Seandainya Bian tau kalau buntut dari perbuatannya hari ini dapat menyebabkan huru-hara sampai seserius ini, dia pasti akan berpikir dua kali sebelumnya. Tapi, yang namanya penyesalan sudah pasti datangnya terlambat—sebab, yang datangnya lebih cepat daripada kilat adalah Papa. Iya, benar, saat ini Papa tengah menatap Bian mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki. Alisnya hampir menyatu karena kesal.
Tadi sekali, saat mobil Papa baru memasuki pekarangan rumah, Bian rasanya seperti dibesuk oleh malaikat pencabut nyawa. Detak jantungnya tak karuan, napasnya memburu, serta peluhnya memenuhi keningnya. Mual dan mulas menjadi satu tatkala netranya bertemu dengan sang papa.
Lalu, kini perasaan tersebut hilang entah kemana tepat saat tangan Papa terulur, memberikan sebuah bungkusan kresek pada Bian.
“Mie goreng instan pakai lima belas sendok sambel,” kata Papa angkat bicara.
Bian melongo. Dia sudah tau bahwa yang ada di dalam bungkusan adalah mie goreng, bahkan dari harumnya. Yang Bian tidak mengerti di sini adalah, untuk apa seporsi mie goreng dengan lima belas sendok sambal ini? Tercetak jelas kebingungan di wajah Bian. Sama sekali tidak dibuat-buat.
“Papa lagi gak punya tenaga buat marahin kamu, Bi. Jadi, buat gantinya kamu pikirin semua kesalahan kamu, kamu sebutin satu per satu apa aja kesalahan kamu, terus minta maaf. Semua itu kamu lakuin sambil makan mie itu. Di depan Papa. Tanpa minum.” Vonis telah diberikan. Entah apa kolerasinya dengan pergi keluyuran tanpa pamit—yang jelas, ini akan menjadi malam penyiksaan!
Bagaikan mendengar kabar kematiannya sendiri—Bian mendelik sempurna. Jangankan lima belas sendok sambal, saus yang sering kali menjadi toping di atas makanannya saja, dia keruk menggunakan sendok sampai bersih tak tersisa! Ibarat minyak dan air, sampai kapanpun Bian tidak akan pernah menyatu dengan pedas.
“Gila...,” kata Bian lirih.
“Kamu yang gila!”
“Ini mah nyiksa namanya, Pa!”
“Kamu duluan yang nyiksa mental Mama sama Papa!!”
Bian tau mungkin kesalahannya kali ini cukup fatal, tapi hukuman sadis yang Papa berikan seharusnya bisa dilaporkan pada Kak Seto! Alias Papa ini keterlaluan!
Namun mau bagaimana lagi? Karena ini adalah vonis langsung dari Papa, maka mau tidak mau harus Bian laksanakan seperti halnya titah yang keluar dari mulut seorang hakim ketua. Wajah Bian perlahan memelas di depan Papa, padahal dalam benaknya sedikit merasa lega sebab sebelumnya dia pikir akan dipukuli menggunakan gagang sapu atau bahkan diajang sparing dengan Papa sampai babak belur, nyatanya tidak.
Kemudian saat Papa siap menarik kerah pakaian bagian belakang Bian ala-ala induk kucing menggendong anaknya—Mama muncul. Menuruni anak tangga perlahan-lahan, sampai menarik atensi Bian dan Papa sepenuhnya. Sepersekian detik tampak kalau sorot mata Mama seperti sengaja menghindari Papa.
Bian tau, dia diam-diam mengerti bahwa dialah penyebabnya.
“Mama,” Bian dengan segenap rasa penyesalannya, memberanikan diri untuk menyapa Mama terlebih dahulu.
Atmosfer di sekeliling mereka bertiga tiba-tiba saja berubah tatkala Mama menoleh sempurna. Menatap Bian terang-terangan tanpa mengatakan sepatah katapun.
“Ra ... aku sama Bian mau ngobrol sebentar. Kita mau kamu ikut.”
“Aku mau tidur duluan.”
“Aku minta maaf soal kata-kata aku tadi sore. Sekarang aku mau kita bertiga ngobrolin masalah hari ini bareng-bareng, Ra. Pakai kepala dingin.”
Bian yang bingung dengan perkataan Papa pada Mama barusan, lantas hanya mampu menguping di depan keduanya.
Mama memicing, menatap Papa dengan tatapan; halah!
“Jelas-jelas yang pertama kali ngasih api, Mas sendiri.”
Nah kan!
Pasti Papa ngelakuin yang iya-iya! Bian yang penasaran refleks maju dua langkah, mendekat ke arah Mama seraya meremas bungkusan kresek di tangannya itu kian kuat. “Ma ... emangnya Papa bilang apa?” tanya Bian hati-hati. Prinsipnya memang—mau seburuk apapun keadaannya, Mama tetap nomor satu! Jadi kalau sampai Papa secara sengaja menyakiti Mama bahkan di tengah bencana alam sekalipun, Bian akan jadi garda paling depan yang memberi Papa pelajaran.
Namun, alih-alih merasa terharu karena Bian bertanya demikian, Mama justru menatapnya dengan tatapan mematikan. “Diem, ini kan gara-gara kamu main gak pamit!” hardik Mama.
Jleb!
Praktis Bian menempatkan telapak tangannya tapat di depan dada. Perkataan Mama barusan jauh lebih menusuk hati jika dibandingkan dengan penolakan Ajeng sang kekasih bayangannya kala itu. Jelas! Sebab, biasanya Mama tidak pernah Marah sampai menyuruh Bian diam seperti barusan. Sebab, Bian tidak akan terima jika ada seorangpun yang menyakiti Mama—sementara dalam kasus ini, dialah tersangka utamanya.
“Ra...,” Papa kedengaran lirih kali ini. Sementara Bian mundur, kembali ke tempat semula dirinya berdiri.
Mama menghela napas berat. Seperti ingin protes tapi, kembali ditelan kembali. Padahal boleh-boleh saja, toh dalam keluarga mereka—siapapun orangnya, berapapun usianya bebas melakukan protes akan hal apapun. Namun, mengingat Papa baru saja pulang dari kantor dan Bian akan menjani hukumannya malam ini, Mama memilih untuk mengalah. “Yaudah, iya.” Akhirnya formasi lengkap!Jadi singkatnya, malam ini Mama ikut andil dalam hal mendisiplinkan Bian.
Di sinilah Bian sekarang. Duduk di atas sebuah karpet tebal di kamarnya sembari di tatap oleh Papa dan Mama secara bergantian. Dan, jangan lupa tentunya ada sepiring mie goreng yang menurut Bian dari segi penampakannya lebih pantas disebut sebagai makanan dari neraka.
Kalau boleh jujur, Bian akui bahwa cara Papa menghukumnya lumayan kreatif. Bian pikir sepertinya hukuman semacam ini bisa menjadi inovasi baru bagi para orang tua masa kini di luaran sana.
Bian menatap mie tersebut. Untuk sesaat dia bergidik ngeri, sebab kalau di lihat dari eksistensi biji cabainya saja, agaknya mampu membuat perut terasa diremas-remas kurang lebih mungkin selama seminggu kedepan. Namun, sesuai dengan aturan yang Papa buat, sebelum obrolan serius mereka dimulai, Bian wajib melahap satu sendok penuh mie tersebut.
Dan, ekspresi yang Bian tampilkan saat dia baru saja menyuapkan sesendok mie tersebut ke dalam mulutnya adalah penyesalan. “PEDES BANGET?!” pekik Bian tak tertahan. Sementara Mama dan Papa masih setia memasang wajah tak acuh.
Papa biarkan Bian mengunyah makanannya selama beberapa detik.
“Jadi, gimana? Kamu udah tau apa kesalahan kamu?” tanya Papa.
Bian mengangguk semangat. Kali ini dia serius. Dia ingin cepat-cepat mengakhiri kegiatan eksekusi ini. “Bian pergi gak ngabarin Mama.”
“Terus?”
“Apa?”
Papa yang sepertinya tak puas, lantas menyuapkan kembali sesendok mie untuk Bian sebagai hukuman. “Ada lagi, coba pikir!” seru Papa hingga Bian tak sengaja menggigit lidahnya sendiri.
Mama dapat melihat kalau mata Bian mulai berkaca-kaca, tapi mungkin terlalu cepat kalau pelajaran yang diberikan pada bocah nakal itu hanya sampai di sini. Mama terus memperhatikan gerak-gerik Bian. Ditatapnya langit-langit kamar itu seraya mengingat-ingat kesalahan apa lagi, yang dirinya perbuat. Kemudian, Bian menarik sudut bibirnya.
Bian menatap lurus mata Papa. “Kalo pulang sekolah ... harusnya ... langsung pulang tapi, Bian malah main.” Napas Bian pendek-pendek dengan mulut yang terus terbuka. Demi Tuhan bahkan mie di hadapannya tak memiliki rasa nikmat sedikitpun. Selain lidah Bian rasanya hampir mati rasanya, tenggorokannya juga sudah terasa sakit.
Sontak Papa mengacungkan ibu jarinya tepat di depan wajah Bian. “Pinter!” seru Papa mendramatisir.
Selanjutnya Bian kembali mendapat suapan, namun kali ini asalnya dari Mama. Agaknya saat ini emosi Mama sudah lebih reda sebab, raut wajah Mama kini lebih santai.
“Bakal kamu ulangin lagi atau enggak?” Bian menggeleng semangat. Karena yang bertanya adalah Mama, maka Bian sengaja melakukan hal tersebut. Tujuannya tidak lain, dan tidak bukan adalah agar sang mama bisa lekas memaafkannya.
“Janji?”
“JANJI!”
Papa yang melihat Bian mengsam-mengsem hanya karena Mama mulai tersenyum, praktis kembali menyuapi Bian dengan sesendok penuh mie goreng asal neraka baginya itu. Kemudian, Papa meletakkan ponselnya di hadapan Bian. Sengaja, niatnya ingin Bian membaca apa yang ada pada layar ponsel tersebut.
Mata Bian membola seketika. Dalam hatinya merasa kesal melihat bagaimana sang papa tega-teganya memarahi Mama. Namun, di sisi lain dia sadar kalau dialah penyebabnya. Hati Bian ikut memanas selaras dengan mulutnya.
“Ini ... salah satu dampak dari keegoisan kamu hari ini, Bi. Papa itu udah pusing di kantor. Capek. Di tambah dapet kabar kamu ilang kayak tadi sore—menurut kamu, kalau kamu ada di posisi Papa, gimana?”
Bian hanya mampu menundukkan kepalanya tanpa berniat memberi bantahan atas tuduhan Papa.
“Sebelum ngelakuin sesuatu itu dipikirin dulu, Bi. Mama gak pernah ngelarang kamu buat seneng-seneng. Mama juga gak pernah ngelarang kamu buat main, kan? Asalkan pamit dulu. Emangnya, kamu tadi ke mana?” sambung Mama untuk perkataan Papa sebelumnya. Dan, point utamanya adalah kalimat terakhir.
Untuk yang satu ini, Bian dengan sukarela menyuap mienya sendiri, bahkan dia memasukkan dua suap ke dalam mulutnya sesaat sebelum menjawab pertanyaan Mama.
“Bian ke Ancol.”
“KE ANCOL?!”
“ANCOL?!!”
Mama dan Papa memekik seketika. Maklum saja, jarak dari sekolah menuju tempat itu bukan sekedar satu kali tikungan, kemudian sampai. Jeffrey menepuk jidatnya, tidak habis pikir.
Bian masih setia menundukkan kepalanya, “Mau liat pantai, Pa ... Ma....”
“Pergi ke sana sama siapa?” tanya Papa.
“Temen....”
“Ozi sama Zaid ada di rumahnya.”
Bian geming. Bingung harus menjawab apa, sebab dia tidak mau kedua orang tuanya salah paham pada Ajeng. Namun, kalau kali ini dia berbohong, kemungkinan besar akan menjadi sebuah masalah baru di kemudian hari. Bukan begitu?
Bian mengerjapkan matanya berkali-kali, sembari merapalkan doa dalam hati agas semoga saja jawabannya tidak akan berdampak negatif bagi siapapun. “Bian suka sama cewek, Ma. Jadi, karna kita berdua sama-sama suka view pantai ... Bian ajak dia ke sana dan dia mau...,” tutur Bian, berangsur-angsur kian lirih pada setiap kalimatnya.
“Cewek yang waktu itu di rumah sakit?” tanya Mama memastikan, meski sebenarnya Mama sudah sangat yakin kalau memang benar adanya.
Bian kembali melahap mie dengan tangan yang sedikit gemetar. Dia mengangguk ketakutan.
“Masih pacaran aja kamu udah gak mikirin Papa sama Mama, gimana kalau nanti kamu udah nikah? Kita bisa ditaro di panti jompo kali, Ma.”
Papa mungkin tidak melempari Bian dengan kata-kata kasar tapi, setiap kalimat yang Papa ucapkan sejak awal selalu sukses menampar perasaan Bian. Tidak pernah terlintas sedikitpun dalam benaknya untuk melakukan apa yang baru saja Papa katakan.
“Bian minta maaf.... Bener-bener minta maaf, Ma, Pa. Maaf buat semua masalah hari ini. Gak langsung pulang, gak pamit, sampe bikin Mama sama Papa ribut—Bian minta maaf.”
“Kalau ini keulang lagi, Papa jamin kita gak akan cari kamu, Bi. Udah dua kali. Dua kali Papa sama Mama dibikin stress buat nyariin kamu. Dua kali kamu egois kayak gini, Bi. Ketiga kalinya, langsung Papa ganti kunci rumah dan selamanya kamu gak akan bisa masuk lagi—”
“Mas!” seru Mama, sengaja memotong perkataan Papa.
“Setiap rumah itu ada aturannya, Bi. Papa gak perlu jelasin kan apa etika dasar yang harus kamu terapin ke Papa sama Mama sebagai orang tua kamu dan pemilik rumah ini?” tanya Papa sembari melirik ke arah Bian. “Tinggal dikit, habisin!” sambungnya.
Bian lekas mengangguk dan menghabiskan satu suapan terakhir seperti yang Papa maksud.
Lalu, adegan paling dramatis malam ini terjadi saat Papa yang tiba-tiba saja berdiri, membentangkan tangannya untuk memeluk Bian. Kemudian Papa mengusap seraya memukul pelan punggung Bian selayaknya pelukan seorang Papa pada anak laki-lakinya. “Harapan Papa tinggi banget buat kamu, Bi. Kamu satu-satunya anak Papa, jadi Papa gak mau kamu ingatan buruk soal Papa. Hukuman kayak gini ... semoga kamu bisa ngerti.” Papa dapat merasakan kalau pelukan Bian mendadak lebih erat dari sebelumnya.
Bian mengangguk. “Ngerti, Pa. Bian ngerti.”
Papa melepaskan pelukannya terlebih dahulu, kemudian disusul dengan usapan kusut pada rambut Bian. “Beresin piringnya, terus langsung tidur.”
“Mama aja!” timpal Mama, sambil memamerkan deretan giginya.
Melihat suasana hati Mama yang sudah sepenuhnya membaik, Bian dan Papa ikut tersenyum.
“Yaudah, Papa ke kamar duluan ya? Mau bersih-bersih badan.” Lantas Mama dan Bian mengangguk serentak.
Dan, sesaat sesudah Papa melenggang pergi dari hadapan mereka, sontak Mama menangkup kedua pipi Bian. “Anak nakal! Anak nakal!” kata Mama, kemudian mencubiti pipi Bian dengan gemas.
“Sakit, Ma!” pekik Bian. Dia sengaja memeluk Mama supaya Mama berhenti mencubiti pipinya. Dan, berhasil.
Mama yang tidak lebih tinggi dari Bian, praktik mendaratkan dagunya tepat di atas pundak Bian. Nyaman. Ya, memang sepertinya pelukan seorang ibu-ibu selalu terasa lebih nyaman dari pelukan seorang bapak-bapak. Bian perlahan-lahan, memejamkan mata saking nyamannya.
“Kamu itu udah besar, Bi.”
Bian mengangguk.
“Kamu suka gak mau kalo dianggep anak kecil sama Mama, tapi liat kelakuan kamu.... Cinta-cintaan di umur kamu yang sekarang ... Mama gak ngelarang kok. Cuman, ya harus tau batasan. Batasan itu gak cuman soal skinship, Bi.”
Lagi-lagi Bian hanya mengangguk, memikirkan kata demi kata yang keluar dari mulut Mama.
“Mama cuman pengen kamu jadi orang, Bi.”
Diam-diam Bian menahan tawanya seketika.
Mama ini memang sama saja seperti ibu-ibu pada umumnya. Bahkan kalimat terakhir yang diucapkannya pun sama persis seperti yang sering Bian dengar dalam sebuah sinetron.