cakgrays

Bian terkekeh sejenak, sebelum menutup aplikasi burung biru yang ada di ponselnya. Dia menarik napas cukup panjang. Apa yang Bian sampaikan pada Zaid, dapat dipastikan kalau itu hanya gurauan semata. Dia tahu betul kalau pemulihan dari sebuah cidera pada tulang tentunya tak mungkin secepat itu. Sempat terlintas dalam benaknya, bagaimana cara Zaid menulis saat masuk sekolah esok hari? Sebab, seingat Bian, Zaid itu sama sekali tidak kidal.

Dipikir-pikir, meski kakinya masih begitu nyeri untuk digerakkan—kawannya itu pasti jauh lebih tertekan. Kemudian muncul sebuah ide. Satu-satunya tanggung jawab yang dapat dia lakukan untuk Zaid, adalah menjadi tangan kanannya. Ah, ide cemerlang! Namun entah bagaimana cara Bian untuk merealisasikan ide tersebut.

Perlahan-lahan pundak Bian merosot di atas bantal. Sebenarnya rasa kantuk sudah menjalar sejak Bian baru saja menginjakan kakinya di rumah. Seperti ada yang lain, ada yang berbeda antara suasana rumah sakit dan rumah milik Papa ini. Ditambah lagi, Bian sebelumnya memang sangat merindukan ranjangnya sendiri. Ranjang yang jauh lebih nyaman serta harum detergen andalan sang mama yang datangnya dari seprei yang membungkus ranjang tersebut dengan sempurna.

Hampir saja Bian menutup mata, namun suara pintu terbuka lebih dulu mengusiknya. Itu Mama. Sambil membawa segelas air putih bertatakan nampan pink motif bunga kesayangannya, Mama berjalan mendekat ke arah Bian.

“Bi, minum dulu. Kamu belum minum dari pagi.” Suara lembut Mama kontras dengan suara langkah kaki yang cukup memekakkan telinga Bian sebab, Mama menggunakan sandal jepit di dalam rumah.

Bian menatap Mama lamat-lamat. Tersirat senyum teduh di bibirnya. Sekelebat bayangan akan Mama dengan raut wajah kecewa muncul begitu saja dalam kepala Bian. Dia ingat alasan utama motor Zaid sukses mencium aspal, karena pikirannya saat itu dipenuhi oleh the one and only Diajeng Pramesti. Bian yang saat itu kalut, kini justru sibuk memikirkan apa tanggapan sang mama jika dia tau akan hal bodoh ini.

“Bi? Malah ngelamun!” seru Mama.

Mendengar teguran Mama barusan, sontak Bian berusaha bangkit dari posisi sebelumnya. Sambil cengangas-cengenges, tangan Bian menengadah. Meminta gelas yang Mama bawa.

Mama ikut duduk di tepi ranjang seraya membantu Bian untuk minum. “Tadi mikirin apa?” tanya Mama, yang kemudian hanya dibalas gelengan kepala oleh Bian. “Kaki kamu gimana? Masih nyeri atau apa?” Lagi-lagi bocah itu hanya menggeleng.

“Bian kok cuman geleng-geleng?” Air wajah Mama berubah serius. Diraihnya gelas yang sempat Bian genggan, kemudian Mama letakan di atas nakas. “Kamu ngambek karna tadi pas di parkiran rumah sakit, Papa marah-marah?” timpal Mama, mampu membuat Bian terkekeh seketika.

“Wajah Mama panik gitu!” kata Bian, tepat sebelum tangan Mama melayang dan mendarat sempurna dipundaknya. Bugh!

“Bisa-bisanya malah ketawa!”

“Bian gapapa.” Tatapannya dalam. “Bian justru masih ngerasa bersalah sama Papa ... sama Mama ... sama Zaid ... sama semua orang yang jadi repot karna Bian kayak gini. Tolol, ceroboh—” Belum usai kalimat Bian, Mama lebih dahulu memeluknya.

“Kamu jangan kayak gini, dong! Mama udah maafin Bian! Mama jauh lebih sakit hati dengerin kamu kayak gini, Bi....”

“Maafin Bian....”

“UDAH MAMA MAAFIN!”

Sambil berurai air mata, Mama dan Bian saling memeluk satu sama lain persis seperti tayangan sebuah drama keluarga yang biasa Mama tonton di televisi.

“Ini apa-apaan sih?”

Suara bariton Papa muncul dari balik pintu. Wajahnya seolah bertanya-tanya 'ada kabar duka dari siapa?' Namun, selang beberapa detik Papa tersadar, seperti biasa Mama serta Bian hanya over acting semata. Papa segera merubah ekspresinya. “Kalian itu ngapain sih?”

“Bian lagi sedih, Mas....”

“Boong, Mama yang paling sedih.” Ha kan! Saling lempar tuduhan pun terjadi.

Bian mampu melihat Papa yang seakan tak acuh dan berniat melenggang pergi. “Papa,” kata Bian lirih.

Kaki yang sebelumnya mantap untuk melangkah itu, kini membeku lantaran Papa mendengar suara serak memanggil dari mulut Bian. Papa menoleh. Awalnya heran, karena tak ada sepatah katapun yang keluar kemudian. Tapi, kala itu tangan Mama memberi gesture sebuah ajakan.

“Mas! Ke sini, dong!”

“Ngapain?” salah satu alis Papa terangkat. Bingung akan maksud dari ajakan Mama.

“Bian mau peluk.”

Di sebuah pagi nan cerah, Bian dituntun oleh Mama untuk berjalan menuju parkiran rumah sakit. Usai menghabiskan waktu selama empat hari, tiga malam bersama sobat karibnya, Zaid, di dalam bilik kamar inap yang samaーakhirnya Bian diperbolehkan untuk pulang, sama halnya dengan Zaid.

Semalam, selepas hujan mengguyur kota Jakarta dengan derasnyaーPapa datang. Menjenguk Bian yang pada saat itu hanya berteman sepi sebab Zaid sudah terlelap lebih dahulu.

“Papa?” sapa Bian. Masih setengah kaget karena biasanya Om Yudhis lah yang akan menemani dia dan Zaid di malam hari, menggantikan ayahnya Zaid saat siang hari. Tapi nyatanya kali ini Papa yang datang, berbalut jaket tebal dan menenteng sebuah tas besar yang entah berisikan apa.

Papa tidak mengeluarkan suara, tapi dia mendekat. Mengeluarkan sesuatu dari dalam tas yang ternyata adalah baju hangat yang biasa Bian kenakan saat sakit. “Ini titipan Mama, cepet pake!” Begitu kata Papa.

“Tapikan Bian gak lagi masuk angin, Pa?”

Papa kemudian membuang napas kasar. “Udah pake aja,” sahut Papa, “kata Mama itu ada jimatnya, biar cepet sembuh.”

Konyol! Entah apa kolerasinya antara baju hangat dan kaki patah, pada akhirnya Bian hanya bisa pasrah menuruti perintah Mama yang disampaikan melalui Papa. Dan, ya, nyatanya jimat titipan Mama bekerja dengan sangat efektif.

“Nanti begitu sampai rumah langsung tidur, pokoknya istirahat! Gak ada acara kelayapan, Bi. Besoknya kamu sekolah,” kata Papa sembari membukakan pintu mobil untuk Bian, juga Mama.

Kalau dilihat dari gestur Papa, sepertinya sudah tidak semarah saat kali pertama melihat keaadaan Bian di rumah sakit. Namun bukan berarti Papa memaafkan kesalahan Bian sepenuhnya, terbukti dari seberapa dinginnya Papa meski disinari matahari seterik ini. Bian mendengkus, kemudian masuk ke dalam mobil dengan hati-hati dan dibantu Mama.

Sedikit banyak Bian bersyukur dipulangkan hari ini, mengingat minggu depan ada pelaksaan ujian kenaikan kelas yang harus dia dan Zaid lakukan di sekolah. Ngomong-ngomong Zaidーmereka berpisah di pintu keluar sebab, letak kendaraan Papa dan Om Dio cukup berjauhan.

“Mas, kamu udah ambil obatnya Bian?”

“Udah.”

“Kamu udah kruk buat bantu Bian jalー”

“Udah. Udah aku beli, ada di belakang!” seru Papa yang kini tengah fokus mengemudi.

Melihat bagaimana respon Papa barusan, Bian mengatupkan kedua bibirnya seketika. Sementara Mama yang juga duduk di kursi penumpang, di sebelahnya, kini menatap kikuk ke arah Bian. Papa masih sensitif. Bian dan Mama paham akan hal itu. Lantas, sepanjang perjalan keheningan melanda mereka bertiga. Baik Papa, Bian, bahkan Mama sekalipun tak ada yang berniat membuka suara.

Bian pikir, mungkin sebaiknya dia cepat-cepat mengambil hati Papa kembali demi kenyamanan bersama.

Di sebuah pagi nan cerah, Bian dituntun oleh Mama untuk berjalan menuju parkiran rumah sakit. Usai menghabiskan waktu selama empat hari, tiga malam bersama sobat karibnya, Zaid, di dalam bilik kamar inap yang samaーakhirnya Bian diperbolehkan untuk pulang, sama halnya dengan Zaid.

Semalam, selepas hujan mengguyur kota Jakarta dengan derasnyaーPapa datang. Menjenguk Bian yang pada saat itu hanya berteman sepi sebab Zaid sudah terlelap lebih dahulu.

“Papa?” sapa Bian. Masih setengah kaget karena biasanya Om Yudhis lah yang akan menemani dia dan Zaid di malam hari, menggantikan ayahnya Zaid saat siang hari. Tapi nyatanya kali ini Papa yang datang, berbalut jaket tebal dan menenteng sebuah tas besar yang entah berisikan apa.

Papa tidak mengeluarkan suara, tapi dia mendekat. Mengeluarkan sesuatu dari dalam tas yang ternyata adalah baju hangat yang biasa Bian kenakan saat sakit. “Ini titipan Mama, cepet pake!” Begitu kata Papa.

“Tapikan Bian gak lagi masuk angin, Pa?”

Papa kemudian membuang napas kasar. “Udah pake aja,” sahut Papa, “kata Mama itu ada jimatnya, biar cepet sembuh.”

Konyol! Entah apa kolerasinya antara baju hangat dan kaki patah, pada akhirnya Bian hanya bisa pasrah menuruti perintah Mama yang disampaikan melalui Papa. Dan, ya, nyatanya jimat titipan Mama bekerja dengan sangat efektif.

“Nanti begitu sampai rumah langsung tidur, pokoknya istirahat! Gak ada acara kelayapan, Bi. Besoknya kamu sekolah,” kata Papa sembari membukakan pintu mobil untuk Bian, juga Mama.

Kalau dilihat dari gestur Papa, sepertinya sudah tidak semarah saat kali pertama melihat keaadaan Bian di rumah sakit. Namun bukan berarti Papa memaafkan kesalahan Bian sepenuhnya, terbukti dari seberapa dinginnya Papa meski disinari matahari seterik ini. Bian mendengkus, kemudian masuk ke dalam mobil dengan hati-hati dan dibantu Mama.

Sedikit banyak Bian bersyukur dipulangkan hari ini, mengingat minggu depan ada pelaksaan ujian kenaikan kelas yang harus dia dan Zaid lakukan di sekolah. Ngomong-ngomong Zaidーmereka berpisah di pintu keluar sebab, letak kendaraan Papa dan Om Dio cukup berjauhan.

“Mas, kamu udah ambil obatnya Bian?”

“Udah.”

“Kamu udah kruk buat bantu Bian jalー”

“Udah. Udah aku beli, ada di belakang!” seru Papa yang kini tengah fokus mengemudi.

Melihat bagaimana respon Papa barusan, Bian mengatupkan kedua bibirnya seketika. Sementara Mama yang juga duduk di kursi penumpang, di sebelahnya, kini menatap kikuk ke arah Bian. Papa masih sensitif. Bian dan Mama paham akan hal itu. Lantas, sepanjang perjalan keheningan melanda mereka bertiga. Baik Papa, Bian, bahkan Mama sekalipun tak ada yang berniat membuka suara. Bian pikir, mungkin sebaiknya dia cepat-cepat mengambil hati Papa kembali demi kenyamanan bersama.

Bian dan Zaid akhirnya di sini. Ruangan tertutup, berisikan dua ranjang khas rumah sakit yang masing-masing tengah mereka duduki. Aroma obat, alkohol, dan besi berkarat yang biasa kita temui di rumah sakit itu, menguar. Menguasai indera penciuman Bian. Miris, buntut dari perbuatan Bian ternyata sampai separah ini. Patah tulang kaki kanan miliknya, bersamaan dengan tangan kanan Zaid yang kini tengah digips sebab ada indikasi yang sama dengan Bian.

Bian menatap nanar ke arah Zaid yang berada di atas ranjang di seberangnya. Ekspresi wajah kawannya itu tampak sulit dijelaskan. Mungkin masih syok, atau tengah menahan rasa sakit. Niat hati ingin menghampiri Zaid namun, dia sadar kalau-kalau kaki kanannya masih belum bisa dibawa berjalan sebagaimana maunya.

“Id, motor lo ... gue minta maaf.”

“Gak usah bahas motor gue, Bi. Perasaan gue ketrigger,” timpal Zaid.

“Justru karna itu gue minta maaf.” Sementara Bian memasang wajah memelas, Zaid enggan menjawab.

Dari luar terdengar derap langkah kaki yang memburu, sebelum akhirnya pintu kamar inap ini terbuka dengan kasar. Suaranya memekakan telinga. Bian yakin atensi para perawat yang berada di luar, pasti sempat teralihkan untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Di sana. Di depan pintu akses masuk satu-satunya. Sosok Papa berdiri menjulang, lengkap dengan sorot mata nyalang dan kedua tangan yang terkepal. Papa melangkah masuk tanpa memberi sapaan apapun, sementara Mama tampak buru-buru menutup pintu.

Lalu dengan kasar Papa mencengkram pundak Bian. “Apa sih yang bikin kamu gak punya pikiran kayak gini?” sebuah kalimat yang menjadi awalan kemurkaan Papa malam itupun lolos begitu saja. Papa melempar beberapa lembar kertas yang merekap sejumlah pengeluaran akibat perbuatannya sore ini. “Apa sih yang bikin otak kamu ini sampai gak berfungsi kayak gini, Sabian?” Dengan wajah yang memerah dan deru napas tak karuan, jari telunjuk Papa sengaja mengetuk-ngetuk kening Bian saking kesalnya.

Sedangkan bocah itu diam tak berkutik, Zaid yang berada di sana pun memilih bungkam sebab, dia mengerti kenapa Bian sampai terkena omelan seperti ini. Lagi pula dia tak punya hak barang sedikitpun untuk ikut menimpali prahara orang tua dan anak, di hadapannya itu.

“Mas! Bisa, kan, ngomongnya pelan-pelan?” pekik Mama seraya menarik paksa lengan Papa.

Jauh di dalam lubuk hati, Bian paham betul apa penyebab kemurkaan Papa yang sampai seperti ini. Kalau bukan karena dia hampir menabrak sesama pengendara motor. Kalau bukan karena cidera yang dialami Zaid atas kecerobohannya.... Bian menghela napas panjang. Dia memutuskan untuk tetap diam mematung. Sebab, jangankan menjawab. Menatap ke arah Mama dan Papa saja nyalinya menciut.

*Papa mendengkus. Kalau bisa disuarakan mungkin bunyi detak jantung Papa sudah dag dig dug duar! sejak diberi kabar bahwa Bian beserta Zaid, tidak ada angin, tidak ada hujan tiba-tiba masuk rumah sakit. Terlebih lagi begitu mengetahui kalau Bian biang keroknya.*

“Ini, nih! Kenapa Papa males kasih kamu motor tuh ini! Ceroboh! Gak fokus! EGOIS!”

“Bian udah bilang sama Papa kalau—”

“Apa? Minta maaf?” tanya Papa menuntut. Sementara yang ditanya kembali manggut pasrah. “Emangnya kamu pikir dengan minta maaf, itu cukup buat ganti kerusakan motor orang? Emangnya dengan kamu minta maaf, itu bisa benerin kerusakan jalan, ganti motornya Zaid, sama bayar biaya rumah sakit ini?”

Sontak sorot mata Bian turun ke kaki. Menatap nanar kakinya yang juga tengah digips persis seperti tangan Zaid—tidak disebut oleh Papa.

Mama yang paham maksud dari raut wajah Bian, lantas memukul lengan Papa. Bunyinya nyaring, dan sepertinya cukup membuat Papa kesakitan. Meski sama halnya seperti Papa yang tengah marah—melihat bagaimana kondisi Bian, cukup membuat hati Mama sakit. Kaki digips, lengan yang ditempeli plester di beberapa titik—tampaknya karena hasil ciuman dengan bahu jalan, serta ada memar-memar pada wajah Bian. Ibu mana yang tidak sedih jika melihat anaknya dengan keadaan seperti itu?

Mama akhirnya memilih untuk memeluk Bian. Erat, meski harus hati-hati sebab khawatir selang infus Bian justru akan membuat darahnya naik. “It's okay, Bi. Nanti kita perbaiki semuanya begitu keluar dari sini ya, Sayang....”

“Papa itu malu, Bi! Punya anak cowok satu-satunya kok begini, sih?!” seru Papa tak tertahankan..“Ini tuh karna kamu terlalu manjain dia. Udah cukup lah, udah gede anaknya, Ra!” Nah, kan. Kini giliran Mama yang kena semprot.

Tiba-tiba saja pintu terbuka dari luar. Kemudian, eksistensi papa dan mama Zaid sukses menarik atensi keempatnya.

“Zaid!” pekik mama Zaid, seraya menghambur ke arah anaknya itu.

“Gapapa, sumpah aku gapapa! Jangan teriak-teriak, Ma!”

Sementara itu, Papa masih setia memandang Bian dengan nanar. “Lo hajar aja dia. Biar ini anak ngerti kalau konsekuensi itu banyak jenisnya, gak cuman ocehan gue doang,” kata Papa yang kemudian sukses membuat papa Zaid—Om Dio dan Bian melongo tak percaya.

Ada benarnya sih. Pasalnya Papa mau sekesal apapun pada Bian, rasanya enggan main tangan. Tapi lain halnya kalau Bian habis babak belur ditangan Om Dio yang anaknya baru saja dia buat celaka tadi sore. Tapi, alih-alih mengiyakan—Om Dio justru tertawa renyah.

“Om, Bian beneran minta maaf....”

“Santai aja, Bi. Dulu kita juga pernah nyium aspal kayak kalian.” Wajahnya kelihatan jauh lebih tenang dari Papa.

“Dulu kita gak sampai patah tulang,” sergah Papa tak terima. “Denger ya, Bi. Mulai sekarang, gak ada lagi les di luar buat kamu. Kalau mau les.di dalem rumah aja!” Miris. Terhitung kurang dari dua minggu lagi, seharusnya ulangan kenaikan kelas mulai menyambutnya tapi, malah seperti ini.

Sepersekian detik Bian tersadar. Sudah begini, bukan lagi Diajeng Pramesti yang dia pikirkan, melainkan pengambilan rapor kenaikan kelas yang sudah di depan mata.

“Bian masih mau les, Pa.”

“Gak usah!”

“Pa....”

“Kamu ini budek ya?!”

“MAS?! UDAH!” pekik Mama, hingga semua orang yang ada di ruangan itu ikut menatapnya.


Sejak keributan beberapa waktu lalu yang membuat Papa dan Mama pulang lebih dulu, Bian tak habis-habisnya berkacak seolah tidak terjadi apa-apa. Senyumnya full, meski mata jelas sudah berkaca-kaca. Kalau kata sang nenek, sih 'ingah-ingih motone abang'.

Ngomong-ngomong, selain Mama dan Papa—keluarga Bian tidak ada yang tahu mengenai kabar kecelakaan lalu lintas yang Bian alami ini. Agaknya Papa serius saat mengatakan bahwa dirinya malu.

Om Dio dan sang istri memilih pulang terlebih dahulu, karena menurut dokter mungkin Bian dan Zaid masih harus diopname sampai satu atau dua hari kedepan, maka mereka memutuskan untuk kembali lagi besok pagi sembari membawa pakaian bersih.

Pukul setengah dua belas malam waktu Indonesia bagian Barat dan seperti kata Ayah—Om Yudhis melalui chat beberapa saat lalu, dia lah yang akan menemani Bian, dan Zaid malam ini. Tapi, kebetulan ada Ozi. Kalau dihiperbolakan, Ozi ini pantas jika diberi slogan OCA alias Ozi Cahaya Asia. Pasalnya, mau sesibuk apapun dia sebagai calon mahasiswa baru, dan semalas apapun dia melihat duo sableng di hadapannya ini—dia tetap datang dengan membawa sewadah styrofoam berisikan dua porsi bubur ayam untuk Bian, dan Zaid sekaligus.

“Apa gak malu disuapin sama Oji kayak gitu?” Suara Om Yudhis menarik atensi Zaid seketika.

“Malu itu kalau telanjang, Om,” sahutnya.

Bian terkekeh. Sesaat, dia ingat bagaimana ekspresi wajah Zaid kala mengatakan bahwa dia takut melihat sosok Om Yudhis. Rambut yang dibiarkan memanjang, serta tampang serius yang lelaki dewasa itu miliki memang agak nyentrik. Tapi, hari ini. Setelah keduanya bertemu dan berinteraksi secara langsung seperti ini—tampaknya Zaid mulai merasakan seperti apa daya tarik 'ayahnya' itu.

“Nyaut aja lo!” seru Ozi. Sambil menyuap sesendok bubur kedalam mulut Bian, Ozi memandang jengah ke arah Zaid.

Lalu dengan mulut yang baru saja diisi makanan, Bian sengaja menimpali, “Tau ya. Perasaan dulu ada yang ngakunya takut.”

“Siapa yang takut sama siapa?” tanya Om Yudhis penasaran.

Lantas dengan semangat empat lima, Bian menunjuk ke arah Zaid. “Zaid kan takut sama Ayah! Bian pernah cerita,” katanya berusaha membawa kembali ingatan lelaki yang yang dia sebut-sebut sebagai ayahnya itu. Bian berhasil membuat Zaid merasa canggung seketika.

Melihat bagaimana kedua teman yang sudah dianggap sebagai adiknya itu, Ozi tak tinggal diam. Dia menempatkan sendok, tepat di depan bibir Bian. “Sutt! Daripada lo sibuk ngeledekin Zaid, mending lo pikirin gimana caranya bikin empati orang tua lo balik lagi.”

Mulut Bian langsung mengatup. Lalu dia diam seribu bahasa.

“Sumpah tadi Om Jeffrey marahnya epik banget sih!” Kalau mau mengibaratkan Bian dan Zaid seperti saklar lampu juga boleh. Pasalnya, setelah Zaid selalu ada giliran untuk Bian. Jika sebelumnya Bian yang terus-menerus meledek Zaid, sekarang kebalikannya.

Tapi, belum sempat bocah itu melancarkan aksinya, Om Yudhis lebih dulu angkat bicara. “Ya namanya juga orang marah,” Om Yudhis berdiri, kemudian menutup tirai yang jendelanya mengarah langsung pada jalanan besar Ibu Kota. “Motornya Zaid udah ada di rumah—persis sama yang dirusakin Bian. Malem ini cuman Om yang jagain kalian, termasuk Ozi. Kamu tidur di sini aja, soalnya ini udah hampir tengah malem—rawan. ” bertepatan dengan habisnya bubur yang Ozi bawa, Om Yudhis berkata demikian.

“Ayah....”

“Apa?”

Bian menghela napas panjang. “Soal les, Papa gak bilang apa-apa?” kata Bian. Terdengar lirih di akhir kalimatnya.

Om Yudhis menggeleng, sambil berjalan mendekat ke arah ranjang pasien Bian. Laki-laki dewasa itu menatap wajah Bian lamat-lamat, lalu menggeleng perlahan. Tangannya terulur. Mengusap pucuk kepala bocah yang selama ini sudah dia anggap sebagai anaknya sendiri itu. “Papa kamu gak bilang apa-apa, Bi. Sekarang tidur dulu aja. Nanti kalau udah pulang, bisa bahas langsung sama Papa kamu.”

Perkataan Om Yudhis seperti halnya penenang. Bian mengangguk paham.

“Yaudah, gih. Kalian tidur. Ozi tidur di sofa aja, tuh.”

“Terus, Om, gimana?” tanya Ozi. Khawatir kalau kehadirannya justru membuat Om Yudhis terpaksa tidur di bawah, atau justru terjaga semalaman.

Spontan Om Yudhis merogoh saku celananya, dan mengeluarkan sebuah kotak kecil yang kelihatannya seperti bungkus rokok. “Om mau ke luar dulu. Biasa....”

*Bian dan Zaid akhirnya di sini. Ruangan tertutup, berisikan dua ranjang khas rumah sakit yang masing-masing tengah mereka duduki. Aroma obat, alkohol, dan besi berkarat yang biasa kita temui di rumah sakit itu, menguar. Menguasai indera penciuman Bian. Miris, buntut dari perbuatan Bian ternyata sampai separah ini. Patah tulang kaki kanan miliknya, bersamaan dengan tangan kanan Zaid yang kini tengah digips sebab ada indikasi yang sama dengan Bian.

Bian menatap nanar ke arah Zaid yang berada di atas ranjang di seberangnya. Ekspresi wajah kawannya itu tampak sulit dijelaskan. Mungkin masih syok, atau tengah menahan rasa sakit. Niat hati ingin menghampiri Zaid namun, dia sadar kalau-kalau kaki kanannya masih belum bisa dibawa berjalan sebagaimana maunya.

“Id, motor lo ... gue minta maaf.”

“Gak usah bahas motor gue, Bi. Perasaan gue ketrigger,” timpal Zaid.

“Justru karna itu gue minta maaf.” Sementara Bian memasang wajah memelas, Zaid enggan menjawab.

Dari luar terdengar derap langkah kaki yang memburu, sebelum akhirnya pintu kamar inap ini terbuka dengan kasar. Suaranya memekakan telinga. Bian yakin atensi para perawat yang berada di luar, pasti sempat teralihkan untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Di sana. Di depan pintu akses masuk satu-satunya. Sosok Papa berdiri menjulang, lengkap dengan sorot mata nyalang dan kedua tangan yang terkepal. Papa melangkah masuk tanpa memberi sapaan apapun, sementara Mama tampak buru-buru menutup pintu.

Lalu dengan kasar Papa mencengkram pundak Bian. “Apa sih yang bikin kamu gak punya pikiran kayak gini?” sebuah kalimat yang menjadi awalan kemurkaan Papa malam itupun lolos begitu saja. Papa melempar beberapa lembar kertas yang merekap sejumlah pengeluaran akibat perbuatannya sore ini. “Apa sih yang bikin otak kamu ini sampai gak berfungsi kayak gini, Sabian?” Dengan wajah yang memerah dan deru napas tak karuan, jari telunjuk Papa sengaja mengetuk-ngetuk kening Bian saking kesalnya.

Sedangkan bocah itu diam tak berkutik. Zaid yang berada di sana pun memilih bungkam sebab, dia mengerti kenapa Bian sampai terkena omelan seperti ini. Lagi pula dia tak punya hak barang sedikitpun untuk ikut menimpali prahara orang tua dan anak, di hadapannya itu.

“Mas! Bisa, kan, ngomongnya pelan-pelan?” pekik Mama seraya menarik paksa lengan Papa.

Jauh di dalam lubuk hati, Bian paham betul apa penyebab kemurkaan Papa yang sampai seperti ini. Kalau bukan karena dia hampir menabrak sesama pengendara motor. Kalau bukan karena cidera yang dialami Zaid atas kecerobohannya.... Bian menghela napas panjang. Dia memutuskan untuk tetap diam mematung. Sebab, jangankan menjawab. Menatap ke arah Mama dan Papa saja nyalinya menciut.

Papa mendengkus. Kalau bisa disuarakan mungkin bunyi detak jantung Papa sudah dag dig dug duar! sejak diberi kabar bahwa Bian beserta Zaid, tidak ada angin, tidak ada hujan tiba-tiba masuk rumah sakit. Terlebih lagi begitu mengetahui kalau Bian biang keroknya.

“Ini, nih! Kenapa Papa males kasih kamu motor tuh ini! Ceroboh! Gak fokus! EGOIS!”

“Bian udah bilang sama Papa kalau—”

“Apa? Minta maaf?” tanya Papa menuntut. Sementara yang ditanya kembali manggut pasrah. “Emangnya kamu pikir dengan minta maaf, itu cukup buat ganti kerusakan motor orang? Emangnya dengan kamu minta maaf, itu bisa benerin kerusakan jalan, ganti motornya Zaid, sama bayar biaya rumah sakit ini?”

Sontak sorot mata Bian turun ke kaki. Menatap nanar kakinya yang juga tengah digips persis seperti tangan Zaid—tidak disebut oleh Papa.

Mama yang paham maksud dari raut wajah Bian, lantas memukul lengan Papa. Bunyinya nyaring, dan sepertinya cukup membuat Papa kesakitan. Meski sama halnya seperti Papa yang tengah marah—melihat bagaimana kondisi Bian, cukup membuat hati Mama sakit. Kaki digips, lengan yang ditempeli plester di beberapa titik—tampaknya karena hasil ciuman dengan bahu jalan, serta ada memar-memar pada wajah Bian. Ibu mana yang tidak sedih jika melihat anaknya dengan keadaan seperti itu?

Mama akhirnya memilih untuk memeluk Bian. Erat, meski harus hati-hati sebab khawatir selang infus Bian justru akan membuat darahnya naik. “It's okay, Bi. Nanti kita perbaiki semuanya begitu keluar dari sini ya, Sayang....”

“Papa itu malu, Bi! Punya anak cowok satu-satunya kok begini, sih?!” seru Papa tak tertahankan..“Ini tuh karna kamu terlalu manjain dia. Udah cukup lah, udah gede anaknya, Ra!” Nah, kan. Kini giliran Mama yang kena semprot.

Tiba-tiba saja pintu terbuka dari luar. Kemudian, eksistensi papa dan mama Zaid sukses menarik atensi keempatnya.

“Zaid!” pekik mama Zaid, seraya menghambur ke arah anaknya itu.

“Gapapa, sumpah aku gapapa! Jangan teriak-teriak, Ma!”

Sementara itu, Papa masih setia memandang Bian dengan nanar. “Lo hajar aja dia. Biar ini anak ngerti kalau konsekuensi itu banyak jenisnya, gak cuman ocehan gue doang,” kata Papa yang kemudian sukses membuat papa Zaid—Om Dio dan Bian melongo tak percaya.

Ada benarnya sih. Pasalnya Papa mau sekesal apapun pada Bian, rasanya enggan main tangan. Tapi lain halnya kalau Bian habis babak belur ditangan Om Dio yang anaknya baru saja dia buat celaka tadi sore. Tapi, alih-alih mengiyakan—Om Dio justru tertawa renyah.

“Om, Bian beneran minta maaf....”

“Santai aja, Bi. Dulu kita juga pernah nyium aspal kayak kalian.” Wajahnya kelihatan jauh lebih tenang dari Papa.

“Dulu kita gak sampai patah tulang,” sergah Papa tak terima. “Denger ya, Bi. Mulai sekarang, gak ada lagi les di luar buat kamu. Kalau mau les.di dalem rumah aja!” Miris. Terhitung kurang dari dua minggu lagi, seharusnya ulangan kenaikan kelas mulai menyambutnya tapi, malah seperti ini.

Sepersekian detik Bian tersadar. Sudah begini, bukan lagi Diajeng Pramesti yang dia pikirkan, melainkan pengambilan rapor kenaikan kelas yang sudah di depan mata.

“Bian masih mau les, Pa.”

“Gak usah!”

“Pa....”

“Kamu ini budek ya?!”

“MAS?! UDAH!” pekik Mama, hingga semua orang yang ada di ruangan itu ikut menatapnya.*


Sejak keributan beberapa waktu lalu yang membuat Papa dan Mama pulang lebih dulu, Bian tak habis-habisnya berkacak seolah tidak terjadi apa-apa. Senyumnya full, meski mata jelas sudah berkaca-kaca. Kalau kata sang nenek, sih 'ingah-ingih motone abang'.

Ngomong-ngomong, selain Mama dan Papa—keluarga Bian tidak ada yang tahu mengenai kabar kecelakaan lalu lintas yang Bian alami ini. Agaknya Papa serius saat mengatakan bahwa dirinya malu.

Om Dio dan sang istri memilih pulang terlebih dahulu, karena menurut dokter mungkin Bian dan Zaid masih harus diopname sampai satu atau dua hari kedepan, maka mereka memutuskan untuk kembali lagi besok pagi sembari membawa pakaian bersih.

Pukul setengah dua belas malam waktu Indonesia bagian Barat dan seperti kata Ayah—Om Yudhis melalui chat beberapa saat lalu, dia lah yang akan menemani Bian, dan Zaid malam ini. Tapi, kebetulan ada Ozi. Kalau dihiperbolakan, Ozi ini pantas jika diberi slogan OCA alias Ozi Cahaya Asia. Pasalnya, mau sesibuk apapun dia sebagai calon mahasiswa baru, dan semalas apapun dia melihat duo sableng di hadapannya ini—dia tetap datang dengan membawa sewadah styrofoam berisikan dua porsi bubur ayam untuk Bian, dan Zaid sekaligus.

“Apa gak malu disuapin sama Oji kayak gitu?” Suara Om Yudhis menarik atensi Zaid seketika.

“Malu itu kalau telanjang, Om,” sahutnya.

Bian terkekeh. Sesaat, dia ingat bagaimana ekspresi wajah Zaid kala mengatakan bahwa dia takut melihat sosok Om Yudhis. Rambut yang dibiarkan memanjang, serta tampang serius yang lelaki dewasa itu miliki memang agak nyentrik. Tapi, hari ini. Setelah keduanya bertemu dan berinteraksi secara langsung seperti ini—tampaknya Zaid mulai merasakan seperti apa daya tarik 'ayahnya' itu.

“Nyaut aja lo!” seru Ozi. Sambil menyuap sesendok bubur kedalam mulut Bian, Ozi memandang jengah ke arah Zaid.

Lalu dengan mulut yang baru saja diisi makanan, Bian sengaja menimpali, “Tau ya. Perasaan dulu ada yang ngakunya takut.”

“Siapa yang takut sama siapa?” tanya Om Yudhis penasaran.

Lantas dengan semangat empat lima, Bian menunjuk ke arah Zaid. “Zaid kan takut sama Ayah! Bian pernah cerita,” katanya berusaha membawa kembali ingatan lelaki yang yang dia sebut-sebut sebagai ayahnya itu. Bian berhasil membuat Zaid merasa canggung seketika.

Melihat bagaimana kedua teman yang sudah dianggap sebagai adiknya itu, Ozi tak tinggal diam. Dia menempatkan sendok, tepat di depan bibir Bian. “Sutt! Daripada lo sibuk ngeledekin Zaid, mending lo pikirin gimana caranya bikin empati orang tua lo balik lagi.”

Mulut Bian langsung mengatup. Lalu dia diam seribu bahasa.

“Sumpah tadi Om Jeffrey marahnya epik banget sih!” Kalau mau mengibaratkan Bian dan Zaid seperti saklar lampu juga boleh. Pasalnya, setelah Zaid selalu ada giliran untuk Bian. Jika sebelumnya Bian yang terus-menerus meledek Zaid, sekarang kebalikannya.

Tapi, belum sempat bocah itu melancarkan aksinya, Om Yudhis lebih dulu angkat bicara. “Ya namanya juga orang marah,” Om Yudhis berdiri, kemudian menutup tirai yang jendelanya mengarah langsung pada jalanan besar Ibu Kota. “Motornya Zaid udah ada di rumah—persis sama yang dirusakin Bian. Malem ini cuman Om yang jagain kalian, termasuk Ozi. Kamu tidur di sini aja, soalnya ini udah hampir tengah malem—rawan. ” bertepatan dengan habisnya bubur yang Ozi bawa, Om Yudhis berkata demikian.

“Ayah....”

“Apa?”

Bian menghela napas panjang. “Soal les, Papa gak bilang apa-apa?” kata Bian. Terdengar lirih di akhir kalimatnya.

Om Yudhis menggeleng, sambil berjalan mendekat ke arah ranjang pasien Bian. Laki-laki dewasa itu menatap wajah Bian lamat-lamat, lalu menggeleng perlahan. Tangannya terulur. Mengusap pucuk kepala bocah yang selama ini sudah dia anggap sebagai anaknya sendiri itu. “Papa kamu gak bilang apa-apa, Bi. Sekarang tidur dulu aja. Nanti kalau udah pulang, bisa bahas langsung sama Papa kamu.”

Perkataan Om Yudhis seperti halnya penenang. Bian mengangguk paham.

“Yaudah, gih. Kalian tidur. Ozi tidur di sofa aja, tuh.”

“Terus, Om, gimana?” tanya Ozi. Khawatir kalau kehadirannya justru membuat Om Yudhis terpaksa tidur di bawah, atau justru terjaga semalaman.

Spontan Om Yudhis merogoh saku celananya, dan mengeluarkan sebuah kotak kecil yang kelihatannya seperti bungkus rokok. “Om mau ke luar dulu. Biasa....”

*Bian dan Zaid akhirnya di sini. Ruangan tertutup, berisikan dua ranjang khas rumah sakit yang masing-masing tengah mereka duduki. Aroma obat, alkohol, dan besi berkarat yang biasa kita temui di rumah sakit itu, menguar. Menguasai indera penciuman Bian. Miris, buntut dari perbuatan Bian ternyata sampai separah ini. Patah tulang kaki kanan miliknya, bersamaan dengan tangan kanan Zaid yang kini tengah digips sebab ada indikasi yang sama dengan Bian.

Bian menatap nanar ke arah Zaid yang berada di atas ranjang di seberangnya. Ekspresi wajah kawannya itu tampak sulit dijelaskan. Mungkin masih syok, atau tengah menahan rasa sakit. Niat hati ingin menghampiri Zaid namun, dia sadar kalau-kalau kaki kanannya masih belum bisa dibawa berjalan sebagaimana maunya.

“Id, motor lo ... gue minta maaf.”

“Gak usah bahas motor gue, Bi. Lo gak liat nih, tangan?” timpal Zaid.

“Ya, soal tangan lo juga.” Sementara Bian memasang wajah memelas, Zaid enggan menjawab.

Dari luar terdengar derap langkah kaki yang memburu, sebelum akhirnya pintu kamar inap ini terbuka dengan kasar. Suaranya memekakan telinga. Bian yakin atensi para perawat yang berada di luar, pasti sempat teralihkan untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Di sana. Di depan pintu akses masuk satu-satunya. Sosok Papa berdiri menjulang, lengkap dengan sorot mata nyalang dan kedua tangan yang terkepal. Papa melangkah masuk tanpa memberi sapaan apapun, sementara Mama tampak buru-buru menutup pintu.

Lalu dengan kasar Papa mencengkram pundak Bian. “Apa sih yang bikin kamu gak punya pikiran kayak gini?” sebuah kalimat yang menjadi awalan kemurkaan Papa malam itupun lolos begitu saja. Papa melempar beberapa lembar kertas yang merekap sejumlah pengeluaran akibat perbuatannya sore ini. “Apa sih yang bikin otak kamu ini sampai gak berfungsi kayak gini, Sabian?” Dengan wajah yang memerah dan deru napas tak karuan, jari telunjuk Papa sengaja mengetuk-ngetuk kening Bian saking kesalnya.

Sedangkan bocah itu diam tak berkutik. Zaid yang berada di sana pun memilih bungkam sebab, dia mengerti kenapa Bian sampai terkena omelan seperti ini. Lagi pula dia tak punya hak barang sedikitpun untuk ikut menimpali prahara orang tua dan anak, di hadapannya itu.

“Mas!” pekik Mama seraya menarik paksa lengan Papa.

Jauh di dalam lubuk hati, Bian paham betul apa penyebab kemurkaan Papa yang sampai seperti ini. Kalau bukan karena dia hampir menabrak sesama pengendara motor. Kalau bukan karena cidera yang dialami Zaid atas kecerobohannya.... Bian menghela napas panjang. Dia memutuskan untuk tetap diam mematung. Sebab, jangankan menjawab. Menatap ke arah Mama dan Papa saja nyalinya menciut.

Papa mendengkus. Kalau bisa disuarakan mungkin bunyi detak jantung Papa sudah dag dig dug duar! sejak diberi kabar bahwa Bian beserta Zaid, tidak ada angin, tidak ada hujan tiba-tiba masuk rumah sakit. Terlebih lagi begitu mengetahui kalau Bian biang keroknya.

“Ini, nih! Kenapa Papa males kasih kamu motor tuh ini! Ceroboh! Gak fokus! EGOIS!”

“Bian udah bilang sama Papa kalau—”

“Apa? Minta maaf?” tanya Papa menuntut. Sementara yang ditanya kembali manggut pasrah. “Emangnya kamu pikir dengan minta maaf, itu cukup buat ganti kerusakan motor orang? Emangnya dengan kamu minta maaf, itu bisa benerin kerusakan jalan, ganti motornya Zaid, sama bayar biaya rumah sakit ini?”

Sontak sorot mata Bian turun ke kaki. Menatap nanar kakinya yang juga tengah digips persis seperti tangan Zaid—tidak disebut oleh Papa.

Mama yang paham maksud dari raut wajah Bian, lantas memukul lengan Papa. Bunyinya nyaring, dan sepertinya cukup membuat Papa kesakitan. Meski sama halnya seperti Papa yang tengah marah—melihat bagaimana kondisi Bian, cukup membuat hati Mama sakit. Kaki digips, lengan yang ditempeli plester di beberapa titik—tampaknya karena hasil ciuman dengan bahu jalan, serta ada memar-memar pada wajah Bian. Ibu mana yang tidak sedih jika melihat anaknya dengan keadaan seperti itu?

Mama akhirnya memilih untuk memeluk Bian. Erat, meski harus hati-hati sebab khawatir selang infus Bian justru akan membuat darahnya naik. “It's okay, Bi. Nanti kita perbaiki semuanya begitu keluar dari sini ya, Sayang....”

“Papa itu malu, Bi! Punya anak cowok satu-satunya kok begini, sih?!” seru Papa tak tertahankan..“Ini tuh karna kamu terlalu manjain dia. Udah cukup lah, udah gede anaknya, Ra!” Nah, kan. Kini giliran Mama yang kena semprot.

Tiba-tiba saja pintu terbuka dari luar. Kemudian, eksistensi papa dan mama Zaid sukses menarik atensi keempatnya.

“Zaid!” pekik mama Zaid, seraya menghambur ke arah anaknya itu.

“Gapapa, sumpah aku gapapa! Jangan teriak-teriak, Ma!”

Sementara itu, Papa masih setia memandang Bian dengan nanar. “Lo hajar aja dia. Biar ini anak ngerti kalau konsekuensi itu banyak jenisnya, gak cuman ocehan gue doang,” kata Papa yang kemudian sukses membuat papa Zaid—Om Dio dan Bian melongo tak percaya.

Ada benarnya sih. Pasalnya Papa mau sekesal apapun pada Bian, rasanya enggan main tangan. Tapi lain halnya kalau Bian habis babak belur ditangan Om Dio yang anaknya baru saja dia buat celaka tadi sore. Tapi, alih-alih mengiyakan—Om Dio justru tertawa renyah.

“Om, Bian beneran minta maaf....”

“Santai aja, Bi. Dulu kita juga pernah nyium aspal kayak kalian.” Wajahnya kelihatan jauh lebih tenang dari Papa.

“Dulu kita gak sampai patah tulang,” sergah Papa tak terima. “Denger ya, Bi. Mulai sekarang, gak ada lagi les di luar buat kamu. Kalau mau les.di dalem rumah aja!” Miris. Terhitung kurang dari dua minggu lagi, seharusnya ulangan kenaikan kelas mulai menyambutnya tapi, malah seperti ini.

Sepersekian detik Bian tersadar. Sudah begini, bukan lagi Diajeng Pramesti yang dia pikirkan, melainkan pengambilan rapor kenaikan kelas yang sudah di depan mata.

“Bian masih mau les, Pa.”

“Gak usah!”

“Pa....”

“Kamu ini budek ya?!”

“MAS?! UDAH!” pekik Mama, hingga semua orang yang ada di ruangan itu ikut menatapnya.*


Sejak keributan beberapa waktu lalu yang membuat Papa dan Mama pulang lebih dulu, Bian tak habis-habisnya berkacak seolah tidak terjadi apa-apa. Senyumnya full, meski mata jelas sudah berkaca-kaca. Kalau kata sang nenek, sih 'ingah-ingih motone abang'.

Ngomong-ngomong, selain Mama dan Papa—keluarga Bian tidak ada yang tahu mengenai kabar kecelakaan lalu lintas yang Bian alami ini. Agaknya Papa serius saat mengatakan bahwa dirinya malu.

Om Dio dan sang istri memilih pulang terlebih dahulu, karena menurut dokter mungkin Bian dan Zaid masih harus diopname sampai satu atau dua hari kedepan, maka mereka memutuskan untuk kembali lagi besok pagi sembari membawa pakaian bersih.

Pukul setengah dua belas malam waktu Indonesia bagian Barat dan seperti kata Ayah—Om Yudhis melalui chat beberapa saat lalu, dia lah yang akan menemani Bian, dan Zaid malam ini. Tapi, kebetulan ada Ozi. Kalau dihiperbolakan, Ozi ini pantas jika diberi slogan OCA alias Ozi Cahaya Asia. Pasalnya, mau sesibuk apapun dia sebagai calon mahasiswa baru, dan semalas apapun dia melihat duo sableng di hadapannya ini—dia tetap datang dengan membawa sewadah styrofoam berisikan dua porsi bubur ayam untuk Bian, dan Zaid sekaligus.

“Apa gak malu disuapin sama Oji kayak gitu?” Suara Om Yudhis menarik atensi Zaid seketika.

“Malu itu kalau telanjang, Om,” sahutnya.

Bian terkekeh. Sesaat, dia ingat bagaimana ekspresi wajah Zaid kala mengatakan bahwa dia takut melihat sosok Om Yudhis. Rambut yang dibiarkan memanjang, serta tampang serius yang lelaki dewasa itu miliki memang agak nyentrik. Tapi, hari ini. Setelah keduanya bertemu dan berinteraksi secara langsung seperti ini—tampaknya Zaid mulai merasakan seperti apa daya tarik 'ayahnya' itu.

“Nyaut aja lo!” seru Ozi. Sambil menyuap sesendok bubur kedalam mulut Bian, Ozi memandang jengah ke arah Zaid.

Lalu dengan mulut yang baru saja diisi makanan, Bian sengaja menimpali, “Tau ya. Perasaan dulu ada yang ngakunya takut.”

“Siapa yang takut sama siapa?” tanya Om Yudhis penasaran.

Lantas dengan semangat empat lima, Bian menunjuk ke arah Zaid. “Zaid kan takut sama Ayah! Bian pernah cerita,” katanya berusaha membawa kembali ingatan lelaki yang yang dia sebut-sebut sebagai ayahnya itu. Bian berhasil membuat Zaid merasa canggung seketika.

Melihat bagaimana kedua teman yang sudah dianggap sebagai adiknya itu, Ozi tak tinggal diam. Dia menempatkan sendok, tepat di depan bibir Bian. “Sutt! Daripada lo sibuk ngeledekin Zaid, mending lo pikirin gimana caranya bikin empati orang tua lo balik lagi.”

Mulut Bian langsung mengatup. Lalu dia diam seribu bahasa.

“Sumpah tadi Om Jeffrey marahnya epik banget sih!” Kalau mau mengibaratkan Bian dan Zaid seperti saklar lampu juga boleh. Pasalnya, setelah Zaid selalu ada giliran untuk Bian. Jika sebelumnya Bian yang terus-menerus meledek Zaid, sekarang kebalikannya.

Tapi, belum sempat bocah itu melancarkan aksinya, Om Yudhis lebih dulu angkat bicara. “Ya namanya juga orang marah,” Om Yudhis berdiri, kemudian menutup tirai yang jendelanya mengarah langsung pada jalanan besar Ibu Kota. “Motornya Zaid udah ada di rumah—persis sama yang dirusakin Bian. Malem ini cuman Om yang jagain kalian, termasuk Ozi. Kamu tidur di sini aja, soalnya ini udah hampir tengah malem—rawan. ” bertepatan dengan habisnya bubur yang Ozi bawa, Om Yudhis berkata demikian.

“Ayah....”

“Apa?”

Bian menghela napas panjang. “Soal les, Papa gak bilang apa-apa?” kata Bian. Terdengar lirih di akhir kalimatnya.

Om Yudhis menggeleng, sambil berjalan mendekat ke arah ranjang pasien Bian. Laki-laki dewasa itu menatap wajah Bian lamat-lamat, lalu menggeleng perlahan. Tangannya terulur. Mengusap pucuk kepala bocah yang selama ini sudah dia anggap sebagai anaknya sendiri itu. “Papa kamu gak bilang apa-apa, Bi. Sekarang tidur dulu aja. Nanti kalau udah pulang, bisa bahas langsung sama Papa kamu.”

Perkataan Om Yudhis seperti halnya penenang. Bian mengangguk paham.

“Yaudah, gih. Kalian tidur. Ozi tidur di sofa aja, tuh.”

“Terus, Om, gimana?” tanya Ozi. Khawatir kalau kehadirannya justru membuat Om Yudhis terpaksa tidur di bawah, atau justru terjaga semalaman.

Spontan Om Yudhis merogoh saku celananya, dan mengeluarkan sebuah kotak kecil yang kelihatannya seperti bungkus rokok. “Om mau ke luar dulu. Biasa....”

Kalau soal belajar, sekarang Bian tidak pernah main-main. Semangatnya full batery! Sebab, yang namanya Sabian Aditama ini memegang teguh pendiriannya. Kalau tidak, bisa-bisa nanti diledek Papa habis-habisan karena sempat menangis perihal nilai rapor yang nyaris menyerempet KKM di semester lalu. Ditambah lagi, jangan lupa beban sebuah janji revolusi yang dia suarakan secara terang-terangan pada beberapa orang terdekatnya. Andaikata Bian gagal lagi, entah mau ditaruh di mana wajah tampannya itu nanti.

Hari ini jadwalnya Bian belajar di tempat les. Agaknya tempat les ini juga berperan penting dalam meningkatkan nilai-nilai pada tugas sekolah Bian, luar biasa. Pernah, sampai salah seorang yang biasanya dia minta untuk mengemban tanggung jawab sebagai 'joki tugas' bertanya terang-terangan kenapa Bian tidak pernah menitipkan tugas-tugasnya lagi. Lantas, Bian sekonyong-konyong menjawab 'udah pinter' dengan laga jumawa yang sengaja dia buat-buat. Kemudian, efek sampingnya lumayan. Selain menghemat uang saku, Bian juga jadi jauh lebih mengerti bagaimana caranya mengeksekusi tugas-tugasnya sendiri. Bahkan Zaid sukses dibuat terheran-heran, sebab biasanya dia dan Bian sering kali sharing kunci jawaban PR, tapi kini tidak lagi.

Ngomong-ngomong soal Zaid, meski katanya sedang marah dia masih Zaid yang sama seperti yang Bian kenal sejak bertahun-tahun lamanya. Masih Zaid yang kalau dibuntuti oleh Bian tidak akan menolak. Masih Zaid yang kalau melihat Bian sedang dalam kesulitan, akan langsung turun tangan apapun itu masalahnya.

Seperti halnya sore ini—Bian lupa membawa pensil dan yah Zaid dengan konflik batinnya memutuskan untuk meminjamkan Bian pensil. Namun, mengingat Bian yang tempo hari sempat membuatnya kesal lantas, pensil yang dia berikan adalah pensil yang terpendek dari yang terpendek. Tujuannya jelas, agar Bian frustasi tatkala menggunakannya.


Selama kurang lebih dua jam pensil yang Bian gunakan itu terus luput dari genggamannya. Miris.

Kegiatan belajar di tempat les sore itu akhirnya selesai. Bian menghela napas panjang seraya berjalan ke meja tempat di mana Zaid berada.

“Benci,” kata Bian begitu mengembalikan pensil milik Zaid.

“Gue lebih benci sama lo,” sahut Zaid secara spontan.

Bian mendengkus. Walaupun kenyataannya dia bisa saja meminjam benda tersebut dari orang lain, Bian sengaja memilih Zaid semata-mata untuk mencuri perhatian kawannya itu. Barang kali akan luluh, batinnya.

Zaid melirik Bian dari bawah ke atas. “Lo balik sama sia—” Belum sempat Zaid menyelesaikan kalimatnya, eksistensi Ajeng lebih dahulu mengalihkan fokus Bian.

Bocah itu berlari kecil menyusul Ajeng seraya menenteng ransel yang seharusnya dia gendong di pundak. “Aku boleh nganterin gak?” tanya Bian, kedengarannya begitu semangat.

“Rumah aku kan deket dari sini, Sab.”

“Gak masalah. Aku anterin ya??”

Nada bicara Bian sukses membuat Ajeng terkekeh. Layaknya bocah kecil yang tengah menawarkan sesuatu. Ajeng mengangguk samar-samar.

Sebenarnya tidak perlu repot-repot diantar pun Ajeng pasti selamat sampai rumah. Jarak dari tempat les ini ke rumahnya kan memang sedekat itu. Terbukti dari Ajeng yang bahkan hanya jalan kaki, sementara saat ke sekolah saja gadis itu naik sepeda.

“Ajeng!”

Itu suara Kak Xander, tutor merangkap kaka tiri bagi Ajeng. Suaranya lantang tapi tidak senyaring suara Ozi teman Bian. Mendengar namanya dipanggil, Ajeng pun menoleh. Meski begitu, tetap saja Kak Xander yang menghampiri Ajeng dan bukan sebaliknya.

“Mama sama papa mungkin baru pulang besok lusa.”

Ajeng menaikkan sudut salah satu alisnya. “Terus?” tanyanya to the point.

“Saya nginep di kostan. Kamu aman kan di rumah sendirian?”

“Oh....” Ajeng mengangguk paham. “Aman, tenang aja. Sebelum ada Kakak sama Mama—aku juga udah terbiasa sendirian di rumah,” tutur Ajeng yang kemudian sukses membuat atmosfer di antara mereka bertiga aneh seketika.

Geming.

Selanjutnya netra Kak Xander hati-hati menilik Bian dari ujung ke ujung. “Hm ... kalian berdua pacaran?” tanyanya hati-hati, meski kenyataannya mampu membuat Ajeng mendelik.

“Kita?” Bian kembali memastikan kalau yang Kak Xander maksud adalah dia dan Ajeng.

Kak Xander mengangguk.

“Enggak. Kita cuman temenan, gak lebih.”

Deg!

Bian langsung bungkam mendengar betapa yakin Ajeng dengan jawabannya yang barusan. Kalau boleh jujur hatinya mendadak nyeri. Dia tau, mungkin memang kenyataannya demikian tapi, Ajeng seolah tidak membutuhkan waktu untuk menjawab demikian. Lalu apa artinya usaha Bian selama ini? Lalu apa artinya semua momen indah yang dengan susah payah Bian wujudkan? Apa artinya pikiran, perasaan, dan waktu yang Bian dedikasikan sepenuhnya untuk Ajeng sampai harus dimarahi Mama?

Bian meringis miris di samping Ajeng. Kemudian, saat sosok Zaid hampir melewati mereka—Bian spontan merangkul pundak Zaid. “Kak, Ajeng ... duluan ya!” kata Bian. Dan tanpa menunggu respon keduanya, Bian buru-buru menarik Zaid keluar.

“Ngapain sih, Monyet?!” pekik Zaid persis ketika mereka berdua sudah ada di luar tempat les tersebut.

“Kunci motor lo mana?”

“Mau ngapain?”

“Cepetan mana?! Itu mereka keburu turun, tuh!”

Zaid yang melihat betapa paniknya ekspresi Bian lantas, hanya bisa pasrah memberikan kunci motornya pada Bian. Sementara Bian, yang kini bocah itu pikiran adalah bagaimana caranya untuk segera pergi dari sana. Dia sudah kepalang malu. Malu akan kebodohannya sendiri.

Tanpa basa-basi, Bian menyambar kunci motor dari tangan Zaid. Langkahnya buru-buru menuju parkiran, dan disusul oleh Zaid dibelakangnya.

“Naik!”

“Kok lo nyuruh-nyuruh gue, sih, Bangsat?”

“Abis ini lo tonjok muka gue gapapa, sumpah!” Suara Bian meninggi.

Mau bagaimana lagi? Raut wajah Zaid sudah nelangsa. Memang nasibnya sial karena harus berteman dengan Bian sejak kecil—dia hanya bisa pasrah. Dia duduk di jok belakang. Dan, begitu bokongnya baru mendarat—Bian langsung menancap gas! Seolah habis melakukan sebuah aksi kejahatan, Bian lupa bagaimana caranya menekan rem sampai-sampai Zaid harus berpegang teguh pada pundak tak bertulang milik Bian. Iya, tidak bertulang pasalnya pundak itu ikut merosot bersamaan dengan harga diri Bian beberapa saat yang lalu.

“BISA PELAN-PELAN GAK INI BAWA MOTORNYA?!” Jangankan dijawab, untuk mendengar perkataan Zaid saja, Bian sudah habis motivasi.

“BI?! GUE AJA DAH YANG BAWA! EMANG BANGSAT LO INI KALO ADA APA-APA GAK CUMAN LO YANG BONYOK!!”

“Gue kurang apa, sih? Gila aja masa gak ada progres apa-apa, Id? Minimal dia anggep gue sahabat atau temen deket. Emangnya gak bisa?” gerutu Bian, sambil masih terus menyetir ala ala joki tong setan. Sampai meliuk-liuk motor Zaid dibuatnya.

“SAHABAT SAHABAT BERAK!”

Plak! Suara tangan Zaid yang mendarat sempurna di kepala Bian cukup memekakkan telinga.

“SAKIT TOLOL!” pekik Bian tak tertahan. Masa bodoh dengan pengemudi motor lain yang mungkin mendengarnya.

“ELO YANG TOLOL!”

“UDAH DIEM DEH LO! GUE LAGI SAKIT HAT—”

“BI DEPAN LO MOTOR BI! SABIANNNN!”

Motor matic milik Zaid itu menghantam trotoar sebab, Bian sengaja menghindari tabrakan dengan sesama pengendara motor di depannya tadi. Mereka berdua jatuh tepat beberapa detik sesudah suara benturan terdengar cukup keras sampai memekakkan telinga.

“Apa gue bilang ... Sabian goblok....”

“Telpon ambulans, Id. Kaki gue mati rasa...,” pinta Bian. Nadanya sama lirih dengan Zaid.

“Tangan ... tangan kanan gue ketindihan....”

Entah ketindihan oleh apa, maksud Zaid. Yang jelas kini pandangan Bian mulai kabur, meski telinganya masih dapat mendengar jelas riuh suara caci maki orang-orang. Dia harap salah satu suara itu adalah milik pengendara motor yang hampir dia tabrak sebelumnya. Semoga pengendara tersebut selama tanpa mengalami luka sedikitpun.

“Gue minta maaf ya, Id....”

Seandainya Bian tau kalau buntut dari perbuatannya hari ini dapat menyebabkan huru-hara sampai seserius ini, dia pasti akan berpikir dua kali sebelumnya. Tapi, yang namanya penyesalan sudah pasti datangnya terlambat—sebab, yang datangnya lebih cepat daripada kilat adalah Papa. Iya, benar, saat ini Papa tengah menatap Bian mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki. Alisnya hampir menyatu karena kesal.

Tadi sekali, saat mobil Papa baru memasuki pekarangan rumah, Bian rasanya seperti dibesuk oleh malaikat pencabut nyawa. Detak jantungnya tak karuan, napasnya memburu, serta peluhnya memenuhi keningnya. Mual dan mulas menjadi satu tatkala netranya bertemu dengan sang papa.

Lalu, kini perasaan tersebut hilang entah kemana tepat saat tangan Papa terulur, memberikan sebuah bungkusan kresek pada Bian.

“Mie goreng instan pakai lima belas sendok sambel,” kata Papa angkat bicara.

Bian melongo. Dia sudah tau bahwa yang ada di dalam bungkusan adalah mie goreng, bahkan dari harumnya. Yang Bian tidak mengerti di sini adalah, untuk apa seporsi mie goreng dengan lima belas sendok sambal ini? Tercetak jelas kebingungan di wajah Bian. Sama sekali tidak dibuat-buat.

“Papa lagi gak punya tenaga buat marahin kamu, Bi. Jadi, buat gantinya kamu pikirin semua kesalahan kamu, kamu sebutin satu per satu apa aja kesalahan kamu, terus minta maaf. Semua itu kamu lakuin sambil makan mie itu. Di depan Papa. Tanpa minum.” Vonis telah diberikan. Entah apa kolerasinya dengan pergi keluyuran tanpa pamit—yang jelas, ini akan menjadi malam penyiksaan!

Bagaikan mendengar kabar kematiannya sendiri—Bian mendelik sempurna. Jangankan lima belas sendok sambal, saus yang sering kali menjadi toping di atas makanannya saja, dia keruk menggunakan sendok sampai bersih tak tersisa! Ibarat minyak dan air, sampai kapanpun Bian tidak akan pernah menyatu dengan pedas.

“Gila...,” kata Bian lirih.

“Kamu yang gila!”

“Ini mah nyiksa namanya, Pa!”

“Kamu duluan yang nyiksa mental Mama sama Papa!!”

Bian tau mungkin kesalahannya kali ini cukup fatal, tapi hukuman sadis yang Papa berikan seharusnya bisa dilaporkan pada Kak Seto! Alias Papa ini keterlaluan!

Namun mau bagaimana lagi? Karena ini adalah vonis langsung dari Papa, maka mau tidak mau harus Bian laksanakan seperti halnya titah yang keluar dari mulut seorang hakim ketua. Wajah Bian perlahan memelas di depan Papa, padahal dalam benaknya sedikit merasa lega sebab sebelumnya dia pikir akan dipukuli menggunakan gagang sapu atau bahkan diajang sparing dengan Papa sampai babak belur, nyatanya tidak.

Kemudian saat Papa siap menarik kerah pakaian bagian belakang Bian ala-ala induk kucing menggendong anaknya—Mama muncul. Menuruni anak tangga perlahan-lahan, sampai menarik atensi Bian dan Papa sepenuhnya. Sepersekian detik tampak kalau sorot mata Mama seperti sengaja menghindari Papa.

Bian tau, dia diam-diam mengerti bahwa dialah penyebabnya.

“Mama,” Bian dengan segenap rasa penyesalannya, memberanikan diri untuk menyapa Mama terlebih dahulu.

Atmosfer di sekeliling mereka bertiga tiba-tiba saja berubah tatkala Mama menoleh sempurna. Menatap Bian terang-terangan tanpa mengatakan sepatah katapun.

“Ra ... aku sama Bian mau ngobrol sebentar. Kita mau kamu ikut.”

“Aku mau tidur duluan.”

“Aku minta maaf soal kata-kata aku tadi sore. Sekarang aku mau kita bertiga ngobrolin masalah hari ini bareng-bareng, Ra. Pakai kepala dingin.”

Bian yang bingung dengan perkataan Papa pada Mama barusan, lantas hanya mampu menguping di depan keduanya.

Mama memicing, menatap Papa dengan tatapan; halah!

“Jelas-jelas yang pertama kali ngasih api, Mas sendiri.”

Nah kan!

Pasti Papa ngelakuin yang iya-iya! Bian yang penasaran refleks maju dua langkah, mendekat ke arah Mama seraya meremas bungkusan kresek di tangannya itu kian kuat. “Ma ... emangnya Papa bilang apa?” tanya Bian hati-hati. Prinsipnya memang—mau seburuk apapun keadaannya, Mama tetap nomor satu! Jadi kalau sampai Papa secara sengaja menyakiti Mama bahkan di tengah bencana alam sekalipun, Bian akan jadi garda paling depan yang memberi Papa pelajaran.

Namun, alih-alih merasa terharu karena Bian bertanya demikian, Mama justru menatapnya dengan tatapan mematikan. “Diem, ini kan gara-gara kamu main gak pamit!” hardik Mama.

Jleb!

Praktis Bian menempatkan telapak tangannya tapat di depan dada. Perkataan Mama barusan jauh lebih menusuk hati jika dibandingkan dengan penolakan Ajeng sang kekasih bayangannya kala itu. Jelas! Sebab, biasanya Mama tidak pernah Marah sampai menyuruh Bian diam seperti barusan. Sebab, Bian tidak akan terima jika ada seorangpun yang menyakiti Mama—sementara dalam kasus ini, dialah tersangka utamanya.

“Ra...,” Papa kedengaran lirih kali ini. Sementara Bian mundur, kembali ke tempat semula dirinya berdiri.

Mama menghela napas berat. Seperti ingin protes tapi, kembali ditelan kembali. Padahal boleh-boleh saja, toh dalam keluarga mereka—siapapun orangnya, berapapun usianya bebas melakukan protes akan hal apapun. Namun, mengingat Papa baru saja pulang dari kantor dan Bian akan menjani hukumannya malam ini, Mama memilih untuk mengalah. “Yaudah, iya.” Akhirnya formasi lengkap!Jadi singkatnya, malam ini Mama ikut andil dalam hal mendisiplinkan Bian.


Di sinilah Bian sekarang. Duduk di atas sebuah karpet tebal di kamarnya sembari di tatap oleh Papa dan Mama secara bergantian. Dan, jangan lupa tentunya ada sepiring mie goreng yang menurut Bian dari segi penampakannya lebih pantas disebut sebagai makanan dari neraka.

Kalau boleh jujur, Bian akui bahwa cara Papa menghukumnya lumayan kreatif. Bian pikir sepertinya hukuman semacam ini bisa menjadi inovasi baru bagi para orang tua masa kini di luaran sana.

Bian menatap mie tersebut. Untuk sesaat dia bergidik ngeri, sebab kalau di lihat dari eksistensi biji cabainya saja, agaknya mampu membuat perut terasa diremas-remas kurang lebih mungkin selama seminggu kedepan. Namun, sesuai dengan aturan yang Papa buat, sebelum obrolan serius mereka dimulai, Bian wajib melahap satu sendok penuh mie tersebut.

Dan, ekspresi yang Bian tampilkan saat dia baru saja menyuapkan sesendok mie tersebut ke dalam mulutnya adalah penyesalan. “PEDES BANGET?!” pekik Bian tak tertahan. Sementara Mama dan Papa masih setia memasang wajah tak acuh.

Papa biarkan Bian mengunyah makanannya selama beberapa detik.

“Jadi, gimana? Kamu udah tau apa kesalahan kamu?” tanya Papa.

Bian mengangguk semangat. Kali ini dia serius. Dia ingin cepat-cepat mengakhiri kegiatan eksekusi ini. “Bian pergi gak ngabarin Mama.”

“Terus?”

“Apa?”

Papa yang sepertinya tak puas, lantas menyuapkan kembali sesendok mie untuk Bian sebagai hukuman. “Ada lagi, coba pikir!” seru Papa hingga Bian tak sengaja menggigit lidahnya sendiri.

Mama dapat melihat kalau mata Bian mulai berkaca-kaca, tapi mungkin terlalu cepat kalau pelajaran yang diberikan pada bocah nakal itu hanya sampai di sini. Mama terus memperhatikan gerak-gerik Bian. Ditatapnya langit-langit kamar itu seraya mengingat-ingat kesalahan apa lagi, yang dirinya perbuat. Kemudian, Bian menarik sudut bibirnya.

Bian menatap lurus mata Papa. “Kalo pulang sekolah ... harusnya ... langsung pulang tapi, Bian malah main.” Napas Bian pendek-pendek dengan mulut yang terus terbuka. Demi Tuhan bahkan mie di hadapannya tak memiliki rasa nikmat sedikitpun. Selain lidah Bian rasanya hampir mati rasanya, tenggorokannya juga sudah terasa sakit.

Sontak Papa mengacungkan ibu jarinya tepat di depan wajah Bian. “Pinter!” seru Papa mendramatisir.

Selanjutnya Bian kembali mendapat suapan, namun kali ini asalnya dari Mama. Agaknya saat ini emosi Mama sudah lebih reda sebab, raut wajah Mama kini lebih santai.

“Bakal kamu ulangin lagi atau enggak?” Bian menggeleng semangat. Karena yang bertanya adalah Mama, maka Bian sengaja melakukan hal tersebut. Tujuannya tidak lain, dan tidak bukan adalah agar sang mama bisa lekas memaafkannya.

“Janji?”

“JANJI!”

Papa yang melihat Bian mengsam-mengsem hanya karena Mama mulai tersenyum, praktis kembali menyuapi Bian dengan sesendok penuh mie goreng asal neraka baginya itu. Kemudian, Papa meletakkan ponselnya di hadapan Bian. Sengaja, niatnya ingin Bian membaca apa yang ada pada layar ponsel tersebut.

Mata Bian membola seketika. Dalam hatinya merasa kesal melihat bagaimana sang papa tega-teganya memarahi Mama. Namun, di sisi lain dia sadar kalau dialah penyebabnya. Hati Bian ikut memanas selaras dengan mulutnya.

“Ini ... salah satu dampak dari keegoisan kamu hari ini, Bi. Papa itu udah pusing di kantor. Capek. Di tambah dapet kabar kamu ilang kayak tadi sore—menurut kamu, kalau kamu ada di posisi Papa, gimana?”

Bian hanya mampu menundukkan kepalanya tanpa berniat memberi bantahan atas tuduhan Papa.

“Sebelum ngelakuin sesuatu itu dipikirin dulu, Bi. Mama gak pernah ngelarang kamu buat seneng-seneng. Mama juga gak pernah ngelarang kamu buat main, kan? Asalkan pamit dulu. Emangnya, kamu tadi ke mana?” sambung Mama untuk perkataan Papa sebelumnya. Dan, point utamanya adalah kalimat terakhir.

Untuk yang satu ini, Bian dengan sukarela menyuap mienya sendiri, bahkan dia memasukkan dua suap ke dalam mulutnya sesaat sebelum menjawab pertanyaan Mama.

“Bian ke Ancol.”

“KE ANCOL?!” “ANCOL?!!”

Mama dan Papa memekik seketika. Maklum saja, jarak dari sekolah menuju tempat itu bukan sekedar satu kali tikungan, kemudian sampai. Jeffrey menepuk jidatnya, tidak habis pikir.

Bian masih setia menundukkan kepalanya, “Mau liat pantai, Pa ... Ma....”

“Pergi ke sana sama siapa?” tanya Papa.

“Temen....”

“Ozi sama Zaid ada di rumahnya.”

Bian geming. Bingung harus menjawab apa, sebab dia tidak mau kedua orang tuanya salah paham pada Ajeng. Namun, kalau kali ini dia berbohong, kemungkinan besar akan menjadi sebuah masalah baru di kemudian hari. Bukan begitu?

Bian mengerjapkan matanya berkali-kali, sembari merapalkan doa dalam hati agas semoga saja jawabannya tidak akan berdampak negatif bagi siapapun. “Bian suka sama cewek, Ma. Jadi, karna kita berdua sama-sama suka view pantai ... Bian ajak dia ke sana dan dia mau...,” tutur Bian, berangsur-angsur kian lirih pada setiap kalimatnya.

“Cewek yang waktu itu di rumah sakit?” tanya Mama memastikan, meski sebenarnya Mama sudah sangat yakin kalau memang benar adanya.

Bian kembali melahap mie dengan tangan yang sedikit gemetar. Dia mengangguk ketakutan.

“Masih pacaran aja kamu udah gak mikirin Papa sama Mama, gimana kalau nanti kamu udah nikah? Kita bisa ditaro di panti jompo kali, Ma.”

Papa mungkin tidak melempari Bian dengan kata-kata kasar tapi, setiap kalimat yang Papa ucapkan sejak awal selalu sukses menampar perasaan Bian. Tidak pernah terlintas sedikitpun dalam benaknya untuk melakukan apa yang baru saja Papa katakan.

“Bian minta maaf.... Bener-bener minta maaf, Ma, Pa. Maaf buat semua masalah hari ini. Gak langsung pulang, gak pamit, sampe bikin Mama sama Papa ribut—Bian minta maaf.”

“Kalau ini keulang lagi, Papa jamin kita gak akan cari kamu, Bi. Udah dua kali. Dua kali Papa sama Mama dibikin stress buat nyariin kamu. Dua kali kamu egois kayak gini, Bi. Ketiga kalinya, langsung Papa ganti kunci rumah dan selamanya kamu gak akan bisa masuk lagi—”

“Mas!” seru Mama, sengaja memotong perkataan Papa.

“Setiap rumah itu ada aturannya, Bi. Papa gak perlu jelasin kan apa etika dasar yang harus kamu terapin ke Papa sama Mama sebagai orang tua kamu dan pemilik rumah ini?” tanya Papa sembari melirik ke arah Bian. “Tinggal dikit, habisin!” sambungnya.

Bian lekas mengangguk dan menghabiskan satu suapan terakhir seperti yang Papa maksud.

Lalu, adegan paling dramatis malam ini terjadi saat Papa yang tiba-tiba saja berdiri, membentangkan tangannya untuk memeluk Bian. Kemudian Papa mengusap seraya memukul pelan punggung Bian selayaknya pelukan seorang Papa pada anak laki-lakinya. “Harapan Papa tinggi banget buat kamu, Bi. Kamu satu-satunya anak Papa, jadi Papa gak mau kamu ingatan buruk soal Papa. Hukuman kayak gini ... semoga kamu bisa ngerti.” Papa dapat merasakan kalau pelukan Bian mendadak lebih erat dari sebelumnya.

Bian mengangguk. “Ngerti, Pa. Bian ngerti.”

Papa melepaskan pelukannya terlebih dahulu, kemudian disusul dengan usapan kusut pada rambut Bian. “Beresin piringnya, terus langsung tidur.”

“Mama aja!” timpal Mama, sambil memamerkan deretan giginya.

Melihat suasana hati Mama yang sudah sepenuhnya membaik, Bian dan Papa ikut tersenyum.

“Yaudah, Papa ke kamar duluan ya? Mau bersih-bersih badan.” Lantas Mama dan Bian mengangguk serentak.

Dan, sesaat sesudah Papa melenggang pergi dari hadapan mereka, sontak Mama menangkup kedua pipi Bian. “Anak nakal! Anak nakal!” kata Mama, kemudian mencubiti pipi Bian dengan gemas.

“Sakit, Ma!” pekik Bian. Dia sengaja memeluk Mama supaya Mama berhenti mencubiti pipinya. Dan, berhasil.

Mama yang tidak lebih tinggi dari Bian, praktik mendaratkan dagunya tepat di atas pundak Bian. Nyaman. Ya, memang sepertinya pelukan seorang ibu-ibu selalu terasa lebih nyaman dari pelukan seorang bapak-bapak. Bian perlahan-lahan, memejamkan mata saking nyamannya.

“Kamu itu udah besar, Bi.”

Bian mengangguk.

“Kamu suka gak mau kalo dianggep anak kecil sama Mama, tapi liat kelakuan kamu.... Cinta-cintaan di umur kamu yang sekarang ... Mama gak ngelarang kok. Cuman, ya harus tau batasan. Batasan itu gak cuman soal skinship, Bi.”

Lagi-lagi Bian hanya mengangguk, memikirkan kata demi kata yang keluar dari mulut Mama.

“Mama cuman pengen kamu jadi orang, Bi.”

Diam-diam Bian menahan tawanya seketika.

Mama ini memang sama saja seperti ibu-ibu pada umumnya. Bahkan kalimat terakhir yang diucapkannya pun sama persis seperti yang sering Bian dengar dalam sebuah sinetron.

Seandainya Bian tau kalau buntut dari perbuatannya hari ini dapat menyebabkan huru-hara sampai seserius ini, dia pasti akan berpikir dua kali sebelumnya. Tapi, yang namanya penyesalan sudah pasti datangnya terlambat—sebab, yang datangnya lebih cepat daripada kilat adalah Papa. Iya, benar, saat ini Papa tengah menatap Bian mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki. Alisnya hampir menyatu karena kesal.

Tadi sekali, saat mobil Papa baru memasuki pekarangan rumah, Bian rasanya seperti dibesuk oleh malaikat pencabut nyawa. Detak jantungnya tak karuan, napasnya memburu, serta peluhnya memenuhi keningnya. Mual dan mulas menjadi satu tatkala netranya bertemu dengan sang papa.

Lalu, kini perasaan tersebut hilang entah kemana tepat saat tangan Papa terulur, memberikan sebuah bungkusan kresek pada Bian.

“Mie goreng instan pakai lima belas sendok sambel,” kata Papa angkat bicara.

Bian melongo. Dia sudah tau bahwa yang ada di dalam bungkusan adalah mie goreng, bahkan dari harumnya. Yang Bian tidak mengerti di sini adalah, untuk apa seporsi mie goreng dengan lima belas sendok sambal ini? Tercetak jelas kebingungan di wajah Bian. Sama sekali tidak dibuat-buat.

“Papa lagi gak punya tenaga buat marahin kamu, Bi. Jadi, buat gantinya kamu pikirin semua kesalahan kamu, kamu sebutin satu per satu apa aja kesalahan kamu, terus minta maaf. Semua itu kamu lakuin sambil makan mie itu. Di depan Papa. Tanpa minum.” Vonis telah diberikan. Entah apa kolerasinya dengan pergi keluyuran tanpa pamit—yang jelas, ini akan menjadi malam penyiksaan!

Bagaikan mendengar kabar kematiannya sendiri—Bian mendelik sempurna. Jangankan lima belas sendok sambal, saus yang sering kali menjadi toping di atas makanannya saja, dia keruk menggunakan sendok sampai bersih tak tersisa! Ibarat minyak dan air, sampai kapanpun Bian tidak akan pernah menyatu dengan pedas.

“Gila...,” kata Bian lirih.

“Kamu yang gila!”

“Ini mah nyiksa namanya, Pa!”

“Kamu duluan yang nyiksa mental Mama sama Papa!!”

Bian tau mungkin kesalahannya kali ini cukup fatal, tapi hukuman sadis yang Papa berikan seharusnya bisa dilaporkan pada Kak Seto! Alias Papa ini keterlaluan!

Namun mau bagaimana lagi? Karena ini adalah vonis langsung dari Papa, maka mau tidak mau harus Bian laksanakan seperti halnya titah yang keluar dari mulut seorang hakim ketua. Wajah Bian perlahan memelas di depan Papa, padahal dalam benaknya sedikit merasa lega sebab sebelumnya dia pikir akan dipukuli menggunakan gagang sapu atau bahkan diajang sparing dengan Papa sampai babak belur, nyatanya tidak.

Kemudian saat Papa siap menarik kerah pakaian bagian belakang Bian ala-ala induk kucing menggendong anaknya—Mama muncul. Menuruni anak tangga perlahan-lahan, sampai menarik atensi Bian dan Papa sepenuhnya. Sepersekian detik tampak kalau sorot mata Mama seperti sengaja menghindari Papa.

Bian tau, dia diam-diam mengerti bahwa dialah penyebabnya.

“Mama,” Bian dengan segenap rasa penyesalannya, memberanikan diri untuk menyapa Mama terlebih dahulu.

Atmosfer di sekeliling mereka bertiga tiba-tiba saja berubah tatkala Mama menoleh sempurna. Menatap Bian terang-terangan tanpa mengatakan sepatah katapun.

“Ra ... aku sama Bian mau ngobrol sebentar. Kita mau kamu ikut.”

“Aku mau tidur duluan.”

“Aku minta maaf soal kata-kata aku tadi sore. Sekarang aku mau kita bertiga ngobrolin masalah hari ini bareng-bareng, Ra. Pakai kepala dingin.”

Bian yang bingung dengan perkataan Papa pada Mama barusan, lantas hanya mampu menguping di depan keduanya.

Mama memicing, menatap Papa dengan tatapan; halah!

“Jelas-jelas yang pertama kali ngasih api, Mas sendiri.”

Nah kan!

Pasti Papa ngelakuin yang iya-iya! Bian yang penasaran refleks maju dua langkah, mendekat ke arah Mama seraya meremas bungkusan kresek di tangannya itu kian kuat. “Ma ... emangnya Papa bilang apa?” tanya Bian hati-hati. Prinsipnya memang—mau seburuk apapun keadaannya, Mama tetap nomor satu! Jadi kalau sampai Papa secara sengaja menyakiti Mama bahkan di tengah bencana alam sekalipun, Bian akan jadi garda paling depan yang memberi Papa pelajaran.

Namun, alih-alih merasa terharu karena Bian bertanya demikian, Mama justru menatapnya dengan tatapan mematikan. “Diem, ini kan gara-gara kamu main gak pamit!” hardik Mama.

Jleb!

Praktis Bian menempatkan telapak tangannya tapat di depan dada. Perkataan Mama barusan jauh lebih menusuk hati jika dibandingkan dengan penolakan Ajeng sang kekasih bayangannya kala itu. Jelas! Sebab, biasanya Mama tidak pernah Marah sampai menyuruh Bian diam seperti barusan. Sebab, Bian tidak akan terima jika ada seorangpun yang menyakiti Mama—sementara dalam kasus ini, dialah tersangka utamanya.

“Ra...,” Papa kedengaran lirih kali ini. Sementara Bian mundur, kembali ke tempat semula dirinya berdiri.

Mama menghela napas berat. Seperti ingin protes tapi, kembali ditelan kembali. Padahal boleh-boleh saja, toh dalam keluarga mereka—siapapun orangnya, berapapun usianya bebas melakukan protes akan hal apapun. Namun, mengingat Papa baru saja pulang dari kantor dan Bian akan menjani hukumannya malam ini, Mama memilih untuk mengalah. “Yaudah, iya.” Akhirnya formasi lengkap!Jadi singkatnya, malam ini Mama ikut andil dalam hal mendisiplinkan Bian.


Di sinilah Bian sekarang. Duduk di atas sebuah karpet tebal di kamarnya sembari di tatap oleh Papa dan Mama secara bergantian. Dan, jangan lupa tentunya ada sepiring mie goreng yang menurut Bian dari segi penampakannya lebih pantas disebut sebagai makanan dari neraka.

Kalau boleh jujur, Bian akui bahwa cara Papa menghukumnya lumayan kreatif. Bian pikir sepertinya hukuman semacam ini bisa menjadi inovasi baru bagi para orang tua masa kini di luaran sana.

Bian menatap mie tersebut. Untuk sesaat dia bergidik ngeri, sebab kalau di lihat dari eksistensi biji cabainya saja, agaknya mampu membuat perut terasa diremas-remas kurang lebih mungkin selama seminggu kedepan. Namun, sesuai dengan aturan yang Papa buat, sebelum obrolan serius mereka dimulai, Bian wajib melahap satu sendok penuh mie tersebut.

Dan, ekspresi yang Bian tampilkan saat dia baru saja menyuapkan sesendok mie tersebut ke dalam mulutnya adalah penyesalan. “PEDES BANGET?!” pekik Bian tak tertahan. Sementara Mama dan Papa masih setia memasang wajah tak acuh.

Papa biarkan Bian mengunyah makanannya selama beberapa detik.

“Jadi, gimana? Kamu udah tau apa kesalahan kamu?” tanya Papa.

Bian mengangguk semangat. Kali ini dia serius. Dia ingin cepat-cepat mengakhiri kegiatan eksekusi ini. “Bian pergi gak ngabarin Mama.”

“Terus?”

“Apa?”

Papa yang sepertinya tak puas, lantas menyuapkan kembali sesendok mie untuk Bian sebagai hukuman. “Ada lagi, coba pikir!” seru Papa hingga Bian tak sengaja menggigit lidahnya sendiri.

Mama dapat melihat kalau mata Bian mulai berkaca-kaca, tapi mungkin terlalu cepat kalau pelajaran yang diberikan pada bocah nakal itu hanya sampai di sini. Mama terus memperhatikan gerak-gerik Bian. Ditatapnya langit-langit kamar itu seraya mengingat-ingat kesalahan apa lagi, yang dirinya perbuat. Kemudian, Bian menarik sudut bibirnya.

Bian menatap lurus mata Papa. “Kalo pulang sekolah ... harusnya ... langsung pulang tapi, Bian malah main.” Napas Bian pendek-pendek dengan mulut yang terus terbuka. Demi Tuhan bahkan mie di hadapannya tak memiliki rasa nikmat sedikitpun. Selain lidah Bian rasanya hampir mati rasanya, tenggorokannya juga sudah terasa sakit.

Sontak Papa mengacungkan ibu jarinya tepat di depan wajah Bian. “Pinter!” seru Papa mendramatisir.

Selanjutnya Bian kembali mendapat suapan, namun kali ini asalnya dari Mama. Agaknya saat ini emosi Mama sudah lebih reda sebab, raut wajah Mama kini lebih santai.

“Bakal kamu ulangin lagi atau enggak?” Bian menggeleng semangat. Karena yang bertanya adalah Mama, maka Bian sengaja melakukan hal tersebut. Tujuannya tidak lain, dan tidak bukan adalah agar sang mama bisa lekas memaafkannya.

“Janji?”

“JANJI!”

Papa yang melihat Bian mengsam-mengsem hanya karena Mama mulai tersenyum, praktis kembali menyuapi Bian dengan sesendok penuh mie goreng asal neraka baginya itu. Kemudian, Papa meletakkan ponselnya di hadapan Bian. Sengaja, niatnya ingin Bian membaca apa yang ada pada layar ponsel tersebut.

Mata Bian membola seketika. Dalam hatinya merasa kesal melihat bagaimana sang papa tega-teganya memarahi Mama. Namun, di sisi lain dia sadar kalau dialah penyebabnya. Hati Bian ikut memanas selaras dengan mulutnya.

“Ini ... salah satu dampak dari keegoisan kamu hari ini, Bi. Papa itu udah pusing di kantor. Capek. Di tambah dapet kabar kamu ilang kayak tadi sore—menurut kamu, kalau kamu ada di posisi Papa, gimana?”

Bian hanya mampu menundukkan kepalanya tanpa berniat memberi bantahan atas tuduhan Papa.

“Sebelum ngelakuin sesuatu itu dipikirin dulu, Bi. Mama gak pernah ngelarang kamu buat seneng-seneng. Mama juga gak pernah ngelarang kamu buat main, kan? Asalkan pamit dulu. Emangnya, kamu tadi ke mana?” sambung Mama untuk perkataan Papa sebelumnya. Dan, point utamanya adalah kalimat terakhir.

Untuk yang satu ini, Bian dengan sukarela menyuap mienya sendiri, bahkan dia memasukkan dua suap ke dalam mulutnya sesaat sebelum menjawab pertanyaan Mama.

“Bian ke Ancol.”

“KE ANCOL?!” “ANCOL?!!”

Mama dan Papa memekik seketika. Maklum saja, jarak dari sekolah menuju tempat itu bukan sekedar satu kali tikungan, kemudian sampai. Jeffrey menepuk jidatnya, tidak habis pikir.

Bian masih setia menundukkan kepalanya, “Mau liat pantai, Pa ... Ma....”

“Pergi ke sana sama siapa?” tanya Papa.

“Temen....”

“Ozi sama Zaid ada di rumahnya.”

Bian geming. Bingung harus menjawab apa, sebab dia tidak mau kedua orang tuanya salah paham pada Ajeng. Namun, kalau kali ini dia berbohong, kemungkinan besar akan menjadi sebuah masalah baru di kemudian hari. Bukan begitu?

Bian mengerjapkan matanya berkali-kali, sembari merapalkan doa dalam hati agas semoga saja jawabannya tidak akan berdampak negatif bagi siapapun. “Bian suka sama cewek, Ma. Jadi, karna kita berdua sama-sama suka view pantai ... Bian ajak dia ke sana dan dia mau...,” tutur Bian, berangsur-angsur kian lirih pada setiap kalimatnya.

“Cewek yang waktu itu di rumah sakit?” tanya Mama memastikan, meski sebenarnya Mama sudah sangat yakin kalau memang benar adanya.

Bian kembali melahap mie dengan tangan yang sedikit gemetar. Dia mengangguk ketakutan.

“Masih pacaran aja kamu udah gak mikirin Papa sama Mama, gimana kalau nanti kamu udah nikah? Kita bisa ditaro di panti jompo kali, Ma.”

Papa mungkin tidak melempari Bian dengan kata-kata kasar tapi, setiap kalimat yang Papa ucapkan sejak awal selalu sukses menampar perasaan Bian. Tidak pernah terlintas sedikitpun dalam benaknya untuk melakukan apa yang baru saja Papa katakan.

“Bian minta maaf.... Bener-bener minta maaf, Ma, Pa. Maaf buat semua masalah hari ini. Gak langsung pulang, gak pamit, sampe bikin Mama sama Papa ribut—Bian minta maaf.”

“Kalau ini keulang lagi, Papa jamin kita gak akan cari kamu, Bi. Udah dua kali. Dua kali Papa sama Mama dibikin stress buat nyariin kamu. Dua kali kamu egois kayak gini, Bi. Ketiga kalinya, langsung Papa ganti kunci rumah dan selamanya kamu gak akan bisa masuk lagi—”

“Mas!” seru Mama, sengaja memotong perkataan Papa.

“Setiap rumah itu ada aturannya, Bi. Papa gak perlu jelasin kan apa etika dasar yang harus kamu terapin ke Papa sama Mama sebagai orang tua kamu dan pemilik rumah ini?” tanya Papa sembari melirik ke arah Bian. “Tinggal dikit, habisin!” sambungnya.

Bian lekas mengangguk dan menghabiskan satu suapan terakhir seperti yang Papa maksud.

Lalu, adegan paling dramatis malam ini terjadi saat Papa yang tiba-tiba saja berdiri, membentangkan tangannya untuk memeluk Bian. Kemudian Papa mengusap seraya memukul pelan punggung Bian selayaknya pelukan seorang Papa pada anak laki-lakinya. “Harapan Papa tinggi banget buat kamu, Bi. Kamu satu-satunya anak Papa, jadi Papa gak mau kamu ingatan buruk soal Papa. Hukuman kayak gini ... semoga kamu bisa ngerti.” Papa dapat merasakan kalau pelukan Bian mendadak lebih erat dari sebelumnya.

Bian mengangguk. “Ngerti, Pa. Bian ngerti.”

Papa melepaskan pelukannya terlebih dahulu, kemudian disusul dengan usapan kusut pada rambut Bian. “Beresin piringnya, terus langsung tidur.”

“Mama aja!” timpal Mama, sambil memamerkan deretan giginya.

Melihat suasana hati Mama yang sudah sepenuhnya membaik, Bian dan Papa ikut tersenyum.

“Yaudah, Papa ke kamar duluan ya? Mau bersih-bersih badan.” Lantas Mama dan Bian mengangguk serentak.

Dan, sesaat sesudah Papa melenggang pergi dari hadapan mereka, sontak Mama menangkup kedua pipi Bian. “Anak nakal! Anak nakal!” kata Mama, kemudian mencubiti pipi Bian dengan gemas.

“Sakit, Ma!” pekik Bian. Dia sengaja memeluk Mama supaya Mama berhenti mencubiti pipinya. Dan, berhasil.

Mama yang tidak lebih tinggi dari Bian, praktik mendaratkan dagunya tepat di atas pundak Bian. Nyaman. Ya, memang sepertinya pelukan seorang ibu-ibu selalu terasa lebih nyaman dari pelukan seorang bapak-bapak. Bian perlahan-lahan, memejamkan mata saking nyamannya.

“Kamu itu udah besar, Bi.”

Bian mengangguk.

“Kamu suka gak mau kalo dianggep anak kecil sama Mama, tapi liat kelakuan kamu.... Cinta-cintaan di umur kamu yang sekarang ... Mama gak ngelarang kok. Cuman, ya harus tau batasan. Batasan itu gak cuman soal skinship, Bi.”

Lagi-lagi Bian hanya mengangguk, memikirkan kata demi kata yang keluar dari mulut Mama.

“Mama cuman pengen kamu jadi orang, Bi.”

Diam-diam Bian menahan tawanya seketika.

Mama ini memang sama saja seperti ibu-ibu pada umumnya. Bahkan kalimat terakhir yang diucapkannya pun sama persis seperti yang sering Bian dengar dalam sebuah sinetron.

Kalau biasanya sepulang sekolah Bian akan sekonyong-konyong merangkul pundak Zaid untuk dia ajak mampir ke rumahnya—akhir-akhir ini tidak lagi. Bahkan kini Bian lebih sering naik kendaraan umum, alias bukan lagi menebeng motor bebek milik Zaid yang sepertinya hampir setiap hari dimandikan itu. Sebab, kalau dilihat-lihat knalpotnya selalu kinclong di situasi apapun. Jangan tanya kenapa memangnya ? Ya, itu semua Bian lakukan demi melancong bersama Diajeng Pramesti—sang kekasih bayangan. Konon kata orang, kasmaran anak remaja sering kali mampu berdampak mengesampingkan pertemanan bagi yang tengah merasakannya. Mungkin benar adanya. Buktinya belakangan ini Bian seolah lupa siapa gerangan Zaid dan Ozi.

Lalu bicara soal Ozi, agaknya Bian hampir melupakan pemuda itu. Sebab, saat ini kelas dua belas sudah dibebaskan dari kegiatan belajar mengajar apapun, jadi dia jarang sekali melihat Ozi. Kendati begitu, saking asyik mengukir kisah asmara bersama sang gadis yang notabenenya bukan kekasihnya itu—Bian sampai tak punya waktu untuk menanyakan bagaimana kabar Ozi, atau sekedar berdebat dengan salah satu di antara Ozi dan Zaid melalui grup online.

“Bulan depan Papa nikah,” kata Ajeng di dalam keheningan bus Transjakarta.

Bian meringis. Pantas saja belakangan ini wajah Ajeng tampak sedikit masam meski masih ada sedikit manis-manisnya. Tujuan Bian mengajak Ajeng pergi ke ancol sore ini ya bisa dibilang sebuah usaha untuk menghilangkan masam di wajahnya itu, tapi ternyata justru sebaliknya. Wajah Ajeng kian kusut usai mengatakan kalimat barusan.

“Terus ... kamu gak happy, ya?” tanya Bian. Bodohnya dia menanyakan hal yang jelas-jelas sudah dia ketahui apa jawabannya.

“Mau ada seratus perempuan baik pun yang coba buat gantiin Mama, buat aku gak ada yang bisa, Sab.” Kalau saja bukan di tempat umum seperti ini, mungkin Ajeng akan kembali menangis. Apalagi yang lebih sedih selain menjadi satu-satunya saksi kehancuran keluarga saat masih kecil dan ditinggal selama-lamanya oleh seorang ibu saat beranjak besar?

Ikhlas, melupakan, kemudian menerima orang baru kan bukan perkara yang mudah.

Bian membentangkan sebelah tangannya persis di depan wajah Ajeng yang memerah sebab sepertinya tengah menahan kesedihan. “Daleman aku tipis, nanti kalo aku lepas hoodie ini buat nutupin kamu nangis, bisa-bisa kamu dikira jalan sama gembel ... jadi, nangis di sini aja. Di lengan aku.”

Alih-alih merasa terharu, Ajeng justru menatap Bian dengan ekspresi wajah datar sambil meneteskan air mata yang semula dia tampung. Kemudian, tanpa mengatakan apapun, Ajeng mengeluarkan sebungkus tisu dalam tasnya.

Bian jelas tergelak. Apalagi saat Ajeng berlaga mengusap air matanya dengan gestur yang berlebihan.

“Omong-omong, aku udah lama gak liat kamu bareng Zaid. Biasanya berduaan, kan?” tanya Ajeng.

Bian geming seketika. Mungkin kalau Ajeng tidak menyinggung soal ini, Bian tidak akan sadar bahkan sampai beberapa hari kedepan. Ajeng sendiri sedikit banyak sadar kalau yang menyebabkan kerenggangan hubungan pertemanan Bian dan Zaid bisa jadi adalah dirinya. Pasalnya bisa hampir semalaman Bian mengirimi dia pesan, sementara sejak pagi sampai sore Bian menghabiskan waktunya dengan berada di sisi Ajeng. Maka sudah dapat dipastikan bahwa Bian tidak lagi memiliki waktu untuk bermain dengan Zaid seperti dulu.

“Sab....”

Sabian berdeham singkat, seraya menatap Ajeng.

“Pikiran kamu itu harusnya bisa lebih luas, dan gak melulu tentang aku. Bukannya mau kepedean, ya, tapi jelas-jelas kamu pagi, siang, sore, malem ngechat aku terus. Aku gak keberatan sama sekali, Sab. Masalahnya itu bukan kewajiban kamu. Apa kamu gak kepikiran? Mungkin aja Zaid kangen diajak main.” Dengan penuh kehati-hatian Ajeng berkata demikian. Ajeng hanya tidak mau Zaid mengira kalau dia merebut Bian dari pertemanannya.

Ajeng memposisikan tangannya di bawah dagu Bian. Sambil tersenyum dia mengusap-usap dagu Bian dengan lembut. “Aku baru sadar kalo kamu selalu kayak gini.”

Bian menaikan sebelah alisnya, bingung. Kalau boleh jujur, berada sedekat ini dengan Ajeng membuat jantungnya terus berdebar tak karuan.

“Selalu kayak anak kecil. Apa-apa masih harus dikasih tau.”

Lantas Bian tersenyum. Senyum sumringah sampai-sampai kedua matanya menyipit sempurna—membentuk selayaknya bulan sabit. “Kamu juga selalu kayak gini, ya?” tanya Bian. Kali ini Bian menangkup kedua tangan Ajeng, sambil mengganti ekspresi wajahnya menjadi lebih serius.

“Aku kayak gimana?” sahut Ajeng. Pasalnya dia tidak merasa telah melakukan sesuatu yang mencolok perhatian.

“Kayak Mama. Selalu bikin aku jadi anak kecil.”

“Enggak. Itu sih naluri kamu aja.”

Ketika berbicara dengan Ajeng, Bian seringkali lupa waktu. Padahal kalau dipikir-pikir jarak dari sekolah mereka menuju ancol terbilang lumayan, tapi entah kenapa rasanya seperti hanya setempongan saja.

Saat bus Transjakarta yang mereka tumpangi itu perlahan berhenti, untuk menurunkan para penumpangnya di halte busway—semua penumpangnya berdiri, termasuk Bian dan Ajeng. Bian sengaja menggenggam erat tangan Ajeng. Khawatir kalau-kalau gadis itu mungkin kehilangan keseimbangan atau yang lainnya.

“Jangan modus ya Sabian!”

“Aku pengangin biar kamu gak guling-guling! Bukannya makasih? Kalo modus tuh gini!” Detik kemudian Bian merangkul pundak Ajeng. Dan saat lengannya baru menyentuh pundak gadis itu, Bian langsung mendapat tatapan; lepasin atau burung lo gue tendang?! Dengan gerak secepat kilat, Bian menarik tangan sambil cengar-cengir.


“Kamu harus tau kalo seumur hidup aku ... enam belas tahun, lebih sepuluh bulan—kamu itu satu-satunya cewek yang aku ajak duduk di pinggir pantai berduaan kayak gini. Mama aja gak pernah! Kamu beruntung soalnya aku sesuka itu sama kamu!” kata Bian dengan nada setengah jumawa.

Ajeng menarik sudut bibirnya seketika. Dia mengangguk-angguk seakan setuju. Sempat terlintas dalam benaknya bahwa mungkin sampai detik ini Bian mendapat limpahan kasih sayang yang berlebihan dari orang-orang di sekitarnya, sampai-sampai pemuda itu nekad mengamalkan banyak kasih sayang pada seorang gadis yang notabenenya hanya sekedar teman dekat baginya, tidak lebih.

Sorot mata Ajeng kini fokus pada satu objek di depan sana. Pada ombak kecil yang mengarah ke mereka. Ajeng sadar kalau satu-satunya hal menjadi ujung tombak keputusannya untuk menolak seorang Sabian Aditama adalah perasaannya sendiri. Kenapa? Sebab, sejak kecil yang Ajeng ketahui hanya perihal pertengkaran kedua orangtuanya. Sebab, saat beranjak besar, alih-alih semuanya membaik—dia justru mendapat kabar duka yang berasal dari sang mama. Lalu, sebentar lagi dia akan tiba di titik lara selanjutnya. Dilupakan oleh cinta pertamanya—Papa. Sebab Papa akan segera menikah untuk kedua kalinya. Maka, saat hari di mana Bian datang untuk menawarkan banyak bentuk kasih sayang, yang Ajeng rasakan malah perasaan khawatir serta takut kehilangan.

Kalau ditanya soal bagaimana perasaan Ajeng sendiri terhadap Bian, sepertinya sudah cukup jelas. Bahkan raut wajah gadis itu selalu menggambarkan keceriaan tatkala ada di dekat Bian. Lagi pula, untuk seusia mereka, bukan menjadi hal yang sulit untuk saling memiliki ketertarikan terhadap lawan jenis.

“Kalo setelah semua wishlist aku bareng kamu udah selesai, tapi kamu belom mau jadi pacar aku—gapapa. Aku janji buat lepasin kamu dengan lapang dada,” kata Bian. Tangan kanannya sengaja memukul dadanya sendiri seolah teguh mengatakan hal tersebut. Sontak Ajeng terkekeh malu meski bukan dia yang mengatakannya.

“Aku serius!” timpal Bian. Lalu dia sedikit memutar tubuhnya demi menghadap Ajeng sepenuhnya. “Tapi ... kita bisa tetep jadi temen, kan?”

“Boleh, tapi pasti awkward.”

Mendengar jawaban Ajeng barusan, lantas bahu Bian merosot. Kemudian dengan sengaja Bian meletakkan kepalanya di atas pundak Ajeng sembari mencebikkan bibir.

“Kamu kedengerannya kayak yakin banget kalo kita gak bakal pacaran....”

“Sab ... ini suara getar HP siapa ya?”

“HP aku,” sahut Bian dengan begitu santainya. “Paling Mama nyariin, soalnya aku belom pamit kalo mau main.” Bian masih tak acuh, sementara ponsel terus bergetar di dalam saku celananya.

“Ohhh—MAKSUDNYA?! GILA SAB? BELOM PAMIT?!!”