cakgrays

Kalau biasanya di hari Sabtu dan Minggu Bian akan sekonyong-konyong merangkul pundak Zaid sepulang les untuk dia ajak mampir ke rumahnya—akhir-akhir ini tidak lagi. Bahkan kini Bian berangkat diantar oleh Mama, bukan lagi menebeng motor bebek milik Zaid yang sepertinya hampir setiap hari dimandikan itu. Sebab, kalau dilihat-lihat knalpotnya selalu kinclong di situasi apapun. Jangan tanya lalu bagaimana pulangnya? Ya naik angkutan umum demi melancong bersama Diajeng Pramesti—sang kekasih bayangan. Konon katanya kasmaran anak remaja sering kali berdampak mengesampingkan pertemanan bagi yang tengah merasakan. Mungkin benar adanya.

Lalu bicara soal Ozi, agaknya Bian hampir melupakan pemuda itu. Sebab, saat ini kelas dua belas sudah dibebaskan dari kegiatan belajar mengajar apapun, jadi dia jarang sekali melihat Ozi. Kendati begitu, saking asyik mengukir kisah asmara bersama sang gadis yang notabenenya bukan kekasihnya itu—Bian sampai tak punya waktu untuk menanyakan bagaimana kabar Ozi, atau sekedar berdebat dengan salah satu di antara Ozi dan Zaid melalui grup online.

“Bulan depan Papa nikah,” kata Ajeng di dalam keheningan bus Transjakarta.

Bian meringis. Pantas saja belakangan ini wajah Ajeng tampak sedikit masam meski masih ada sedikit manis-manisnya. Tujuan Bian mengajak Ajeng pergi ke ancol di Sabtu sore ini ya bisa dibilang sebuah usaha untuk menghilangkan masam di wajahnya itu, tapi ternyata justru sebaliknya. Wajah Ajeng kian kusut usai mengatakan kalimat barusan.

“Terus ... kamu gak happy, ya?” tanya Bian. Bodohnya dia menanyakan hal yang jelas-jelas sudah dia ketahui apa jawabannya.

“Mau ada seratus perempuan baik pun yang coba buat gantiin Mama, buat aku gak ada yang bisa, Sab.” Kalau saja bukan di tempat umum seperti ini, mungkin Ajeng akan kembali menangis. Apalagi yang lebih sedih selain menjadi satu-satunya saksi kehancuran keluarga saat masih kecil dan ditinggal selama-lamanya oleh seorang ibu saat beranjak besar?

Ikhlas, melupakan, kemudian menerima orang baru kan bukan perkara yang mudah.

Bian membentangkan sebelah tangannya persis di depan wajah Ajeng yang memerah sebab sepertinya tengah menahan kesedihan. “Daleman aku tipis, nanti kalo aku lepas hoodie ini buat nutupin kamu nangis, bisa-bisa kamu dikira jalan sama gembel ... jadi, nangis di sini aja. Di lengan aku.”

Alih-alih merasa terharu, Ajeng justru menatap Bian dengan ekspresi wajah datar sambil meneteskan air mata yang semula dia tampung. Kemudian, tanpa mengatakan apapun, Ajeng mengeluarkan sebungkus tisu dalam tasnya.

Bian jelas tergelak. Apalagi saat Ajeng berlaga mengusap air matanya dengan gestur yang berlebihan.

“Omong-omong, aku udah lama gak liat kamu bareng Zaid. Biasanya berduaan, kan?” tanya Ajeng.

Bian geming seketika. Mungkin kalau Ajeng tidak menyinggung soal ini, Bian tidak akan sadar bahkan sampai beberapa hari kedepan. Ajeng sendiri sedikit banyak sadar kalau yang menyebabkan kerenggangan hubungan pertemanan Bian dan Zaid bisa jadi adalah dirinya. Pasalnya bisa hampir semalaman Bian mengirimi dia pesan, sementara sejak pagi sampai sore Bian menghabiskan waktunya dengan berada di sisi Ajeng. Maka sudah dapat dipastikan bahwa Bian tidak lagi memiliki waktu untuk bermain dengan Zaid seperti dulu.

“Sab....”

Sabian berdeham singkat, seraya menatap Ajeng.

“Pikiran kamu itu harusnya bisa lebih luas, dan gak melulu tentang aku. Bukannya mau kepedean, ya, tapi jelas-jelas kamu pagi, siang, sore, malem ngechat aku terus. Aku gak keberatan sama sekali, Sab. Masalahnya itu bukan kewajiban kamu. Apa kamu gak kepikiran? Mungkin aja Zaid kangen diajak main.” Dengan penuh kehati-hatian Ajeng berkata demikian. Ajeng hanya tidak mau Zaid mengira kalau dia merebut Bian dari pertemanannya.

Ajeng memposisikan tangannya di bawah dagu Bian. Sambil tersenyum dia mengusap-usap dagu Bian dengan lembut. “Aku baru sadar kalo kamu selalu kayak gini.”

Bian menaikan sebelah alisnya, bingung. Kalau boleh jujur, berada sedekat ini dengan Ajeng membuat jantung terus berdebar tak karuan.

“Selalu kayak anak kecil. Apa-apa masih harus dikasih tau.”

Lantas Bian tersenyum. Senyum sumringah sampai-sampai kedua matanya menyipit sempurna—membentuk selayaknya bulan sabit. “Kamu juga selalu kayak gini, ya?” tanya Bian. Kali ini Bian menangkup kedua tangan Ajeng, sambil mengganti ekspresi wajahnya menjadi lebih serius.

“Aku kayak gimana?” sahut Ajeng. Pasalnya dia tidak merasa telah melakukan sesuatu yang mencolok perhatian.

“Kayak Mama. Selalu bikin aku jadi anak kecil.”

“Enggak. Itu sih naluri kamu aja.”

Ketika berbicara dengan Ajeng, Bian seringkali lupa waktu. Padahal kalau dipikir-pikir jarak dari tempat les mereka menuju ancol terbilang lumayan, tapi entah kenapa rasanya seperti hanya setempongan saja.

Saat bus Transjakarta yang mereka tumpangi itu perlahan berhenti, untuk menurunkan para penumpangnya di halte busway—semua penumpangnya berdiri, termasuk Bian dan Ajeng. Bian sengaja menggenggam erat tangan Ajeng. Khawatir kalau-kalau gadis itu mungkin kehilangan keseimbangan atau yang lainnya.

“Jangan modus ya Sabian!”

“Aku pengangin biar kamu gak guling-guling! Bukannya makasih? Kalo modus tuh gini!” Detik kemudian Bian merangkul pundak Ajeng. Dan saat lengannya baru menyentuh pundak gadis itu, Bian langsung mendapat tatapan; lepasin atau burung lo gue tendang?! Dengan gerak secepat kilat, Bian menarik tangan sambil cengar-cengir.


“Kamu harus tau kalo seumur hidup aku ... enam belas tahun, lebih sepuluh bulan—kamu itu satu-satunya cewek yang aku ajak duduk di pinggir pantai berduaan kayak gini. Mama aja gak pernah! Kamu beruntung soalnya aku sesuka itu sama kamu!” kata Bian dengan nada setengah jumawa.

Ajeng menarik sudut bibirnya seketika. Dia mengangguk-angguk seakan setuju. Sempat terlintas dalam benaknya bahwa mungkin sampai detik ini Bian mendapat limpahan kasih sayang yang berlebihan dari orang-orang di sekitarnya, sampai-sampai pemuda itu nekad mengamalkan banyak kasih sayang pada seorang gadis yang notabenenya hanya sekedar teman dekat baginya, tidak lebih.

Sorot mata Ajeng kini fokus pada satu objek di depan sana. Pada ombak kecil yang mengarah ke mereka. Ajeng sadar kalau satu-satunya hal menjadi ujung tombak keputusannya untuk menolak seorang Sabian Aditama adalah perasaannya sendiri. Kenapa? Sebab, sejak kecil yang Ajeng ketahui hanya perihal pertengkaran kedua orangtuanya. Sebab, saat beranjak besar, alih-alih semuanya membaik—dia justru mendapat kabar duka yang berasal dari sang mama. Lalu, sebentar lagi dia akan tiba di titik lara selanjutnya. Dilupakan oleh cinta pertamanya—Papa. Sebab Papa akan segera menikah untuk kedua kalinya. Maka, saat hari di mana Bian datang untuk menawarkan banyak bentuk kasih sayang, yang Ajeng rasakan malah perasaan khawatir serta takut kehilangan.

Kalau ditanya soal bagaimana perasaan Ajeng sendiri terhadap Bian, sepertinya sudah cukup jelas. Bahkan raut wajah gadis itu selalu menggambarkan keceriaan tatkala ada di dekat Bian. Lagi pula, untuk seusia mereka, bukan menjadi hal yang sulit untuk saling memiliki ketertarikan terhadap lawan jenis.

“Kalo setelah semua wishlist aku bareng kamu udah selesai, tapi kamu belom mau jadi pacar aku—gapapa. Aku janji buat lepasin kamu dengan lapang dada,” kata Bian. Tangan kanannya sengaja memukul dadanya sendiri seolah teguh mengatakan hal tersebut. Sontak Ajeng terkekeh malu meski bukan dia yang mengatakannya.

“Aku serius!” timpal Bian. Lalu dia sedikit memutar tubuhnya demi menghadap Ajeng sepenuhnya. “Tapi ... kita bisa tetep jadi temen, kan?”

“Boleh, tapi pasti awkward.”

Mendengar jawaban Ajeng barusan, lantas bahu Bian merosot. Kemudian dengan sengaja Bian meletakkan kepalanya di atas pundak Ajeng sembari mencebikkan bibir.

“Kamu kedengerannya kayak yakin banget kalo kita gak bakal pacaran....”

“Sab ... ini suara getar HP siapa ya?”

“HP aku,” sahut Bian dengan begitu santainya. “Paling Mama nyariin, soalnya aku belom pamit kalo mau main.” Bian masih tak acuh, sementara ponsel terus bergetar di dalam saku celananya.

“Ohhh—MAKSUDNYA?! GILA SAB? BELOM PAMIT?!!”

“Kopi?” Jeffrey membuka percakapan.

Hanya ada secangkir kopi di genggamannya sejak tadi, tapi tanpa pikir panjang Jeffrey sekonyong-konyong menawarkan kopi tersebut pada Ratu. Lebih mirip seperti basa basi, Ratu tahu jelas.

“Itu punya kamu yang tadi, kan?”

Jeffrey terkekeh seraya mengangguk setuju. Matanya menatap Ratu yang tengah mengusapkan selembar kapas di tangan ke wajahnya. Istrinya itu sibuk menatap pantulan wajahnya pada sebuah cermin kaca. Ritual sebelum tidur adalah melembabkan wajah—yah, setidaknya itu yang ia tahu.

Hati-hati Jeffrey meletakkan cangkir kopinya di atas nakas, di bawah cermin kaca yang memantulkan wajah Ratu. Kedua tangan Jeffrey mendarat sempurna pada pundak istrinya itu. Mengusapnya dengan lembut, dan perlahan turun ke bawah.

Jeffrey mencondongkan tubuhnya ke depan, memeluk pinggang Ratu dari belakang. Tanpa memberi aba-aba ia mencium pundak Ratu. Tidak ada perlawanan sedikitpun. Hati-hati dan lembut, begitu cara Jeffrey melakukan kegiatannya. Tidak terburu-buru, dan diam-diam ia meninggal bekas keunguan di sana.

Ratu melenguh. Tangan yang semula sibuk mengusap sekitar wajahnya itu, kini terkepal. Kapas yang sempat ia genggam jatuh ke lantai, bersamaan dengan Jeffrey yang tiba-tiba saja menyebut namanya.

“Ra...,” Jeffrey menatap cermin kaca, lalu tersenyum bangga. “Bisa kan? Gini doang mah gampang.”

Tanpa menunggu jawaban yang keluar dari mulut Ratu, Jeffrey membuat Ratu memutar posisi duduknya seketika. Kini mereka saling bertatapan. Sampai detik ini istrinya itu masih memasang wajah yang biasa-biasa saja. Membuat Jeffrey justru merasa semakin tertantang.

Jeffrey menjulurkan tangannya. Menyingkirkan anak rambut Ratu yang sedikit mengganggu netranya saat mengamati wajah wanitanya itu. Cantik. Jeffrey langsung menarik tengkuk Ratu. Membawanya ke dalam sebuah ciuman panas tanpa perlu meminta izin sebelumnya. Sementara itu, Ratu tidak hanya diam. Ia tahu betul tentang apa yang harus dilakukan selanjutnya.

Ratu membalas ciuman Jeffrey tak kalah panas. Tangannya kini bertengger di atas pundak Jeffrey. Mencengkram piyama tidur suaminya kuat-kuat, sampai sesaat kemudian ia mulai merasa kehabisan napas.

“Mas....” Netra mereka saling bertemu satu sama lain.

“Kalau pegel sambil duduk, kita bisa pindah ke kasur, Ra.”

Sontak tawa Ratu tak tertahankan. “Si paling peka.”

“MAS!” Spontan Ratu mengalungkan tangannya pada leher Jeffrey, tatkala suaminya itu menggendong tubuhnya menuju ranjang mereka.

Jeffrey mendudukkan Ratu di atas ranjang. “Kamu tau gak, sih? Ada yang namanyawoman on top.”

“Macem-macem.”

“Ayolah, Ra. Sekali....”

Ratu menggeleng. Kalau boleh jujur sebenarnya bukan ia tidak tertarik, melainkan ia khawatir kalau-kalau ternyata ia tidak bisa seperti apa yang Jeffrey bayangkan. “Aku gak bisa, Mas,” katanya lirih.

Lantaran enggan merusak malam panjang mereka kali ini, Jeffrey pun mengangguk paham. Ia juga bukan tipikal orang yang akan memaksakan keinginan saat bercinta. Yang terpenting bagi Jeffrey, adalah Ratu menikmati setiap kegiatan mereka.

Selanjutnya Jeffrey memilih untuk kembali mengusik dua belah benda warna ranum milik Ratu. Kian lama pagutannya semakin dalam.

Dan, dengan mata setengah tertutup—Jeffrey semakin agresif sampai lagi-lagi sesuatu kembali menghentikan kegiatannya. Sejenak Jeffrey menarik diri sebab sepertinya Ratu sudah kehabisan napas karena ciumannya. Ia terkekeh melihat dada Ratu yang naik dan turun dengan cepat—tampak seolah itu satu-satunya waktu yang tersisa untuk ia bernapas.

“Jangan lupa napas, Ra.”

Ratu menggeleng cepat. “Terus kamu napas pakai CO² dari aku?” katanya melebih-lebihkan. Kedengarannya mirip seperti guru biologi saat mereka masih sekolah dulu. Bisa-bisanya membahas senyawa saat ingin bercinta.

Jeffrey menggigit bibirnya sendiri, saking gemasnya. “Dilanjut apa mau tidur aja?” tanya Jeffrey.

Ratu melempar tatapannya pada sebuah cermin kaca yang kini tengah menampilkan figur mereka berdua di kejauhan. Ratu dapat melihat dengan jelas seperti apa Jeffrey yang tengah sibuk mengamati wajahnya dengan sorot mata tajam. Ada nafsu yang susah payah ia coba redam.

Ratu mengulum bibir malu-malu, “Ya ... terserah, jam terbang aku kan fleksibel. Gak kayak kamu yang kerja ter—” Belum sempat Ratu mengakhiri perkataannya, Jeffrey lebih dahulu menariknya hingga habis jarak di antara mereka.

Ia kembali mencium bibir Ratu, namun, kali ini jauh lebih intens dari sebelumnya. Sengaja ia hisap lidah Ratu, dan menjelajahi area mulut Ratu tanpa celah sedikitpun.

Sembari membaringkan tubuh Ratu—Jeffrey meraih kancing kemeja istrinya itu, kemudian membuka tiap-tiap kancingnya dengan tergesa. Piyama Ratu sontak merosot begitu saja. Menampilkan dua belah dada berukuran sedang—kesukaan Jeffrey.

Sementara Ratu menyentuh ujung pakaian Jeffrey. Dia ingin Jeffrey melakukan hal sama pada pakaiannya sendiri.

Jeffrey kembali melepas pagutan mereka, lalu menarik pakaiannya ke atas kepala, sampai seluruh six-pack yang ia punya terekspos secara nyata.

Ratu menyentuhnya. Mulai dari dada, lalu ke perut Jeffrey. Kulit putih dan lembut di bawah ujung jarinya itu merinding seketika. Dan, saat Ratu mendongakkan kepalanya ke atas yang ia dapat ialah tatapan mata Jeffrey yang sedikit berbeda dari sebelumnya. Ia sadar kalau setelah ini, permintaan untuk berhenti pun tidak akan Jeffrey pedulikan.

Jeffrey masih berdiam diri, memangamati bagian atas tubuh Ratu yang masih menyisakan sebuah bra di sana. Kalau dipikir-pikir Jeffrey suka segala aspek dari tubuh Ratu. Mulai dari warna kulitnya hingga bentuk tubuhnya yang proporsional. Sepertinya Jeffrey tidak mungkin sampai sekesulitan ini menahan nafsu kalau yang ada di hadapannya saat ini bukanlah Ratu.

Jeffrey menarik bagian bawah dari piyama, beserta satu lagi kain yang menutupi milik Ratu sampai benar-benar lepas dari kakinya. Ia tersenyum untuk kesekian kalinya. Sesuatu di sana sepertinya sudah bereaksi sejak tadi. Jeffrey tahu saat tangannya dengan sengaja menyentuh area itu.

“Sumpah aku benci banget liat kamu cengengesan tiap kali kita lagi kayak gini!” seru Ratu. Meski dalam keadaan terbaring di atas ranjang, jelas ia masih mampu menangkap segala macam ekspresi wajah yang Jeffrey tunjukkan.

“Aku salting, bukan cengengesan....” Jeffrey bangkit. Yang selanjutnya ia lakukan adalah melepas sisa kain yang masih menutupi bagian bawahnya. Sampai saat miliknya tampil secara terang-terangan, Ratu refleks meneguk salivanya.

Perasaan Ratu saat ini adalah antara takut dan ingin. Meski begitu rasa takut itupun kini tak berarti apa-apa, pasalnya detik kemudian Jeffrey sudah melayang di atas tubuh Ratu dengan kedua tangannya yang menopang.

“Jangan tutup mata, aku gak suka.”

Sial, Ratu baru ingat kalau ia harus membuka matanya sampai akhir kegiatan mereka. Lantas wajahnya memanas. Ratu malu. Dan, tanpa menanggapi respon Ratu atas perkataannya—Jeffrey memilih untuk langsung memulai kegiatannya.

Lenguhan demi lenguhan Ratu loloskan tatkala Jeffrey secara membabi buta menandai setiap inci dari dadanya. Jeffrey memang selalu memulainya dari sana. Lalu ia akan kembali naik ke atas. Menyapu ceruk leher Ratu, sebelum semakin naik ke atas untuk menghisap hingga melumat bibir istrinya itu. Di saat seperti ini, Jeffrey selalu fokus.

Belum apa-apa, peluh Ratu sudah membasahi kening. Padahal kamar mereka memiliki pendingin ruangan. Mungkin karena faktor jantung Ratu yang berdebar sangat kencang, tentunya sejak saat sesuatu di bawah sana tanpa sengaja saling bersentuhan.

Ratu dapat samar-samar merasakan milik Jeffrey yang mulai mengeras di atas miliknya. Naik dan turun, entah Jeffrey sengaja atau tidak—yang jelas hal itu membuat Ratu sedikit kewalahan.

Jeffrey kembali bermain dengan benda kembar di dada Ratu. Bra yang sebelumnya sengaja ia biarkan menutup area tersebut, kini Jeffrey singkirkan.

Jeffrey paling suka melihat ekspresi wajah Ratu yang tertekan di bawah kendalinya seperti ini. Wanita itu terus menggigit bibirnya tatkala Jeffrey mengulum salah satu dari buah dadanya. Tak jarang Ratu sampai terdengar mengerang frustasi.

“Mas!”

“Hm?” Jeffrey hanya berdehem, sebab mulutnya saat ini sangat penuh.

“Kamu ... ngh! Mau woman on top kan?”

“Heem.”

“Lepas dulu!” seru Ratu. Seketika Jeffrey menarik bibirnya dari buah dada Ratu.

Selanjutnya, tanpa membuang-buang waktu—Ratu langsung membalikkan posisi mereka. Kini tubuh Jeffrey berada tepat di bawahnya. Sementara lelaki itu justru cengar-cengir. Seperti tidak sabar menerima servis yang akan Ratu lakukan kepadanya.

“Oh, jadi kayak gini....” Ratu mendarat bokongnya dengan sempurna di atas milik Jeffrey. Membuat sang empunya mengerang seketika.

“Kamu ... sumpah! Bilang aja mau bales dendam!!”

Ratu tergelak bukan main. Ia semakin sengaja mempermainkan milik Jeffrey di bawah sana dengan cara terus menggerakkan pinggulnya tak beraturan.

“RA! GAK GINI RA!”

“RATU!” pekik Jeffrey lebih kencang sebab Ratu tidak meresponnya.

Ibarat roda yang berputar, kini Ratu harus menerima kenyataan kalau posisinya kembali seperti semula sebab Jeffrey yang bertenaga tiga kali lebih kuat darinya itu membuatnya berbaring seketika.

Kemudian tanpa memberikan aba-aba, Jeffrey sudah memposisikan miliknya di depan milik Ratu.

“Gak ada lagi main sopan, Ra. Kamu gak sopan duluan.”

“Tunggu-tunggu aku belum si—”

Malam ini, Ratu kalah telak. Jeffrey mendominasi permainan sampai selesai meski dalam benaknya ia masih menginginkan 'woman on top' di antara mereka.

Malam ini, alih-alih menjadi malam panjang untuk mereka, justru menjadi malam yang begitu panjang untuk Ratu seorang. Yah, pasalnya selain bercinta—Jeffrey juga sekaligus membalas Ratu, walaupun yang sebenarnya ialah biang keroknya.

“Kopi?” Jeffrey membuka percakapan.

Hanya ada secangkir kopi di genggamannya sejak tadi, tapi tanpa pikir panjang Jeffrey sekonyong-konyong menawarkan kopi tersebut pada Ratu. Lebih mirip seperti basa basi, Ratu tahu jelas.

“Itu punya kamu yang tadi, kan?”

Jeffrey terkekeh seraya mengangguk setuju. Matanya menatap Ratu yang tengah mengusapkan selembar kapas di tangan ke wajahnya. Istrinya itu sibuk menatap pantulan wajahnya pada sebuah cermin kaca. Ritual sebelum tidur adalah melembabkan wajah—yah, setidaknya itu yang ia tahu.

Hati-hati Jeffrey meletakkan cangkir kopinya di atas nakas, di bawah cermin kaca yang memantulkan wajah Ratu. Kedua tangan Jeffrey mendarat sempurna pada pundak istrinya itu. Mengusapnya dengan lembut, dan perlahan turun ke bawah.

Jeffrey mencondongkan tubuhnya ke depan, memeluk pinggang Ratu dari belakang. Tanpa memberi aba-aba ia mencium pundak Ratu. Tidak ada perlawanan sedikitpun. Hati-hati dan lembut, begitu cara Jeffrey melakukan kegiatannya. Tidak terburu-buru, dan diam-diam ia meninggal bekas keunguan di sana.

Ratu melenguh. Tangan yang semula sibuk mengusap sekitar wajahnya itu, kini terkepal. Kapas yang sempat ia genggam jatuh ke lantai, bersamaan dengan Jeffrey yang tiba-tiba saja menyebut namanya.

“Ra...,” Jeffrey menatap cermin kaca, lalu tersenyum bangga. “Bisa kan? Gini doang mah gampang.”

Tanpa menunggu jawaban yang keluar dari mulut Ratu, Jeffrey membuat Ratu memutar posisi duduknya seketika. Kini mereka saling bertatapan. Sampai detik ini istrinya itu masih memasang wajah yang biasa-biasa saja. Membuat Jeffrey justru merasa semakin tertantang.

Jeffrey menjulurkan tangannya. Menyingkirkan anak rambut Ratu yang sedikit mengganggu netranya saat mengamati wajah wanitanya itu. Cantik. Jeffrey langsung menarik tengkuk Ratu. Membawanya ke dalam sebuah ciuman panas tanpa perlu meminta izin sebelumnya. Sementara itu, Ratu tidak hanya diam. Ia tahu betul tentang apa yang harus dilakukan selanjutnya.

Ratu membalas ciuman Jeffrey tak kalah panas. Tangannya kini bertengger di atas pundak Jeffrey. Mencengkram piyama tidur suaminya kuat-kuat, sampai sesaat kemudian ia mulai merasa kehabisan napas.

“Mas....” Netra mereka saling bertemu satu sama lain.

“Kalau pegel sambil duduk, kita bisa pindah ke kasur, Ra.”

Sontak tawa Ratu tak tertahankan. “Si paling peka.”

“MAS!” Spontan Ratu mengalungkan tangannya pada leher Jeffrey, tatkala suaminya itu menggendong tubuhnya menuju ranjang mereka.

Jeffrey mendudukkan Ratu di atas ranjang. “Kamu tau gak, sih? Ada yang namanyawoman on top.”

“Macem-macem.”

“Ayolah, Ra. Sekali....”

Ratu menggeleng. Kalau boleh jujur sebenarnya bukan ia tidak tertarik, melainkan ia khawatir kalau-kalau ternyata ia tidak bisa seperti apa yang Jeffrey bayangkan. “Aku gak bisa, Mas,” katanya lirih.

Lantaran enggan merusak malam panjang mereka kali ini, Jeffrey pun mengangguk paham. Ia juga bukan tipikal orang yang akan memaksakan keinginan saat bercinta. Yang terpenting bagi Jeffrey, adalah Ratu menikmati setiap kegiatan mereka.

Selanjutnya Jeffrey memilih untuk kembali mengusik dua belah benda warna ranum milik Ratu. Kian lama pagutannya semakin dalam.

Dan, dengan mata setengah tertutup—Jeffrey semakin agresif sampai lagi-lagi sesuatu kembali menghentikan kegiatannya. Sejenak Jeffrey menarik diri sebab sepertinya Ratu sudah kehabisan napas karena ciumannya. Ia terkekeh melihat dada Ratu yang naik dan turun dengan cepat—tampak seolah itu satu-satunya waktu yang tersisa untuk ia bernapas.

“Jangan lupa napas, Ra.”

Ratu menggeleng cepat. “Terus kamu napas pakai CO² dari aku?” katanya melebih-lebihkan. Kedengarannya mirip seperti guru biologi saat mereka masih sekolah dulu. Bisa-bisanya membahas senyawa saat ingin bercinta.

Jeffrey menggigit bibirnya sendiri, saking gemasnya. “Dilanjut apa mau tidur aja?” tanya Jeffrey.

Ratu melempar tatapannya pada sebuah cermin kaca yang kini tengah menampilkan figur mereka berdua di kejauhan. Ratu dapat melihat dengan jelas seperti apa Jeffrey yang tengah sibuk mengamati wajahnya dengan sorot mata tajam. Ada nafsu yang susah payah ia coba redam.

Ratu mengulum bibir malu-malu, “Ya ... terserah, jam terbang aku kan fleksibel. Gak kayak kamu yang kerja ter—” Belum sempat Ratu mengakhiri perkataannya, Jeffrey lebih dahulu menariknya hingga habis jarak di antara mereka.

Ia kembali mencium bibir Ratu, namun, kali ini jauh lebih intens dari sebelumnya. Sengaja ia hisap lidah Ratu, dan menjelajahi area mulut Ratu tanpa celah sedikitpun.

Sembari membaringkan tubuh Ratu—Jeffrey meraih kancing kemeja istrinya itu, kemudian membuka tiap-tiap kancingnya dengan tergesa. Piyama Ratu sontak merosot begitu saja. Menampilkan dua belah dada berukuran sedang—kesukaan Jeffrey.

Sementara Ratu menyentuh ujung pakaian Jeffrey. Dia ingin Jeffrey melakukan hal sama pada pakaiannya sendiri.

Jeffrey kembali melepas pagutan mereka, lalu menarik pakaiannya ke atas kepala, sampai seluruh six-pack yang ia punya terekspos secara nyata.

Ratu menyentuhnya. Mulai dari dada, lalu ke perut Jeffrey. Kulit putih dan lembut di bawah ujung jarinya itu merinding seketika. Dan, saat Ratu mendongakkan kepalanya ke atas yang ia dapat ialah tatapan mata Jeffrey yang sedikit berbeda dari sebelumnya. Ia sadar kalau setelah ini, permintaan untuk berhenti pun tidak akan Jeffrey pedulikan.

Jeffrey masih berdiam diri, memangamati bagian atas tubuh Ratu yang masih menyisakan sebuah bra di sana. Kalau dipikir-pikir Jeffrey suka segala aspek dari tubuh Ratu. Mulai dari warna kulitnya hingga bentuk tubuhnya yang proporsional. Sepertinya Jeffrey tidak mungkin sampai sekesulitan ini menahan nafsu kalau yang ada di hadapannya saat ini bukanlah Ratu.

Jeffrey menarik bagian bawah dari piyama, beserta satu lagi kain yang menutupi milik Ratu sampai benar-benar lepas dari kakinya. Ia tersenyum untuk kesekian kalinya. Sesuatu di sana sepertinya sudah bereaksi sejak tadi. Jeffrey tahu saat tangannya dengan sengaja menyentuh area itu.

“Sumpah aku benci banget liat kamu cengengesan tiap kali kita lagi kayak gini!” seru Ratu. Meski dalam keadaan terbaring di atas ranjang, jelas ia masih mampu menangkap segala macam ekspresi wajah yang Jeffrey tunjukkan.

“Aku salting, bukan cengengesan....” Jeffrey bangkit. Yang selanjutnya ia lakukan adalah melepas sisa kain yang masih menutupi bagian bawahnya. Sampai saat miliknya tampil secara terang-terangan, Ratu refleks meneguk salivanya.

Perasaan Ratu saat ini adalah antara takut dan ingin. Meski begitu rasa takut itupun kini tak berarti apa-apa, pasalnya detik kemudian Jeffrey sudah melayang di atas tubuh Ratu dengan kedua tangannya yang menopang.

“Jangan tutup mata, aku gak suka.”

Sial, Ratu baru ingat kalau ia harus membuka matanya sampai akhir kegiatan mereka. Lantas wajahnya memanas. Ratu malu. Dan, tanpa menanggapi respon Ratu atas perkataannya—Jeffrey memilih untuk langsung memulai kegiatannya.

Lenguhan demi lenguhan Ratu loloskan tatkala Jeffrey secara membabi buta menandai setiap inci dari dadanya. Jeffrey memang selalu memulainya dari sana. Lalu ia akan kembali naik ke atas. Menyapu ceruk leher Ratu, sebelum semakin naik ke atas untuk menghisap hingga melumat bibir istrinya itu. Di saat seperti ini, Jeffrey selalu fokus.

Belum apa-apa, peluh Ratu sudah membasahi kening. Padahal kamar mereka memiliki pendingin ruangan. Mungkin karena faktor jantung Ratu yang berdebar sangat kencang, tentunya sejak saat sesuatu di bawah sana tanpa sengaja saling bersentuhan.

Ratu dapat samar-samar merasakan milik Jeffrey yang mulai mengeras di atas miliknya. Naik dan turun, entah Jeffrey sengaja atau tidak—yang jelas hal itu membuat Ratu sedikit kewalahan.

Jeffrey kembali bermain dengan benda kembar di dada Ratu. Bra yang sebelumnya sengaja ia biarkan menutup area tersebut, kini Jeffrey singkirkan.

Jeffrey paling suka melihat ekspresi wajah Ratu yang tertekan di bawah kendalinya seperti ini. Wanita itu terus menggigit bibirnya tatkala Jeffrey mengulum salah satu dari buah dadanya. Tak jarang Ratu sampai terdengar mengerang frustasi.

“Mas!”

“Hm?” Jeffrey hanya berdehem, sebab mulutnya saat ini sangat penuh.

“Kamu ... ngh! Mau woman on top kan?”

“Heem.”

“Lepas dulu!” seru Ratu. Seketika Jeffrey menarik bibirnya dari buah dada Ratu.

Selanjutnya, tanpa membuang-buang waktu—Ratu langsung membalikkan posisi mereka. Kini tubuh Jeffrey berada tepat di bawahnya. Sementara lelaki itu justru cengar-cengir. Seperti tidak sabar menerima servis yang akan Ratu lakukan kepadanya.

“Oh, jadi kayak gini....” Ratu mendarat bokongnya dengan sempurna di atas milik Jeffrey. Membuat sang empunya mengerang seketika.

“Kamu ... sumpah! Bilang aja mau bales dendam!!”

Ratu tergelak bukan main. Ia semakin sengaja mempermainkan milik Jeffrey di bawah sana dengan cara terus menggerakkan pinggulnya tak beraturan.

“RA! GAK GINI RA!”

“RATU!”

Ibarat roda yang berputar, kini Ratu harus menerima kenyataan kalau posisinya kembali seperti semula sebab Jeffrey yang bertenaga tiga kali lebih kuat darinya itu membuatnya berbaring seketika.

Kemudian tanpa memberikan aba-aba, Jeffrey sudah memposisikan miliknya di depan milik Ratu.

“Gak ada lagi main sopan, Ra. Kamu gak sopan duluan.”

“Tunggu-tunggu aku belum si—”

Malam ini, Ratu kalah telak. Jeffrey mendominasi permainan sampai selesai meski dalam benaknya ia masih menginginkan 'woman on top' di antara mereka.

Malam ini, alih-alih menjadi malam panjang untuk mereka, justru menjadi malam yang begitu panjang untuk Ratu seorang. Yah, pasalnya selain bercinta—Jeffrey juga sekaligus membalas Ratu, walaupun yang sebenarnya ia sendirilah biang keroknya.

Ibaratnya sudah hampir mencair telinga Bian mendengar bagaimana Zaid mengeluarkan segala macam sumpah serapahnya di atas motor. Maklum, pasalnya di hari Sabtu yang panas ini mereka malah harus berkeliling di bawah teriknya matahar,i demi menuju tempat les yang sejak beberapa hari lalu sering menjadi topik pembicaraan mereka itu. Sebenarnya, yang jadi masalah bukanlah betapa kasar kata demi kata yang Zaid loloskan, tapi karena kata-kata yang terdengar justru lebih mirip dengan suara orang kumur-kumur dibandingkan marah-marah, sebab diadu dengan suara angin.

“Kalo sampe kita les di sini tapi gak ada hasilnya, itu semua salah lo!” seru Zaid. Pasalnya begitu mereka tiba di tempat les yang dimaksud, penampakan luar bangunannya seperti kurang meyakinkan.

Zaid menurunkan standar motornya, dan menunggu Bian turun dari jok belakang. “Lo masuk ke sini kan atas dasar kemauan lo sendiri. Lagian don't judge book by cover!” kata Bian tidak terima.

“Alah sok Inggris.”

Kaki mereka berdua mulai melangkah masuk ke dalam. Benar saja, bahkan isinya terlihat jauh lebih sempit jika dibandingkan dengan gambaran yang ada di Google.

Ketika tengah sibuk menilai ukuran dan dekorasi yang seadanya di lantai paling dasar, tiba-tiba saja muncul seorang laki-laki berperawakan lebih tinggi dari mereka, mengenakan pakaian seragam yang coraknya sama persis seperti bagian luar bangunan tersebut.

“Yang baru daftar ya?”

Bian mengangguk semangat. Ini pasti tenaga pengajarnya!. Sementara itu, di sisi lain ada Zaid yang hanya cengangas-cengenges seolah merasa tidak nyaman.

“Kenalin, saya Xander. Salah satu Tutor di sini.”

“Maaf, Kak siapa tadi? Sender?” tanya Bian memastikan.

Lantas Zaid berbatuk-batuk heboh seketika. Sengaja dibuat-buat, seraya berbisik tepat di telinga Bian. “Xander goblok. Sender mah yang suka ngetweet!” maki Zaid tertahan.

Bian yang sadar akan kebodohannya, sontak menjabat tangan laki-laki itu. Dia sengaja menampilkan sebuah senyum super lebar, sampai-sampai sudut bibirnya terasa perih seketika. “Kak Xander ya—kenalin saya Bian. Terus ini temen saya, Zaid.” Nadanya mirip opening serial Upin Ipin di televisi. Lalu yang dijabat tangannyapun tersenyum.

Kalau Bian boleh jujur, tampang-tampang seperti Kak Xander ini persis seperti impiannya. Mirip karakter dalam sebuah manga—tampan iya, cantik iya, manis juga iya. Dalam benak, tanpa sadar dia memuji visualisasi Kak Xander habis-habisan. Semoga nular, semoga nular. Begitu batinnya.

“Langsung naik ke atas aja, ya. Udah tau kan kelasnya di mana?”

Bian mengangguk. Jelas! Dia kan sekelas dengan Ajeng, sebab sama-sama anak kelas sepuluh. Hanya tinggal mencari di kelas mana gadis bendahara itu berada, kemudian beres!

Kak Xander mengacungkan jari jempol ke arah Bian. Namun, bocah itu justru salah fokus tatkala netranya menangkap ekspresi Zaid. Seperti yang kurang suka melihat keberadaan Kak Xander di sana, padahal kan baru kenalan?

Kemudian, sesaat setelah Kak Xander meninggalkan mereka—Zaid sekonyong-konyong menarik bagian belakang dari kerah pakaian yang tengah Bian kenakan.

“APAAN SIH?!”

“Pulang aja, Bi. Jangan les di sini, sumpah!”

“Kenapa emangnya?” tanya Bian. Nadanya seperti mulai tersulut emosi.

Zaid melepas cengkramannya pada kerah Bian. Dia menghela napas berat. “Lo tau gak yang tadi itu siapa?” Setelah melayangkan pertanyaan tersebut, yang Zaid dapati justru tampang tak acuh dari Bian yang sontak membuatnya gemas bukan main.

“Itu tuh, yang ngambilin rapotnya Ajeng!” sambung Zaid.

“Calon kakak tirinya Ajeng berarti?”

“Emang Ajeng mau nikah lagi?”

Bian memicingkan matanya. Tak habis pikir dengan jalan pikiran Zaid. “Bapaknya!” pekik Bian.

“Iya, kata gue juga bapaknya emang mau nikah lagi?”

“Elo tadi nanyanya gak gitu ya, Anjing!”

“Dari awal gue nanya kaya gitu!”

Selanjutnya perdebatan sengit mereka berlanjut. Mulai dari Zaid yang memukul kepala Bian, kemudian dibalas oleh sang empunya. Lupa kalau-kalau kini mereka tengah berada di tempat umum.

“Bian, Zaid? Kalian ngapain?”

Ibaratnya sudah hampir mencair telinga Bian mendengar bagaimana Zaid mengeluarkan segala macam sumpah serapahnya di atas motor. Maklum, pasalnya di hari Sabtu yang panas ini mereka malah harus berkeliling di bawah teriknya matahar,i demi menuju tempat les yang sejak beberapa hari lalu sering menjadi topik pembicaraan mereka itu. Sebenarnya, yang jadi masalah bukanlah betapa kasar kata demi kata yang Zaid loloskan, tapi karena kata-kata yang terdengar justru lebih mirip dengan suara orang kumur-kumur dibandingkan marah-marah, sebab diadu dengan suara angin.

“Kalo sampe kita les di sini tapi gak ada hasilnya, itu semua salah lo!” seru Zaid. Pasalnya begitu mereka tiba di tempat les yang dimaksud, penampakan luar bangunannya seperti kurang meyakinkan.

Zaid menurunkan standar motornya, dan menunggu Bian turun dari jok belakang. “Lo masuk ke sini kan atas dasar kemauan lo sendiri. Lagian don't judge book by cover!” kata Bian tidak terima.

“Alah sok Inggris.”

Kaki mereka berdua mulai melangkah masuk ke dalam. Benar saja, bahkan isinya terlihat jauh lebih sempit jika dibandingkan dengan gambaran yang ada di Google.

Ketika tengah sibuk menilai ukuran dan dekorasi yang seadanya di lantai paling dasar, tiba-tiba saja muncul seorang laki-laki berperawakan lebih tinggi dari mereka, mengenakan pakaian seragam yang coraknya sama persis seperti bagian luar bangunan tersebut.

“Yang baru daftar ya?”

Bian mengangguk semangat. Ini pasti tenaga pengajarnya!. Sementara itu, di sisi lain ada Zaid yang hanya cengangas-cengenges seolah merasa tidak nyaman.

“Kenalin, saya Xander. Salah satu Tutor di sini.”

“Maaf, Kak siapa tadi? Sender?” tanya Bian memastikan.

Lantas Zaid berbatuk-batuk heboh seketika. Sengaja dibuat-buat, seraya berbisik tepat di telinga Bian. “Xander goblok. Sender mah yang suka ngetweet!” maki Zaid tertahan.

Bian yang sadar akan kebodohannya, sontak menjabat tangan laki-laki itu. Dia sengaja menampilkan sebuah senyum super lebar, sampai-sampai sudut bibirnya terasa perih seketika. “Kak Xander ya—kenalin saya Bian. Terus ini temen saya, Zaid.” Nadanya mirip opening serial Upin Ipin di televisi. Lalu yang dijabat tangannyapun tersenyum.

Kalau Bian boleh jujur, tampang-tampang seperti Kak Xander ini persis seperti impiannya. Mirip karakter dalam sebuah manga—tampan iya, cantik iya, manis juga iya. Dalam benak, tanpa sadar dia memuji visualisasi Kak Xander habis-habisan. Semoga nular, semoga nular. Begitu batinnya.

“Langsung naik ke atas aja, ya. Udah tau kan kelasnya di mana?”

Bian mengangguk. Jelas! Dia kan sekelas dengan Ajeng, sebab sama-sama anak kelas sepuluh. Hanya tinggal mencari di kelas mana gadis bendahara itu berada, kemudian beres!

Kak Xander mengacungkan jari jempol ke arah Bian. Namun, bocah itu justru salah fokus tatkala netranya menangkap ekspresi Zaid. Seperti yang kurang suka melihat keberadaan Kak Xander di sana, padahal kan baru kenalan?

Kemudian, sesaat setelah Kak Xander meninggalkan mereka—Zaid sekonyong-konyong menarik bagian belakang dari kerah pakaian yang tengah Bian kenakan.

“APAAN SIH?!”

“Pulang aja, Bi. Jangan les di sini, sumpah!”

“Kenapa emangnya?” tanya Bian. Nadanya seperti mulai tersulut emosi.

Zaid melepas cengkramannya pada kerah Bian. Dia menghela napas berat. “Lo tau gak yang tadi itu siapa?” Setelah melayangkan pertanyaan tersebut, yang Zaid dapati justru tampang tak acuh dari Bian yang sontak membuatnya gemas bukan main.

“Itu tuh, yang ngambilin rapotnya Ajeng!” sambung Zaid.

“Calon kakak tirinya Ajeng berarti?”

“Emang Ajeng mau nikah lagi?”

Bian memicingkan matanya. Tak habis pikir dengan jalan pikiran Zaid. “Bapaknya!” pekik Bian.

“Iya, kata gue juga bapaknya emang mau nikah lagi?”

“Elo tadi nanyanya gak gitu ya, Anjing!”

“Dari awal gue nanya kaya gitu!”

Selanjutnya perdebatan sengit mereka berlanjut. Mulai dari Zaid yang memukul kepala Bian, kemudian dibalas oleh sang empunya. Lupa kalau-kalau kini mereka tengah berada di tempat umum.

“Bian, Zaid? Kalian ngapain?”

Ibaratnya sudah hampir mencair telinga Bian mendengar bagaimana Zaid mengeluarkan segala macam sumpah serapahnya di atas motor. Maklum, pasalnya di hari Sabtu yang panas ini mereka malah harus berkeliling di bawah teriknya matahar,i demi menuju tempat les yang sejak beberapa hari lalu sering menjadi topik pembicaraan mereka itu. Sebenarnya, yang jadi masalah bukanlah betapa kasar kata demi kata yang Zaid loloskan, tapi karena kata-kata yang terdengar justru lebih mirip dengan suara orang kumur-kumur dibandingkan marah-marah, sebab diadu dengan angin.

“Kalo sampe kita les di sini tapi gak ada hasilnya, itu semua salah lo!” seru Zaid. Pasalnya begitu mereka tiba di tempat les yang dimaksud, penampakan luar bangunannya seperti kurang meyakinkan.

Zaid menurunkan standar motornya, dan menunggu Bian turun dari jok belakang. “Lo masuk ke sini kan atas dasar kemauan lo sendiri. Lagian don't judge book by cover!” kata Bian tidak terima.

“Alah sok Inggris.”

Kaki mereka berdua mulai melangkah masuk ke dalam. Benar saja, bahkan isinya terlihat jauh lebih sempit jika dibandingkan dengan gambaran yang ada di Google.

Ketika tengah sibuk menilai ukuran dan dekorasi yang seadanya di lantai paling dasar, tiba-tiba saja muncul seorang laki-laki berperawakan lebih tinggi dari mereka, mengenakan pakaian seragam yang coraknya sama persis seperti bagian luar bangunan tersebut.

“Yang baru daftar ya?”

Bian mengangguk semangat. Ini pasti tenaga pengajarnya!. Sementara itu, di sisi lain ada Zaid yang hanya cengangas-cengenges seolah merasa tidak nyaman.

“Kenalin, saya Xander. Salah satu Tutor di sini.”

“Maaf, Kak siapa tadi? Sender?” tanya Bian memastikan.

Lantas Zaid berbatuk-batuk heboh seketika. Sengaja dibuat-buat, seraya berbisik tepat di telinga Bian. “Xander goblok. Sender mah yang suka ngetweet!” maki Zaid tertahan.

Bian yang sadar akan kebodohannya, sontak menjabat tangan laki-laki itu. Dia sengaja menampilkan sebuah senyum super lebar, sampai-sampai sudut bibirnya terasa perih seketika. “Kak Xander ya—kenalin saya Bian. Terus ini temen saya, Zaid.” Nadanya mirip opening serial Upin Ipin di televisi. Lalu yang dijabat tangannyapun tersenyum.

Kalau Bian boleh jujur, tampang-tampang seperti Kak Xander ini persis seperti impiannya. Mirip karakter dalam sebuah manga—tampan iya, cantik iya, manis juga iya. Dalam benak, tanpa sadar dia memuji visualisasi Kak Xander habis-habisan. Semoga nular, semoga nular. Begitu batinnya.

“Langsung naik ke atas aja, ya. Udah tau kan kelasnya di mana?”

Bian mengangguk. Jelas! Dia kan sekelas dengan Ajeng, sebab sama-sama anak kelas sepuluh. Hanya tinggal mencari di kelas mana gadis bendahara itu berada, kemudian beres!

Kak Xander mengacungkan jari jempol ke arah Bian. Namun, bocah itu justru salah fokus tatkala netranya menangkap ekspresi Zaid. Seperti yang kurang suka melihat keberadaan Kak Xander di sana, padahal kan baru kenalan?

Kemudian, sesaat setelah Kak Xander meninggalkan mereka—Zaid sekonyong-konyong menarik bagian belakang dari kerah pakaian yang tengah Bian kenakan.

“APAAN SIH?!”

“Pulang aja, Bi. Jangan les di sini, sumpah!”

“Kenapa emangnya?” tanya Bian. Nadanya seperti mulai tersulut emosi.

Zaid melepas cengkramannya pada kerah Bian. Dia menghela napas berat. “Lo tau gak yang tadi itu siapa?” Setelah melayangkan pertanyaan tersebut, yang Zaid dapati justru tampang tak acuh dari Bian yang sontak membuatnya gemas bukan main.

“Itu tuh, yang ngambilin rapotnya Ajeng!” sambung Zaid.

“Calon kakak tirinya Ajeng berarti?”

“Emang Ajeng mau nikah lagi?”

Bian memicingkan matanya. Tak habis pikir dengan jalan pikiran Zaid. “Bapaknya!” pekik Bian.

“Iya, kata gue juga bapaknya emang mau nikah lagi?”

“Elo tadi nanyanya gak gitu ya, Anjing!”

“Dari awal gue nanya kaya gitu!”

Selanjutnya perdebatan sengit mereka berlanjut. Mulai dari Zaid yang memukul kepala Bian, kemudian dibalas oleh sang empunya. Lupa kalau-kalau kini mereka tengah berada di tempat umum.

“Bian, Zaid? Kalian ngapain?”

Ibaratnya sudah hampir mencair telinga Bian mendengar bagaimana Zaid mengeluarkan segala macam sumpah serapahnya di atas motor. Maklum, pasalnya di hari Sabtu yang panas ini mereka malah harus berkeliling di bawah teriknya matahar,i demi menuju tempat les yang sejak beberapa hari lalu sering menjadi topik pembicaraan mereka itu. Sebenarnya, yang jadi masalah bukanlah betapa kasar kata demi kata yang Zaid loloskan, tapi karena kata-kata yang terdengar justru lebih mirip dengan suara orang kumur-kumur dibandingkan marah-marah, sebab diadu dengan angin.

“Kalo sampe kita les di sini tapi gak ada hasilnya, itu semua salah lo!” seru Zaid. Pasalnya begitu mereka tiba di tempat les yang dimaksud, penampakan luar bangunannya seperti kurang meyakinkan.

Zaid menurunkan standar motornya, dan menunggu Bian turun dari jok belakang. “Lo masuk ke sini kan atas dasar kemauan lo sendiri. Lagian don't judge book by cover!” kata Bian tidak terima.

“Alah sok Inggris.”

Kaki mereka berdua mulai melangkah masuk ke dalam. Benar saja, bahkan isinya terlihat jauh lebih sempit jika dibandingkan dengan gambaran yang ada di Google.

Ketika tengah sibuk menilai ukuran dan dekorasi yang seadanya di lantai paling dasar, tiba-tiba saja muncul seorang laki-laki berperawakan lebih tinggi dari mereka, mengenakan pakaian seragam yang coraknya sama persis seperti bagian luar bangunan tersebut.

“Yang baru daftar ya?”

Bian mengangguk semangat. Ini pasti tenaga pengajarnya!. Sementara itu, di sisi lain ada Zaid yang hanya cengangas-cengenges seolah merasa tidak nyaman.

“Kenalin, saya Xander. Salah satu Tutor di sini.”

“Maaf, Kak siapa tadi? Sender?” tanya Bian memastikan.

Lantas Zaid berbatuk-batuk heboh seketika. Sengaja dibuat-buat, seraya berbisik tepat di telinga Bian. “Xander goblok. Sender mah yang suka ngetweet!” maki Zaid tertahan.

Bian yang sadar akan kebodohannya, sontak menjabat tangan laki-laki itu. Dia sengaja menampilkan sebuah senyum super lebar, sampai-sampai sudut bibirnya terasa perih seketika. “Kak Xander ya—kenalin saya Bian. Terus ini temen saya, Zaid.” Nadanya mirip opening serial Upin Ipin di televisi. Lalu yang dijabat tangannyapun tersenyum.

Kalau Bian boleh jujur, tampang-tampang seperti Kak Xander ini persis seperti impiannya. Mirip karakter dalam sebuah manga—tampan iya, cantik iya, manis juga iya. Dalam benak, tanpa sadar dia memuji visualisasi Kak Xander habis-habisan. Semoga nular, semoga nular. Begitu batinnya.

“Langsung naik ke atas aja, ya. Udah tau kan kelasnya di mana?”

Bian mengangguk. Jelas! Dia kan sekelas dengan Ajeng, sebab sama-sama anak kelas sepuluh. Hanya tinggal mencari di kelas mana gadis bendahara itu berada, kemudian beres!

Kak Xander mengacungkan jari jempol ke arah Bian. Namun, bocah itu justru salah fokus tatkala netranya menangkap ekspresi Zaid. Seperti yang kurang suka melihat keberadaan Kak Xander di sana, padahal kan baru kenalan?

Kemudian, sesaat setelah Kak Xander meninggalkan mereka—Zaid sekonyong-konyong menarik bagian belakang dari kerah pakaian yang tengah Bian kenakan.

“APAAN SIH?!”

“Pulang aja, Bi. Jangan les di sini, sumpah!”

“Kenapa emangnya?” tanya Bian. Nadanya seperti mulai tersulut emosi.

Zaid melepas cengkramannya pada kerah Bian. Dia menghela napas berat. “Lo tau gak yang tadi itu siapa?” Setelah melayangkan pertanyaan tersebut, yang Zaid dapati justru tampang tak acuh dari Bian yang sontak membuatnya gemas bukan main.

“Itu tuh, yang ngambilin rapotnya Ajeng!” sambung Zaid.

“Calon kakak tirinya Ajeng berarti?”

“Emang Ajeng mau nikah lagi?”

Bian memicingkan matanya. Tak habis pikir dengan jalan pikiran Zaid. “Bapaknya!” pekik Bian.

“Iya, kata gue juga bapaknya emang mau nikah lagi?”

“Elo tadi nanyanya gak gitu ya, Anjing!”

“Dari awal gue nanya kaya gitu!”

Selanjutnya perdebatan sengit mereka berlanjut. Mulai dari Zaid yang memukul kepala Bian, kemudian dibalas oleh sang empunya. Lupa kalau-kalau kini mereka tengah berada di tempat umum.

Ibaratnya sudah hampir mencair telinga Bian mendengar bagaimana Zaid mengeluarkan segala macam sumpah serapahnya di atas motor. Maklum, pasalnya di hari Sabtu yang panas ini mereka malah harus berkeliling di bawah teriknya matahar,i demi menuju tempat les yang sejak beberapa hari lalu sering menjadi topik pembicaraan mereka itu. Sebenarnya, yang jadi masalah bukanlah betapa kasar kata demi kata yang Zaid loloskan, tapi karena kata-kata yang terdengar justru lebih mirip dengan suara orang kumur-kumur dibandingkan marah-marah, sebab diadu dengan angin.

“Kalo sampe kita les di sini tapi gak ada hasilnya, itu semua salah lo!” seru Zaid. Pasalnya begitu mereka tiba di tempat les yang dimaksud, penampakan luar bangunannya seperti kurang meyakinkan.

Zaid menurunkan standar motornya, dan menunggu Bian turun dari jok belakang. “Lo masuk ke sini kan atas dasar kemauan lo sendiri. Lagian don't judge book by cover!” kata Bian tidak terima.

“Alah sok Inggris.”

Kaki mereka berdua mulai melangkah masuk ke dalam. Benar saja, bahkan isinya terlihat jauh lebih sempit jika dibandingkan dengan gambaran yang ada di Google.

Ketika tengah sibuk menilai ukuran dan dekorasi yang seadanya di lantai paling dasar, tiba-tiba saja muncul seorang laki-laki berperawakan lebih tinggi dari mereka, mengenakan pakaian seragam yang coraknya sama persis seperti bagian luar bangunan tersebut.

“Yang baru daftar ya?”

Bian mengangguk semangat. Ini pasti tenaga pengajarnya!. Sementara itu, di sisi lain ada Zaid yang hanya cengangas-cengenges seolah merasa tidak nyaman.

“Kenalin, saya Xander. Salah satu Tutor di sini.”

“Maaf, Kak siapa tadi? Sender?” tanya Bian memastikan.

Lantas Zaid berbatuk-batuk heboh seketika. Sengaja dibuat-buat, seraya berbisik tepat di telinga Bian. “Xander goblok. Sender mah yang suka ngetweet!” maki Zaid tertahan.

Bian yang sadar akan kebodohannya, sontak menjabat tangan laki-laki itu. Dia sengaja menampilkan sebuah senyum super lebar, sampai-sampai sudut bibirnya terasa perih seketika. “Kak Xander ya—kenalin saya Bian. Terus ini temen saya, Zaid.” Nadanya mirip opening serial Upin Ipin di televisi. Lalu yang dijabat tangannyapun tersenyum.

Kalau Bian boleh jujur, tampang-tampang seperti Kak Xander ini persis seperti impiannya. Mirip karakter dalam sebuah manga—tampan iya, cantik iya, manis juga iya. Dalam benak, tanpa sadar dia memuji visualisasi Kak Xander habis-habisan. Semoga nular, semoga nular. Begitu batinnya.

“Langsung naik ke atas aja, ya. Udah tau kan kelasnya di mana?”

Bian mengangguk. Jelas! Dia kan sekelas dengan Ajeng, sebab sama-sama anak kelas sepuluh. Hanya tinggal mencari di kelas mana gadis bendahara itu berada, kemudian beres!

Kak Xander mengacungkan jari jempol ke arah Bian. Namun, bocah itu justru salah fokus tatkala netranya menangkap ekspresi Zaid. Seperti yang kurang suka melihat keberadaan Kak Xander di sana, padahal kan baru kenalan?

Kemudian, sesaat setelah Kak Xander meninggalkan mereka—Zaid sekonyong-konyong menarik bagian belakang dari kerah pakaian yang tengah Bian kenakan.

“APAAN SIH?!”

“Pulang aja, Bi. Jangan les di sini, sumpah!”

“Kenapa emangnya?” tanya Bian. Nadanya seperti mulai tersulut emosi.

Zaid melepas cengkramannya pada kerah Bian. Dia menghela napas berat. “Lo tau gak yang tadi itu siapa?” Setelah melayangkan pertanyaan tersebut, yang Zaid dapati justru tampang tak acuh dari Bian yang sontak membuatnya gemas bukan main.

“Itu tuh, yang ngambilin rapotnya Ajeng!” sambung Zaid.

“Calon kakak tirinya Ajeng berarti?”

“Emang Ajeng mau nikah lagi?”

Bian memicingkan matanya. Tak habis pikir dengan jalan pikiran Zaid. “Bapaknya!” pekik Bian.

“Iya, kata gue juga bapaknya emang mau nikah lagi?”

“Elo tadi nanyanya gak gitu ya, Anjing!”

“Dari awal gue nanya kaya gitu!”

Ibaratnya sudah hampir mencair telinga Bian mendengar bagaimana Zaid mengeluarkan segala macam sumpah serapahnya di atas motor. Maklum, pasalnya di hari Sabtu yang panas ini mereka malah harus berkeliling di bawah teriknya matahar,i demi menuju tempat les yang sejak beberapa hari lalu sering menjadi topik pembicaraan mereka itu. Sebenarnya, yang jadi masalah bukanlah betapa kasar kata demi kata yang Zaid loloskan, tapi karena kata-kata yang terdengar justru lebih mirip dengan suara orang kumur-kumur dibandingkan marah-marah, sebab diadu dengan angin.

“Kalo sampe kita les di sini tapi gak ada hasilnya, itu semua salah lo!” seru Zaid. Pasalnya begitu mereka tiba di tempat les yang dimaksud, penampakan luar bangunannya seperti kurang meyakinkan.

Zaid menurunkan standar motornya, dan menunggu Bian turun dari jok belakang. “Lo masuk ke sini kan atas dasar kemauan lo sendiri. Lagian don't judge book by cover!” kata Bian tidak terima.

“Alah sok Inggris.”

Kaki mereka berdua mulai melangkah masuk ke dalam. Benar saja, bahkan isinya terlihat jauh lebih sempit jika dibandingkan dengan gambaran yang ada di Google.

Ketika tengah sibuk menilai ukuran dan dekorasi yang seadanya di lantai paling dasar, tiba-tiba saja muncul seorang laki-laki berperawakan lebih tinggi dari mereka, mengenakan pakaian seragam yang coraknya sama persis seperti bagian luar bangunan tersebut.

“Yang baru daftar ya?”

Bian mengangguk semangat. Ini pasti tenaga pengajarnya!. Sementara itu, di sisi lain ada Zaid yang hanya cengangas-cengenges seolah merasa tidak nyaman.

“Kenalin, saya Xander. Salah satu Tutor di sini.”

“Maaf, Kak siapa tadi? Sender?” tanya Bian memastikan.

Lantas Zaid berbatuk-batuk heboh seketika. Sengaja dibuat-buat, seraya berbisik tepat di telinga Bian. “Xander goblok. Sender mah yang suka ngetweet!” maki Zaid tertahan.

Bian yang sadar akan kebodohannya, sontak menjabat tangan laki-laki itu. Dia sengaja menampilkan sebuah senyum super lebar, sampai-sampai sudut bibirnya terasa perih seketika. “Kak Xander ya—kenalin saya Bian. Terus ini temen saya, Zaid.” Nadanya mirip opening serial Upin Ipin di televisi. Lalu yang dijabat tangannyapun tersenyum.

Kalau Bian boleh jujur, tampang-tampang seperti Kak Xander ini persis seperti impiannya. Mirip karakter dalam sebuah manga—tampan iya, cantik iya, manis juga iya. Dalam benak, tanpa sadar dia memuji visualisasi Kak Xander habis-habisan. Semoga nular, semoga nular. Begitu batinnya.

“Langsung naik ke atas aja, ya. Udah tau kan kelasnya di mana?”

Bian mengangguk. Jelas! Dia kan sekelas dengan Ajeng, sebab sama-sama anak kelas sepuluh. Hanya tinggal mencari di kelas mana gadis bendahara itu berada, kemudian beres!

Kak Xander mengacungkan jari jempol ke arah Bian. Namun, bocah itu justru salah fokus tatkala netranya menangkap ekspresi Zaid. Seperti yang kurang suka melihat keberadaan Kak Xander di sana, padahal kan baru kenalan?

Kemudian, sesaat setelah Kak Xander meninggalkan mereka—Zaid sekonyong-konyong menarik bagian belakang dari kerah pakaian yang tengah Bian kenakan.

“APAAN SIH?!”

“Pulang aja, Bi. Jangan les di sini, sumpah!”

“Kenapa emangnya?” tanya Bian. Nadanya seperti mulai tersulut emosi.

Zaid melepas cengkramannya pada kerah Bian. Dia menghela napas berat. “Lo tau gak yang tadi itu siapa?” Setelah melayangkan pertanyaan tersebut, yang Zaid dapati justru tampang tak acuh dari Bian yang sontak membuatnya gemas bukan main.

“Itu tuh, yang ngambilin rapotnya Ajeng!” sambung Zaid.

Pagi ini cerah, meski kelembaban tanahnya masih cukup tinggi akibat diguyur hujan semalaman. Bian diantar oleh Mama lagi ke sekolah, sama seperti masa liburan sekolah dimulai—mungkin sekitar dua atau tiga minggu yang lalu?

Tidak begitu banyak yang berubah di tahun baru ini. Mama masih sama, tipikal ibu-ibu yang akan meramaikan rumah sejak pagi buta. Papa juga, masih terburu-buru meninggalkan rumah untuk berangkat kerja. Kebiasaan orang-orang, serta atmosfer di sekitar Bian masih sama seperti tahun lalu. Rasanya hanya Bian yang berubah. Pergantian suasana hati Bian tidak lagi seekstrem biasanya—yah, setidaknya itu yang dia rasakan. Agaknya karena komunikasi antar Bian, Mama, dan Papa akhir-akhir ini sangat membaik, serta banyak waktu yang mereka habiskan bersama.

Memang benar, Bian sejatinya hanya butuh sedikit waktu juga perhatian. Bian sejatinya hanya mendamba luapkan kasih sayang secara nyata—bukan sekedar materi dari Mama dan Papa.

“Nanti Mama harus jemput jam berapa?” Suara Mama tiba-tiba memecah keheningan di dalam mobil. Lembut, berbeda dari beberapa saat lalu—saat masih di dalam rumah dan menyiapkan segala keperluan Bian dan Papa.

“Ntar Bian kabarin,” kata Bian singkat. Kemudian, Mama hanya manggut-manggut.

Kalau Bian lihat-lihat, Mama itu multitasking. Meski ada satu asisten rumah tangga di dalam rumah, yaitu Budhe Lasih—Mama sering terlihat mengerjakan beberapa pekerjaan rumah sendiri. Ditambah lagi siap mengantar jemput Bian setiap hari. Tiba-tiba saja terbersit di pikiran Bian kalau Mama juga harus mengantar jemput dirinya saat les—mungkin itu ide yang gila. Bawel-bawel begitu, Mama jarang sekali mengeluh apalagi melakukan penolakan. Bian jadi khawatir.

“Mama?”

Bian menatap Mama yang terus fokus menatap jalanan di depan sana. Mama mengangguk untuk sekedar memberi tanda kalau dia masih bisa mendengar Bian, bahkan tanpa harus menatapnya.

“Bian butuh motor, Ma.”

“Mama udah berkali-kali bilang ke Papa kalau kamu mau motor, tapikan kamu tau sendiri Papa kayak gimana, Bi?” Tepat saat Mama merespon perkataan Bian, mereka sampai di depan gerbang sekolah. “Alesan Papa itu jelas—karna kamu belum punya SIM. Mama kan jadi mati kutu, gak tau mau jawab apa lagi,” timpal Mama.

Ada benarnya. Bian tahu mungkin hampir seluruh jalanan di Ibukota itu padat merayap—tapi kan tidak semua jalanan ada polisinya? Begitu batin Bian.

Bian menghela napas panjang, seraya menatap Mama yang kini juga tengah menatapnya. Alis Bian seketika terangkat. Bingung melihat ekspresi wajah Mama.

“Apa?” tanya Bian.

“Kamu gak turun? Gak sekolah?”

Lantas bocah itu mendelik. Kenapa belakangan ini waktu terasa begitu cepat saat dia tengah bersama Mama atau Papa. Sepertinya beberapa saat yang lalu mobil Mama baru saja keluar dari pekarangan rumah.

“Malah ngelamun!”

“Kok cepet banget sih, Ma?!”

“Apanya?” tanya Mama kebingungan.

“Gak jadi. Ya udah, ntar pulangnya dikabarin—Bian sekolah dulu—” Usai mengatakan itu, Bian sekonyong-konyong mengecup pipi Mama sebelum akhirnya melepas seat belt dan pergi begitu saja.


Suara riuh terdengar dari dalam kelas. Di dominasi oleh teriakan para anak perempuan yang sepertinya tengah ketakutan. Awalnya Bian heran, ada gerangan apa yang menyebabkan keributan bahkan di waktu sepagi ini? Namun, begitu dia memasuki kelas—Bian langsung mengerti.

Di belakang, di antara segerombolan anak-anak perempuan yang memojokkan tubuh sebab ketakutan, ada Zaid yang dengan wajah jahilnya mengangkat tinggi-tinggi seekor belalang.

“HIHH APAAN NIH?? HIHHHH!” seru Zaid, sengaja menakut-nakuti para anak perempuan.

Meski sebenarnya belalang bukanlah sesuatu yang begitu menyeramkan, tapi lain halnya kalau binatang tersebut sengaja disodorkan tepat di depan wajah!

Bian awalnya acuh tak acuh, dan memilih melenggang begitu saja menuju ke tempat duduknya sampai suara salah seorang perempuan memekakkan telinganya.

Usut punya usut belalang tersebut melompat begitu saja, kemudian hinggap tepat di pundak Ajeng yang baru saja berteriak histeris.

“ZAID! ZAID ANJINGGGGGG!” racau Ajeng tak tertahan.

Dan di saat Zaid memutar tubuhnya untuk melarikan diri, yang dia dapati adalah Bian dengan tatapan paling horor dari yang pernah dia lihat sebelumnya.

“Bi....”

“Ambil, Id.”

“Dia loncat sendiri ... demi Tuhan!”

“Ambil, Id. Sampai itu masuk ke dalem baju dia—gue sobek-sobek baju lo, Id.”

Mati! Bian hanya berbisik demikian, tapi bulu kuduk Zaid berhasil merinding! Kemudian dengan tampang cengangas-cengenges Zaid berbalik. Mendekati Ajeng, sementara Bian menyusul di belakangnya.

“Ajeng, gue minta maaf ya. Sini diambilin, tapi jangan bergerak!” kata Zaid, sembari sesekali melirik Bian.

Anak perempuan lain sibuk memperhatikan bagaimana Bian mengontrol Zaid bahkan hanya dengan perkataan. Memang benar kalau Zaid itu yang paling nakal di dalam kelas, tapi Bian ibaratnya sudah level up. Buktinya Zaid saja menciut seperti ini.

Tak ada respon apapun yang Ajeng tunjukkan, dia sibuk menutup mata rapat-rapat saking gelinya pada binatang tersebut.

“Diem ya, jangan gerak loh....”

“ZAID ANJING MASUK, ID! ZAIDDDDD!” pekik Ajeng tatkala belalang tersebut justru masuk melalui kerah seragamnya.

Tanpa pikir panjang, Zaid memutuskan untuk berlari menjauh dari Bian seketika. “BI GUE GAK SENGAJA BI! BANGSATT JANGAN APA-APAIN GUE!”