cakgrays

Pagi ini cerah, meski kelembaban tanahnya masih cukup tinggi akibat diguyur hujan semalaman. Bian diantar oleh Mama lagi ke sekolah, sama seperti masa liburan sekolah dimulai—mungkin sekitar dua atau tiga minggu yang lalu?

Tidak begitu banyak yang berubah di tahun baru ini. Mama masih sama, tipikal ibu-ibu yang akan meramaikan rumah sejak pagi buta. Papa juga, masih terburu-buru meninggalkan rumah untuk berangkat kerja. Kebiasaan orang-orang, serta atmosfer di sekitar Bian masih sama seperti tahun lalu. Rasanya hanya Bian yang berubah. Pergantian suasana hati Bian tidak lagi seekstrem biasanya—yah, setidaknya itu yang dia rasakan. Agaknya karena komunikasi antar Bian, Mama, dan Papa akhir-akhir ini sangat membaik, serta banyak waktu yang mereka habiskan bersama.

Memang benar, Bian sejatinya hanya butuh sedikit waktu juga perhatian. Bian sejatinya hanya mendamba luapkan kasih sayang secara nyata—bukan sekedar materi dari Mama dan Papa.

“Nanti Mama harus jemput jam berapa?” Suara Mama tiba-tiba memecah keheningan di dalam mobil. Lembut, berbeda dari beberapa saat lalu—saat masih di dalam rumah dan menyiapkan segala keperluan Bian dan Papa.

“Ntar Bian kabarin,” kata Bian singkat. Kemudian, Mama hanya manggut-manggut.

Kalau Bian lihat-lihat, Mama itu multitasking. Meski ada satu asisten rumah tangga di dalam rumah, yaitu Budhe Lasih—Mama sering terlihat mengerjakan beberapa pekerjaan rumah sendiri. Ditambah lagi siap mengantar jemput Bian setiap hari. Tiba-tiba saja terbersit di pikiran Bian kalau Mama juga harus mengantar jemput dirinya saat les—mungkin itu ide yang gila. Bawel-bawel begitu, Mama jarang sekali mengeluh apalagi melakukan penolakan. Bian jadi khawatir.

“Mama?”

Bian menatap Mama yang terus fokus menatap jalanan di depan sana. Mama mengangguk untuk sekedar memberi tanda kalau dia masih bisa mendengar Bian, bahkan tanpa harus menatapnya.

“Bian butuh motor, Ma.”

“Mama udah berkali-kali bilang ke Papa kalau kamu mau motor, tapikan kamu tau sendiri Papa kayak gimana, Bi?” Tepat saat Mama merespon perkataan Bian, mereka sampai di depan gerbang sekolah. “Alesan Papa itu jelas—karna kamu belum punya SIM. Mama kan jadi mati kutu, gak tau mau jawab apa lagi,” timpal Mama.

Ada benarnya. Bian tahu mungkin hampir seluruh jalanan di Ibukota itu padat merayap—tapi kan tidak semua jalanan ada polisinya? Begitu batin Bian.

Bian menghela napas panjang, seraya menatap Mama yang kini juga tengah menatapnya. Alis Bian seketika terangkat. Bingung melihat ekspresi wajah Mama.

“Apa?” tanya Bian.

“Kamu gak turun? Gak sekolah?”

Lantas bocah itu mendelik. Kenapa belakangan ini waktu terasa begitu cepat saat dia tengah bersama Mama atau Papa. Sepertinya beberapa saat yang lalu mobil Mama baru saja keluar dari pekarangan rumah.

“Malah ngelamun!”

“Kok cepet banget sih, Ma?!”

“Apanya?” tanya Mama kebingungan.

“Gak jadi. Ya udah, ntar pulangnya dikabarin—Bian sekolah dulu—” Usai mengatakan itu, Bian sekonyong-konyong mengecup pipi Mama sebelum akhirnya melepas seat belt dan pergi begitu saja.

“Kalau Papa kamu anggep rumah paling nyaman. Ayah, kamu anggep apa, Bi?”

“Rumah paling aman.”

Bian ingat pernah berkata demikian seraya menggenggam erat tangan Om Yudhis saat tengah asyik duduk di teras rumah kawan papanya itu, beberapa bulan yang lalu—saat liburan usai kelulusannya di bangku sekolah menengah pertama.

Semua kawan Papa semasa muda itu baik, tapi Om Yudhis mungkin jadi satu-satunya sosok yang hampir setiap hari Bian temui sejak masih duduk di bangku taman kanak-kanak.

Sore ini, Bian kembali duduk dan merasakan dinginnya teras tersebut. Keramiknya masih sama seperti saat terakhir kali dia berkunjung. Berteman segelas es cappucino cincau buatan istri sang pemilik rumah, alias Tante Jupe, alias Tante Julia Paramitha yang rasanya luar biasa kemanisan! Bian beradu kepandaian bermain jenga dengan si pemilik rumah.

“Ayah jangan curang gitulah! Masa udah dipegang gak jadi dicabut?!” seru Bian. Matanya memicing menatap Om Yudhis, kesal.

“Gak sengaja kepegang, Bi!”

“BOONG!”

Seolah terkena dampak dari panasnya persaingan kedua laki-laki penuh ambisi itu—bukan cuman Tante Jupe yang berkeringat, tapi juga gelas yang sejak tadi nangkring di samping mereka.

Ngomong-ngomong soal Tante Jupe—bisa dibilang sebenarnya Bian ibarat cupid di antara Om Yudhis dan Tante Jupe. Dulu sekali, Bian kecil sering kali diantar jemput oleh Om Yudhis saat masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Sebab Papa sedang sibuk-sibuknya, dan Mama belum punya kendaraan pribadi untuk mengantar jemput Bian. Maka Papa menyerahkan tugas tersebut kepada Om Yudhis yang notabenenya adalah seorang sekertaris pribadi untuk Papa. Memang sangat out of the box, sih. Tapi Om Yudhis melakukan tugas tersebut dengan senang hati. Om Yudhis yang pada dasarnya memang sangat loyal pada Papa, secara tidak sadar menganggap Bian seperti anaknya sendiri. Ditambah lagi pada saat itu Om Yudhis masih melajang. Lantas, Om Yudhis yang ceria serta humoris itu dipertemukan dengan seorang ibu guru cantik—wali kelas Bian kecil.

Pertemuan-pertemuan singkat antar keduanya ternyata mampu menimbulkan percikan cinta. Dan yang Bian tahu, tidak lama dari kelulusannya—Om Yudhis dan Tante Jupe menikah.

Bian meringis. Tiba-tiba saja teringat cintanya yang baru saja ditolak. Bocah itu membuang napas dengan kasar.

“Udah ah mainnya!”

“Kok udahan?” tanya Tante Jupe terheran-heran.

Memang keadaan hati Sabian Aditama jauh lebih buruk dari remaja perempuan sekalipun. Sebentar cerah, sebentar mendung, sebentar lagi hujan petir.

“Jelek banget sih ini anak moodnya?! Lagi enak-enak main juga!” pekik Om Yudhis tidak terima.

Bian mencebik. Dua bola matanya yang polos menatap ke arah jengan. “Orang galau kok diajak main ginian ... gak jelas....”

Nah kan! Berbanding terbalik dengan Bian yang biasanya—saat bersama Om Yudhis, bahkan tanpa paksaan sedikitpun Bian akan menumpahkan semua keluh kesahnya.

Dalam beberapa kesempatan, Om Yudhis seperti yang Bian katakan sebelumnya. Yaitu tempat paling aman. Sebab, kadang ada kalanya yang dirasa nyaman belum tentu jadi yang teraman. Begitu pula sebaliknya.

Om Yudhis dan Tante Jupe saling beradu tatap. Apalagi ya kali ini?

Tante Jupe berbatuk kecil. “Tante masuk dulu, deh. Nanti abis ini Bian jangan lupa langsung mandi sore ya? Air angetnya Tante siapin dulu,” katanya sebelum memilih untuk meninggalkan sang suami beserta Bian di teras rumah.

...

Bian yang semula duduk tegap, kini bahunya merosot seolah kehilangan tulang punggungnya seketika.

“Gimana ya caranya ngobatin penyakit hati? Sakit banget ini, udah berhari-hari kok gak sembuh-sembuh,” kata Bian membuka percakapan.

Om Yudhis tertawa sumbang. “Sakit yang kayak gimana dulu nih?”

“Patah....”

“Dibawa ke yang bersangkutan, terus paksa suruh obatin. Kalo gak, ya obatin sendiri pelan-pelan.” Om Yudhis meraih gelas berisikan capuccino ekstra air es batu yang sudah mencair. Menyeruputnya, kemudian mengangguk singkat. Kini rasa minuman tersebut, tak semanis sebelumnya. “Pokoknya jangan coba-coba minta diobatin sama orang lain,” timpal lelaki itu.

Bian menarik sudut bibirnya. Yang membuat percakapan mereka seru adalah kalimat-kalimat yang tidak perlu diucapkan secara gamblang, tapi tetap jelas apa maksudnya.

“Takut gak, sih?”

“Takut kenapa?”

“Takut kayak ngemis ke yang bersangkutan,” jawab Bian begitu singkat.

Sontak Om Yudhis menggeleng penuh semangat. “Ngemis atau enggaknya, itu tergantung sama cara kamu.”

“Kalau Papa kamu anggep rumah paling nyaman. Ayah, kamu anggep apa, Bi?”

“Rumah paling aman.”

Bian ingat pernah berkata demikian seraya menggenggam erat tangan Om Yudhis saat tengah asyik duduk di teras rumah kawan papanya itu, beberapa bulan yang lalu—saat liburan usai kelulusannya di bangku sekolah menengah pertama.

Semua kawan Papa semasa muda itu baik, tapi Om Yudhis mungkin jadi satu-satunya sosok yang hampir setiap hari Bian temui sejak masih duduk di bangku taman kanak-kanak.

Sore ini, Bian kembali duduk dan merasakan dinginnya teras tersebut. Keramiknya masih sama seperti saat terakhir kali dia berkunjung. Berteman segelas es cappucino cincau buatan istri sang pemilik rumah, alias Tante Jupe, alias Tante Julia Paramitha yang rasanya luar biasa kemanisan! Bian beradu kepandaian bermain jenga dengan si pemilik rumah.

“Ayah jangan curang gitulah! Masa udah dipegang gak jadi dicabut?!” seru Bian. Matanya memicing menatap Om Yudhis, kesal.

“Gak sengaja kepegang, Bi!”

“BOONG!”

Seolah terkena dampak dari panasnya persaingan kedua laki-laki penuh ambisi itu—bukan cuman Tante Jupe yang berkeringat, tapi juga gelas yang sejak tadi nangkring di samping mereka.

Ngomong-ngomong soal Tante Jupe—bisa dibilang sebenarnya Bian ibarat cupid di antara Om Yudhis dan Tante Jupe. Dulu sekali, Bian kecil sering kali diantar jemput oleh Om Yudhis saat masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Sebab Papa sedang sibuk-sibuknya, dan Mama belum punya kendaraan pribadi untuk mengantar jemput Bian. Maka Papa menyerahkan tugas tersebut kepada Om Yudhis yang notabenenya adalah seorang sekertaris pribadi untuk Papa. Memang sangat out of the box, sih. Tapi Om Yudhis melakukan tugas tersebut dengan senang hati. Om Yudhis yang pada dasarnya memang sangat loyal pada Papa, secara tidak sadar menganggap Bian seperti anaknya sendiri. Ditambah lagi pada saat itu Om Yudhis masih melajang. Lantas, Om Yudhis yang ceria serta humoris itu dipertemukan dengan seorang ibu guru cantik—wali kelas Bian kecil.

Pertemuan-pertemuan singkat antar keduanya ternyata mampu menimbulkan percikan cinta. Dan yang Bian tahu, tidak lama dari kelulusannya—Om Yudhis dan Tante Jupe menikah.

Bian meringis. Tiba-tiba saja teringat cintanya yang baru saja ditolak. Bocah itu membuang napas dengan kasar.

“Udah ah mainnya!”

“Kok udahan?” tanya Tante Jupe terheran-heran.

Memang keadaan hati Sabian Aditama jauh lebih buruk dari remaja perempuan sekalipun. Sebentar cerah, sebentar mendung, sebentar lagi hujan petir.

“Jelek banget sih ini anak moodnya?! Lagi enak-enak main juga!” pekik Om Yudhis tidak terima.

Bian mencebik. Dua bola matanya yang polos menatap ke arah jengan. “Orang galau kok diajak main ginian ... gak jelas....”

Nah kan! Berbanding terbalik dengan Bian yang biasanya—saat bersama Om Yudhis, bahkan tanpa paksaan sedikitpun Bian akan menumpahkan semua keluh kesahnya.

Dalam beberapa kesempatan, Om Yudhis seperti yang Bian katakan sebelumnya. Yaitu tempat paling aman. Sebab, kadang ada kalanya yang dirasa nyaman belum tentu jadi yang teraman. Begitu pula sebaliknya.

Om Yudhis dan Tante Jupe saling beradu tatap. Apalagi ya kali ini?

Tante Jupe berbatuk kecil. “Tante masuk dulu, deh. Nanti abis ini Bian jangan lupa langsung mandi sore ya? Air angetnya Tante siapin dulu,” katanya sebelum memilih untuk meninggalkan sang suami beserta Bian di teras rumah.

...

Bian yang semula duduk tegap, kini bahunya merosot seolah kehilangan tulang punggungnya seketika.

“Gimana ya caranya ngobatin penyakit hati? Sakit banget ini, udah berhari-hari kok gak sembuh-sembuh,” kata Bian membuka percakapan.

Om Yudhis tertawa sumbang. “Sakit yang kayak gimana dulu nih?”

“Patah....”

“Dibawa ke yang bersangkutan, terus paksa suruh obatin. Kalo gak, ya obatin sendiri pelan-pelan.” Om Yudhis meraih gelas berisikan capuccino ekstra air es batu yang sudah mencair. Menyeruputnya, kemudian mengangguk singkat. Kini rasa minuman tersebut, tak semanis sebelumnya. “Pokoknya jangan coba-coba minta diobatin sama orang lain,” timpal lelaki itu.

Bian menarik sudut bibirnya. Yang membuat percakapan mereka seru adalah kalimat-kalimat yang tidak perlu diucapkan secara gamblang, tapi tetap jelas apa maksudnya.

“Takut gak, sih?”

“Takut kenapa?”

“Takut kayak ngemis ke yang bersangkutan,” jawab Bian begitu singkat.

Sontak Om Yudhis menggeleng penuh semangat. “Ngemis atau enggaknya, itu tergantung sama cara kamu.”

“Kalau Papa kamu anggep rumah paling nyaman. Ayah, kamu anggep apa, Bi?”

“Rumah paling aman.”

Bian ingat pernah berkata demikian seraya menggenggam erat tangan Om Yudhis saat tengah asyik duduk di teras rumah kawan papanya itu, beberapa bulan yang lalu—saat liburan usai kelulusannya di bangku sekolah menengah pertama.

Semua kawan Papa semasa muda itu baik, tapi Om Yudhis mungkin jadi satu-satunya sosok yang hampir setiap hari Bian temui sejak masih duduk di bangku taman kanak-kanak.

Sore ini, Bian kembali duduk dan merasakan dinginnya teras tersebut. Keramiknya masih sama seperti saat terakhir kali dia berkunjung. Berteman segelas es cappucino cincau buatan istri sang pemilik rumah, alias Tante Jupe, alias Tante Julia Paramitha yang rasanya luar biasa kemanisan! Bian beradu kepandaian bermain jenga dengan si pemilik rumah.

“Ayah jangan curang gitulah! Masa udah dipegang gak jadi dicabut?!” seru Bian. Matanya memicing menatap Om Yudhis, kesal.

“Gak sengaja kepegang, Bi!”

“BOONG!”

Seolah terkena dampak dari panasnya persaingan kedua laki-laki penuh ambisi itu—bukan cuman Tante Jupe yang berkeringat, tapi juga gelas yang sejak tadi nangkring di samping mereka.

Ngomong-ngomong soal Tante Jupe—bisa dibilang sebenarnya Bian ibarat cupid di antara Om Yudhis dan Tante Jupe. Dulu sekali, Bian kecil sering kali diantar jemput oleh Om Yudhis saat masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Sebab Papa sedang sibuk-sibuknya, dan Mama belum punya kendaraan pribadi untuk mengantar jemput Bian. Maka Papa menyerahkan tugas tersebut kepada Om Yudhis yang notabenenya adalah seorang sekertaris pribadi untuk Papa. Memang sangat out of the box, sih. Tapi Om Yudhis melakukan tugas tersebut dengan senang hati. Om Yudhis yang pada dasarnya memang sangat loyal pada Papa, secara tidak sadar menganggap Bian seperti anaknya sendiri. Ditambah lagi pada saat itu Om Yudhis masih melajang. Lantas, Om Yudhis yang ceria serta humoris itu dipertemukan dengan seorang ibu guru cantik—wali kelas Bian kecil.

Pertemuan-pertemuan singkat antar keduanya ternyata mampu menimbulkan percikan cinta. Dan yang Bian tahu, tidak lama dari kelulusannya—Om Yudhis dan Tante Jupe menikah.

Bian meringis. Tiba-tiba saja teringat cintanya yang baru saja ditolak. Bocah itu membuang napas dengan kasar.

“Udah ah mainnya!”

“Kok udahan?” tanya Tante Jupe terheran-heran.

Memang keadaan hati Sabian Aditama jauh lebih buruk dari remaja perempuan sekalipun. Sebentar cerah, sebentar mendung, sebentar lagi hujan petir.

“Jelek banget sih ini anak moodnya?! Lagi enak-enak main juga!” pekik Om Yudhis tidak terima.

Bian mencebik. Dua bola matanya yang polos menatap ke arah jengan. “Orang galau kok diajak main ginian ... gak jelas....”

Nah kan! Berbanding terbalik dengan Bian yang biasanya—saat bersama Om Yudhis, bahkan tanpa paksaan sedikitpun Bian akan menumpahkan semua keluh kesahnya.

Dalam beberapa kesempatan, Om Yudhis seperti yang Bian katakan sebelumnya. Yaitu tempat paling aman. Sebab, kadang ada kalanya yang dirasa nyaman belum tentu jadi yang teraman. Begitu pula sebaliknya.

Om Yudhis dan Tante Jupe saling beradu tatap. Apalagi ya kali ini?

Tante Jupe berbatuk kecil. “Tante masuk dulu, deh. Nanti abis ini Bian jangan lupa langsung mandi sore ya? Air angetnya Tante siapin dulu,” katanya sebelum memilih untuk meninggalkan sang suami beserta Bian di teras rumah.

...

Bian yang semula duduk tegap, kini bahunya merosot seolah kehilangan tulang punggungnya seketika.

“Gimana ya caranya ngobatin penyakit hati? Sakit banget ini, udah berhari-hari kok gak sembuh-sembuh,” kata Bian membuka percakapan.

Om Yudhis tertawa sumbang. “Sakit yang kayak gimana dulu nih?”

“Patah....”

“Dibawa ke yang bersangkutan, terus paksa suruh obatin. Kalo gak, ya obatin sendiri pelan-pelan.” Om Yudhis meraih gelas berisikan capuccino ekstra air es batu yang sudah mencair. Menyeruputnya, kemudian mengangguk singkat. Kini rasa minuman tersebut, tak semanis sebelumnya. “Pokoknya jangan coba-coba minta diobatin sama orang lain,” timpal lelaki itu.

Bian menarik sudut bibirnya. Yang membuat percakapan mereka seru adalah kalimat-kalimat yang tidak perlu diucapkan secara gamblang, tapi tetap jelas apa maksudnya.

“Takut gak, sih?”

“Takut kenapa?”

“Takut kayak ngemis ke yang bersangkutan,” jawab Bian begitu singkat.

Sontak Om Yudhis menggeleng penuh semangat. “Ngemis atau enggaknya, itu tergantung sama cara kamu.”

  • “Kalau Papa kamu anggep rumah paling nyaman. Ayah, kamu anggep apa, Bi?” -

  • “Rumah paling aman.” -

Bian ingat pernah berkata demikian seraya menggenggam erat tangan Om Yudhis saat tengah asyik duduk di teras rumah kawan papanya itu, beberapa bulan yang lalu—saat liburan usai kelulusannya di bangku sekolah menengah pertama.

Semua kawan Papa semasa muda itu baik, tapi Om Yudhis mungkin jadi satu-satunya sosok yang hampir setiap hari Bian temui sejak masih duduk di bangku taman kanak-kanak.

Sore ini, Bian kembali duduk dan merasakan dinginnya teras tersebut. Keramiknya masih sama seperti saat terakhir kali dia berkunjung. Berteman segelas es cappucino cincau buatan istri sang pemilik rumah, alias Tante Jupe, alias Tante Julia Paramitha yang rasanya luar biasa kemanisan! Bian beradu kepandaian bermain jenga dengan si pemilik rumah.

“Ayah jangan curang gitulah! Masa udah dipegang gak jadi dicabut?!” seru Bian. Matanya memicing menatap Om Yudhis, kesal.

“Gak sengaja kepegang, Bi!”

“BOONG!”

Seolah terkena dampak dari panasnya persaingan kedua laki-laki penuh ambisi itu—bukan cuman Tante Jupe yang berkeringat, tapi juga gelas yang sejak tadi nangkring di samping mereka.

Ngomong-ngomong soal Tante Jupe—bisa dibilang sebenarnya Bian ibarat cupid di antara Om Yudhis dan Tante Jupe. Dulu sekali, Bian kecil sering kali diantar jemput oleh Om Yudhis saat masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Sebab Papa sedang sibuk-sibuknya, dan Mama belum punya kendaraan pribadi untuk mengantar jemput Bian. Maka Papa menyerahkan tugas tersebut kepada Om Yudhis yang notabenenya adalah seorang sekertaris pribadi untuk Papa. Memang sangat out of the box, sih. Tapi Om Yudhis melakukan tugas tersebut dengan senang hati. Om Yudhis yang pada dasarnya memang sangat loyal pada Papa, secara tidak sadar menganggap Bian seperti anaknya sendiri. Ditambah lagi pada saat itu Om Yudhis masih melajang. Lantas, Om Yudhis yang ceria serta humoris itu dipertemukan dengan seorang ibu guru cantik—wali kelas Bian kecil.

Pertemuan-pertemuan singkat antar keduanya ternyata mampu menimbulkan percikan cinta. Dan yang Bian tahu, tidak lama dari kelulusannya—Om Yudhis dan Tante Jupe menikah.

Bian meringis. Tiba-tiba saja teringat cintanya yang baru saja ditolak. Bocah itu membuang napas dengan kasar.

“Udah ah mainnya!”

“Kok udahan?” tanya Tante Jupe terheran-heran.

Memang keadaan hati Sabian Aditama jauh lebih buruk dari remaja perempuan sekalipun. Sebentar cerah, sebentar mendung, sebentar lagi hujan petir.

“Jelek banget sih ini anak moodnya?! Lagi enak-enak main juga!” pekik Om Yudhis tidak terima.

Bian mencebik. Dua bola matanya yang polos menatap ke arah jengan. “Orang galau kok diajak main ginian ... gak jelas....”

Nah kan! Berbanding terbalik dengan Bian yang biasanya—saat bersama Om Yudhis, bahkan tanpa paksaan sedikitpun Bian akan menumpahkan semua keluh kesahnya.

Dalam beberapa kesempatan, Om Yudhis seperti yang Bian katakan sebelumnya. Yaitu tempat paling aman. Sebab, kadang ada kalanya yang dirasa nyaman belum tentu jadi yang teraman. Begitu pula sebaliknya.

Om Yudhis dan Tante Jupe saling beradu tatap. Apalagi ya kali ini?

Tante Jupe berbatuk kecil. “Tante masuk dulu, deh. Nanti abis ini Bian jangan lupa langsung mandi sore ya? Air angetnya Tante siapin dulu,” katanya sebelum memilih untuk meninggalkan sang suami beserta Bian di teras rumah.

...

Bian yang semula duduk tegap, kini bahunya merosot seolah kehilangan tulang punggungnya seketika.

“Gimana ya caranya ngobatin penyakit hati? Sakit banget ini, udah berhari-hari kok gak sembuh-sembuh,” kata Bian membuka percakapan.

Om Yudhis tertawa sumbang. “Sakit yang kayak gimana dulu nih?”

“Patah....”

“Dibawa ke yang bersangkutan, terus paksa suruh obatin. Kalo gak, ya obatin sendiri pelan-pelan.” Om Yudhis meraih gelas berisikan capuccino ekstra air es batu yang sudah mencair. Menyeruputnya, kemudian mengangguk singkat. Kini rasa minuman tersebut, tak semanis sebelumnya. “Pokoknya jangan coba-coba minta diobatin sama orang lain,” timpal lelaki itu.

Bian menarik sudut bibirnya. Yang membuat percakapan mereka seru adalah kalimat-kalimat yang tidak perlu diucapkan secara gamblang, tapi tetap jelas apa maksudnya.

“Takut gak, sih?”

“Takut kenapa?”

“Takut kayak ngemis ke yang bersangkutan,” jawab Bian begitu singkat.

Sontak Om Yudhis menggeleng penuh semangat. “Ngemis atau enggaknya, itu tergantung sama cara kamu.”

— “Kalau Papa kamu anggep rumah paling nyaman. Ayah, kamu anggep apa, Bi?”

— “Rumah paling aman.”

Bian ingat pernah berkata demikian seraya menggenggam erat tangan Om Yudhis saat tengah asyik duduk di teras rumah kawan papanya itu, beberapa bulan yang lalu—saat liburan usai kelulusannya di bangku sekolah menengah pertama.

Semua kawan Papa semasa muda itu baik, tapi Om Yudhis mungkin jadi satu-satunya sosok yang hampir setiap hari Bian temui sejak masih duduk di bangku taman kanak-kanak.

Sore ini, Bian kembali duduk dan merasakan dinginnya teras tersebut. Keramiknya masih sama seperti saat terakhir kali dia berkunjung. Berteman segelas es cappucino cincau buatan istri sang pemilik rumah, alias Tante Jupe, alias Tante Julia Paramitha yang rasanya luar biasa kemanisan! Bian beradu kepandaian bermain jenga dengan si pemilik rumah.

“Ayah jangan curang gitulah! Masa udah dipegang gak jadi dicabut?!” seru Bian. Matanya memicing menatap Om Yudhis, kesal.

“Gak sengaja kepegang, Bi!”

“BOONG!”

Seolah terkena dampak dari panasnya persaingan kedua laki-laki penuh ambisi itu—bukan cuman Tante Jupe yang berkeringat, tapi juga gelas yang sejak tadi nangkring di samping mereka.

Ngomong-ngomong soal Tante Jupe—bisa dibilang sebenarnya Bian ibarat cupid di antara Om Yudhis dan Tante Jupe. Dulu sekali, Bian kecil sering kali diantar jemput oleh Om Yudhis saat masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Sebab Papa sedang sibuk-sibuknya, dan Mama belum punya kendaraan pribadi untuk mengantar jemput Bian. Maka Papa menyerahkan tugas tersebut kepada Om Yudhis yang notabenenya adalah seorang sekertaris pribadi untuk Papa. Memang sangat out of the box, sih. Tapi Om Yudhis melakukan tugas tersebut dengan senang hati. Om Yudhis yang pada dasarnya memang sangat loyal pada Papa, secara tidak sadar menganggap Bian seperti anaknya sendiri. Ditambah lagi pada saat itu Om Yudhis masih melajang. Lantas, Om Yudhis yang ceria serta humoris itu dipertemukan dengan seorang ibu guru cantik—wali kelas Bian kecil.

Pertemuan-pertemuan singkat antar keduanya ternyata mampu menimbulkan percikan cinta. Dan yang Bian tahu, tidak lama dari kelulusannya—Om Yudhis dan Tante Jupe menikah.

Bian meringis. Tiba-tiba saja teringat cintanya yang baru saja ditolak. Bocah itu membuang napas dengan kasar.

“Udah ah mainnya!”

“Kok udahan?” tanya Tante Jupe terheran-heran.

Memang keadaan hati Sabian Aditama jauh lebih buruk dari remaja perempuan sekalipun. Sebentar cerah, sebentar mendung, sebentar lagi hujan petir.

“Jelek banget sih ini anak moodnya?! Lagi enak-enak main juga!” pekik Om Yudhis tidak terima.

Bian mencebik. Dua bola matanya yang polos menatap ke arah jengan. “Orang galau kok diajak main ginian ... gak jelas....”

Nah kan! Berbanding terbalik dengan Bian yang biasanya—saat bersama Om Yudhis, bahkan tanpa paksaan sedikitpun Bian akan menumpahkan semua keluh kesahnya.

Dalam beberapa kesempatan, Om Yudhis seperti yang Bian katakan sebelumnya. Yaitu tempat paling aman. Sebab, kadang ada kalanya yang dirasa nyaman belum tentu jadi yang teraman. Begitu pula sebaliknya.

Om Yudhis dan Tante Jupe saling beradu tatap. Apalagi ya kali ini?

Tante Jupe berbatuk kecil. “Tante masuk dulu, deh. Nanti abis ini Bian jangan lupa langsung mandi sore ya? Air angetnya Tante siapin dulu,” katanya sebelum memilih untuk meninggalkan sang suami beserta Bian di teras rumah.

...

Bian yang semula duduk tegap, kini bahunya merosot seolah kehilangan tulang punggungnya seketika.

“Gimana ya caranya ngobatin penyakit hati? Sakit banget ini, udah berhari-hari kok gak sembuh-sembuh,” kata Bian membuka percakapan.

Om Yudhis tertawa sumbang. “Sakit yang kayak gimana dulu nih?”

“Patah....”

“Dibawa ke yang bersangkutan, terus paksa suruh obatin. Kalo gak, ya obatin sendiri pelan-pelan.” Om Yudhis meraih gelas berisikan capuccino ekstra air es batu yang sudah mencair. Menyeruputnya, kemudian mengangguk singkat. Kini rasa minuman tersebut, tak semanis sebelumnya. “Pokoknya jangan coba-coba minta diobatin sama orang lain,” timpal lelaki itu.

Bian menarik sudut bibirnya. Yang membuat percakapan mereka seru adalah kalimat-kalimat yang tidak perlu diucapkan secara gamblang, tapi tetap jelas apa maksudnya.

“Takut gak, sih?”

“Takut kenapa?”

“Takut kayak ngemis ke yang bersangkutan,” jawab Bian begitu singkat.

Sontak Om Yudhis menggeleng penuh semangat. “Ngemis atau enggaknya, itu tergantung sama cara kamu.”

  • “Kalau Papa kamu anggep rumah paling nyaman. Ayah, kamu anggep apa, Bi?”

–“Rumah paling aman.”

Bian ingat pernah berkata demikian seraya menggenggam erat tangan Om Yudhis saat tengah asyik duduk di teras rumah kawan papanya itu, beberapa bulan yang lalu—saat liburan usai kelulusannya di bangku sekolah menengah pertama.

Semua kawan Papa semasa muda itu baik, tapi Om Yudhis mungkin jadi satu-satunya sosok yang hampir setiap hari Bian temui sejak masih duduk di bangku taman kanak-kanak.

Sore ini, Bian kembali duduk dan merasakan dinginnya teras tersebut. Keramiknya masih sama seperti saat terakhir kali dia berkunjung. Berteman segelas es cappucino cincau buatan istri sang pemilik rumah, alias Tante Jupe, alias Tante Julia Paramitha yang rasanya luar biasa kemanisan! Bian beradu kepandaian bermain jenga dengan si pemilik rumah.

“Ayah jangan curang gitulah! Masa udah dipegang gak jadi dicabut?!” seru Bian. Matanya memicing menatap Om Yudhis, kesal.

“Gak sengaja kepegang, Bi!”

“BOONG!”

Seolah terkena dampak dari panasnya persaingan kedua laki-laki penuh ambisi itu—bukan cuman Tante Jupe yang berkeringat, tapi juga gelas yang sejak tadi nangkring di samping mereka.

Ngomong-ngomong soal Tante Jupe—bisa dibilang sebenarnya Bian ibarat cupid di antara Om Yudhis dan Tante Jupe. Dulu sekali, Bian kecil sering kali diantar jemput oleh Om Yudhis saat masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Sebab Papa sedang sibuk-sibuknya, dan Mama belum punya kendaraan pribadi untuk mengantar jemput Bian. Maka Papa menyerahkan tugas tersebut kepada Om Yudhis yang notabenenya adalah seorang sekertaris pribadi untuk Papa. Memang sangat out of the box, sih. Tapi Om Yudhis melakukan tugas tersebut dengan senang hati. Om Yudhis yang pada dasarnya memang sangat loyal pada Papa, secara tidak sadar menganggap Bian seperti anaknya sendiri. Ditambah lagi pada saat itu Om Yudhis masih melajang. Lantas, Om Yudhis yang ceria serta humoris itu dipertemukan dengan seorang ibu guru cantik—wali kelas Bian kecil.

Pertemuan-pertemuan singkat antar keduanya ternyata mampu menimbulkan percikan cinta. Dan yang Bian tahu, tidak lama dari kelulusannya—Om Yudhis dan Tante Jupe menikah.

Bian meringis. Tiba-tiba saja teringat cintanya yang baru saja ditolak. Bocah itu membuang napas dengan kasar.

“Udah ah mainnya!”

“Kok udahan?” tanya Tante Jupe terheran-heran.

Memang keadaan hati Sabian Aditama jauh lebih buruk dari remaja perempuan sekalipun. Sebentar cerah, sebentar mendung, sebentar lagi hujan petir.

“Jelek banget sih ini anak moodnya?! Lagi enak-enak main juga!” pekik Om Yudhis tidak terima.

Bian mencebik. Dua bola matanya yang polos menatap ke arah jengan. “Orang galau kok diajak main ginian ... gak jelas....”

Nah kan! Berbanding terbalik dengan Bian yang biasanya—saat bersama Om Yudhis, bahkan tanpa paksaan sedikitpun Bian akan menumpahkan semua keluh kesahnya.

Dalam beberapa kesempatan, Om Yudhis seperti yang Bian katakan sebelumnya. Yaitu tempat paling aman. Sebab, kadang ada kalanya yang dirasa nyaman belum tentu jadi yang teraman. Begitu pula sebaliknya.

Om Yudhis dan Tante Jupe saling beradu tatap. Apalagi ya kali ini?

Tante Jupe berbatuk kecil. “Tante masuk dulu, deh. Nanti abis ini Bian jangan lupa langsung mandi sore ya? Air angetnya Tante siapin dulu,” katanya sebelum memilih untuk meninggalkan sang suami beserta Bian di teras rumah.

...

Bian yang semula duduk tegap, kini bahunya merosot seolah kehilangan tulang punggungnya seketika.

“Gimana ya caranya ngobatin penyakit hati? Sakit banget ini, udah berhari-hari kok gak sembuh-sembuh,” kata Bian membuka percakapan.

Om Yudhis tertawa sumbang. “Sakit yang kayak gimana dulu nih?”

“Patah....”

“Dibawa ke yang bersangkutan, terus paksa suruh obatin. Kalo gak, ya obatin sendiri pelan-pelan.” Om Yudhis meraih gelas berisikan capuccino ekstra air es batu yang sudah mencair. Menyeruputnya, kemudian mengangguk singkat. Kini rasa minuman tersebut, tak semanis sebelumnya. “Pokoknya jangan coba-coba minta diobatin sama orang lain,” timpal lelaki itu.

Bian menarik sudut bibirnya. Yang membuat percakapan mereka seru adalah kalimat-kalimat yang tidak perlu diucapkan secara gamblang, tapi tetap jelas apa maksudnya.

“Takut gak, sih?”

“Takut kenapa?”

“Takut kayak ngemis ke yang bersangkutan,” jawab Bian begitu singkat.

Sontak Om Yudhis menggeleng penuh semangat. “Ngemis atau enggaknya, itu tergantung sama cara kamu.”

Sudah tujuh hari Bian sibuk meratapi tragisnya nasib percintaannya dengan seorang Diajeng Pramesti. Mungkin akan bertambah menjadi sembilan, sepuluh atau bahkan banyak hari lagi kedepan.

Makan tak selera, tubuh tak semangat, tidur larut kini jadi kebiasaannya. Cinta remaja begini ya.

Sering kali Bian ingin sekali kembali menyesap sebatang rokok yang dulu sempat jadi kawan setianya. Tapi Bian ingat, dia sudah pernah berjanji pada Mama. Bisa-bisa nanti Mama mengamuk tak karuan kalau lagi-lagi memergokinya merokok, kemudian habislah Bian diceramahi panjang kali lebar oleh Papa.

Dalam redupnya pencahayaan kamar, Bian memeluk sebuah gitar akustik milik Papa. Disaat-saat seperti ini, bakat terpendam Bian ada gunanya juga. Bisa dijadikan pengiring rasa kegagalan, serta kekecewaan yang dia derita belakangan.

“I want a perfect body I want a perfect soul I want you to notice When I'm not around”

Sembari memetik setiap senar gitar dengan tenaga seadanya, Bian bernyanyi. Bocah itu sepenuhnya memikirkan Ajeng. Suara serak sisa tangisannya terdengar begitu jelas. Bian sedikit tak menyangka akan menyukai Ajeng sampai seperti ini.

“So fuckin' special I wish I was special”

Bian menarik napas dalam-dalam. Kalau boleh jujur sejak hari di mana Ajeng menolak pernyataan cintanya mentah-mentah, hatinya seolah berdenyut nyeri.

Sebenarnya sakit hati Bian bukan sepenuhnya tanggung jawab Ajeng. Bian tahu betul akan hal itu. Dia hanya butuh seseorang untuk disalahkan.

Perihal trauma yang mungkin Ajeng alami juga sedikit mengganggu pikiran Bian malam itu. Dalam benaknya khawatir kalau-kalau pernyataan cinta tempo hari lalu dapat membebani gadis tersebut. Pasalnya secara terang-terangan Ajeng berkata kalau dirinya juga memiliki perasaan yang sama.

“But I'm a creep I'm a weirdo What the hell I doin' here? I don't belong here”

Kemudian, tiba-tiba saja terdengar suara tepukan tangan yang membuat Bian menghentikan kegiatannya seketika. Dan pelakunya adalah Papa—si pemilik gitar! Kemunculan persis seperti jin lampu ajaib milik Aladin.

“Papa ngapain sih?” Bian bangkit dari posisi wenaknya.

“Bagus nyanyinya, kayak orang yang lagi galau.”

Mendengar kalimat tersebut, lantas Bian mendengkus. Emang lagi galau!

“Papa ngapain tiba-tiba masuk kamar Bian?”

Papa tergelak. Bian yang jauh lebih emosional dari biasanya, menjadi bukti kebenaran dari apa yang dikatakan oleh Ozi.

Tanpa sepatah katapun, Papa merangkul Bian. Kembali mengajaknya untuk duduk di atas sofa yang mengarah langsung pada sebuah jendela kaca dengan bukaan cukup lebar. Akhir-akhir ini hujan sering kali turun, kemudian menjadi sebuah pemandangan yang sendu dari dalam kamar Bian.

“Kalau kita bener-bener suka sama orang, ada yang lebih penting daripada status, Bi. Kamu tau gak, apa?” kata Papa. Spontan Bian menggeleng. “Bisa terus ada di sekitar orang itu.”

Bian geming.

“Sekarang pikir ... yang kamu butuhin statusnya atau orangnya?”

Sepersekian detik Bian merinding. Kira-kira dari mana Papa tau? Meski begitu kali ini Bian tak ambil pusing—kalau bukan Zaid, ya sudah pasti Ozi lagi.

Bian menghela napas berat. “Bian butuh orangnya, Pa.”

Papa terkesiap, lalu mengangguk. Bagaimanapun Papa juga pernah muda. Perasaan seperti itu bukan hal yang asing lagi baginya.

Tentu saja malam ini Papa yang berpengalaman bukan datang untuk mengejek Bian, melainkan ingin memberi sebuah wejangan kepada Bian yang baru merasakan cinta.

Dengan wajah serius yang tampaknya sengaja dibuat-buat, Papa menekuk kakinya. “Kalau gitu udah cukup sedih-sedihnya. Anggep aja kayak gak pernah ada kejadian apa-apa antara kamu sama dia. Tetep jadi diri kamu yang biasanya, di depan dia. Percaya sama Papa ... entah itu kapan, tapi lama kelamaan dia pasti juga mau punya hubungan yang lebih sama kamu. Karna dia udah terbiasa sama kamu. Udah bergantung ke kamu. Yah, itung-itung sekalian latihan buat kamu setia sama satu perempuan, Bi.”

Bian hanya mampu melongo tak percaya. Di luar dugaan, Papa berkata demikian.

“Gak usah heran gitu. Papa kan juga pernah muda.”

“Bian bingung harus mulai lagi dari mana.” Bahu Bian merosot pada sandaran sofa.

“Ya biasanya gimana?”

“Biasanya chatan.”

“Ya udah, sekarang chat orangnya.”

“Gak siap...,” kata Bian praktis membuat Papa mengusap kepalanya dengan sangat gemas.

“Payah banget kamu, Bi.”

Sudah tujuh hari Bian sibuk meratapi tragisnya nasib percintaannya dengan seorang Diajeng Pramesti. Mungkin akan bertambah menjadi sembilan, sepuluh atau bahkan banyak hari lagi kedepan.

Makan tak selera, tubuh tak semangat, tidur larut kini jadi kebiasaannya. Cinta remaja begini ya. Sering kali Bian ingin sekali kembali menyesap sebatang rokok yang dulu sempat jadi kawan setianya. Tapi Bian ingat, dia sudah berjanji pada Mama. Bisa-bisa nanti Mama mengamuk tak karuan, kemudian habislah Bian diceramahi panjang kali lebar oleh Papa.

Dalam redupnya pencahayaan kamar, Bian memeluk sebuah gitar akustik milik Papa. Disaat-saat seperti ini, bakat terpendam Bian ada gunanya juga. Bisa dijadikan pengiring rasa kegagalan, serta kekecewaan yang dia derita belakangan.

“I want a perfect body I want a perfect soul I want you to notice When I'm not around”

Sembari memetik setiap senar gitar dengan tenaga seadanya, Bian bernyanyi. Bocah itu sepenuhnya memikirkan Ajeng. Suara serak sisa tangisannya terdengar begitu jelas. Bian sedikit tak menyangka akan menyukai Ajeng sampai seperti ini.

“So fuckin' special I wish I was special”

Bian menarik napas dalam-dalam. Kalau boleh jujur sejak hari di mana Ajeng menolak pernyataan cintanya mentah-mentah, hatinya seolah berdenyut nyeri.

Sebenarnya sakit hati Bian bukan sepenuhnya tanggung jawab Ajeng. Bian tahu betul akan hal itu. Dia hanya butuh seseorang untuk disalahkan.

Perihal trauma yang mungkin Ajeng alami juga sedikit mengganggu pikiran Bian malam itu. Dalam benaknya khawatir kalau-kalau pernyataan cinta tempo hari lalu dapat membebani gadis tersebut. Pasalnya secara terang-terangan Ajeng berkata kalau dirinya juga memiliki perasaan yang sama.

“But I'm a creep I'm a weirdo What the hell I doin' here? I don't belong here”

Kemudian, tiba-tiba saja terdengar suara tepukan tangan yang membuat Bian menghentikan kegiatannya seketika. Dan pelakunya adalah Papa—si pemilik gitar! Kemunculan persis seperti jin lampu ajaib milik Aladin.

“Papa ngapain sih?” Bian bangkit dari posisi wenaknya.

“Bagus nyanyinya, kayak orang yang lagi galau.”

Mendengar kalimat tersebut, lantas Bian mendengkus. Emang lagi galau!

“Papa ngapain tiba-tiba masuk kamar Bian?”

Papa tergelak. Bian yang jauh lebih emosional dari biasanya, menjadi bukti kebenaran dari apa yang dikatakan oleh Ozi.

Tanpa sepatah katapun, Papa merangkul Bian. Kembali mengajaknya untuk duduk di atas sofa yang mengarah langsung pada sebuah jendela kaca dengan bukaan cukup lebar. Akhir-akhir ini hujan sering kali turun, kemudian menjadi sebuah pemandangan yang sendu dari dalam kamar Bian.

“Kalau kita bener-bener suka sama orang, ada yang lebih penting daripada status, Bi. Kamu tau gak, apa?” kata Papa. Spontan Bian menggeleng. “Bisa terus ada di sekitar orang itu.”

Bian geming.

“Sekarang pikir ... yang kamu butuhin statusnya atau orangnya?”

Sepersekian detik Bian merinding. Kira-kira dari mana Papa tau? Meski begitu kali ini Bian tak ambil pusing—kalau bukan Zaid, ya sudah pasti Ozi lagi.

Bian menghela napas berat. “Bian butuh orangnya, Pa.”

Papa terkesiap, lalu mengangguk. Bagaimanapun Papa juga pernah muda. Perasaan seperti itu bukan hal yang asing lagi baginya.

Tentu saja malam ini Papa yang berpengalaman bukan datang untuk mengejek Bian, melainkan ingin memberi sebuah wejangan kepada Bian yang baru merasakan cinta.

Dengan wajah serius yang tampaknya sengaja dibuat-buat, Papa menekuk kakinya. “Kalau gitu udah cukup sedih-sedihnya. Anggep aja kayak gak pernah ada kejadian apa-apa antara kamu sama dia. Tetep jadi diri kamu yang biasanya, di depan dia. Percaya sama Papa ... entah itu kapan, tapi lama kelamaan dia pasti juga mau punya hubungan yang lebih sama kamu. Karna dia udah terbiasa sama kamu. Udah bergantung ke kamu. Yah, itung-itung sekalian latihan buat kamu setia sama satu perempuan, Bi.”

Bian hanya mampu melongo tak percaya. Di luar dugaan, Papa berkata demikian.

“Gak heran gitu. Papa kan juga pernah muda.”

“Bian bingung harus mulai lagi dari mana.” Bahu Bian merosot pada sandaran sofa.

“Ya biasanya gimana?”

“Biasanya chatan.”

“Ya udah, sekarang chat orangnya.”

“Gak siap...,” kata Bian praktis membuat Papa mengusap kepalanya dengan sangat gemas.

“Payah banget kamu, Bi.”

Mama itu, bisa dibilang yang paling tahu watak Bian. Berkacak sangar seperti tokoh gatot kaca, padahal aslinya tidak lebih kuat dari hellokitty.

Melihat bagaimana Bian menangis di hadapan Papa, Mama pikir sepertinya dunia tidak sedang baik-baik saja. Hampir wajah Papa dihantam dengan bantal sofa oleh Mama. Sebab, Mama kira bayi besarnya itu menangis karena sang papa memarahinya semata-mata karena nilai rapot yang merah semua atau bagaimana. Ternyata bukan.

Di sini lah Mama dan Bian sekarang. Di dalam sebuah kamar yang nuansa dan interiornya sebelas dua belas dengan kamar Papa semasa muda. Yah, itu menurut Mama.

Bian duduk sembari memeluk Mama erat-erat. Nyaman mungkin? Tak lupa meminta agar punggungnya terus diusap-usap oleh Mama. Kapan lagi? Mumpung ada kesempatan. Toh, Bian sudah kepalang malu karena kejadian menangis di hadapan Papa beberapa menit yang lalu.

“Nilai kamu gak jelek-jelek banget, tuh?” kata Mama, sambil menunjuk buku rapot pada Bian yang masih setia dalam dekapannya.

Bian menggeleng. Dia yakin bahwa nilai tersebut tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan nilai teman sekelasnya. “Jelek itu....”

Lantas mau tidak mau Mama mengalah. Dilihat-lihat suasana hati Bian masih belum membaik. Takut Bian tersinggung pada akhirnya.

“Nangis sambil peluk Papa enak, gak?” tanya Mama. Nadanya seolah sengaja menggoda Bian.

Kalau boleh jujur, Bian suka bagaimana cara Papa menenangkannya. Bian suka kala bahu Papa yang jauh lebih lebar dari miliknya itu, mendekap tubuhnya erat. Seperti kembali ke masa lalu. Saat Bian masih berusia sekitar lima, sampai depan tahun. Momen seperti itu, kini langka. Bahkan selang beberapa menit setelah pelukan seperti teletubbies—Papa harus langsung melakukan meeting online dengan rekan kerjanya. Oleh karena itu Mama bertanggung jawab mengambil alih Bian.

“Dulu itu ... pas kamu masih bayi, kayaknya Papa yang lebih sering gendong kamu daripada Mama. Paling tuh ya, Mama gendong kamu kalau mau bikin kamu tidur aja. Dulu, Papa over protective ke kamu, Bi.”

Sontak Bian ngangkat dagunya. Mencoba menatap Mama—masih dalam keadaan memeluknya. Dasar si manja!

“Masa iya Papa over protective?” tanya Bian, penasaran.

Sebenarnya sampai detik ini, Bian masih sering menjadi korban ke-over protective-an Papa. Namun, ada sedikit rasa penasaran perihal seperti apa Papa saat dia masih kecil.

Mama mengangguk mantap, sampai dagunya tidak sengaja membentur pucuk kepala Bian. “Dulu—pas kamu baru lahir—gak ada yang boleh pegang kamu kecuali Mama, sama Papa sendiri. Nenek kamu, kakek kamu, pokoknya semua orang tuh gak boleh! Kamu tau gak apa alesan Papa sampai kayak gitu?”

“Apa?”

“Papa gak mau kulit kamu iritasi karna kontak fisik sama banyak orang,” kata Mama, lalu terkekeh. Agaknya Mama masih tak habis pikir dengan jalan pikiran Papa pada saat itu.

“Pantes Bian kayaknya cucu nenek yang paling gak akrab sama Nenek, ya?”

Mendengar perkataan Bian barusan, sontak Mama tergelak bukan main. Secara tidak langsung Mama mengiyakan opini Bian. Memang di antara cucu-cucu mertuanya itu, hanya Bian yang tampaknya menutup diri. Malas berinteraksi dengan dengan keluarga besar kecuali dengan Om Jemi—adik Papa. Namun, itupun tak terlalu sering.

“Kamu harus akur-akur sama nenek kamu, bi.”

“Kenapa?”

“Biar dapet warisan.”

Di luar dugaan. Bian mendorong Mama, sampai Mama terguling di atas ranjang sembari tertawa terbahak-bahak.

“SI MAMA BISA-BISANYA!”