cakgrays

Kalau biasanya sebelum pergi tidur Bian akan menunggu kepulangan Papa dengan alibi menonton secara acak siaran televisiーkali ini tidak.

Berteman sunyi suasana kamar, Bian melamun seperti halnya orang dewasa yang tengah dilanda stress berat. Padahal yang kini tengah dia rasakan sekedar gelisah, galau, merana sebab sejak sore tadi Papa tak kunjung membalas pesannya. Entah, mungkin karena saking marahnya, sibuk, atau dilandasi perasaan malasーyang jelas hal itu mampu membuat Bian overthinking berjam-jam.

“Ini karma, sih. Yakin gue.” Bian bergumam.

Saking galaunya, Bian bahkan sengaja tidak menyalakan lampu. Kini kamarnya persis seperti sebuah ruang yang biasa muncul di film-film horror yang pernah dia tonton.

Helaan napas frustasi, Bian suarakan. Kira-kira sedang apa ya Mama saat ini, sebab sejak beberapa jam yang lalu Bian sudah tidak lagi mendengar gaduh suara Mama dari balik pintu kamarnya itu. Suara asisten rumah tangga mereka juga menghilang. Budhe Lasih sih biasanya memang langsung tertidur pulas usai mengerjakan seluruh pekerjaan rumahnya. Dan Papa, seharusnya Papa sudah ada di rumah sejak satu jam yang lalu, namun sampai detik ini belum juga ada tanda-tanda kepulangan Papa.

Bian mengerang, seraya merenggangkan sendi-sendi dalam tubuhnya. Muncul sedikit keinginan untuk mengintip ke luar pintu kamar, demi mengetahui situasi dan kondosi terupdate pada saat ini, tapi dia urungkan lantaran pintu kamarnya tiba-tiba saja terbuka. Menampilkan sosok Papa yang tinggi menjulang, dan masih dibalut lengkap oleh kemeja khas yang biasa Papa gunakan untuk ke kantor.

Bian beradu tatap dengan Papa cukup lama. Ternyata Papa sudah pulang, tapi Bian yang tidak dengar suara mesin mobilmya.

“Bi.”

“Pa.”

Hening.

Perlahan tapi pasti Papa melangkah mendekati Bian yang masih terduduk di atas ranjangnya. Kemudian, tanpa perlu banyak basa basi, tangan Papa terulur ke depan. Ada sebuah bungkusan yang dia genggam. Lantas, dengan tampang penasaran yang tanpa dibuat-buat, Bian meraih bungkusan tersebut.

“Ini apaan, Pa?” tanya Bian.

Papa meringis seketika. “Kembang goyang.”

“Hah??”

Tak ada angin, tak ada hujan tiba-tiba saja memberi kembang goyang? Entah apa maksud Papa sebenarnya. Bian yang semula membayangkan adegan memeluk Papa begitu pintu terbuka tadi, kini justru menatap nanar ke arah Papa. Konyol, ini konyol.

“Apa maksudnya?”

“Gak ada. Papa random beli aja. Tadi di lampu merah, ada nenek-nenek yang jualan ini. Yaudah Papa beli,” tutur Papa dengan wajah super santai.

Bian kesal, tapi rasa kesalnya tidak seberapa jika dibandingkan dengan perasaan senang dalam benak bocah itu. Pasalnya barusan Papa mengatakan kalimat yang cukup panjang.

Dan, dengan sudut bibir yang tertarik ke samping, Bian hanya manggut-manggut.

“Abisin ya,” kata Papa.

“Segini?” Bian mengangkat bungkusan cukup besar, pemberian Papa. “Semua ini?!” tanyanya menekankan.

“Iya.”

Bian mendesis. Papa gila, batinnya. “Yaudah iya.”

“Yaudah ... Papa keluar ya.” Tanpa menunggu respon dari Bian, Papa sudah lebih dulu melangkah pergi tanpa lupa menutup kembali pintu kamar Bian.

Sementara itu, sambil cengangas-cengenges Bian membongkar bungkusan yang Papa berikan. Ternyata isinya adalah kembang goyang dengan berbagai macam warna. Ada kuning, pink, hijau, danー

sepucuk kertas bertorehkan tinta pena di atasnya.

'Jangan mau dibawa sama Om Yudhis. Dia aslinya gak sebaik itu, nanti organ kamu dijual.'

Kalau biasanya sebelum pergi tidur Bian akan menunggu kepulangan Papa dengan alibi menonton secara acak siaran televisiーkali ini tidak.

Berteman sunyi suasana kamar, Bian melamun seperti halnya orang dewasa yang tengah dilanda stress berat. Padahal yang kini tengah dia rasakan sekedar gelisah, galau, merana sebab sejak sore tadi Papa tak kunjung membalas pesannya. Entah, mungkin karena saking marahnya, sibuk, atau dilandasi perasaan malasーyang jelas hal itu mampu membuat Bian overthinking berjam-jam.

“Ini karma, sih. Yakin gue.” Bian bergumam.

Saking galaunya, Bian bahkan sengaja tidak menyalakan lampu. Kini kamarnya persis seperti sebuah ruang yang biasa muncul di film-film horror yang pernah dia tonton.

Helaan napas frustasi, Bian suarakan. Kira-kira sedang apa ya Mama saat ini, sebab sejak beberapa jam yang lalu Bian sudah tidak lagi mendengar gaduh suara Mama dari balik pintu kamarnya itu. Suara asisten rumah tangga mereka juga menghilang. Budhe Lasih sih biasanya memang langsung tertidur pulas usai mengerjakan seluruh pekerjaan rumahnya. Dan Papa, seharusnya Papa sudah ada di rumah sejak satu jam yang lalu, namun sampai detik ini belum juga ada tanda-tanda kepulangan Papa.

Bian mengerang, seraya merenggangkan sendi-sendi dalam tubuhnya. Muncul sedikit keinginan untuk mengintip ke luar pintu kamar, demi mengetahui situasi dan kondosi terupdate pada saat ini, tapi dia urungkan lantaran pintu kamarnya tiba-tiba saja terbuka. Menampilkan sosok Papa yang tinggi menjulang, dan masih dibalut lengkap oleh kemeja khas yang biasa Papa gunakan untuk ke kantor.

Bian beradu tatap dengan Papa cukup lama. Ternyata Papa sudah pulang, tapi Bian yang tidak dengar suara mesin mobilmya.

“Bi.”

“Pa.”

Hening.

Perlahan tapi pasti Papa melangkah mendekati Bian yang masih terduduk di atas ranjangnya. Kemudian, tanpa perlu banyak basa basi, tangan Papa terulur ke depan. Ada sebuah bungkusan yang dia genggam. Lantas, dengan tampang penasaran yang tanpa dibuat-buat, Bian meraih bungkusan tersebut.

“Ini apaan, Pa?” tanya Bian.

Papa meringis seketika. “Kembang goyang.”

“Hah??”

Tak ada angin, tak ada hujan tiba-tiba saja memberi kembang goyang? Entah apa maksud Papa sebenarnya. Bian yang semula membayangkan adegan memeluk Papa begitu pintu terbuka tadi, kini justru menatap nanar ke arah Papa. Konyol, ini konyol.

“Apa maksudnya?”

“Gak ada. Papa random beli aja. Tadi di lampu merah, ada nenek-nenek yang jualan ini. Yaudah Papa beli,” tutur Papa dengan wajah super santai.

Bian kesal, tapi rasa kesalnya tidak seberapa jika dibandingkan dengan perasaan senang dalam benak bocah itu. Pasalnya barusan Papa mengatakan kalimat yang cukup panjang.

Dan, dengan sudut bibir yang tertarik ke samping, Bian hanya manggut-manggut.

“Abisin ya,” kata Papa.

“Segini?” Bian mengangkat bungkusan cukup besar, pemberian Papa. “Semua ini?!” tanyanya menekankan.

“Iya.”

Bian mendesis. Papa gila, batinnya. “Yaudah iya.”

“Yaudah ... Papa keluar ya.” Tanpa menunggu respon dari Bian, Papa sudah lebih dulu melangkah pergi tanpa lupa menutup kembali pintu kamar Bian.

Sementara itu, sambil cengangas-cengenges Bian membongkar bungkusan yang Papa berikan. Ternyata isinya adalah kembang goyang dengan berbagai macam warna. Ada kuning, pink, hijau, danー

sepucuk kertas bertorehkan tinta pena di atasnya.

'Jangan mau dibawa sama Om Yudhis. Dia aslinya gak sebaik itu, nanti organ kamu dijual.'

Bian terkekeh sejenak, sebelum menutup aplikasi burung biru yang ada di ponselnya. Dia menarik napas cukup panjang. Apa yang Bian sampaikan pada Zaid, dapat dipastikan kalau itu hanya gurauan semata. Dia tahu betul kalau pemulihan dari sebuah cidera pada tulang tentunya tak mungkin secepat itu. Sempat terlintas dalam benaknya, bagaimana cara Zaid menulis saat masuk sekolah esok hari? Sebab, seingat Bian, Zaid itu sama sekali tidak kidal.

Dipikir-pikir, meski kakinya masih begitu nyeri untuk digerakkan—kawannya itu pasti jauh lebih tertekan. Kemudian muncul sebuah ide. Satu-satunya tanggung jawab yang dapat dia lakukan untuk Zaid, adalah menjadi tangan kanannya. Ah, ide cemerlang! Namun entah bagaimana cara Bian untuk merealisasikan ide tersebut.

Perlahan-lahan pundak Bian merosot di atas bantal. Sebenarnya rasa kantuk sudah menjalar sejak Bian baru saja menginjakan kakinya di rumah. Seperti ada yang lain, ada yang berbeda antara suasana rumah sakit dan rumah milik Papa ini. Ditambah lagi, Bian sebelumnya memang sangat merindukan ranjangnya sendiri. Ranjang yang jauh lebih nyaman serta harum detergen andalan sang mama yang datangnya dari seprei yang membungkus ranjang tersebut dengan sempurna.

Hampir saja Bian menutup mata, namun suara pintu terbuka lebih dulu mengusiknya. Itu Mama. Sambil membawa segelas air putih bertatakan nampan pink motif bunga kesayangannya, Mama berjalan mendekat ke arah Bian.

“Bi, minum dulu. Kamu belum minum dari pagi.” Suara lembut Mama kontras dengan suara langkah kaki yang cukup memekakkan telinga Bian sebab, Mama menggunakan sandal jepit di dalam rumah.

Bian menatap Mama lamat-lamat. Tersirat senyum teduh di bibirnya. Sekelebat bayangan akan Mama dengan raut wajah kecewa muncul begitu saja dalam kepala Bian. Dia ingat alasan utama motor Zaid sukses mencium aspal, karena pikirannya saat itu dipenuhi oleh the one and only Diajeng Pramesti. Bian yang saat itu kalut, kini justru sibuk memikirkan apa tanggapan sang mama jika dia tau akan hal bodoh ini.

“Bi? Malah ngelamun!” seru Mama.

Mendengar teguran Mama barusan, sontak Bian berusaha bangkit dari posisi sebelumnya. Sambil cengangas-cengenges, tangan Bian menengadah. Meminta gelas yang Mama bawa.

Mama ikut duduk di tepi ranjang seraya membantu Bian untuk minum. “Tadi mikirin apa?” tanya Mama, yang kemudian hanya dibalas gelengan kepala oleh Bian. “Kaki kamu gimana? Masih nyeri atau apa?” Lagi-lagi bocah itu hanya menggeleng.

“Bian kok cuman geleng-geleng?” Air wajah Mama berubah serius. Diraihnya gelas yang sempat Bian genggan, kemudian Mama letakan di atas nakas. “Kamu ngambek karna tadi pas di parkiran rumah sakit, Papa marah-marah?” timpal Mama, mampu membuat Bian terkekeh seketika.

“Wajah Mama panik gitu!” kata Bian, tepat sebelum tangan Mama melayang dan mendarat sempurna dipundaknya. Bugh!

“Bisa-bisanya malah ketawa!”

“Bian gapapa.” Tatapannya dalam. “Bian justru masih ngerasa bersalah sama Papa ... sama Mama ... sama Zaid ... sama semua orang yang jadi repot karna Bian kayak gini. Tolol, ceroboh—” Belum usai kalimat Bian, Mama lebih dahulu memeluknya.

“Kamu jangan kayak gini, dong! Mama udah maafin Bian! Mama jauh lebih sakit hati dengerin kamu kayak gini, Bi....”

“Maafin Bian....”

“UDAH MAMA MAAFIN!”

Sambil berurai air mata, Mama dan Bian saling memeluk satu sama lain persis seperti tayangan sebuah drama keluarga yang biasa Mama tonton di televisi.

“Ini apa-apaan sih?”

Suara bariton Papa muncul dari balik pintu. Wajahnya seolah bertanya-tanya 'ada kabar duka dari siapa?' Namun, selang beberapa detik Papa tersadar, seperti biasa Mama serta Bian hanya over acting semata. Papa segera merubah ekspresinya. “Kalian itu ngapain sih?”

“Bian lagi sedih, Mas....”

“Boong, Mama yang paling sedih.” Ha kan! Saling lempar tuduhan pun terjadi.

Bian mampu melihat Papa yang seakan tak acuh dan berniat melenggang pergi. “Papa,” kata Bian lirih.

Kaki yang sebelumnya mantap untuk melangkah itu, kini membeku lantaran Papa mendengar suara serak memanggil dari mulut Bian. Papa menoleh. Awalnya heran, karena tak ada sepatah katapun yang keluar kemudian. Tapi, kala itu tangan Mama memberi gesture sebuah ajakan.

“Mas! Ke sini, dong!”

“Ngapain?” salah satu alis Papa terangkat. Bingung akan maksud dari ajakan Mama.

“Bian mau peluk,” kata Mama sembari mengabaikan Bian yang sontak uring-uringan lantaran malu.

Bian terkekeh sejenak, sebelum menutup aplikasi burung biru yang ada di ponselnya. Dia menarik napas cukup panjang. Apa yang Bian sampaikan pada Zaid, dapat dipastikan kalau itu hanya gurauan semata. Dia tahu betul kalau pemulihan dari sebuah cidera pada tulang tentunya tak mungkin secepat itu. Sempat terlintas dalam benaknya, bagaimana cara Zaid menulis saat masuk sekolah esok hari? Sebab, seingat Bian, Zaid itu sama sekali tidak kidal.

Dipikir-pikir, meski kakinya masih begitu nyeri untuk digerakkan—kawannya itu pasti jauh lebih tertekan. Kemudian muncul sebuah ide. Satu-satunya tanggung jawab yang dapat dia lakukan untuk Zaid, adalah menjadi tangan kanannya. Ah, ide cemerlang! Namun entah bagaimana cara Bian untuk merealisasikan ide tersebut.

Perlahan-lahan pundak Bian merosot di atas bantal. Sebenarnya rasa kantuk sudah menjalar sejak Bian baru saja menginjakan kakinya di rumah. Seperti ada yang lain, ada yang berbeda antara suasana rumah sakit dan rumah milik Papa ini. Ditambah lagi, Bian sebelumnya memang sangat merindukan ranjangnya sendiri. Ranjang yang jauh lebih nyaman serta harum detergen andalan sang mama yang datangnya dari seprei yang membungkus ranjang tersebut dengan sempurna.

Hampir saja Bian menutup mata, namun suara pintu terbuka lebih dulu mengusiknya. Itu Mama. Sambil membawa segelas air putih bertatakan nampan pink motif bunga kesayangannya, Mama berjalan mendekat ke arah Bian.

“Bi, minum dulu. Kamu belum minum dari pagi.” Suara lembut Mama kontras dengan suara langkah kaki yang cukup memekakkan telinga Bian sebab, Mama menggunakan sandal jepit di dalam rumah.

Bian menatap Mama lamat-lamat. Tersirat senyum teduh di bibirnya. Sekelebat bayangan akan Mama dengan raut wajah kecewa muncul begitu saja dalam kepala Bian. Dia ingat alasan utama motor Zaid sukses mencium aspal, karena pikirannya saat itu dipenuhi oleh the one and only Diajeng Pramesti. Bian yang saat itu kalut, kini justru sibuk memikirkan apa tanggapan sang mama jika dia tau akan hal bodoh ini.

“Bi? Malah ngelamun!” seru Mama.

Mendengar teguran Mama barusan, sontak Bian berusaha bangkit dari posisi sebelumnya. Sambil cengangas-cengenges, tangan Bian menengadah. Meminta gelas yang Mama bawa.

Mama ikut duduk di tepi ranjang seraya membantu Bian untuk minum. “Tadi mikirin apa?” tanya Mama, yang kemudian hanya dibalas gelengan kepala oleh Bian. “Kaki kamu gimana? Masih nyeri atau apa?” Lagi-lagi bocah itu hanya menggeleng.

“Bian kok cuman geleng-geleng?” Air wajah Mama berubah serius. Diraihnya gelas yang sempat Bian genggan, kemudian Mama letakan di atas nakas. “Kamu ngambek karna tadi pas di parkiran rumah sakit, Papa marah-marah?” timpal Mama, mampu membuat Bian terkekeh seketika.

“Wajah Mama panik gitu!” kata Bian, tepat sebelum tangan Mama melayang dan mendarat sempurna dipundaknya. Bugh!

“Bisa-bisanya malah ketawa!”

“Bian gapapa.” Tatapannya dalam. “Bian justru masih ngerasa bersalah sama Papa ... sama Mama ... sama Zaid ... sama semua orang yang jadi repot karna Bian kayak gini. Tolol, ceroboh—” Belum usai kalimat Bian, Mama lebih dahulu memeluknya.

“Kamu jangan kayak gini, dong! Mama udah maafin Bian! Mama jauh lebih sakit hati dengerin kamu kayak gini, Bi....”

“Maafin Bian....”

“UDAH MAMA MAAFIN!”

Sambil berurai air mata, Mama dan Bian saling memeluk satu sama lain persis seperti tayangan sebuah drama keluarga yang biasa Mama tonton di televisi.

“Ini apa-apaan sih?”

Suara bariton Papa muncul dari balik pintu. Wajahnya seolah bertanya-tanya 'ada kabar duka dari siapa?' Namun, selang beberapa detik Papa tersadar, seperti biasa Mama serta Bian hanya over acting semata. Papa segera merubah ekspresinya. “Kalian itu ngapain sih?”

“Bian lagi sedih, Mas....”

“Boong, Mama yang paling sedih.” Ha kan! Saling lempar tuduhan pun terjadi.

Bian mampu melihat Papa yang seakan tak acuh dan berniat melenggang pergi. “Papa,” kata Bian lirih.

Kaki yang sebelumnya mantap untuk melangkah itu, kini membeku lantaran Papa mendengar suara serak memanggil dari mulut Bian. Papa menoleh. Awalnya heran, karena tak ada sepatah katapun yang keluar kemudian. Tapi, kala itu tangan Mama memberi gesture sebuah ajakan.

“Mas! Ke sini, dong!”

“Ngapain?” salah satu alis Papa terangkat. Bingung akan maksud dari ajakan Mama.

“Bian mau peluk,” kata Mama sembari mengabaikan Bian yang sontak uring-uringan lantaran malu.

Bian terkekeh sejenak, sebelum menutup aplikasi burung biru yang ada di ponselnya. Dia menarik napas cukup panjang. Apa yang Bian sampaikan pada Zaid, dapat dipastikan kalau itu hanya gurauan semata. Dia tahu betul kalau pemulihan dari sebuah cidera pada tulang tentunya tak mungkin secepat itu. Sempat terlintas dalam benaknya, bagaimana cara Zaid menulis saat masuk sekolah esok hari? Sebab, seingat Bian, Zaid itu sama sekali tidak kidal.

Dipikir-pikir, meski kakinya masih begitu nyeri untuk digerakkan—kawannya itu pasti jauh lebih tertekan. Kemudian muncul sebuah ide. Satu-satunya tanggung jawab yang dapat dia lakukan untuk Zaid, adalah menjadi tangan kanannya. Ah, ide cemerlang! Namun entah bagaimana cara Bian untuk merealisasikan ide tersebut.

Perlahan-lahan pundak Bian merosot di atas bantal. Sebenarnya rasa kantuk sudah menjalar sejak Bian baru saja menginjakan kakinya di rumah. Seperti ada yang lain, ada yang berbeda antara suasana rumah sakit dan rumah milik Papa ini. Ditambah lagi, Bian sebelumnya memang sangat merindukan ranjangnya sendiri. Ranjang yang jauh lebih nyaman serta harum detergen andalan sang mama yang datangnya dari seprei yang membungkus ranjang tersebut dengan sempurna.

Hampir saja Bian menutup mata, namun suara pintu terbuka lebih dulu mengusiknya. Itu Mama. Sambil membawa segelas air putih bertatakan nampan pink motif bunga kesayangannya, Mama berjalan mendekat ke arah Bian.

“Bi, minum dulu. Kamu belum minum dari pagi.” Suara lembut Mama kontras dengan suara langkah kaki yang cukup memekakkan telinga Bian sebab, Mama menggunakan sandal jepit di dalam rumah.

Bian menatap Mama lamat-lamat. Tersirat senyum teduh di bibirnya. Sekelebat bayangan akan Mama dengan raut wajah kecewa muncul begitu saja dalam kepala Bian. Dia ingat alasan utama motor Zaid sukses mencium aspal, karena pikirannya saat itu dipenuhi oleh the one and only Diajeng Pramesti. Bian yang saat itu kalut, kini justru sibuk memikirkan apa tanggapan sang mama jika dia tau akan hal bodoh ini.

“Bi? Malah ngelamun!” seru Mama.

Mendengar teguran Mama barusan, sontak Bian berusaha bangkit dari posisi sebelumnya. Sambil cengangas-cengenges, tangan Bian menengadah. Meminta gelas yang Mama bawa.

Mama ikut duduk di tepi ranjang seraya membantu Bian untuk minum. “Tadi mikirin apa?” tanya Mama, yang kemudian hanya dibalas gelengan kepala oleh Bian. “Kaki kamu gimana? Masih nyeri atau apa?” Lagi-lagi bocah itu hanya menggeleng.

“Bian kok cuman geleng-geleng?” Air wajah Mama berubah serius. Diraihnya gelas yang sempat Bian genggan, kemudian Mama letakan di atas nakas. “Kamu ngambek karna tadi pas di parkiran rumah sakit, Papa marah-marah?” timpal Mama, mampu membuat Bian terkekeh seketika.

“Wajah Mama panik gitu!” kata Bian, tepat sebelum tangan Mama melayang dan mendarat sempurna dipundaknya. Bugh!

“Bisa-bisanya malah ketawa!”

“Bian gapapa.” Tatapannya dalam. “Bian justru masih ngerasa bersalah sama Papa ... sama Mama ... sama Zaid ... sama semua orang yang jadi repot karna Bian kayak gini. Tolol, ceroboh—” Belum usai kalimat Bian, Mama lebih dahulu memeluknya.

“Kamu jangan kayak gini, dong! Mama udah maafin Bian! Mama jauh lebih sakit hati dengerin kamu kayak gini, Bi....”

“Maafin Bian....”

“UDAH MAMA MAAFIN!”

Sambil berurai air mata, Mama dan Bian saling memeluk satu sama lain persis seperti tayangan sebuah drama keluarga yang biasa Mama tonton di televisi.

“Ini apa-apaan sih?”

Suara bariton Papa muncul dari balik pintu. Wajahnya seolah bertanya-tanya 'ada kabar duka dari siapa?' Namun, selang beberapa detik Papa tersadar, seperti biasa Mama serta Bian hanya over acting semata. Papa segera merubah ekspresinya. “Kalian itu ngapain sih?”

“Bian lagi sedih, Mas....”

“Boong, Mama yang paling sedih.” Ha kan! Saling lempar tuduhan pun terjadi.

Bian mampu melihat Papa yang seakan tak acuh dan berniat melenggang pergi. “Papa,” kata Bian lirih.

Kaki yang sebelumnya mantap untuk melangkah itu, kini membeku lantaran Papa mendengar suara serak memanggil dari mulut Bian. Papa menoleh. Awalnya heran, karena tak ada sepatah katapun yang keluar kemudian. Tapi, kala itu tangan Mama memberi gesture sebuah ajakan.

“Mas! Ke sini, dong!”

“Ngapain?” salah satu alis Papa terangkat. Bingung akan maksud dari ajakan Mama.

“Bian mau peluk.”

Di sebuah pagi nan cerah, Bian dituntun oleh Mama untuk berjalan menuju parkiran rumah sakit. Usai menghabiskan waktu selama empat hari, tiga malam bersama sobat karibnya, Zaid, di dalam bilik kamar inap yang samaーakhirnya Bian diperbolehkan untuk pulang, sama halnya dengan Zaid.

Semalam, selepas hujan mengguyur kota Jakarta dengan derasnyaーPapa datang. Menjenguk Bian yang pada saat itu hanya berteman sepi sebab Zaid sudah terlelap lebih dahulu.

“Papa?” sapa Bian. Masih setengah kaget karena biasanya Om Yudhis lah yang akan menemani dia dan Zaid di malam hari, menggantikan ayahnya Zaid saat siang hari. Tapi nyatanya kali ini Papa yang datang, berbalut jaket tebal dan menenteng sebuah tas besar yang entah berisikan apa.

Papa tidak mengeluarkan suara, tapi dia mendekat. Mengeluarkan sesuatu dari dalam tas yang ternyata adalah baju hangat yang biasa Bian kenakan saat sakit. “Ini titipan Mama, cepet pake!” Begitu kata Papa.

“Tapikan Bian gak lagi masuk angin, Pa?”

Papa kemudian membuang napas kasar. “Udah pake aja,” sahut Papa, “kata Mama itu ada jimatnya, biar cepet sembuh.”

Konyol! Entah apa kolerasinya antara baju hangat dan kaki patah, pada akhirnya Bian hanya bisa pasrah menuruti perintah Mama yang disampaikan melalui Papa. Dan, ya, nyatanya jimat titipan Mama bekerja dengan sangat efektif.

“Nanti begitu sampai rumah langsung tidur, pokoknya istirahat! Gak ada acara kelayapan, Bi. Besoknya kamu sekolah,” kata Papa sembari membukakan pintu mobil untuk Bian, juga Mama.

Kalau dilihat dari gestur Papa, sepertinya sudah tidak semarah saat kali pertama melihat keaadaan Bian di rumah sakit. Namun bukan berarti Papa memaafkan kesalahan Bian sepenuhnya, terbukti dari seberapa dinginnya Papa meski disinari matahari seterik ini. Bian mendengkus, kemudian masuk ke dalam mobil dengan hati-hati dan dibantu Mama.

Sedikit banyak Bian bersyukur dipulangkan hari ini, mengingat minggu depan ada pelaksaan ujian kenaikan kelas yang harus dia dan Zaid lakukan di sekolah. Ngomong-ngomong Zaidーmereka berpisah di pintu keluar sebab, letak kendaraan Papa dan Om Dio cukup berjauhan.

“Mas, kamu udah ambil obatnya Bian?”

“Udah.”

“Kamu udah kruk buat bantu Bian jalー”

“Udah. Udah aku beli, ada di belakang!” seru Papa yang kini tengah fokus mengemudi.

Melihat bagaimana respon Papa barusan, Bian mengatupkan kedua bibirnya seketika. Sementara Mama yang juga duduk di kursi penumpang, di sebelahnya, kini menatap kikuk ke arah Bian. Papa masih sensitif. Bian dan Mama paham akan hal itu. Lantas, sepanjang perjalan keheningan melanda mereka bertiga. Baik Papa, Bian, bahkan Mama sekalipun tak ada yang berniat membuka suara.

Bian pikir, mungkin sebaiknya dia cepat-cepat mengambil hati Papa kembali demi kenyamanan bersama.

Di sebuah pagi nan cerah, Bian dituntun oleh Mama untuk berjalan menuju parkiran rumah sakit. Usai menghabiskan waktu selama empat hari, tiga malam bersama sobat karibnya, Zaid, di dalam bilik kamar inap yang samaーakhirnya Bian diperbolehkan untuk pulang, sama halnya dengan Zaid.

Semalam, selepas hujan mengguyur kota Jakarta dengan derasnyaーPapa datang. Menjenguk Bian yang pada saat itu hanya berteman sepi sebab Zaid sudah terlelap lebih dahulu.

“Papa?” sapa Bian. Masih setengah kaget karena biasanya Om Yudhis lah yang akan menemani dia dan Zaid di malam hari, menggantikan ayahnya Zaid saat siang hari. Tapi nyatanya kali ini Papa yang datang, berbalut jaket tebal dan menenteng sebuah tas besar yang entah berisikan apa.

Papa tidak mengeluarkan suara, tapi dia mendekat. Mengeluarkan sesuatu dari dalam tas yang ternyata adalah baju hangat yang biasa Bian kenakan saat sakit. “Ini titipan Mama, cepet pake!” Begitu kata Papa.

“Tapikan Bian gak lagi masuk angin, Pa?”

Papa kemudian membuang napas kasar. “Udah pake aja,” sahut Papa, “kata Mama itu ada jimatnya, biar cepet sembuh.”

Konyol! Entah apa kolerasinya antara baju hangat dan kaki patah, pada akhirnya Bian hanya bisa pasrah menuruti perintah Mama yang disampaikan melalui Papa. Dan, ya, nyatanya jimat titipan Mama bekerja dengan sangat efektif.

“Nanti begitu sampai rumah langsung tidur, pokoknya istirahat! Gak ada acara kelayapan, Bi. Besoknya kamu sekolah,” kata Papa sembari membukakan pintu mobil untuk Bian, juga Mama.

Kalau dilihat dari gestur Papa, sepertinya sudah tidak semarah saat kali pertama melihat keaadaan Bian di rumah sakit. Namun bukan berarti Papa memaafkan kesalahan Bian sepenuhnya, terbukti dari seberapa dinginnya Papa meski disinari matahari seterik ini. Bian mendengkus, kemudian masuk ke dalam mobil dengan hati-hati dan dibantu Mama.

Sedikit banyak Bian bersyukur dipulangkan hari ini, mengingat minggu depan ada pelaksaan ujian kenaikan kelas yang harus dia dan Zaid lakukan di sekolah. Ngomong-ngomong Zaidーmereka berpisah di pintu keluar sebab, letak kendaraan Papa dan Om Dio cukup berjauhan.

“Mas, kamu udah ambil obatnya Bian?”

“Udah.”

“Kamu udah kruk buat bantu Bian jalー”

“Udah. Udah aku beli, ada di belakang!” seru Papa yang kini tengah fokus mengemudi.

Melihat bagaimana respon Papa barusan, Bian mengatupkan kedua bibirnya seketika. Sementara Mama yang juga duduk di kursi penumpang, di sebelahnya, kini menatap kikuk ke arah Bian. Papa masih sensitif. Bian dan Mama paham akan hal itu. Lantas, sepanjang perjalan keheningan melanda mereka bertiga. Baik Papa, Bian, bahkan Mama sekalipun tak ada yang berniat membuka suara. Bian pikir, mungkin sebaiknya dia cepat-cepat mengambil hati Papa kembali demi kenyamanan bersama.

Bian dan Zaid akhirnya di sini. Ruangan tertutup, berisikan dua ranjang khas rumah sakit yang masing-masing tengah mereka duduki. Aroma obat, alkohol, dan besi berkarat yang biasa kita temui di rumah sakit itu, menguar. Menguasai indera penciuman Bian. Miris, buntut dari perbuatan Bian ternyata sampai separah ini. Patah tulang kaki kanan miliknya, bersamaan dengan tangan kanan Zaid yang kini tengah digips sebab ada indikasi yang sama dengan Bian.

Bian menatap nanar ke arah Zaid yang berada di atas ranjang di seberangnya. Ekspresi wajah kawannya itu tampak sulit dijelaskan. Mungkin masih syok, atau tengah menahan rasa sakit. Niat hati ingin menghampiri Zaid namun, dia sadar kalau-kalau kaki kanannya masih belum bisa dibawa berjalan sebagaimana maunya.

“Id, motor lo ... gue minta maaf.”

“Gak usah bahas motor gue, Bi. Perasaan gue ketrigger,” timpal Zaid.

“Justru karna itu gue minta maaf.” Sementara Bian memasang wajah memelas, Zaid enggan menjawab.

Dari luar terdengar derap langkah kaki yang memburu, sebelum akhirnya pintu kamar inap ini terbuka dengan kasar. Suaranya memekakan telinga. Bian yakin atensi para perawat yang berada di luar, pasti sempat teralihkan untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Di sana. Di depan pintu akses masuk satu-satunya. Sosok Papa berdiri menjulang, lengkap dengan sorot mata nyalang dan kedua tangan yang terkepal. Papa melangkah masuk tanpa memberi sapaan apapun, sementara Mama tampak buru-buru menutup pintu.

Lalu dengan kasar Papa mencengkram pundak Bian. “Apa sih yang bikin kamu gak punya pikiran kayak gini?” sebuah kalimat yang menjadi awalan kemurkaan Papa malam itupun lolos begitu saja. Papa melempar beberapa lembar kertas yang merekap sejumlah pengeluaran akibat perbuatannya sore ini. “Apa sih yang bikin otak kamu ini sampai gak berfungsi kayak gini, Sabian?” Dengan wajah yang memerah dan deru napas tak karuan, jari telunjuk Papa sengaja mengetuk-ngetuk kening Bian saking kesalnya.

Sedangkan bocah itu diam tak berkutik, Zaid yang berada di sana pun memilih bungkam sebab, dia mengerti kenapa Bian sampai terkena omelan seperti ini. Lagi pula dia tak punya hak barang sedikitpun untuk ikut menimpali prahara orang tua dan anak, di hadapannya itu.

“Mas! Bisa, kan, ngomongnya pelan-pelan?” pekik Mama seraya menarik paksa lengan Papa.

Jauh di dalam lubuk hati, Bian paham betul apa penyebab kemurkaan Papa yang sampai seperti ini. Kalau bukan karena dia hampir menabrak sesama pengendara motor. Kalau bukan karena cidera yang dialami Zaid atas kecerobohannya.... Bian menghela napas panjang. Dia memutuskan untuk tetap diam mematung. Sebab, jangankan menjawab. Menatap ke arah Mama dan Papa saja nyalinya menciut.

*Papa mendengkus. Kalau bisa disuarakan mungkin bunyi detak jantung Papa sudah dag dig dug duar! sejak diberi kabar bahwa Bian beserta Zaid, tidak ada angin, tidak ada hujan tiba-tiba masuk rumah sakit. Terlebih lagi begitu mengetahui kalau Bian biang keroknya.*

“Ini, nih! Kenapa Papa males kasih kamu motor tuh ini! Ceroboh! Gak fokus! EGOIS!”

“Bian udah bilang sama Papa kalau—”

“Apa? Minta maaf?” tanya Papa menuntut. Sementara yang ditanya kembali manggut pasrah. “Emangnya kamu pikir dengan minta maaf, itu cukup buat ganti kerusakan motor orang? Emangnya dengan kamu minta maaf, itu bisa benerin kerusakan jalan, ganti motornya Zaid, sama bayar biaya rumah sakit ini?”

Sontak sorot mata Bian turun ke kaki. Menatap nanar kakinya yang juga tengah digips persis seperti tangan Zaid—tidak disebut oleh Papa.

Mama yang paham maksud dari raut wajah Bian, lantas memukul lengan Papa. Bunyinya nyaring, dan sepertinya cukup membuat Papa kesakitan. Meski sama halnya seperti Papa yang tengah marah—melihat bagaimana kondisi Bian, cukup membuat hati Mama sakit. Kaki digips, lengan yang ditempeli plester di beberapa titik—tampaknya karena hasil ciuman dengan bahu jalan, serta ada memar-memar pada wajah Bian. Ibu mana yang tidak sedih jika melihat anaknya dengan keadaan seperti itu?

Mama akhirnya memilih untuk memeluk Bian. Erat, meski harus hati-hati sebab khawatir selang infus Bian justru akan membuat darahnya naik. “It's okay, Bi. Nanti kita perbaiki semuanya begitu keluar dari sini ya, Sayang....”

“Papa itu malu, Bi! Punya anak cowok satu-satunya kok begini, sih?!” seru Papa tak tertahankan..“Ini tuh karna kamu terlalu manjain dia. Udah cukup lah, udah gede anaknya, Ra!” Nah, kan. Kini giliran Mama yang kena semprot.

Tiba-tiba saja pintu terbuka dari luar. Kemudian, eksistensi papa dan mama Zaid sukses menarik atensi keempatnya.

“Zaid!” pekik mama Zaid, seraya menghambur ke arah anaknya itu.

“Gapapa, sumpah aku gapapa! Jangan teriak-teriak, Ma!”

Sementara itu, Papa masih setia memandang Bian dengan nanar. “Lo hajar aja dia. Biar ini anak ngerti kalau konsekuensi itu banyak jenisnya, gak cuman ocehan gue doang,” kata Papa yang kemudian sukses membuat papa Zaid—Om Dio dan Bian melongo tak percaya.

Ada benarnya sih. Pasalnya Papa mau sekesal apapun pada Bian, rasanya enggan main tangan. Tapi lain halnya kalau Bian habis babak belur ditangan Om Dio yang anaknya baru saja dia buat celaka tadi sore. Tapi, alih-alih mengiyakan—Om Dio justru tertawa renyah.

“Om, Bian beneran minta maaf....”

“Santai aja, Bi. Dulu kita juga pernah nyium aspal kayak kalian.” Wajahnya kelihatan jauh lebih tenang dari Papa.

“Dulu kita gak sampai patah tulang,” sergah Papa tak terima. “Denger ya, Bi. Mulai sekarang, gak ada lagi les di luar buat kamu. Kalau mau les.di dalem rumah aja!” Miris. Terhitung kurang dari dua minggu lagi, seharusnya ulangan kenaikan kelas mulai menyambutnya tapi, malah seperti ini.

Sepersekian detik Bian tersadar. Sudah begini, bukan lagi Diajeng Pramesti yang dia pikirkan, melainkan pengambilan rapor kenaikan kelas yang sudah di depan mata.

“Bian masih mau les, Pa.”

“Gak usah!”

“Pa....”

“Kamu ini budek ya?!”

“MAS?! UDAH!” pekik Mama, hingga semua orang yang ada di ruangan itu ikut menatapnya.


Sejak keributan beberapa waktu lalu yang membuat Papa dan Mama pulang lebih dulu, Bian tak habis-habisnya berkacak seolah tidak terjadi apa-apa. Senyumnya full, meski mata jelas sudah berkaca-kaca. Kalau kata sang nenek, sih 'ingah-ingih motone abang'.

Ngomong-ngomong, selain Mama dan Papa—keluarga Bian tidak ada yang tahu mengenai kabar kecelakaan lalu lintas yang Bian alami ini. Agaknya Papa serius saat mengatakan bahwa dirinya malu.

Om Dio dan sang istri memilih pulang terlebih dahulu, karena menurut dokter mungkin Bian dan Zaid masih harus diopname sampai satu atau dua hari kedepan, maka mereka memutuskan untuk kembali lagi besok pagi sembari membawa pakaian bersih.

Pukul setengah dua belas malam waktu Indonesia bagian Barat dan seperti kata Ayah—Om Yudhis melalui chat beberapa saat lalu, dia lah yang akan menemani Bian, dan Zaid malam ini. Tapi, kebetulan ada Ozi. Kalau dihiperbolakan, Ozi ini pantas jika diberi slogan OCA alias Ozi Cahaya Asia. Pasalnya, mau sesibuk apapun dia sebagai calon mahasiswa baru, dan semalas apapun dia melihat duo sableng di hadapannya ini—dia tetap datang dengan membawa sewadah styrofoam berisikan dua porsi bubur ayam untuk Bian, dan Zaid sekaligus.

“Apa gak malu disuapin sama Oji kayak gitu?” Suara Om Yudhis menarik atensi Zaid seketika.

“Malu itu kalau telanjang, Om,” sahutnya.

Bian terkekeh. Sesaat, dia ingat bagaimana ekspresi wajah Zaid kala mengatakan bahwa dia takut melihat sosok Om Yudhis. Rambut yang dibiarkan memanjang, serta tampang serius yang lelaki dewasa itu miliki memang agak nyentrik. Tapi, hari ini. Setelah keduanya bertemu dan berinteraksi secara langsung seperti ini—tampaknya Zaid mulai merasakan seperti apa daya tarik 'ayahnya' itu.

“Nyaut aja lo!” seru Ozi. Sambil menyuap sesendok bubur kedalam mulut Bian, Ozi memandang jengah ke arah Zaid.

Lalu dengan mulut yang baru saja diisi makanan, Bian sengaja menimpali, “Tau ya. Perasaan dulu ada yang ngakunya takut.”

“Siapa yang takut sama siapa?” tanya Om Yudhis penasaran.

Lantas dengan semangat empat lima, Bian menunjuk ke arah Zaid. “Zaid kan takut sama Ayah! Bian pernah cerita,” katanya berusaha membawa kembali ingatan lelaki yang yang dia sebut-sebut sebagai ayahnya itu. Bian berhasil membuat Zaid merasa canggung seketika.

Melihat bagaimana kedua teman yang sudah dianggap sebagai adiknya itu, Ozi tak tinggal diam. Dia menempatkan sendok, tepat di depan bibir Bian. “Sutt! Daripada lo sibuk ngeledekin Zaid, mending lo pikirin gimana caranya bikin empati orang tua lo balik lagi.”

Mulut Bian langsung mengatup. Lalu dia diam seribu bahasa.

“Sumpah tadi Om Jeffrey marahnya epik banget sih!” Kalau mau mengibaratkan Bian dan Zaid seperti saklar lampu juga boleh. Pasalnya, setelah Zaid selalu ada giliran untuk Bian. Jika sebelumnya Bian yang terus-menerus meledek Zaid, sekarang kebalikannya.

Tapi, belum sempat bocah itu melancarkan aksinya, Om Yudhis lebih dulu angkat bicara. “Ya namanya juga orang marah,” Om Yudhis berdiri, kemudian menutup tirai yang jendelanya mengarah langsung pada jalanan besar Ibu Kota. “Motornya Zaid udah ada di rumah—persis sama yang dirusakin Bian. Malem ini cuman Om yang jagain kalian, termasuk Ozi. Kamu tidur di sini aja, soalnya ini udah hampir tengah malem—rawan. ” bertepatan dengan habisnya bubur yang Ozi bawa, Om Yudhis berkata demikian.

“Ayah....”

“Apa?”

Bian menghela napas panjang. “Soal les, Papa gak bilang apa-apa?” kata Bian. Terdengar lirih di akhir kalimatnya.

Om Yudhis menggeleng, sambil berjalan mendekat ke arah ranjang pasien Bian. Laki-laki dewasa itu menatap wajah Bian lamat-lamat, lalu menggeleng perlahan. Tangannya terulur. Mengusap pucuk kepala bocah yang selama ini sudah dia anggap sebagai anaknya sendiri itu. “Papa kamu gak bilang apa-apa, Bi. Sekarang tidur dulu aja. Nanti kalau udah pulang, bisa bahas langsung sama Papa kamu.”

Perkataan Om Yudhis seperti halnya penenang. Bian mengangguk paham.

“Yaudah, gih. Kalian tidur. Ozi tidur di sofa aja, tuh.”

“Terus, Om, gimana?” tanya Ozi. Khawatir kalau kehadirannya justru membuat Om Yudhis terpaksa tidur di bawah, atau justru terjaga semalaman.

Spontan Om Yudhis merogoh saku celananya, dan mengeluarkan sebuah kotak kecil yang kelihatannya seperti bungkus rokok. “Om mau ke luar dulu. Biasa....”

*Bian dan Zaid akhirnya di sini. Ruangan tertutup, berisikan dua ranjang khas rumah sakit yang masing-masing tengah mereka duduki. Aroma obat, alkohol, dan besi berkarat yang biasa kita temui di rumah sakit itu, menguar. Menguasai indera penciuman Bian. Miris, buntut dari perbuatan Bian ternyata sampai separah ini. Patah tulang kaki kanan miliknya, bersamaan dengan tangan kanan Zaid yang kini tengah digips sebab ada indikasi yang sama dengan Bian.

Bian menatap nanar ke arah Zaid yang berada di atas ranjang di seberangnya. Ekspresi wajah kawannya itu tampak sulit dijelaskan. Mungkin masih syok, atau tengah menahan rasa sakit. Niat hati ingin menghampiri Zaid namun, dia sadar kalau-kalau kaki kanannya masih belum bisa dibawa berjalan sebagaimana maunya.

“Id, motor lo ... gue minta maaf.”

“Gak usah bahas motor gue, Bi. Perasaan gue ketrigger,” timpal Zaid.

“Justru karna itu gue minta maaf.” Sementara Bian memasang wajah memelas, Zaid enggan menjawab.

Dari luar terdengar derap langkah kaki yang memburu, sebelum akhirnya pintu kamar inap ini terbuka dengan kasar. Suaranya memekakan telinga. Bian yakin atensi para perawat yang berada di luar, pasti sempat teralihkan untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Di sana. Di depan pintu akses masuk satu-satunya. Sosok Papa berdiri menjulang, lengkap dengan sorot mata nyalang dan kedua tangan yang terkepal. Papa melangkah masuk tanpa memberi sapaan apapun, sementara Mama tampak buru-buru menutup pintu.

Lalu dengan kasar Papa mencengkram pundak Bian. “Apa sih yang bikin kamu gak punya pikiran kayak gini?” sebuah kalimat yang menjadi awalan kemurkaan Papa malam itupun lolos begitu saja. Papa melempar beberapa lembar kertas yang merekap sejumlah pengeluaran akibat perbuatannya sore ini. “Apa sih yang bikin otak kamu ini sampai gak berfungsi kayak gini, Sabian?” Dengan wajah yang memerah dan deru napas tak karuan, jari telunjuk Papa sengaja mengetuk-ngetuk kening Bian saking kesalnya.

Sedangkan bocah itu diam tak berkutik. Zaid yang berada di sana pun memilih bungkam sebab, dia mengerti kenapa Bian sampai terkena omelan seperti ini. Lagi pula dia tak punya hak barang sedikitpun untuk ikut menimpali prahara orang tua dan anak, di hadapannya itu.

“Mas! Bisa, kan, ngomongnya pelan-pelan?” pekik Mama seraya menarik paksa lengan Papa.

Jauh di dalam lubuk hati, Bian paham betul apa penyebab kemurkaan Papa yang sampai seperti ini. Kalau bukan karena dia hampir menabrak sesama pengendara motor. Kalau bukan karena cidera yang dialami Zaid atas kecerobohannya.... Bian menghela napas panjang. Dia memutuskan untuk tetap diam mematung. Sebab, jangankan menjawab. Menatap ke arah Mama dan Papa saja nyalinya menciut.

Papa mendengkus. Kalau bisa disuarakan mungkin bunyi detak jantung Papa sudah dag dig dug duar! sejak diberi kabar bahwa Bian beserta Zaid, tidak ada angin, tidak ada hujan tiba-tiba masuk rumah sakit. Terlebih lagi begitu mengetahui kalau Bian biang keroknya.

“Ini, nih! Kenapa Papa males kasih kamu motor tuh ini! Ceroboh! Gak fokus! EGOIS!”

“Bian udah bilang sama Papa kalau—”

“Apa? Minta maaf?” tanya Papa menuntut. Sementara yang ditanya kembali manggut pasrah. “Emangnya kamu pikir dengan minta maaf, itu cukup buat ganti kerusakan motor orang? Emangnya dengan kamu minta maaf, itu bisa benerin kerusakan jalan, ganti motornya Zaid, sama bayar biaya rumah sakit ini?”

Sontak sorot mata Bian turun ke kaki. Menatap nanar kakinya yang juga tengah digips persis seperti tangan Zaid—tidak disebut oleh Papa.

Mama yang paham maksud dari raut wajah Bian, lantas memukul lengan Papa. Bunyinya nyaring, dan sepertinya cukup membuat Papa kesakitan. Meski sama halnya seperti Papa yang tengah marah—melihat bagaimana kondisi Bian, cukup membuat hati Mama sakit. Kaki digips, lengan yang ditempeli plester di beberapa titik—tampaknya karena hasil ciuman dengan bahu jalan, serta ada memar-memar pada wajah Bian. Ibu mana yang tidak sedih jika melihat anaknya dengan keadaan seperti itu?

Mama akhirnya memilih untuk memeluk Bian. Erat, meski harus hati-hati sebab khawatir selang infus Bian justru akan membuat darahnya naik. “It's okay, Bi. Nanti kita perbaiki semuanya begitu keluar dari sini ya, Sayang....”

“Papa itu malu, Bi! Punya anak cowok satu-satunya kok begini, sih?!” seru Papa tak tertahankan..“Ini tuh karna kamu terlalu manjain dia. Udah cukup lah, udah gede anaknya, Ra!” Nah, kan. Kini giliran Mama yang kena semprot.

Tiba-tiba saja pintu terbuka dari luar. Kemudian, eksistensi papa dan mama Zaid sukses menarik atensi keempatnya.

“Zaid!” pekik mama Zaid, seraya menghambur ke arah anaknya itu.

“Gapapa, sumpah aku gapapa! Jangan teriak-teriak, Ma!”

Sementara itu, Papa masih setia memandang Bian dengan nanar. “Lo hajar aja dia. Biar ini anak ngerti kalau konsekuensi itu banyak jenisnya, gak cuman ocehan gue doang,” kata Papa yang kemudian sukses membuat papa Zaid—Om Dio dan Bian melongo tak percaya.

Ada benarnya sih. Pasalnya Papa mau sekesal apapun pada Bian, rasanya enggan main tangan. Tapi lain halnya kalau Bian habis babak belur ditangan Om Dio yang anaknya baru saja dia buat celaka tadi sore. Tapi, alih-alih mengiyakan—Om Dio justru tertawa renyah.

“Om, Bian beneran minta maaf....”

“Santai aja, Bi. Dulu kita juga pernah nyium aspal kayak kalian.” Wajahnya kelihatan jauh lebih tenang dari Papa.

“Dulu kita gak sampai patah tulang,” sergah Papa tak terima. “Denger ya, Bi. Mulai sekarang, gak ada lagi les di luar buat kamu. Kalau mau les.di dalem rumah aja!” Miris. Terhitung kurang dari dua minggu lagi, seharusnya ulangan kenaikan kelas mulai menyambutnya tapi, malah seperti ini.

Sepersekian detik Bian tersadar. Sudah begini, bukan lagi Diajeng Pramesti yang dia pikirkan, melainkan pengambilan rapor kenaikan kelas yang sudah di depan mata.

“Bian masih mau les, Pa.”

“Gak usah!”

“Pa....”

“Kamu ini budek ya?!”

“MAS?! UDAH!” pekik Mama, hingga semua orang yang ada di ruangan itu ikut menatapnya.*


Sejak keributan beberapa waktu lalu yang membuat Papa dan Mama pulang lebih dulu, Bian tak habis-habisnya berkacak seolah tidak terjadi apa-apa. Senyumnya full, meski mata jelas sudah berkaca-kaca. Kalau kata sang nenek, sih 'ingah-ingih motone abang'.

Ngomong-ngomong, selain Mama dan Papa—keluarga Bian tidak ada yang tahu mengenai kabar kecelakaan lalu lintas yang Bian alami ini. Agaknya Papa serius saat mengatakan bahwa dirinya malu.

Om Dio dan sang istri memilih pulang terlebih dahulu, karena menurut dokter mungkin Bian dan Zaid masih harus diopname sampai satu atau dua hari kedepan, maka mereka memutuskan untuk kembali lagi besok pagi sembari membawa pakaian bersih.

Pukul setengah dua belas malam waktu Indonesia bagian Barat dan seperti kata Ayah—Om Yudhis melalui chat beberapa saat lalu, dia lah yang akan menemani Bian, dan Zaid malam ini. Tapi, kebetulan ada Ozi. Kalau dihiperbolakan, Ozi ini pantas jika diberi slogan OCA alias Ozi Cahaya Asia. Pasalnya, mau sesibuk apapun dia sebagai calon mahasiswa baru, dan semalas apapun dia melihat duo sableng di hadapannya ini—dia tetap datang dengan membawa sewadah styrofoam berisikan dua porsi bubur ayam untuk Bian, dan Zaid sekaligus.

“Apa gak malu disuapin sama Oji kayak gitu?” Suara Om Yudhis menarik atensi Zaid seketika.

“Malu itu kalau telanjang, Om,” sahutnya.

Bian terkekeh. Sesaat, dia ingat bagaimana ekspresi wajah Zaid kala mengatakan bahwa dia takut melihat sosok Om Yudhis. Rambut yang dibiarkan memanjang, serta tampang serius yang lelaki dewasa itu miliki memang agak nyentrik. Tapi, hari ini. Setelah keduanya bertemu dan berinteraksi secara langsung seperti ini—tampaknya Zaid mulai merasakan seperti apa daya tarik 'ayahnya' itu.

“Nyaut aja lo!” seru Ozi. Sambil menyuap sesendok bubur kedalam mulut Bian, Ozi memandang jengah ke arah Zaid.

Lalu dengan mulut yang baru saja diisi makanan, Bian sengaja menimpali, “Tau ya. Perasaan dulu ada yang ngakunya takut.”

“Siapa yang takut sama siapa?” tanya Om Yudhis penasaran.

Lantas dengan semangat empat lima, Bian menunjuk ke arah Zaid. “Zaid kan takut sama Ayah! Bian pernah cerita,” katanya berusaha membawa kembali ingatan lelaki yang yang dia sebut-sebut sebagai ayahnya itu. Bian berhasil membuat Zaid merasa canggung seketika.

Melihat bagaimana kedua teman yang sudah dianggap sebagai adiknya itu, Ozi tak tinggal diam. Dia menempatkan sendok, tepat di depan bibir Bian. “Sutt! Daripada lo sibuk ngeledekin Zaid, mending lo pikirin gimana caranya bikin empati orang tua lo balik lagi.”

Mulut Bian langsung mengatup. Lalu dia diam seribu bahasa.

“Sumpah tadi Om Jeffrey marahnya epik banget sih!” Kalau mau mengibaratkan Bian dan Zaid seperti saklar lampu juga boleh. Pasalnya, setelah Zaid selalu ada giliran untuk Bian. Jika sebelumnya Bian yang terus-menerus meledek Zaid, sekarang kebalikannya.

Tapi, belum sempat bocah itu melancarkan aksinya, Om Yudhis lebih dulu angkat bicara. “Ya namanya juga orang marah,” Om Yudhis berdiri, kemudian menutup tirai yang jendelanya mengarah langsung pada jalanan besar Ibu Kota. “Motornya Zaid udah ada di rumah—persis sama yang dirusakin Bian. Malem ini cuman Om yang jagain kalian, termasuk Ozi. Kamu tidur di sini aja, soalnya ini udah hampir tengah malem—rawan. ” bertepatan dengan habisnya bubur yang Ozi bawa, Om Yudhis berkata demikian.

“Ayah....”

“Apa?”

Bian menghela napas panjang. “Soal les, Papa gak bilang apa-apa?” kata Bian. Terdengar lirih di akhir kalimatnya.

Om Yudhis menggeleng, sambil berjalan mendekat ke arah ranjang pasien Bian. Laki-laki dewasa itu menatap wajah Bian lamat-lamat, lalu menggeleng perlahan. Tangannya terulur. Mengusap pucuk kepala bocah yang selama ini sudah dia anggap sebagai anaknya sendiri itu. “Papa kamu gak bilang apa-apa, Bi. Sekarang tidur dulu aja. Nanti kalau udah pulang, bisa bahas langsung sama Papa kamu.”

Perkataan Om Yudhis seperti halnya penenang. Bian mengangguk paham.

“Yaudah, gih. Kalian tidur. Ozi tidur di sofa aja, tuh.”

“Terus, Om, gimana?” tanya Ozi. Khawatir kalau kehadirannya justru membuat Om Yudhis terpaksa tidur di bawah, atau justru terjaga semalaman.

Spontan Om Yudhis merogoh saku celananya, dan mengeluarkan sebuah kotak kecil yang kelihatannya seperti bungkus rokok. “Om mau ke luar dulu. Biasa....”

*Bian dan Zaid akhirnya di sini. Ruangan tertutup, berisikan dua ranjang khas rumah sakit yang masing-masing tengah mereka duduki. Aroma obat, alkohol, dan besi berkarat yang biasa kita temui di rumah sakit itu, menguar. Menguasai indera penciuman Bian. Miris, buntut dari perbuatan Bian ternyata sampai separah ini. Patah tulang kaki kanan miliknya, bersamaan dengan tangan kanan Zaid yang kini tengah digips sebab ada indikasi yang sama dengan Bian.

Bian menatap nanar ke arah Zaid yang berada di atas ranjang di seberangnya. Ekspresi wajah kawannya itu tampak sulit dijelaskan. Mungkin masih syok, atau tengah menahan rasa sakit. Niat hati ingin menghampiri Zaid namun, dia sadar kalau-kalau kaki kanannya masih belum bisa dibawa berjalan sebagaimana maunya.

“Id, motor lo ... gue minta maaf.”

“Gak usah bahas motor gue, Bi. Lo gak liat nih, tangan?” timpal Zaid.

“Ya, soal tangan lo juga.” Sementara Bian memasang wajah memelas, Zaid enggan menjawab.

Dari luar terdengar derap langkah kaki yang memburu, sebelum akhirnya pintu kamar inap ini terbuka dengan kasar. Suaranya memekakan telinga. Bian yakin atensi para perawat yang berada di luar, pasti sempat teralihkan untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Di sana. Di depan pintu akses masuk satu-satunya. Sosok Papa berdiri menjulang, lengkap dengan sorot mata nyalang dan kedua tangan yang terkepal. Papa melangkah masuk tanpa memberi sapaan apapun, sementara Mama tampak buru-buru menutup pintu.

Lalu dengan kasar Papa mencengkram pundak Bian. “Apa sih yang bikin kamu gak punya pikiran kayak gini?” sebuah kalimat yang menjadi awalan kemurkaan Papa malam itupun lolos begitu saja. Papa melempar beberapa lembar kertas yang merekap sejumlah pengeluaran akibat perbuatannya sore ini. “Apa sih yang bikin otak kamu ini sampai gak berfungsi kayak gini, Sabian?” Dengan wajah yang memerah dan deru napas tak karuan, jari telunjuk Papa sengaja mengetuk-ngetuk kening Bian saking kesalnya.

Sedangkan bocah itu diam tak berkutik. Zaid yang berada di sana pun memilih bungkam sebab, dia mengerti kenapa Bian sampai terkena omelan seperti ini. Lagi pula dia tak punya hak barang sedikitpun untuk ikut menimpali prahara orang tua dan anak, di hadapannya itu.

“Mas!” pekik Mama seraya menarik paksa lengan Papa.

Jauh di dalam lubuk hati, Bian paham betul apa penyebab kemurkaan Papa yang sampai seperti ini. Kalau bukan karena dia hampir menabrak sesama pengendara motor. Kalau bukan karena cidera yang dialami Zaid atas kecerobohannya.... Bian menghela napas panjang. Dia memutuskan untuk tetap diam mematung. Sebab, jangankan menjawab. Menatap ke arah Mama dan Papa saja nyalinya menciut.

Papa mendengkus. Kalau bisa disuarakan mungkin bunyi detak jantung Papa sudah dag dig dug duar! sejak diberi kabar bahwa Bian beserta Zaid, tidak ada angin, tidak ada hujan tiba-tiba masuk rumah sakit. Terlebih lagi begitu mengetahui kalau Bian biang keroknya.

“Ini, nih! Kenapa Papa males kasih kamu motor tuh ini! Ceroboh! Gak fokus! EGOIS!”

“Bian udah bilang sama Papa kalau—”

“Apa? Minta maaf?” tanya Papa menuntut. Sementara yang ditanya kembali manggut pasrah. “Emangnya kamu pikir dengan minta maaf, itu cukup buat ganti kerusakan motor orang? Emangnya dengan kamu minta maaf, itu bisa benerin kerusakan jalan, ganti motornya Zaid, sama bayar biaya rumah sakit ini?”

Sontak sorot mata Bian turun ke kaki. Menatap nanar kakinya yang juga tengah digips persis seperti tangan Zaid—tidak disebut oleh Papa.

Mama yang paham maksud dari raut wajah Bian, lantas memukul lengan Papa. Bunyinya nyaring, dan sepertinya cukup membuat Papa kesakitan. Meski sama halnya seperti Papa yang tengah marah—melihat bagaimana kondisi Bian, cukup membuat hati Mama sakit. Kaki digips, lengan yang ditempeli plester di beberapa titik—tampaknya karena hasil ciuman dengan bahu jalan, serta ada memar-memar pada wajah Bian. Ibu mana yang tidak sedih jika melihat anaknya dengan keadaan seperti itu?

Mama akhirnya memilih untuk memeluk Bian. Erat, meski harus hati-hati sebab khawatir selang infus Bian justru akan membuat darahnya naik. “It's okay, Bi. Nanti kita perbaiki semuanya begitu keluar dari sini ya, Sayang....”

“Papa itu malu, Bi! Punya anak cowok satu-satunya kok begini, sih?!” seru Papa tak tertahankan..“Ini tuh karna kamu terlalu manjain dia. Udah cukup lah, udah gede anaknya, Ra!” Nah, kan. Kini giliran Mama yang kena semprot.

Tiba-tiba saja pintu terbuka dari luar. Kemudian, eksistensi papa dan mama Zaid sukses menarik atensi keempatnya.

“Zaid!” pekik mama Zaid, seraya menghambur ke arah anaknya itu.

“Gapapa, sumpah aku gapapa! Jangan teriak-teriak, Ma!”

Sementara itu, Papa masih setia memandang Bian dengan nanar. “Lo hajar aja dia. Biar ini anak ngerti kalau konsekuensi itu banyak jenisnya, gak cuman ocehan gue doang,” kata Papa yang kemudian sukses membuat papa Zaid—Om Dio dan Bian melongo tak percaya.

Ada benarnya sih. Pasalnya Papa mau sekesal apapun pada Bian, rasanya enggan main tangan. Tapi lain halnya kalau Bian habis babak belur ditangan Om Dio yang anaknya baru saja dia buat celaka tadi sore. Tapi, alih-alih mengiyakan—Om Dio justru tertawa renyah.

“Om, Bian beneran minta maaf....”

“Santai aja, Bi. Dulu kita juga pernah nyium aspal kayak kalian.” Wajahnya kelihatan jauh lebih tenang dari Papa.

“Dulu kita gak sampai patah tulang,” sergah Papa tak terima. “Denger ya, Bi. Mulai sekarang, gak ada lagi les di luar buat kamu. Kalau mau les.di dalem rumah aja!” Miris. Terhitung kurang dari dua minggu lagi, seharusnya ulangan kenaikan kelas mulai menyambutnya tapi, malah seperti ini.

Sepersekian detik Bian tersadar. Sudah begini, bukan lagi Diajeng Pramesti yang dia pikirkan, melainkan pengambilan rapor kenaikan kelas yang sudah di depan mata.

“Bian masih mau les, Pa.”

“Gak usah!”

“Pa....”

“Kamu ini budek ya?!”

“MAS?! UDAH!” pekik Mama, hingga semua orang yang ada di ruangan itu ikut menatapnya.*


Sejak keributan beberapa waktu lalu yang membuat Papa dan Mama pulang lebih dulu, Bian tak habis-habisnya berkacak seolah tidak terjadi apa-apa. Senyumnya full, meski mata jelas sudah berkaca-kaca. Kalau kata sang nenek, sih 'ingah-ingih motone abang'.

Ngomong-ngomong, selain Mama dan Papa—keluarga Bian tidak ada yang tahu mengenai kabar kecelakaan lalu lintas yang Bian alami ini. Agaknya Papa serius saat mengatakan bahwa dirinya malu.

Om Dio dan sang istri memilih pulang terlebih dahulu, karena menurut dokter mungkin Bian dan Zaid masih harus diopname sampai satu atau dua hari kedepan, maka mereka memutuskan untuk kembali lagi besok pagi sembari membawa pakaian bersih.

Pukul setengah dua belas malam waktu Indonesia bagian Barat dan seperti kata Ayah—Om Yudhis melalui chat beberapa saat lalu, dia lah yang akan menemani Bian, dan Zaid malam ini. Tapi, kebetulan ada Ozi. Kalau dihiperbolakan, Ozi ini pantas jika diberi slogan OCA alias Ozi Cahaya Asia. Pasalnya, mau sesibuk apapun dia sebagai calon mahasiswa baru, dan semalas apapun dia melihat duo sableng di hadapannya ini—dia tetap datang dengan membawa sewadah styrofoam berisikan dua porsi bubur ayam untuk Bian, dan Zaid sekaligus.

“Apa gak malu disuapin sama Oji kayak gitu?” Suara Om Yudhis menarik atensi Zaid seketika.

“Malu itu kalau telanjang, Om,” sahutnya.

Bian terkekeh. Sesaat, dia ingat bagaimana ekspresi wajah Zaid kala mengatakan bahwa dia takut melihat sosok Om Yudhis. Rambut yang dibiarkan memanjang, serta tampang serius yang lelaki dewasa itu miliki memang agak nyentrik. Tapi, hari ini. Setelah keduanya bertemu dan berinteraksi secara langsung seperti ini—tampaknya Zaid mulai merasakan seperti apa daya tarik 'ayahnya' itu.

“Nyaut aja lo!” seru Ozi. Sambil menyuap sesendok bubur kedalam mulut Bian, Ozi memandang jengah ke arah Zaid.

Lalu dengan mulut yang baru saja diisi makanan, Bian sengaja menimpali, “Tau ya. Perasaan dulu ada yang ngakunya takut.”

“Siapa yang takut sama siapa?” tanya Om Yudhis penasaran.

Lantas dengan semangat empat lima, Bian menunjuk ke arah Zaid. “Zaid kan takut sama Ayah! Bian pernah cerita,” katanya berusaha membawa kembali ingatan lelaki yang yang dia sebut-sebut sebagai ayahnya itu. Bian berhasil membuat Zaid merasa canggung seketika.

Melihat bagaimana kedua teman yang sudah dianggap sebagai adiknya itu, Ozi tak tinggal diam. Dia menempatkan sendok, tepat di depan bibir Bian. “Sutt! Daripada lo sibuk ngeledekin Zaid, mending lo pikirin gimana caranya bikin empati orang tua lo balik lagi.”

Mulut Bian langsung mengatup. Lalu dia diam seribu bahasa.

“Sumpah tadi Om Jeffrey marahnya epik banget sih!” Kalau mau mengibaratkan Bian dan Zaid seperti saklar lampu juga boleh. Pasalnya, setelah Zaid selalu ada giliran untuk Bian. Jika sebelumnya Bian yang terus-menerus meledek Zaid, sekarang kebalikannya.

Tapi, belum sempat bocah itu melancarkan aksinya, Om Yudhis lebih dulu angkat bicara. “Ya namanya juga orang marah,” Om Yudhis berdiri, kemudian menutup tirai yang jendelanya mengarah langsung pada jalanan besar Ibu Kota. “Motornya Zaid udah ada di rumah—persis sama yang dirusakin Bian. Malem ini cuman Om yang jagain kalian, termasuk Ozi. Kamu tidur di sini aja, soalnya ini udah hampir tengah malem—rawan. ” bertepatan dengan habisnya bubur yang Ozi bawa, Om Yudhis berkata demikian.

“Ayah....”

“Apa?”

Bian menghela napas panjang. “Soal les, Papa gak bilang apa-apa?” kata Bian. Terdengar lirih di akhir kalimatnya.

Om Yudhis menggeleng, sambil berjalan mendekat ke arah ranjang pasien Bian. Laki-laki dewasa itu menatap wajah Bian lamat-lamat, lalu menggeleng perlahan. Tangannya terulur. Mengusap pucuk kepala bocah yang selama ini sudah dia anggap sebagai anaknya sendiri itu. “Papa kamu gak bilang apa-apa, Bi. Sekarang tidur dulu aja. Nanti kalau udah pulang, bisa bahas langsung sama Papa kamu.”

Perkataan Om Yudhis seperti halnya penenang. Bian mengangguk paham.

“Yaudah, gih. Kalian tidur. Ozi tidur di sofa aja, tuh.”

“Terus, Om, gimana?” tanya Ozi. Khawatir kalau kehadirannya justru membuat Om Yudhis terpaksa tidur di bawah, atau justru terjaga semalaman.

Spontan Om Yudhis merogoh saku celananya, dan mengeluarkan sebuah kotak kecil yang kelihatannya seperti bungkus rokok. “Om mau ke luar dulu. Biasa....”