cakgrays

Tidak ada kegiatan khusus yang Bian lakukan malam ini. Hanya menatap ke luar jendela kamar. Meninjau kira-kira ada berapa banyak bintang yang tengah eksis di atas langit Ibu Kota.

Bian berdiri dengan kruknya. Berjalan mendekat ke arah jendela sambil sesekali meringis sakit. Dalam benak bertanya-tanya, kapan kaki kanannya akan kembali normal. Namun, agaknya masih cukup lama sebab, rasa sakit yang muncul acapkali dia berjalan masih sangat pekat.

“Bian murung terus, kenapa?”

Bian menoleh cepat, kemudian buru-buru melukis sebuah senyum pada bibirnya. Ada Mama yang berkunjung ke kamar sembari membawa sebuah mangkuk, beralaskan nampan kesayangan. “Waktunya makan putih telur, Bi. Biar cepet balik kayak semula lagi kakinya.” Mama berkata demikian, sebelum akhirnya tersenyum.

Sementara itu, di hadapannya, Bian mencebik. Hari-harinya belakangan ini seolah disponsori oleh putih telur. Bosan. Sudah sampai mual setiap kali Bian mencium aromanya.

Mama yang paham begitu melihat ekspresi Bian, lantas ikut mencebik. “Ayo, dong. Ini, kan, demi kesembuhan kaki kamu. Kalau bisa diwakilin pasti udah Mama wakilin makannya—tapikan gak bisa.”

“Minimal Mama sambelin telurnya.”

“Nanti ilang khasiatnya!”

Malas mulai perdebatan, akhirnya Bian membuka mulutnya dengan pasrah. Malas melihat, dan menyentuh makanan wajibnya itu—maka, disuapi Mama adalah solusinya.

“Mama gak pinter baca suasana hati orang, tapi Mama paham kalau muka anak Mama kusut kayak gini berarti lagi ada yang dipikirin.” Mama meletakan nampannya di atas sebuah nakas yang dekat dengan jendela kamar itu. Kemudin, satu suapan masuk ke dalam mulut Bian. “Bian kangen jalan kayak biasa, ya? Atau apa, Bi? Cerita sama Mama, biar rasanya lebih baikan,” kata Mama.

“Gak ada.”

“Dulu, waktu Mama masih sekolah—Mama cuman punya mendiang nenek kamu. Mama suka cerita banyak hal sama beliau. Mulai dari hal paling penting, sampai ke hal yang sebenernya sama sekali gak penting. Makanya, waktu masih ada beliau hidup Mama rasanya ringan banget! Tapi, waktu Mama kuliah, nenek kamu pergi nyusul kakek. Mama ngerasa nyesel, Bi. Mama ngerasa masih ada banyak hal yang mau Mama ceritain ke beliau ... dan, waktunya gak ada lagi.” Mama menarik napas panjang. “Kamu sekarang masih punya Papa sama Mama, Bi. Mungkin awalnya emang susah buat terbuka. Pasti rasanya aneh, ya? Tapi, manfaatin waktu yang kamu punya sebaik mungkin, Sabian.”

Yang terjadi selanjutnya adalah Bian semakin bungkam seribu bahasa. Mulutnya yang semula aktif mengunyah, kini diam. Mendengar kalimat terakhir Mama barusan membuat sebuah perasaan aneh menggerayangi benaknya. Dunia Bian seakan berhenti mendadak.

“Bian gak suka denger Mama ngomong gitu,” katanya dengan nada kesal.

Mama yang mendapat tatapan mengintimidasi dari Bian, sontak mengerutkan keningnya. Mencoba mengingat-ingat apakah ada yang salah dari ucapannya beberapa saat lalu. “Mama minta maaf kalau kedengerannya kayak maksa....”

“Enggak, bukan itu! Bian gak suka denger Mama bahas waktu, kesempatan—atau apalah itu. Rasanya ... aneh....”

Sebuah senyuman tercetak jelas di wajah Mama. “Lucu, deh.”

“Apanya?”

“Mama punya anak cowok yang udah sebesar ini, tapi masih suka bingung sama perasaan sendiri. Lucu, gemes! Padahal mah bilang aja kalau Bian takut ditinggal Mama.” Sambil berkata demikian, tangan Mama kembali memasukan putih telur ke dalam nulut Bian. Sementara Bian mendengkus. “Oh, iya! Bian bosen gak di rumah aja kayak gini?”

Bian mengangguk. Sudah pasti jawabannya 'iya'.

“Besok niatnya Papa mau bawa kita main ke luar—” Belum sempat Mama menyelesaikan kalimatnya, Bian lebih dulu tersedak putih telur. “PELAN-PELAN, DONG, NGUNYAHNYA!” seru Mama seketika.

“Besok banget?!”

“Iya, besok. Emangnya kenapa?”

Bian sejatinya tahu kalau Papa merencakan hal demikian, maka sudah pasti dirinya sengaja mengosongkan jadwal sejak jauh-jauh hari. Bian sejatinya juga tahu, kalau kesempatan untuk menghabiskan waktu seharian bersama Papa mungkin hanya sekitar 2% dari hari-hari sibuknya mengurus kantor. Namun, lebih daripada itu, Bian ingat perihal janji yang sebelumnya sudah disepakati olehnya.

Keheningan melanda, Bian masih sibuk menghadapi konflik batin sambil terus mengunyah putih telurnya.

“Kenapa, Bi?” tanya Mama penasaran. Pasalnya sejak tadi Bian terus menatap langit-langit kamar tanoa mengatakan apapun. Mama takut. Takut Bian kerasukan atau semacamnya.

“Ma....” Bian memandang Mama dengan sorot mata serius. “Bian minta maaf, tapi kayaknya besok gak bisa.”

“Kenapa?” Gurat kekhawatiran seketika muncul pada wajah Mama.

Karna Bian gak bisa batalin janji sama Om Yudhis, buat pergi sama Papa—Bian pilih pura-pura sakit aja. Maaf.

“Bian kayaknya mau pilek.”

Layaknya kumpulan benang jahit yang saling melilit satu sama lain, wajah Bian kusut. Tadi saat jam pelajaran terakhirーGeografi lintas minat, sialnya para murid diberi tugas mencatat sedikitnya dua belas halaman sebelum berhadapan dengan ulangan kenaikan kelas, minggu depan. Bian yang praktisnya sebagai penyebab kemalangan yang menimpa tangan kanan Zaid, lantas mau tak mau harus bertanggung jawab. Sebanyak, total dua puluh empat halaman dia tulis tangan. Pulang terlambat pun menjadi jalan keluar paling aman, sebab Bian harus mengumpulkan buku tulis miliknya, juga milik Zaid ke ruang guru sebelum sekolah di tutup.

Ngomong-ngomong soal Zaid. Bocah laki-laki itu sudah pulang lebih dulu. Bukan karena kadar kesetiawanan Zaid mulai berkurang, melainkan karena Bian lah yang memintanya. Hitung-hitung sebagai penebusan dosa, dan upaya mengambil hati orang tua Zaid kembaliーterutama mamanya.

“Sabian?”

Bian yang baru melangkah keluar dari ruang guru dengan susah payah, spontan menoleh saat namanya di panggil. Rupanya itu adalah sang wali kelas yang berdiri tidak terlalu jauh di belakangnga.

“Saya?” kata Bian memastikan.

“Iya, Sabian Aditama!” Kemudian, dari belakang sang wali kelas, Bian dapat menangkap presensi Ajeng.

Bian mengangguk, sebelum akhirnya mendekat. Kembali memasuki ruang guru tersebut.

“Ini kan jadwalnya Ajeng kasih laporan kas ke saya, terus saya liat ... ternyata ada satu orang yang belum bayar. Iya, kamu.”

Lantas kening Bian berkerut seketika. Seingatnya, perihal uang kas ini sudah dia titipkan pada Zaid sebelumnya. Dengan tampang penuh kebingungan, Bian melempar tatapan pada Ajengーperempuan yang belakangan ini sangat dia hindari. “Gue nitip ke Zaid, dia gak bayarin?” katanya sedikit berbisik.

Ajeng menggeleng mantap. “Zaid bayar punya dia sendiri.”

“Anjー” Bian menarik napas panjang. Orang gila mana yang berani mengumpat di depan wali kelas? Bian yakin kalau ini adalah satu dari sekian banyak kejailan yang biasa kawannya itu lakukan. Tapi kenapa harus ada sangkut pautnya dengan Ajeng dan sang wali kelas?! Bocah itu mendengkus kemudian, sebelum berakhir pasrah dan merogoh ke dalam sakunya.

“Ini ya ... dua puluh, kan?” Bian berkata dengan pasrah.

Sementara itu Ajeng mengangguk seraya meraih lembar uang kertas bernilai dua puluh ribu rupiah dari tangan Bian.

Ada sesuatu yang seakan berdesir tatkala ujung dari jemari mereka tak sengaja saling bersentuhan. Canggung. Bian mematung. Sepersekian detik, netra mereka bertemu tatap membuat Ajeng refleks menarik tangannya lebih dulu.

“Makasih ... gue catet, ya.”

Bian mengangguk sampai ekor matanya tak sengaja menangkap sosok salah seorang guru bimbingan konseling di sekolahnya. Bian baru ingat ada suatu hal yang penting, yang perlu dia tanyakan.

“Saya permisi duluan....” Usai mengatakan itu dan memberi salam pada keduanya. Bian memutuskan untuk mengejar pria paruh baya yang berada tak jauh di depannya sambil terpincang-pincang.

“Pak!” seru Bian, sambil napasnya tersengal-sengal.

“Eh, pelan-pelan! Nanti kamu jatuh terus kenapa-napa, sekolahan ini jadi horor!”

“Bapak mau ke mana, Pak?”

“Ya mau pulang, orang udah sore.... Kamu ngapain manggil saya?”

Sore itu langit memang sudah mendung sejak beberapa saat lalu. Anginnya kencang, berhembus dan menusuk ke dalam sendi-sendi Bian. Sepertinya akan segera turun hujan lebat.

Bian menggaruk pangkal hidungnya yang tidak gatal. “Saya sama temen saya baru aja kecelakaan motor, Pak. Kaki saya sampai pincang gini, ya karna kecelakaan itu.” Pandangannya turun ke bawah. Menatap sebuah gips yang masih melekat sempurna pada kaki kanannya.

“Terus?”

“Saya sendiri gak masalah. Tapi, tangan kanan temen saya masih belum bisa digerakin, Pak. Beberapa hari kebelakang ini, masih saya yang bantuin dia nulis. Yang mau saya tanyain, kira-kira bisa gak misalkan pas ulangan, saya sama dia duduknya sebelahan? Ini bentuk solidaritas saya, Pak.” Panjang kali lebar penjelasan Bianーagaknya masih belum cukup meyakinkan hati lawan bicaranya kali ini. Guru bimbingan konseling itupun menggeleng.

“Kamu jadi tau jawaban dia, dong?”

Ragu-ragu Bian mengangguk.

“Gak boleh. Pasti ada solusi lain, nanti biar saya bahas sama walas kamu dulu, ya. Nama temen kamu siapa?”

“Zaid, Pak.”

Sebuah guratan seketika tergambar jelas pada kening pria paruh baya itu. “ZAID ANAK IPA YANG NUAKAL ITU?! YANG SERING KELUAR MASUK RUANGAN SAYA? IYA?!”

Bian meneguk saliva diam-diam. Tenggorokannya tiba-tiba saja mengering tanpa sebab. “Masa iya, Pak?” Dengan tampang polos yang sengaja dibuat-buat, Bian menjawab. Bukannya Bian tidak tahu-menahu soal ini. Dia hanya cari aman.

“Iya! Zaid ituーADUH! Saya langsung pusing kalau bahas dia. Kamu cari temen yang agak bener dikit, muka kamu masih polos gitu keliatannya. Jangan sama Zaid! Dulu ibunya ngidam apa sih pas hamil dia? Aktif banget.” Sementara beliau sibuk menghardik Zaid yang bahkan tidak ada di sanaーBian justru mengsam-mengsem. “Jangan-jangan kalian nyium aspal gara-gara dia?”

Bian menggeleng semangat. “Emang lagi sial aja, Pakーakhhh!”

“Kenapa?!”

“Kaki saya keram, Pak.”

“ADUH TERUS GIMANA? MAU SAYA GENDONG?”

Bian merotasikan matanya diam-diam. “Enggak, Pak. Saya mau pulang aja, udah dijemput kayaknya. Permisi.”

Tanpa menunggu respon dari lawan bicaranya, Bian melenggang pergi. Kalau boleh jujurーhati kecil Bian tak terima kala mendengar seseorang menggosipi sobat karibnya itu.

“Julid banget anjir!” gumam Bian sambil susah payah menyesuaikan langkah kakinya dan tongkat kruk.

Samar-samar suara tetesan air hujan mulai terdengar. Bian merogoh sakunya, mengeluarkan benda pipih dari dalam sana. Pesan terakhir yang dia kirim untuk Mama rupanya sudah dibalas. Kemungkinan saat ini Mama sudah ada di depan pintu gerbang sekolah, atau bisa saja tiba-tiba muncul di hadapannyaー

“Bian!”

Nah kan! Dengan pakaian super simple, dan rambut dikuncir seadanya, tangan Mama melambai sembari kakinya berjalan mendekat.

“Sini tasnya, biar Mama yang bawa,” kata Mama.

Bian spontar memberi gestur penolakan. “Masih bisa sendiri, Ma.”

“Siniin!” Mendengar seruan Mama, satu-satunya hal yang dapat Bian lakukan adalah pasrah.

Kemudian Mama menuntun Bian berjalan menuju mobil sambil menggendong tas milik Bian yang mampu membuat punggung Mama tegap seketika karena saking beratnya.

Saat keduanya baru sampai di tempat di mana mobil Mama terparkirーhujan turun dengan sangat derasnya. Mengguyur jalanan, membasahi gedung sekolah. Buru-buru Mama membantu Bian masuk ke dalam mobil, dan duduk di kursi penumpang, sebelum Mama turut masuk dan mengisi kursi kemudi.

“Astaga, untung timingnya pas!”

Bian tertawa. Benar juga. Kalau mereka telat barang semenitpun, agaknya pakaian mereka kini sudah basah kuyup. Sesuatu yang terpantul pada kaca spion menarik atensi Bian seketika. Menghentikan tawa yang baru saja sepersekian detik lalu dia mulai.

Di sana. Tepat di bawah hujan yang kapasitasnya lumayan tinggiーberdiri seorang perempuan tanpa mantel hujan sembari mengusap wajahnya di samping sepeda bergaya klasik. Bian yakin, Diajeng Pramesti pasti tengah kedinginan. Bahkan tas yang dia kenakan saat itu, tampaknya sudah menampung air hujan di dalamnya. Tapi kenapa? Bukannya Ajeng punya pilihan untuk berteduh di gedung sekolah?

Tanpa menyadari keberadaan Bian yang tengah menatapnya dari dalam mobilーAjeng menaiki sepedanya. Mengayuh tanpa semangat, sambil sesekali mengusap wajahnya.

“Ya ampun kasian banget itu!” pekik Mama saat tak sengaja melihat Ajeng melintas di hadapan mobil yang mereka tumpangi. “Temen kamu bukan?”

Bian menatap Mama lamat-lamat. Rupanya sang mama sudah lupa dengan sosok perempuan yang sempat mencuri hati anak laki-lakinya itu.

Bian bergidik. “Ayo pulang, Ma. Takut makin deres hujannya. Licin.” Dia berkata demikian. Seolah tak lagi peduli dengan presensi mantan pujaan hati.

Ratu ingat, dulu saat satu hari pasca pernikahannya dan Jeffrey, jangankan dipangku seperti saat iniーdisentuh barang seujung jari pun Ratu sudah histeris. Takut Jeffrey macam-macam, katanya. Konyolnya ia bahkan membatasi ranjang mereka dengan sebuah guling pada setiap malam yang mereka lalui. Ratu ingat, kala itu Jeffrey bahkan sampai merajuk. Suaminya itu kerap mencari-cari akal supaya guling yang ia ibaratkan tembok besar China itu dapat segera hilang eksistensinya dari atas ranjang mereka.

Kini, semuanya sudah berubah. Setelah bertahun-tahun menikah, Ratu semakin sadar kalau yang namanya keintiman dalam rumah tangga itu juga sangat penting. Menikah bukan cuma perihal makan bersama, menyiapkan pakaian suami, menjadi teman berkeluh kesah, atau membuat hidangan makan malam. Tentu saja, bisa-bisa Jeffrey tertarik pada perempuan lain di luar rumah, hanya karena ia dan suaminya itu jarang melakukan skinship.

Ratu memandang dalam manik mata Jeffrey yang saat ini tengah duduk sembari memangku tubuhnya. Spontan pria itu memberinya sedikit senyum, sembari tangannya perlahan tapi pasti menyusup ke dalam piyama yang malam ini melekat pada tubuh Ratu.

“Saran aku, kalau niatnya mau nonton ya gak usah pangku-pangkuan gini,” kata Jeffrey, meski tangannya masih setia menjelajah di pinggang Ratu.

Sementara itu, Ratu sibuk menahan lenguhan yang bisa kapan keluar saja dari bibirnya. “Aku cuman pengen dipangku,” sahut Ratu. Namun, setelah itu ia melingkarkan kedua tangannya di leher Jeffrey.

Ia bohong. Kenyataannya, yang ingin Ratu lakukan kali ini lebih dari itu.

“Yakin?”

Ratu refleks menggeliat tatkala Jeffrey secara tiba-tiba menempelkan bibir ke telinganya. Naik dan turun, menyentuh sepanjang lekuk pipi Ratu dengan sensual. Ratu dapat merasakan senyum Jeffrey di balik itu. Ratu juga dapat merasakan dengan jelas, bagaimana udara yang berasal dari napas Jeffrey menyapu permukaan kulit pada lekuk lehernya. Hangat.

“Masih yakin?” bisik Jeffrey.

Alih-alih menjawab, Ratu justru mencengkram kuat pundak suaminya itu. Diam-diam Jeffrey sengaja menggigit cuping telinga Ratu, sampai tubuh Ratu bergidik seketika.

“Wangi, Ra. Badan kamu....”

Di sela-sela perasaan melayangnya, Ratu terkekeh. “Mandinya sehari dua kali.”

“Aku bikin mandi lagi abis ini, marah gak?” Jeffrey menarik mundur wajahnya yang semula bersembunyi pada lekuk leher Ratu.

“Marah, lah! Nanti kalau aku kena rematik, gimana?”

“Yah....” Jeffrey mencebik. Raut wajah serta sorot matanya seakan menggambarkan betapa kecewanya ia saat ini. “Terus ini gak bisa dilanjut ya?” katanya hati-hati.

Ratu menangkup kedua pipi Jeffrey. Menatap mata laki-laki itu sekali lagi, sebelum akhirnya ia mendaratkan sebuah kecupan singkat pada bibir suaminya itu. “Bisa dilanjut kalau kamu mau.”

Secara naluriah tangan Jeffrey sontak menarik tengkuk Ratu. Menyatukan kedua belah bibir mereka secara intens. Menyesap bibir ranum Ratu dengan penuh perasaan. Satu detik, dua detik, banyak waktu berlalu, sampai-sampai Ratu hampir saja kehabisan napas jika tak membuka mulutnya. Dan, pada kesempatan ituーlidah Jeffrey sukses menorobos masuk ke dalam. Mereka saling memagut satu sama lain, hingga saliva Ratu yang sudah tercampur milik Jeffrey tanpa sadar mengalir keluar.

Ratu dibuat melenguh saat tangan Jeffrey kembali menyusup masuk ke dalam piyamanya. Putingnya menegang di balik kain, dan menempel sempurna pada dada Jeffrey sebab sebelumnya Ratu sengaja menanggalkan bra yang ia kenakan, seperti yang biasa ia lakukan di setiap malam.

Ratu mencengkram pundak Jeffrey kuat-kuat saat laki-laki itu menarik rambutnya ke belakang. Tidak begitu kasar, namun cukup kuat sampai-sampai Ratu mendongak dibuatnya. Lantas, wajah Jeffrey turun ke bawah. Yang sebelumnya ia fokus dengan bibir Ratu, kini beralih mencumbui setiap sudut pada leher Ratu. Tangannya yang satu masih terus menahan kepala Ratu agar tetap mendongak dan memudahkannya untuk meninggalkan beberapa bercak merah keunguan di sana, sementara tangan yang lain bergerak secara acak menjelajah pangkal paha hingga bagian belakang Ratu.

Sementara itu, yang disentuh sibuk mengatur deru napas dan detak jantungnya. Tenggorakan Ratu mulai kering, dan kulitnya terasa seakan-akan terbakar oleh setiap sentuhan yang Jeffrey berikan.

Ratu menjatuhkan tangannya tepat di dada Jeffrey. Berniat menghentikan kegiatan suaminya itu. Dan, berhasil.

“Apa?!” tanya Jeffrey dengan nada kesal.

Ratu tersenyum jahil. “Ada dongkrak naik di bawah pantat aku,” katanya sembari menggerakan pinggul berlaga gelisah.

Jeffrey mengerang kasar, “itu ereksi, Ra!”

“Dongkrak.”

“Itu titit!” timpal Jeffrey.

Gelak suara tawa Ratu pun tak tertahankan. Lucunya, bahkan di saat-saat seperti ini Jeffrey masih berkenan menimpali setiap perkataannyaーmeski dengan wajah memerah.

“Pintunya, Mas.... Belum dikunci, takut Bian tiba-tiba ngetok.” Ratu mengusap lembut sudut bibir Jeffrey yang basah karena salivanya. “Tunggu dulu, aku mau ngunci pintu,” katanya.

Lalu dengan gerakan cepat, Ratu bangun dari pangkuan Jeffreyーkursi ternyamannya. Beranjak menuju pintu kamar mereka, menyisakan Jeffrey yang masih terduduk manis di atas sofa berlapiskan kain beludru, sambil menatap sebuah gundukan yang diciptakan oleh sesuatu dari balik celananya.

Ratu memutar kunci kamarnya sebanyak dua kali, sebelum ia memastikan pintu itu sudah benar-benar terkunci rapat. Dan, tepat saat ia memutuskan untuk berbalikーJeffrey sudah lebih dulu mengukungnya dari belakang. Menghirup aroma cinnamon yang menguar di sekitar tengkuk Ratu, membuatnya merinding seketika.

Detik berikutnya Ratu memutar tubuh, demi berhadapan langsung dengan Jeffrey. Tanpa memberi sebuah aba-aba, bibirnya mendarat lebih dahulu di bibir Jeffrey. Tangannya melingkar sempurna pada bahu lebar milik suaminya itu. Kemudian memiringkan kepala, seraya menekan tengkuk Jeffrey agar pagutan mereka lebih dalam.

Jeffrey tak tinggal diam. Tangannya naik dari pinggang menuju payudara Ratu. Menyentuh bagian sensitif yang ada di sana. Mereka sama-sama imbang.

Decakan demi decakan yang mereka ciptakan agaknya mampu meredam suara televisi yang masih menyala kala itu. Baik Ratu maupun Jeffrey tak acuh. Atensi mereka saat ini hanya untuk satu sama lain.

Jeffrey menarik tangannya. Perlahan-lahan turun ke bawah. Menjelajah perut hingga ke belakang paha Ratu, sebelum ia tarik kaki jenjang itu untuk melingkar di pinggangnya.

Ratu kembali melenguh tatkala bagian intinya menyentuh ereksi Jeffrey yang jauh lebih gila dari sebelumnya. Pinggangnya sedikit tersentak. Di bawah sana, seperti ada sesuatu yang sangat ingin keluar.

“Ra....” Jeffrey sibuk mengatur napasnya, bersamaan dengan Ratu. Dan, refleksnya membuat payudara Ratu menekan dadanya yang keras. “Pindah ke kasur ya?” Yang diberi pertanyaan lantas mengangguk.

“Boleh....”

Ratu ingat, dulu saat satu hari pasca pernikahannya dan Jeffrey, jangankan dipangku seperti saat iniーdisentuh barang seujung jari pun Ratu sudah histeris. Takut Jeffrey macam-macam, katanya. Konyolnya ia bahkan membatasi ranjang mereka dengan sebuah guling pada setiap malam yang mereka lalui. Ratu ingat, kala itu Jeffrey bahkan sampai merajuk. Suaminya itu kerap mencari-cari akal supaya guling yang ia ibaratkan tembok besar China itu dapat segera hilang eksistensinya dari atas ranjang mereka.

Kini, semuanya sudah berubah. Setelah bertahun-tahun menikah, Ratu semakin sadar kalau yang namanya keintiman dalam rumah tangga itu juga sangat penting. Menikah bukan cuma perihal makan bersama, menyiapkan pakaian suami, menjadi teman berkeluh kesah, atau membuat hidangan makan malam. Tentu saja, bisa-bisa Jeffrey tertarik pada perempuan lain di luar rumah, hanya karena ia dan suaminya itu jarang melakukan skinship.

Ratu memandang dalam manik mata Jeffrey yang saat ini tengah duduk sembari memangku tubuhnya. Spontan pria itu memberinya sedikit senyum, sembari tangannya perlahan tapi pasti menyusup ke dalam piyama yang malam ini melekat pada tubuh Ratu.

“Saran aku, kalau niatnya mau nonton ya gak usah pangku-pangkuan gini,” kata Jeffrey, meski tangannya masih setia menjelajah di pinggang Ratu.

Sementara itu, Ratu sibuk menahan lenguhan yang bisa kapan keluar saja dari bibirnya. “Aku cuman pengen dipangku,” sahut Ratu. Namun, setelah itu ia melingkarkan kedua tangannya di leher Jeffrey.

Ia bohong. Kenyataannya, yang ingin Ratu lakukan kali ini lebih dari itu.

“Yakin?”

Ratu refleks menggeliat tatkala Jeffrey secara tiba-tiba menempelkan bibir ke telinganya. Naik dan turun, menyentuh sepanjang lekuk pipi Ratu dengan sensual. Ratu dapat merasakan senyum Jeffrey di balik itu. Ratu juga dapat merasakan dengan jelas, bagaimana udara yang berasal dari napas Jeffrey menyapu permukaan kulit pada lekuk lehernya. Hangat.

“Masih yakin?” bisik Jeffrey.

Alih-alih menjawab, Ratu justru mencengkram kuat pundak suaminya itu. Diam-diam Jeffrey sengaja menggigit cuping telinga Ratu, sampai tubuh Ratu bergidik seketika.

“Wangi, Ra. Badan kamu....”

Di sela-sela perasaan melayangnya, Ratu terkekeh. “Mandinya sehari dua kali.”

“Aku bikin mandi lagi abis ini, marah gak?” Jeffrey menarik mundur wajahnya yang semula bersembunyi pada lekuk leher Ratu.

“Marah, lah! Nanti kalau aku kena rematik, gimana?”

“Yah....” Jeffrey mencebik. Raut wajah serta sorot matanya seakan menggambarkan betapa kecewanya ia saat ini. “Terus ini gak bisa dilanjut ya?” katanya hati-hati.

Ratu menangkup kedua pipi Jeffrey. Menatap mata laki-laki itu sekali lagi, sebelum akhirnya ia mendaratkan sebuah kecupan singkat pada bibir suaminya itu. “Bisa dilanjut kalau kamu mau.”

Secara naluriah tangan Jeffrey sontak menarik tengkuk Ratu. Menyatukan kedua belah bibir mereka secara intens. Menyesap bibir ranum Ratu dengan penuh perasaan. Satu detik, dua detik, banyak waktu berlalu, sampai-sampai Ratu hampir saja kehabisan napas jika tak membuka mulutnya. Dan, pada kesempatan ituーlidah Jeffrey sukses menorobos masuk ke dalam. Mereka saling memagut satu sama lain, hingga saliva Ratu yang sudah tercampur milik Jeffrey tanpa sadar mengalir keluar.

Ratu dibuat melenguh saat tangan Jeffrey kembali menyusup masuk ke dalam piyamanya. Putingnya menegang di balik kain, dan menempel sempurna pada dada Jeffrey sebab sebelumnya Ratu sengaja menanggalkan bra yang ia kenakan, seperti yang biasa ia lakukan di setiap malam.

Ratu mencengkram pundak Jeffrey kuat-kuat saat laki-laki itu menarik rambutnya ke belakang. Tidak begitu kasar, namun cukup kuat sampai-sampai Ratu mendongak dibuatnya. Lantas, wajah Jeffrey turun ke bawah. Yang sebelumnya ia fokus dengan bibir Ratu, kini beralih mencumbui setiap sudut pada leher Ratu. Tangannya yang satu masih terus menahan kepala Ratu agar tetap mendongak dan memudahkannya untuk meninggalkan beberapa bercak merah keunguan di sana, sementara tangan yang lain bergerak secara acak menjelajah pangkal paha hingga bagian belakang Ratu.

Sementara itu, yang disentuh sibuk mengatur deru napas dan detak jantungnya. Tenggorakan Ratu mulai kering, dan kulitnya terasa seakan-akan terbakar oleh setiap sentuhan yang Jeffrey berikan.

Ratu menjatuhkan tangannya tepat di dada Jeffrey. Berniat menghentikan kegiatan suaminya itu. Dan, berhasil.

“Apa?!” tanya Jeffrey dengan nada kesal.

Ratu tersenyum jahil. “Ada dongkrak naik di bawah pantat aku,” katanya sembari menggerakan pinggul berlaga gelisah.

Jeffrey mengerang kasar, “itu ereksi, Ra!”

“Dongkrak.”

“Itu titit!” timpal Jeffrey.

Gelak suara tawa Ratu pun tak tertahankan. Lucunya, bahkan di saat-saat seperti ini Jeffrey masih berkenan menimpali setiap perkataannyaーmeski dengan wajah memerah.

“Pintunya, Mas.... Belum dikunci, takut Bian tiba-tiba ngetok.” Ratu mengusap lembut sudut bibir Jeffrey yang basah karena salivanya. “Tunggu dulu, aku mau ngunci pintu,” katanya.

Lalu dengan gerakan cepat, Ratu bangun dari pangkuan Jeffreyーkursi ternyamannya. Beranjak menuju pintu kamar mereka, menyisakan Jeffrey yang masih terduduk manis di atas sofa berlapiskan kain beludru, sambil menatap sebuah gundukan yang diciptakan oleh sesuatu dari balik celananya.

Ratu memutar kunci kamarnya sebanyak dua kali, sebelum ia memastikan pintu itu sudah benar-benar terkunci rapat. Dan, tepat saat ia memutuskan untuk berbalikーJeffrey sudah lebih dulu mengukungnya dari belakang. Menghirup aroma cinnamon yang menguar di sekitar tengkuk Ratu, membuatnya merinding seketika.

Detik berikutnya Ratu memutar tubuh, demi berhadapan langsung dengan Jeffrey. Tanpa memberi sebuah aba-aba, bibirnya mendarat lebih dahulu di bibir Jeffrey. Tangannya melingkar sempurna pada bahu lebar milik suaminya itu. Kemudian memiringkan kepala, seraya menekan tengkuk Jeffrey agar pagutan mereka lebih dalam.

Jeffrey tak tinggal diam. Tangannya naik dari pinggang menuju payudara Ratu. Menyentuh bagian sensitif yang ada di sana. Mereka sama-sama imbang.

Decakan demi decakan yang mereka ciptakan agaknya mampu meredam suara televisi yang masih menyala kala itu. Baik Ratu maupun Jeffrey tak acuh. Atensi mereka saat ini hanya untuk satu sama lain.

Jeffrey menarik tangannya. Perlahan-lahan turun ke bawah. Menjelajah perut hingga ke belakang paha Ratu, sebelum ia tarik kaki jenjang itu untuk melingkar di pinggangnya.

Ratu kembali melenguh tatkala bagian intinya menyentuh ereksi Jeffrey yang jauh lebih gila dari sebelumnya. Pinggangnya sedikit tersentak. Di bawah sana, seperti ada sesuatu yang sangat ingin keluar.

“Ra....” Jeffrey sibuk mengatur napasnya, bersamaan dengan Ratu. Dan, refleksnya membuat payudara Ratu menekan dadanya yang keras. “Pindah ke kasur ya?” Yang diberi pertanyaan lantas mengangguk.

“Boleh....”

Ratu ingat, dulu saat satu hari pasca pernikahannya dan Jeffrey, jangankan dipangku seperti iniーdisentuh barang seujung jari pun Ratu sudah histeris. Takut Jeffrey macam-macam, katanya. Konyolnya ia bahkan membatasi ranjang mereka dengan sebuah guling pada setiap malam yang mereka lalui. Ratu ingat, kala itu Jeffrey bahkan sampai merajuk. Suaminya itu kerap mencari-cari akal supaya guling yang ia ibaratkan tembok besar China itu bisa hilang eksistensinya dari atas ranjang mereka.

Kini semuanya sudah berubah. Setelah bertahun-tahun menikah, Ratu semakin sadar kalau yang namanya keintiman dalam rumah tangga itu juga sangat penting. Menikah bukan cuma perihal makan bersama, menyiapkan pakaian suami, menjadi teman berkeluh kesah, atau membuat hidangan makan malam. Tentu saja, bisa-bisa Jeffrey tertarik pada perempuan lain di luar rumah hanya karena mereka jarang melakukan skinship.

Ratu memandang dalam manik mata Jeffrey yang saat ini tengah duduk sembari memangku tubuhnya. Spontan pria itu memberinya sedikit senyum, sembari tangannya perlahan tapi pasti menyusup ke dalam piyama yang malam ini melekat pada tubuh Ratu.

“Saran aku, kalau niatnya mau nonton ya gak usah pangku-pangkuan gini,” kata Jeffrey tapi, tangannya masih setia menjelajah di pinggang Ratu.

Sementara itu, Ratu sibuk menahan lenguhan yang bisa kapan keluar saja dari bibirnya. “Aku cuman pengen dipangku,” sahut Ratu. Namun, setelah itu ia melingkarkan kedua tangannya di leher Jeffrey.

Ia bohong. Kenyataannya, yang ingin Ratu lakukan kali ini lebih dari itu.

“Yakin?”

Selanjutnya Ratu refleks menggeliat tatkala Jeffrey menempelkan bibir ke telinganya. Naik dan turun, menyentuh sepanjang lekuk pipi Ratu dengan sensual. Ratu dapat merasakan senyum Jeffrey di balik itu. Ratu juga dapat merasakan dengan jelas, bagaimana udara yang berasal dari napas Jeffrey menyapu permukaan kulit pada lekuk lehernya. Hangat.

“Masih yakin?” bisik Jeffrey.

Alih-alih menjawab, Ratu justru mencengkram kuat pundak suaminya itu. Diam-diam Jeffrey sengaja menggigit cuping telinga Ratu, sampai tubuhnya bergidik seketika.

“Wangi, Ra. Badan kamu....”

Ratu terkekeh, “Mandinya sehari, dua kali.”

“Aku bikin mandi lagi abis ini, marah gak?” Jeffrey menarik mundur wajahnya yang semula bersembunyi pada lekuk leher Ratu.

“Marah, lah! Nanti kalau aku kena rematik, gimana?”

“Yah....” Ia mencebik. Raut wajah serta sorot mata Jeffrey seakan menggambarkan betapa kecewanya ia. “Terus ini gak bisa dilanjut ya?” katanya hati-hati.

Ratu menangkup kedua pipi Jeffrey. Menatap mata laki-laki itu sekali lagi, sebelum akhirnya ia mendaratkan sebuah kecupan singkat pada bibir suaminya itu. “Bisa dilanjut kalau kamu mau.”

Secara naluriah tangan Jeffrey sontak menarik tengkuknya. Menyatukan kedua belah bibir mereka secara intens. Menyesap bibir ranum Ratu dengan penuh perasaan. Satu detik, dua detik, banyak waktu berlalu, sampai-sampai Ratu hampir saja kehabisan napas jika tak membuka mulutnya. Dan, pada kesempatan ituーlidah Jeffrey sukses menorobos masuk ke dalam. Mereka saling memagut satu sama lain, hingga saliva Ratu yang sudah tercampur milik Jeffrey tanpa sadar mengalir keluar.

Ratu akhirnya sukses dibuat melenguh saat tangan Jeffrey kembali menyusup masuk ke dalam piyamanya. Putingnya menegang di balik kain, dan menempel sempurna pada dada Jeffrey sebab sebelumnya Ratu sengaja menanggalkan bra, seperti yang biasa ia lakukan di setiap malam.

Ratu mencengkram pundak Jeffrey kuat-kuat saat ia menarik ramputnya ke belakang. Tidak begitu kasar, namun cukup kuat sampai-sampai Ratu mendongak dibuatnya. Lantas, wajah Jeffrey turun ke bawah. Yang sebelumnya ia fokus dengan bibir Ratu, kini beralih mencumbui setiap sudut pada leher Ratu. Tangannya yang satu masih terus menahan kepala Ratu agar tetap mendongak dan memudahkannya untuk meninggalkan beberapa bercak keunguan di sana, sementara tangan yang lain bergerak secara acak menjelajah pangkal paha hingga bagian belakang Ratu.

Ratu sendiri sibuk mengatur deru napas dan detak jantungnya kala itu. Tenggorakannya mulai kering, dan kulitnya berangsur-angsur seakan terbakar oleh setiap sentuhan yang Jeffrey lakukan.

Ratu menjatuhkan tangannya tepat di dada Jeffrey. Berniat menghentikan kegiatan suaminya itu. Dan, berhasil.

“Apa?!” tanya Jeffrey dengan nada kesal.

Sementara Ratu memilih untuk tersenyum jahil. “Ada dongkrak naik di bawah pantat aku,” katanya sembari menggerakan pinggul seakan gelisah.

Jeffrey mengerang kasar, “itu ereksi, Ra!”

“Dongkrak.”

“Itu titit!” timpal Jeffrey.

Gelak suara tawa Ratu pun tak tertahankan. Lucunya, bahkan di saat-saat seperti ini Jeffrey masih berkenan menimpali setiap perkataannyaーmeski dengan wajah memerah.

“Pintunya, Mas.... Belum dikunci, takut Bian tiba-tiba ngetok.” Ratu mengusap lembut sudut bibir Jeffrey yang basah karena salivanya. “Tunggu dulu, aku mau ngunci pintu,” katanya.

Lalu dengan gerakan cepat, Ratu bangun dari pangkuan Jeffreyーkursi ternyamannya. Beranjak menuju pintu kamar mereka, menyisakan Jeffrey yang masih terduduk manis di atas sofa berlapiskan kain beludru, sambil menatap sebuah gundukan yang diciptakan oleh sesuatu dari balik celananya.

Ratu memutar kunci kamarnya sebanyak dua kali, sebelum ia memastikan pintu itu sudah benar-benar terkunci rapat. Dan, tetap saat ia memutuskan untuk berbalikーJeffrey sudah lebih dulu mengukungnya dari belakang. Menghirup aroma cinnamon yang menguar di sekitar tengkuk Ratu, membuatnya merinding seketika.

Detik berikutnya Ratu memutar tubuh, demi berhadapan langsung dengan Jeffrey. Tanpa memberi sebuah aba-aba, bibirnya mendarat lebih dahulu di bibir Jeffrey. Tangannya melingkar sempurna pada bahu lebar milik suaminya itu. Kemudian memiringkan kepala, seraya menekan tengkuk Jeffrey agar pagutan mereka lebih dalam.

Sementara itu, Jeffrey tak tinggal diam. Tangannya naik dari pinggang menuju payudara Ratu. Menyentuh bagian sensitif yang ada di sana. Mereka sama-sama imbang.

Decakan demi decakan yang mereka ciptakan agaknya mampu meredam suara televisi yang masih menyala. Baik Ratu maupun Jeffrey tak acuh. Atensi mereka saat ini hanya untuk satu sama lain.

Jeffrey menarik tangannya. Perlahan-lahan turun ke bawah. Menjelajah perut hingga ke belakang paha Ratu, sebelum ia tarik kaki jenjang itu untuk melingkar di pinggangnya.

Ratu kembali melenguh tatkala bagian intinya menyentuh ereksi Jeffrey yang jauh lebih gila dari sebelumnya. Pinggangnya sedikit tersentak. Di bawah sana, seperti ada sesuatu yang sangat ingin keluar.

“Ra....” Jeffrey sibuk mengatur napasnya, bersamaan dengan Ratu. Dan, refleksnya membuat payudara Ratu menekan dadanya yang keras. “Pindah ke kasur ya?” Yang diberi pertanyaan lantas mengangguk.

Tanpa sadar Ratu menggigit bibir bawahnya sendiri saat Jeffrey mulai berjalan sambil menggendong tubuhnya. Meski masih lengkap menggunakan celana, tapi Ratu dapat merasakan kemaluan seakan tengah dipermainkan oleh milik Jeffrey di bawah sana.

Perlahan Jeffrey menurunkan Ratu di atas ranjang mereka dan membaringkan setengah tubuhnya di sana.

Dapat Ratu rasakan kedua pahanya terbelah tatkala Jeffrey sengaja memposisikan dirinya di tengah-tengah. Kakinya terbuka lebar, nafasnya berat, dan tubuhnya kini kian panas.

Jeffrey menatap Ratu lapar dari atas. Sorot matanya semakin membakar tubuh Ratu dalam diam.

Ratu ingat, dulu saat satu hari pasca pernikahannya dan Jeffrey, jangankan dipangku seperti iniーdisentuh barang seujung jari pun Ratu sudah histeris. Takut Jeffrey macam-macam, katanya. Konyolnya ia bahkan membatasi ranjang mereka dengan sebuah guling pada setiap malam yang mereka lalui. Ratu ingat, kala itu Jeffrey bahkan sampai merajuk. Suaminya itu kerap mencari-cari akal supaya guling yang ia ibaratkan tembok besar China itu bisa hilang eksistensinya dari atas ranjang mereka.

Kini semuanya sudah berubah. Setelah bertahun-tahun menikah, Ratu semakin sadar kalau yang namanya keintiman dalam rumah tangga itu juga sangat penting. Menikah bukan cuma perihal makan bersama, menyiapkan pakaian suami, menjadi teman berkeluh kesah, atau membuat hidangan makan malam. Tentu saja, bisa-bisa Jeffrey tertarik pada perempuan lain di luar rumah hanya karena mereka jarang melakukan skinship.

Ratu memandang dalam manik mata Jeffrey yang saat ini tengah duduk sembari memangku tubuhnya. Spontan pria itu memberinya sedikit senyum, sembari tangannya perlahan tapi pasti menyusup ke dalam piyama yang malam ini melekat pada tubuh Ratu.

“Saran aku, kalau niatnya mau nonton ya gak usah pangku-pangkuan gini,” kata Jeffrey tapi, tangannya masih setia menjelajah di pinggang Ratu.

Sementara itu, Ratu sibuk menahan lenguhan yang bisa kapan keluar saja dari bibirnya. “Aku cuman pengen dipangku,” sahut Ratu. Namun, setelah itu ia melingkarkan kedua tangannya di leher Jeffrey.

Ia bohong. Kenyataannya, yang ingin Ratu lakukan kali ini lebih dari itu.

“Yakin?”

Selanjutnya Ratu refleks menggeliat tatkala Jeffrey menempelkan bibir ke telinganya. Naik dan turun, menyentuh sepanjang lekuk pipi Ratu dengan sensual. Ratu dapat merasakan senyum Jeffrey di balik itu. Ratu juga dapat merasakan dengan jelas, bagaimana udara yang berasal dari napas Jeffrey menyapu permukaan kulit pada lekuk lehernya. Hangat.

“Masih yakin?” bisik Jeffrey.

Alih-alih menjawab, Ratu justru mencengkram kuat pundak suaminya itu. Diam-diam Jeffrey sengaja menggigit cuping telinga Ratu, sampai tubuhnya bergidik seketika.

“Wangi, Ra. Badan kamu....”

Ratu terkekeh, “Mandinya sehari, dua kali.”

“Aku bikin mandi lagi abis ini, marah gak?” Jeffrey menarik mundur wajahnya yang semula bersembunyi pada lekuk leher Ratu.

“Marah, lah! Nanti kalau aku kena rematik, gimana?”

“Yah....” Ia mencebik. Raut wajah serta sorot mata Jeffrey seakan menggambarkan betapa kecewanya ia. “Terus ini gak bisa dilanjut ya?” katanya hati-hati.

Ratu menangkup kedua pipi Jeffrey. Menatap mata laki-laki itu sekali lagi, sebelum akhirnya ia mendaratkan sebuah kecupan singkat pada bibir suaminya itu. “Bisa dilanjut kalau kamu mau.”

Secara naluriah tangan Jeffrey sontak menarik tengkuknya. Menyatukan kedua belah bibir mereka secara intens. Menyesap bibir ranum Ratu dengan penuh perasaan. Satu detik, dua detik, banyak waktu berlalu, sampai-sampai Ratu hampir saja kehabisan napas jika tak membuka mulutnya. Dan, pada kesempatan ituーlidah Jeffrey sukses menorobos masuk ke dalam. Mereka saling memagut satu sama lain, hingga saliva Ratu yang sudah tercampur milik Jeffrey tanpa sadar mengalir keluar.

Ratu akhirnya sukses dibuat melenguh saat tangan Jeffrey kembali menyusup masuk ke dalam piyamanya. Putingnya menegang di balik kain, dan menempel sempurna pada dada Jeffrey sebab sebelumnya Ratu sengaja menanggalkan bra, seperti yang biasa ia lakukan di setiap malam.

Ratu mencengkram pundak Jeffrey kuat-kuat saat ia menarik ramputnya ke belakang. Tidak begitu kasar, namun cukup kuat sampai-sampai Ratu mendongak dibuatnya. Lantas, wajah Jeffrey turun ke bawah. Yang sebelumnya ia fokus dengan bibir Ratu, kini beralih mencumbui setiap sudut pada leher Ratu. Tangannya yang satu masih terus menahan kepala Ratu agar tetap mendongak dan memudahkannya untuk meninggalkan beberapa bercak keunguan di sana, sementara tangan yang lain bergerak secara acak menjelajah pangkal paha hingga bagian belakang Ratu.

Ratu sendiri sibuk mengatur deru napas dan detak jantungnya kala itu. Tenggorakannya mulai kering, dan kulitnya berangsur-angsur seakan terbakar oleh setiap sentuhan yang Jeffrey lakukan.

Ratu menjatuhkan tangannya tepat di dada Jeffrey. Berniat menghentikan kegiatan suaminya itu. Dan, berhasil.

“Apa?!” tanya Jeffrey dengan nada kesal.

Sementara Ratu memilih untuk tersenyum jahil. “Ada dongkrak naik di bawah pantat aku,” katanya sembari menggerakan pinggul seakan gelisah.

Jeffrey mengerang kasar, “itu ereksi, Ra!”

“Dongkrak.”

“Itu titit!” timpal Jeffrey.

Gelak suara tawa Ratu pun tak tertahankan. Lucunya, bahkan di saat-saat seperti ini Jeffrey masih berkenan menimpali setiap perkataannyaーmeski dengan wajah memerah.

“Pintunya, Mas.... Belum dikunci, takut Bian tiba-tiba ngetok.” Ratu mengusap lembut sudut bibir Jeffrey yang basah karena salivanya. “Tunggu dulu, aku mau ngunci pintu,” katanya.

Lalu dengan gerakan cepat, Ratu bangun dari pangkuan Jeffreyーkursi ternyamannya. Beranjak menuju pintu kamar mereka, menyisakan Jeffrey yang masih terduduk manis di atas sofa berlapiskan beludru sembari menatap sebuah gundukan yang diciptakan oleh sesuatu dari balik celananya.

Kalau biasanya sebelum pergi tidur Bian akan menunggu kepulangan Papa dengan alibi menonton secara acak siaran televisiーkali ini tidak.

Berteman sunyi suasana kamar, Bian melamun seperti halnya orang dewasa yang tengah dilanda stress berat. Padahal yang kini tengah dia rasakan sekedar gelisah, galau, merana sebab sejak sore tadi Papa tak kunjung membalas pesannya. Entah, mungkin karena saking marahnya, sibuk, atau dilandasi perasaan malasーyang jelas hal itu mampu membuat Bian overthinking berjam-jam.

“Ini karma, sih. Yakin gue.” Bian bergumam.

Saking galaunya, Bian bahkan sengaja tidak menyalakan lampu. Kini kamarnya persis seperti sebuah ruang yang biasa muncul di film-film horror yang pernah dia tonton.

Helaan napas frustasi, Bian suarakan. Kira-kira sedang apa ya Mama saat ini, sebab sejak beberapa jam yang lalu Bian sudah tidak lagi mendengar gaduh suara Mama dari balik pintu kamarnya itu. Suara asisten rumah tangga mereka juga menghilang. Budhe Lasih sih biasanya memang langsung tertidur pulas usai mengerjakan seluruh pekerjaan rumahnya. Dan Papa, seharusnya Papa sudah ada di rumah sejak satu jam yang lalu, namun sampai detik ini belum juga ada tanda-tanda kepulangan Papa.

Bian mengerang, seraya merenggangkan sendi-sendi dalam tubuhnya. Muncul sedikit keinginan untuk mengintip ke luar pintu kamar, demi mengetahui situasi dan kondosi terupdate pada saat ini, tapi dia urungkan lantaran pintu kamarnya tiba-tiba saja terbuka. Menampilkan sosok Papa yang tinggi menjulang, dan masih dibalut lengkap oleh kemeja khas yang biasa Papa gunakan untuk ke kantor.

Bian beradu tatap dengan Papa cukup lama. Ternyata Papa sudah pulang, tapi Bian yang tidak dengar suara mesin mobilmya.

“Bi.”

“Pa.”

Hening.

Perlahan tapi pasti Papa melangkah mendekati Bian yang masih terduduk di atas ranjangnya. Kemudian, tanpa perlu banyak basa basi, tangan Papa terulur ke depan. Ada sebuah bungkusan yang dia genggam. Lantas, dengan tampang penasaran yang tanpa dibuat-buat, Bian meraih bungkusan tersebut.

“Ini apaan, Pa?” tanya Bian.

Papa meringis seketika. “Kembang goyang.”

“Hah??”

Tak ada angin, tak ada hujan tiba-tiba saja memberi kembang goyang? Entah apa maksud Papa sebenarnya. Bian yang semula membayangkan adegan memeluk Papa begitu pintu terbuka tadi, kini justru menatap nanar ke arah Papa. Konyol, ini konyol.

“Apa maksudnya?”

“Gak ada. Papa random beli aja. Tadi di lampu merah, ada nenek-nenek yang jualan ini. Yaudah Papa beli,” tutur Papa dengan wajah super santai.

Bian kesal, tapi rasa kesalnya tidak seberapa jika dibandingkan dengan perasaan senang dalam benak bocah itu. Pasalnya barusan Papa mengatakan kalimat yang cukup panjang.

Dan, dengan sudut bibir yang tertarik ke samping, Bian hanya manggut-manggut.

“Abisin ya,” kata Papa.

“Segini?” Bian mengangkat bungkusan cukup besar, pemberian Papa. “Semua ini?!” tanyanya menekankan.

“Iya.”

Bian mendesis. Papa gila, batinnya. “Yaudah iya.”

“Yaudah ... Papa keluar ya.” Tanpa menunggu respon dari Bian, Papa sudah lebih dulu melangkah pergi tanpa lupa menutup kembali pintu kamar Bian.

Sementara itu, sambil cengangas-cengenges Bian membongkar bungkusan yang Papa berikan. Ternyata isinya adalah kembang goyang dengan berbagai macam warna. Ada kuning, pink, hijau, danー

sepucuk kertas bertorehkan tinta pena di atasnya.

'Jangan mau dibawa sama Om Yudhis. Dia aslinya gak sebaik itu, nanti organ kamu dijual.'

Kalau biasanya sebelum pergi tidur Bian akan menunggu kepulangan Papa dengan alibi menonton secara acak siaran televisiーkali ini tidak.

Berteman sunyi suasana kamar, Bian melamun seperti halnya orang dewasa yang tengah dilanda stress berat. Padahal yang kini tengah dia rasakan sekedar gelisah, galau, merana sebab sejak sore tadi Papa tak kunjung membalas pesannya. Entah, mungkin karena saking marahnya, sibuk, atau dilandasi perasaan malasーyang jelas hal itu mampu membuat Bian overthinking berjam-jam.

“Ini karma, sih. Yakin gue.” Bian bergumam.

Saking galaunya, Bian bahkan sengaja tidak menyalakan lampu. Kini kamarnya persis seperti sebuah ruang yang biasa muncul di film-film horror yang pernah dia tonton.

Helaan napas frustasi, Bian suarakan. Kira-kira sedang apa ya Mama saat ini, sebab sejak beberapa jam yang lalu Bian sudah tidak lagi mendengar gaduh suara Mama dari balik pintu kamarnya itu. Suara asisten rumah tangga mereka juga menghilang. Budhe Lasih sih biasanya memang langsung tertidur pulas usai mengerjakan seluruh pekerjaan rumahnya. Dan Papa, seharusnya Papa sudah ada di rumah sejak satu jam yang lalu, namun sampai detik ini belum juga ada tanda-tanda kepulangan Papa.

Bian mengerang, seraya merenggangkan sendi-sendi dalam tubuhnya. Muncul sedikit keinginan untuk mengintip ke luar pintu kamar, demi mengetahui situasi dan kondosi terupdate pada saat ini, tapi dia urungkan lantaran pintu kamarnya tiba-tiba saja terbuka. Menampilkan sosok Papa yang tinggi menjulang, dan masih dibalut lengkap oleh kemeja khas yang biasa Papa gunakan untuk ke kantor.

Bian beradu tatap dengan Papa cukup lama. Ternyata Papa sudah pulang, tapi Bian yang tidak dengar suara mesin mobilmya.

“Bi.”

“Pa.”

Hening.

Perlahan tapi pasti Papa melangkah mendekati Bian yang masih terduduk di atas ranjangnya. Kemudian, tanpa perlu banyak basa basi, tangan Papa terulur ke depan. Ada sebuah bungkusan yang dia genggam. Lantas, dengan tampang penasaran yang tanpa dibuat-buat, Bian meraih bungkusan tersebut.

“Ini apaan, Pa?” tanya Bian.

Papa meringis seketika. “Kembang goyang.”

“Hah??”

Tak ada angin, tak ada hujan tiba-tiba saja memberi kembang goyang? Entah apa maksud Papa sebenarnya. Bian yang semula membayangkan adegan memeluk Papa begitu pintu terbuka tadi, kini justru menatap nanar ke arah Papa. Konyol, ini konyol.

“Apa maksudnya?”

“Gak ada. Papa random beli aja. Tadi di lampu merah, ada nenek-nenek yang jualan ini. Yaudah Papa beli,” tutur Papa dengan wajah super santai.

Bian kesal, tapi rasa kesalnya tidak seberapa jika dibandingkan dengan perasaan senang dalam benak bocah itu. Pasalnya barusan Papa mengatakan kalimat yang cukup panjang.

Dan, dengan sudut bibir yang tertarik ke samping, Bian hanya manggut-manggut.

“Abisin ya,” kata Papa.

“Segini?” Bian mengangkat bungkusan cukup besar, pemberian Papa. “Semua ini?!” tanyanya menekankan.

“Iya.”

Bian mendesis. Papa gila, batinnya. “Yaudah iya.”

“Yaudah ... Papa keluar ya.” Tanpa menunggu respon dari Bian, Papa sudah lebih dulu melangkah pergi tanpa lupa menutup kembali pintu kamar Bian.

Sementara itu, sambil cengangas-cengenges Bian membongkar bungkusan yang Papa berikan. Ternyata isinya adalah kembang goyang dengan berbagai macam warna. Ada kuning, pink, hijau, danー

sepucuk kertas bertorehkan tinta pena di atasnya.

'Jangan mau dibawa sama Om Yudhis. Dia aslinya gak sebaik itu, nanti organ kamu dijual.'

Bian terkekeh sejenak, sebelum menutup aplikasi burung biru yang ada di ponselnya. Dia menarik napas cukup panjang. Apa yang Bian sampaikan pada Zaid, dapat dipastikan kalau itu hanya gurauan semata. Dia tahu betul kalau pemulihan dari sebuah cidera pada tulang tentunya tak mungkin secepat itu. Sempat terlintas dalam benaknya, bagaimana cara Zaid menulis saat masuk sekolah esok hari? Sebab, seingat Bian, Zaid itu sama sekali tidak kidal.

Dipikir-pikir, meski kakinya masih begitu nyeri untuk digerakkan—kawannya itu pasti jauh lebih tertekan. Kemudian muncul sebuah ide. Satu-satunya tanggung jawab yang dapat dia lakukan untuk Zaid, adalah menjadi tangan kanannya. Ah, ide cemerlang! Namun entah bagaimana cara Bian untuk merealisasikan ide tersebut.

Perlahan-lahan pundak Bian merosot di atas bantal. Sebenarnya rasa kantuk sudah menjalar sejak Bian baru saja menginjakan kakinya di rumah. Seperti ada yang lain, ada yang berbeda antara suasana rumah sakit dan rumah milik Papa ini. Ditambah lagi, Bian sebelumnya memang sangat merindukan ranjangnya sendiri. Ranjang yang jauh lebih nyaman serta harum detergen andalan sang mama yang datangnya dari seprei yang membungkus ranjang tersebut dengan sempurna.

Hampir saja Bian menutup mata, namun suara pintu terbuka lebih dulu mengusiknya. Itu Mama. Sambil membawa segelas air putih bertatakan nampan pink motif bunga kesayangannya, Mama berjalan mendekat ke arah Bian.

“Bi, minum dulu. Kamu belum minum dari pagi.” Suara lembut Mama kontras dengan suara langkah kaki yang cukup memekakkan telinga Bian sebab, Mama menggunakan sandal jepit di dalam rumah.

Bian menatap Mama lamat-lamat. Tersirat senyum teduh di bibirnya. Sekelebat bayangan akan Mama dengan raut wajah kecewa muncul begitu saja dalam kepala Bian. Dia ingat alasan utama motor Zaid sukses mencium aspal, karena pikirannya saat itu dipenuhi oleh the one and only Diajeng Pramesti. Bian yang saat itu kalut, kini justru sibuk memikirkan apa tanggapan sang mama jika dia tau akan hal bodoh ini.

“Bi? Malah ngelamun!” seru Mama.

Mendengar teguran Mama barusan, sontak Bian berusaha bangkit dari posisi sebelumnya. Sambil cengangas-cengenges, tangan Bian menengadah. Meminta gelas yang Mama bawa.

Mama ikut duduk di tepi ranjang seraya membantu Bian untuk minum. “Tadi mikirin apa?” tanya Mama, yang kemudian hanya dibalas gelengan kepala oleh Bian. “Kaki kamu gimana? Masih nyeri atau apa?” Lagi-lagi bocah itu hanya menggeleng.

“Bian kok cuman geleng-geleng?” Air wajah Mama berubah serius. Diraihnya gelas yang sempat Bian genggan, kemudian Mama letakan di atas nakas. “Kamu ngambek karna tadi pas di parkiran rumah sakit, Papa marah-marah?” timpal Mama, mampu membuat Bian terkekeh seketika.

“Wajah Mama panik gitu!” kata Bian, tepat sebelum tangan Mama melayang dan mendarat sempurna dipundaknya. Bugh!

“Bisa-bisanya malah ketawa!”

“Bian gapapa.” Tatapannya dalam. “Bian justru masih ngerasa bersalah sama Papa ... sama Mama ... sama Zaid ... sama semua orang yang jadi repot karna Bian kayak gini. Tolol, ceroboh—” Belum usai kalimat Bian, Mama lebih dahulu memeluknya.

“Kamu jangan kayak gini, dong! Mama udah maafin Bian! Mama jauh lebih sakit hati dengerin kamu kayak gini, Bi....”

“Maafin Bian....”

“UDAH MAMA MAAFIN!”

Sambil berurai air mata, Mama dan Bian saling memeluk satu sama lain persis seperti tayangan sebuah drama keluarga yang biasa Mama tonton di televisi.

“Ini apa-apaan sih?”

Suara bariton Papa muncul dari balik pintu. Wajahnya seolah bertanya-tanya 'ada kabar duka dari siapa?' Namun, selang beberapa detik Papa tersadar, seperti biasa Mama serta Bian hanya over acting semata. Papa segera merubah ekspresinya. “Kalian itu ngapain sih?”

“Bian lagi sedih, Mas....”

“Boong, Mama yang paling sedih.” Ha kan! Saling lempar tuduhan pun terjadi.

Bian mampu melihat Papa yang seakan tak acuh dan berniat melenggang pergi. “Papa,” kata Bian lirih.

Kaki yang sebelumnya mantap untuk melangkah itu, kini membeku lantaran Papa mendengar suara serak memanggil dari mulut Bian. Papa menoleh. Awalnya heran, karena tak ada sepatah katapun yang keluar kemudian. Tapi, kala itu tangan Mama memberi gesture sebuah ajakan.

“Mas! Ke sini, dong!”

“Ngapain?” salah satu alis Papa terangkat. Bingung akan maksud dari ajakan Mama.

“Bian mau peluk,” kata Mama sembari mengabaikan Bian yang sontak uring-uringan lantaran malu.

Bian terkekeh sejenak, sebelum menutup aplikasi burung biru yang ada di ponselnya. Dia menarik napas cukup panjang. Apa yang Bian sampaikan pada Zaid, dapat dipastikan kalau itu hanya gurauan semata. Dia tahu betul kalau pemulihan dari sebuah cidera pada tulang tentunya tak mungkin secepat itu. Sempat terlintas dalam benaknya, bagaimana cara Zaid menulis saat masuk sekolah esok hari? Sebab, seingat Bian, Zaid itu sama sekali tidak kidal.

Dipikir-pikir, meski kakinya masih begitu nyeri untuk digerakkan—kawannya itu pasti jauh lebih tertekan. Kemudian muncul sebuah ide. Satu-satunya tanggung jawab yang dapat dia lakukan untuk Zaid, adalah menjadi tangan kanannya. Ah, ide cemerlang! Namun entah bagaimana cara Bian untuk merealisasikan ide tersebut.

Perlahan-lahan pundak Bian merosot di atas bantal. Sebenarnya rasa kantuk sudah menjalar sejak Bian baru saja menginjakan kakinya di rumah. Seperti ada yang lain, ada yang berbeda antara suasana rumah sakit dan rumah milik Papa ini. Ditambah lagi, Bian sebelumnya memang sangat merindukan ranjangnya sendiri. Ranjang yang jauh lebih nyaman serta harum detergen andalan sang mama yang datangnya dari seprei yang membungkus ranjang tersebut dengan sempurna.

Hampir saja Bian menutup mata, namun suara pintu terbuka lebih dulu mengusiknya. Itu Mama. Sambil membawa segelas air putih bertatakan nampan pink motif bunga kesayangannya, Mama berjalan mendekat ke arah Bian.

“Bi, minum dulu. Kamu belum minum dari pagi.” Suara lembut Mama kontras dengan suara langkah kaki yang cukup memekakkan telinga Bian sebab, Mama menggunakan sandal jepit di dalam rumah.

Bian menatap Mama lamat-lamat. Tersirat senyum teduh di bibirnya. Sekelebat bayangan akan Mama dengan raut wajah kecewa muncul begitu saja dalam kepala Bian. Dia ingat alasan utama motor Zaid sukses mencium aspal, karena pikirannya saat itu dipenuhi oleh the one and only Diajeng Pramesti. Bian yang saat itu kalut, kini justru sibuk memikirkan apa tanggapan sang mama jika dia tau akan hal bodoh ini.

“Bi? Malah ngelamun!” seru Mama.

Mendengar teguran Mama barusan, sontak Bian berusaha bangkit dari posisi sebelumnya. Sambil cengangas-cengenges, tangan Bian menengadah. Meminta gelas yang Mama bawa.

Mama ikut duduk di tepi ranjang seraya membantu Bian untuk minum. “Tadi mikirin apa?” tanya Mama, yang kemudian hanya dibalas gelengan kepala oleh Bian. “Kaki kamu gimana? Masih nyeri atau apa?” Lagi-lagi bocah itu hanya menggeleng.

“Bian kok cuman geleng-geleng?” Air wajah Mama berubah serius. Diraihnya gelas yang sempat Bian genggan, kemudian Mama letakan di atas nakas. “Kamu ngambek karna tadi pas di parkiran rumah sakit, Papa marah-marah?” timpal Mama, mampu membuat Bian terkekeh seketika.

“Wajah Mama panik gitu!” kata Bian, tepat sebelum tangan Mama melayang dan mendarat sempurna dipundaknya. Bugh!

“Bisa-bisanya malah ketawa!”

“Bian gapapa.” Tatapannya dalam. “Bian justru masih ngerasa bersalah sama Papa ... sama Mama ... sama Zaid ... sama semua orang yang jadi repot karna Bian kayak gini. Tolol, ceroboh—” Belum usai kalimat Bian, Mama lebih dahulu memeluknya.

“Kamu jangan kayak gini, dong! Mama udah maafin Bian! Mama jauh lebih sakit hati dengerin kamu kayak gini, Bi....”

“Maafin Bian....”

“UDAH MAMA MAAFIN!”

Sambil berurai air mata, Mama dan Bian saling memeluk satu sama lain persis seperti tayangan sebuah drama keluarga yang biasa Mama tonton di televisi.

“Ini apa-apaan sih?”

Suara bariton Papa muncul dari balik pintu. Wajahnya seolah bertanya-tanya 'ada kabar duka dari siapa?' Namun, selang beberapa detik Papa tersadar, seperti biasa Mama serta Bian hanya over acting semata. Papa segera merubah ekspresinya. “Kalian itu ngapain sih?”

“Bian lagi sedih, Mas....”

“Boong, Mama yang paling sedih.” Ha kan! Saling lempar tuduhan pun terjadi.

Bian mampu melihat Papa yang seakan tak acuh dan berniat melenggang pergi. “Papa,” kata Bian lirih.

Kaki yang sebelumnya mantap untuk melangkah itu, kini membeku lantaran Papa mendengar suara serak memanggil dari mulut Bian. Papa menoleh. Awalnya heran, karena tak ada sepatah katapun yang keluar kemudian. Tapi, kala itu tangan Mama memberi gesture sebuah ajakan.

“Mas! Ke sini, dong!”

“Ngapain?” salah satu alis Papa terangkat. Bingung akan maksud dari ajakan Mama.

“Bian mau peluk,” kata Mama sembari mengabaikan Bian yang sontak uring-uringan lantaran malu.