cakgrays

Kalau soal belajar, sekarang Bian tidak pernah main-main. Semangatnya full batery! Sebab, yang namanya Sabian Aditama ini memegang teguh pendiriannya. Kalau tidak, bisa-bisa nanti diledek Papa habis-habisan karena sempat menangis perihal nilai rapor yang nyaris menyerempet KKM di semester lalu. Ditambah lagi, jangan lupa beban sebuah janji revolusi yang dia suarakan secara terang-terangan pada beberapa orang terdekatnya. Andaikata Bian gagal lagi, entah mau ditaruh di mana wajah tampannya itu nanti.

Hari ini jadwalnya Bian belajar di tempat les. Agaknya tempat les ini juga berperan penting dalam meningkatkan nilai-nilai pada tugas sekolah Bian, luar biasa. Pernah, sampai salah seorang yang biasanya dia minta untuk mengemban tanggung jawab sebagai 'joki tugas' bertanya terang-terangan kenapa Bian tidak pernah menitipkan tugas-tugasnya lagi. Lantas, Bian sekonyong-konyong menjawab 'udah pinter' dengan laga jumawa yang sengaja dia buat-buat. Kemudian, efek sampingnya lumayan. Selain menghemat uang saku, Bian juga jadi jauh lebih mengerti bagaimana caranya mengeksekusi tugas-tugasnya sendiri. Bahkan Zaid sukses dibuat terheran-heran, sebab biasanya dia dan Bian sering kali sharing kunci jawaban PR, tapi kini tidak lagi.

Ngomong-ngomong soal Zaid, meski katanya sedang marah dia masih Zaid yang sama seperti yang Bian kenal sejak bertahun-tahun lamanya. Masih Zaid yang kalau dibuntuti oleh Bian tidak akan menolak. Masih Zaid yang kalau melihat Bian sedang dalam kesulitan, akan langsung turun tangan apapun itu masalahnya.

Seperti halnya sore ini—Bian lupa membawa pensil dan yah Zaid dengan konflik batinnya memutuskan untuk meminjamkan Bian pensil. Namun, mengingat Bian yang tempo hari sempat membuatnya kesal lantas, pensil yang dia berikan adalah pensil yang terpendek dari yang terpendek. Tujuannya jelas, agar Bian frustasi tatkala menggunakannya.


Selama kurang lebih dua jam pensil yang Bian gunakan itu terus luput dari genggamannya. Miris.

Kegiatan belajar di tempat les sore itu akhirnya selesai. Bian menghela napas panjang seraya berjalan ke meja tempat di mana Zaid berada.

“Benci,” kata Bian begitu mengembalikan pensil milik Zaid.

“Gue lebih benci sama lo,” sahut Zaid secara spontan.

Bian mendengkus. Walaupun kenyataannya dia bisa saja meminjam benda tersebut dari orang lain, Bian sengaja memilih Zaid semata-mata untuk mencuri perhatian kawannya itu. Barang kali akan luluh, batinnya.

Zaid melirik Bian dari bawah ke atas. “Lo balik sama sia—” Belum sempat Zaid menyelesaikan kalimatnya, eksistensi Ajeng lebih dahulu mengalihkan fokus Bian.

Bocah itu berlari kecil menyusul Ajeng seraya menenteng ransel yang seharusnya dia gendong di pundak. “Aku boleh nganterin gak?” tanya Bian, kedengarannya begitu semangat.

“Rumah aku kan deket dari sini, Sab.”

“Gak masalah. Aku anterin ya??”

Nada bicara Bian sukses membuat Ajeng terkekeh. Layaknya bocah kecil yang tengah menawarkan sesuatu. Ajeng mengangguk samar-samar.

Sebenarnya tidak perlu repot-repot diantar pun Ajeng pasti selamat sampai rumah. Jarak dari tempat les ini ke rumahnya kan memang sedekat itu. Terbukti dari Ajeng yang bahkan hanya jalan kaki, sementara saat ke sekolah saja gadis itu naik sepeda.

“Ajeng!”

Itu suara Kak Xander, tutor merangkap kaka tiri bagi Ajeng. Suaranya lantang tapi tidak senyaring suara Ozi teman Bian. Mendengar namanya dipanggil, Ajeng pun menoleh. Meski begitu, tetap saja Kak Xander yang menghampiri Ajeng dan bukan sebaliknya.

“Mama sama papa mungkin baru pulang besok lusa.”

Ajeng menaikkan sudut salah satu alisnya. “Terus?” tanyanya to the point.

“Saya nginep di kostan. Kamu aman kan di rumah sendirian?”

“Oh....” Ajeng mengangguk paham. “Aman, tenang aja. Sebelum ada Kakak sama Mama—aku juga udah terbiasa sendirian di rumah,” tutur Ajeng yang kemudian sukses membuat atmosfer di antara mereka bertiga aneh seketika.

Geming.

Selanjutnya netra Kak Xander hati-hati menilik Bian dari ujung ke ujung. “Hm ... kalian berdua pacaran?” tanyanya hati-hati, meski kenyataannya mampu membuat Ajeng mendelik.

“Kita?” Bian kembali memastikan kalau yang Kak Xander maksud adalah dia dan Ajeng.

Kak Xander mengangguk.

“Enggak. Kita cuman temenan, gak lebih.”

Deg!

Bian langsung bungkam mendengar betapa yakin Ajeng dengan jawabannya yang barusan. Kalau boleh jujur hatinya mendadak nyeri. Dia tau, mungkin memang kenyataannya demikian tapi, Ajeng seolah tidak membutuhkan waktu untuk menjawab demikian. Lalu apa artinya usaha Bian selama ini? Lalu apa artinya semua momen indah yang dengan susah payah Bian wujudkan? Apa artinya pikiran, perasaan, dan waktu yang Bian dedikasikan sepenuhnya untuk Ajeng sampai harus dimarahi Mama?

Bian meringis miris di samping Ajeng. Kemudian, saat sosok Zaid hampir melewati mereka—Bian spontan merangkul pundak Zaid. “Kak, Ajeng ... duluan ya!” kata Bian. Dan tanpa menunggu respon keduanya, Bian buru-buru menarik Zaid keluar.

“Ngapain sih, Monyet?!” pekik Zaid persis ketika mereka berdua sudah ada di luar tempat les tersebut.

“Kunci motor lo mana?”

“Mau ngapain?”

“Cepetan mana?! Itu mereka keburu turun, tuh!”

Zaid yang melihat betapa paniknya ekspresi Bian lantas, hanya bisa pasrah memberikan kunci motornya pada Bian. Sementara Bian, yang kini bocah itu pikiran adalah bagaimana caranya untuk segera pergi dari sana. Dia sudah kepalang malu. Malu akan kebodohannya sendiri.

Tanpa basa-basi, Bian menyambar kunci motor dari tangan Zaid. Langkahnya buru-buru menuju parkiran, dan disusul oleh Zaid dibelakangnya.

“Naik!”

“Kok lo nyuruh-nyuruh gue, sih, Bangsat?”

“Abis ini lo tonjok muka gue gapapa, sumpah!” Suara Bian meninggi.

Mau bagaimana lagi? Raut wajah Zaid sudah nelangsa. Memang nasibnya sial karena harus berteman dengan Bian sejak kecil—dia hanya bisa pasrah. Dia duduk di jok belakang. Dan, begitu bokongnya baru mendarat—Bian langsung menancap gas! Seolah habis melakukan sebuah aksi kejahatan, Bian lupa bagaimana caranya menekan rem sampai-sampai Zaid harus berpegang teguh pada pundak tak bertulang milik Bian. Iya, tidak bertulang pasalnya pundak itu ikut merosot bersamaan dengan harga diri Bian beberapa saat yang lalu.

“BISA PELAN-PELAN GAK INI BAWA MOTORNYA?!” Jangankan dijawab, untuk mendengar perkataan Zaid saja, Bian sudah habis motivasi.

“BI?! GUE AJA DAH YANG BAWA! EMANG BANGSAT LO INI KALO ADA APA-APA GAK CUMAN LO YANG BONYOK!!”

“Gue kurang apa, sih? Gila aja masa gak ada progres apa-apa, Id? Minimal dia anggep gue sahabat atau temen deket. Emangnya gak bisa?” gerutu Bian, sambil masih terus menyetir ala ala joki tong setan. Sampai meliuk-liuk motor Zaid dibuatnya.

“SAHABAT SAHABAT BERAK!”

Plak! Suara tangan Zaid yang mendarat sempurna di kepala Bian cukup memekakkan telinga.

“SAKIT TOLOL!” pekik Bian tak tertahan. Masa bodoh dengan pengemudi motor lain yang mungkin mendengarnya.

“ELO YANG TOLOL!”

“UDAH DIEM DEH LO! GUE LAGI SAKIT HAT—”

“BI DEPAN LO MOTOR BI! SABIANNNN!”

Motor matic milik Zaid itu menghantam trotoar sebab, Bian sengaja menghindari tabrakan dengan sesama pengendara motor di depannya tadi. Mereka berdua jatuh tepat beberapa detik sesudah suara benturan terdengar cukup keras sampai memekakkan telinga.

“Apa gue bilang ... Sabian goblok....”

“Telpon ambulans, Id. Kaki gue mati rasa...,” pinta Bian. Nadanya sama lirih dengan Zaid.

“Tangan ... tangan kanan gue ketindihan....”

Entah ketindihan oleh apa, maksud Zaid. Yang jelas kini pandangan Bian mulai kabur, meski telinganya masih dapat mendengar jelas riuh suara caci maki orang-orang. Dia harap salah satu suara itu adalah milik pengendara motor yang hampir dia tabrak sebelumnya. Semoga pengendara tersebut selama tanpa mengalami luka sedikitpun.

“Gue minta maaf ya, Id....”

Seandainya Bian tau kalau buntut dari perbuatannya hari ini dapat menyebabkan huru-hara sampai seserius ini, dia pasti akan berpikir dua kali sebelumnya. Tapi, yang namanya penyesalan sudah pasti datangnya terlambat—sebab, yang datangnya lebih cepat daripada kilat adalah Papa. Iya, benar, saat ini Papa tengah menatap Bian mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki. Alisnya hampir menyatu karena kesal.

Tadi sekali, saat mobil Papa baru memasuki pekarangan rumah, Bian rasanya seperti dibesuk oleh malaikat pencabut nyawa. Detak jantungnya tak karuan, napasnya memburu, serta peluhnya memenuhi keningnya. Mual dan mulas menjadi satu tatkala netranya bertemu dengan sang papa.

Lalu, kini perasaan tersebut hilang entah kemana tepat saat tangan Papa terulur, memberikan sebuah bungkusan kresek pada Bian.

“Mie goreng instan pakai lima belas sendok sambel,” kata Papa angkat bicara.

Bian melongo. Dia sudah tau bahwa yang ada di dalam bungkusan adalah mie goreng, bahkan dari harumnya. Yang Bian tidak mengerti di sini adalah, untuk apa seporsi mie goreng dengan lima belas sendok sambal ini? Tercetak jelas kebingungan di wajah Bian. Sama sekali tidak dibuat-buat.

“Papa lagi gak punya tenaga buat marahin kamu, Bi. Jadi, buat gantinya kamu pikirin semua kesalahan kamu, kamu sebutin satu per satu apa aja kesalahan kamu, terus minta maaf. Semua itu kamu lakuin sambil makan mie itu. Di depan Papa. Tanpa minum.” Vonis telah diberikan. Entah apa kolerasinya dengan pergi keluyuran tanpa pamit—yang jelas, ini akan menjadi malam penyiksaan!

Bagaikan mendengar kabar kematiannya sendiri—Bian mendelik sempurna. Jangankan lima belas sendok sambal, saus yang sering kali menjadi toping di atas makanannya saja, dia keruk menggunakan sendok sampai bersih tak tersisa! Ibarat minyak dan air, sampai kapanpun Bian tidak akan pernah menyatu dengan pedas.

“Gila...,” kata Bian lirih.

“Kamu yang gila!”

“Ini mah nyiksa namanya, Pa!”

“Kamu duluan yang nyiksa mental Mama sama Papa!!”

Bian tau mungkin kesalahannya kali ini cukup fatal, tapi hukuman sadis yang Papa berikan seharusnya bisa dilaporkan pada Kak Seto! Alias Papa ini keterlaluan!

Namun mau bagaimana lagi? Karena ini adalah vonis langsung dari Papa, maka mau tidak mau harus Bian laksanakan seperti halnya titah yang keluar dari mulut seorang hakim ketua. Wajah Bian perlahan memelas di depan Papa, padahal dalam benaknya sedikit merasa lega sebab sebelumnya dia pikir akan dipukuli menggunakan gagang sapu atau bahkan diajang sparing dengan Papa sampai babak belur, nyatanya tidak.

Kemudian saat Papa siap menarik kerah pakaian bagian belakang Bian ala-ala induk kucing menggendong anaknya—Mama muncul. Menuruni anak tangga perlahan-lahan, sampai menarik atensi Bian dan Papa sepenuhnya. Sepersekian detik tampak kalau sorot mata Mama seperti sengaja menghindari Papa.

Bian tau, dia diam-diam mengerti bahwa dialah penyebabnya.

“Mama,” Bian dengan segenap rasa penyesalannya, memberanikan diri untuk menyapa Mama terlebih dahulu.

Atmosfer di sekeliling mereka bertiga tiba-tiba saja berubah tatkala Mama menoleh sempurna. Menatap Bian terang-terangan tanpa mengatakan sepatah katapun.

“Ra ... aku sama Bian mau ngobrol sebentar. Kita mau kamu ikut.”

“Aku mau tidur duluan.”

“Aku minta maaf soal kata-kata aku tadi sore. Sekarang aku mau kita bertiga ngobrolin masalah hari ini bareng-bareng, Ra. Pakai kepala dingin.”

Bian yang bingung dengan perkataan Papa pada Mama barusan, lantas hanya mampu menguping di depan keduanya.

Mama memicing, menatap Papa dengan tatapan; halah!

“Jelas-jelas yang pertama kali ngasih api, Mas sendiri.”

Nah kan!

Pasti Papa ngelakuin yang iya-iya! Bian yang penasaran refleks maju dua langkah, mendekat ke arah Mama seraya meremas bungkusan kresek di tangannya itu kian kuat. “Ma ... emangnya Papa bilang apa?” tanya Bian hati-hati. Prinsipnya memang—mau seburuk apapun keadaannya, Mama tetap nomor satu! Jadi kalau sampai Papa secara sengaja menyakiti Mama bahkan di tengah bencana alam sekalipun, Bian akan jadi garda paling depan yang memberi Papa pelajaran.

Namun, alih-alih merasa terharu karena Bian bertanya demikian, Mama justru menatapnya dengan tatapan mematikan. “Diem, ini kan gara-gara kamu main gak pamit!” hardik Mama.

Jleb!

Praktis Bian menempatkan telapak tangannya tapat di depan dada. Perkataan Mama barusan jauh lebih menusuk hati jika dibandingkan dengan penolakan Ajeng sang kekasih bayangannya kala itu. Jelas! Sebab, biasanya Mama tidak pernah Marah sampai menyuruh Bian diam seperti barusan. Sebab, Bian tidak akan terima jika ada seorangpun yang menyakiti Mama—sementara dalam kasus ini, dialah tersangka utamanya.

“Ra...,” Papa kedengaran lirih kali ini. Sementara Bian mundur, kembali ke tempat semula dirinya berdiri.

Mama menghela napas berat. Seperti ingin protes tapi, kembali ditelan kembali. Padahal boleh-boleh saja, toh dalam keluarga mereka—siapapun orangnya, berapapun usianya bebas melakukan protes akan hal apapun. Namun, mengingat Papa baru saja pulang dari kantor dan Bian akan menjani hukumannya malam ini, Mama memilih untuk mengalah. “Yaudah, iya.” Akhirnya formasi lengkap!Jadi singkatnya, malam ini Mama ikut andil dalam hal mendisiplinkan Bian.


Di sinilah Bian sekarang. Duduk di atas sebuah karpet tebal di kamarnya sembari di tatap oleh Papa dan Mama secara bergantian. Dan, jangan lupa tentunya ada sepiring mie goreng yang menurut Bian dari segi penampakannya lebih pantas disebut sebagai makanan dari neraka.

Kalau boleh jujur, Bian akui bahwa cara Papa menghukumnya lumayan kreatif. Bian pikir sepertinya hukuman semacam ini bisa menjadi inovasi baru bagi para orang tua masa kini di luaran sana.

Bian menatap mie tersebut. Untuk sesaat dia bergidik ngeri, sebab kalau di lihat dari eksistensi biji cabainya saja, agaknya mampu membuat perut terasa diremas-remas kurang lebih mungkin selama seminggu kedepan. Namun, sesuai dengan aturan yang Papa buat, sebelum obrolan serius mereka dimulai, Bian wajib melahap satu sendok penuh mie tersebut.

Dan, ekspresi yang Bian tampilkan saat dia baru saja menyuapkan sesendok mie tersebut ke dalam mulutnya adalah penyesalan. “PEDES BANGET?!” pekik Bian tak tertahan. Sementara Mama dan Papa masih setia memasang wajah tak acuh.

Papa biarkan Bian mengunyah makanannya selama beberapa detik.

“Jadi, gimana? Kamu udah tau apa kesalahan kamu?” tanya Papa.

Bian mengangguk semangat. Kali ini dia serius. Dia ingin cepat-cepat mengakhiri kegiatan eksekusi ini. “Bian pergi gak ngabarin Mama.”

“Terus?”

“Apa?”

Papa yang sepertinya tak puas, lantas menyuapkan kembali sesendok mie untuk Bian sebagai hukuman. “Ada lagi, coba pikir!” seru Papa hingga Bian tak sengaja menggigit lidahnya sendiri.

Mama dapat melihat kalau mata Bian mulai berkaca-kaca, tapi mungkin terlalu cepat kalau pelajaran yang diberikan pada bocah nakal itu hanya sampai di sini. Mama terus memperhatikan gerak-gerik Bian. Ditatapnya langit-langit kamar itu seraya mengingat-ingat kesalahan apa lagi, yang dirinya perbuat. Kemudian, Bian menarik sudut bibirnya.

Bian menatap lurus mata Papa. “Kalo pulang sekolah ... harusnya ... langsung pulang tapi, Bian malah main.” Napas Bian pendek-pendek dengan mulut yang terus terbuka. Demi Tuhan bahkan mie di hadapannya tak memiliki rasa nikmat sedikitpun. Selain lidah Bian rasanya hampir mati rasanya, tenggorokannya juga sudah terasa sakit.

Sontak Papa mengacungkan ibu jarinya tepat di depan wajah Bian. “Pinter!” seru Papa mendramatisir.

Selanjutnya Bian kembali mendapat suapan, namun kali ini asalnya dari Mama. Agaknya saat ini emosi Mama sudah lebih reda sebab, raut wajah Mama kini lebih santai.

“Bakal kamu ulangin lagi atau enggak?” Bian menggeleng semangat. Karena yang bertanya adalah Mama, maka Bian sengaja melakukan hal tersebut. Tujuannya tidak lain, dan tidak bukan adalah agar sang mama bisa lekas memaafkannya.

“Janji?”

“JANJI!”

Papa yang melihat Bian mengsam-mengsem hanya karena Mama mulai tersenyum, praktis kembali menyuapi Bian dengan sesendok penuh mie goreng asal neraka baginya itu. Kemudian, Papa meletakkan ponselnya di hadapan Bian. Sengaja, niatnya ingin Bian membaca apa yang ada pada layar ponsel tersebut.

Mata Bian membola seketika. Dalam hatinya merasa kesal melihat bagaimana sang papa tega-teganya memarahi Mama. Namun, di sisi lain dia sadar kalau dialah penyebabnya. Hati Bian ikut memanas selaras dengan mulutnya.

“Ini ... salah satu dampak dari keegoisan kamu hari ini, Bi. Papa itu udah pusing di kantor. Capek. Di tambah dapet kabar kamu ilang kayak tadi sore—menurut kamu, kalau kamu ada di posisi Papa, gimana?”

Bian hanya mampu menundukkan kepalanya tanpa berniat memberi bantahan atas tuduhan Papa.

“Sebelum ngelakuin sesuatu itu dipikirin dulu, Bi. Mama gak pernah ngelarang kamu buat seneng-seneng. Mama juga gak pernah ngelarang kamu buat main, kan? Asalkan pamit dulu. Emangnya, kamu tadi ke mana?” sambung Mama untuk perkataan Papa sebelumnya. Dan, point utamanya adalah kalimat terakhir.

Untuk yang satu ini, Bian dengan sukarela menyuap mienya sendiri, bahkan dia memasukkan dua suap ke dalam mulutnya sesaat sebelum menjawab pertanyaan Mama.

“Bian ke Ancol.”

“KE ANCOL?!” “ANCOL?!!”

Mama dan Papa memekik seketika. Maklum saja, jarak dari sekolah menuju tempat itu bukan sekedar satu kali tikungan, kemudian sampai. Jeffrey menepuk jidatnya, tidak habis pikir.

Bian masih setia menundukkan kepalanya, “Mau liat pantai, Pa ... Ma....”

“Pergi ke sana sama siapa?” tanya Papa.

“Temen....”

“Ozi sama Zaid ada di rumahnya.”

Bian geming. Bingung harus menjawab apa, sebab dia tidak mau kedua orang tuanya salah paham pada Ajeng. Namun, kalau kali ini dia berbohong, kemungkinan besar akan menjadi sebuah masalah baru di kemudian hari. Bukan begitu?

Bian mengerjapkan matanya berkali-kali, sembari merapalkan doa dalam hati agas semoga saja jawabannya tidak akan berdampak negatif bagi siapapun. “Bian suka sama cewek, Ma. Jadi, karna kita berdua sama-sama suka view pantai ... Bian ajak dia ke sana dan dia mau...,” tutur Bian, berangsur-angsur kian lirih pada setiap kalimatnya.

“Cewek yang waktu itu di rumah sakit?” tanya Mama memastikan, meski sebenarnya Mama sudah sangat yakin kalau memang benar adanya.

Bian kembali melahap mie dengan tangan yang sedikit gemetar. Dia mengangguk ketakutan.

“Masih pacaran aja kamu udah gak mikirin Papa sama Mama, gimana kalau nanti kamu udah nikah? Kita bisa ditaro di panti jompo kali, Ma.”

Papa mungkin tidak melempari Bian dengan kata-kata kasar tapi, setiap kalimat yang Papa ucapkan sejak awal selalu sukses menampar perasaan Bian. Tidak pernah terlintas sedikitpun dalam benaknya untuk melakukan apa yang baru saja Papa katakan.

“Bian minta maaf.... Bener-bener minta maaf, Ma, Pa. Maaf buat semua masalah hari ini. Gak langsung pulang, gak pamit, sampe bikin Mama sama Papa ribut—Bian minta maaf.”

“Kalau ini keulang lagi, Papa jamin kita gak akan cari kamu, Bi. Udah dua kali. Dua kali Papa sama Mama dibikin stress buat nyariin kamu. Dua kali kamu egois kayak gini, Bi. Ketiga kalinya, langsung Papa ganti kunci rumah dan selamanya kamu gak akan bisa masuk lagi—”

“Mas!” seru Mama, sengaja memotong perkataan Papa.

“Setiap rumah itu ada aturannya, Bi. Papa gak perlu jelasin kan apa etika dasar yang harus kamu terapin ke Papa sama Mama sebagai orang tua kamu dan pemilik rumah ini?” tanya Papa sembari melirik ke arah Bian. “Tinggal dikit, habisin!” sambungnya.

Bian lekas mengangguk dan menghabiskan satu suapan terakhir seperti yang Papa maksud.

Lalu, adegan paling dramatis malam ini terjadi saat Papa yang tiba-tiba saja berdiri, membentangkan tangannya untuk memeluk Bian. Kemudian Papa mengusap seraya memukul pelan punggung Bian selayaknya pelukan seorang Papa pada anak laki-lakinya. “Harapan Papa tinggi banget buat kamu, Bi. Kamu satu-satunya anak Papa, jadi Papa gak mau kamu ingatan buruk soal Papa. Hukuman kayak gini ... semoga kamu bisa ngerti.” Papa dapat merasakan kalau pelukan Bian mendadak lebih erat dari sebelumnya.

Bian mengangguk. “Ngerti, Pa. Bian ngerti.”

Papa melepaskan pelukannya terlebih dahulu, kemudian disusul dengan usapan kusut pada rambut Bian. “Beresin piringnya, terus langsung tidur.”

“Mama aja!” timpal Mama, sambil memamerkan deretan giginya.

Melihat suasana hati Mama yang sudah sepenuhnya membaik, Bian dan Papa ikut tersenyum.

“Yaudah, Papa ke kamar duluan ya? Mau bersih-bersih badan.” Lantas Mama dan Bian mengangguk serentak.

Dan, sesaat sesudah Papa melenggang pergi dari hadapan mereka, sontak Mama menangkup kedua pipi Bian. “Anak nakal! Anak nakal!” kata Mama, kemudian mencubiti pipi Bian dengan gemas.

“Sakit, Ma!” pekik Bian. Dia sengaja memeluk Mama supaya Mama berhenti mencubiti pipinya. Dan, berhasil.

Mama yang tidak lebih tinggi dari Bian, praktik mendaratkan dagunya tepat di atas pundak Bian. Nyaman. Ya, memang sepertinya pelukan seorang ibu-ibu selalu terasa lebih nyaman dari pelukan seorang bapak-bapak. Bian perlahan-lahan, memejamkan mata saking nyamannya.

“Kamu itu udah besar, Bi.”

Bian mengangguk.

“Kamu suka gak mau kalo dianggep anak kecil sama Mama, tapi liat kelakuan kamu.... Cinta-cintaan di umur kamu yang sekarang ... Mama gak ngelarang kok. Cuman, ya harus tau batasan. Batasan itu gak cuman soal skinship, Bi.”

Lagi-lagi Bian hanya mengangguk, memikirkan kata demi kata yang keluar dari mulut Mama.

“Mama cuman pengen kamu jadi orang, Bi.”

Diam-diam Bian menahan tawanya seketika.

Mama ini memang sama saja seperti ibu-ibu pada umumnya. Bahkan kalimat terakhir yang diucapkannya pun sama persis seperti yang sering Bian dengar dalam sebuah sinetron.

Seandainya Bian tau kalau buntut dari perbuatannya hari ini dapat menyebabkan huru-hara sampai seserius ini, dia pasti akan berpikir dua kali sebelumnya. Tapi, yang namanya penyesalan sudah pasti datangnya terlambat—sebab, yang datangnya lebih cepat daripada kilat adalah Papa. Iya, benar, saat ini Papa tengah menatap Bian mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki. Alisnya hampir menyatu karena kesal.

Tadi sekali, saat mobil Papa baru memasuki pekarangan rumah, Bian rasanya seperti dibesuk oleh malaikat pencabut nyawa. Detak jantungnya tak karuan, napasnya memburu, serta peluhnya memenuhi keningnya. Mual dan mulas menjadi satu tatkala netranya bertemu dengan sang papa.

Lalu, kini perasaan tersebut hilang entah kemana tepat saat tangan Papa terulur, memberikan sebuah bungkusan kresek pada Bian.

“Mie goreng instan pakai lima belas sendok sambel,” kata Papa angkat bicara.

Bian melongo. Dia sudah tau bahwa yang ada di dalam bungkusan adalah mie goreng, bahkan dari harumnya. Yang Bian tidak mengerti di sini adalah, untuk apa seporsi mie goreng dengan lima belas sendok sambal ini? Tercetak jelas kebingungan di wajah Bian. Sama sekali tidak dibuat-buat.

“Papa lagi gak punya tenaga buat marahin kamu, Bi. Jadi, buat gantinya kamu pikirin semua kesalahan kamu, kamu sebutin satu per satu apa aja kesalahan kamu, terus minta maaf. Semua itu kamu lakuin sambil makan mie itu. Di depan Papa. Tanpa minum.” Vonis telah diberikan. Entah apa kolerasinya dengan pergi keluyuran tanpa pamit—yang jelas, ini akan menjadi malam penyiksaan!

Bagaikan mendengar kabar kematiannya sendiri—Bian mendelik sempurna. Jangankan lima belas sendok sambal, saus yang sering kali menjadi toping di atas makanannya saja, dia keruk menggunakan sendok sampai bersih tak tersisa! Ibarat minyak dan air, sampai kapanpun Bian tidak akan pernah menyatu dengan pedas.

“Gila...,” kata Bian lirih.

“Kamu yang gila!”

“Ini mah nyiksa namanya, Pa!”

“Kamu duluan yang nyiksa mental Mama sama Papa!!”

Bian tau mungkin kesalahannya kali ini cukup fatal, tapi hukuman sadis yang Papa berikan seharusnya bisa dilaporkan pada Kak Seto! Alias Papa ini keterlaluan!

Namun mau bagaimana lagi? Karena ini adalah vonis langsung dari Papa, maka mau tidak mau harus Bian laksanakan seperti halnya titah yang keluar dari mulut seorang hakim ketua. Wajah Bian perlahan memelas di depan Papa, padahal dalam benaknya sedikit merasa lega sebab sebelumnya dia pikir akan dipukuli menggunakan gagang sapu atau bahkan diajang sparing dengan Papa sampai babak belur, nyatanya tidak.

Kemudian saat Papa siap menarik kerah pakaian bagian belakang Bian ala-ala induk kucing menggendong anaknya—Mama muncul. Menuruni anak tangga perlahan-lahan, sampai menarik atensi Bian dan Papa sepenuhnya. Sepersekian detik tampak kalau sorot mata Mama seperti sengaja menghindari Papa.

Bian tau, dia diam-diam mengerti bahwa dialah penyebabnya.

“Mama,” Bian dengan segenap rasa penyesalannya, memberanikan diri untuk menyapa Mama terlebih dahulu.

Atmosfer di sekeliling mereka bertiga tiba-tiba saja berubah tatkala Mama menoleh sempurna. Menatap Bian terang-terangan tanpa mengatakan sepatah katapun.

“Ra ... aku sama Bian mau ngobrol sebentar. Kita mau kamu ikut.”

“Aku mau tidur duluan.”

“Aku minta maaf soal kata-kata aku tadi sore. Sekarang aku mau kita bertiga ngobrolin masalah hari ini bareng-bareng, Ra. Pakai kepala dingin.”

Bian yang bingung dengan perkataan Papa pada Mama barusan, lantas hanya mampu menguping di depan keduanya.

Mama memicing, menatap Papa dengan tatapan; halah!

“Jelas-jelas yang pertama kali ngasih api, Mas sendiri.”

Nah kan!

Pasti Papa ngelakuin yang iya-iya! Bian yang penasaran refleks maju dua langkah, mendekat ke arah Mama seraya meremas bungkusan kresek di tangannya itu kian kuat. “Ma ... emangnya Papa bilang apa?” tanya Bian hati-hati. Prinsipnya memang—mau seburuk apapun keadaannya, Mama tetap nomor satu! Jadi kalau sampai Papa secara sengaja menyakiti Mama bahkan di tengah bencana alam sekalipun, Bian akan jadi garda paling depan yang memberi Papa pelajaran.

Namun, alih-alih merasa terharu karena Bian bertanya demikian, Mama justru menatapnya dengan tatapan mematikan. “Diem, ini kan gara-gara kamu main gak pamit!” hardik Mama.

Jleb!

Praktis Bian menempatkan telapak tangannya tapat di depan dada. Perkataan Mama barusan jauh lebih menusuk hati jika dibandingkan dengan penolakan Ajeng sang kekasih bayangannya kala itu. Jelas! Sebab, biasanya Mama tidak pernah Marah sampai menyuruh Bian diam seperti barusan. Sebab, Bian tidak akan terima jika ada seorangpun yang menyakiti Mama—sementara dalam kasus ini, dialah tersangka utamanya.

“Ra...,” Papa kedengaran lirih kali ini. Sementara Bian mundur, kembali ke tempat semula dirinya berdiri.

Mama menghela napas berat. Seperti ingin protes tapi, kembali ditelan kembali. Padahal boleh-boleh saja, toh dalam keluarga mereka—siapapun orangnya, berapapun usianya bebas melakukan protes akan hal apapun. Namun, mengingat Papa baru saja pulang dari kantor dan Bian akan menjani hukumannya malam ini, Mama memilih untuk mengalah. “Yaudah, iya.” Akhirnya formasi lengkap!Jadi singkatnya, malam ini Mama ikut andil dalam hal mendisiplinkan Bian.


Di sinilah Bian sekarang. Duduk di atas sebuah karpet tebal di kamarnya sembari di tatap oleh Papa dan Mama secara bergantian. Dan, jangan lupa tentunya ada sepiring mie goreng yang menurut Bian dari segi penampakannya lebih pantas disebut sebagai makanan dari neraka.

Kalau boleh jujur, Bian akui bahwa cara Papa menghukumnya lumayan kreatif. Bian pikir sepertinya hukuman semacam ini bisa menjadi inovasi baru bagi para orang tua masa kini di luaran sana.

Bian menatap mie tersebut. Untuk sesaat dia bergidik ngeri, sebab kalau di lihat dari eksistensi biji cabainya saja, agaknya mampu membuat perut terasa diremas-remas kurang lebih mungkin selama seminggu kedepan. Namun, sesuai dengan aturan yang Papa buat, sebelum obrolan serius mereka dimulai, Bian wajib melahap satu sendok penuh mie tersebut.

Dan, ekspresi yang Bian tampilkan saat dia baru saja menyuapkan sesendok mie tersebut ke dalam mulutnya adalah penyesalan. “PEDES BANGET?!” pekik Bian tak tertahan. Sementara Mama dan Papa masih setia memasang wajah tak acuh.

Papa biarkan Bian mengunyah makanannya selama beberapa detik.

“Jadi, gimana? Kamu udah tau apa kesalahan kamu?” tanya Papa.

Bian mengangguk semangat. Kali ini dia serius. Dia ingin cepat-cepat mengakhiri kegiatan eksekusi ini. “Bian pergi gak ngabarin Mama.”

“Terus?”

“Apa?”

Papa yang sepertinya tak puas, lantas menyuapkan kembali sesendok mie untuk Bian sebagai hukuman. “Ada lagi, coba pikir!” seru Papa hingga Bian tak sengaja menggigit lidahnya sendiri.

Mama dapat melihat kalau mata Bian mulai berkaca-kaca, tapi mungkin terlalu cepat kalau pelajaran yang diberikan pada bocah nakal itu hanya sampai di sini. Mama terus memperhatikan gerak-gerik Bian. Ditatapnya langit-langit kamar itu seraya mengingat-ingat kesalahan apa lagi, yang dirinya perbuat. Kemudian, Bian menarik sudut bibirnya.

Bian menatap lurus mata Papa. “Kalo pulang sekolah ... harusnya ... langsung pulang tapi, Bian malah main.” Napas Bian pendek-pendek dengan mulut yang terus terbuka. Demi Tuhan bahkan mie di hadapannya tak memiliki rasa nikmat sedikitpun. Selain lidah Bian rasanya hampir mati rasanya, tenggorokannya juga sudah terasa sakit.

Sontak Papa mengacungkan ibu jarinya tepat di depan wajah Bian. “Pinter!” seru Papa mendramatisir.

Selanjutnya Bian kembali mendapat suapan, namun kali ini asalnya dari Mama. Agaknya saat ini emosi Mama sudah lebih reda sebab, raut wajah Mama kini lebih santai.

“Bakal kamu ulangin lagi atau enggak?” Bian menggeleng semangat. Karena yang bertanya adalah Mama, maka Bian sengaja melakukan hal tersebut. Tujuannya tidak lain, dan tidak bukan adalah agar sang mama bisa lekas memaafkannya.

“Janji?”

“JANJI!”

Papa yang melihat Bian mengsam-mengsem hanya karena Mama mulai tersenyum, praktis kembali menyuapi Bian dengan sesendok penuh mie goreng asal neraka baginya itu. Kemudian, Papa meletakkan ponselnya di hadapan Bian. Sengaja, niatnya ingin Bian membaca apa yang ada pada layar ponsel tersebut.

Mata Bian membola seketika. Dalam hatinya merasa kesal melihat bagaimana sang papa tega-teganya memarahi Mama. Namun, di sisi lain dia sadar kalau dialah penyebabnya. Hati Bian ikut memanas selaras dengan mulutnya.

“Ini ... salah satu dampak dari keegoisan kamu hari ini, Bi. Papa itu udah pusing di kantor. Capek. Di tambah dapet kabar kamu ilang kayak tadi sore—menurut kamu, kalau kamu ada di posisi Papa, gimana?”

Bian hanya mampu menundukkan kepalanya tanpa berniat memberi bantahan atas tuduhan Papa.

“Sebelum ngelakuin sesuatu itu dipikirin dulu, Bi. Mama gak pernah ngelarang kamu buat seneng-seneng. Mama juga gak pernah ngelarang kamu buat main, kan? Asalkan pamit dulu. Emangnya, kamu tadi ke mana?” sambung Mama untuk perkataan Papa sebelumnya. Dan, point utamanya adalah kalimat terakhir.

Untuk yang satu ini, Bian dengan sukarela menyuap mienya sendiri, bahkan dia memasukkan dua suap ke dalam mulutnya sesaat sebelum menjawab pertanyaan Mama.

“Bian ke Ancol.”

“KE ANCOL?!” “ANCOL?!!”

Mama dan Papa memekik seketika. Maklum saja, jarak dari sekolah menuju tempat itu bukan sekedar satu kali tikungan, kemudian sampai. Jeffrey menepuk jidatnya, tidak habis pikir.

Bian masih setia menundukkan kepalanya, “Mau liat pantai, Pa ... Ma....”

“Pergi ke sana sama siapa?” tanya Papa.

“Temen....”

“Ozi sama Zaid ada di rumahnya.”

Bian geming. Bingung harus menjawab apa, sebab dia tidak mau kedua orang tuanya salah paham pada Ajeng. Namun, kalau kali ini dia berbohong, kemungkinan besar akan menjadi sebuah masalah baru di kemudian hari. Bukan begitu?

Bian mengerjapkan matanya berkali-kali, sembari merapalkan doa dalam hati agas semoga saja jawabannya tidak akan berdampak negatif bagi siapapun. “Bian suka sama cewek, Ma. Jadi, karna kita berdua sama-sama suka view pantai ... Bian ajak dia ke sana dan dia mau...,” tutur Bian, berangsur-angsur kian lirih pada setiap kalimatnya.

“Cewek yang waktu itu di rumah sakit?” tanya Mama memastikan, meski sebenarnya Mama sudah sangat yakin kalau memang benar adanya.

Bian kembali melahap mie dengan tangan yang sedikit gemetar. Dia mengangguk ketakutan.

“Masih pacaran aja kamu udah gak mikirin Papa sama Mama, gimana kalau nanti kamu udah nikah? Kita bisa ditaro di panti jompo kali, Ma.”

Papa mungkin tidak melempari Bian dengan kata-kata kasar tapi, setiap kalimat yang Papa ucapkan sejak awal selalu sukses menampar perasaan Bian. Tidak pernah terlintas sedikitpun dalam benaknya untuk melakukan apa yang baru saja Papa katakan.

“Bian minta maaf.... Bener-bener minta maaf, Ma, Pa. Maaf buat semua masalah hari ini. Gak langsung pulang, gak pamit, sampe bikin Mama sama Papa ribut—Bian minta maaf.”

“Kalau ini keulang lagi, Papa jamin kita gak akan cari kamu, Bi. Udah dua kali. Dua kali Papa sama Mama dibikin stress buat nyariin kamu. Dua kali kamu egois kayak gini, Bi. Ketiga kalinya, langsung Papa ganti kunci rumah dan selamanya kamu gak akan bisa masuk lagi—”

“Mas!” seru Mama, sengaja memotong perkataan Papa.

“Setiap rumah itu ada aturannya, Bi. Papa gak perlu jelasin kan apa etika dasar yang harus kamu terapin ke Papa sama Mama sebagai orang tua kamu dan pemilik rumah ini?” tanya Papa sembari melirik ke arah Bian. “Tinggal dikit, habisin!” sambungnya.

Bian lekas mengangguk dan menghabiskan satu suapan terakhir seperti yang Papa maksud.

Lalu, adegan paling dramatis malam ini terjadi saat Papa yang tiba-tiba saja berdiri, membentangkan tangannya untuk memeluk Bian. Kemudian Papa mengusap seraya memukul pelan punggung Bian selayaknya pelukan seorang Papa pada anak laki-lakinya. “Harapan Papa tinggi banget buat kamu, Bi. Kamu satu-satunya anak Papa, jadi Papa gak mau kamu ingatan buruk soal Papa. Hukuman kayak gini ... semoga kamu bisa ngerti.” Papa dapat merasakan kalau pelukan Bian mendadak lebih erat dari sebelumnya.

Bian mengangguk. “Ngerti, Pa. Bian ngerti.”

Papa melepaskan pelukannya terlebih dahulu, kemudian disusul dengan usapan kusut pada rambut Bian. “Beresin piringnya, terus langsung tidur.”

“Mama aja!” timpal Mama, sambil memamerkan deretan giginya.

Melihat suasana hati Mama yang sudah sepenuhnya membaik, Bian dan Papa ikut tersenyum.

“Yaudah, Papa ke kamar duluan ya? Mau bersih-bersih badan.” Lantas Mama dan Bian mengangguk serentak.

Dan, sesaat sesudah Papa melenggang pergi dari hadapan mereka, sontak Mama menangkup kedua pipi Bian. “Anak nakal! Anak nakal!” kata Mama, kemudian mencubiti pipi Bian dengan gemas.

“Sakit, Ma!” pekik Bian. Dia sengaja memeluk Mama supaya Mama berhenti mencubiti pipinya. Dan, berhasil.

Mama yang tidak lebih tinggi dari Bian, praktik mendaratkan dagunya tepat di atas pundak Bian. Nyaman. Ya, memang sepertinya pelukan seorang ibu-ibu selalu terasa lebih nyaman dari pelukan seorang bapak-bapak. Bian perlahan-lahan, memejamkan mata saking nyamannya.

“Kamu itu udah besar, Bi.”

Bian mengangguk.

“Kamu suka gak mau kalo dianggep anak kecil sama Mama, tapi liat kelakuan kamu.... Cinta-cintaan di umur kamu yang sekarang ... Mama gak ngelarang kok. Cuman, ya harus tau batasan. Batasan itu gak cuman soal skinship, Bi.”

Lagi-lagi Bian hanya mengangguk, memikirkan kata demi kata yang keluar dari mulut Mama.

“Mama cuman pengen kamu jadi orang, Bi.”

Diam-diam Bian menahan tawanya seketika.

Mama ini memang sama saja seperti ibu-ibu pada umumnya. Bahkan kalimat terakhir yang diucapkannya pun sama persis seperti yang sering Bian dengar dalam sebuah sinetron.

Kalau biasanya sepulang sekolah Bian akan sekonyong-konyong merangkul pundak Zaid untuk dia ajak mampir ke rumahnya—akhir-akhir ini tidak lagi. Bahkan kini Bian lebih sering naik kendaraan umum, alias bukan lagi menebeng motor bebek milik Zaid yang sepertinya hampir setiap hari dimandikan itu. Sebab, kalau dilihat-lihat knalpotnya selalu kinclong di situasi apapun. Jangan tanya kenapa memangnya ? Ya, itu semua Bian lakukan demi melancong bersama Diajeng Pramesti—sang kekasih bayangan. Konon kata orang, kasmaran anak remaja sering kali mampu berdampak mengesampingkan pertemanan bagi yang tengah merasakannya. Mungkin benar adanya. Buktinya belakangan ini Bian seolah lupa siapa gerangan Zaid dan Ozi.

Lalu bicara soal Ozi, agaknya Bian hampir melupakan pemuda itu. Sebab, saat ini kelas dua belas sudah dibebaskan dari kegiatan belajar mengajar apapun, jadi dia jarang sekali melihat Ozi. Kendati begitu, saking asyik mengukir kisah asmara bersama sang gadis yang notabenenya bukan kekasihnya itu—Bian sampai tak punya waktu untuk menanyakan bagaimana kabar Ozi, atau sekedar berdebat dengan salah satu di antara Ozi dan Zaid melalui grup online.

“Bulan depan Papa nikah,” kata Ajeng di dalam keheningan bus Transjakarta.

Bian meringis. Pantas saja belakangan ini wajah Ajeng tampak sedikit masam meski masih ada sedikit manis-manisnya. Tujuan Bian mengajak Ajeng pergi ke ancol sore ini ya bisa dibilang sebuah usaha untuk menghilangkan masam di wajahnya itu, tapi ternyata justru sebaliknya. Wajah Ajeng kian kusut usai mengatakan kalimat barusan.

“Terus ... kamu gak happy, ya?” tanya Bian. Bodohnya dia menanyakan hal yang jelas-jelas sudah dia ketahui apa jawabannya.

“Mau ada seratus perempuan baik pun yang coba buat gantiin Mama, buat aku gak ada yang bisa, Sab.” Kalau saja bukan di tempat umum seperti ini, mungkin Ajeng akan kembali menangis. Apalagi yang lebih sedih selain menjadi satu-satunya saksi kehancuran keluarga saat masih kecil dan ditinggal selama-lamanya oleh seorang ibu saat beranjak besar?

Ikhlas, melupakan, kemudian menerima orang baru kan bukan perkara yang mudah.

Bian membentangkan sebelah tangannya persis di depan wajah Ajeng yang memerah sebab sepertinya tengah menahan kesedihan. “Daleman aku tipis, nanti kalo aku lepas hoodie ini buat nutupin kamu nangis, bisa-bisa kamu dikira jalan sama gembel ... jadi, nangis di sini aja. Di lengan aku.”

Alih-alih merasa terharu, Ajeng justru menatap Bian dengan ekspresi wajah datar sambil meneteskan air mata yang semula dia tampung. Kemudian, tanpa mengatakan apapun, Ajeng mengeluarkan sebungkus tisu dalam tasnya.

Bian jelas tergelak. Apalagi saat Ajeng berlaga mengusap air matanya dengan gestur yang berlebihan.

“Omong-omong, aku udah lama gak liat kamu bareng Zaid. Biasanya berduaan, kan?” tanya Ajeng.

Bian geming seketika. Mungkin kalau Ajeng tidak menyinggung soal ini, Bian tidak akan sadar bahkan sampai beberapa hari kedepan. Ajeng sendiri sedikit banyak sadar kalau yang menyebabkan kerenggangan hubungan pertemanan Bian dan Zaid bisa jadi adalah dirinya. Pasalnya bisa hampir semalaman Bian mengirimi dia pesan, sementara sejak pagi sampai sore Bian menghabiskan waktunya dengan berada di sisi Ajeng. Maka sudah dapat dipastikan bahwa Bian tidak lagi memiliki waktu untuk bermain dengan Zaid seperti dulu.

“Sab....”

Sabian berdeham singkat, seraya menatap Ajeng.

“Pikiran kamu itu harusnya bisa lebih luas, dan gak melulu tentang aku. Bukannya mau kepedean, ya, tapi jelas-jelas kamu pagi, siang, sore, malem ngechat aku terus. Aku gak keberatan sama sekali, Sab. Masalahnya itu bukan kewajiban kamu. Apa kamu gak kepikiran? Mungkin aja Zaid kangen diajak main.” Dengan penuh kehati-hatian Ajeng berkata demikian. Ajeng hanya tidak mau Zaid mengira kalau dia merebut Bian dari pertemanannya.

Ajeng memposisikan tangannya di bawah dagu Bian. Sambil tersenyum dia mengusap-usap dagu Bian dengan lembut. “Aku baru sadar kalo kamu selalu kayak gini.”

Bian menaikan sebelah alisnya, bingung. Kalau boleh jujur, berada sedekat ini dengan Ajeng membuat jantungnya terus berdebar tak karuan.

“Selalu kayak anak kecil. Apa-apa masih harus dikasih tau.”

Lantas Bian tersenyum. Senyum sumringah sampai-sampai kedua matanya menyipit sempurna—membentuk selayaknya bulan sabit. “Kamu juga selalu kayak gini, ya?” tanya Bian. Kali ini Bian menangkup kedua tangan Ajeng, sambil mengganti ekspresi wajahnya menjadi lebih serius.

“Aku kayak gimana?” sahut Ajeng. Pasalnya dia tidak merasa telah melakukan sesuatu yang mencolok perhatian.

“Kayak Mama. Selalu bikin aku jadi anak kecil.”

“Enggak. Itu sih naluri kamu aja.”

Ketika berbicara dengan Ajeng, Bian seringkali lupa waktu. Padahal kalau dipikir-pikir jarak dari sekolah mereka menuju ancol terbilang lumayan, tapi entah kenapa rasanya seperti hanya setempongan saja.

Saat bus Transjakarta yang mereka tumpangi itu perlahan berhenti, untuk menurunkan para penumpangnya di halte busway—semua penumpangnya berdiri, termasuk Bian dan Ajeng. Bian sengaja menggenggam erat tangan Ajeng. Khawatir kalau-kalau gadis itu mungkin kehilangan keseimbangan atau yang lainnya.

“Jangan modus ya Sabian!”

“Aku pengangin biar kamu gak guling-guling! Bukannya makasih? Kalo modus tuh gini!” Detik kemudian Bian merangkul pundak Ajeng. Dan saat lengannya baru menyentuh pundak gadis itu, Bian langsung mendapat tatapan; lepasin atau burung lo gue tendang?! Dengan gerak secepat kilat, Bian menarik tangan sambil cengar-cengir.


“Kamu harus tau kalo seumur hidup aku ... enam belas tahun, lebih sepuluh bulan—kamu itu satu-satunya cewek yang aku ajak duduk di pinggir pantai berduaan kayak gini. Mama aja gak pernah! Kamu beruntung soalnya aku sesuka itu sama kamu!” kata Bian dengan nada setengah jumawa.

Ajeng menarik sudut bibirnya seketika. Dia mengangguk-angguk seakan setuju. Sempat terlintas dalam benaknya bahwa mungkin sampai detik ini Bian mendapat limpahan kasih sayang yang berlebihan dari orang-orang di sekitarnya, sampai-sampai pemuda itu nekad mengamalkan banyak kasih sayang pada seorang gadis yang notabenenya hanya sekedar teman dekat baginya, tidak lebih.

Sorot mata Ajeng kini fokus pada satu objek di depan sana. Pada ombak kecil yang mengarah ke mereka. Ajeng sadar kalau satu-satunya hal menjadi ujung tombak keputusannya untuk menolak seorang Sabian Aditama adalah perasaannya sendiri. Kenapa? Sebab, sejak kecil yang Ajeng ketahui hanya perihal pertengkaran kedua orangtuanya. Sebab, saat beranjak besar, alih-alih semuanya membaik—dia justru mendapat kabar duka yang berasal dari sang mama. Lalu, sebentar lagi dia akan tiba di titik lara selanjutnya. Dilupakan oleh cinta pertamanya—Papa. Sebab Papa akan segera menikah untuk kedua kalinya. Maka, saat hari di mana Bian datang untuk menawarkan banyak bentuk kasih sayang, yang Ajeng rasakan malah perasaan khawatir serta takut kehilangan.

Kalau ditanya soal bagaimana perasaan Ajeng sendiri terhadap Bian, sepertinya sudah cukup jelas. Bahkan raut wajah gadis itu selalu menggambarkan keceriaan tatkala ada di dekat Bian. Lagi pula, untuk seusia mereka, bukan menjadi hal yang sulit untuk saling memiliki ketertarikan terhadap lawan jenis.

“Kalo setelah semua wishlist aku bareng kamu udah selesai, tapi kamu belom mau jadi pacar aku—gapapa. Aku janji buat lepasin kamu dengan lapang dada,” kata Bian. Tangan kanannya sengaja memukul dadanya sendiri seolah teguh mengatakan hal tersebut. Sontak Ajeng terkekeh malu meski bukan dia yang mengatakannya.

“Aku serius!” timpal Bian. Lalu dia sedikit memutar tubuhnya demi menghadap Ajeng sepenuhnya. “Tapi ... kita bisa tetep jadi temen, kan?”

“Boleh, tapi pasti awkward.”

Mendengar jawaban Ajeng barusan, lantas bahu Bian merosot. Kemudian dengan sengaja Bian meletakkan kepalanya di atas pundak Ajeng sembari mencebikkan bibir.

“Kamu kedengerannya kayak yakin banget kalo kita gak bakal pacaran....”

“Sab ... ini suara getar HP siapa ya?”

“HP aku,” sahut Bian dengan begitu santainya. “Paling Mama nyariin, soalnya aku belom pamit kalo mau main.” Bian masih tak acuh, sementara ponsel terus bergetar di dalam saku celananya.

“Ohhh—MAKSUDNYA?! GILA SAB? BELOM PAMIT?!!”

Kalau biasanya di hari Sabtu dan Minggu Bian akan sekonyong-konyong merangkul pundak Zaid sepulang les untuk dia ajak mampir ke rumahnya—akhir-akhir ini tidak lagi. Bahkan kini Bian berangkat diantar oleh Mama, bukan lagi menebeng motor bebek milik Zaid yang sepertinya hampir setiap hari dimandikan itu. Sebab, kalau dilihat-lihat knalpotnya selalu kinclong di situasi apapun. Jangan tanya lalu bagaimana pulangnya? Ya naik angkutan umum demi melancong bersama Diajeng Pramesti—sang kekasih bayangan. Konon katanya kasmaran anak remaja sering kali berdampak mengesampingkan pertemanan bagi yang tengah merasakan. Mungkin benar adanya.

Lalu bicara soal Ozi, agaknya Bian hampir melupakan pemuda itu. Sebab, saat ini kelas dua belas sudah dibebaskan dari kegiatan belajar mengajar apapun, jadi dia jarang sekali melihat Ozi. Kendati begitu, saking asyik mengukir kisah asmara bersama sang gadis yang notabenenya bukan kekasihnya itu—Bian sampai tak punya waktu untuk menanyakan bagaimana kabar Ozi, atau sekedar berdebat dengan salah satu di antara Ozi dan Zaid melalui grup online.

“Bulan depan Papa nikah,” kata Ajeng di dalam keheningan bus Transjakarta.

Bian meringis. Pantas saja belakangan ini wajah Ajeng tampak sedikit masam meski masih ada sedikit manis-manisnya. Tujuan Bian mengajak Ajeng pergi ke ancol di Sabtu sore ini ya bisa dibilang sebuah usaha untuk menghilangkan masam di wajahnya itu, tapi ternyata justru sebaliknya. Wajah Ajeng kian kusut usai mengatakan kalimat barusan.

“Terus ... kamu gak happy, ya?” tanya Bian. Bodohnya dia menanyakan hal yang jelas-jelas sudah dia ketahui apa jawabannya.

“Mau ada seratus perempuan baik pun yang coba buat gantiin Mama, buat aku gak ada yang bisa, Sab.” Kalau saja bukan di tempat umum seperti ini, mungkin Ajeng akan kembali menangis. Apalagi yang lebih sedih selain menjadi satu-satunya saksi kehancuran keluarga saat masih kecil dan ditinggal selama-lamanya oleh seorang ibu saat beranjak besar?

Ikhlas, melupakan, kemudian menerima orang baru kan bukan perkara yang mudah.

Bian membentangkan sebelah tangannya persis di depan wajah Ajeng yang memerah sebab sepertinya tengah menahan kesedihan. “Daleman aku tipis, nanti kalo aku lepas hoodie ini buat nutupin kamu nangis, bisa-bisa kamu dikira jalan sama gembel ... jadi, nangis di sini aja. Di lengan aku.”

Alih-alih merasa terharu, Ajeng justru menatap Bian dengan ekspresi wajah datar sambil meneteskan air mata yang semula dia tampung. Kemudian, tanpa mengatakan apapun, Ajeng mengeluarkan sebungkus tisu dalam tasnya.

Bian jelas tergelak. Apalagi saat Ajeng berlaga mengusap air matanya dengan gestur yang berlebihan.

“Omong-omong, aku udah lama gak liat kamu bareng Zaid. Biasanya berduaan, kan?” tanya Ajeng.

Bian geming seketika. Mungkin kalau Ajeng tidak menyinggung soal ini, Bian tidak akan sadar bahkan sampai beberapa hari kedepan. Ajeng sendiri sedikit banyak sadar kalau yang menyebabkan kerenggangan hubungan pertemanan Bian dan Zaid bisa jadi adalah dirinya. Pasalnya bisa hampir semalaman Bian mengirimi dia pesan, sementara sejak pagi sampai sore Bian menghabiskan waktunya dengan berada di sisi Ajeng. Maka sudah dapat dipastikan bahwa Bian tidak lagi memiliki waktu untuk bermain dengan Zaid seperti dulu.

“Sab....”

Sabian berdeham singkat, seraya menatap Ajeng.

“Pikiran kamu itu harusnya bisa lebih luas, dan gak melulu tentang aku. Bukannya mau kepedean, ya, tapi jelas-jelas kamu pagi, siang, sore, malem ngechat aku terus. Aku gak keberatan sama sekali, Sab. Masalahnya itu bukan kewajiban kamu. Apa kamu gak kepikiran? Mungkin aja Zaid kangen diajak main.” Dengan penuh kehati-hatian Ajeng berkata demikian. Ajeng hanya tidak mau Zaid mengira kalau dia merebut Bian dari pertemanannya.

Ajeng memposisikan tangannya di bawah dagu Bian. Sambil tersenyum dia mengusap-usap dagu Bian dengan lembut. “Aku baru sadar kalo kamu selalu kayak gini.”

Bian menaikan sebelah alisnya, bingung. Kalau boleh jujur, berada sedekat ini dengan Ajeng membuat jantung terus berdebar tak karuan.

“Selalu kayak anak kecil. Apa-apa masih harus dikasih tau.”

Lantas Bian tersenyum. Senyum sumringah sampai-sampai kedua matanya menyipit sempurna—membentuk selayaknya bulan sabit. “Kamu juga selalu kayak gini, ya?” tanya Bian. Kali ini Bian menangkup kedua tangan Ajeng, sambil mengganti ekspresi wajahnya menjadi lebih serius.

“Aku kayak gimana?” sahut Ajeng. Pasalnya dia tidak merasa telah melakukan sesuatu yang mencolok perhatian.

“Kayak Mama. Selalu bikin aku jadi anak kecil.”

“Enggak. Itu sih naluri kamu aja.”

Ketika berbicara dengan Ajeng, Bian seringkali lupa waktu. Padahal kalau dipikir-pikir jarak dari tempat les mereka menuju ancol terbilang lumayan, tapi entah kenapa rasanya seperti hanya setempongan saja.

Saat bus Transjakarta yang mereka tumpangi itu perlahan berhenti, untuk menurunkan para penumpangnya di halte busway—semua penumpangnya berdiri, termasuk Bian dan Ajeng. Bian sengaja menggenggam erat tangan Ajeng. Khawatir kalau-kalau gadis itu mungkin kehilangan keseimbangan atau yang lainnya.

“Jangan modus ya Sabian!”

“Aku pengangin biar kamu gak guling-guling! Bukannya makasih? Kalo modus tuh gini!” Detik kemudian Bian merangkul pundak Ajeng. Dan saat lengannya baru menyentuh pundak gadis itu, Bian langsung mendapat tatapan; lepasin atau burung lo gue tendang?! Dengan gerak secepat kilat, Bian menarik tangan sambil cengar-cengir.


“Kamu harus tau kalo seumur hidup aku ... enam belas tahun, lebih sepuluh bulan—kamu itu satu-satunya cewek yang aku ajak duduk di pinggir pantai berduaan kayak gini. Mama aja gak pernah! Kamu beruntung soalnya aku sesuka itu sama kamu!” kata Bian dengan nada setengah jumawa.

Ajeng menarik sudut bibirnya seketika. Dia mengangguk-angguk seakan setuju. Sempat terlintas dalam benaknya bahwa mungkin sampai detik ini Bian mendapat limpahan kasih sayang yang berlebihan dari orang-orang di sekitarnya, sampai-sampai pemuda itu nekad mengamalkan banyak kasih sayang pada seorang gadis yang notabenenya hanya sekedar teman dekat baginya, tidak lebih.

Sorot mata Ajeng kini fokus pada satu objek di depan sana. Pada ombak kecil yang mengarah ke mereka. Ajeng sadar kalau satu-satunya hal menjadi ujung tombak keputusannya untuk menolak seorang Sabian Aditama adalah perasaannya sendiri. Kenapa? Sebab, sejak kecil yang Ajeng ketahui hanya perihal pertengkaran kedua orangtuanya. Sebab, saat beranjak besar, alih-alih semuanya membaik—dia justru mendapat kabar duka yang berasal dari sang mama. Lalu, sebentar lagi dia akan tiba di titik lara selanjutnya. Dilupakan oleh cinta pertamanya—Papa. Sebab Papa akan segera menikah untuk kedua kalinya. Maka, saat hari di mana Bian datang untuk menawarkan banyak bentuk kasih sayang, yang Ajeng rasakan malah perasaan khawatir serta takut kehilangan.

Kalau ditanya soal bagaimana perasaan Ajeng sendiri terhadap Bian, sepertinya sudah cukup jelas. Bahkan raut wajah gadis itu selalu menggambarkan keceriaan tatkala ada di dekat Bian. Lagi pula, untuk seusia mereka, bukan menjadi hal yang sulit untuk saling memiliki ketertarikan terhadap lawan jenis.

“Kalo setelah semua wishlist aku bareng kamu udah selesai, tapi kamu belom mau jadi pacar aku—gapapa. Aku janji buat lepasin kamu dengan lapang dada,” kata Bian. Tangan kanannya sengaja memukul dadanya sendiri seolah teguh mengatakan hal tersebut. Sontak Ajeng terkekeh malu meski bukan dia yang mengatakannya.

“Aku serius!” timpal Bian. Lalu dia sedikit memutar tubuhnya demi menghadap Ajeng sepenuhnya. “Tapi ... kita bisa tetep jadi temen, kan?”

“Boleh, tapi pasti awkward.”

Mendengar jawaban Ajeng barusan, lantas bahu Bian merosot. Kemudian dengan sengaja Bian meletakkan kepalanya di atas pundak Ajeng sembari mencebikkan bibir.

“Kamu kedengerannya kayak yakin banget kalo kita gak bakal pacaran....”

“Sab ... ini suara getar HP siapa ya?”

“HP aku,” sahut Bian dengan begitu santainya. “Paling Mama nyariin, soalnya aku belom pamit kalo mau main.” Bian masih tak acuh, sementara ponsel terus bergetar di dalam saku celananya.

“Ohhh—MAKSUDNYA?! GILA SAB? BELOM PAMIT?!!”

“Kopi?” Jeffrey membuka percakapan.

Hanya ada secangkir kopi di genggamannya sejak tadi, tapi tanpa pikir panjang Jeffrey sekonyong-konyong menawarkan kopi tersebut pada Ratu. Lebih mirip seperti basa basi, Ratu tahu jelas.

“Itu punya kamu yang tadi, kan?”

Jeffrey terkekeh seraya mengangguk setuju. Matanya menatap Ratu yang tengah mengusapkan selembar kapas di tangan ke wajahnya. Istrinya itu sibuk menatap pantulan wajahnya pada sebuah cermin kaca. Ritual sebelum tidur adalah melembabkan wajah—yah, setidaknya itu yang ia tahu.

Hati-hati Jeffrey meletakkan cangkir kopinya di atas nakas, di bawah cermin kaca yang memantulkan wajah Ratu. Kedua tangan Jeffrey mendarat sempurna pada pundak istrinya itu. Mengusapnya dengan lembut, dan perlahan turun ke bawah.

Jeffrey mencondongkan tubuhnya ke depan, memeluk pinggang Ratu dari belakang. Tanpa memberi aba-aba ia mencium pundak Ratu. Tidak ada perlawanan sedikitpun. Hati-hati dan lembut, begitu cara Jeffrey melakukan kegiatannya. Tidak terburu-buru, dan diam-diam ia meninggal bekas keunguan di sana.

Ratu melenguh. Tangan yang semula sibuk mengusap sekitar wajahnya itu, kini terkepal. Kapas yang sempat ia genggam jatuh ke lantai, bersamaan dengan Jeffrey yang tiba-tiba saja menyebut namanya.

“Ra...,” Jeffrey menatap cermin kaca, lalu tersenyum bangga. “Bisa kan? Gini doang mah gampang.”

Tanpa menunggu jawaban yang keluar dari mulut Ratu, Jeffrey membuat Ratu memutar posisi duduknya seketika. Kini mereka saling bertatapan. Sampai detik ini istrinya itu masih memasang wajah yang biasa-biasa saja. Membuat Jeffrey justru merasa semakin tertantang.

Jeffrey menjulurkan tangannya. Menyingkirkan anak rambut Ratu yang sedikit mengganggu netranya saat mengamati wajah wanitanya itu. Cantik. Jeffrey langsung menarik tengkuk Ratu. Membawanya ke dalam sebuah ciuman panas tanpa perlu meminta izin sebelumnya. Sementara itu, Ratu tidak hanya diam. Ia tahu betul tentang apa yang harus dilakukan selanjutnya.

Ratu membalas ciuman Jeffrey tak kalah panas. Tangannya kini bertengger di atas pundak Jeffrey. Mencengkram piyama tidur suaminya kuat-kuat, sampai sesaat kemudian ia mulai merasa kehabisan napas.

“Mas....” Netra mereka saling bertemu satu sama lain.

“Kalau pegel sambil duduk, kita bisa pindah ke kasur, Ra.”

Sontak tawa Ratu tak tertahankan. “Si paling peka.”

“MAS!” Spontan Ratu mengalungkan tangannya pada leher Jeffrey, tatkala suaminya itu menggendong tubuhnya menuju ranjang mereka.

Jeffrey mendudukkan Ratu di atas ranjang. “Kamu tau gak, sih? Ada yang namanyawoman on top.”

“Macem-macem.”

“Ayolah, Ra. Sekali....”

Ratu menggeleng. Kalau boleh jujur sebenarnya bukan ia tidak tertarik, melainkan ia khawatir kalau-kalau ternyata ia tidak bisa seperti apa yang Jeffrey bayangkan. “Aku gak bisa, Mas,” katanya lirih.

Lantaran enggan merusak malam panjang mereka kali ini, Jeffrey pun mengangguk paham. Ia juga bukan tipikal orang yang akan memaksakan keinginan saat bercinta. Yang terpenting bagi Jeffrey, adalah Ratu menikmati setiap kegiatan mereka.

Selanjutnya Jeffrey memilih untuk kembali mengusik dua belah benda warna ranum milik Ratu. Kian lama pagutannya semakin dalam.

Dan, dengan mata setengah tertutup—Jeffrey semakin agresif sampai lagi-lagi sesuatu kembali menghentikan kegiatannya. Sejenak Jeffrey menarik diri sebab sepertinya Ratu sudah kehabisan napas karena ciumannya. Ia terkekeh melihat dada Ratu yang naik dan turun dengan cepat—tampak seolah itu satu-satunya waktu yang tersisa untuk ia bernapas.

“Jangan lupa napas, Ra.”

Ratu menggeleng cepat. “Terus kamu napas pakai CO² dari aku?” katanya melebih-lebihkan. Kedengarannya mirip seperti guru biologi saat mereka masih sekolah dulu. Bisa-bisanya membahas senyawa saat ingin bercinta.

Jeffrey menggigit bibirnya sendiri, saking gemasnya. “Dilanjut apa mau tidur aja?” tanya Jeffrey.

Ratu melempar tatapannya pada sebuah cermin kaca yang kini tengah menampilkan figur mereka berdua di kejauhan. Ratu dapat melihat dengan jelas seperti apa Jeffrey yang tengah sibuk mengamati wajahnya dengan sorot mata tajam. Ada nafsu yang susah payah ia coba redam.

Ratu mengulum bibir malu-malu, “Ya ... terserah, jam terbang aku kan fleksibel. Gak kayak kamu yang kerja ter—” Belum sempat Ratu mengakhiri perkataannya, Jeffrey lebih dahulu menariknya hingga habis jarak di antara mereka.

Ia kembali mencium bibir Ratu, namun, kali ini jauh lebih intens dari sebelumnya. Sengaja ia hisap lidah Ratu, dan menjelajahi area mulut Ratu tanpa celah sedikitpun.

Sembari membaringkan tubuh Ratu—Jeffrey meraih kancing kemeja istrinya itu, kemudian membuka tiap-tiap kancingnya dengan tergesa. Piyama Ratu sontak merosot begitu saja. Menampilkan dua belah dada berukuran sedang—kesukaan Jeffrey.

Sementara Ratu menyentuh ujung pakaian Jeffrey. Dia ingin Jeffrey melakukan hal sama pada pakaiannya sendiri.

Jeffrey kembali melepas pagutan mereka, lalu menarik pakaiannya ke atas kepala, sampai seluruh six-pack yang ia punya terekspos secara nyata.

Ratu menyentuhnya. Mulai dari dada, lalu ke perut Jeffrey. Kulit putih dan lembut di bawah ujung jarinya itu merinding seketika. Dan, saat Ratu mendongakkan kepalanya ke atas yang ia dapat ialah tatapan mata Jeffrey yang sedikit berbeda dari sebelumnya. Ia sadar kalau setelah ini, permintaan untuk berhenti pun tidak akan Jeffrey pedulikan.

Jeffrey masih berdiam diri, memangamati bagian atas tubuh Ratu yang masih menyisakan sebuah bra di sana. Kalau dipikir-pikir Jeffrey suka segala aspek dari tubuh Ratu. Mulai dari warna kulitnya hingga bentuk tubuhnya yang proporsional. Sepertinya Jeffrey tidak mungkin sampai sekesulitan ini menahan nafsu kalau yang ada di hadapannya saat ini bukanlah Ratu.

Jeffrey menarik bagian bawah dari piyama, beserta satu lagi kain yang menutupi milik Ratu sampai benar-benar lepas dari kakinya. Ia tersenyum untuk kesekian kalinya. Sesuatu di sana sepertinya sudah bereaksi sejak tadi. Jeffrey tahu saat tangannya dengan sengaja menyentuh area itu.

“Sumpah aku benci banget liat kamu cengengesan tiap kali kita lagi kayak gini!” seru Ratu. Meski dalam keadaan terbaring di atas ranjang, jelas ia masih mampu menangkap segala macam ekspresi wajah yang Jeffrey tunjukkan.

“Aku salting, bukan cengengesan....” Jeffrey bangkit. Yang selanjutnya ia lakukan adalah melepas sisa kain yang masih menutupi bagian bawahnya. Sampai saat miliknya tampil secara terang-terangan, Ratu refleks meneguk salivanya.

Perasaan Ratu saat ini adalah antara takut dan ingin. Meski begitu rasa takut itupun kini tak berarti apa-apa, pasalnya detik kemudian Jeffrey sudah melayang di atas tubuh Ratu dengan kedua tangannya yang menopang.

“Jangan tutup mata, aku gak suka.”

Sial, Ratu baru ingat kalau ia harus membuka matanya sampai akhir kegiatan mereka. Lantas wajahnya memanas. Ratu malu. Dan, tanpa menanggapi respon Ratu atas perkataannya—Jeffrey memilih untuk langsung memulai kegiatannya.

Lenguhan demi lenguhan Ratu loloskan tatkala Jeffrey secara membabi buta menandai setiap inci dari dadanya. Jeffrey memang selalu memulainya dari sana. Lalu ia akan kembali naik ke atas. Menyapu ceruk leher Ratu, sebelum semakin naik ke atas untuk menghisap hingga melumat bibir istrinya itu. Di saat seperti ini, Jeffrey selalu fokus.

Belum apa-apa, peluh Ratu sudah membasahi kening. Padahal kamar mereka memiliki pendingin ruangan. Mungkin karena faktor jantung Ratu yang berdebar sangat kencang, tentunya sejak saat sesuatu di bawah sana tanpa sengaja saling bersentuhan.

Ratu dapat samar-samar merasakan milik Jeffrey yang mulai mengeras di atas miliknya. Naik dan turun, entah Jeffrey sengaja atau tidak—yang jelas hal itu membuat Ratu sedikit kewalahan.

Jeffrey kembali bermain dengan benda kembar di dada Ratu. Bra yang sebelumnya sengaja ia biarkan menutup area tersebut, kini Jeffrey singkirkan.

Jeffrey paling suka melihat ekspresi wajah Ratu yang tertekan di bawah kendalinya seperti ini. Wanita itu terus menggigit bibirnya tatkala Jeffrey mengulum salah satu dari buah dadanya. Tak jarang Ratu sampai terdengar mengerang frustasi.

“Mas!”

“Hm?” Jeffrey hanya berdehem, sebab mulutnya saat ini sangat penuh.

“Kamu ... ngh! Mau woman on top kan?”

“Heem.”

“Lepas dulu!” seru Ratu. Seketika Jeffrey menarik bibirnya dari buah dada Ratu.

Selanjutnya, tanpa membuang-buang waktu—Ratu langsung membalikkan posisi mereka. Kini tubuh Jeffrey berada tepat di bawahnya. Sementara lelaki itu justru cengar-cengir. Seperti tidak sabar menerima servis yang akan Ratu lakukan kepadanya.

“Oh, jadi kayak gini....” Ratu mendarat bokongnya dengan sempurna di atas milik Jeffrey. Membuat sang empunya mengerang seketika.

“Kamu ... sumpah! Bilang aja mau bales dendam!!”

Ratu tergelak bukan main. Ia semakin sengaja mempermainkan milik Jeffrey di bawah sana dengan cara terus menggerakkan pinggulnya tak beraturan.

“RA! GAK GINI RA!”

“RATU!” pekik Jeffrey lebih kencang sebab Ratu tidak meresponnya.

Ibarat roda yang berputar, kini Ratu harus menerima kenyataan kalau posisinya kembali seperti semula sebab Jeffrey yang bertenaga tiga kali lebih kuat darinya itu membuatnya berbaring seketika.

Kemudian tanpa memberikan aba-aba, Jeffrey sudah memposisikan miliknya di depan milik Ratu.

“Gak ada lagi main sopan, Ra. Kamu gak sopan duluan.”

“Tunggu-tunggu aku belum si—”

Malam ini, Ratu kalah telak. Jeffrey mendominasi permainan sampai selesai meski dalam benaknya ia masih menginginkan 'woman on top' di antara mereka.

Malam ini, alih-alih menjadi malam panjang untuk mereka, justru menjadi malam yang begitu panjang untuk Ratu seorang. Yah, pasalnya selain bercinta—Jeffrey juga sekaligus membalas Ratu, walaupun yang sebenarnya ialah biang keroknya.

“Kopi?” Jeffrey membuka percakapan.

Hanya ada secangkir kopi di genggamannya sejak tadi, tapi tanpa pikir panjang Jeffrey sekonyong-konyong menawarkan kopi tersebut pada Ratu. Lebih mirip seperti basa basi, Ratu tahu jelas.

“Itu punya kamu yang tadi, kan?”

Jeffrey terkekeh seraya mengangguk setuju. Matanya menatap Ratu yang tengah mengusapkan selembar kapas di tangan ke wajahnya. Istrinya itu sibuk menatap pantulan wajahnya pada sebuah cermin kaca. Ritual sebelum tidur adalah melembabkan wajah—yah, setidaknya itu yang ia tahu.

Hati-hati Jeffrey meletakkan cangkir kopinya di atas nakas, di bawah cermin kaca yang memantulkan wajah Ratu. Kedua tangan Jeffrey mendarat sempurna pada pundak istrinya itu. Mengusapnya dengan lembut, dan perlahan turun ke bawah.

Jeffrey mencondongkan tubuhnya ke depan, memeluk pinggang Ratu dari belakang. Tanpa memberi aba-aba ia mencium pundak Ratu. Tidak ada perlawanan sedikitpun. Hati-hati dan lembut, begitu cara Jeffrey melakukan kegiatannya. Tidak terburu-buru, dan diam-diam ia meninggal bekas keunguan di sana.

Ratu melenguh. Tangan yang semula sibuk mengusap sekitar wajahnya itu, kini terkepal. Kapas yang sempat ia genggam jatuh ke lantai, bersamaan dengan Jeffrey yang tiba-tiba saja menyebut namanya.

“Ra...,” Jeffrey menatap cermin kaca, lalu tersenyum bangga. “Bisa kan? Gini doang mah gampang.”

Tanpa menunggu jawaban yang keluar dari mulut Ratu, Jeffrey membuat Ratu memutar posisi duduknya seketika. Kini mereka saling bertatapan. Sampai detik ini istrinya itu masih memasang wajah yang biasa-biasa saja. Membuat Jeffrey justru merasa semakin tertantang.

Jeffrey menjulurkan tangannya. Menyingkirkan anak rambut Ratu yang sedikit mengganggu netranya saat mengamati wajah wanitanya itu. Cantik. Jeffrey langsung menarik tengkuk Ratu. Membawanya ke dalam sebuah ciuman panas tanpa perlu meminta izin sebelumnya. Sementara itu, Ratu tidak hanya diam. Ia tahu betul tentang apa yang harus dilakukan selanjutnya.

Ratu membalas ciuman Jeffrey tak kalah panas. Tangannya kini bertengger di atas pundak Jeffrey. Mencengkram piyama tidur suaminya kuat-kuat, sampai sesaat kemudian ia mulai merasa kehabisan napas.

“Mas....” Netra mereka saling bertemu satu sama lain.

“Kalau pegel sambil duduk, kita bisa pindah ke kasur, Ra.”

Sontak tawa Ratu tak tertahankan. “Si paling peka.”

“MAS!” Spontan Ratu mengalungkan tangannya pada leher Jeffrey, tatkala suaminya itu menggendong tubuhnya menuju ranjang mereka.

Jeffrey mendudukkan Ratu di atas ranjang. “Kamu tau gak, sih? Ada yang namanyawoman on top.”

“Macem-macem.”

“Ayolah, Ra. Sekali....”

Ratu menggeleng. Kalau boleh jujur sebenarnya bukan ia tidak tertarik, melainkan ia khawatir kalau-kalau ternyata ia tidak bisa seperti apa yang Jeffrey bayangkan. “Aku gak bisa, Mas,” katanya lirih.

Lantaran enggan merusak malam panjang mereka kali ini, Jeffrey pun mengangguk paham. Ia juga bukan tipikal orang yang akan memaksakan keinginan saat bercinta. Yang terpenting bagi Jeffrey, adalah Ratu menikmati setiap kegiatan mereka.

Selanjutnya Jeffrey memilih untuk kembali mengusik dua belah benda warna ranum milik Ratu. Kian lama pagutannya semakin dalam.

Dan, dengan mata setengah tertutup—Jeffrey semakin agresif sampai lagi-lagi sesuatu kembali menghentikan kegiatannya. Sejenak Jeffrey menarik diri sebab sepertinya Ratu sudah kehabisan napas karena ciumannya. Ia terkekeh melihat dada Ratu yang naik dan turun dengan cepat—tampak seolah itu satu-satunya waktu yang tersisa untuk ia bernapas.

“Jangan lupa napas, Ra.”

Ratu menggeleng cepat. “Terus kamu napas pakai CO² dari aku?” katanya melebih-lebihkan. Kedengarannya mirip seperti guru biologi saat mereka masih sekolah dulu. Bisa-bisanya membahas senyawa saat ingin bercinta.

Jeffrey menggigit bibirnya sendiri, saking gemasnya. “Dilanjut apa mau tidur aja?” tanya Jeffrey.

Ratu melempar tatapannya pada sebuah cermin kaca yang kini tengah menampilkan figur mereka berdua di kejauhan. Ratu dapat melihat dengan jelas seperti apa Jeffrey yang tengah sibuk mengamati wajahnya dengan sorot mata tajam. Ada nafsu yang susah payah ia coba redam.

Ratu mengulum bibir malu-malu, “Ya ... terserah, jam terbang aku kan fleksibel. Gak kayak kamu yang kerja ter—” Belum sempat Ratu mengakhiri perkataannya, Jeffrey lebih dahulu menariknya hingga habis jarak di antara mereka.

Ia kembali mencium bibir Ratu, namun, kali ini jauh lebih intens dari sebelumnya. Sengaja ia hisap lidah Ratu, dan menjelajahi area mulut Ratu tanpa celah sedikitpun.

Sembari membaringkan tubuh Ratu—Jeffrey meraih kancing kemeja istrinya itu, kemudian membuka tiap-tiap kancingnya dengan tergesa. Piyama Ratu sontak merosot begitu saja. Menampilkan dua belah dada berukuran sedang—kesukaan Jeffrey.

Sementara Ratu menyentuh ujung pakaian Jeffrey. Dia ingin Jeffrey melakukan hal sama pada pakaiannya sendiri.

Jeffrey kembali melepas pagutan mereka, lalu menarik pakaiannya ke atas kepala, sampai seluruh six-pack yang ia punya terekspos secara nyata.

Ratu menyentuhnya. Mulai dari dada, lalu ke perut Jeffrey. Kulit putih dan lembut di bawah ujung jarinya itu merinding seketika. Dan, saat Ratu mendongakkan kepalanya ke atas yang ia dapat ialah tatapan mata Jeffrey yang sedikit berbeda dari sebelumnya. Ia sadar kalau setelah ini, permintaan untuk berhenti pun tidak akan Jeffrey pedulikan.

Jeffrey masih berdiam diri, memangamati bagian atas tubuh Ratu yang masih menyisakan sebuah bra di sana. Kalau dipikir-pikir Jeffrey suka segala aspek dari tubuh Ratu. Mulai dari warna kulitnya hingga bentuk tubuhnya yang proporsional. Sepertinya Jeffrey tidak mungkin sampai sekesulitan ini menahan nafsu kalau yang ada di hadapannya saat ini bukanlah Ratu.

Jeffrey menarik bagian bawah dari piyama, beserta satu lagi kain yang menutupi milik Ratu sampai benar-benar lepas dari kakinya. Ia tersenyum untuk kesekian kalinya. Sesuatu di sana sepertinya sudah bereaksi sejak tadi. Jeffrey tahu saat tangannya dengan sengaja menyentuh area itu.

“Sumpah aku benci banget liat kamu cengengesan tiap kali kita lagi kayak gini!” seru Ratu. Meski dalam keadaan terbaring di atas ranjang, jelas ia masih mampu menangkap segala macam ekspresi wajah yang Jeffrey tunjukkan.

“Aku salting, bukan cengengesan....” Jeffrey bangkit. Yang selanjutnya ia lakukan adalah melepas sisa kain yang masih menutupi bagian bawahnya. Sampai saat miliknya tampil secara terang-terangan, Ratu refleks meneguk salivanya.

Perasaan Ratu saat ini adalah antara takut dan ingin. Meski begitu rasa takut itupun kini tak berarti apa-apa, pasalnya detik kemudian Jeffrey sudah melayang di atas tubuh Ratu dengan kedua tangannya yang menopang.

“Jangan tutup mata, aku gak suka.”

Sial, Ratu baru ingat kalau ia harus membuka matanya sampai akhir kegiatan mereka. Lantas wajahnya memanas. Ratu malu. Dan, tanpa menanggapi respon Ratu atas perkataannya—Jeffrey memilih untuk langsung memulai kegiatannya.

Lenguhan demi lenguhan Ratu loloskan tatkala Jeffrey secara membabi buta menandai setiap inci dari dadanya. Jeffrey memang selalu memulainya dari sana. Lalu ia akan kembali naik ke atas. Menyapu ceruk leher Ratu, sebelum semakin naik ke atas untuk menghisap hingga melumat bibir istrinya itu. Di saat seperti ini, Jeffrey selalu fokus.

Belum apa-apa, peluh Ratu sudah membasahi kening. Padahal kamar mereka memiliki pendingin ruangan. Mungkin karena faktor jantung Ratu yang berdebar sangat kencang, tentunya sejak saat sesuatu di bawah sana tanpa sengaja saling bersentuhan.

Ratu dapat samar-samar merasakan milik Jeffrey yang mulai mengeras di atas miliknya. Naik dan turun, entah Jeffrey sengaja atau tidak—yang jelas hal itu membuat Ratu sedikit kewalahan.

Jeffrey kembali bermain dengan benda kembar di dada Ratu. Bra yang sebelumnya sengaja ia biarkan menutup area tersebut, kini Jeffrey singkirkan.

Jeffrey paling suka melihat ekspresi wajah Ratu yang tertekan di bawah kendalinya seperti ini. Wanita itu terus menggigit bibirnya tatkala Jeffrey mengulum salah satu dari buah dadanya. Tak jarang Ratu sampai terdengar mengerang frustasi.

“Mas!”

“Hm?” Jeffrey hanya berdehem, sebab mulutnya saat ini sangat penuh.

“Kamu ... ngh! Mau woman on top kan?”

“Heem.”

“Lepas dulu!” seru Ratu. Seketika Jeffrey menarik bibirnya dari buah dada Ratu.

Selanjutnya, tanpa membuang-buang waktu—Ratu langsung membalikkan posisi mereka. Kini tubuh Jeffrey berada tepat di bawahnya. Sementara lelaki itu justru cengar-cengir. Seperti tidak sabar menerima servis yang akan Ratu lakukan kepadanya.

“Oh, jadi kayak gini....” Ratu mendarat bokongnya dengan sempurna di atas milik Jeffrey. Membuat sang empunya mengerang seketika.

“Kamu ... sumpah! Bilang aja mau bales dendam!!”

Ratu tergelak bukan main. Ia semakin sengaja mempermainkan milik Jeffrey di bawah sana dengan cara terus menggerakkan pinggulnya tak beraturan.

“RA! GAK GINI RA!”

“RATU!”

Ibarat roda yang berputar, kini Ratu harus menerima kenyataan kalau posisinya kembali seperti semula sebab Jeffrey yang bertenaga tiga kali lebih kuat darinya itu membuatnya berbaring seketika.

Kemudian tanpa memberikan aba-aba, Jeffrey sudah memposisikan miliknya di depan milik Ratu.

“Gak ada lagi main sopan, Ra. Kamu gak sopan duluan.”

“Tunggu-tunggu aku belum si—”

Malam ini, Ratu kalah telak. Jeffrey mendominasi permainan sampai selesai meski dalam benaknya ia masih menginginkan 'woman on top' di antara mereka.

Malam ini, alih-alih menjadi malam panjang untuk mereka, justru menjadi malam yang begitu panjang untuk Ratu seorang. Yah, pasalnya selain bercinta—Jeffrey juga sekaligus membalas Ratu, walaupun yang sebenarnya ia sendirilah biang keroknya.

Ibaratnya sudah hampir mencair telinga Bian mendengar bagaimana Zaid mengeluarkan segala macam sumpah serapahnya di atas motor. Maklum, pasalnya di hari Sabtu yang panas ini mereka malah harus berkeliling di bawah teriknya matahar,i demi menuju tempat les yang sejak beberapa hari lalu sering menjadi topik pembicaraan mereka itu. Sebenarnya, yang jadi masalah bukanlah betapa kasar kata demi kata yang Zaid loloskan, tapi karena kata-kata yang terdengar justru lebih mirip dengan suara orang kumur-kumur dibandingkan marah-marah, sebab diadu dengan suara angin.

“Kalo sampe kita les di sini tapi gak ada hasilnya, itu semua salah lo!” seru Zaid. Pasalnya begitu mereka tiba di tempat les yang dimaksud, penampakan luar bangunannya seperti kurang meyakinkan.

Zaid menurunkan standar motornya, dan menunggu Bian turun dari jok belakang. “Lo masuk ke sini kan atas dasar kemauan lo sendiri. Lagian don't judge book by cover!” kata Bian tidak terima.

“Alah sok Inggris.”

Kaki mereka berdua mulai melangkah masuk ke dalam. Benar saja, bahkan isinya terlihat jauh lebih sempit jika dibandingkan dengan gambaran yang ada di Google.

Ketika tengah sibuk menilai ukuran dan dekorasi yang seadanya di lantai paling dasar, tiba-tiba saja muncul seorang laki-laki berperawakan lebih tinggi dari mereka, mengenakan pakaian seragam yang coraknya sama persis seperti bagian luar bangunan tersebut.

“Yang baru daftar ya?”

Bian mengangguk semangat. Ini pasti tenaga pengajarnya!. Sementara itu, di sisi lain ada Zaid yang hanya cengangas-cengenges seolah merasa tidak nyaman.

“Kenalin, saya Xander. Salah satu Tutor di sini.”

“Maaf, Kak siapa tadi? Sender?” tanya Bian memastikan.

Lantas Zaid berbatuk-batuk heboh seketika. Sengaja dibuat-buat, seraya berbisik tepat di telinga Bian. “Xander goblok. Sender mah yang suka ngetweet!” maki Zaid tertahan.

Bian yang sadar akan kebodohannya, sontak menjabat tangan laki-laki itu. Dia sengaja menampilkan sebuah senyum super lebar, sampai-sampai sudut bibirnya terasa perih seketika. “Kak Xander ya—kenalin saya Bian. Terus ini temen saya, Zaid.” Nadanya mirip opening serial Upin Ipin di televisi. Lalu yang dijabat tangannyapun tersenyum.

Kalau Bian boleh jujur, tampang-tampang seperti Kak Xander ini persis seperti impiannya. Mirip karakter dalam sebuah manga—tampan iya, cantik iya, manis juga iya. Dalam benak, tanpa sadar dia memuji visualisasi Kak Xander habis-habisan. Semoga nular, semoga nular. Begitu batinnya.

“Langsung naik ke atas aja, ya. Udah tau kan kelasnya di mana?”

Bian mengangguk. Jelas! Dia kan sekelas dengan Ajeng, sebab sama-sama anak kelas sepuluh. Hanya tinggal mencari di kelas mana gadis bendahara itu berada, kemudian beres!

Kak Xander mengacungkan jari jempol ke arah Bian. Namun, bocah itu justru salah fokus tatkala netranya menangkap ekspresi Zaid. Seperti yang kurang suka melihat keberadaan Kak Xander di sana, padahal kan baru kenalan?

Kemudian, sesaat setelah Kak Xander meninggalkan mereka—Zaid sekonyong-konyong menarik bagian belakang dari kerah pakaian yang tengah Bian kenakan.

“APAAN SIH?!”

“Pulang aja, Bi. Jangan les di sini, sumpah!”

“Kenapa emangnya?” tanya Bian. Nadanya seperti mulai tersulut emosi.

Zaid melepas cengkramannya pada kerah Bian. Dia menghela napas berat. “Lo tau gak yang tadi itu siapa?” Setelah melayangkan pertanyaan tersebut, yang Zaid dapati justru tampang tak acuh dari Bian yang sontak membuatnya gemas bukan main.

“Itu tuh, yang ngambilin rapotnya Ajeng!” sambung Zaid.

“Calon kakak tirinya Ajeng berarti?”

“Emang Ajeng mau nikah lagi?”

Bian memicingkan matanya. Tak habis pikir dengan jalan pikiran Zaid. “Bapaknya!” pekik Bian.

“Iya, kata gue juga bapaknya emang mau nikah lagi?”

“Elo tadi nanyanya gak gitu ya, Anjing!”

“Dari awal gue nanya kaya gitu!”

Selanjutnya perdebatan sengit mereka berlanjut. Mulai dari Zaid yang memukul kepala Bian, kemudian dibalas oleh sang empunya. Lupa kalau-kalau kini mereka tengah berada di tempat umum.

“Bian, Zaid? Kalian ngapain?”

Ibaratnya sudah hampir mencair telinga Bian mendengar bagaimana Zaid mengeluarkan segala macam sumpah serapahnya di atas motor. Maklum, pasalnya di hari Sabtu yang panas ini mereka malah harus berkeliling di bawah teriknya matahar,i demi menuju tempat les yang sejak beberapa hari lalu sering menjadi topik pembicaraan mereka itu. Sebenarnya, yang jadi masalah bukanlah betapa kasar kata demi kata yang Zaid loloskan, tapi karena kata-kata yang terdengar justru lebih mirip dengan suara orang kumur-kumur dibandingkan marah-marah, sebab diadu dengan suara angin.

“Kalo sampe kita les di sini tapi gak ada hasilnya, itu semua salah lo!” seru Zaid. Pasalnya begitu mereka tiba di tempat les yang dimaksud, penampakan luar bangunannya seperti kurang meyakinkan.

Zaid menurunkan standar motornya, dan menunggu Bian turun dari jok belakang. “Lo masuk ke sini kan atas dasar kemauan lo sendiri. Lagian don't judge book by cover!” kata Bian tidak terima.

“Alah sok Inggris.”

Kaki mereka berdua mulai melangkah masuk ke dalam. Benar saja, bahkan isinya terlihat jauh lebih sempit jika dibandingkan dengan gambaran yang ada di Google.

Ketika tengah sibuk menilai ukuran dan dekorasi yang seadanya di lantai paling dasar, tiba-tiba saja muncul seorang laki-laki berperawakan lebih tinggi dari mereka, mengenakan pakaian seragam yang coraknya sama persis seperti bagian luar bangunan tersebut.

“Yang baru daftar ya?”

Bian mengangguk semangat. Ini pasti tenaga pengajarnya!. Sementara itu, di sisi lain ada Zaid yang hanya cengangas-cengenges seolah merasa tidak nyaman.

“Kenalin, saya Xander. Salah satu Tutor di sini.”

“Maaf, Kak siapa tadi? Sender?” tanya Bian memastikan.

Lantas Zaid berbatuk-batuk heboh seketika. Sengaja dibuat-buat, seraya berbisik tepat di telinga Bian. “Xander goblok. Sender mah yang suka ngetweet!” maki Zaid tertahan.

Bian yang sadar akan kebodohannya, sontak menjabat tangan laki-laki itu. Dia sengaja menampilkan sebuah senyum super lebar, sampai-sampai sudut bibirnya terasa perih seketika. “Kak Xander ya—kenalin saya Bian. Terus ini temen saya, Zaid.” Nadanya mirip opening serial Upin Ipin di televisi. Lalu yang dijabat tangannyapun tersenyum.

Kalau Bian boleh jujur, tampang-tampang seperti Kak Xander ini persis seperti impiannya. Mirip karakter dalam sebuah manga—tampan iya, cantik iya, manis juga iya. Dalam benak, tanpa sadar dia memuji visualisasi Kak Xander habis-habisan. Semoga nular, semoga nular. Begitu batinnya.

“Langsung naik ke atas aja, ya. Udah tau kan kelasnya di mana?”

Bian mengangguk. Jelas! Dia kan sekelas dengan Ajeng, sebab sama-sama anak kelas sepuluh. Hanya tinggal mencari di kelas mana gadis bendahara itu berada, kemudian beres!

Kak Xander mengacungkan jari jempol ke arah Bian. Namun, bocah itu justru salah fokus tatkala netranya menangkap ekspresi Zaid. Seperti yang kurang suka melihat keberadaan Kak Xander di sana, padahal kan baru kenalan?

Kemudian, sesaat setelah Kak Xander meninggalkan mereka—Zaid sekonyong-konyong menarik bagian belakang dari kerah pakaian yang tengah Bian kenakan.

“APAAN SIH?!”

“Pulang aja, Bi. Jangan les di sini, sumpah!”

“Kenapa emangnya?” tanya Bian. Nadanya seperti mulai tersulut emosi.

Zaid melepas cengkramannya pada kerah Bian. Dia menghela napas berat. “Lo tau gak yang tadi itu siapa?” Setelah melayangkan pertanyaan tersebut, yang Zaid dapati justru tampang tak acuh dari Bian yang sontak membuatnya gemas bukan main.

“Itu tuh, yang ngambilin rapotnya Ajeng!” sambung Zaid.

“Calon kakak tirinya Ajeng berarti?”

“Emang Ajeng mau nikah lagi?”

Bian memicingkan matanya. Tak habis pikir dengan jalan pikiran Zaid. “Bapaknya!” pekik Bian.

“Iya, kata gue juga bapaknya emang mau nikah lagi?”

“Elo tadi nanyanya gak gitu ya, Anjing!”

“Dari awal gue nanya kaya gitu!”

Selanjutnya perdebatan sengit mereka berlanjut. Mulai dari Zaid yang memukul kepala Bian, kemudian dibalas oleh sang empunya. Lupa kalau-kalau kini mereka tengah berada di tempat umum.

“Bian, Zaid? Kalian ngapain?”

Ibaratnya sudah hampir mencair telinga Bian mendengar bagaimana Zaid mengeluarkan segala macam sumpah serapahnya di atas motor. Maklum, pasalnya di hari Sabtu yang panas ini mereka malah harus berkeliling di bawah teriknya matahar,i demi menuju tempat les yang sejak beberapa hari lalu sering menjadi topik pembicaraan mereka itu. Sebenarnya, yang jadi masalah bukanlah betapa kasar kata demi kata yang Zaid loloskan, tapi karena kata-kata yang terdengar justru lebih mirip dengan suara orang kumur-kumur dibandingkan marah-marah, sebab diadu dengan angin.

“Kalo sampe kita les di sini tapi gak ada hasilnya, itu semua salah lo!” seru Zaid. Pasalnya begitu mereka tiba di tempat les yang dimaksud, penampakan luar bangunannya seperti kurang meyakinkan.

Zaid menurunkan standar motornya, dan menunggu Bian turun dari jok belakang. “Lo masuk ke sini kan atas dasar kemauan lo sendiri. Lagian don't judge book by cover!” kata Bian tidak terima.

“Alah sok Inggris.”

Kaki mereka berdua mulai melangkah masuk ke dalam. Benar saja, bahkan isinya terlihat jauh lebih sempit jika dibandingkan dengan gambaran yang ada di Google.

Ketika tengah sibuk menilai ukuran dan dekorasi yang seadanya di lantai paling dasar, tiba-tiba saja muncul seorang laki-laki berperawakan lebih tinggi dari mereka, mengenakan pakaian seragam yang coraknya sama persis seperti bagian luar bangunan tersebut.

“Yang baru daftar ya?”

Bian mengangguk semangat. Ini pasti tenaga pengajarnya!. Sementara itu, di sisi lain ada Zaid yang hanya cengangas-cengenges seolah merasa tidak nyaman.

“Kenalin, saya Xander. Salah satu Tutor di sini.”

“Maaf, Kak siapa tadi? Sender?” tanya Bian memastikan.

Lantas Zaid berbatuk-batuk heboh seketika. Sengaja dibuat-buat, seraya berbisik tepat di telinga Bian. “Xander goblok. Sender mah yang suka ngetweet!” maki Zaid tertahan.

Bian yang sadar akan kebodohannya, sontak menjabat tangan laki-laki itu. Dia sengaja menampilkan sebuah senyum super lebar, sampai-sampai sudut bibirnya terasa perih seketika. “Kak Xander ya—kenalin saya Bian. Terus ini temen saya, Zaid.” Nadanya mirip opening serial Upin Ipin di televisi. Lalu yang dijabat tangannyapun tersenyum.

Kalau Bian boleh jujur, tampang-tampang seperti Kak Xander ini persis seperti impiannya. Mirip karakter dalam sebuah manga—tampan iya, cantik iya, manis juga iya. Dalam benak, tanpa sadar dia memuji visualisasi Kak Xander habis-habisan. Semoga nular, semoga nular. Begitu batinnya.

“Langsung naik ke atas aja, ya. Udah tau kan kelasnya di mana?”

Bian mengangguk. Jelas! Dia kan sekelas dengan Ajeng, sebab sama-sama anak kelas sepuluh. Hanya tinggal mencari di kelas mana gadis bendahara itu berada, kemudian beres!

Kak Xander mengacungkan jari jempol ke arah Bian. Namun, bocah itu justru salah fokus tatkala netranya menangkap ekspresi Zaid. Seperti yang kurang suka melihat keberadaan Kak Xander di sana, padahal kan baru kenalan?

Kemudian, sesaat setelah Kak Xander meninggalkan mereka—Zaid sekonyong-konyong menarik bagian belakang dari kerah pakaian yang tengah Bian kenakan.

“APAAN SIH?!”

“Pulang aja, Bi. Jangan les di sini, sumpah!”

“Kenapa emangnya?” tanya Bian. Nadanya seperti mulai tersulut emosi.

Zaid melepas cengkramannya pada kerah Bian. Dia menghela napas berat. “Lo tau gak yang tadi itu siapa?” Setelah melayangkan pertanyaan tersebut, yang Zaid dapati justru tampang tak acuh dari Bian yang sontak membuatnya gemas bukan main.

“Itu tuh, yang ngambilin rapotnya Ajeng!” sambung Zaid.

“Calon kakak tirinya Ajeng berarti?”

“Emang Ajeng mau nikah lagi?”

Bian memicingkan matanya. Tak habis pikir dengan jalan pikiran Zaid. “Bapaknya!” pekik Bian.

“Iya, kata gue juga bapaknya emang mau nikah lagi?”

“Elo tadi nanyanya gak gitu ya, Anjing!”

“Dari awal gue nanya kaya gitu!”

Selanjutnya perdebatan sengit mereka berlanjut. Mulai dari Zaid yang memukul kepala Bian, kemudian dibalas oleh sang empunya. Lupa kalau-kalau kini mereka tengah berada di tempat umum.

“Bian, Zaid? Kalian ngapain?”