cakgrays

Malam ini hening. Mungkin karena Bian yang biasanya menciptakan kegaduhan, sudah lebih dulu tertidur di kamarnya karena lelah usai bermain PS seharian. Maklum, libur panjang, harus dinikmati dengan sebaik-baiknya.

Berbanding terbalik dengan Bian, di dalam kamar Jeffrey masih terus berkutat dengan layar laptopnya yang masih menyala. Ia bersandar pada sandaran kursi yang menghadap langsung ke arah meja kerja. Siang tadi Ratu sendiri yang sudah menyuruhnya untuk pulang lebih cepat, dan ia pun menyetujuinya. Tapi, bukan berarti membawa pulang pekerjaan sampai ke rumah seperti ini. Selain percuma karena Jeffrey kesulitan untuk fokus karena adanya Ratu di dalam satu ruangan yang sama—rencananya dengan Ratu malam ini jadi tertunda, bahkan lebih dari 2 jam.

Sementara Ratu yang tengah berbaring di atas ranjang, sejak tadi sudah berkali-kali menahan rasa kantuknya. Padahal begitu lama sebelum kepulangan Jeffrey, Ratu sudah mempersiapkan banyak hal seperti; mengganti sprei kasur mereka, mandi hingga berendam, memilih piyama tidur yang jauh lebih tipis dari biasanya, juga menyemprotkan begitu banyak parfum sampai-sampai wanginya menyebar ke seluruh ruangan. Namun nahas, begitu Jeffrey di rumah—bahkan tidak sekalipun ia mengajak Ratu membicarakan hal selain tentang pekerjaan dan apa yang terjadi kantornya. Sial!

Ratu mendengkus. Ia beranjak menuruni kasur dengan kasar. Persetan dengan Jeffrey dan perkerjaannya, Ratu ingin turun ke dapur untuk minum sekarang juga!

Brak! Suara pintu kamar yang sengaja dibanting oleh Ratu itu, memekakkan indera pendengaran Jeffrey. Bahkan ia hampir melompat dari kursi kerjanya.

“Kenapa sih—EH, ASTAGA? Gue lupa soal tujuan utama pulang cepet, ya ... pantesan dia banting-banting pintu,” kata Jeffrey panik, tepat setelah menghilangnya sosok Ratu dari balik pintu.

Takut kalau sampai suasana hati Ratu semakin memburuk, lantas Jeffrey memilih untuk menyusul Ratu. Ia sampai setengah beringsut menuruni anak tangga, demi menyamai langkah Ratu.

“Ra, tunggu, sama aku turunnya!” pekik Jeffrey, nadanya terdengar gusar.

Lantas, langkah Ratu terhenti di anak tangga ke sekian. Ia sempat menoleh, sebelum akhirnya Jeffrey berdiri tepat di sebelahnya. Salah satu dari kedua alis Ratu refleks terangkat. Ditatapnya Jeffrey dengan tatapan yang seakan berkata 'apaan, sih?'

“Sama aku, ya, turunnya.”

Ratu menghela napas kasar, “Kerjaan kantor kamu masih numpuk, kan? Beresin itu aja dulu,” kata Ratu, sewot. Ia memilih untuk melanjutkan langkah—meninggalkan Jeffrey di belakangnya.

“Maaf!”

Persis seperti adegan-adegan dalam drama India, Jeffrey menarik tangan Ratu. Tidak kasar, tidak juga terlalu kuat, hanya cukup untuk membuat langkah Ratu kembali terhenti setelahnya. “Aku minta maaf karena gak tau waktu sama tempat. Aku niatnya pulang cepet buat kamu, tapi malah bawa pulang kerjaan ke rumah. Aku minta maaf, ya, Ra.”

Ratu bergeming.

“Mau ambil minum, kan? Aku temenin,” pinta Jeffrey, lagi.

Ratu menatapnya selama beberapa detik, lalu mengangguk. Secara teknis ia melakukan hal itu, karena setelah dipikir-pikir masalah ini tidak perlu diperpanjang lagi.

Lalu, sambil keduanya menuruni tiap-tiap anak tangga, tangan Jeffrey bertengger tepat di belakang punggung Ratu. Memastikan Ratu tiba di lantai satu, dengan aman. “Awas, pelan-pelan aja.”

“Iya, aku tauuu.”

Dan, sampai keduanya sama-sama menginjakan kaki di area dapur, Jeffrey masih terus menuntun Ratu berjalan, sebab cahaya dapur mereka cukup redup. Lampu utamanya memang sengaja dimatikan ketika sudah malam, dan sudah tidak ada yang menggunakan.

“Tunggu sini, aku nyalain lampu dulu.”

“Gak dinyalain juga masih keliatan, Mas.”

“Gak. Tetep bahaya, Ra.” Lalu suara saklar lampu terdengar di tengah keheningan. Klik!

Ratu berjalan sedikit ke arah di mana rak peralatan makan dan gelas berada. Meraih dua gelas, untuknya dan juga untuk Jeffrey. Sementara, di sisi lain, Jeffrey membuka pintu kulkas yang letaknya berseberangan dengan Ratu.

“Mau minum apa, Ra?” tanya Jeffrey. Nadanya sangat lembut, masuk ke telinga Ratu.

“Apple juice?”

“Siap, satu botol apple juice untuk ibu hamil dan suaminya!”

Mendengar itu, membuat Ratu terkekeh. Menurutnya Jeffrey terdengar sangat lucu saat memperagakan seorang barista cafe seperti barusan.

Jeffrey berjalan, kemudian menarik salah satu bangku yang tersedia di tiap-tiap sisi dari meja makan milik mereka. Ia duduk lebih dulu, sembari membuka tutup sebuah botol jus yang tempo hari ia beli di sebuah mini market saat perjalanan pulang dari kantor.

Usai membereskan urusannya dengan tutup botol tersebut, Jeffrey melihat Ratu yang berjalan mendekat. Ia sengaja menepuk pahanya sebanyak dua kali. “Di sini, Ra,” ajaknya.

Ratu tidak menjawab. Tapi, meski begitu, kakinya secara spontan berjalan lurus ke tempat di mana Jeffrey berada. Ia duduk di sana. Di atas pangkuan Jeffrey, dan tanpa sengaja menekan sesuatu yang ada di antara paha itu sembari menuangkan jus apel ke dalam gelas.

Tangan Jeffrey yang nakal, menelusuri lekuk tubuh Ratu kala itu. Perut Ratu sudah mulai membesar, dan dadanya juga lebih membengkak dari sebelumnya karena pengaruh hormon prolaktin. “Kamu mau punya anak kembar gak, Ra?” Seperti biasa. Bukan Jeffrey namanya kalau tidak mengangkat topik pembiaraan yang acak, saat mereka tengah berdua.

Ratu hampir menoleh, tapi Jeffrey menahan tubuhnya. “Gak bisa lah! Ini kan udah dibuahin, udah jadi juga, masa mau nambah?!”

“Kita gak akan pernah tau, sebelum kita coba.”

“Terus maksudnya mau ke luar di dalem?” tanya Ratu to the point.

Jeffrey menarik napas panjang. “Jangan, deh. Nanti kamu tiba-tiba kontraksi.”

“Mas, Mas ... kamu itu ada-ada aja.” Ratu kemudian bersandar pada tubuh Jeffrey yang berada di belakangnya. Menarik napas, dan membuangnya perlahan-lahan.

Mata Ratu memejam, karena ia merasa nyaman dengan duduk di atas Jeffrey seperti ini. “Jadi mau sampai kapan kita di sini, Mas?” kata Ratu, masih dengan mata terpejam.

“Sebentar.” Tangan Jeffrey tiba-tiba saja menyelinap ke dalam piyama Ratu. Menyentuh salah satu dari dua gundukan milik Ratu dengan gerakan sensual. “Lebih besar dari yang waktu hamil Bian ya, Ra?”

Ratu mengangguk. “Karna ini hamil yang kedua.”

“Lucu, aku suka. Tangan aku bahkan udah gak cukup buat nangkup ini.” Tangan Jeffrey semakin gatal untuk meninggalkan sentuhannya di mana-mana. Sementara Ratu kini sudah meletakkan gelas yang sempat ia genggam beberapa saat lalu.

“Ra, ke kamar, yuk!” kata Jeffrey. Tapi dengan dingin Ratu menggeleng.

“Kerjaan kantor kamu, tuh....” Lagi-lagi Ratu menyindir perihal pekerjaan kantor yang Jeffrey bawa pulang ke rumah.

Jeffrey buru-buru memeluk tubuh Ratu. Menyenderkan pipinya pada punggung Ratu yang hangat. “Aku kan udah minta maaf, Ra.” Jeffrey mencebik di belakang Ratu.

“Makanya, besok-besok jangan gitu lagi,” jawab Ratu.

Tanpa perlawanan, ia mampu melepaskan diri dari Jeffrey. Berjalan meninggalkan gelas, dan juga sisa jus apel miliknya begitu saja.

“Ra!”

Ratu memutar tubuhnya, menghadap Jeffrey. “Apa?”

“Jadinya batal?”

“Enggak. Cepetan matiin lampu dapurnya, terus gendong aku sampai atas kalau kamu masih mau.”

Jeffrey refleks menarik sudut bibirnya. “Masih mau lah!”

Lantas, Jeffrey kalang kabut untuk berdiri dan mematikan lampu dapur, sebelum akhirnya ia menggendong Ratu di depan—seperti bayi koala. Sejauh ini, menurutnya, Ratu masih ringan. Masih mudah untuk digendong seperti ini ke mana-mana, bahkan menaiki tangga sekalipun.

Sambil tetap hati-hati supaya tetap seimbang dan mereka berdua tidak terjatuh—Jeffrey sesekali menciumi bibir Ratu seperti awan. Membuat si empunya bibir kegelian.

“Sebentar lagi mau sampai kamar. Ada pesan terakhir?” kata Jeffrey menggoda.

Ratu terkikik sesaat. “Ada.”

“Apa?”

“Jangan kasar-kasar, nanti yang di dalem marah sama kamu.”

Sudah hampir setengah jam Bianca berada di gedung fakultas sebelah, mencari sosok laki-laki tampan, berambut pirang—seperti apa yang sempat dideskripsikan oleh Sudirman. Tapi, sejauh mata Bianca memandang, semua laki-laki yang ia temui selalu berkepala hitam.

“Ndi ta cah e?” kata Ayu atau yang lebih akrab dipanggil Yayuk. Ia sudah kepalang kesal, pasalnya sejak tadi mereka berdua hanya mondar-mandir seperti setrikaan di area gedung Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, tanpa melakukan hal lain.

Translate: Mana anaknya?

Bianca menoleh sambil cengangas-cengenges, “Kayaknya gue ditipu Sudirman, deh, Yuk....” Saking pasrahnya Bianca sampai berpikir demikian.

Ayu memutar bola matanya jengah. Kan ia jadi merasa sial karena harus ikut terkena dampak dari tipuan Sudirman—sepupu Bianca. “Ya Allah, Ca?!” Ayu mengusap dadanya dramatis. Sudah panas, ditipu pula

Sementara itu Bianca mencebik. Ia sendiri juga bingung, kenapa bisa langsung termakan oleh omongan Sudirman dan berakhir bodoh seperti ini. Entah fakta, atau sekedar tipuan—yang jelas Bianca kesal! Kalau bertemu nanti, ingin ia acak-acak wajah Sudirman yang tampangnya terbilang lumayan itu!

Laki-laki tampan berambut pirang, agaknya hanyalah sebuah dongeng belaka.

Lalu, dengan berat hati Bianca merangkul lengan Ayu. Membawa kawannya itu meninggalkan halaman fakultas tersebut, tanpa sepatah kata pun.

Di sebelahnya, Ayu memasang wajah heran sebelum memutuskan untuk menghentikan langkahnya. Ayu mengeluarkan sebuah cermin kecil dari tas kecil yang ia tenteng. Ia mengarahkan benda itu pada Bianca. “Liat muka kamu, deh, Ca. Siapa sih? Emangnya kamu kenal? Kok bisa sampai sekusut ini cuman karena gak bisa nemuin dia?” tanyanya, sebab penasaran usai melihat bagaimana ekspresi Bianca.

Kemudian, sebuah tatapan yang tak kalah bingung, Bianca lemparkan pada Ayu. Sejak satu-satunya kelas di hari itu selesai, Bianca terus memikirkan pesan terakhir yang ia dapat dari Sudirman. Ia terus membayangkan seperti apa sosok mahasiswa tampan, berambut nyentrik, tapi sangat penakut sebab baru saja pindah kos-kosan dengan alasan kematian tetangga sebelah kamar kosnya, itu. Terlebih lagi, belakangan ini Sudirman sering kali membahas perihal Si Anak Pirang—juga temannya yang sudah seperti biji tumbuhan dikotil ini, alias ke mana-mana selalu saja bersama.

“Gak kenal, se. Aku cuman penasaran.” Bianca terkekeh sendirian setelahnya.

Sebenarnya kalau dipikir-pikir, ia bisa saja meminta foto sepasang biji tanaman dikotil itu, langsung dari Sudirman. Kenapa juga ia malah repot-repot mampir ke area gedung fakultas lain?

Sementara Ayu, lagi-lagi mendengkus. Kesal, terlebih matahari rasanya seakan hanya berjarak 5 meter dari atas kepala. “Tukok ne aku es, Ca. Ngelak e, panase ra umum.”

Translate: Beliin aku es, Ca. Haus nih, panas banget

“Aku pengen ngopi se.”

“Yaudah, kopi.”

“Bayar sendiri-sendiri.”

“ASEM!”

Bian nyaris tidak bisa diam sepanjang hari. Meski di bibir sempat mengaku kurang semangat menyambut hari ini, namun yang dia lakukan justru sebaliknya. Bahkan sejak semalam dia terus memperingati Om Jemi, juga Tante Kila yang notabenenya adalah saudara kandung Papa, untuk datang dan membawakannya sesuatu.

Kalau Eyang Uti dan Eyang Kung sih tidak perlu diragukan lagi, sebab mereka sudah pasti datang dan membawa sebuah kotak hadiah besar untuk ulang tahun ke-17 cucunya yang satu ini. Awalnya Bian pikir itu hanya berisikan lelucon atau semacamnya, ternyata sebuah gitar listrik yang sama persis seperti keinginannya. Diam-diam Bian merasa sedikit bersalah, sebab sering kali berprasangka buruk pada kedua orang sepuh di hadapannya itu.

Beralih kepada Zaid dan Ozi yang datang bersamaan sembari menenteng sebuah tas berukuran besar di antara mereka. Bian tebak, kado yang satu ini pasti hasil patungan keduanya.

“Met Ultah, Bi,” kata Zaid serampangan, sebelum berakhir ditempeleng oleh Ozi yang berdiri tepat di sampingnya.

“Ngasih ucapan utu yang niat!”

Sontak Zaid memutar bola mata jengah sembari mencibir Ozi, “Kayak ke anaknya Presiden aja!”

Bian sendiri hanya pasrah. Niatnya di hari yang istimewa ini, dia harus menjadi pribadi yang baik di hadapan semua orang.

“Selamat ulang tahun, Bi. Semoga lo bisa masuk kampus gua.”

“Lo gak pernah doain gue kayak gitu, Ji?!” timpal Zaid tak mau kalah.

“Nanti pas lo ulang tahun.”

“Si Anjing!”

Bian bergeming sejenak, lalu celingak-celinguk seakan tengah mencari-cari keberadaan seseorang. “Ola mana?”

“Sama nyokap, lagi ngumpul sama ibu-ibu kali?” sahut Ozi.

Bian hanya manggut-manggut. “Lo berdua minum dulu aja, sambil nunggu yang lainnya.”

“Gue ke sini mau makan kue yang itu,” kata Zaid, refleks menunjuk ke arah sebuah kue ulang tahun milik Bian yang bahkan belum ditiup sama sekali.

Ozi yang tingkat kesabaran setipis tisu itu spontan membekap mulut Zaid dengan gemasnya. Sementara Bian hanya menampilkan senyum kecut di wajahnya.

“Lo diem-diem deh, Id, daripada gue gebukin di sini.” Sudah dapat dipastikan kalau yang barusan itu adalah sebuah bisikan penuh ancaman yang asalnya dari Bian.

Zaid merinding memikirkan bagaimana bisa Bian mengancamnya dengan tampang innocent seperti barusan? Lantas dia beringsut, menepis tangan Ozi seketika. “Ji, mendingan kita samperin Ola. Takut menua sebelum waktunya.”

Bian mendengkus.

Pesta ulang tahunnya ini sengaja diadakan di rumah, karena Mama yang ingin mendekor segala sesuatunya sendiri.

Ngomong-ngomong soal Mama, sejak tadi Bian belum sempat melihat Mama. Dan, mama juga belum sempat memberi sepatah kata pun untuk hari ulang tahun Bian ini. Mungking saking sibuknya mengurus inj dan itu untuk Bian.

“Bian!”

Nah, yang barusan memanggil nama Bian itu adalah Papa. “Sini, Bi!”

Bian mencibir dalam hati. Memikirkan kira-kira lelucon menyebalkan yang mana lagi yang sudah Papa siapkan untuknya. Tapi sebelum prasangka buruknya semakin meningkat, Bian samar-samar mendengar suara mesin yang menyala di halaman depan rumah. TUNGGU-TUNGGU! MOTOR?! Lantas Bian berlari sambil terseok-seok dengan kaki kanannya yang masih digips demi menyusul Papa.

“Pak, ini surat-suratnya silahkan ditandatangani.”

Bian mendelik seketika tatkala matanya menangkap eksistensi seorang pria yang baru saja menyalakan sebuah motor di halaman depan rumah.

“PAPA YANG BENER INI, PA?!”

Papa mengabaikan pertanyaan Bian, karena masih harus menandatangani beberapa surat lagi. “Ini ya, Pak.”

“Nah, beres. Makasih ya, Pak Jeffrey, kalau gitu saya pamit.” Pria itu pamit, tepat setelah menyerahkan kunci motor kepada Papa.

“PAPA!”

“Jangan teriak-teriak, Papa gak budek!”

“Itu motornya Bian?!”

Papa hanya memberi sebuah anggukan, lalu melempar sebuah kunci ke arah Bian. “Awas ya, jangan ditabrakin.”

“Tapikan Bian belum rapotan?” kata Bian yang sukses menangkap kunci tersebut.

“Gampang, nanti kalau banyak angka merah di rapot tinggal Papa jual lagi.”

Bian melongo di tempat. Namun dia tetap berpikir kalau yang satu ini adalah kado paling hebat yang pernah dia dapat.


Sementara yang lainnya sibuk bercengkrama satu sama lain, Bian tengah berdiri mematung di hadapan seseorang yang sejak tadi sudah dinanti-nanti kehadirannya. Ayah Yudhis datang dengan setelan jas yang terkesan biasa saja, tapi auranya menawan.

“Kenapa lama....”

Alih-alih merespon keluhan Bian, Ayah Yudhis justru memilih untuk mendekap tubuh Bian erat-erat selayaknya seorang Ayah memeluk anaknya sendiri.

“Jalanan mac—”

“Maaf.” Bian memotong ucapan Ayah Yudhis begitu saja. “Bian minta maaf.”

“Bi ... udah.”

“Bian bener-bener minta maaf.” Bian memeluk Ayah Yudhis jauh lebih erat.

“Shuttt ... udah dimaafin, Sabian,” kata Ayah Yudhis. Tangannya sesekali menepuk-nepuk punggung Bian dengan hangatnya. “Hei, ini hari ulang tahun kamu, jangan nangis kayak gini. Gak malu sama si Zaid?”

Lantas pelukan malam itu berakhir, sebab Bian gengsi kalau-kalau sampai kepergok oleh Zaid dan Ozi ketika dia tengah menangis. “Malu, lah!” seru Bian seraya mengusap jejak air matanya menggunakan lengan.

Ayah Yudhis terkekeh sejenak. “Kapan tiup lilinnya?”

“Tadi kayaknya masih disiapin sama Om Jemi.”

“Yaudah, ayo ke sana.”


Bian mengsam-mengsem tatkala menatap lilin demi lilin tengah ditancapkan pada kue ulang tahunnya. Namun selang beberapa detik kemudian, wajahnya berubah kusut. Malam ini menyenangkan. Semua datang, kecuali Diajeng Pramesti.

“Bi!” Suara Zaid membuyarkan lamunan Bian kala itu.

“Kenapa?” tanya Bian pada Zaid yang berdiri cukup jauh darinya.

Zaid melambaikan tangan, memberi isyarat agar Bian mendekat. “Ke sini bentar!” pintanya.

Lantas Bian menuruti permintaan kawannya itu, meski sebentar lagi kuenya siap. Bian dapat melihat bagaimana ekspresi wajah Zaid kala itu. Dia panik dan kebingungan, sementara Ozi yang berada di sebelahnya tampak tak senang dan berusaha merebut ponsel milik Zaid.

“Kenapa, sih? Lo gak liat gue mau tiup lilin?”

“Ajeng—”

Satu nama yang mampu membuat jantung Bian berdebar tak karuan, seketika keluar dari mulut Zaid.

“Gak usah lo peduliin, Anjing! Udah sana tiup lilin!” seru Ozi penuh penekanan.

“Dia harus tau, Bangsat!” kata Zaid.

Bian masih berusaha mengatur degup jantung juga napasnya yang sempat tercekat. “Gue harus tau apa?” tanya Bian penasaran.

“Ini.” Zaid menyerahkan ponselnya pada Bian dalam keadaan layar yang tengah menyala.

Satu detik, dua detik, lima detik, dan seterusnya. Pandangan Bian berubah kosong. Senyum yang sejak sore tadi terpatri di bibirnya kini tiba-tiba saja hilang entah ke mana. Cukup lama dia membeku di tempat, hingga akhirnya suara Mama menyadarkannya.

“Bian! Ayoo tiup lilinya, Bi!”

“Biannnnn!”

Kemudian tanpa mempedulikan kedua temannya, Bian kembali menuju tempat di mana kue ulang tahunnya berada. Dengan tatapan yang masih kosong, Bian berjalan susah payah.

“Sini-sini, tiup dulu lilinya, Bi.” Mama mengatur tubuh Bian di hadapan kue ulang tahun dengan lilin yang sudah menyala.

Sebuah lagu yang biasa digunakan untuk mengiringi acara ulang tahun dinyanyikan bersama-sama oleh para tamu.

“Tiup lilinnya, tiup lilinya sekarang juga, sekarang juga....”

Lilin pun padam, namun Bian masih dengan tanpa ekspresi.

“Bi, Mama sama Tante Julia punya hadiah spesial buat kamu!”

Mendengar itu, Bian mengangkat dagunya. Menatap orang-orang yang juga tengah menatapnya. Papa, Ayah Yudhis, Mama, Tante Julia, bahkan seluruh keluarganya tengah menatapnya dengan tatapan bahagia. Kecuali Zaid dan Ozi yang kala itu memilih untuk membuang muka karena mengetahui perasaan Bian yang sebenarnya.

Sebuah kotak hadiah kecil Mama berikan dengan perasaan suka cita.

Bian tersenyum, meski terpaksa. Dia buka kotak itu penuh hati-hati, dan yang Bian dapati adalah dua buah testpack yang hasilnya sama-sama positif.

“Selamat ulang tahun, Bian! Kamu akan punya dua adik sekaligus, dari Mama sama Tante Julia!”

“Kamu seneng gak, Bi?” tanya Tante Julia.

Dan di saat itu juga, air mata Bian lolos seketika. Dia bahagia, tapi air mata yang baru saja keluar adalah air mata kesedihan.

Sambil cengangas-cengenges Bian membukakan pintu untuk Papa. Kalau boleh jujur sebenarnya saat ini Bian tengah salah tingkah. Dia bingung tentang apa yang harus dilakukan setelah membuka pintu depan. Peluk? Cium? Atau salam? Begitu batinnya.

Papa yang tengah berdiri sambil menatapnya kebingungan justru membuat suasana menjadi canggung seketika. Siapapun, tolong. Bian benci suka situasi yang seperti ini.

“Bi?”

Bian melihat ke arah mata Papa yang hampir sejajar dengan sepasang mata miliknya. Bagian lucunya, tiba-tiba Papa tertawa entah karena apa. Mengabaikan Bian yang tengah kebingungan seorang diri.

“Papa kenapa ketawa?”

“Kamu ngapain bukain Papa pintu?” Papa lanjut terkekeh, lalu berjalan masuk melewati Bian begitu saja.

“Lagi pengen aja.”

“Mau minta motor?”

Bian tidak menjawab, dan memilih mengekori Papa kala itu. Berjalan menghampiri Mama yang baru saja kembali dari dapur sambari mengenggam segelas air putih dingin yang sepertinya baru saja di tuang dari dalam kulkas.

“Bian kenapa tuh, Ra—” Kalimat Papa terputus, sebab barusan Papa mencium kening Mama dengan hangat meski masih di hadapan Bian.

Mama yang mendengar itu, lantas menarik sudut bibirnya. “Mau ngobrol berdua sama kamu katanya.” Sambil menyerahkan gelas berisi air dingin, Mama berkata demikian.

Di sebelah Mama, Bian memasang wajah tegang. Dia masih belum memikirkan harus meminta maaf dengan gaya seperti apa pada sang Papa. Berbeda dengan Mama—Papa itu sudah kebal jika diberi kata manis juga janji-janji.

“Mau ngobrolin apa?”

“Motor,” kata Bian, sengaja memberi jawaban yang asal-asalan.

Papa berdeham. “Papa mau mandi dulu, masih bawa setan dari jalanan.”

“Bian udah ngantuk, Pa.”

Mama yang semula hanya menguping pembicaraan Bian juga Papa, seketika menyentuh pundak Papa sekaligus mengusapnya dengan lembut. “Sebentar aja, Mas, abis ini mau aku suruh tidur anaknya,” pinta Mama yang kemudian diamini oleh Papa.

“Oke, ayo kita ke balkon.”


Di sini lah Bian dan Papa sekarang. Di balkon yang pencahayaan terbilang cukup remang-remang, dengan angin malam yang bebas bertiup sepay-sepoy menyapu permukaan kulit mereka. Keduanya seakan saling menghindar dari tatapan mata satu sama lain. Keduanya sama-sama menumpu siku pada sebuah palang pembatas balkon yang terbuat tiang besi.

Helaan napas Papa yang tiba-tiba terdengar kasar, sukses mengusik Bian. Lantas Bian sengaja berbatuk meski tenggorokannya tidak gatal.

“Ini kalau gak jadi ngomong, mending Papa mandi aj—”

“JANGAN!”

“Shht—gak usah teriak-teriak, kamu kayak pengen digebukin aja. Jadi, mau ngobrolin apa?”

Bian menghela napas panjang. “Bian lupa belum minta maaf ke Papa kayak waktu minta maaf sama Mama.”

Lantas kening Papa bertaut, seakan memperlihatkan bahwa Papa tengah berpikir keras. “Minta maaf sambil nangis-nangis maksudnya?” tanya Papa sengaja meledek.

Bian spontan berdecak, “Kenapa yang Papa tangkep cuman bagian itunya, sih?”

“Tapi emang itu kan maksudnya? Udah lah, kamu gak usah repot-repot jual air mata ke Papa.”

“Jual air mata?! Bian nangis pakai hati ya!”

Untuk sejenak, Papa tertawa. “Jadi lebih baik aja ke depannya. Jangan ngulangin kesalahan yang sama. Kamu tau? Seumur-umur, Papa gak pernah liat Mama kamu semarah waktu itu. Percaya sama Papa, Bi—Mama kamu itu selalu jadi orang pertama yang ngelindungin kamu, bahkan dari Papa. Dia gak pernah marah. Gak bisa dia marah sama kamu. Jadi, kalau sampai dia nampar kamu pakai tangannya sendiri ... kamu tau artinya apa?”

“Bian udah kelewatan.” Pada akhirnya Bian menjawab dengan lirih.

“Bener itu. Terus ... apa kamu bakal jadiin kejadian itu sebagai pelajaran?”

Bian mengangguk.

“Jatuh cinta sama lawan jenis di usia kamu yang sekarang ini wajar, Bi. Gak aneh. Tapi kamu harus inget kalau ada juga yang punya cinta buat kamu. Tau gak siapa?” Papa memutar tubuhnya, dan meraih pundak Bian. “Keluarga,” sambung Papa.

“Bian minta maaf.”

“Berhenti minta maaf. Buktiin kalau emang kamu nyesel dan mau berubah.”

Lagi-lagi Bian hanya bisa mengangguk paham, dengan sorot matanya terus menatap ke bawah. Lalu dengan segenap perhatian Papa merentangkan tangannya lebar-lebar seraya tersenyum.

“Peluk?”

“Gak usah.”

Tapi Papa tetap memeluk erat tubuh Bian meski yang diterimanya adalah sebuah penolakan.

“Nyaman...,” kata Bian lirih.

“Apa?”

“Nyaman.”

Kalau Bian hitung-hitung, sekiranya sudah belasan kali Mama mondar-mandir ke kamar mandi selama menemaninya belajar di ruang tengah. Alih-alih fokus belajar, Bian kini justru terus mengawasi Mama. Wajah pucat pasi, juga gestur yang menandakan bahwa Mama sedang tidak baik-baik saja, sudah pasti mengusiknya.

Bian menghela napas panjang. Semangat belajarnya sudah hilang entah ke mana. Sengaja dia tutup buku yang semula sempat dia baca. “Mama kenapa, sih?” Akhirnya Bian membuka suara.

Mama acuh tak acuh. “Jangan peduliin Mama—kamu lanjut belajar aja.”

“Gak bisa. Napsu belajar Bian udah ilang gara-gara liat Mama bolak-balik ke kamar mandi.” Dua bola matanya menatap Mama, sembari membaca situasi dan kondisi yang ada. “Mama sakit perut?” tanya Bian penasaran.

Mama menggeleng spontan. “Gak sakit perut, sih. Mama cuman mual aja—sama pusing, makanya ke kamar mandi terus.”

“Masuk angin?”

“Gak tau.”

Bian lalu memicing tajam. Dia ingat bagaimana alur cerita dalam sinetron yang sering kali dia tonton di televisi. Mual seperti halnya orang masuk angin pada seorang wanita biasanya jadi pertanda kehamilan di usia dini.

Mama yang semula santai-santai saja, kini tampak salah tingkah begitu kedua matanya ditatap langsung oleh Bian.

“Apa?” tanya Mama.

“Mama hamil kali.” Tanpa memberi barang sedikitpun aba-aba Bian berkata demikian, sampai-sampai sukses membuat Mama hampir tersedak salivanya sendiri.

“Kebanyakan nonton sinetron!”

Bian tergelak kemudian. “Tapi bukannya bener, ya? Mual itu jadi salah satu tanda kehamilan? Siapa tau Mama hamil,” kata Bian, lalu dia mendapat tatapan mata menyalang dari Mama.

“Masih kecil bahas hamil-hamilan. Kamu jangan sok tau!”

Mendengar perkataan Mama barusan, membuat ingatan Bian kembali terputar ke belakang. Seingatnya materi soal kehamilan sudah dia pelajari bahkan saat masih duduk di bangku kelas 8 SMP, jadi dari segi usia agaknya Bian merasa cukup untuk berbicara soal kehamilan. Tapi, mungkin saja pembahasan ini mampu membuat perasaan Mama sedikit canggung.

Wajah Mama kemerahan. Jelas, tepat sekali dugaan Bian perihal Mama yang merasa canggung sebab dia membahas perihal kehamilan. Sambil berusaha untuk memikirkan topik pembicaraan lain, Bian memilih untuk menumpuk buku-bukunya yang sempat berserakan.

“Bi....” Belum juga menemukan topik pembicaraan baru, Mama lebih dulu menyebut namanya.

Aktivitas Bian sebelumnya, sontak saja terhenti. Bian menoleh ke arah Mama tanpa mengatakan apapun.

“Coba bayangin, deh. Kalau ternyata Mama beneran hamil lagi—”

“Bian seneng. Bian ikut seneng, kalau Mama hamil lagi.” Perkataannya sukses membuat napas Mama tercekat sepersekian detik. “Mama khawatir soal itu, kan?” timpal Bian.

Kemudian anggukan kepala Mama menjadi jawaban untuk pertanyaan yang baru saja Bian lontarkan.

“Bian udah tujuh belas, tahun ini. Mama gak perlu khawatir—Bian udah jauh dari kata puas buat dapetin semua perhatian Mama selama ini. Kalau ternyata Mama hamil lagi, Bian siap belajar buat jadi kakak yang baik.” Bian menghela napas kasar, lalu memilih bersandar pada sofa di belakangnya. “Mama pikir Bian bakal ngerasa iri, ya?” tanya Bian.

Mendengar itu, hati Mama rasanya sakit seketika. Mama sontak memutar tubuhnya mengahadap ke samping. Menatap bagaimana sorot mata Bian yang mendadak berubah menjadi sendu.

Mama menggeleng, “Bukan itu yang Mama pikirin, Bi. Mama sempet takut kalau kamu bakal ngejauh kalau Mama hamil lagi. Mama takut kalau nantinya perhatian yang Mama kasih, mungkin berat sebelah. Mama ... banyak takutnya.”

Bian menatap lurus sepasang mata Mama. Dan, di wajah Mama terukir jelas gurat kekhawatiran yang tengah Mama rasakan.

“Dulu, waktu pertama kali Mama tau kalau Mama lagi hamil kamu—Mama seneng banget. Waktu kamu lahir, Mama ngerasa kalau punya kamu sama Papa aja udah cukup. Tapi, belakangan ini sesuatu terus ganggu pikiran Mama. Gimana kalau nanti Papa sama Mama tiba-tiba dipanggil Tuhan? Kamu sendirian—”

“Ma, stop.”

“Atau, gimana kalau kamu udah nikah nanti? Mama sama Papa bakal kesepian—”

“Ma!” Bian praktis menyentuh pundak Mama dengan kedua tangan. “Pertama, Tuhan tau Bian masih butuh Papa sama Mama, jadi gak mungkin dia panggil kalian berdua secepet itu. Kedua, nikah? Bian aja belum lulus SMA?!” kata Bian menggebu-gebu.

“Lohhh? Bukannya yang di rumah sakit itu calon istri kamu, buktinya kamu lebih prioritasin dia daripada Mama.” Nada bicara Mama sok dramatis, dan direspon dengan suara decakan kesal dari mulut Bian.

“Kenapa harus dibahas lagi, sih?”

Bian hampir bangkit dari posisi duduknya, tapi gagal sebab tangan Mama menarik tubuh Bian seketika. “EH EH MAMA BERCANDA!” seru Mama sembari mendekap tubuh Bian erat-erat.

“Gak lucu, sumpah!” timpal Bian.

Bian kesal bukan karena mendengar Mama membahas Ajeng, atau semacamnya. Melainkan karena topik yang satu ini cukup melenceng dari topik sebelumnya. Kemudian, lebih dari itu—Bian spontan teringat betapa dinginnya atmosfer di sekitar Ajeng saat mereka saling berpapasan di sekolah sejak beberapa hari lalu. Entah karena gadis itu fokus menghadapi ujian, tidak dalam keadaan hati yang baik, atau mungkin Ajeng mendengar keributan yang dia ciptakan saat di rumah sakit. Pasalnya Bian sendiri merasa terlalu takut untuk sekedar menyapa lebih dulu, apalagi harus bertanya perihal alasan di balik sikap dingin Ajeng.

Mama berdecak, “Sabian ... apa sopan ngelamun depan Mama begini?”

“Bian gak ngelamun,” sahut Bian tak terima.

“Ayo lanjutin belajarnya, tanggung kalau disisain satu bab lagi.”

Bian lantas melirik Mama dengan sorot mata yang tajam. Apa semua perempuan di muka bumi ini senang sekali mengalihkan topik pembicaraan, seperti apa yang Mama lakukan sejak tadi?

“Kenapa, sih, mukanya begitu?”

“Ma?”

“Apa lagi?”

“Jujur aja, Mama lagi hamil ya?”

Mama menggeleng, lalu tangannya menyapu lembut kening Bian, sembari menatapnya lamat-lamat. “Mama gak tau, karna sama sekali belum ngecheck. Tapi kalau kenyataannya Mama beneran hamil, pasti Mama kasih tau kamu, Bi. Mama gak mungkin bohongin kamu, atau bahkan sembunyiin fakta tentang kehamilan Mama dari kamu.”

“Janji?”

Mama terkekeh, kemudian berdecak. “Iya, janji.”

Detik itu juga suara mesin mobil yang masuk ke pekarangan rumah, terdengar hingga ke dalam. Mama dan Bian saling tatap satu sama lain, sepertinya Papa baru saja pulang.

“Bian aja yang bukain pintunya, Ma!”

“Tumben?”

“Mau PDKT lagi sama Papa.”

Selanjutnya pecah tawa Mama. Tidak ada alasan untuk tidak tertawa selepas mendengar pengakuan Bian barusan. “Ada-ada aja!” seru Mama.

Lantas Bian juga ikut tertawa, seraya menjawab. “Biar jadi dibeliin motor, Ma.”

Ratu mengintip ke dalam kamar. Mengamati bagaimana Jeffrey yang kebetulan sibuk sejak pagi, bahkan di hari Sabtu seperti ini.

Ia menghela napas berat sejenak. Sudah bermenit-menit, yang Ratu lakukan hanya berdiri di ambang pintu kamar. Ia ingin masuk ke dalam, tapi takut kalau-kalau eksistensinya dapat mengganggu atensi Jeffrey pada sekumpulan map kertas, dan laptop di atas meja kerjanya.

Lalu, ketika kedua lututnya mulai terasa pegal, dan ia gelisah—suara Jeffrey menginterupsi. “Masuk, Ra, jangan diem di sana. Nanti kejepit pintu.”

Ratu membuka lebar pintu kamar yang semula dalam keadaan setengah tertutup itu. Berjalan masuk, dan di saat yang bersamaan Jeffrey beranjak dari tempat duduk dan mengambil langkah, menghampirinya.

“Tutup lagi pintunya, Ra.” Suara Jeffrey terdengar lembut seperti biasanya.

Lantas, Ratu memutar tubuhnya kembali. Melakukan apa yang Jeffrey minta. Menutup pintu kamar mereka rapat-rapat, sampai tak ada celah barang sedikitpun.

Untuk sejenak Ratu merasa ragu. Haruskah ia mengunci pintu di hadapannya, atau sekedar menutupnya seperti ini. Namun, pada akhirnya Ratu memutuskan untuk memutar kunci kamar sebanyak dua kali.

Sudut bibir Jeffrey tertarik ke atas, lalu terkekeh sendiri. “Kenapa, Ra?” Ia memiringkan kepalanya, “kok dikunci?” tanya Jeffrey yang tentunya untuk basa-basi.

“Aku mau ngomongin sesuatu yang serius.”

“Ngomongin?” Alis Jeffrey menukik sebelah kemudian. “Bukannya ngelakuin sesuatu yang serius...?”

Pipi Ratu memanas, hingga muncul rona merah pada seluruh wajahnya. Hampir terlihat seperti buah tomat yang sudah matang.

“Kalau mau cuddling itu bilang, Ra, jangan ngabisin parfum aku.” Jeffrey sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Ratu. “Tuh—ini bau aku nih.”

“Mas, aku....”

“Apa?”

“Jadi gini....” Ratu masih bingung memilih kata

“Di dahi kamu ada tulisannya, 'aku mau kamu' gitu.”

Sontak Ratu membeku di tempatnya. Sementara, di waktu yang bersamaan Jeffrey mengambil satu langkah lebih dekat. Menghapus setiap jarak di antara mereka, menangkup kedua pipi Ratu yang hangat, seraya tergelak untuk sesaat.

“Kayaknya selama ini kamu cuman suka kangen sama bau aku, ya? Bukan akunya?” kata Jeffrey sambil melirik tempat di mana parfum miliknya berada.

Ratu menggeleng semangat, “Gak gitu, ya!”

Ia berjinjit demi melingkarkan kedua tangannya di leher Jeffrey. “Mas ... Kamu lagi capek, gak?” Ratu dengan hati-hati bertanya demikian.

Telinga Jeffrey praktis memerah. Kedua tangannya kemudian membingkai tubuh Ratu di pinggang. Ia sengaja mendekatkan bibirnya pada telinga Ratu yang lucunya juga ikut kemerahan saat itu. Suara Jeffrey rendah untuk berbisik. “Beneran mau aku ternyata.”

Hening.

Nafas Jeffrey hangat, menyapu daun telinga hingga leher Ratu. “Ra ... aku juga kangen. Aku juga ... mau kamu.”

Percakapan mereka berhenti sampai di sana, sebab Jeffrey tiba-tiba saja mendaratkan banyak sekali kecupan kupu-kupu di sekitar leher Ratu. Aksi Jeffrey sebenarnya cukup sederhana, tapi bagi Ratu—itu sangat menggairahkan.

Jeffrey menghimpit tubuh Ratu, mendorong tubuhnya pada kedua buah dada istrinya itu. Kecupan-kecupan kecil darinya perlahan berubah menjadi sebuah sapuan lidah, hingga hisapan lembut yang kemudian membuat degup jantung Ratu meningkat.

Bibir Jeffrey beranjak turun, lalu mendarat cukup lama pada tulang selangka milik Ratu. Mencumbuinya dengan agresif hingga Ratu tak sengaja mengeluarkan sebuah lenguhan.

Ratu menggigit bagian dalam pipinya. Ia ingin bibir Jeffrey segera. Ditangkupnya dagu laki-laki itu supaya mendongak ke atas. Kemudian, tanpa permisi ia menempelkan kedua belah bibir mereka dalam kehangatan, hingga tak lama kemudian sebuah suara decakan lolos seketika. Kaki Ratu gemetar saat salah satu tangan Jeffrey menelusup masuk ke dalam piyamanya.

“Ra.”

“Hm?”

“Bian udah tidur, kan?” Jeffrey merasa was-was, sementara Ratu hanya merespon dengan sebuah anggukan singkat. “Berarti bisa sambil teriak-teriak mainnya.”

“Gila kamu?!” timpal Ratu.

Parfume

Ratu mengintip ke dalam kamar. Mengamati bagaimana Jeffrey yang kebetulan sibuk sejak pagi, bahkan di hari Sabtu seperti ini.

Ia menghela napas berat sejenak. Sudah bermenit-menit, yang Ratu lakukan hanya berdiri di ambang pintu kamar. Ia ingin masuk ke dalam, tapi takut kalau-kalau eksistensinya dapat mengganggu atensi Jeffrey pada sekumpulan map kertas, dan laptop di atas meja kerjanya.

Lalu, ketika kedua lututnya mulai terasa pegal, dan ia gelisah—suara Jeffrey menginterupsi. “Masuk, Ra, jangan diem di sana. Nanti kejepit pintu.”

Ratu membuka lebar pintu kamar yang semula dalam keadaan setengah tertutup itu. Berjalan masuk, dan di saat yang bersamaan Jeffrey beranjak dari tempat duduk dan mengambil langkah, menghampirinya.

“Tutup lagi pintunya, Ra.” Suara Jeffrey terdengar lembut seperti biasanya.

Lantas, Ratu memutar tubuhnya kembali. Melakukan apa yang Jeffrey minta. Menutup pintu kamar mereka rapat-rapat, sampai tak ada celah barang sedikitpun.

Untuk sejenak Ratu merasa ragu. Haruskah ia mengunci pintu di hadapannya, atau sekedar menutupnya seperti ini. Namun, pada akhirnya Ratu memutuskan untuk memutar kunci kamar sebanyak dua kali.

Sudut bibir Jeffrey tertarik ke atas, lalu terkekeh sendiri. “Kenapa, Ra?” Ia memiringkan kepalanya, “kok dikunci?” tanya Jeffrey yang tentunya untuk basa-basi.

“Aku mau ngomongin sesuatu yang serius.”

“Ngomongin?” Alis Jeffrey menukik sebelah kemudian. “Bukannya ngelakuin sesuatu yang serius...?”

Pipi Ratu memanas, hingga muncul rona merah pada seluruh wajahnya. Hampir terlihat seperti buah tomat yang sudah matang.

“Kalau mau cuddling itu bilang, Ra, jangan ngabisin parfum aku.” Jeffrey sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Ratu. “Tuh—ini bau aku nih.”

“Mas, aku....”

“Apa?”

“Jadi gini....” Ratu masih bingung memilih kata

“Di dahi kamu ada tulisannya, 'aku mau kamu' gitu.”

Sontak Ratu membeku di tempatnya. Sementara, di waktu yang bersamaan Jeffrey mengambil satu langkah lebih dekat. Menghapus setiap jarak di antara mereka, menangkup kedua pipi Ratu yang hangat, seraya tergelak untuk sesaat.

“Kayaknya selama ini kamu cuman suka kangen sama bau aku, ya? Bukan akunya?” kata Jeffrey sambil melirik tempat di mana parfum miliknya berada.

Ratu menggeleng semangat, “Gak gitu, ya!”

Ia berjinjit demi melingkarkan kedua tangannya di leher Jeffrey. “Mas ... Kamu lagi capek, gak?” Ratu dengan hati-hati bertanya demikian.

Telinga Jeffrey praktis memerah. Kedua tangannya kemudian membingkai tubuh Ratu di pinggang. Ia sengaja mendekatkan bibirnya pada telinga Ratu yang lucunya juga ikut kemerahan saat itu. Suara Jeffrey rendah untuk berbisik. “Beneran mau aku ternyata.”

Hening.

Nafas Jeffrey hangat, menyapu daun telinga hingga leher Ratu. “Ra ... aku juga kangen. Aku juga ... mau kamu.”

Percakapan mereka berhenti sampai di sana, sebab Jeffrey tiba-tiba saja mendaratkan banyak sekali kecupan kupu-kupu di sekitar leher Ratu. Aksi Jeffrey sebenarnya cukup sederhana, tapi bagi Ratu—itu sangat menggairahkan.

Jeffrey menghimpit tubuh Ratu, mendorong tubuhnya pada kedua buah dada istrinya itu. Kecupan-kecupan kecil darinya perlahan berubah menjadi sebuah sapuan lidah, hingga hisapan lembut yang kemudian membuat degup jantung Ratu meningkat.

Bibir Jeffrey beranjak turun, lalu mendarat cukup lama pada tulang selangka milik Ratu. Mencumbuinya dengan agresif hingga Ratu tak sengaja mengeluarkan sebuah lenguhan.

Ratu menggigit bagian dalam pipinya. Ia ingin bibir Jeffrey segera. Ditangkupnya dagu laki-laki itu supaya mendongak ke atas. Kemudian, tanpa permisi ia menempelkan kedua belah bibir mereka dalam kehangatan, hingga tak lama kemudian sebuah suara decakan lolos seketika. Kaki Ratu gemetar saat salah satu tangan Jeffrey menelusup masuk ke dalam piyamanya.

“Ra.”

“Hm?”

“Bian udah tidur, kan?” Jeffrey merasa was-was, sementara Ratu hanya merespon dengan sebuah anggukan singkat. “Berarti bisa sambil teriak-teriak mainnya.”

“Gila kamu?!” timpal Ratu.

Ratu mengintip ke dalam kamar. Mengamati bagaimana Jeffrey yang kebetulan sibuk sejak pagi, bahkan di hari Sabtu seperti ini.

Ia menghela napas berat sejenak. Sudah bermenit-menit, yang Ratu lakukan hanya berdiri di ambang pintu kamar. Ia ingin masuk ke dalam, tapi takut kalau-kalau eksistensinya dapat mengganggu atensi Jeffrey pada sekumpulan map kertas, dan laptop di atas meja kerjanya.

Lalu, ketika kedua lututnya mulai terasa pegal, dan ia gelisah—suara Jeffrey menginterupsi. “Masuk, Ra, jangan diem di sana. Nanti kejepit pintu.”

Ratu membuka lebar pintu kamar yang semula dalam keadaan setengah tertutup itu. Berjalan masuk, dan di saat yang bersamaan Jeffrey beranjak dari tempat duduk dan mengambil langkah, menghampirinya.

“Tutup lagi pintunya, Ra.” Suara Jeffrey terdengar lembut seperti biasanya.

Lantas, Ratu memutar tubuhnya kembali. Melakukan apa yang Jeffrey minta. Menutup pintu kamar mereka rapat-rapat, sampai tak ada celah barang sedikitpun.

Untuk sejenak Ratu merasa ragu. Haruskah ia mengunci pintu di hadapannya, atau sekedar menutupnya seperti ini. Namun, pada akhirnya Ratu memutuskan untuk memutar kunci kamar sebanyak dua kali.

Sudut bibir Jeffrey tertarik ke atas, lalu terkekeh sendiri. “Kenapa, Ra?” Ia memiringkan kepalanya, “kok dikunci?” tanya Jeffrey yang tentunya untuk basa-basi.

“Aku mau ngomongin sesuatu yang serius.”

“Ngomongin?” Alis Jeffrey menukik sebelah kemudian. “Bukannya ngelakuin sesuatu yang serius...?”

Pipi Ratu memanas, hingga muncul rona merah pada seluruh wajahnya. Hampir terlihat seperti buah tomat yang sudah matang.

“Kalau mau cuddling itu bilang, Ra, jangan ngabisin parfum aku.” Jeffrey sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Ratu. “Tuh—ini bau aku nih.”

“Mas, aku....”

“Apa?”

“Jadi gini....” Ratu masih bingung memilih kata

“Di dahi kamu ada tulisannya, 'aku mau kamu' gitu.”

Sontak Ratu membeku di tempatnya. Sementara, di waktu yang bersamaan Jeffrey mengambil satu langkah lebih dekat. Menghapus setiap jarak di antara mereka, menangkup kedua pipi Ratu yang hangat, seraya tergelak untuk sesaat.

“Kayaknya selama ini kamu cuman suka kangen sama bau aku, ya? Bukan akunya?” kata Jeffrey sambil melirik tempat di mana parfum miliknya berada.

Ratu menggeleng semangat, “Gak gitu, ya!”

Ia berjinjit demi melingkarkan kedua tangannya di leher Jeffrey. “Mas ... Kamu lagi capek, gak?” Ratu dengan hati-hati bertanya demikian.

Telinga Jeffrey praktis memerah. Kedua tangannya kemudian membingkai tubuh Ratu di pinggang. Ia sengaja mendekatkan bibirnya pada telinga Ratu yang lucunya juga ikut kemerahan saat itu. Suara Jeffrey rendah untuk berbisik. “Beneran mau aku ternyata.”

Hening.

Nafas Jeffrey hangat, menyapu daun telinga hingga leher Ratu. “Ra ... aku juga kangen. Aku juga ... mau kamu.”

Percakapan mereka berhenti sampai di sana, sebab Jeffrey tiba-tiba saja mendaratkan banyak sekali kecupan kupu-kupu di sekitar leher Ratu. Aksi Jeffrey sebenarnya cukup sederhana, tapi bagi Ratu—itu sangat menggairahkan.

Jeffrey menghimpit tubuh Ratu, mendorong tubuhnya pada kedua buah dada istrinya itu. Kecupan-kecupan kecil darinya perlahan berubah menjadi sebuah sapuan lidah, hingga hisapan lembut yang kemudian membuat degup jantung Ratu meningkat.

Bibir Jeffrey beranjak turun, lalu mendarat cukup lama pada tulang selangka milik Ratu. Mencumbuinya dengan agresif hingga Ratu tak sengaja mengeluarkan sebuah lenguhan.

Ratu menggigit bagian dalam pipinya. Ia ingin bibir Jeffrey segera. Ditangkupnya dagu laki-laki itu supaya mendongak ke atas. Kemudian, tanpa permisi ia menempelkan kedua belah bibir mereka dalam kehangatan, hingga tak lama kemudian sebuah suara decakan lolos seketika. Kaki Ratu gemetar saat salah satu tangan Jeffrey menelusup masuk ke dalam piyamanya.

“Ra.”

“Hm?”

“Bian udah tidur, kan?” Jeffrey merasa was-was, sementara Ratu hanya merespon dengan sebuah anggukan singkat. “Berarti bisa sambil teriak-teriak mainnya.”

“Gila kamu?!” timpal Ratu.

Langit yang semula biru, kini sudah gelap sempurna. Hampir pukul sembilan malam. Tapi Bian sama sekali tak beranjak dari sebuah kursi kayu di depan meja belajarnya. Menatap nanar setumpuk buku pelajaran yang ada di atas sana.

Hening. Bian tenggelam dalam pikirannya, kemudian sesekali dia bergumam pada selinting kertas di tangannya. Harus minta maaf ke siapa dulu, ya? Pada Papa yang sepertinya lagi-lagi menerapkan silent treatment untuknya, atau pada Mama yang Bian ketahui tengah marah basar?

Bian menghela napas panjang. Ingatan tentang Mama yang menampar pipinya untuk pertama kali, kembali terputar. Disentuhnya pipi yang sejak tadi masih meninggalkan sensasi cenat cenut itu. Bian meringis. Rasa panas yang telapak tangan Mama tinggalkan masih membekas.

Kalau membahas perihal sadar atau tidaknya Bian pada kesalahannya kali ini—jawabannya tentu, iya. Bian sadar seberapa fatal kesalahannya, maka dari itu wajar kalau-kalau Mama sampai habis kesabaran. Ditamparpun sejujurnya dia pasrah. Tapi, di sisi lain Bian pikir dia masih terlalu muda untuk mati penasaran hanya karena perasaannya yang tak kunjung mendapat kejelasan. Pasalnya kalau dilihat-lihat, selama ini Ajeng juga sama tertariknya dengan Bian—yah, walaupun gadis itu sudah berkali-kali mengatakan kalau dia sama sekali tak berminat menjalin sebuah hubungan romansa.

Ekspresi wajahnya menjadi masam. Bian dengar, dan dia paham sejak awal. Bian cukup mengerti kalau tidak semua hal di muka bumi ini bisa dia dapatkan, termasuk Diajeng Pramesti yang kalau tersenyum, manisnya mampu mengalahi gula jawa di dapur Mama.

Hanya saja, melepaskan Ajeng memang tidak semudah yang Zaid atau bahkan Ozi bayangkan. Masalahnya Ajeng adalah satu-satunya wanita selain Mama yang mampu menarik atensi Bian setelah enam belas tahun, sebelas bulan, dan delapan hari masa hidupnya. Lalu fakta lainnya adalah, Bian merasa dia sering kali membutuhkan eksistensi Ajeng, sejak hari di mana gadis itu mulai andil dalam upaya-upaya penyelesaian masalah-masalah hidupnya.

Ajeng tidak pernah keberatan kala Bian bercerita panjang kali lebar mengenai apa yang dia suka dan benci saat berada di rumah. Ajeng tidak keberatan kalau-kalau dia harus memberi saran dan masukan bagi Bian perihal masalahnya dengan Mama atau Papa, meski pada kenyataannya hal itu mungkin menyinggung perasaan Ajeng, mengingat apa yang sudah terjadi dalam keluarganya. Lalu sebut Bian bodoh, dia akan terima. Karena menurut Bian, menaruh perasaan untuk Diajeng Pramesti bukanlah sebuah kesalahan. Bian hanya merasa, kalau pada dasarnya dia lah satu-satunya kesalahan di sini.

Tok tok tok!

Tiba-tiba suara pintu diketuk membuyarkan keterdiaman Bian. Dia beranjak dari kursinya seketika. Kemudian, pintu yang terbuka menampilkan sosok wanita paruh baya di baliknya. Budhe Lasih datang membawa makan malam.

Bian bergeming. Bodohnya dia berencana mogok makan demi mengemis belas kasih Mama, namun justru Budhe Lasih yang terketuk pintu hatinya.

“Mas, ini cepet dimakan. Budhe mau cuci piring.”

“Mama mana?” tanya Bian penasaran.

“Ibu, sama Bapak udah makan malem dari tadi. Sekarang Ibu lagi di kamar, kalau Bapak sih, Budhe gak tau, Mas. Tadi keluar naik mobil.”

Cukup lama Bian terdiam. Menatap mata Budhe Lasih, dan sesekali melihat makanan yang beliau bawa menggunakan nampan kesayangan Mama. “Taro di meja makan aja Budhe, nanti Bian ke sana—sama Mama.” Bian berpesan demikian, sebelum akhirnya beringsut pergi ke luar kamar dengan sebuah tongkat kruk yang dia sambar lalu diapit di ketiaknya.

Sementara Budhe Lasih yang ditinggalkan begitu saja, diam-diam menahan sebuah tawa. “Mas Bian, Mas Bian ... pasti berantem lagi sama Ibu, Bapak,” kata Budhe Lasih, lalu geleng-geleng.


Saat sampai di depan pintu kamar Mama, Bian sadar kalau ini mungkin akan jadi satu-satunya maaf yang tersisa. Pasalnya sudah berkali-kali dia membuat Mama marah, dan mungkin juga setelah ini, tindakan yang Mama ambil bisa saja menendangnya dari rumah.

Diiringi deru napas yang masih tersengal-sengal akibat berjalan menggunakan kakinya yang masih pincang—tangan Bian terulur. Mengetuk pintu kamar Mama dengan rasa harap-harap cemas.

Tok! Tok! Tok!

“Mama...,” kata Bian lirih. Namun, yang dia dapati hanya sebuah keheningan.

Tok! Tok! Tok!

“Mama, ini Bian ... Bian mau minta maaf, Ma.” Sedetik, dua detik—rupanya kalimat itu belum cukup untuk mengetuk pintu hati Mama. Mama tak kunjung merespon, dan Bian menarik napas panjang. Matanya terpejam sejenak, mengingat kembali bagaimana raut wajah Mama yang tampak sangat kecewa ketika mereka di rumah sakit tadi.

Sesak. Dada Bian seketika rasanya sakit. Jauh lebih sakit ketimbang saat cinta pertamanya ditolak mentah-mentah oleh Ajeng. Bahunya terkulai lemas, sesaat sebelum sebuah bulir air matanya tiba-tiba menetes. Cengeng. Perasaan emosional Bian mulai menjalar keseluruh tubuh sepertinya, sebab detik kemudian dia berani mengetuk pintu kamar Mama lebih kencang dari sebelumnya.

“Bian minta maaf, Ma!”

“Bian salah, Bian minta maaf!”

“Bian janji gak bakal ngelakuin kesalahan ini lagi, tapi tolong buka dulu pintunya, Ma!”

Sambil terus berteriak gaduh, Bian mengetuk pintu kamar Mama. Sesekali dia kumpulkan asanya yang mulai jatuh berserakan. Bian enggan beranjak sampai Mama menemuinya.

Lalu persis seperti yang dia harapkan, suara pintu kamar yang berderit terdengar setelahnya. Bian yang semula menunduk, kini mendongak seketika. Terperanjat, sebab Mama tiba-tiba saja berdiri di hadapannya dan masih dengan pakaian yang sama, namun dengan penampilan yang sedikit berantakan. Diam-diam Bian mencuri tatap mata Mama. Ada jejak air mata di sudut pipinya—membuat Bian kembali digerayangi oleh sebuah perasaan tak nyaman.

Mama sendiri hanya mematung. Menatap Bian dengan tatapan kosong.

“Susah punya anak laki-laki....” Mama akhirnya membuka suara meski sedikit gemetar. “Sekarang kamu maunya gimana? Kamu mau apa ke sini? Udah sana kabur aja lag—” Sarkasnya perkataan Mama terjeda seketika, tatkala Bian sekonyong-konyong mengenggam tangannya.

“Bian minta maaf, Ma.”

Mama bergeming.

“Bian minta maaf udah buat semua orang khawatir—”

“Mama gak khawatir.” Mama menimpali. Membalas bagaimana cara Bian memotong kalimat Mama sebelumnya.

Kemudian sepasang mata milik Bian lagi-lagi memburam. Pekat, dan terasa penuh. Hanya satu kalimat, namun dampaknya luar biasa untuk Bian. Sementara Mama berpaling tanpa sedikitpun rasa empati, bibir mencebik—tepat sebelum dia berlutut dan memeluk kaki Mama hingga samar-samar terdengar suara isakan tangis yang terkesan mendramatisir suasana.

“Bian minta maaf, Ma! Bian udah janji sama diri Bian sendiri kalau ini yang terakhir. Bian janji ini terakhir kalinya Bian bikin Mama kecewa, Ma. Bian minta maaf....” Sembari memeluk kaki Mama sekuat tenaga, Bian berkata demikian.

Malam itu keadaan ruang keluarga di depan kamar Mama sebelumnya sepi. Sebab Papa pergi entah ke mana, dan selain Mama yang berada di dalam kamar—hanya ada Bian dan Budhe Lasih di lantai atas. Tapi, kini jadi lebih gaduh karena Bian melakukan drama tangisan di kaki Mama. Bian sendiri yakin kalau Budhe Lasih sedikit banyak menguping dari dapur. Entah saat ini apakah beliau tengah menertawai tingkah Bian atau justru merasa jengah—Bian masa bodoh.

Sebab hanya dengan begitu, Bian baru berhasil menarik kembali simpati Mama. Membuat Mama melihatnya dengan tatapan iba. Pasalnya menurut sepengetahuan Mama, Bian belum pernah terlihat semenyesal ini untuk kesalahannya.

Helaan napas gusar keluar dari mulut Mama. “Kamu paling jago kalau soal jual kesedihan ke Mama, Bi. Kamu juara satunya.” Lantas Mama membungkuk. Menangkup kedua sisi dari pundak Bian yang sejak tadi memang sudah menunggu Mama melakukan hal tersebut.

“Bangun.”

Bian menyedot cairan ingusnya yang hampir saja menetes ke luar. “Susah, Ma,” sahutnya. Kemudian dengan tampang tak berdosa, Bian merentangkan kedua tangannya tinggi-tinggi dengan harapan supaya mendapat bantuan dari Mama. Dan, ya! Mama seperti biasa, mudah luluh. Dibantunya Bian berdiri tegak, namun saat Mama ingin kembali membungkuk demi meraih kruk milik Bian—bocah itu lebih dulu memeluk Mama erat-erat seperti takut ditinggalkan.

“Bian minta maaf. Bener-bener minta maaf.”

Ibarat ditikam sebuah benda tajam, dada rasanya sakit. Suara lirih Bian berbisik di belakang telinga Mama. Kedengarannya getir. Mama sendiri tahu kalau meminta maaf pada orang tua itu sulit sekali rasanya, tapi Bian fasih. Seperti seketika hilang sudah rasa kesal Mama pada Bian.

“Iya ... Mama maafin.” Kemudian dekapan hangat Mama membalas Bian. Atmosfer persis seperti bertahun-tahun yang lalu, saat Bian masih duduk di bangku TK. Nyaman. Pelukan Mama itu nyaman.


Ingat soal apa yang Bian katakan pada Budhe Lasih beberapa saat yang lalu? Yah, di sini lah Bian sekarang. Duduk pada sebuah kursi di sisi meja makan, berteman Mama yang saat ini tengah cosplay menjadi dayang-dayang. Sebut Bian anak kurang ajar, itu bukan masalah. Pasalnya baru beberapa menit yang lalu dia menangis bombay di kaki Mama—sekarang sudah cengangas-cengenges sebab disuapi makan oleh Mama di jam setengah sepuluh malam.

Dengan lahap dan perasaan senang yang menggebu-gebu, Bian menyantap makan malamnya tanpa peduli kalau juga ada Budhe Lasih di sana yang sibuk mencibir sejak tadi.

“Mas Bian kayak anak kecil aja.” Budhe Lasih menyodorkan segelas air yang baru saja dituang dari dispenser kulkas.

Mama tergelak. “Emang masih bayi ini, mah, Budhe!” Begitu kata Mama.

Sepanjang makan, Bian full senyum—sebelum akhirnya suara mobil Papa terdengar samar-samar di halaman rumah. Agaknya dia masih panik, takut kalau harus dengan bertemu Papa.

Klek!

Duduk di ruang makan yang teknisnya menghadap langsung dengan pintu utama, membuat Bian dapat melihat presensi Papa secara terang-terangan. Ada sekantung kresek putih yang Papa tenteng di tangan kanannya.

“Mas?”

Papa berjalan mendekat ke arah meja makan. Setiap langkah yang Papa ambil, sukses menambah degup jantung Bian semakin cepat. Wajah yang dingin, ditambah rahang yang sepertinya masih mengeras sepert saat Bian melihat Papa di rumah sakit tadi mampu membuat senyum Bian luntur seketika.

Sementara itu, di sisi lain ada Mama yang justru semakin menarik sudut bibirnya. “Apa itu, Mas?” tanya Mama.

“Es krim.” Lalu Papa melengos, sesaat setelah menyerahkan bungkusan es krim ke tangan Mama. Papa berjalan menjauh, bahkan mengabaikan dua orang lainnya. Seakan tak peduli dengan eksistensi Bian sedikitpun.

“Mas?? Kenapa?” pekik Mama secara spontan.

“MARAHNYA KURANG LAMA, RA!”

Bian terus menunduk sejak beberapa saat lalu. Diam membisu, mendengar seribu satu ocehan yang keluar dari dalam mulut Zaid. Mungkin sebentar lagi akan habis riwayat mereka bertiga, mengingat sang papa, dan barangkali teman-teman dari orang tuanya itu ikut datang.

“Lagian elo tuh—ah! nekat banget, Anjing!” Zaid menarik napas, kesal. “Elo juga, Ji. Mau-mauan aja disuruh sama dia demi duit.”

Mendengar bagaimana Zaid marah-marah, sembari menyalahkan dirinya, lantas Ozi berdecak. Dalam benak dia kesal, toh Zaid juga pada akhirnya bersedia ikut tanpa paksaan. “Terus apa bedanya sama lo?”

Kemudian, di waktu yang bersamaan dengan Bian mengangkat dagunya, dia melihat bagaimana Zaid merotasikan mata ditambah raut wajah sinis yang tercetak jelas.

“Jelas-jelas gue ikut karna lo sama Bian!” seru Zaid.

“Ya, gua juga karna Bian.”

“Karna duit!” kata Zaid mengkoreksi perkataan Ozi.

Menyaksikan perdebatan sengit itu, bahu Bian merosot. Sadar kalau masalah yang satu ini lagi-lagi karena ulahnya. Jangankan ikut menimpali keduanya, menatap wajah Zaid dan Ozi lebih lama saja Bian tidak mampu. Bian terus mengingat pesan terakhir yang Zaid dapat dari sang papa. Dia bergidik ngeri.

Tiba-tiba saja suasana mendadak hening. Zaid dan Ozi berhenti di tengah-tengah perdebatan mereka begitu saja. Lalu, detik selanjutnya Bian baru tersadar kalau presensi kedua orang tuanya lah yang membuat atmosfer di sekitar mereka berubah seketika. Sementara Zaid dan Ozi saling menyenggol satu sama lain, Bian justru diam dan mematung di tempat. Menatap garangnya wajah Papa yang perlahan tapi pasti kian mendekat. Tepat di belakang Papa, ada Mama yang kelihatannya tidak bersemangat. Mama marah? Tentu.

“Bian!” Baik Zaid maupun Ozi refleks menoleh ke arah Bian. “Ayo pulang,” kata Papa dengan nada paling dingin yang pernah Bian dengar.

Sorot mata Bian menelisik. Mengamati situasi, kira-kira seperti apa suasana hati Papa dan Mama saat ini. Kemudian, sesaat, selepas kedua manik matanya bertemu dengan milik sang Papa, suara bariton Papa kembali menginterupsi.

“Kuping kamu udah gak berfungsi, ya? Papa bilang ayo pulang!” seru Papa yang kemudian menarik bahu Bian dengan paksa.

Sementara Bian, saat dibentak oleh Papa seperti barusan bukannya takut, justru sibuk memberontak. Berusaha melepas cengkraman tangan Papa pada bahunya. “Sebentar, Pa, Bian mau pamit sama Ajeng, Pa!” rengeknya.

“Gak ada. Pulang sekarang!”

“Sebentar aja, Pa!”

Plak!

Tubuh Bian gontai seketika. Kruk bantu jalan yang semula dia pegang erat-erat pun terlepas. Tangannya spontan menyentuh pipi yang baru saja menjadi sebuah sasaran paling empuk atas kekesalan Mama. Bian membisu. Ada jejak kemerahandi pipinya, dan panas.

Zaid, Ozi, juga Papa memilih untuk bergeming tatkala melihat bagaimana ekspresi Mama setelahnya.

“Setiap kali, Bian—setiap kali kamu ngelakuin kesalahan, Mama selalu bantu kamu lolos dari Papa. Setiap kali kamu bohongin Mama, selalu Mama maafin. Semua yang kamu mau, selalu Mama penuhin sebagai orang tua. Mama gak pernah nuntut banyak dari kamu, SABIAN!” Mama menggertak. Saking pekatnya kekesalan Mama, suara napasnya bahkan seakan gemetar. “Tapi pernah gak sekali aja, kamu mikirin gimana Mama? Kamu bahkan gak pamit waktu ke sini, padahal semua orang di rumah khawatirin kamu!”

“Ma....”

“Kamu mikir, gak?!” Napas Mama tersengal-sengal. “Kok bisa, sih, kamu lebih mikirin orang asing daripada keluarga kamu? Pamit sama Ajeng kamu bilang?”

Lalu tawa sumbang Mama mengudara. Mama meraih kerah pakaian Bian dengan kasar. “Kamu kepikiran gak buat pamit sama Mama, Bi?? Enggak! Mama udah hampir gila cuman karena denger kabar kamu tiba-tiba ada di rumah sakit!”

“Ra, udah, ayo pulang.” Papa akhirnya melerai.

Diam-diam air mata Bian mengalir. Diam-diam ada banyak pasang mata yang memperhatikannya sejak tadi, karena praktisnya mereka tengah berada di sebuah lorong rumah sakit yang sudah pasti dilalui banyak orang.

Papa merangkul pundak Mama, sembari sesekali membari usapan menenangkan.

“Ozi, tolong anterin Zaid pulang dulu, di dicariin sama orang tuanya.”

“Iya, Om.” Ozi mengangguk-angguk patuh.

Selanjutnya, Papa melirik pada Bian yang sepertinya sudah hampir terisak, namun masih dia tahan. “Kamu kalau mau pulang, sekarang. Kalau gak mau, tidur aja di jalanan mulai malem ini.”