Balada Bucin Sebelanga
Kalau biasanya di hari Sabtu dan Minggu Bian akan sekonyong-konyong merangkul pundak Zaid sepulang les untuk dia ajak mampir ke rumahnya—akhir-akhir ini tidak lagi. Bahkan kini Bian berangkat diantar oleh Mama, bukan lagi menebeng motor bebek milik Zaid yang sepertinya hampir setiap hari dimandikan itu. Sebab, kalau dilihat-lihat knalpotnya selalu kinclong di situasi apapun. Jangan tanya lalu bagaimana pulangnya? Ya naik angkutan umum demi melancong bersama Diajeng Pramesti—sang kekasih bayangan. Konon katanya kasmaran anak remaja sering kali berdampak mengesampingkan pertemanan bagi yang tengah merasakan. Mungkin benar adanya.
Lalu bicara soal Ozi, agaknya Bian hampir melupakan pemuda itu. Sebab, saat ini kelas dua belas sudah dibebaskan dari kegiatan belajar mengajar apapun, jadi dia jarang sekali melihat Ozi. Kendati begitu, saking asyik mengukir kisah asmara bersama sang gadis yang notabenenya bukan kekasihnya itu—Bian sampai tak punya waktu untuk menanyakan bagaimana kabar Ozi, atau sekedar berdebat dengan salah satu di antara Ozi dan Zaid melalui grup online.
“Bulan depan Papa nikah,” kata Ajeng di dalam keheningan bus Transjakarta.
Bian meringis. Pantas saja belakangan ini wajah Ajeng tampak sedikit masam meski masih ada sedikit manis-manisnya. Tujuan Bian mengajak Ajeng pergi ke ancol di Sabtu sore ini ya bisa dibilang sebuah usaha untuk menghilangkan masam di wajahnya itu, tapi ternyata justru sebaliknya. Wajah Ajeng kian kusut usai mengatakan kalimat barusan.
“Terus ... kamu gak happy, ya?” tanya Bian. Bodohnya dia menanyakan hal yang jelas-jelas sudah dia ketahui apa jawabannya.
“Mau ada seratus perempuan baik pun yang coba buat gantiin Mama, buat aku gak ada yang bisa, Sab.” Kalau saja bukan di tempat umum seperti ini, mungkin Ajeng akan kembali menangis. Apalagi yang lebih sedih selain menjadi satu-satunya saksi kehancuran keluarga saat masih kecil dan ditinggal selama-lamanya oleh seorang ibu saat beranjak besar?
Ikhlas, melupakan, kemudian menerima orang baru kan bukan perkara yang mudah.
Bian membentangkan sebelah tangannya persis di depan wajah Ajeng yang memerah sebab sepertinya tengah menahan kesedihan. “Daleman aku tipis, nanti kalo aku lepas hoodie ini buat nutupin kamu nangis, bisa-bisa kamu dikira jalan sama gembel ... jadi, nangis di sini aja. Di lengan aku.”
Alih-alih merasa terharu, Ajeng justru menatap Bian dengan ekspresi wajah datar sambil meneteskan air mata yang semula dia tampung. Kemudian, tanpa mengatakan apapun, Ajeng mengeluarkan sebungkus tisu dalam tasnya.
Bian jelas tergelak. Apalagi saat Ajeng berlaga mengusap air matanya dengan gestur yang berlebihan.
“Omong-omong, aku udah lama gak liat kamu bareng Zaid. Biasanya berduaan, kan?” tanya Ajeng.
Bian geming seketika. Mungkin kalau Ajeng tidak menyinggung soal ini, Bian tidak akan sadar bahkan sampai beberapa hari kedepan. Ajeng sendiri sedikit banyak sadar kalau yang menyebabkan kerenggangan hubungan pertemanan Bian dan Zaid bisa jadi adalah dirinya. Pasalnya bisa hampir semalaman Bian mengirimi dia pesan, sementara sejak pagi sampai sore Bian menghabiskan waktunya dengan berada di sisi Ajeng. Maka sudah dapat dipastikan bahwa Bian tidak lagi memiliki waktu untuk bermain dengan Zaid seperti dulu.
“Sab....”
Sabian berdeham singkat, seraya menatap Ajeng.
“Pikiran kamu itu harusnya bisa lebih luas, dan gak melulu tentang aku. Bukannya mau kepedean, ya, tapi jelas-jelas kamu pagi, siang, sore, malem ngechat aku terus. Aku gak keberatan sama sekali, Sab. Masalahnya itu bukan kewajiban kamu. Apa kamu gak kepikiran? Mungkin aja Zaid kangen diajak main.” Dengan penuh kehati-hatian Ajeng berkata demikian. Ajeng hanya tidak mau Zaid mengira kalau dia merebut Bian dari pertemanannya.
Ajeng memposisikan tangannya di bawah dagu Bian. Sambil tersenyum dia mengusap-usap dagu Bian dengan lembut. “Aku baru sadar kalo kamu selalu kayak gini.”
Bian menaikan sebelah alisnya, bingung. Kalau boleh jujur, berada sedekat ini dengan Ajeng membuat jantung terus berdebar tak karuan.
“Selalu kayak anak kecil. Apa-apa masih harus dikasih tau.”
Lantas Bian tersenyum. Senyum sumringah sampai-sampai kedua matanya menyipit sempurna—membentuk selayaknya bulan sabit. “Kamu juga selalu kayak gini, ya?” tanya Bian. Kali ini Bian menangkup kedua tangan Ajeng, sambil mengganti ekspresi wajahnya menjadi lebih serius.
“Aku kayak gimana?” sahut Ajeng. Pasalnya dia tidak merasa telah melakukan sesuatu yang mencolok perhatian.
“Kayak Mama. Selalu bikin aku jadi anak kecil.”
“Enggak. Itu sih naluri kamu aja.”
Ketika berbicara dengan Ajeng, Bian seringkali lupa waktu. Padahal kalau dipikir-pikir jarak dari tempat les mereka menuju ancol terbilang lumayan, tapi entah kenapa rasanya seperti hanya setempongan saja.
Saat bus Transjakarta yang mereka tumpangi itu perlahan berhenti, untuk menurunkan para penumpangnya di halte busway—semua penumpangnya berdiri, termasuk Bian dan Ajeng. Bian sengaja menggenggam erat tangan Ajeng. Khawatir kalau-kalau gadis itu mungkin kehilangan keseimbangan atau yang lainnya.
“Jangan modus ya Sabian!”
“Aku pengangin biar kamu gak guling-guling! Bukannya makasih? Kalo modus tuh gini!” Detik kemudian Bian merangkul pundak Ajeng. Dan saat lengannya baru menyentuh pundak gadis itu, Bian langsung mendapat tatapan; lepasin atau burung lo gue tendang?! Dengan gerak secepat kilat, Bian menarik tangan sambil cengar-cengir.
“Kamu harus tau kalo seumur hidup aku ... enam belas tahun, lebih sepuluh bulan—kamu itu satu-satunya cewek yang aku ajak duduk di pinggir pantai berduaan kayak gini. Mama aja gak pernah! Kamu beruntung soalnya aku sesuka itu sama kamu!” kata Bian dengan nada setengah jumawa.
Ajeng menarik sudut bibirnya seketika. Dia mengangguk-angguk seakan setuju. Sempat terlintas dalam benaknya bahwa mungkin sampai detik ini Bian mendapat limpahan kasih sayang yang berlebihan dari orang-orang di sekitarnya, sampai-sampai pemuda itu nekad mengamalkan banyak kasih sayang pada seorang gadis yang notabenenya hanya sekedar teman dekat baginya, tidak lebih.
Sorot mata Ajeng kini fokus pada satu objek di depan sana. Pada ombak kecil yang mengarah ke mereka. Ajeng sadar kalau satu-satunya hal menjadi ujung tombak keputusannya untuk menolak seorang Sabian Aditama adalah perasaannya sendiri. Kenapa? Sebab, sejak kecil yang Ajeng ketahui hanya perihal pertengkaran kedua orangtuanya. Sebab, saat beranjak besar, alih-alih semuanya membaik—dia justru mendapat kabar duka yang berasal dari sang mama. Lalu, sebentar lagi dia akan tiba di titik lara selanjutnya. Dilupakan oleh cinta pertamanya—Papa. Sebab Papa akan segera menikah untuk kedua kalinya. Maka, saat hari di mana Bian datang untuk menawarkan banyak bentuk kasih sayang, yang Ajeng rasakan malah perasaan khawatir serta takut kehilangan.
Kalau ditanya soal bagaimana perasaan Ajeng sendiri terhadap Bian, sepertinya sudah cukup jelas. Bahkan raut wajah gadis itu selalu menggambarkan keceriaan tatkala ada di dekat Bian. Lagi pula, untuk seusia mereka, bukan menjadi hal yang sulit untuk saling memiliki ketertarikan terhadap lawan jenis.
“Kalo setelah semua wishlist aku bareng kamu udah selesai, tapi kamu belom mau jadi pacar aku—gapapa. Aku janji buat lepasin kamu dengan lapang dada,” kata Bian. Tangan kanannya sengaja memukul dadanya sendiri seolah teguh mengatakan hal tersebut. Sontak Ajeng terkekeh malu meski bukan dia yang mengatakannya.
“Aku serius!” timpal Bian. Lalu dia sedikit memutar tubuhnya demi menghadap Ajeng sepenuhnya. “Tapi ... kita bisa tetep jadi temen, kan?”
“Boleh, tapi pasti awkward.”
Mendengar jawaban Ajeng barusan, lantas bahu Bian merosot. Kemudian dengan sengaja Bian meletakkan kepalanya di atas pundak Ajeng sembari mencebikkan bibir.
“Kamu kedengerannya kayak yakin banget kalo kita gak bakal pacaran....”
“Sab ... ini suara getar HP siapa ya?”
“HP aku,” sahut Bian dengan begitu santainya. “Paling Mama nyariin, soalnya aku belom pamit kalo mau main.” Bian masih tak acuh, sementara ponsel terus bergetar di dalam saku celananya.
“Ohhh—MAKSUDNYA?! GILA SAB? BELOM PAMIT?!!”