Ritual Makan Putih Telur
Tidak ada kegiatan khusus yang Bian lakukan malam ini. Hanya menatap ke luar jendela kamar. Meninjau kira-kira ada berapa banyak bintang yang tengah eksis di atas langit Ibu Kota.
Bian berdiri dengan kruknya. Berjalan mendekat ke arah jendela sambil sesekali meringis sakit. Dalam benak bertanya-tanya, kapan kaki kanannya akan kembali normal. Namun, agaknya masih cukup lama sebab, rasa sakit yang muncul acapkali dia berjalan masih sangat pekat.
“Bian murung terus, kenapa?”
Bian menoleh cepat, kemudian buru-buru melukis sebuah senyum pada bibirnya. Ada Mama yang berkunjung ke kamar sembari membawa sebuah mangkuk, beralaskan nampan kesayangan. “Waktunya makan putih telur, Bi. Biar cepet balik kayak semula lagi kakinya.” Mama berkata demikian, sebelum akhirnya tersenyum.
Sementara itu, di hadapannya, Bian mencebik. Hari-harinya belakangan ini seolah disponsori oleh putih telur. Bosan. Sudah sampai mual setiap kali Bian mencium aromanya.
Mama yang paham begitu melihat ekspresi Bian, lantas ikut mencebik. “Ayo, dong. Ini, kan, demi kesembuhan kaki kamu. Kalau bisa diwakilin pasti udah Mama wakilin makannya—tapikan gak bisa.”
“Minimal Mama sambelin telurnya.”
“Nanti ilang khasiatnya!”
Malas mulai perdebatan, akhirnya Bian membuka mulutnya dengan pasrah. Malas melihat, dan menyentuh makanan wajibnya itu—maka, disuapi Mama adalah solusinya.
“Mama gak pinter baca suasana hati orang, tapi Mama paham kalau muka anak Mama kusut kayak gini berarti lagi ada yang dipikirin.” Mama meletakan nampannya di atas sebuah nakas yang dekat dengan jendela kamar itu. Kemudin, satu suapan masuk ke dalam mulut Bian. “Bian kangen jalan kayak biasa, ya? Atau apa, Bi? Cerita sama Mama, biar rasanya lebih baikan,” kata Mama.
“Gak ada.”
“Dulu, waktu Mama masih sekolah—Mama cuman punya mendiang nenek kamu. Mama suka cerita banyak hal sama beliau. Mulai dari hal paling penting, sampai ke hal yang sebenernya sama sekali gak penting. Makanya, waktu masih ada beliau hidup Mama rasanya ringan banget! Tapi, waktu Mama kuliah, nenek kamu pergi nyusul kakek. Mama ngerasa nyesel, Bi. Mama ngerasa masih ada banyak hal yang mau Mama ceritain ke beliau ... dan, waktunya gak ada lagi.” Mama menarik napas panjang. “Kamu sekarang masih punya Papa sama Mama, Bi. Mungkin awalnya emang susah buat terbuka. Pasti rasanya aneh, ya? Tapi, manfaatin waktu yang kamu punya sebaik mungkin, Sabian.”
Yang terjadi selanjutnya adalah Bian semakin bungkam seribu bahasa. Mulutnya yang semula aktif mengunyah, kini diam. Mendengar kalimat terakhir Mama barusan membuat sebuah perasaan aneh menggerayangi benaknya. Dunia Bian seakan berhenti mendadak.
“Bian gak suka denger Mama ngomong gitu,” katanya dengan nada kesal.
Mama yang mendapat tatapan mengintimidasi dari Bian, sontak mengerutkan keningnya. Mencoba mengingat-ingat apakah ada yang salah dari ucapannya beberapa saat lalu. “Mama minta maaf kalau kedengerannya kayak maksa....”
“Enggak, bukan itu! Bian gak suka denger Mama bahas waktu, kesempatan—atau apalah itu. Rasanya ... aneh....”
Sebuah senyuman tercetak jelas di wajah Mama. “Lucu, deh.”
“Apanya?”
“Mama punya anak cowok yang udah sebesar ini, tapi masih suka bingung sama perasaan sendiri. Lucu, gemes! Padahal mah bilang aja kalau Bian takut ditinggal Mama.” Sambil berkata demikian, tangan Mama kembali memasukan putih telur ke dalam nulut Bian. Sementara Bian mendengkus. “Oh, iya! Bian bosen gak di rumah aja kayak gini?”
Bian mengangguk. Sudah pasti jawabannya 'iya'.
“Besok niatnya Papa mau bawa kita main ke luar—” Belum sempat Mama menyelesaikan kalimatnya, Bian lebih dulu tersedak putih telur. “PELAN-PELAN, DONG, NGUNYAHNYA!” seru Mama seketika.
“Besok banget?!”
“Iya, besok. Emangnya kenapa?”
Bian sejatinya tahu kalau Papa merencakan hal demikian, maka sudah pasti dirinya sengaja mengosongkan jadwal sejak jauh-jauh hari. Bian sejatinya juga tahu, kalau kesempatan untuk menghabiskan waktu seharian bersama Papa mungkin hanya sekitar 2% dari hari-hari sibuknya mengurus kantor. Namun, lebih daripada itu, Bian ingat perihal janji yang sebelumnya sudah disepakati olehnya.
Keheningan melanda, Bian masih sibuk menghadapi konflik batin sambil terus mengunyah putih telurnya.
“Kenapa, Bi?” tanya Mama penasaran. Pasalnya sejak tadi Bian terus menatap langit-langit kamar tanoa mengatakan apapun. Mama takut. Takut Bian kerasukan atau semacamnya.
“Ma....” Bian memandang Mama dengan sorot mata serius. “Bian minta maaf, tapi kayaknya besok gak bisa.”
“Kenapa?” Gurat kekhawatiran seketika muncul pada wajah Mama.
Karna Bian gak bisa batalin janji sama Om Yudhis, buat pergi sama Papa—Bian pilih pura-pura sakit aja. Maaf.
“Bian kayaknya mau pilek.”