cakgrays

Memang benar kalau tingkah nakal Bian tidak akan ada habisnya. Seperti baru kemarin mencium aspal, hari ini sudah bertekad untuk melompat dari jendela kamar. Apa lagi kalau bukan demi melihat langsung keadaan sang mantan pujaan hati Diajeng Pramesti?

Bian menatap pantulan dirinya pada cermin. Beberapa saat lalu dia masih lengkap memakai piyamanya. Duduk dengan manis di atas ranjang, sembari sibuk pura-pura membaca sebuah buku pelajaran—demi mengelabui Mama. Sekarang, piyama itu sudah tergantikan oleh baju putih bertuliskan 'I Love Jogja' yang serasi dengan sebuah celana training yang menutupi gips pada kakinya.

“Lebih baik minta maaf, daripada pamit—iya, kan?” tanya Bian pada pantulan wajahnya sendiri. “Iya.” Usai menimpali perkataannya sendiri, lantas Bian mengusap wajahnya frustrasi.

“Sekali lagi. Gue janji sama diri gue sendiri, kalo ini jadi terakhir kali sekaligus penutup perjalanan cinta gue yang macet ini.” Bian memutar tubuhnya. Berjalan pincang-pincang menuju ranjang. Sebuah buku yang sempat dia jadikan sebagai senjata dalam kebohongannya kali ini diraih. “Sori. Buat lo, gue janji abis ini atensi gue cuman ke lo....” Buku yang semula dia ajak bicara itu, dia letakkan di atas nakas.

Kini, sorot mata Bian beralih ke pintu. Takut kalau sewaktu-waktu Mama atau Papa berkunjung ke kamarnya—Bian spontan meraih guling dan selimutnya. Menata kedua benda itu sebaik mungkin, sampai seolah-olah menyerupai dirinya yang tengah terlelap.

“Bian minta maaf, Ma ... Pa....”

Perasaannya tak tenang. Jantungnya seakan tengah dipenuhi oleh ribuan petasan tahun baru.

Sesuai kesepakatannya dengan Ozi, Bian akan menemuinya di luar area rumah. Maka, mau tidak mau, untuk sampai di luar gerbang rumah milik Papa itu—sebelumnya dia perlu melompat keluar jendela menggunakan kaki pincangnya. Ini gila. Faktanya ini jauh lebih gila dari sebuah ketidaksengajaannya mencium aspal. Bian meringis tatkala membayangkan bokongnya mendarat lebih dahulu.

Dan, tanpa menunggu lama—Bian mulai melancarkan aksinya. Pertama-tama, dengan sengaja dia melempar kruknya keluar jendela. Suara besi yang membentur keramik pun terdengar gaduh. Bian refleks menoleh ke arah pintu.

Satu detik, lima detik, sepuluh detik. Agaknya situasi saat itu aman. Tidak ada tanda-tanda Mama atau Papa akan datang.

Kemudian, Bian menumpu tangannya pada kisi jendela. Dan, semua beban tubuhnya, dia tahan menggunakan tangan. Kaki kanannya naik terlebih dahulu, sebelum akhirnya disusul oleh kaki sebelah kiri. “Tinggal satu step lagi, Bi. Terjun bebas—akhh!”

Bian lagi-lagi jatuh dengan posisi yang sama seperti saat di rumah sakit.

“Anjing....” Kaki sampai kepunggung sakit bukan main. Dia ingin berteriak lebih kencang, tapi ingat kalau saat ini dirinya dalam upaya melarikan diri.

Celingak-celinguk kepala Bian. Memeriksa apakah ada Budhe Lasih—sang asisten rumah tangga atau mungkin pak satpam di sekitarnya namun, nihil. Sontak Bian menarik napas lega.

Dengan terburu-buru Bian berusaha berdiri menggunakan kruknya. Dan, pada saat itu juga dia tersadar kalau ponselnya masih tertinggal di dalam kamar. Bian berdecak pasrah. Mungkin kali ini lebih baik dia tidak membawa ponsel, daripada harus jatuh dari kisi jendela untuk kedua kalinya.

Sepi. Entah ke mana perginya pak satpam yang menjaga rumah Papa. Eksistensinya Bian pertanyakan meski tengah berada di momen seperti ini.

Masih sembari menoleh ke kanan dan ke kiri, Bian berjalan menuju gerbang utama. Pada setiap langkahnya, Bian mengeluh kesakitan. Sementara itu, presensi Zaid dan Ozi sudah muncul di balik pagar. Sialnya kali ini mereka benar-benar akan menumpangi satu motor, bertiga.

Di sisi lain, alih-alih membantu Bian yang tampak kesulitan untuk berjalan, Zaid justru memasang muka masang semabari melempar tatapan nyalang.

“Bantuin temen lo, Id! Malah diliatin doang, yeh.” Ozi hampir saja menurutkan standar motornya untuk membantu Bian kalau-kalau kakinya tidak ditendang oleh Zaid kala itu. “Tolol, Anjing! Untung gak jatoh!” seru Ozi, kesal.

“Biarin aja dia. Ini, kan, pilihan dia.”

Bian membuka gerbang penuh kesulitan. Pasalnya tangan kanan Bian masih harus menahan kruknya agar tidak jatuh, semntara menggunkan satu tangan saja tentunya terlalu berat. “Lo berdua tega-teganya cuman ngeliatin gue?” kata Bian tak percaya.

“Usaha sendiri,” sahut Zaid.

“Susah!”

Melihat bagaimana frustrasinya Bian saat itu, barulah Zaid turun tangan. “Makanya, minimal mikir. Lagi kesusahan aja sok-sokan peduli sama orang. Orangnya gak nganggep lo lagi....” Tangan kiri Zaid sembari membantu Bian membuka gerbang. Lalu, dengan kekuatan gotong royong itu, gerbang rumah Bian sesikit terbuka.

“Buruan naik elah lo berdua!” pekik Ozi tak sabar.

Sementara itu Zaid langsung beringsut mendekat ke motor Ozi. “Gue tengah!” katanya.

Ozi menggeleng. “Bian, lah, yang ditengah!

Zaid melengos, Bian mengulum senyum sumringah. “Bantuin gue naik, Id!” pinta Biqn dengan nada memaksa.

“Udah tau pincang, banyak gaya. Biar apa, sih, lo.”

“Biar gue lega.”

Bian mengerang mendadak sesaat setelah membuka lebar kakinya demi menaiki motor Ozi. Sementar, Zaid selaku teman yang baik, akhirnya memutuskan untuk membantu meski dengan tampang kesalnya.

Setelah memastikan bahwa Bian duduk dengan nyaman dan aman, Zaid baru memposisikan diri di belakangnya. Dan, jadilah mereka bonceng tiga di tengah-tengah padatnya jalanan kota Jakarta kala itu.

“Terus kaki gue gimana?” tanya Bian, polos.

“Lo lepas aja dulu, nanti begitu sampai RS baru lo pasang lagi.”

“Goblok! Dipikir casing hp kali?!”

“Lagian macem-macem nanyanya. Kayak bisa ditekuk aja kaki lo.”

Pusing mendengar kedua temannya terus terseteru, Ozi hanya mampu menghela napas panjang. Pasalnya dia tahu betapa panjang kaki milik Bian, dan fakta di balik perkataan Zaid mengenai kaki Bian yang memang belum bisa ditekuk.

“Terus kaki gue gimana?”

“Lo kedepanin, nanti biar gua tahan pake kaki gua.” Ozi akhirnya angkat bicara.

Merasa pendapat Ozi adalah yang terbaik, lantas Bian hanya manggut-manggut pasrah. Tapi tepat sebelum motor yang mereka tumpangi itu melaju, Bian menepuk-nepuk paha Zaid.

“Apa lagi?”

“Kruk gue kok lo biarin, Anjing?”

Sontak dengan serampangan Zaid memukul kepala Bian. Peduli setan soal umur Bian yang sebenarnya satu tahun di atasnya itu. Zaid sudah dibuat kesal bukan kepalang. “Lo bener-bener definisi nyusahin!” hardiknya, sebelum kembali turun dan mengangkat kruk milik Bian dari tanah.


Motor Ozi melaju. Bagaikan sang pembalap mantap seantero jagad raya— Valentino Rossi, Ozi menarik gas tanpa keraguan. Motornya seakan melesat, membelah bahu jalanan kota Jakarta. Maklum, sudah punya dua jenis surat izin mengemudi.

“Bisa gak kita mampir beli buah?” kata Bian di tengah keheningan.

“Gak bisa,” jawab Ozi. Pandangannya tetap lurus, menatap luasnya jalanan di depan sana.

“JABLAY JABLAY!”

Spontan, baik Bian maupun Zaid menoleh. Melihat segerombolan anak yang tampaknya lebih kecil dari mereka bertiga tengah mengendarai motor matic sambil terbahak usai berteriak demikian.

“WOY BANGSAT??? SIAPA YANG LO PANGGIL JABLAY?!” pekik Bian tak tertahankan. Membuat gendang telinga Ozi nyaris pecah seketika.

“Jangan norak, Sabian!”

“Bang, udah, Bang!” kata Zaid bercanda. “Kita doain aja mereka jatoh di jalan yang benar.”

Benar juga, sebab jalur doa adalah jalan terbaik. Yah, setidaknya begitu batin Bian.

Kemudian, hening sesaat sampai suara Bian tiba-tiba kembali mengudara. “Yang dikatain jablay si Oji bukan, sih?”

“Hah? Kenapa emang?” tanya Zaid penasaran oleh opini tak penting milik Bian.

“Tuh....” Sorot mata Bian mengarah pada paha Ozi yang terekspos secara nyata. “Kolornya tinggi banget, sebatas selangkangan lebih dikit.”

Zaid tergelak kemudian. Memang benar, saking rendahnya potongan celana Ozi kala itu, belangnya sampai kelihatan. Sementara yang tengah digosip memilih untuk menjadi tuli mendadak. Bian dan Zaid kalau disatukan memang mampu menguras kesabaran siapapun yang berada di dekatnya.


Sebenarnya jarak antara kediaman Bian dan rumah sakit tempat di mana Ajeng diopname terhitung cukup jauh. Tapi, berkat ilmu 'joki melesat' yang ditekuni Ozi, ketiganya sudah sampai di tempat tujuan. Zaid jalan lebih dulu sebab, dia yang tahu di kamar rawat mana Ajeng berada.

Sore itu, suasana IGD rumah sakit sedang ramai-ramainya. Banyak pasang mata menatap penampilan Bian dan Ozi yang sangat berbanding terbalik. Bian yang menyadarinya sontak terkekeh.

“Besok-besok lo kalau mau keluar rumah tuh pake celana.” Bian berbisik pada Ozi, di belakang Zaid.

“Ini namanya apa kalau bukan celana, Nyet?!”

Langkah Zaid terhenti. Membuat Bian dan Ozi ikut menghentikan langkahnya seketika. Bocah memutar tubuh menghadap Bian, serta Ozi. “Jangan berisik, ini bukan kebun binatang.” Zaid menempelkan ujung jari telunjuknya di depan bibir.

Bian mendengkus. “Mana kamarnya?”

Kemudian dengan gestur membusungkan dada, Zaid berkata, “silahkan masuk, Pak. Istri anda selamat, anak anda buat saya.” Sambil membuka sebuah pintu di belakangnya.

“Orang sinting.” Bukan! Bukan Bian yang menjawab demikian, melainkan Ozi. Sementara itu Bian sibuk mengsam-mengsem.

Ya, namanya Sabian. Kalau ditanya hobinya apa? Jawabannya HALU! Begitu pula dengan Zaid.

Lantas, sambil terpincang-pincang, Bian melangkah masuk ke dalam ruang rawat inap yang udara di dalamnya tercium seperti obat-obatan. Dingin, hening, dan luas. Bian manggut-manggut. Kekayaan Ajeng dapat terlihat dari bagaimana pihak keluarga memilih kamar inap tersebut.

“Bian?” Tepat sesaat setelah namanya disebut oleh suara itu, Bian membeku. Ajeng tengah terjaga.

Pintu tertutup rapat dari luar. Entah, mungkin Zaid atau Ozi dalangnya.

“H-hai?”

“Kok bisa di sini?”

Bian bungkam. Kali ini bukan karena grogi atau apa, tapi karena melihat tangan kecil milik Ajeng terhubung dengan selang infus. Wajahnya pucat. Rambutnya sedikit berantakan. Dan, matanya bengkak. Separah apa keadaan Ajeng saat ini? Seingatnya Zaid bilang kalau Ajeng hanya kelelahan.

Alih-alih menjawab, Bian justru menarik sebuah kursi dan menempatkannya di sisi tempat Ajeng tengah berbaring. Dia duduk di sana. Menatap wajah Ajeng dalam keheningan.

“Kenapa, sih, harus hujan-hujanan? Lo bisa neduh, tau, kan?”

Ajeng yang semula menatap Bian, kini melempar tatapan itu pada langit-langit kamar inap. “Jadi, lo tau ya?” Ajeng menghela napas berat. “Panjang kalo diceritain. Lo gak bakal ngerti, apalagi related.”

“Lo selalu mikir gue kayak gitu, ya? Lo kira gue bakal judge mental, gitu? Lo selalu nyimpulin sesuatu cuman dari perspektif lo aj—”

“Sabian.... Mama tiri gue tempramental. Kalo kemarin gue neduh, dan gak langsung pulang—dia siap marah atau bahkan ngelakuin sesuatu ke gue.” Bian bungkam seketika. “Papa gak ada di rumah sampai minggu depan. Itu yang bikin gue takut.”

Hening. Sekalipun tak pernah terlintas dalam pikiran Bian, kalau kehidupan yang dijalani seorang Diajeng Pramesti sampai serumit itu.

“Kak Xander—tutor kita di tempat les itu, beruntung karna milih pisah tempat tinggal. Dia tau kalo nyokapnya sinting, dan sekarang gue yang jadi sasaran.” Ajeng menatap Bian lamat-lamat. “Gue pengen pergi, Sab. Dari awal gue emang gak pernah siap punya mama baru. Ngeliat Papa sama perempuan selain Mama—gue gak siap.”

“Sekarang, gue bahkan gak punya siapa-siapa selain diri gue sendiri di momen-momen kayak gini. Papa pikir, semua perempuan cuman butuh duit, termasuk gue. Papa selama ini mikir hubungan gue sama istrinya baik-baik aja, padahal enggak. Papa gak pernah peduli. Mungkin juga Papa nikah bukan buat isi kekosongan sosok ibu rumah tangga di keluarga kita, tapi cuman buat temenin dia tidur atau seneng-seneng begitu pulang kerja.”

Kemudian gestur menyeka sudut mata yang Ajeng lakukan, tak luput dari pandangan Bian kala itu.

“Gue kangen Mama, Sab. Gak ada yang bisa gantiin Mama. Gue bukannya gak pernah bersyukur, gue selalu bersyukur, kok—awalnya. Emangnya, sekarang apa yang bisa disyukuri dari hidup gue? Nothing. Gue bahkan gak takut buat kehilangan apa-apa lagi. Kayak, ambil aja. Ambil, Tuhan. Gue udah capek. Gue bukannya gak pernah coba buat ngambil hati mama tiri gue—gue selalu. Tapi emang gak bisa, Sabian.”

Setelah mendengar itu, lantas tangan Bian terulur. Mengusap air kesedihan yang mengalir dari sudut mata Ajeng. Gadis itu diam-diam menangis. Bian dapat merasakan kalau saat ini suhu tubuh Ajeng masih sangat panas. Mata Bian mengedar, mencari-cari sesuatu, dan akhirnya berhenti pada sebuah tanda memar pada bagian lengan Ajeng. Dalam bisunya, Bian sibuk mengamati. Dan, sepemahamannya—apa yang Ajeng katakan beberapa saat lalu adalah benar. Mungkin jauh sebelum hari ini, kekerasan sudah pernah dilancarkan oleh mama sambungnya.

Bian mengusap lembut lengan Ajeng menggunakan telapak tangannya yang hangat. Dia mulai menyusun sebuah kalimat dalam pikirannya. Bian sudah tahu harus merespon seperti apa.

“Perasaan capek lo itu valid, kok. Gue minta maaf karna denger ini semua. Ajeng, lo gak sendirian. Ada gue. Kalo mau nangis yang kenceng, nangis aja. Gue temenin. Mau pergi ke mana? Masih sakit. Nanti kalo udah sembuh, biar gue anterin.”

Ajeng kemudian tertawa di tengah-tengah tangisnya. Tawa paling miris yang pernah Bian dengar.

“Kemarin lo jauhin gue, kan?”

“Itu tindakan alami orang yang lagi patah hati.”

“Sabian, gue minta maaf kalo gue pernah salah ngomong ke lo(?)”

“Gak ada yang perlu dimaafin. Gue yang salah, karna langsung bawa perasaan. Gue minta maaf kalo sempet bikin lo kebingungan sendiri karna tiba-tiba gue block.” Bian memainkan ujung bantal di bawah kepala Ajeng saat itu. “Gue pengen banget peluk lo, tapi gue takut ganggu posisinya lo sekarang ini. Tapi ini bukan tentang itu, lo tau?”

Ajeng mengangguk paham. “Jangan, Sab. Menurut gue, lo deserve someone better than me. Gue dengan segala energi negatif gue, mungkin gak akan baik buat lo. Gue gak mau jadi egois.” Susah payah Ajeng berkata demikian.

Lalu dengan begitu, Bian menundukkan kepalanya. Dia tersenyum getir, sembari memainkan ujung-ujung jemarinya. Sudah cukup. Sesuai janjinya, ini adalah kali terakhir. Bian pikir mungkin dia harus berdamai dengan perasaannya sendiri, sambil perlahan melepas nama Ajeng dalam hatinya. Kalau bukan jadi sepasang kekasih, setidaknya masih berteman dekat. Sebab, menemani dan ditemani Ajeng itu sekarang sudah lebih dari cukup rasanya.

Bian mengangkat kembali dagunya. Dan, yang dia temukan adalah Ajeng yang tengah mematapnya dengan sorot mata teduh.

“Gue minta maaf, Sabian....”

“Pulang dari sini, rencananya mau ke mana? Papa lo masih belom ada di rumah, kan?”

“Mau gak mau tetep ke rumah papa. Nyelesaiin ulangan, ambil rapot, abis itu gue pergi ke—”

Klek!

“BI, BOKAP LO MISSCALL GUE!!”

Tidak ada kegiatan khusus yang Bian lakukan malam ini. Hanya menatap ke luar jendela kamar. Meninjau kira-kira ada berapa banyak bintang yang tengah eksis di atas langit Ibu Kota.

Bian berdiri dengan kruknya. Berjalan mendekat ke arah jendela sambil sesekali meringis sakit. Dalam benak bertanya-tanya, kapan kaki kanannya akan kembali normal. Namun, agaknya masih cukup lama sebab, rasa sakit yang muncul acapkali dia berjalan masih sangat pekat.

“Bian murung terus, kenapa?”

Bian menoleh cepat, kemudian buru-buru melukis sebuah senyum pada bibirnya. Ada Mama yang berkunjung ke kamar sembari membawa sebuah mangkuk, beralaskan nampan kesayangan. “Waktunya makan putih telur, Bi. Biar cepet balik kayak semula lagi kakinya.” Mama berkata demikian, sebelum akhirnya tersenyum.

Sementara itu, di hadapannya, Bian mencebik. Hari-harinya belakangan ini seolah disponsori oleh putih telur. Bosan. Sudah sampai mual setiap kali Bian mencium aromanya.

Mama yang paham begitu melihat ekspresi Bian, lantas ikut mencebik. “Ayo, dong. Ini, kan, demi kesembuhan kaki kamu. Kalau bisa diwakilin pasti udah Mama wakilin makannya—tapikan gak bisa.”

“Minimal Mama sambelin telurnya.”

“Nanti ilang khasiatnya!”

Malas mulai perdebatan, akhirnya Bian membuka mulutnya dengan pasrah. Malas melihat, dan menyentuh makanan wajibnya itu—maka, disuapi Mama adalah solusinya.

“Mama gak pinter baca suasana hati orang, tapi Mama paham kalau muka anak Mama kusut kayak gini berarti lagi ada yang dipikirin.” Mama meletakan nampannya di atas sebuah nakas yang dekat dengan jendela kamar itu. Kemudin, satu suapan masuk ke dalam mulut Bian. “Bian kangen jalan kayak biasa, ya? Atau apa, Bi? Cerita sama Mama, biar rasanya lebih baikan,” kata Mama.

“Gak ada.”

“Dulu, waktu Mama masih sekolah—Mama cuman punya mendiang nenek kamu. Mama suka cerita banyak hal sama beliau. Mulai dari hal paling penting, sampai ke hal yang sebenernya sama sekali gak penting. Makanya, waktu masih ada beliau hidup Mama rasanya ringan banget! Tapi, waktu Mama kuliah, nenek kamu pergi nyusul kakek. Mama ngerasa nyesel, Bi. Mama ngerasa masih ada banyak hal yang mau Mama ceritain ke beliau ... dan, waktunya gak ada lagi.” Mama menarik napas panjang. “Kamu sekarang masih punya Papa sama Mama, Bi. Mungkin awalnya emang susah buat terbuka. Pasti rasanya aneh, ya? Tapi, manfaatin waktu yang kamu punya sebaik mungkin, Sabian.”

Yang terjadi selanjutnya adalah Bian semakin bungkam seribu bahasa. Mulutnya yang semula aktif mengunyah, kini diam. Mendengar kalimat terakhir Mama barusan membuat sebuah perasaan aneh menggerayangi benaknya. Dunia Bian seakan berhenti mendadak.

“Bian gak suka denger Mama ngomong gitu,” katanya dengan nada kesal.

Mama yang mendapat tatapan mengintimidasi dari Bian, sontak mengerutkan keningnya. Mencoba mengingat-ingat apakah ada yang salah dari ucapannya beberapa saat lalu. “Mama minta maaf kalau kedengerannya kayak maksa....”

“Enggak, bukan itu! Bian gak suka denger Mama bahas waktu, kesempatan—atau apalah itu. Rasanya ... aneh....”

Sebuah senyuman tercetak jelas di wajah Mama. “Lucu, deh.”

“Apanya?”

“Mama punya anak cowok yang udah sebesar ini, tapi masih suka bingung sama perasaan sendiri. Lucu, gemes! Padahal mah bilang aja kalau Bian takut ditinggal Mama.” Sambil berkata demikian, tangan Mama kembali memasukan putih telur ke dalam nulut Bian. Sementara Bian mendengkus. “Oh, iya! Bian bosen gak di rumah aja kayak gini?”

Bian mengangguk. Sudah pasti jawabannya 'iya'.

“Besok niatnya Papa mau bawa kita main ke luar—” Belum sempat Mama menyelesaikan kalimatnya, Bian lebih dulu tersedak putih telur. “PELAN-PELAN, DONG, NGUNYAHNYA!” seru Mama seketika.

“Besok banget?!”

“Iya, besok. Emangnya kenapa?”

Bian sejatinya tahu kalau Papa merencakan hal demikian, maka sudah pasti dirinya sengaja mengosongkan jadwal sejak jauh-jauh hari. Bian sejatinya juga tahu, kalau kesempatan untuk menghabiskan waktu seharian bersama Papa mungkin hanya sekitar 2% dari hari-hari sibuknya mengurus kantor. Namun, lebih daripada itu, Bian ingat perihal janji yang sebelumnya sudah disepakati olehnya.

Keheningan melanda, Bian masih sibuk menghadapi konflik batin sambil terus mengunyah putih telurnya.

“Kenapa, Bi?” tanya Mama penasaran. Pasalnya sejak tadi Bian terus menatap langit-langit kamar tanoa mengatakan apapun. Mama takut. Takut Bian kerasukan atau semacamnya.

“Ma....” Bian memandang Mama dengan sorot mata serius. “Bian minta maaf, tapi kayaknya besok gak bisa.”

“Kenapa?” Gurat kekhawatiran seketika muncul pada wajah Mama.

Karna Bian gak bisa batalin janji sama Om Yudhis, buat pergi sama Papa—Bian pilih pura-pura sakit aja. Maaf.

“Bian kayaknya mau pilek. Bian minta maaf ... sama Papa Mama.”

Tidak ada kegiatan khusus yang Bian lakukan malam ini. Hanya menatap ke luar jendela kamar. Meninjau kira-kira ada berapa banyak bintang yang tengah eksis di atas langit Ibu Kota.

Bian berdiri dengan kruknya. Berjalan mendekat ke arah jendela sambil sesekali meringis sakit. Dalam benak bertanya-tanya, kapan kaki kanannya akan kembali normal. Namun, agaknya masih cukup lama sebab, rasa sakit yang muncul acapkali dia berjalan masih sangat pekat.

“Bian murung terus, kenapa?”

Bian menoleh cepat, kemudian buru-buru melukis sebuah senyum pada bibirnya. Ada Mama yang berkunjung ke kamar sembari membawa sebuah mangkuk, beralaskan nampan kesayangan. “Waktunya makan putih telur, Bi. Biar cepet balik kayak semula lagi kakinya.” Mama berkata demikian, sebelum akhirnya tersenyum.

Sementara itu, di hadapannya, Bian mencebik. Hari-harinya belakangan ini seolah disponsori oleh putih telur. Bosan. Sudah sampai mual setiap kali Bian mencium aromanya.

Mama yang paham begitu melihat ekspresi Bian, lantas ikut mencebik. “Ayo, dong. Ini, kan, demi kesembuhan kaki kamu. Kalau bisa diwakilin pasti udah Mama wakilin makannya—tapikan gak bisa.”

“Minimal Mama sambelin telurnya.”

“Nanti ilang khasiatnya!”

Malas mulai perdebatan, akhirnya Bian membuka mulutnya dengan pasrah. Malas melihat, dan menyentuh makanan wajibnya itu—maka, disuapi Mama adalah solusinya.

“Mama gak pinter baca suasana hati orang, tapi Mama paham kalau muka anak Mama kusut kayak gini berarti lagi ada yang dipikirin.” Mama meletakan nampannya di atas sebuah nakas yang dekat dengan jendela kamar itu. Kemudin, satu suapan masuk ke dalam mulut Bian. “Bian kangen jalan kayak biasa, ya? Atau apa, Bi? Cerita sama Mama, biar rasanya lebih baikan,” kata Mama.

“Gak ada.”

“Dulu, waktu Mama masih sekolah—Mama cuman punya mendiang nenek kamu. Mama suka cerita banyak hal sama beliau. Mulai dari hal paling penting, sampai ke hal yang sebenernya sama sekali gak penting. Makanya, waktu masih ada beliau hidup Mama rasanya ringan banget! Tapi, waktu Mama kuliah, nenek kamu pergi nyusul kakek. Mama ngerasa nyesel, Bi. Mama ngerasa masih ada banyak hal yang mau Mama ceritain ke beliau ... dan, waktunya gak ada lagi.” Mama menarik napas panjang. “Kamu sekarang masih punya Papa sama Mama, Bi. Mungkin awalnya emang susah buat terbuka. Pasti rasanya aneh, ya? Tapi, manfaatin waktu yang kamu punya sebaik mungkin, Sabian.”

Yang terjadi selanjutnya adalah Bian semakin bungkam seribu bahasa. Mulutnya yang semula aktif mengunyah, kini diam. Mendengar kalimat terakhir Mama barusan membuat sebuah perasaan aneh menggerayangi benaknya. Dunia Bian seakan berhenti mendadak.

“Bian gak suka denger Mama ngomong gitu,” katanya dengan nada kesal.

Mama yang mendapat tatapan mengintimidasi dari Bian, sontak mengerutkan keningnya. Mencoba mengingat-ingat apakah ada yang salah dari ucapannya beberapa saat lalu. “Mama minta maaf kalau kedengerannya kayak maksa....”

“Enggak, bukan itu! Bian gak suka denger Mama bahas waktu, kesempatan—atau apalah itu. Rasanya ... aneh....”

Sebuah senyuman tercetak jelas di wajah Mama. “Lucu, deh.”

“Apanya?”

“Mama punya anak cowok yang udah sebesar ini, tapi masih suka bingung sama perasaan sendiri. Lucu, gemes! Padahal mah bilang aja kalau Bian takut ditinggal Mama.” Sambil berkata demikian, tangan Mama kembali memasukan putih telur ke dalam nulut Bian. Sementara Bian mendengkus. “Oh, iya! Bian bosen gak di rumah aja kayak gini?”

Bian mengangguk. Sudah pasti jawabannya 'iya'.

“Besok niatnya Papa mau bawa kita main ke luar—” Belum sempat Mama menyelesaikan kalimatnya, Bian lebih dulu tersedak putih telur. “PELAN-PELAN, DONG, NGUNYAHNYA!” seru Mama seketika.

“Besok banget?!”

“Iya, besok. Emangnya kenapa?”

Bian sejatinya tahu kalau Papa merencakan hal demikian, maka sudah pasti dirinya sengaja mengosongkan jadwal sejak jauh-jauh hari. Bian sejatinya juga tahu, kalau kesempatan untuk menghabiskan waktu seharian bersama Papa mungkin hanya sekitar 2% dari hari-hari sibuknya mengurus kantor. Namun, lebih daripada itu, Bian ingat perihal janji yang sebelumnya sudah disepakati olehnya.

Keheningan melanda, Bian masih sibuk menghadapi konflik batin sambil terus mengunyah putih telurnya.

“Kenapa, Bi?” tanya Mama penasaran. Pasalnya sejak tadi Bian terus menatap langit-langit kamar tanoa mengatakan apapun. Mama takut. Takut Bian kerasukan atau semacamnya.

“Ma....” Bian memandang Mama dengan sorot mata serius. “Bian minta maaf, tapi kayaknya besok gak bisa.”

“Kenapa?” Gurat kekhawatiran seketika muncul pada wajah Mama.

Karna Bian gak bisa batalin janji sama Om Yudhis, buat pergi sama Papa—Bian pilih pura-pura sakit aja. Maaf.

“Bian kayaknya mau pilek.”

Tidak ada kegiatan khusus yang Bian lakukan malam ini. Hanya menatap ke luar jendela kamar. Meninjau kira-kira ada berapa banyak bintang yang tengah eksis di atas langit Ibu Kota.

Bian berdiri dengan kruknya. Berjalan mendekat ke arah jendela sambil sesekali meringis sakit. Dalam benak bertanya-tanya, kapan kaki kanannya akan kembali normal. Namun, agaknya masih cukup lama sebab, rasa sakit yang muncul acapkali dia berjalan masih sangat pekat.

“Bian murung terus, kenapa?”

Bian menoleh cepat, kemudian buru-buru melukis sebuah senyum pada bibirnya. Ada Mama yang berkunjung ke kamar sembari membawa sebuah mangkuk, beralaskan nampan kesayangan. “Waktunya makan putih telur, Bi. Biar cepet balik kayak semula lagi kakinya.” Mama berkata demikian, sebelum akhirnya tersenyum.

Sementara itu, di hadapannya, Bian mencebik. Hari-harinya belakangan ini seolah disponsori oleh putih telur. Bosan. Sudah sampai mual setiap kali Bian mencium aromanya.

Mama yang paham begitu melihat ekspresi Bian, lantas ikut mencebik. “Ayo, dong. Ini, kan, demi kesembuhan kaki kamu. Kalau bisa diwakilin pasti udah Mama wakilin makannya—tapikan gak bisa.”

“Minimal Mama sambelin telurnya.”

“Nanti ilang khasiatnya!”

Malas mulai perdebatan, akhirnya Bian membuka mulutnya dengan pasrah. Malas melihat, dan menyentuh makanan wajibnya itu—maka, disuapi Mama adalah solusinya.

“Mama gak pinter baca suasana hati orang, tapi Mama paham kalau muka anak Mama kusut kayak gini berarti lagi ada yang dipikirin.” Mama meletakan nampannya di atas sebuah nakas yang dekat dengan jendela kamar itu. Kemudin, satu suapan masuk ke dalam mulut Bian. “Bian kangen jalan kayak biasa, ya? Atau apa, Bi? Cerita sama Mama, biar rasanya lebih baikan,” kata Mama.

“Gak ada.”

“Dulu, waktu Mama masih sekolah—Mama cuman punya mendiang nenek kamu. Mama suka cerita banyak hal sama beliau. Mulai dari hal paling penting, sampai ke hal yang sebenernya sama sekali gak penting. Makanya, waktu masih ada beliau hidup Mama rasanya ringan banget! Tapi, waktu Mama kuliah, nenek kamu pergi nyusul kakek. Mama ngerasa nyesel, Bi. Mama ngerasa masih ada banyak hal yang mau Mama ceritain ke beliau ... dan, waktunya gak ada lagi.” Mama menarik napas panjang. “Kamu sekarang masih punya Papa sama Mama, Bi. Mungkin awalnya emang susah buat terbuka. Pasti rasanya aneh, ya? Tapi, manfaatin waktu yang kamu punya sebaik mungkin, Sabian.”

Yang terjadi selanjutnya adalah Bian semakin bungkam seribu bahasa. Mulutnya yang semula aktif mengunyah, kini diam. Mendengar kalimat terakhir Mama barusan membuat sebuah perasaan aneh menggerayangi benaknya. Dunia Bian seakan berhenti mendadak.

“Bian gak suka denger Mama ngomong gitu,” katanya dengan nada kesal.

Mama yang mendapat tatapan mengintimidasi dari Bian, sontak mengerutkan keningnya. Mencoba mengingat-ingat apakah ada yang salah dari ucapannya beberapa saat lalu. “Mama minta maaf kalau kedengerannya kayak maksa....”

“Enggak, bukan itu! Bian gak suka denger Mama bahas waktu, kesempatan—atau apalah itu. Rasanya ... aneh....”

Sebuah senyuman tercetak jelas di wajah Mama. “Lucu, deh.”

“Apanya?”

“Mama punya anak cowok yang udah sebesar ini, tapi masih suka bingung sama perasaan sendiri. Lucu, gemes! Padahal mah bilang aja kalau Bian takut ditinggal Mama.” Sambil berkata demikian, tangan Mama kembali memasukan putih telur ke dalam nulut Bian. Sementara Bian mendengkus. “Oh, iya! Bian bosen gak di rumah aja kayak gini?”

Bian mengangguk. Sudah pasti jawabannya 'iya'.

“Besok niatnya Papa mau bawa kita main ke luar—” Belum sempat Mama menyelesaikan kalimatnya, Bian lebih dulu tersedak putih telur. “PELAN-PELAN, DONG, NGUNYAHNYA!” seru Mama seketika.

“Besok banget?!”

“Iya, besok. Emangnya kenapa?”

Bian sejatinya tahu kalau Papa merencakan hal demikian, maka sudah pasti dirinya sengaja mengosongkan jadwal sejak jauh-jauh hari. Bian sejatinya juga tahu, kalau kesempatan untuk menghabiskan waktu seharian bersama Papa mungkin hanya sekitar 2% dari hari-hari sibuknya mengurus kantor. Namun, lebih daripada itu, Bian ingat perihal janji yang sebelumnya sudah disepakati olehnya.

Keheningan melanda, Bian masih sibuk menghadapi konflik batin sambil terus mengunyah putih telurnya.

“Kenapa, Bi?” tanya Mama penasaran. Pasalnya sejak tadi Bian terus menatap langit-langit kamar tanoa mengatakan apapun. Mama takut. Takut Bian kerasukan atau semacamnya.

“Ma....” Bian memandang Mama dengan sorot mata serius. “Bian minta maaf, tapi kayaknya besok gak bisa.”

“Kenapa?” Gurat kekhawatiran seketika muncul pada wajah Mama.

  • Karna Bian gak bisa batalin janji sama Om Yudhis, buat pergi sama Papa—Bian pilih pura-pura sakit aja. Maaf.

“Bian kayaknya mau pilek.”

Tidak ada kegiatan khusus yang Bian lakukan malam ini. Hanya menatap ke luar jendela kamar. Meninjau kira-kira ada berapa banyak bintang yang tengah eksis di atas langit Ibu Kota.

Bian berdiri dengan kruknya. Berjalan mendekat ke arah jendela sambil sesekali meringis sakit. Dalam benak bertanya-tanya, kapan kaki kanannya akan kembali normal. Namun, agaknya masih cukup lama sebab, rasa sakit yang muncul acapkali dia berjalan masih sangat pekat.

“Bian murung terus, kenapa?”

Bian menoleh cepat, kemudian buru-buru melukis sebuah senyum pada bibirnya. Ada Mama yang berkunjung ke kamar sembari membawa sebuah mangkuk, beralaskan nampan kesayangan. “Waktunya makan putih telur, Bi. Biar cepet balik kayak semula lagi kakinya.” Mama berkata demikian, sebelum akhirnya tersenyum.

Sementara itu, di hadapannya, Bian mencebik. Hari-harinya belakangan ini seolah disponsori oleh putih telur. Bosan. Sudah sampai mual setiap kali Bian mencium aromanya.

Mama yang paham begitu melihat ekspresi Bian, lantas ikut mencebik. “Ayo, dong. Ini, kan, demi kesembuhan kaki kamu. Kalau bisa diwakilin pasti udah Mama wakilin makannya—tapikan gak bisa.”

“Minimal Mama sambelin telurnya.”

“Nanti ilang khasiatnya!”

Malas mulai perdebatan, akhirnya Bian membuka mulutnya dengan pasrah. Malas melihat, dan menyentuh makanan wajibnya itu—maka, disuapi Mama adalah solusinya.

“Mama gak pinter baca suasana hati orang, tapi Mama paham kalau muka anak Mama kusut kayak gini berarti lagi ada yang dipikirin.” Mama meletakan nampannya di atas sebuah nakas yang dekat dengan jendela kamar itu. Kemudin, satu suapan masuk ke dalam mulut Bian. “Bian kangen jalan kayak biasa, ya? Atau apa, Bi? Cerita sama Mama, biar rasanya lebih baikan,” kata Mama.

“Gak ada.”

“Dulu, waktu Mama masih sekolah—Mama cuman punya mendiang nenek kamu. Mama suka cerita banyak hal sama beliau. Mulai dari hal paling penting, sampai ke hal yang sebenernya sama sekali gak penting. Makanya, waktu masih ada beliau hidup Mama rasanya ringan banget! Tapi, waktu Mama kuliah, nenek kamu pergi nyusul kakek. Mama ngerasa nyesel, Bi. Mama ngerasa masih ada banyak hal yang mau Mama ceritain ke beliau ... dan, waktunya gak ada lagi.” Mama menarik napas panjang. “Kamu sekarang masih punya Papa sama Mama, Bi. Mungkin awalnya emang susah buat terbuka. Pasti rasanya aneh, ya? Tapi, manfaatin waktu yang kamu punya sebaik mungkin, Sabian.”

Yang terjadi selanjutnya adalah Bian semakin bungkam seribu bahasa. Mulutnya yang semula aktif mengunyah, kini diam. Mendengar kalimat terakhir Mama barusan membuat sebuah perasaan aneh menggerayangi benaknya. Dunia Bian seakan berhenti mendadak.

“Bian gak suka denger Mama ngomong gitu,” katanya dengan nada kesal.

Mama yang mendapat tatapan mengintimidasi dari Bian, sontak mengerutkan keningnya. Mencoba mengingat-ingat apakah ada yang salah dari ucapannya beberapa saat lalu. “Mama minta maaf kalau kedengerannya kayak maksa....”

“Enggak, bukan itu! Bian gak suka denger Mama bahas waktu, kesempatan—atau apalah itu. Rasanya ... aneh....”

Sebuah senyuman tercetak jelas di wajah Mama. “Lucu, deh.”

“Apanya?”

“Mama punya anak cowok yang udah sebesar ini, tapi masih suka bingung sama perasaan sendiri. Lucu, gemes! Padahal mah bilang aja kalau Bian takut ditinggal Mama.” Sambil berkata demikian, tangan Mama kembali memasukan putih telur ke dalam nulut Bian. Sementara Bian mendengkus. “Oh, iya! Bian bosen gak di rumah aja kayak gini?”

Bian mengangguk. Sudah pasti jawabannya 'iya'.

“Besok niatnya Papa mau bawa kita main ke luar—” Belum sempat Mama menyelesaikan kalimatnya, Bian lebih dulu tersedak putih telur. “PELAN-PELAN, DONG, NGUNYAHNYA!” seru Mama seketika.

“Besok banget?!”

“Iya, besok. Emangnya kenapa?”

Bian sejatinya tahu kalau Papa merencakan hal demikian, maka sudah pasti dirinya sengaja mengosongkan jadwal sejak jauh-jauh hari. Bian sejatinya juga tahu, kalau kesempatan untuk menghabiskan waktu seharian bersama Papa mungkin hanya sekitar 2% dari hari-hari sibuknya mengurus kantor. Namun, lebih daripada itu, Bian ingat perihal janji yang sebelumnya sudah disepakati olehnya.

Keheningan melanda, Bian masih sibuk menghadapi konflik batin sambil terus mengunyah putih telurnya.

“Kenapa, Bi?” tanya Mama penasaran. Pasalnya sejak tadi Bian terus menatap langit-langit kamar tanoa mengatakan apapun. Mama takut. Takut Bian kerasukan atau semacamnya.

“Ma....” Bian memandang Mama dengan sorot mata serius. “Bian minta maaf, tapi kayaknya besok gak bisa.”

“Kenapa?” Gurat kekhawatiran seketika muncul pada wajah Mama.

Karna Bian gak bisa batalin janji sama Om Yudhis, buat pergi sama Papa—Bian pilih pura-pura sakit aja. Maaf.

“Bian kayaknya mau pilek.”

Layaknya kumpulan benang jahit yang saling melilit satu sama lain, wajah Bian kusut. Tadi saat jam pelajaran terakhirーGeografi lintas minat, sialnya para murid diberi tugas mencatat sedikitnya dua belas halaman sebelum berhadapan dengan ulangan kenaikan kelas, minggu depan. Bian yang praktisnya sebagai penyebab kemalangan yang menimpa tangan kanan Zaid, lantas mau tak mau harus bertanggung jawab. Sebanyak, total dua puluh empat halaman dia tulis tangan. Pulang terlambat pun menjadi jalan keluar paling aman, sebab Bian harus mengumpulkan buku tulis miliknya, juga milik Zaid ke ruang guru sebelum sekolah di tutup.

Ngomong-ngomong soal Zaid. Bocah laki-laki itu sudah pulang lebih dulu. Bukan karena kadar kesetiawanan Zaid mulai berkurang, melainkan karena Bian lah yang memintanya. Hitung-hitung sebagai penebusan dosa, dan upaya mengambil hati orang tua Zaid kembaliーterutama mamanya.

“Sabian?”

Bian yang baru melangkah keluar dari ruang guru dengan susah payah, spontan menoleh saat namanya di panggil. Rupanya itu adalah sang wali kelas yang berdiri tidak terlalu jauh di belakangnga.

“Saya?” kata Bian memastikan.

“Iya, Sabian Aditama!” Kemudian, dari belakang sang wali kelas, Bian dapat menangkap presensi Ajeng.

Bian mengangguk, sebelum akhirnya mendekat. Kembali memasuki ruang guru tersebut.

“Ini kan jadwalnya Ajeng kasih laporan kas ke saya, terus saya liat ... ternyata ada satu orang yang belum bayar. Iya, kamu.”

Lantas kening Bian berkerut seketika. Seingatnya, perihal uang kas ini sudah dia titipkan pada Zaid sebelumnya. Dengan tampang penuh kebingungan, Bian melempar tatapan pada Ajengーperempuan yang belakangan ini sangat dia hindari. “Gue nitip ke Zaid, dia gak bayarin?” katanya sedikit berbisik.

Ajeng menggeleng mantap. “Zaid bayar punya dia sendiri.”

“Anjー” Bian menarik napas panjang. Orang gila mana yang berani mengumpat di depan wali kelas? Bian yakin kalau ini adalah satu dari sekian banyak kejailan yang biasa kawannya itu lakukan. Tapi kenapa harus ada sangkut pautnya dengan Ajeng dan sang wali kelas?! Bocah itu mendengkus kemudian, sebelum berakhir pasrah dan merogoh ke dalam sakunya.

“Ini ya ... dua puluh, kan?” Bian berkata dengan pasrah.

Sementara itu Ajeng mengangguk seraya meraih lembar uang kertas bernilai dua puluh ribu rupiah dari tangan Bian.

Ada sesuatu yang seakan berdesir tatkala ujung dari jemari mereka tak sengaja saling bersentuhan. Canggung. Bian mematung. Sepersekian detik, netra mereka bertemu tatap membuat Ajeng refleks menarik tangannya lebih dulu.

“Makasih ... gue catet, ya.”

Bian mengangguk sampai ekor matanya tak sengaja menangkap sosok salah seorang guru bimbingan konseling di sekolahnya. Bian baru ingat ada suatu hal yang penting, yang perlu dia tanyakan.

“Saya permisi duluan....” Usai mengatakan itu dan memberi salam pada keduanya. Bian memutuskan untuk mengejar pria paruh baya yang berada tak jauh di depannya sambil terpincang-pincang.

“Pak!” seru Bian, sambil napasnya tersengal-sengal.

“Eh, pelan-pelan! Nanti kamu jatuh terus kenapa-napa, sekolahan ini jadi horor!”

“Bapak mau ke mana, Pak?”

“Ya mau pulang, orang udah sore.... Kamu ngapain manggil saya?”

Sore itu langit memang sudah mendung sejak beberapa saat lalu. Anginnya kencang, berhembus dan menusuk ke dalam sendi-sendi Bian. Sepertinya akan segera turun hujan lebat.

Bian menggaruk pangkal hidungnya yang tidak gatal. “Saya sama temen saya baru aja kecelakaan motor, Pak. Kaki saya sampai pincang gini, ya karna kecelakaan itu.” Pandangannya turun ke bawah. Menatap sebuah gips yang masih melekat sempurna pada kaki kanannya.

“Terus?”

“Saya sendiri gak masalah. Tapi, tangan kanan temen saya masih belum bisa digerakin, Pak. Beberapa hari kebelakang ini, masih saya yang bantuin dia nulis. Yang mau saya tanyain, kira-kira bisa gak misalkan pas ulangan, saya sama dia duduknya sebelahan? Ini bentuk solidaritas saya, Pak.” Panjang kali lebar penjelasan Bianーagaknya masih belum cukup meyakinkan hati lawan bicaranya kali ini. Guru bimbingan konseling itupun menggeleng.

“Kamu jadi tau jawaban dia, dong?”

Ragu-ragu Bian mengangguk.

“Gak boleh. Pasti ada solusi lain, nanti biar saya bahas sama walas kamu dulu, ya. Nama temen kamu siapa?”

“Zaid, Pak.”

Sebuah guratan seketika tergambar jelas pada kening pria paruh baya itu. “ZAID ANAK IPA YANG NUAKAL ITU?! YANG SERING KELUAR MASUK RUANGAN SAYA? IYA?!”

Bian meneguk saliva diam-diam. Tenggorokannya tiba-tiba saja mengering tanpa sebab. “Masa iya, Pak?” Dengan tampang polos yang sengaja dibuat-buat, Bian menjawab. Bukannya Bian tidak tahu-menahu soal ini. Dia hanya cari aman.

“Iya! Zaid ituーADUH! Saya langsung pusing kalau bahas dia. Kamu cari temen yang agak bener dikit, muka kamu masih polos gitu keliatannya. Jangan sama Zaid! Dulu ibunya ngidam apa sih pas hamil dia? Aktif banget.” Sementara beliau sibuk menghardik Zaid yang bahkan tidak ada di sanaーBian justru mengsam-mengsem. “Jangan-jangan kalian nyium aspal gara-gara dia?”

Bian menggeleng semangat. “Emang lagi sial aja, Pakーakhhh!”

“Kenapa?!”

“Kaki saya keram, Pak.”

“ADUH TERUS GIMANA? MAU SAYA GENDONG?”

Bian merotasikan matanya diam-diam. “Enggak, Pak. Saya mau pulang aja, udah dijemput kayaknya. Permisi.”

Tanpa menunggu respon dari lawan bicaranya, Bian melenggang pergi. Kalau boleh jujurーhati kecil Bian tak terima kala mendengar seseorang menggosipi sobat karibnya itu.

“Julid banget anjir!” gumam Bian sambil susah payah menyesuaikan langkah kakinya dan tongkat kruk.

Samar-samar suara tetesan air hujan mulai terdengar. Bian merogoh sakunya, mengeluarkan benda pipih dari dalam sana. Pesan terakhir yang dia kirim untuk Mama rupanya sudah dibalas. Kemungkinan saat ini Mama sudah ada di depan pintu gerbang sekolah, atau bisa saja tiba-tiba muncul di hadapannyaー

“Bian!”

Nah kan! Dengan pakaian super simple, dan rambut dikuncir seadanya, tangan Mama melambai sembari kakinya berjalan mendekat.

“Sini tasnya, biar Mama yang bawa,” kata Mama.

Bian spontar memberi gestur penolakan. “Masih bisa sendiri, Ma.”

“Siniin!” Mendengar seruan Mama, satu-satunya hal yang dapat Bian lakukan adalah pasrah.

Kemudian Mama menuntun Bian berjalan menuju mobil sambil menggendong tas milik Bian yang mampu membuat punggung Mama tegap seketika karena saking beratnya.

Saat keduanya baru sampai di tempat di mana mobil Mama terparkirーhujan turun dengan sangat derasnya. Mengguyur jalanan, membasahi gedung sekolah. Buru-buru Mama membantu Bian masuk ke dalam mobil, dan duduk di kursi penumpang, sebelum Mama turut masuk dan mengisi kursi kemudi.

“Astaga, untung timingnya pas!”

Bian tertawa. Benar juga. Kalau mereka telat barang semenitpun, agaknya pakaian mereka kini sudah basah kuyup. Sesuatu yang terpantul pada kaca spion menarik atensi Bian seketika. Menghentikan tawa yang baru saja sepersekian detik lalu dia mulai.

Di sana. Tepat di bawah hujan yang kapasitasnya lumayan tinggiーberdiri seorang perempuan tanpa mantel hujan sembari mengusap wajahnya di samping sepeda bergaya klasik. Bian yakin, Diajeng Pramesti pasti tengah kedinginan. Bahkan tas yang dia kenakan saat itu, tampaknya sudah menampung air hujan di dalamnya. Tapi kenapa? Bukannya Ajeng punya pilihan untuk berteduh di gedung sekolah?

Tanpa menyadari keberadaan Bian yang tengah menatapnya dari dalam mobilーAjeng menaiki sepedanya. Mengayuh tanpa semangat, sambil sesekali mengusap wajahnya.

“Ya ampun kasian banget itu!” pekik Mama saat tak sengaja melihat Ajeng melintas di hadapan mobil yang mereka tumpangi. “Temen kamu bukan?”

Bian menatap Mama lamat-lamat. Rupanya sang mama sudah lupa dengan sosok perempuan yang sempat mencuri hati anak laki-lakinya itu.

Bian bergidik. “Ayo pulang, Ma. Takut makin deres hujannya. Licin.” Dia berkata demikian. Seolah tak lagi peduli dengan presensi mantan pujaan hati.

Ratu ingat, dulu saat satu hari pasca pernikahannya dan Jeffrey, jangankan dipangku seperti saat iniーdisentuh barang seujung jari pun Ratu sudah histeris. Takut Jeffrey macam-macam, katanya. Konyolnya ia bahkan membatasi ranjang mereka dengan sebuah guling pada setiap malam yang mereka lalui. Ratu ingat, kala itu Jeffrey bahkan sampai merajuk. Suaminya itu kerap mencari-cari akal supaya guling yang ia ibaratkan tembok besar China itu dapat segera hilang eksistensinya dari atas ranjang mereka.

Kini, semuanya sudah berubah. Setelah bertahun-tahun menikah, Ratu semakin sadar kalau yang namanya keintiman dalam rumah tangga itu juga sangat penting. Menikah bukan cuma perihal makan bersama, menyiapkan pakaian suami, menjadi teman berkeluh kesah, atau membuat hidangan makan malam. Tentu saja, bisa-bisa Jeffrey tertarik pada perempuan lain di luar rumah, hanya karena ia dan suaminya itu jarang melakukan skinship.

Ratu memandang dalam manik mata Jeffrey yang saat ini tengah duduk sembari memangku tubuhnya. Spontan pria itu memberinya sedikit senyum, sembari tangannya perlahan tapi pasti menyusup ke dalam piyama yang malam ini melekat pada tubuh Ratu.

“Saran aku, kalau niatnya mau nonton ya gak usah pangku-pangkuan gini,” kata Jeffrey, meski tangannya masih setia menjelajah di pinggang Ratu.

Sementara itu, Ratu sibuk menahan lenguhan yang bisa kapan keluar saja dari bibirnya. “Aku cuman pengen dipangku,” sahut Ratu. Namun, setelah itu ia melingkarkan kedua tangannya di leher Jeffrey.

Ia bohong. Kenyataannya, yang ingin Ratu lakukan kali ini lebih dari itu.

“Yakin?”

Ratu refleks menggeliat tatkala Jeffrey secara tiba-tiba menempelkan bibir ke telinganya. Naik dan turun, menyentuh sepanjang lekuk pipi Ratu dengan sensual. Ratu dapat merasakan senyum Jeffrey di balik itu. Ratu juga dapat merasakan dengan jelas, bagaimana udara yang berasal dari napas Jeffrey menyapu permukaan kulit pada lekuk lehernya. Hangat.

“Masih yakin?” bisik Jeffrey.

Alih-alih menjawab, Ratu justru mencengkram kuat pundak suaminya itu. Diam-diam Jeffrey sengaja menggigit cuping telinga Ratu, sampai tubuh Ratu bergidik seketika.

“Wangi, Ra. Badan kamu....”

Di sela-sela perasaan melayangnya, Ratu terkekeh. “Mandinya sehari dua kali.”

“Aku bikin mandi lagi abis ini, marah gak?” Jeffrey menarik mundur wajahnya yang semula bersembunyi pada lekuk leher Ratu.

“Marah, lah! Nanti kalau aku kena rematik, gimana?”

“Yah....” Jeffrey mencebik. Raut wajah serta sorot matanya seakan menggambarkan betapa kecewanya ia saat ini. “Terus ini gak bisa dilanjut ya?” katanya hati-hati.

Ratu menangkup kedua pipi Jeffrey. Menatap mata laki-laki itu sekali lagi, sebelum akhirnya ia mendaratkan sebuah kecupan singkat pada bibir suaminya itu. “Bisa dilanjut kalau kamu mau.”

Secara naluriah tangan Jeffrey sontak menarik tengkuk Ratu. Menyatukan kedua belah bibir mereka secara intens. Menyesap bibir ranum Ratu dengan penuh perasaan. Satu detik, dua detik, banyak waktu berlalu, sampai-sampai Ratu hampir saja kehabisan napas jika tak membuka mulutnya. Dan, pada kesempatan ituーlidah Jeffrey sukses menorobos masuk ke dalam. Mereka saling memagut satu sama lain, hingga saliva Ratu yang sudah tercampur milik Jeffrey tanpa sadar mengalir keluar.

Ratu dibuat melenguh saat tangan Jeffrey kembali menyusup masuk ke dalam piyamanya. Putingnya menegang di balik kain, dan menempel sempurna pada dada Jeffrey sebab sebelumnya Ratu sengaja menanggalkan bra yang ia kenakan, seperti yang biasa ia lakukan di setiap malam.

Ratu mencengkram pundak Jeffrey kuat-kuat saat laki-laki itu menarik rambutnya ke belakang. Tidak begitu kasar, namun cukup kuat sampai-sampai Ratu mendongak dibuatnya. Lantas, wajah Jeffrey turun ke bawah. Yang sebelumnya ia fokus dengan bibir Ratu, kini beralih mencumbui setiap sudut pada leher Ratu. Tangannya yang satu masih terus menahan kepala Ratu agar tetap mendongak dan memudahkannya untuk meninggalkan beberapa bercak merah keunguan di sana, sementara tangan yang lain bergerak secara acak menjelajah pangkal paha hingga bagian belakang Ratu.

Sementara itu, yang disentuh sibuk mengatur deru napas dan detak jantungnya. Tenggorakan Ratu mulai kering, dan kulitnya terasa seakan-akan terbakar oleh setiap sentuhan yang Jeffrey berikan.

Ratu menjatuhkan tangannya tepat di dada Jeffrey. Berniat menghentikan kegiatan suaminya itu. Dan, berhasil.

“Apa?!” tanya Jeffrey dengan nada kesal.

Ratu tersenyum jahil. “Ada dongkrak naik di bawah pantat aku,” katanya sembari menggerakan pinggul berlaga gelisah.

Jeffrey mengerang kasar, “itu ereksi, Ra!”

“Dongkrak.”

“Itu titit!” timpal Jeffrey.

Gelak suara tawa Ratu pun tak tertahankan. Lucunya, bahkan di saat-saat seperti ini Jeffrey masih berkenan menimpali setiap perkataannyaーmeski dengan wajah memerah.

“Pintunya, Mas.... Belum dikunci, takut Bian tiba-tiba ngetok.” Ratu mengusap lembut sudut bibir Jeffrey yang basah karena salivanya. “Tunggu dulu, aku mau ngunci pintu,” katanya.

Lalu dengan gerakan cepat, Ratu bangun dari pangkuan Jeffreyーkursi ternyamannya. Beranjak menuju pintu kamar mereka, menyisakan Jeffrey yang masih terduduk manis di atas sofa berlapiskan kain beludru, sambil menatap sebuah gundukan yang diciptakan oleh sesuatu dari balik celananya.

Ratu memutar kunci kamarnya sebanyak dua kali, sebelum ia memastikan pintu itu sudah benar-benar terkunci rapat. Dan, tepat saat ia memutuskan untuk berbalikーJeffrey sudah lebih dulu mengukungnya dari belakang. Menghirup aroma cinnamon yang menguar di sekitar tengkuk Ratu, membuatnya merinding seketika.

Detik berikutnya Ratu memutar tubuh, demi berhadapan langsung dengan Jeffrey. Tanpa memberi sebuah aba-aba, bibirnya mendarat lebih dahulu di bibir Jeffrey. Tangannya melingkar sempurna pada bahu lebar milik suaminya itu. Kemudian memiringkan kepala, seraya menekan tengkuk Jeffrey agar pagutan mereka lebih dalam.

Jeffrey tak tinggal diam. Tangannya naik dari pinggang menuju payudara Ratu. Menyentuh bagian sensitif yang ada di sana. Mereka sama-sama imbang.

Decakan demi decakan yang mereka ciptakan agaknya mampu meredam suara televisi yang masih menyala kala itu. Baik Ratu maupun Jeffrey tak acuh. Atensi mereka saat ini hanya untuk satu sama lain.

Jeffrey menarik tangannya. Perlahan-lahan turun ke bawah. Menjelajah perut hingga ke belakang paha Ratu, sebelum ia tarik kaki jenjang itu untuk melingkar di pinggangnya.

Ratu kembali melenguh tatkala bagian intinya menyentuh ereksi Jeffrey yang jauh lebih gila dari sebelumnya. Pinggangnya sedikit tersentak. Di bawah sana, seperti ada sesuatu yang sangat ingin keluar.

“Ra....” Jeffrey sibuk mengatur napasnya, bersamaan dengan Ratu. Dan, refleksnya membuat payudara Ratu menekan dadanya yang keras. “Pindah ke kasur ya?” Yang diberi pertanyaan lantas mengangguk.

“Boleh....”

Ratu ingat, dulu saat satu hari pasca pernikahannya dan Jeffrey, jangankan dipangku seperti saat iniーdisentuh barang seujung jari pun Ratu sudah histeris. Takut Jeffrey macam-macam, katanya. Konyolnya ia bahkan membatasi ranjang mereka dengan sebuah guling pada setiap malam yang mereka lalui. Ratu ingat, kala itu Jeffrey bahkan sampai merajuk. Suaminya itu kerap mencari-cari akal supaya guling yang ia ibaratkan tembok besar China itu dapat segera hilang eksistensinya dari atas ranjang mereka.

Kini, semuanya sudah berubah. Setelah bertahun-tahun menikah, Ratu semakin sadar kalau yang namanya keintiman dalam rumah tangga itu juga sangat penting. Menikah bukan cuma perihal makan bersama, menyiapkan pakaian suami, menjadi teman berkeluh kesah, atau membuat hidangan makan malam. Tentu saja, bisa-bisa Jeffrey tertarik pada perempuan lain di luar rumah, hanya karena ia dan suaminya itu jarang melakukan skinship.

Ratu memandang dalam manik mata Jeffrey yang saat ini tengah duduk sembari memangku tubuhnya. Spontan pria itu memberinya sedikit senyum, sembari tangannya perlahan tapi pasti menyusup ke dalam piyama yang malam ini melekat pada tubuh Ratu.

“Saran aku, kalau niatnya mau nonton ya gak usah pangku-pangkuan gini,” kata Jeffrey, meski tangannya masih setia menjelajah di pinggang Ratu.

Sementara itu, Ratu sibuk menahan lenguhan yang bisa kapan keluar saja dari bibirnya. “Aku cuman pengen dipangku,” sahut Ratu. Namun, setelah itu ia melingkarkan kedua tangannya di leher Jeffrey.

Ia bohong. Kenyataannya, yang ingin Ratu lakukan kali ini lebih dari itu.

“Yakin?”

Ratu refleks menggeliat tatkala Jeffrey secara tiba-tiba menempelkan bibir ke telinganya. Naik dan turun, menyentuh sepanjang lekuk pipi Ratu dengan sensual. Ratu dapat merasakan senyum Jeffrey di balik itu. Ratu juga dapat merasakan dengan jelas, bagaimana udara yang berasal dari napas Jeffrey menyapu permukaan kulit pada lekuk lehernya. Hangat.

“Masih yakin?” bisik Jeffrey.

Alih-alih menjawab, Ratu justru mencengkram kuat pundak suaminya itu. Diam-diam Jeffrey sengaja menggigit cuping telinga Ratu, sampai tubuh Ratu bergidik seketika.

“Wangi, Ra. Badan kamu....”

Di sela-sela perasaan melayangnya, Ratu terkekeh. “Mandinya sehari dua kali.”

“Aku bikin mandi lagi abis ini, marah gak?” Jeffrey menarik mundur wajahnya yang semula bersembunyi pada lekuk leher Ratu.

“Marah, lah! Nanti kalau aku kena rematik, gimana?”

“Yah....” Jeffrey mencebik. Raut wajah serta sorot matanya seakan menggambarkan betapa kecewanya ia saat ini. “Terus ini gak bisa dilanjut ya?” katanya hati-hati.

Ratu menangkup kedua pipi Jeffrey. Menatap mata laki-laki itu sekali lagi, sebelum akhirnya ia mendaratkan sebuah kecupan singkat pada bibir suaminya itu. “Bisa dilanjut kalau kamu mau.”

Secara naluriah tangan Jeffrey sontak menarik tengkuk Ratu. Menyatukan kedua belah bibir mereka secara intens. Menyesap bibir ranum Ratu dengan penuh perasaan. Satu detik, dua detik, banyak waktu berlalu, sampai-sampai Ratu hampir saja kehabisan napas jika tak membuka mulutnya. Dan, pada kesempatan ituーlidah Jeffrey sukses menorobos masuk ke dalam. Mereka saling memagut satu sama lain, hingga saliva Ratu yang sudah tercampur milik Jeffrey tanpa sadar mengalir keluar.

Ratu dibuat melenguh saat tangan Jeffrey kembali menyusup masuk ke dalam piyamanya. Putingnya menegang di balik kain, dan menempel sempurna pada dada Jeffrey sebab sebelumnya Ratu sengaja menanggalkan bra yang ia kenakan, seperti yang biasa ia lakukan di setiap malam.

Ratu mencengkram pundak Jeffrey kuat-kuat saat laki-laki itu menarik rambutnya ke belakang. Tidak begitu kasar, namun cukup kuat sampai-sampai Ratu mendongak dibuatnya. Lantas, wajah Jeffrey turun ke bawah. Yang sebelumnya ia fokus dengan bibir Ratu, kini beralih mencumbui setiap sudut pada leher Ratu. Tangannya yang satu masih terus menahan kepala Ratu agar tetap mendongak dan memudahkannya untuk meninggalkan beberapa bercak merah keunguan di sana, sementara tangan yang lain bergerak secara acak menjelajah pangkal paha hingga bagian belakang Ratu.

Sementara itu, yang disentuh sibuk mengatur deru napas dan detak jantungnya. Tenggorakan Ratu mulai kering, dan kulitnya terasa seakan-akan terbakar oleh setiap sentuhan yang Jeffrey berikan.

Ratu menjatuhkan tangannya tepat di dada Jeffrey. Berniat menghentikan kegiatan suaminya itu. Dan, berhasil.

“Apa?!” tanya Jeffrey dengan nada kesal.

Ratu tersenyum jahil. “Ada dongkrak naik di bawah pantat aku,” katanya sembari menggerakan pinggul berlaga gelisah.

Jeffrey mengerang kasar, “itu ereksi, Ra!”

“Dongkrak.”

“Itu titit!” timpal Jeffrey.

Gelak suara tawa Ratu pun tak tertahankan. Lucunya, bahkan di saat-saat seperti ini Jeffrey masih berkenan menimpali setiap perkataannyaーmeski dengan wajah memerah.

“Pintunya, Mas.... Belum dikunci, takut Bian tiba-tiba ngetok.” Ratu mengusap lembut sudut bibir Jeffrey yang basah karena salivanya. “Tunggu dulu, aku mau ngunci pintu,” katanya.

Lalu dengan gerakan cepat, Ratu bangun dari pangkuan Jeffreyーkursi ternyamannya. Beranjak menuju pintu kamar mereka, menyisakan Jeffrey yang masih terduduk manis di atas sofa berlapiskan kain beludru, sambil menatap sebuah gundukan yang diciptakan oleh sesuatu dari balik celananya.

Ratu memutar kunci kamarnya sebanyak dua kali, sebelum ia memastikan pintu itu sudah benar-benar terkunci rapat. Dan, tepat saat ia memutuskan untuk berbalikーJeffrey sudah lebih dulu mengukungnya dari belakang. Menghirup aroma cinnamon yang menguar di sekitar tengkuk Ratu, membuatnya merinding seketika.

Detik berikutnya Ratu memutar tubuh, demi berhadapan langsung dengan Jeffrey. Tanpa memberi sebuah aba-aba, bibirnya mendarat lebih dahulu di bibir Jeffrey. Tangannya melingkar sempurna pada bahu lebar milik suaminya itu. Kemudian memiringkan kepala, seraya menekan tengkuk Jeffrey agar pagutan mereka lebih dalam.

Jeffrey tak tinggal diam. Tangannya naik dari pinggang menuju payudara Ratu. Menyentuh bagian sensitif yang ada di sana. Mereka sama-sama imbang.

Decakan demi decakan yang mereka ciptakan agaknya mampu meredam suara televisi yang masih menyala kala itu. Baik Ratu maupun Jeffrey tak acuh. Atensi mereka saat ini hanya untuk satu sama lain.

Jeffrey menarik tangannya. Perlahan-lahan turun ke bawah. Menjelajah perut hingga ke belakang paha Ratu, sebelum ia tarik kaki jenjang itu untuk melingkar di pinggangnya.

Ratu kembali melenguh tatkala bagian intinya menyentuh ereksi Jeffrey yang jauh lebih gila dari sebelumnya. Pinggangnya sedikit tersentak. Di bawah sana, seperti ada sesuatu yang sangat ingin keluar.

“Ra....” Jeffrey sibuk mengatur napasnya, bersamaan dengan Ratu. Dan, refleksnya membuat payudara Ratu menekan dadanya yang keras. “Pindah ke kasur ya?” Yang diberi pertanyaan lantas mengangguk.

“Boleh....”

Ratu ingat, dulu saat satu hari pasca pernikahannya dan Jeffrey, jangankan dipangku seperti iniーdisentuh barang seujung jari pun Ratu sudah histeris. Takut Jeffrey macam-macam, katanya. Konyolnya ia bahkan membatasi ranjang mereka dengan sebuah guling pada setiap malam yang mereka lalui. Ratu ingat, kala itu Jeffrey bahkan sampai merajuk. Suaminya itu kerap mencari-cari akal supaya guling yang ia ibaratkan tembok besar China itu bisa hilang eksistensinya dari atas ranjang mereka.

Kini semuanya sudah berubah. Setelah bertahun-tahun menikah, Ratu semakin sadar kalau yang namanya keintiman dalam rumah tangga itu juga sangat penting. Menikah bukan cuma perihal makan bersama, menyiapkan pakaian suami, menjadi teman berkeluh kesah, atau membuat hidangan makan malam. Tentu saja, bisa-bisa Jeffrey tertarik pada perempuan lain di luar rumah hanya karena mereka jarang melakukan skinship.

Ratu memandang dalam manik mata Jeffrey yang saat ini tengah duduk sembari memangku tubuhnya. Spontan pria itu memberinya sedikit senyum, sembari tangannya perlahan tapi pasti menyusup ke dalam piyama yang malam ini melekat pada tubuh Ratu.

“Saran aku, kalau niatnya mau nonton ya gak usah pangku-pangkuan gini,” kata Jeffrey tapi, tangannya masih setia menjelajah di pinggang Ratu.

Sementara itu, Ratu sibuk menahan lenguhan yang bisa kapan keluar saja dari bibirnya. “Aku cuman pengen dipangku,” sahut Ratu. Namun, setelah itu ia melingkarkan kedua tangannya di leher Jeffrey.

Ia bohong. Kenyataannya, yang ingin Ratu lakukan kali ini lebih dari itu.

“Yakin?”

Selanjutnya Ratu refleks menggeliat tatkala Jeffrey menempelkan bibir ke telinganya. Naik dan turun, menyentuh sepanjang lekuk pipi Ratu dengan sensual. Ratu dapat merasakan senyum Jeffrey di balik itu. Ratu juga dapat merasakan dengan jelas, bagaimana udara yang berasal dari napas Jeffrey menyapu permukaan kulit pada lekuk lehernya. Hangat.

“Masih yakin?” bisik Jeffrey.

Alih-alih menjawab, Ratu justru mencengkram kuat pundak suaminya itu. Diam-diam Jeffrey sengaja menggigit cuping telinga Ratu, sampai tubuhnya bergidik seketika.

“Wangi, Ra. Badan kamu....”

Ratu terkekeh, “Mandinya sehari, dua kali.”

“Aku bikin mandi lagi abis ini, marah gak?” Jeffrey menarik mundur wajahnya yang semula bersembunyi pada lekuk leher Ratu.

“Marah, lah! Nanti kalau aku kena rematik, gimana?”

“Yah....” Ia mencebik. Raut wajah serta sorot mata Jeffrey seakan menggambarkan betapa kecewanya ia. “Terus ini gak bisa dilanjut ya?” katanya hati-hati.

Ratu menangkup kedua pipi Jeffrey. Menatap mata laki-laki itu sekali lagi, sebelum akhirnya ia mendaratkan sebuah kecupan singkat pada bibir suaminya itu. “Bisa dilanjut kalau kamu mau.”

Secara naluriah tangan Jeffrey sontak menarik tengkuknya. Menyatukan kedua belah bibir mereka secara intens. Menyesap bibir ranum Ratu dengan penuh perasaan. Satu detik, dua detik, banyak waktu berlalu, sampai-sampai Ratu hampir saja kehabisan napas jika tak membuka mulutnya. Dan, pada kesempatan ituーlidah Jeffrey sukses menorobos masuk ke dalam. Mereka saling memagut satu sama lain, hingga saliva Ratu yang sudah tercampur milik Jeffrey tanpa sadar mengalir keluar.

Ratu akhirnya sukses dibuat melenguh saat tangan Jeffrey kembali menyusup masuk ke dalam piyamanya. Putingnya menegang di balik kain, dan menempel sempurna pada dada Jeffrey sebab sebelumnya Ratu sengaja menanggalkan bra, seperti yang biasa ia lakukan di setiap malam.

Ratu mencengkram pundak Jeffrey kuat-kuat saat ia menarik ramputnya ke belakang. Tidak begitu kasar, namun cukup kuat sampai-sampai Ratu mendongak dibuatnya. Lantas, wajah Jeffrey turun ke bawah. Yang sebelumnya ia fokus dengan bibir Ratu, kini beralih mencumbui setiap sudut pada leher Ratu. Tangannya yang satu masih terus menahan kepala Ratu agar tetap mendongak dan memudahkannya untuk meninggalkan beberapa bercak keunguan di sana, sementara tangan yang lain bergerak secara acak menjelajah pangkal paha hingga bagian belakang Ratu.

Ratu sendiri sibuk mengatur deru napas dan detak jantungnya kala itu. Tenggorakannya mulai kering, dan kulitnya berangsur-angsur seakan terbakar oleh setiap sentuhan yang Jeffrey lakukan.

Ratu menjatuhkan tangannya tepat di dada Jeffrey. Berniat menghentikan kegiatan suaminya itu. Dan, berhasil.

“Apa?!” tanya Jeffrey dengan nada kesal.

Sementara Ratu memilih untuk tersenyum jahil. “Ada dongkrak naik di bawah pantat aku,” katanya sembari menggerakan pinggul seakan gelisah.

Jeffrey mengerang kasar, “itu ereksi, Ra!”

“Dongkrak.”

“Itu titit!” timpal Jeffrey.

Gelak suara tawa Ratu pun tak tertahankan. Lucunya, bahkan di saat-saat seperti ini Jeffrey masih berkenan menimpali setiap perkataannyaーmeski dengan wajah memerah.

“Pintunya, Mas.... Belum dikunci, takut Bian tiba-tiba ngetok.” Ratu mengusap lembut sudut bibir Jeffrey yang basah karena salivanya. “Tunggu dulu, aku mau ngunci pintu,” katanya.

Lalu dengan gerakan cepat, Ratu bangun dari pangkuan Jeffreyーkursi ternyamannya. Beranjak menuju pintu kamar mereka, menyisakan Jeffrey yang masih terduduk manis di atas sofa berlapiskan kain beludru, sambil menatap sebuah gundukan yang diciptakan oleh sesuatu dari balik celananya.

Ratu memutar kunci kamarnya sebanyak dua kali, sebelum ia memastikan pintu itu sudah benar-benar terkunci rapat. Dan, tetap saat ia memutuskan untuk berbalikーJeffrey sudah lebih dulu mengukungnya dari belakang. Menghirup aroma cinnamon yang menguar di sekitar tengkuk Ratu, membuatnya merinding seketika.

Detik berikutnya Ratu memutar tubuh, demi berhadapan langsung dengan Jeffrey. Tanpa memberi sebuah aba-aba, bibirnya mendarat lebih dahulu di bibir Jeffrey. Tangannya melingkar sempurna pada bahu lebar milik suaminya itu. Kemudian memiringkan kepala, seraya menekan tengkuk Jeffrey agar pagutan mereka lebih dalam.

Sementara itu, Jeffrey tak tinggal diam. Tangannya naik dari pinggang menuju payudara Ratu. Menyentuh bagian sensitif yang ada di sana. Mereka sama-sama imbang.

Decakan demi decakan yang mereka ciptakan agaknya mampu meredam suara televisi yang masih menyala. Baik Ratu maupun Jeffrey tak acuh. Atensi mereka saat ini hanya untuk satu sama lain.

Jeffrey menarik tangannya. Perlahan-lahan turun ke bawah. Menjelajah perut hingga ke belakang paha Ratu, sebelum ia tarik kaki jenjang itu untuk melingkar di pinggangnya.

Ratu kembali melenguh tatkala bagian intinya menyentuh ereksi Jeffrey yang jauh lebih gila dari sebelumnya. Pinggangnya sedikit tersentak. Di bawah sana, seperti ada sesuatu yang sangat ingin keluar.

“Ra....” Jeffrey sibuk mengatur napasnya, bersamaan dengan Ratu. Dan, refleksnya membuat payudara Ratu menekan dadanya yang keras. “Pindah ke kasur ya?” Yang diberi pertanyaan lantas mengangguk.

Tanpa sadar Ratu menggigit bibir bawahnya sendiri saat Jeffrey mulai berjalan sambil menggendong tubuhnya. Meski masih lengkap menggunakan celana, tapi Ratu dapat merasakan kemaluan seakan tengah dipermainkan oleh milik Jeffrey di bawah sana.

Perlahan Jeffrey menurunkan Ratu di atas ranjang mereka dan membaringkan setengah tubuhnya di sana.

Dapat Ratu rasakan kedua pahanya terbelah tatkala Jeffrey sengaja memposisikan dirinya di tengah-tengah. Kakinya terbuka lebar, nafasnya berat, dan tubuhnya kini kian panas.

Jeffrey menatap Ratu lapar dari atas. Sorot matanya semakin membakar tubuh Ratu dalam diam.

Ratu ingat, dulu saat satu hari pasca pernikahannya dan Jeffrey, jangankan dipangku seperti iniーdisentuh barang seujung jari pun Ratu sudah histeris. Takut Jeffrey macam-macam, katanya. Konyolnya ia bahkan membatasi ranjang mereka dengan sebuah guling pada setiap malam yang mereka lalui. Ratu ingat, kala itu Jeffrey bahkan sampai merajuk. Suaminya itu kerap mencari-cari akal supaya guling yang ia ibaratkan tembok besar China itu bisa hilang eksistensinya dari atas ranjang mereka.

Kini semuanya sudah berubah. Setelah bertahun-tahun menikah, Ratu semakin sadar kalau yang namanya keintiman dalam rumah tangga itu juga sangat penting. Menikah bukan cuma perihal makan bersama, menyiapkan pakaian suami, menjadi teman berkeluh kesah, atau membuat hidangan makan malam. Tentu saja, bisa-bisa Jeffrey tertarik pada perempuan lain di luar rumah hanya karena mereka jarang melakukan skinship.

Ratu memandang dalam manik mata Jeffrey yang saat ini tengah duduk sembari memangku tubuhnya. Spontan pria itu memberinya sedikit senyum, sembari tangannya perlahan tapi pasti menyusup ke dalam piyama yang malam ini melekat pada tubuh Ratu.

“Saran aku, kalau niatnya mau nonton ya gak usah pangku-pangkuan gini,” kata Jeffrey tapi, tangannya masih setia menjelajah di pinggang Ratu.

Sementara itu, Ratu sibuk menahan lenguhan yang bisa kapan keluar saja dari bibirnya. “Aku cuman pengen dipangku,” sahut Ratu. Namun, setelah itu ia melingkarkan kedua tangannya di leher Jeffrey.

Ia bohong. Kenyataannya, yang ingin Ratu lakukan kali ini lebih dari itu.

“Yakin?”

Selanjutnya Ratu refleks menggeliat tatkala Jeffrey menempelkan bibir ke telinganya. Naik dan turun, menyentuh sepanjang lekuk pipi Ratu dengan sensual. Ratu dapat merasakan senyum Jeffrey di balik itu. Ratu juga dapat merasakan dengan jelas, bagaimana udara yang berasal dari napas Jeffrey menyapu permukaan kulit pada lekuk lehernya. Hangat.

“Masih yakin?” bisik Jeffrey.

Alih-alih menjawab, Ratu justru mencengkram kuat pundak suaminya itu. Diam-diam Jeffrey sengaja menggigit cuping telinga Ratu, sampai tubuhnya bergidik seketika.

“Wangi, Ra. Badan kamu....”

Ratu terkekeh, “Mandinya sehari, dua kali.”

“Aku bikin mandi lagi abis ini, marah gak?” Jeffrey menarik mundur wajahnya yang semula bersembunyi pada lekuk leher Ratu.

“Marah, lah! Nanti kalau aku kena rematik, gimana?”

“Yah....” Ia mencebik. Raut wajah serta sorot mata Jeffrey seakan menggambarkan betapa kecewanya ia. “Terus ini gak bisa dilanjut ya?” katanya hati-hati.

Ratu menangkup kedua pipi Jeffrey. Menatap mata laki-laki itu sekali lagi, sebelum akhirnya ia mendaratkan sebuah kecupan singkat pada bibir suaminya itu. “Bisa dilanjut kalau kamu mau.”

Secara naluriah tangan Jeffrey sontak menarik tengkuknya. Menyatukan kedua belah bibir mereka secara intens. Menyesap bibir ranum Ratu dengan penuh perasaan. Satu detik, dua detik, banyak waktu berlalu, sampai-sampai Ratu hampir saja kehabisan napas jika tak membuka mulutnya. Dan, pada kesempatan ituーlidah Jeffrey sukses menorobos masuk ke dalam. Mereka saling memagut satu sama lain, hingga saliva Ratu yang sudah tercampur milik Jeffrey tanpa sadar mengalir keluar.

Ratu akhirnya sukses dibuat melenguh saat tangan Jeffrey kembali menyusup masuk ke dalam piyamanya. Putingnya menegang di balik kain, dan menempel sempurna pada dada Jeffrey sebab sebelumnya Ratu sengaja menanggalkan bra, seperti yang biasa ia lakukan di setiap malam.

Ratu mencengkram pundak Jeffrey kuat-kuat saat ia menarik ramputnya ke belakang. Tidak begitu kasar, namun cukup kuat sampai-sampai Ratu mendongak dibuatnya. Lantas, wajah Jeffrey turun ke bawah. Yang sebelumnya ia fokus dengan bibir Ratu, kini beralih mencumbui setiap sudut pada leher Ratu. Tangannya yang satu masih terus menahan kepala Ratu agar tetap mendongak dan memudahkannya untuk meninggalkan beberapa bercak keunguan di sana, sementara tangan yang lain bergerak secara acak menjelajah pangkal paha hingga bagian belakang Ratu.

Ratu sendiri sibuk mengatur deru napas dan detak jantungnya kala itu. Tenggorakannya mulai kering, dan kulitnya berangsur-angsur seakan terbakar oleh setiap sentuhan yang Jeffrey lakukan.

Ratu menjatuhkan tangannya tepat di dada Jeffrey. Berniat menghentikan kegiatan suaminya itu. Dan, berhasil.

“Apa?!” tanya Jeffrey dengan nada kesal.

Sementara Ratu memilih untuk tersenyum jahil. “Ada dongkrak naik di bawah pantat aku,” katanya sembari menggerakan pinggul seakan gelisah.

Jeffrey mengerang kasar, “itu ereksi, Ra!”

“Dongkrak.”

“Itu titit!” timpal Jeffrey.

Gelak suara tawa Ratu pun tak tertahankan. Lucunya, bahkan di saat-saat seperti ini Jeffrey masih berkenan menimpali setiap perkataannyaーmeski dengan wajah memerah.

“Pintunya, Mas.... Belum dikunci, takut Bian tiba-tiba ngetok.” Ratu mengusap lembut sudut bibir Jeffrey yang basah karena salivanya. “Tunggu dulu, aku mau ngunci pintu,” katanya.

Lalu dengan gerakan cepat, Ratu bangun dari pangkuan Jeffreyーkursi ternyamannya. Beranjak menuju pintu kamar mereka, menyisakan Jeffrey yang masih terduduk manis di atas sofa berlapiskan beludru sembari menatap sebuah gundukan yang diciptakan oleh sesuatu dari balik celananya.