan beberapa menit untuk sekedar menenangkan Bian rasanya sulit. Bisa-bisanya berujung di hampiri oleh polisi. Ingin buru-buru sampai ke rumah, tapi jika melihat kondisi jalanan yang padat—sepertinya tambah mustahil. Alhasil Papa hanya bisa diam, dan mendengar isakan kecil yang lolos begitu saja dari bibir Bian.


Sekiranya hampir satu jam berlalu—kini mobil Papa memasuki pekarangan rumah mereka. Bian masih diam membisu. Dan, saat Papa mematikan mesin mobil—Bian memutuskan untuk keluar dari mobil. Sudah malu sekujur tubuh. Bian bahkan tidak berani sedikitpun menoleh ke arah Papa.

Sementara di sisi lain, Papa beringsut mengejar Bian. Sebab meski diteriaki namanya, Bian sengaja pura-pura tuli.

“BI!”

Grep!

Runtuh sudah pernah tahanan Bian. Melebur sudah seluruh gengsinya dengan tangisannya tatkala Papa memeluk tubuhnya yang sudah sangat lemas itu. Malu, menyesal, kecewa pada diri sendiri—itu yang Bian rasakan. Dipeluk Papa seperti ini ... rasanya Bian semakin merasa bersalah.

Bian terus terisak. Mau bagaimanapun juga, dia masih anak remaja yang emosinya mudah naik dan turun di saat-saat seperti ini.

“Heh, dengerin Papa!” pinta Papa. Tangannya sembari menepuk-nepuk punggung Bian. “Berapapun nilai rapot kamu, gak akan bikin kamu gagal jadi anak Papa. Soal yang di sekolah tadi—Papa bukannya malu, Bi. Papa emang buru-buru karna harus ngezoom abis ini sama klien,” tutur Papa lembut. Kemudian, Papa melepas lingkaran tangannya pada punggung Bian terlebih dahulu. Digantikan dengan cengkraman erat pada punggung Bian.

“Liat Papa, Bi.”

Dengan penuh keraguan, Bian menatap lurus mata Papa. Dan saat dia hampir menangis lagi, Papa semakin menekan pundaknya kuat-kuat.

“Berapa nilainya, itu gak penting. Yang penting, usaha kamu. Kalau sekarang masih belum memuaskan, usahanya ditambah lagi! Bukannya malah nangis kayak gin—”

“MAS? BI? KOK GAK LANGSUNG MASUK?” Suara Mama tiba-tiba saja memekakkan telinga mereka berdua. “Gimana nilainya—LOH BIAN NANGIS?!”

Kalau melihat tanggal, hari ini harusnya jadi hari terakhir Bian melaksanakan ulangan semester ganjil. Sudah hampir dua minggu lamanya Bian merasa makan tak enak, dan tidur tak nyenyak, sebab terus dihantui oleh perasaan takut mengecewakan Mama, Papa, dan Ayah dengan nilai rapornya nanti.

Ini bukan soal dimarahi atau tidak, tapi soal bagaimana pendapat orang tuanya nanti. Mengingat bagaimana caranya menjawab setiap soal demi soal—Bian yakin kalau nilainya nanti pasti banyak yang di bawah rata-rata.

Kemarin, rasa-rasanya lebih dari setengah soal dia jawab dengan asal-asalan.

“Besar atau kecil nilainya itu gak penting. Yang penting kamu jujur.”

Kalimat itu terus saja berputar-putar di kepalanya. Kalimat yang akhir-akhir ini seolah dia jadikan pedoman hidup, kenyataannya tidak seratus persen benar. Bian tahu jelas. Jujur itu baik. Tapi kalau jujur dan mendapat nilai tinggi pasti jauh lebih baik, kan?

Bian duduk dalam ruang kelas yang masih kosong. Niatnya untuk datang sepagi ini adalah untuk belajar dalam keheningan. Kini di hadapannya, di atas sebuah meja kelas yang terbuat dari kayu kemudian dipernis itu tergeletak sebuah buku. Namun, alih-alih belajar Bian justru melamun.

Bagaimana ya caranya agar dapat keluar dari kekacauan ini? Bian ingin sekali keluar dari zona nyaman yang membawanya menjadi malas-malasan seperti ini sejak beberapa tahun terakhir.

Bian mengusap wajahnya frustasi, kemudian sengaja menjatuhkan kepalanya ke atas buku. Sekelebat bayangan wajah kebahagiaan Mama dan Papa saat Bian mendapat nilai bagus muncul begitu saja. “Bian janji semester depan ya Ma, Pa,” gumamnya lirih.

Detik selanjutnya satu per satu murid lainnya datang memasuki kelas. Seketika ramai, jauh berbeda dengan suasana sebelumnya. Dalam benak Bian, entah dia harus bersyukur karena kini telah dibuyarkan dari lamunan, atau harus merasa kesal karena belum sempat dia belajar?

Diam-diam Bian menatap sebuah pensil yang dia genggam sejak tadi—atau mungkin lebih tepatnya sejak seminggu yang lalu. Pensil milik Ajeng itu bahkan sudah semakin pendek diameternya. Bian menarik sudut bibirnya. Dia berniat untuk menggantikan pensil tersebut dengan yang baru nantinya—mungkin selepas pelaksanaan ulangan.

Dan dalam sepersekian detik Bian tersadar—sepertinya selalu ada si gadis bendahara yang tiba-tiba saja muncul dalam pikiran Bian di tengah kegelisahannya. Ini karena sugesti, kebetulan, atau memang jodoh? batinnya. Bian menggeleng cepat. Kenapa lagi-lagi dia kesulitan untuk fokus belajar?!

“Sab?”

Tidak ada angin, tidak ada hujan tiba-tiba gadis itu kini tengah berdiri menjulang di sampingnya. Membuat Bian berjengit kaget seketika.

“Dep?!” pekik Bian, memastikan. Sementara Ajeng yang masih tidak terima dipanggil seperti itu pun hanya bisa merotasikan bola matanya.

“Kamu bengong mulu.”

Bian tersenyum lebar. Senyumnya sengaja dibuat-buat. “Takut. Takut semua nilai ulangannya jelek-jelek, soalnya aku kurang maksimal belajarnya.”

Tak!

Ajeng meletakkan sebuah pensil baru di atas meja Bian. Ujungnya lancip. Sepertinya baru saja diraut beberapa saat lalu.

“Tugas kamu selalu tuntas, kan?” tanya Ajeng, lalu Bian mengangguk. “Tenang aja, nilainya gak mungkin di bawah KKM di rapotnya kalo gitu.”

Kemudian, seperti baru saja mendapat kabar baik sepanjang masa—Bian tersenyum sumringah, tapi belum sempat Bian mengatakan sepatah katapun Ajeng lebih dahulu kembali membuka suara.

“Tuh, pake pensil yang baru, Sab. Pake pensil pendek itu ada mitosnya,” kata gadis itu bisik-bisik.

“Apa?”

“Doain Ibu meninggal.”

“HAH? APAAN SIH?!”

Ajeng tergelak bukan main kala melihat ekspresi terkejut Bian. Tak mau kena semprot setelahnya, gadis itu pun lebih dahulu pergi dari hadapan Bian. “Cuman mitos, Sab!” seru Ajeng dari kejauhan—di seberang tempat duduk Bian.

Pagi ini tidak banyak siswa yang berkerumun seperti hari-hari biasanya. Kebanyakan dari mereka sibuk membaca buku catatan mereka masing-masing, sebab kurang lebih selama dua minggu kedepan adalah pelaksanaan ulangan semester ganjil. Lain halnya dengan Bian. Dia justru sibuk berjalan petantang-petenteng keliling kelas untuk mendapatkan pinjaman pensil dengan standar ujian.

Jangankan belajar, pensil saja lupa dia bawa. Mungkin kalau hidung Bian adalah jenis portabel, dia akan sering kelupaan untuk membawanya.

“SIAPA YANG PUNYA PENSIL LEBIH?!” tanya bocah itu sambil berteriak di dalam kelas yang memang sejak tadi keadaan sangat berisik. Persis seperti pasar swalayan karena semua penghuninya sengaja membaca buku catatan mereka sampai mengeluarkan suara.

“Gak ada,” sahut Zaid yang tengah duduk dengan manis di kursi mejanya sejak tadi dan memperhatikan gerak-gerik bodoh temannya itu.

Bian mendengkus, “Serius, Anjing.”

“Sab!”

Mendengar namanya dipanggil, sontak Bian mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kelas. Dan didapatinya Ajeng yang tengah mengayunkan tangan, seolah memanggil Bian sembari tersenyum.

Tanpa pikir panjang, Bian langsung menghampiri gadis itu.

Kabar baiknya, Ajeng punya tiga pensil yang Bian butuhkan. Dia menyodorkan tiga pensil tersebut ke arah Bian. Bermaksud untuk membiarkan Bian memilih sendiri yang mana yang ingin dia pakai—meski model ketiganya sama persis.

Diam-diam Bian menahan senyumnya. “Kamu pake yang mana?” tanya Bian dengan polos.

“Kamu ambil aja dulu, aku bisa pake yang mana aja.”

Jangan tanya bagaimana perasaan Bian sekarang. Sudah pasti dia salah tingkah! Bahkan kala ibu jarinya tak sengaja menyentuh ibu jari Ajeng—Bian sengaja membuang wajahnya. Takut kalau-kalau gadis itu tahu soal perasaannya karena melihat ekspresi malunya.

“Aku pinjem yang ini aja.” Satu pensil yang sedikit lebih pendek dari yang lainnya. Sudah dipastikan kalau pensil tersebut memanglah pensil yang biasa Ajeng gunakan.

Gadis itu mengangguk. “Penghapusnya ada?” tanya Ajeng memastikan. Pasalnya terakhir kali dia ingat, Bian bahkan tidak pernah membawa kotak pensil dalam tasnya.

Alih-alih menjawab, Bian justru cengangas-cengenges.

“Kamu tuh, gak punya kotak pensil apa gimana, sih?” Ajeng kemudian sibuk merogoh kotak pensilnya. “Padahal kotak pensil kan murah, Sab!”

Selang beberapa detik kemudian, dia mengeluarkan sebuah penghapus dan rautan pensil. Sebab dia sadar bahwa tempat duduknya dan Bian cukup jauh—Ajeng khawatir kalau-kalau di tengah-tengah kegiatan mengerjakan ulangan nanti Bian akan kesulitan untuk meminjam peralatan tersebut dan berujung dimarahi oleh pengawas. Lantas inilah cara Ajeng menyelamatkan Bian sebelum itu semua terjadi.

“Nih, bawa aja.”

Pada akhirnya Bian menyerah. Diajeng Pramesti memang gadis utusan Dewa! Begitu batinnya. Habis bisa-bisanya dia sangat pengertian seperti itu, ditambah lagi dengan sudut bibir yang selalu menyunggingkan senyuman kala tengah berbicara dengan orang lain.

“Makasih ya, Dep. Nanti aku balikin,” kata Bian penuh semangat.

Sementara itu mereka berdua tidak sadar kalau sejak tadi ada Zaid yang duduk di atas meja. Mengamati percakapan mereka berdua sambil terus bersumpah serapah dalam hati.

“Aku? Kamu? Dep? ANJING?! GUE ADA DI ALAM MANA INI ANJINGG?!!”

Bian berkacak pinggang sembari menatap sebuah kalender masehi yang menggantung dengan sangat apik pada dinding ruang keluarga. Dia meletakkan jari telunjuk di bibir, layaknya tengah memikirkan sesuatu. Besok adalah hari Sabtu, besoknya lagi jelas hari Minggu, dan besoknya lagi ulangan semester ganjil dilaksanakan.

Jadwal mata pelajaran yang diujikan sudah ada di tangan. Namun, entah kenapa rasanya seperti malas sekali belajar. Dia menghela napas berat.

Kalau dipikir-pikir, Bian kan memang seperti ini sejak dulu. Mau ulangan semester, ulangan semester genap, bahkan ujian nasional dia selalu santai dan cenderung malas-malasan. Kenapa? Ya karena dia tahu mau setinggi apapun nilainya nanti, yang bangga hanyalah Ayah Yudhis seorang.

Dulu sekali, saat dia masih kelas satu sekolah menengah pertama—Bian pernah mendapat nilai yang hampir sempurna pada setiap lembar ulangannya. Dan, saat pengambilan rapor dia berhasil mendapat ranking dua. Hebat, kan? Tapi sayang, pada saat itu Papa justru harus menemui salah seorang rekan kerjanya di luar negeri, dan tak lupa menbondong Mama bersamanya. Alhasil hanya Ayah Yudhis lah yang datang untuk menghadiri rapat wali murid dan mengambil rapornya.

Bian yang saat itu emosinya masih sangat menggebu-gebu, lantas kecewa. Semua waktu dan segala usahanya telah dikerahkan untuk mengharumkan nama keluarga Papa, tapi justru sia-sia. Kemudian sejak hari itu, Bian jadi pemalas. Benar, Sabian Aditama itu pada dasarnya bukan bodoh. Dia hanya anak pintar yang tersakiti, begitu katanya.

Sebenarnya, kalau boleh jujur iming-iming sepeda motor tidak ada apa-apanya dengan luka masa lalu yang membekas di hatinya itu. Bian sejatinya bukan benci Papa. Hanya saja, dia takut kembali merasakan hal yang sama. Meski sekarang hubungannya dan Papa membaik, tapikan tidak jaminan kalau Papa tidak akan pernah melakukan hal yang sama untuk kesekian kalinya. Di sisi lain, Bian merasa kalau mungkin setelah ini dia yang justru akan mengecewakan Papa. Dia takut Papa menaruh ekspektasi lebih tinggi di pundaknya. Yah, mengingat saat ini keduanya sudah berdamai satu sama lainnya.

Bian mendesah, dalam artian Bian sudah pasrah. Dia terlalu pusing memikirkan nanti bagaimana. Dia memutuskan untuk biasa-biasa saja. Tidak perlu terlalu berusaha keras, begitu maunya.

“Bi?”

Bian benar-benar tak berkutik tatkala suara Mama masuk ke indera pendengarannya. Bisa-bisanya kehadiran Mama tak terduga, tiba-tiba saja ada di belakangnya.

“Itu kertas apa?” tanya Mama.

Kemudian tanpa pikir panjang, Bian memutar tubuhnya. Menghadap Mama. “Ini? Ini jadwal ulangan semester ganjil,” jawab Bian sambil menatap secarik kertas di tangannya.

“Kamu gak belajar?”

“Ini mau.”

Lalu saat kakinya akan melangkah pergi dari sana, ujung pakaiannya lebih dahulu ditarik Mama. “Ikut Mama deh sebentar.” Mama merangkulnya, menuju kelantai dua rumah mereka.

“Mau ngapain, sih, Ma?”

“Udah ikut aja!”

Usut punya usut Mama mengajaknya berdiri di balkon. Sore itu langit sudah mulai redup, tapi awannya masih terlihat jelas. Mama menatap Bian yang sedikit lebih tinggi darinya.

“Mama gak tau Bian lagi mikirin apa. Bian juga gak cerita sama Mama, kan? Tapi Mama tau kalau di dalem kepala kamu itu, lagi ruwet isinya.”

Selepas mendengar perkataan Mama, Bian seperti tertangkap basah. Dia bertanya-tanya apakah semua ibu-ibu di muka bumi ini pasti memiliki kemampuan membaca pikiran seperti Mama? Tapi tentu saja pertanyaan itu hanya dia simpan dalam benaknya.

“Ah enggak juga,” kata Bian dengan nada santai.

Mama mendecih, lalu kini beralih menatap awan-awan yang seolah bergerak malu-malu di atas kepala mereka. “Dulu Mama kalau lagi gak tenang, banyak pikiran, sedih, atau marah—pasti niupin awan.”

Bian diam menyimak. Dia yakin seribu persen kalau setelah ini, Mama pasti akan kembali mengatakan sesuatu.

“Soalnya Mama percaya kalau ngelakuin itu bisa bikin beban pikiran sama beban perasaan kita ilang, walaupun sedikit,” timpal Mama.

Nahkan, benar dugaannya!

Lantas Bian cekikikan. “Itu teori aneh dari mana coba?”

Wajah Mama yang sebelumnya cerah, tiba-tiba saja mendung. Wajar saja, sebab tawa Bian lebih terdengar seperti sebuah ejekan menyebalkan di telinga Mama. Sorot matanya jengkel, sambil mendongak menatap Bian. “Terus aja ketawa, udah tau Mama lagi serius!” seru Mama.

Lalu tanpa memberi aba-aba sedikitpun, jemari Mama terampil mencubit perut Bian dengan gemas hingga bocah itupun memekik tak tertahan. “AKHH GILA SAKIT BANGET?!” Kalau harus dideskripsikan, perih sekali rasanya.

“Nyebelin banget lagian jadi anak!” Dan detik kemudian Mama melenggang pergi, meninggalkan Bian yang sibuk mengusap-usap oerutnya di area balkon.

Diam-diam Bian menahan senyuman. Ini pertama kalinya Mama menampakkan kekesalannya secara langsung di hadapan Bian. Ada perasaan aneh yang muncul dalam benak Bian. Bukankah ini artinya di antara Bian dan Mama tidak ada lagi perasaan canggung seperti sebelumnya? Bukankah ini artinya Bian dan Mama sudah selayaknya seorang ibu dan anak laki-lakinya? Kemudian tanpa sadar Bian salah tingkah. Dia mendongak menatap awan, lalu meniup-niup udara seolah tengah meniup awan.

Satu detik, tiga detik, kemudian dia tersadar dan memukul ujung bibirnya sendiri. “Tolol, ngapain sih gue?”

Jeffrey mengangkat cangkir berisikan teh hijau hangat buatan Ratu, untuk bersulang. Niat hati meneguk whiskey malam ini harus ia urungkan sebab besok pagi ada rapat penting dengan salah seorang klien. Bibir cangkir miliknya dan Ratu saling beradu. Menyebabkan suara dentingan memecah keheningan di antara mereka berdua.

Sebelumnya Ratu sempat tertidur, tapi ia langsung terbangun kala suara klakson mobil Aston Martin milik Jeffrey mengganggu rungunya. Kemudian teringat bahwa hari ini tepat perayaan delapan belas tahun pernikahan mereka.

Dan yang paling mirisnya Ratu lupa menyiapkan apapun sejak pagi. Ia bahkan ketiduran. Lantas, kini di hadapan Ratu—Jeffrey tengah cemberut. Bagaimana tidak? Sebelumnya, Jeffrey dengan wajah secerah cahaya matahari siang tadi, menggenggam sebuah box berisikan tas limited edition yang beberapa hari lalu sempat Ratu idam-idamkan untuk dijadikan hadiah di hari spesial mereka. Kemudian, Ratu hanya menyambutnya di depan pintu dengan piyama yang sudah compang-camping serta rambut kusut sebab sudah bercinta dengan kasur bahkan sejak matahari belum sepenuhnya tenggelam.

“Aku masih speechless, bisa-bisanya kamu lupa,” kata Jeffrey sarkas.

Jeffrey memutar bola matanya kesal. “Aku nyiapin hadiah buat kamu dari jauh-jauh hari, tapi kamu apa? Teh doang?” Jeffrey terus menggerutu seperti itu sejak tadi. Namun, tangan kirinya setia menggenggam tangan Ratu di atas meja makan.

Sementara itu Ratu tiba-tiba saja melempar sebuah senyum kepadanya. Senyum yang terkesan sedih, pahit, dan sejenisnya. “Aku minta maaf, ya? Akhir-akhir ini pikiran aku kurang fokus. Gimana kalau weekend ini kita diner di luar, sama Bian? Buat ngerayain anniversary kita.”

Seolah terhipnotis ucapan Ratu barusan, raut wajah Jeffrey melunak. Segera ia letakkan cangkir tehnya, dan melompat dari kursi. Jeffrey mengangkat Ratu tanpa memberikan aba-aba terlebih dahulu. “Dimaafin, tapi malem ini aku mau dinner menu spesial dulu!”

Seketika jantung Ratu rasanya jatuh ke perut. “APA?!”

“Jangan berisik, Ra. Nanti Bian kebangun!”


Jeffrey membaringkan tubuh Ratu di atas ranjang dengan hati-hati. Bukan seperti di cerita-cerita lama kebanyakan yang tokoh prianya mungkin akan melempar sang wanita begitu saja ke atas ranjang kala nafsu mulai menguasai dirinya. Jeffrey masih menggunakan akal sehatnya. Jelas ia tidak akan mau melihat istrinya kesakitan karena dilempar seperti itu.

Ratu terengah-engah mengatur napasnya. Ini bukan yang pertama, tapi entah kenapa rasa-rasanya acapkali melihat Jeffrey dengan tatapan mata seolah membakarnya—Ratu kewalahan. Dia ikut menggila, dan kesulitan mengatasi perasaan terbakar itu.

“Ra, aku ... boleh?” Jeffrey setengah mengerang memecah fokus Ratu kemudian.

Rona merah memenuhi pipi Jeffrey. Mungkin tak hanya pipi, tapi telinganya juga ikut memerah. Tangannya menyentuh rahang Ratu yang kini berada di bawahnya kukungannya dengan lembut. Belum ada jawaban yang keluar dari mulut Ratu.

Tentu saja, Ratu membeku. Bingung harus menjawab seperti apa. Dalam benaknya beranggapan mungkin ada baiknya kalau langsung mulai keintinya saja daripada harus bertanya terlebih dahulu. Memangnya siapa yang tidak akan canggung jika ditempatkan di situasi seperti ini?

Dan disaat yang bersamaan, kala Ratu tengah bergelut dengan pikirannya sendiri, tangan Jeffrey mencengkram pinggul Ratu erat-erat.

“Ra?”

“Iya. Boleh,” kata Ratu cepat. Ia tersesat dalam napsunya sendiri.

Sontak mata Jeffrey turun, menjamah tubuh Ratu dari dada hingga ke bagian bawahnya yang sensitif, lalu kembali memfokuskan pandangannya pada wajah Ratu. Rahangnya mengeras seketika.

Tanpa sadar Jeffrey menekan paksa bagian bawahnya yang masih tertutup rapat, menyebabkan Ratu meloloskan sebuah lenguhan dari bibirnya. Jeffrey gila. Permainannya membuat Ratu gila, dan putus asa.

Hanya karena satu, atau dua sentuhan saja—Jeffrey seolah mampu menguasai tubuh Ratu.

“Aku benci banget sama cara kamu, Mas.”

Mendengar itu lantas Jeffrey terkekeh di tengah-tengah kegiatannya. Ia menarik tubuhnya dari atas Ratu, lalu berjalan santai ke arah lemari sambil melucuti piyama bagian atasnya.

“Sinting! Gak jadi?” pekik Ratu.

Awalnya ia kira Jeffrey mengurungkan niatnya atau apa, kemudian ingin mengganti pakaian—ternyata ia salah. Jeffrey mengeluarkan sebuah alat kontrasepsi dari dalam laci lemari pakaian mereka.

“Aku gak mau dimusuhin Bian karna tiba-tiba munculin bayi dalem perut kamu tanpa minta izin sama sekali ke dia,” tutur Jeffrey.

Selanjutnya Ratu dapat melihat Jeffrey yang kembali berjalan mendekat ke arahnya dengan tatapan siap menyantapnya setelah ini. Namun, sebelum itu ia sengaja memadamkan beberapa lampu dalam kamar mereka yang cukup luas. Menyisakan satu lampu menyala dengan cahaya temaram untuk melewati malam panjang mereka berdua kali ini.


Is your punishment, Ra, tapi ini jadi hadiah buat aku. Happy Anniversary, Sayang.”

Jeffrey mengangkat cangkir berisikan teh hijau hangat buatan Ratu, untuk bersulang. Niat hati meneguk whiskey malam ini harus ia urungkan sebab besok pagi ada rapat penting dengan salah seorang klien. Bibir cangkir miliknya dan Ratu saling beradu. Menyebabkan suara dentingan memecah keheningan di antara mereka berdua.

Sebelumnya Ratu sempat tertidur, tapi ia terbangun kala suara klakson mobil Aston Martin milik Jeffrey mengganggu rungunya. Kemudian teringat bahwa hari ini tepat perayaan delapan belas tahun pernikahan mereka.

Dan yang paling mirisnya Ratu lupa menyiapkan apapun sejak pagi. Ia bahkan ketiduran. Lantas, kini di hadapan Ratu—Jeffrey tengah cemberut. Bagaimana tidak? Sebelumnya, Jeffrey dengan wajah secerah cahaya matahari siang tadi, menggenggam sebuah box berisikan tas limited edition yang beberapa hari lalu sempat Ratu idam-idamkan untuk dijadikan hadiah di hari spesial mereka. Kemudian, Ratu hanya menyambutnya di depan pintu dengan piyama yang sudah compang-camping serta rambut kusut sebab sudah bercinta dengan kasur bahkan sejak matahari belum sepenuhnya tenggelam.

“Aku masih speechless, bisa-bisanya kamu lupa,” kata Jeffrey sarkas.

Jeffrey memutar bola matanya kesal. “Aku nyiapin hadiah buat kamu dari jauh-jauh hari, tapi kamu apa? Teh doang?” Jeffrey terus menggerutu seperti itu sejak tadi. Namun, tangan kirinya setia menggenggam tangan Ratu di atas meja makan.

Sementara itu Ratu tiba-tiba saja melempar sebuah senyum kepadanya. Senyum yang terkesan sedih, pahit, dan sejenisnya. “Aku minta maaf, ya? Akhir-akhir ini pikiran aku kurang fokus. Gimana kalau weekend ini kita diner di luar, sama Bian? Buat ngerayain anniversary kita.”

Seolah terhipnotis ucapan Ratu barusan, raut wajah Jeffrey melunak. Segera ia letakkan cangkir tehnya, dan melompat dari kursi. Jeffrey mengangkat Ratu tanpa memberikan aba-aba terlebih dahulu. “Dimaafin, tapi malem ini aku mau dinner menu spesial dulu!”

Seketika jantung Ratu rasanya jatuh ke perut. “APA?!”

“Jangan berisik, Ra. Nanti Bian kebangun!”


Jeffrey membaringkan tubuh Ratu di atas ranjang dengan hati-hati. Bukan seperti di cerita-cerita lama kebanyakan yang tokoh prianya mungkin akan melempar sang wanita begitu saja ke atas ranjang kala nafsu mulai menguasai dirinya. Jeffrey masih menggunakan akal sehatnya. Jelas ia tidak akan mau melihat istrinya kesakitan karena dilempar seperti itu.

Ratu terengah-engah mengatur napasnya. Ini bukan yang pertama, tapi entah kenapa rasa-rasanya acapkali melihat Jeffrey dengan tatapan mata seolah membakarnya—Ratu kewalahan. Dia ikut menggila, dan kesulitan mengatasi perasaan terbakar itu.

“Ra, aku ... boleh?” Jeffrey setengah mengerang memecah fokus Ratu kemudian.

Rona merah memenuhi pipi Jeffrey. Mungkin tak hanya pipi, tapi telinganya juga ikut memerah. Tangannya menyentuh rahang Ratu yang kini berada di bawahnya kukungannya dengan lembut. Belum ada jawaban yang keluar dari mulut Ratu.

Tentu saja, Ratu membeku. Bingung harus menjawab seperti apa. Dalam benaknya beranggapan mungkin ada baiknya kalau langsung mulai keintinya saja daripada harus bertanya terlebih dahulu. Memangnya siapa yang tidak akan canggung jika ditempatkan di situasi seperti ini?

Dan disaat yang bersamaan, kala Ratu tengah bergelut dengan pikirannya sendiri, tangan Jeffrey mencengkram pinggul Ratu erat-erat.

“Ra?”

“Iya. Boleh,” kata Ratu cepat. Ia tersesat dalam napsunya sendiri.

Sontak mata Jeffrey turun, menjamah tubuh Ratu dari dada hingga ke bagian bawahnya yang sensitif, lalu kembali memfokuskan pandangannya pada wajah Ratu. Rahangnya mengeras seketika.

Tanpa sadar Jeffrey menekan paksa bagian bawahnya yang masih tertutup rapat, menyebabkan Ratu meloloskan sebuah lenguhan dari bibirnya. Jeffrey gila. Permainannya membuat Ratu gila, dan putus asa.

Hanya karena satu, atau dua sentuhan saja—Jeffrey seolah mampu menguasai tubuh Ratu.

“Aku benci banget sama cara kamu, Mas.”

Mendengar itu lantas Jeffrey terkekeh di tengah-tengah kegiatannya. Ia menarik tubuhnya dari atas Ratu, lalu berjalan santai ke arah lemari sambil melucuti piyama bagian atasnya.

“Sinting! Gak jadi?” pekik Ratu.

Awalnya ia kira Jeffrey mengurungkan niatnya atau apa, kemudian ingin mengganti pakaian—ternyata ia salah. Jeffrey mengeluarkan sebuah alat kontrasepsi dari dalam laci lemari pakaian mereka.

“Aku gak mau dimusuhin Bian karna tiba-tiba munculin bayi dalem perut kamu tanpa minta izin sama sekali ke dia,” tutur Jeffrey.

Selanjutnya Ratu dapat melihat Jeffrey yang kembali berjalan mendekat ke arahnya dengan tatapan siap menyantapnya setelah ini. Namun, sebelum itu ia sengaja memadamkan beberapa lampu dalam kamar mereka yang cukup luas. Menyisakan satu lampu menyala dengan cahaya temaram untuk melewati malam panjang mereka berdua kali ini.


Is your punishment, ra. Tapi ini jadi kado anniversary buat aku.”

Kalau ada yang lebih gila dari seorang Sabian Aditama, mungkin Zaid orangnya. Memang benar sih kalau niat hati Zaid memberi tumpangan pada Bian itu baik. Bahkan dengan sangat bangga dia mengatakan kalau Bian lah orang pertama yang dia bonceng dengan motor barunya itu. Bian memijit pelipisnya, pening. Pasalnya motor yang dia lihat dihadapannya ini belum memiliki plat sama sekali.

“Lo tolol banget sih, Id? Gak kuat gue berteman sama lo.”

“Namanya juga motor baru.”

Entah, mungkin memang demikianlah definisi motor baru menurut Zaid. Kinclong, keset, serta tanpa plat motor di bagian depan dan belakangnya. Bian sudah terlalu malas menyuarakan banyak pendapat. Toh, nantinya akan dianggap angin lewat oleh kawannya itu. Beruntungnya bocah seperti Zaid tau banyak jalan tikus di Jakarta—kalau tidak, pasti dia sudah terkena tilang dengan pasal berlapis sejak berangkat ke sekolah pagi tadi.

Bian menghela napas panjang. Dia pasrah. Lagipula dia sudah sekonyong-konyong meminta Mama untuk tidak menjemputnya hari ini.

“Cepetan naik,” kata Zaid.

Dan dengan gerak yang sengaja disentak-sentak, Bian menaiki jok bagian belakang. “Bensin ada, kan?” tanya Bian memastikan.

Zaid mengangguk, “Tapi tetep harus lo isiin.” Kemudian, setelah mengatakan itu motornya langsung melancong meninggalkan area sekolah. Kalau saja Zaid tidak tengah mengendarai motor, mungkin Bian akan memukul kepalanya, atau bahkan mencekiknya (?) Mengingat batas kesabaran Bian sangat minim—bisa-bisanya dia yang menawarkan tumpangan, tapi Bian yang harus bertanggung jawab urusan bensi.


Langit sudah sore, dan jam menunjukkan pukul 15:23 waktu Indonesia bagian Barat. Motor baru Zaid meliuk-liuk di dalam sempitnya komplek perumahan warga, pasar, serta jalanan satu arah lainnya. Yang jelas bukan jalanan raya lengkap dengan seorang polisi pada setiap pengkolannya. Diam-diam Bian membayangkan dirinya yang tengah mengendarai motor, dan alih-alih Zaid—dia akan membonceng Diajeng Pramesti keliling Jakarta. Konyol. Bian bahkan tidak begitu tahu seluas apa kota Jakarta. Dia kan hanya anak laki-laki rumahan yang hanya akan keluar kalau diajak oleh Zaid atau Ozi.

“Pegangan, Sayang. Nanti kamu ketiup angin.”

“Najis!” seru Bian sesaat kemudian, setelah mendengar candaan bodoh yang keluar dari mulut Zaid.

Sementara itu Zaid terbahak-bahak sembari menyetir. Biasalah, kebahagiaannya karena memiliki motor baru itu tak terbendung.

Bian terkekeh. Kadang, meski perkataan Zaid mampu mengalahi pedasnya sambal buatan Mama, tapi dia ada benarnya. Bian bukan anak yang anti sosial, hanya saja dia malas kalau harus beradaptasi dengan lingkungan baru. Bian tipikal orang yang kalau tidak disapa duluan, maka dia tidak akan menyapa terlebih dahulu. Kata Ozi soal Bian yang kurang suka diberi perintah juga ada benarnya. Belum lagi emosi Bian yang cenderung tidak stabil dan masih kekanak-kanakan, pasti akan sangat merepotkan kalau-kalau dia menjadi anggota OSIS nantinya.

Kala tengah bergelut dengan pikirannya, tiba-tiba saja sebuah tangan menyentuh punggung Bian yang pada saat itu memang sedang duduk di bawah karena memasang sepatu.

“Udah belum?” tanya Papa.

Bian mengangguk. Sebenarnya dia sudah selesai memasang sepatu sejak tadi, dan tetap diam di sana karena dia pikir Papa masih memanaskan mobil.

Pagi itu cerah, Bian diantar Papa ke sekolah. Tidak diragukan lagi, Papa benar-benar berubah—Bian suka Papa yang sekarang. Seperti ayah-ayah dalam film tema keluarga cemara kebanyakan. Tak pernah sekalipun Bian melihat Papa pulang larut malam seperti sebelum-sebelumnya. Bahkan kini Papa sendiri yang menawarkan untuk berangkat bersama meski arah sekolah Bian dan kantor Papa berlawanan.

Batin bocah itu sekali, dua kali, tidak apa-apa. Nanti dia akan minta kembali seperti semula, diantar Mama atau bisa jadi berangkat dengan Zaid menggunakan motor barunya.

Seat belt memeluknya erat. Cara Papa mengemudi mobil terasa sangat berbeda dengan Mama kalau dilihat dari kursi penumpang bagian depan. Papa jauh lebih tenang. Pandangan fokus ke depan, dan setiap tikungannya dibabat habis tanpa guncangan kasar sedikitpun.

Untuk beberapa detik Bian merasa kalau Papa sangat keren dengan setelan jas, duduk di balik kursi pengemudi. Ah, Bian mau jadi Papa.

“Nanti semester dua, mau mulai les gak?”

Perihal les ini, memang sudah sejak lama dia dengar dari sang mama. Waktu itu belum berniat untuk mengikuti les sama sekali. Tapi karena kali ini Papa yang bertanya langsung, atmosfernya seakan berbeda.

“Mau, tapi boleh gak Bian yang pilih tempat lesnya?” tanya Bian hati-hati.

Lantas kening Papa bertautan. “Gak mau di tempatnya Ozi aja?” kata Papa.

Bian menggeleng. Selain karena dia bosan bertemu Ozi lagi Ozi lagi, Bian ingin satu tempat les dengan gadis bendahara kelas. Siapa lagi kalau bukan Diajeng Pramesti? Membayangkan bagaimana rasanya berangkat dan pulang les bersama, Bian cengar-cengir sendiri.

“Bian mau les di tempat lain.”

Mendengar itu, Papa hanya manggut-manggut. Yang penting Bian mau les—itu saja sudah cukup.

Kemudian hening beberapa saat. Bukan. Bukan karena mereka canggung, melainkan memang belum ada topik yang bisa dijadikan obrolan. Tapi bukan Bian namanya kalau pasrah begitu saja. Ngomong-ngomong soal Zaid dan motornya sedikit mengganggu pikiran Bian sejak tadi. Dia kan juga sangat ingin memiliki motor sejak lama. Lalu muncul sebuah ide untuk Bian mengangkat topik tersebut ke permukaan.

“Papa.”

“Apa?”

“Jaid udah punya motor, masa Bian enggak?” Dengan tampang yang sengaja dimelas-melaskan Bian berkata demikian.

“Motornya apa?”

“Motor matic,” jawab Bian sambil cengengesan.

Sementara Papa menghela napas berat. “Papa kan udah pernah bilang, kalau kamu maunya motor matic udah Papa beliin dari lama. Masalahnya motor yang kamu mau itu pasti lain dari yang lain.”

Apa yang Papa katakan tidak salah, sih. Bian sering kali melihat-lihat motor yang terparkir di lahan kosong sekolahnya, dan dia memang tidak pernah melihat ada siswa yang membawa motor persis seperti motor impiannya.

Bian menjebik. Lagi lagi dia harus menerima kenyataan pahit, penolakan Papa.