cakgrays

Bian nyaris tidak bisa diam sepanjang hari. Meski di bibir sempat mengaku kurang semangat menyambut hari ini, namun yang dia lakukan justru sebaliknya. Bahkan sejak semalam dia terus memperingati Om Jemi, juga Tante Kila yang notabenenya adalah saudara kandung Papa, untuk datang dan membawakannya sesuatu.

Kalau Eyang Uti dan Eyang Kung sih tidak perlu diragukan lagi, sebab mereka sudah pasti datang dan membawa sebuah kotak hadiah besar untuk ulang tahun ke-17 cucunya yang satu ini. Awalnya Bian pikir itu hanya berisikan lelucon atau semacamnya, ternyata sebuah gitar listrik yang sama persis seperti keinginannya. Diam-diam Bian merasa sedikit bersalah, sebab sering kali berprasangka buruk pada kedua orang sepuh di hadapannya itu.

Beralih kepada Zaid dan Ozi yang datang bersamaan sembari menenteng sebuah tas berukuran besar di antara mereka. Bian tebak, kado yang satu ini pasti hasil patungan keduanya.

“Met Ultah, Bi,” kata Zaid serampangan, sebelum berakhir ditempeleng oleh Ozi yang berdiri tepat di sampingnya.

“Ngasih ucapan utu yang niat!”

Sontak Zaid memutar bola mata jengah sembari mencibir Ozi, “Kayak ke anaknya Presiden aja!”

Bian sendiri hanya pasrah. Niatnya di hari yang istimewa ini, dia harus menjadi pribadi yang baik di hadapan semua orang.

“Selamat ulang tahun, Bi. Semoga lo bisa masuk kampus gua.”

“Lo gak pernah doain gue kayak gitu, Ji?!” timpal Zaid tak mau kalah.

“Nanti pas lo ulang tahun.”

“Si Anjing!”

Bian bergeming sejenak, lalu celingak-celinguk seakan tengah mencari-cari keberadaan seseorang. “Ola mana?”

“Sama nyokap, lagi ngumpul sama ibu-ibu kali?” sahut Ozi.

Bian hanya manggut-manggut. “Lo berdua minum dulu aja, sambil nunggu yang lainnya.”

“Gue ke sini mau makan kue yang itu,” kata Zaid, refleks menunjuk ke arah sebuah kue ulang tahun milik Bian yang bahkan belum ditiup sama sekali.

Ozi yang tingkat kesabaran setipis tisu itu spontan membekap mulut Zaid dengan gemasnya. Sementara Bian hanya menampilkan senyum kecut di wajahnya.

“Lo diem-diem deh, Id, daripada gue gebukin di sini.” Sudah dapat dipastikan kalau yang barusan itu adalah sebuah bisikan penuh ancaman yang asalnya dari Bian.

Zaid merinding memikirkan bagaimana bisa Bian mengancamnya dengan tampang innocent seperti barusan? Lantas dia beringsut, menepis tangan Ozi seketika. “Ji, mendingan kita samperin Ola. Takut menua sebelum waktunya.”

Bian mendengkus.

Pesta ulang tahunnya ini sengaja diadakan di rumah, karena Mama yang ingin mendekor segala sesuatunya sendiri.

Ngomong-ngomong soal Mama, sejak tadi Bian belum sempat melihat Mama. Dan, mama juga belum sempat memberi sepatah kata pun untuk hari ulang tahun Bian ini. Mungking saking sibuknya mengurus inj dan itu untuk Bian.

“Bian!”

Nah, yang barusan memanggil nama Bian itu adalah Papa. “Sini, Bi!”

Bian mencibir dalam hati. Memikirkan kira-kira lelucon menyebalkan yang mana lagi yang sudah Papa siapkan untuknya. Tapi sebelum prasangka buruknya semakin meningkat, Bian samar-samar mendengar suara mesin yang menyala di halaman depan rumah. TUNGGU-TUNGGU! MOTOR?! Lantas Bian berlari sambil terseok-seok dengan kaki kanannya yang masih digips demi menyusul Papa.

“Pak, ini surat-suratnya silahkan ditandatangani.”

Bian mendelik seketika tatkala matanya menangkap eksistensi seorang pria yang baru saja menyalakan sebuah motor di halaman depan rumah.

“PAPA YANG BENER INI, PA?!”

Papa mengabaikan pertanyaan Bian, karena masih harus menandatangani beberapa surat lagi. “Ini ya, Pak.”

“Nah, beres. Makasih ya, Pak Jeffrey, kalau gitu saya pamit.” Pria itu pamit, tepat setelah menyerahkan kunci motor kepada Papa.

“PAPA!”

“Jangan teriak-teriak, Papa gak budek!”

“Itu motornya Bian?!”

Papa hanya memberi sebuah anggukan, lalu melempar sebuah kunci ke arah Bian. “Awas ya, jangan ditabrakin.”

“Tapikan Bian belum rapotan?” kata Bian yang sukses menangkap kunci tersebut.

“Gampang, nanti kalau banyak angka merah di rapot tinggal Papa jual lagi.”

Bian melongo di tempat. Namun dia tetap berpikir kalau yang satu ini adalah kado paling hebat yang pernah dia dapat.


Sementara yang lainnya sibuk bercengkrama satu sama lain, Bian tengah berdiri mematung di hadapan seseorang yang sejak tadi sudah dinanti-nanti kehadirannya. Ayah Yudhis datang dengan setelan jas yang terkesan biasa saja, tapi auranya menawan.

“Kenapa lama....”

Alih-alih merespon keluhan Bian, Ayah Yudhis justru memilih untuk mendekap tubuh Bian erat-erat selayaknya seorang Ayah memeluk anaknya sendiri.

“Jalanan mac—”

“Maaf.” Bian memotong ucapan Ayah Yudhis begitu saja. “Bian minta maaf.”

“Bi ... udah.”

“Bian bener-bener minta maaf.” Bian memeluk Ayah Yudhis jauh lebih erat.

“Shuttt ... udah dimaafin, Sabian,” kata Ayah Yudhis. Tangannya sesekali menepuk-nepuk punggung Bian dengan hangatnya. “Hei, ini hari ulang tahun kamu, jangan nangis kayak gini. Gak malu sama si Zaid?”

Lantas pelukan malam itu berakhir, sebab Bian gengsi kalau-kalau sampai kepergok oleh Zaid dan Ozi ketika dia tengah menangis. “Malu, lah!” seru Bian seraya mengusap jejak air matanya menggunakan lengan.

Ayah Yudhis terkekeh sejenak. “Kapan tiup lilinnya?”

“Tadi kayaknya masih disiapin sama Om Jemi.”

“Yaudah, ayo ke sana.”


Bian mengsam-mengsem tatkala menatap lilin demi lilin tengah ditancapkan pada kue ulang tahunnya. Namun selang beberapa detik kemudian, wajahnya berubah kusut. Malam ini menyenangkan. Semua datang, kecuali Diajeng Pramesti.

“Bi!” Suara Zaid membuyarkan lamunan Bian kala itu.

“Kenapa?” tanya Bian pada Zaid yang berdiri cukup jauh darinya.

Zaid melambaikan tangan, memberi isyarat agar Bian mendekat. “Ke sini bentar!” pintanya.

Lantas Bian menuruti permintaan kawannya itu, meski sebentar lagi kuenya siap. Bian dapat melihat bagaimana ekspresi wajah Zaid kala itu. Dia panik dan kebingungan, sementara Ozi yang berada di sebelahnya tampak tak senang dan berusaha merebut ponsel milik Zaid.

“Kenapa, sih? Lo gak liat gue mau tiup lilin?”

“Ajeng—”

Satu nama yang mampu membuat jantung Bian berdebar tak karuan, seketika keluar dari mulut Zaid.

“Gak usah lo peduliin, Anjing! Udah sana tiup lilin!” seru Ozi penuh penekanan.

“Dia harus tau, Bangsat!” kata Zaid.

Bian masih berusaha mengatur degup jantung juga napasnya yang sempat tercekat. “Gue harus tau apa?” tanya Bian penasaran.

“Ini.” Zaid menyerahkan ponselnya pada Bian dalam keadaan layar yang tengah menyala.

Satu detik, dua detik, lima detik, dan seterusnya. Pandangan Bian berubah kosong. Senyum yang sejak sore tadi terpatri di bibirnya kini tiba-tiba saja hilang entah ke mana. Cukup lama dia membeku di tempat, hingga akhirnya suara Mama menyadarkannya.

“Bian! Ayoo tiup lilinya, Bi!”

“Biannnnn!”

Kemudian tanpa mempedulikan kedua temannya, Bian kembali menuju tempat di mana kue ulang tahunnya berada. Dengan tatapan yang masih kosong, Bian berjalan susah payah.

“Sini-sini, tiup dulu lilinya, Bi.” Mama mengatur tubuh Bian di hadapan kue ulang tahun dengan lilin yang sudah menyala.

Sebuah lagu yang biasa digunakan untuk mengiringi acara ulang tahun dinyanyikan bersama-sama oleh para tamu.

“Tiup lilinnya, tiup lilinya sekarang juga, sekarang juga....”

Lilin pun padam, namun Bian masih dengan tanpa ekspresi.

“Bi, Mama sama Tante Julia punya hadiah spesial buat kamu!”

Mendengar itu, Bian mengangkat dagunya. Menatap orang-orang yang juga tengah menatapnya. Papa, Ayah Yudhis, Mama, Tante Julia, bahkan seluruh keluarganya tengah menatapnya dengan tatapan bahagia. Kecuali Zaid dan Ozi yang kala itu memilih untuk membuang muka karena mengetahui perasaan Bian yang sebenarnya.

Sebuah kotak hadiah kecil Mama berikan dengan perasaan suka cita.

Bian tersenyum, meski terpaksa. Dia buka kotak itu penuh hati-hati, dan yang Bian dapati adalah dua buah testpack yang hasilnya sama-sama positif.

“Selamat ulang tahun, Bian! Kamu akan punya dua adik sekaligus, dari Mama sama Tante Julia!”

“Kamu seneng gak, Bi?” tanya Tante Julia.

Dan di saat itu juga, air mata Bian lolos seketika. Dia bahagia, tapi air mata yang baru saja keluar adalah air mata kesedihan.

Sambil cengangas-cengenges Bian membukakan pintu untuk Papa. Kalau boleh jujur sebenarnya saat ini Bian tengah salah tingkah. Dia bingung tentang apa yang harus dilakukan setelah membuka pintu depan. Peluk? Cium? Atau salam? Begitu batinnya.

Papa yang tengah berdiri sambil menatapnya kebingungan justru membuat suasana menjadi canggung seketika. Siapapun, tolong. Bian benci suka situasi yang seperti ini.

“Bi?”

Bian melihat ke arah mata Papa yang hampir sejajar dengan sepasang mata miliknya. Bagian lucunya, tiba-tiba Papa tertawa entah karena apa. Mengabaikan Bian yang tengah kebingungan seorang diri.

“Papa kenapa ketawa?”

“Kamu ngapain bukain Papa pintu?” Papa lanjut terkekeh, lalu berjalan masuk melewati Bian begitu saja.

“Lagi pengen aja.”

“Mau minta motor?”

Bian tidak menjawab, dan memilih mengekori Papa kala itu. Berjalan menghampiri Mama yang baru saja kembali dari dapur sambari mengenggam segelas air putih dingin yang sepertinya baru saja di tuang dari dalam kulkas.

“Bian kenapa tuh, Ra—” Kalimat Papa terputus, sebab barusan Papa mencium kening Mama dengan hangat meski masih di hadapan Bian.

Mama yang mendengar itu, lantas menarik sudut bibirnya. “Mau ngobrol berdua sama kamu katanya.” Sambil menyerahkan gelas berisi air dingin, Mama berkata demikian.

Di sebelah Mama, Bian memasang wajah tegang. Dia masih belum memikirkan harus meminta maaf dengan gaya seperti apa pada sang Papa. Berbeda dengan Mama—Papa itu sudah kebal jika diberi kata manis juga janji-janji.

“Mau ngobrolin apa?”

“Motor,” kata Bian, sengaja memberi jawaban yang asal-asalan.

Papa berdeham. “Papa mau mandi dulu, masih bawa setan dari jalanan.”

“Bian udah ngantuk, Pa.”

Mama yang semula hanya menguping pembicaraan Bian juga Papa, seketika menyentuh pundak Papa sekaligus mengusapnya dengan lembut. “Sebentar aja, Mas, abis ini mau aku suruh tidur anaknya,” pinta Mama yang kemudian diamini oleh Papa.

“Oke, ayo kita ke balkon.”


Di sini lah Bian dan Papa sekarang. Di balkon yang pencahayaan terbilang cukup remang-remang, dengan angin malam yang bebas bertiup sepay-sepoy menyapu permukaan kulit mereka. Keduanya seakan saling menghindar dari tatapan mata satu sama lain. Keduanya sama-sama menumpu siku pada sebuah palang pembatas balkon yang terbuat tiang besi.

Helaan napas Papa yang tiba-tiba terdengar kasar, sukses mengusik Bian. Lantas Bian sengaja berbatuk meski tenggorokannya tidak gatal.

“Ini kalau gak jadi ngomong, mending Papa mandi aj—”

“JANGAN!”

“Shht—gak usah teriak-teriak, kamu kayak pengen digebukin aja. Jadi, mau ngobrolin apa?”

Bian menghela napas panjang. “Bian lupa belum minta maaf ke Papa kayak waktu minta maaf sama Mama.”

Lantas kening Papa bertaut, seakan memperlihatkan bahwa Papa tengah berpikir keras. “Minta maaf sambil nangis-nangis maksudnya?” tanya Papa sengaja meledek.

Bian spontan berdecak, “Kenapa yang Papa tangkep cuman bagian itunya, sih?”

“Tapi emang itu kan maksudnya? Udah lah, kamu gak usah repot-repot jual air mata ke Papa.”

“Jual air mata?! Bian nangis pakai hati ya!”

Untuk sejenak, Papa tertawa. “Jadi lebih baik aja ke depannya. Jangan ngulangin kesalahan yang sama. Kamu tau? Seumur-umur, Papa gak pernah liat Mama kamu semarah waktu itu. Percaya sama Papa, Bi—Mama kamu itu selalu jadi orang pertama yang ngelindungin kamu, bahkan dari Papa. Dia gak pernah marah. Gak bisa dia marah sama kamu. Jadi, kalau sampai dia nampar kamu pakai tangannya sendiri ... kamu tau artinya apa?”

“Bian udah kelewatan.” Pada akhirnya Bian menjawab dengan lirih.

“Bener itu. Terus ... apa kamu bakal jadiin kejadian itu sebagai pelajaran?”

Bian mengangguk.

“Jatuh cinta sama lawan jenis di usia kamu yang sekarang ini wajar, Bi. Gak aneh. Tapi kamu harus inget kalau ada juga yang punya cinta buat kamu. Tau gak siapa?” Papa memutar tubuhnya, dan meraih pundak Bian. “Keluarga,” sambung Papa.

“Bian minta maaf.”

“Berhenti minta maaf. Buktiin kalau emang kamu nyesel dan mau berubah.”

Lagi-lagi Bian hanya bisa mengangguk paham, dengan sorot matanya terus menatap ke bawah. Lalu dengan segenap perhatian Papa merentangkan tangannya lebar-lebar seraya tersenyum.

“Peluk?”

“Gak usah.”

Tapi Papa tetap memeluk erat tubuh Bian meski yang diterimanya adalah sebuah penolakan.

“Nyaman...,” kata Bian lirih.

“Apa?”

“Nyaman.”

Kalau Bian hitung-hitung, sekiranya sudah belasan kali Mama mondar-mandir ke kamar mandi selama menemaninya belajar di ruang tengah. Alih-alih fokus belajar, Bian kini justru terus mengawasi Mama. Wajah pucat pasi, juga gestur yang menandakan bahwa Mama sedang tidak baik-baik saja, sudah pasti mengusiknya.

Bian menghela napas panjang. Semangat belajarnya sudah hilang entah ke mana. Sengaja dia tutup buku yang semula sempat dia baca. “Mama kenapa, sih?” Akhirnya Bian membuka suara.

Mama acuh tak acuh. “Jangan peduliin Mama—kamu lanjut belajar aja.”

“Gak bisa. Napsu belajar Bian udah ilang gara-gara liat Mama bolak-balik ke kamar mandi.” Dua bola matanya menatap Mama, sembari membaca situasi dan kondisi yang ada. “Mama sakit perut?” tanya Bian penasaran.

Mama menggeleng spontan. “Gak sakit perut, sih. Mama cuman mual aja—sama pusing, makanya ke kamar mandi terus.”

“Masuk angin?”

“Gak tau.”

Bian lalu memicing tajam. Dia ingat bagaimana alur cerita dalam sinetron yang sering kali dia tonton di televisi. Mual seperti halnya orang masuk angin pada seorang wanita biasanya jadi pertanda kehamilan di usia dini.

Mama yang semula santai-santai saja, kini tampak salah tingkah begitu kedua matanya ditatap langsung oleh Bian.

“Apa?” tanya Mama.

“Mama hamil kali.” Tanpa memberi barang sedikitpun aba-aba Bian berkata demikian, sampai-sampai sukses membuat Mama hampir tersedak salivanya sendiri.

“Kebanyakan nonton sinetron!”

Bian tergelak kemudian. “Tapi bukannya bener, ya? Mual itu jadi salah satu tanda kehamilan? Siapa tau Mama hamil,” kata Bian, lalu dia mendapat tatapan mata menyalang dari Mama.

“Masih kecil bahas hamil-hamilan. Kamu jangan sok tau!”

Mendengar perkataan Mama barusan, membuat ingatan Bian kembali terputar ke belakang. Seingatnya materi soal kehamilan sudah dia pelajari bahkan saat masih duduk di bangku kelas 8 SMP, jadi dari segi usia agaknya Bian merasa cukup untuk berbicara soal kehamilan. Tapi, mungkin saja pembahasan ini mampu membuat perasaan Mama sedikit canggung.

Wajah Mama kemerahan. Jelas, tepat sekali dugaan Bian perihal Mama yang merasa canggung sebab dia membahas perihal kehamilan. Sambil berusaha untuk memikirkan topik pembicaraan lain, Bian memilih untuk menumpuk buku-bukunya yang sempat berserakan.

“Bi....” Belum juga menemukan topik pembicaraan baru, Mama lebih dulu menyebut namanya.

Aktivitas Bian sebelumnya, sontak saja terhenti. Bian menoleh ke arah Mama tanpa mengatakan apapun.

“Coba bayangin, deh. Kalau ternyata Mama beneran hamil lagi—”

“Bian seneng. Bian ikut seneng, kalau Mama hamil lagi.” Perkataannya sukses membuat napas Mama tercekat sepersekian detik. “Mama khawatir soal itu, kan?” timpal Bian.

Kemudian anggukan kepala Mama menjadi jawaban untuk pertanyaan yang baru saja Bian lontarkan.

“Bian udah tujuh belas, tahun ini. Mama gak perlu khawatir—Bian udah jauh dari kata puas buat dapetin semua perhatian Mama selama ini. Kalau ternyata Mama hamil lagi, Bian siap belajar buat jadi kakak yang baik.” Bian menghela napas kasar, lalu memilih bersandar pada sofa di belakangnya. “Mama pikir Bian bakal ngerasa iri, ya?” tanya Bian.

Mendengar itu, hati Mama rasanya sakit seketika. Mama sontak memutar tubuhnya mengahadap ke samping. Menatap bagaimana sorot mata Bian yang mendadak berubah menjadi sendu.

Mama menggeleng, “Bukan itu yang Mama pikirin, Bi. Mama sempet takut kalau kamu bakal ngejauh kalau Mama hamil lagi. Mama takut kalau nantinya perhatian yang Mama kasih, mungkin berat sebelah. Mama ... banyak takutnya.”

Bian menatap lurus sepasang mata Mama. Dan, di wajah Mama terukir jelas gurat kekhawatiran yang tengah Mama rasakan.

“Dulu, waktu pertama kali Mama tau kalau Mama lagi hamil kamu—Mama seneng banget. Waktu kamu lahir, Mama ngerasa kalau punya kamu sama Papa aja udah cukup. Tapi, belakangan ini sesuatu terus ganggu pikiran Mama. Gimana kalau nanti Papa sama Mama tiba-tiba dipanggil Tuhan? Kamu sendirian—”

“Ma, stop.”

“Atau, gimana kalau kamu udah nikah nanti? Mama sama Papa bakal kesepian—”

“Ma!” Bian praktis menyentuh pundak Mama dengan kedua tangan. “Pertama, Tuhan tau Bian masih butuh Papa sama Mama, jadi gak mungkin dia panggil kalian berdua secepet itu. Kedua, nikah? Bian aja belum lulus SMA?!” kata Bian menggebu-gebu.

“Lohhh? Bukannya yang di rumah sakit itu calon istri kamu, buktinya kamu lebih prioritasin dia daripada Mama.” Nada bicara Mama sok dramatis, dan direspon dengan suara decakan kesal dari mulut Bian.

“Kenapa harus dibahas lagi, sih?”

Bian hampir bangkit dari posisi duduknya, tapi gagal sebab tangan Mama menarik tubuh Bian seketika. “EH EH MAMA BERCANDA!” seru Mama sembari mendekap tubuh Bian erat-erat.

“Gak lucu, sumpah!” timpal Bian.

Bian kesal bukan karena mendengar Mama membahas Ajeng, atau semacamnya. Melainkan karena topik yang satu ini cukup melenceng dari topik sebelumnya. Kemudian, lebih dari itu—Bian spontan teringat betapa dinginnya atmosfer di sekitar Ajeng saat mereka saling berpapasan di sekolah sejak beberapa hari lalu. Entah karena gadis itu fokus menghadapi ujian, tidak dalam keadaan hati yang baik, atau mungkin Ajeng mendengar keributan yang dia ciptakan saat di rumah sakit. Pasalnya Bian sendiri merasa terlalu takut untuk sekedar menyapa lebih dulu, apalagi harus bertanya perihal alasan di balik sikap dingin Ajeng.

Mama berdecak, “Sabian ... apa sopan ngelamun depan Mama begini?”

“Bian gak ngelamun,” sahut Bian tak terima.

“Ayo lanjutin belajarnya, tanggung kalau disisain satu bab lagi.”

Bian lantas melirik Mama dengan sorot mata yang tajam. Apa semua perempuan di muka bumi ini senang sekali mengalihkan topik pembicaraan, seperti apa yang Mama lakukan sejak tadi?

“Kenapa, sih, mukanya begitu?”

“Ma?”

“Apa lagi?”

“Jujur aja, Mama lagi hamil ya?”

Mama menggeleng, lalu tangannya menyapu lembut kening Bian, sembari menatapnya lamat-lamat. “Mama gak tau, karna sama sekali belum ngecheck. Tapi kalau kenyataannya Mama beneran hamil, pasti Mama kasih tau kamu, Bi. Mama gak mungkin bohongin kamu, atau bahkan sembunyiin fakta tentang kehamilan Mama dari kamu.”

“Janji?”

Mama terkekeh, kemudian berdecak. “Iya, janji.”

Detik itu juga suara mesin mobil yang masuk ke pekarangan rumah, terdengar hingga ke dalam. Mama dan Bian saling tatap satu sama lain, sepertinya Papa baru saja pulang.

“Bian aja yang bukain pintunya, Ma!”

“Tumben?”

“Mau PDKT lagi sama Papa.”

Selanjutnya pecah tawa Mama. Tidak ada alasan untuk tidak tertawa selepas mendengar pengakuan Bian barusan. “Ada-ada aja!” seru Mama.

Lantas Bian juga ikut tertawa, seraya menjawab. “Biar jadi dibeliin motor, Ma.”

Ratu mengintip ke dalam kamar. Mengamati bagaimana Jeffrey yang kebetulan sibuk sejak pagi, bahkan di hari Sabtu seperti ini.

Ia menghela napas berat sejenak. Sudah bermenit-menit, yang Ratu lakukan hanya berdiri di ambang pintu kamar. Ia ingin masuk ke dalam, tapi takut kalau-kalau eksistensinya dapat mengganggu atensi Jeffrey pada sekumpulan map kertas, dan laptop di atas meja kerjanya.

Lalu, ketika kedua lututnya mulai terasa pegal, dan ia gelisah—suara Jeffrey menginterupsi. “Masuk, Ra, jangan diem di sana. Nanti kejepit pintu.”

Ratu membuka lebar pintu kamar yang semula dalam keadaan setengah tertutup itu. Berjalan masuk, dan di saat yang bersamaan Jeffrey beranjak dari tempat duduk dan mengambil langkah, menghampirinya.

“Tutup lagi pintunya, Ra.” Suara Jeffrey terdengar lembut seperti biasanya.

Lantas, Ratu memutar tubuhnya kembali. Melakukan apa yang Jeffrey minta. Menutup pintu kamar mereka rapat-rapat, sampai tak ada celah barang sedikitpun.

Untuk sejenak Ratu merasa ragu. Haruskah ia mengunci pintu di hadapannya, atau sekedar menutupnya seperti ini. Namun, pada akhirnya Ratu memutuskan untuk memutar kunci kamar sebanyak dua kali.

Sudut bibir Jeffrey tertarik ke atas, lalu terkekeh sendiri. “Kenapa, Ra?” Ia memiringkan kepalanya, “kok dikunci?” tanya Jeffrey yang tentunya untuk basa-basi.

“Aku mau ngomongin sesuatu yang serius.”

“Ngomongin?” Alis Jeffrey menukik sebelah kemudian. “Bukannya ngelakuin sesuatu yang serius...?”

Pipi Ratu memanas, hingga muncul rona merah pada seluruh wajahnya. Hampir terlihat seperti buah tomat yang sudah matang.

“Kalau mau cuddling itu bilang, Ra, jangan ngabisin parfum aku.” Jeffrey sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Ratu. “Tuh—ini bau aku nih.”

“Mas, aku....”

“Apa?”

“Jadi gini....” Ratu masih bingung memilih kata

“Di dahi kamu ada tulisannya, 'aku mau kamu' gitu.”

Sontak Ratu membeku di tempatnya. Sementara, di waktu yang bersamaan Jeffrey mengambil satu langkah lebih dekat. Menghapus setiap jarak di antara mereka, menangkup kedua pipi Ratu yang hangat, seraya tergelak untuk sesaat.

“Kayaknya selama ini kamu cuman suka kangen sama bau aku, ya? Bukan akunya?” kata Jeffrey sambil melirik tempat di mana parfum miliknya berada.

Ratu menggeleng semangat, “Gak gitu, ya!”

Ia berjinjit demi melingkarkan kedua tangannya di leher Jeffrey. “Mas ... Kamu lagi capek, gak?” Ratu dengan hati-hati bertanya demikian.

Telinga Jeffrey praktis memerah. Kedua tangannya kemudian membingkai tubuh Ratu di pinggang. Ia sengaja mendekatkan bibirnya pada telinga Ratu yang lucunya juga ikut kemerahan saat itu. Suara Jeffrey rendah untuk berbisik. “Beneran mau aku ternyata.”

Hening.

Nafas Jeffrey hangat, menyapu daun telinga hingga leher Ratu. “Ra ... aku juga kangen. Aku juga ... mau kamu.”

Percakapan mereka berhenti sampai di sana, sebab Jeffrey tiba-tiba saja mendaratkan banyak sekali kecupan kupu-kupu di sekitar leher Ratu. Aksi Jeffrey sebenarnya cukup sederhana, tapi bagi Ratu—itu sangat menggairahkan.

Jeffrey menghimpit tubuh Ratu, mendorong tubuhnya pada kedua buah dada istrinya itu. Kecupan-kecupan kecil darinya perlahan berubah menjadi sebuah sapuan lidah, hingga hisapan lembut yang kemudian membuat degup jantung Ratu meningkat.

Bibir Jeffrey beranjak turun, lalu mendarat cukup lama pada tulang selangka milik Ratu. Mencumbuinya dengan agresif hingga Ratu tak sengaja mengeluarkan sebuah lenguhan.

Ratu menggigit bagian dalam pipinya. Ia ingin bibir Jeffrey segera. Ditangkupnya dagu laki-laki itu supaya mendongak ke atas. Kemudian, tanpa permisi ia menempelkan kedua belah bibir mereka dalam kehangatan, hingga tak lama kemudian sebuah suara decakan lolos seketika. Kaki Ratu gemetar saat salah satu tangan Jeffrey menelusup masuk ke dalam piyamanya.

“Ra.”

“Hm?”

“Bian udah tidur, kan?” Jeffrey merasa was-was, sementara Ratu hanya merespon dengan sebuah anggukan singkat. “Berarti bisa sambil teriak-teriak mainnya.”

“Gila kamu?!” timpal Ratu.

Parfume

Ratu mengintip ke dalam kamar. Mengamati bagaimana Jeffrey yang kebetulan sibuk sejak pagi, bahkan di hari Sabtu seperti ini.

Ia menghela napas berat sejenak. Sudah bermenit-menit, yang Ratu lakukan hanya berdiri di ambang pintu kamar. Ia ingin masuk ke dalam, tapi takut kalau-kalau eksistensinya dapat mengganggu atensi Jeffrey pada sekumpulan map kertas, dan laptop di atas meja kerjanya.

Lalu, ketika kedua lututnya mulai terasa pegal, dan ia gelisah—suara Jeffrey menginterupsi. “Masuk, Ra, jangan diem di sana. Nanti kejepit pintu.”

Ratu membuka lebar pintu kamar yang semula dalam keadaan setengah tertutup itu. Berjalan masuk, dan di saat yang bersamaan Jeffrey beranjak dari tempat duduk dan mengambil langkah, menghampirinya.

“Tutup lagi pintunya, Ra.” Suara Jeffrey terdengar lembut seperti biasanya.

Lantas, Ratu memutar tubuhnya kembali. Melakukan apa yang Jeffrey minta. Menutup pintu kamar mereka rapat-rapat, sampai tak ada celah barang sedikitpun.

Untuk sejenak Ratu merasa ragu. Haruskah ia mengunci pintu di hadapannya, atau sekedar menutupnya seperti ini. Namun, pada akhirnya Ratu memutuskan untuk memutar kunci kamar sebanyak dua kali.

Sudut bibir Jeffrey tertarik ke atas, lalu terkekeh sendiri. “Kenapa, Ra?” Ia memiringkan kepalanya, “kok dikunci?” tanya Jeffrey yang tentunya untuk basa-basi.

“Aku mau ngomongin sesuatu yang serius.”

“Ngomongin?” Alis Jeffrey menukik sebelah kemudian. “Bukannya ngelakuin sesuatu yang serius...?”

Pipi Ratu memanas, hingga muncul rona merah pada seluruh wajahnya. Hampir terlihat seperti buah tomat yang sudah matang.

“Kalau mau cuddling itu bilang, Ra, jangan ngabisin parfum aku.” Jeffrey sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Ratu. “Tuh—ini bau aku nih.”

“Mas, aku....”

“Apa?”

“Jadi gini....” Ratu masih bingung memilih kata

“Di dahi kamu ada tulisannya, 'aku mau kamu' gitu.”

Sontak Ratu membeku di tempatnya. Sementara, di waktu yang bersamaan Jeffrey mengambil satu langkah lebih dekat. Menghapus setiap jarak di antara mereka, menangkup kedua pipi Ratu yang hangat, seraya tergelak untuk sesaat.

“Kayaknya selama ini kamu cuman suka kangen sama bau aku, ya? Bukan akunya?” kata Jeffrey sambil melirik tempat di mana parfum miliknya berada.

Ratu menggeleng semangat, “Gak gitu, ya!”

Ia berjinjit demi melingkarkan kedua tangannya di leher Jeffrey. “Mas ... Kamu lagi capek, gak?” Ratu dengan hati-hati bertanya demikian.

Telinga Jeffrey praktis memerah. Kedua tangannya kemudian membingkai tubuh Ratu di pinggang. Ia sengaja mendekatkan bibirnya pada telinga Ratu yang lucunya juga ikut kemerahan saat itu. Suara Jeffrey rendah untuk berbisik. “Beneran mau aku ternyata.”

Hening.

Nafas Jeffrey hangat, menyapu daun telinga hingga leher Ratu. “Ra ... aku juga kangen. Aku juga ... mau kamu.”

Percakapan mereka berhenti sampai di sana, sebab Jeffrey tiba-tiba saja mendaratkan banyak sekali kecupan kupu-kupu di sekitar leher Ratu. Aksi Jeffrey sebenarnya cukup sederhana, tapi bagi Ratu—itu sangat menggairahkan.

Jeffrey menghimpit tubuh Ratu, mendorong tubuhnya pada kedua buah dada istrinya itu. Kecupan-kecupan kecil darinya perlahan berubah menjadi sebuah sapuan lidah, hingga hisapan lembut yang kemudian membuat degup jantung Ratu meningkat.

Bibir Jeffrey beranjak turun, lalu mendarat cukup lama pada tulang selangka milik Ratu. Mencumbuinya dengan agresif hingga Ratu tak sengaja mengeluarkan sebuah lenguhan.

Ratu menggigit bagian dalam pipinya. Ia ingin bibir Jeffrey segera. Ditangkupnya dagu laki-laki itu supaya mendongak ke atas. Kemudian, tanpa permisi ia menempelkan kedua belah bibir mereka dalam kehangatan, hingga tak lama kemudian sebuah suara decakan lolos seketika. Kaki Ratu gemetar saat salah satu tangan Jeffrey menelusup masuk ke dalam piyamanya.

“Ra.”

“Hm?”

“Bian udah tidur, kan?” Jeffrey merasa was-was, sementara Ratu hanya merespon dengan sebuah anggukan singkat. “Berarti bisa sambil teriak-teriak mainnya.”

“Gila kamu?!” timpal Ratu.

Ratu mengintip ke dalam kamar. Mengamati bagaimana Jeffrey yang kebetulan sibuk sejak pagi, bahkan di hari Sabtu seperti ini.

Ia menghela napas berat sejenak. Sudah bermenit-menit, yang Ratu lakukan hanya berdiri di ambang pintu kamar. Ia ingin masuk ke dalam, tapi takut kalau-kalau eksistensinya dapat mengganggu atensi Jeffrey pada sekumpulan map kertas, dan laptop di atas meja kerjanya.

Lalu, ketika kedua lututnya mulai terasa pegal, dan ia gelisah—suara Jeffrey menginterupsi. “Masuk, Ra, jangan diem di sana. Nanti kejepit pintu.”

Ratu membuka lebar pintu kamar yang semula dalam keadaan setengah tertutup itu. Berjalan masuk, dan di saat yang bersamaan Jeffrey beranjak dari tempat duduk dan mengambil langkah, menghampirinya.

“Tutup lagi pintunya, Ra.” Suara Jeffrey terdengar lembut seperti biasanya.

Lantas, Ratu memutar tubuhnya kembali. Melakukan apa yang Jeffrey minta. Menutup pintu kamar mereka rapat-rapat, sampai tak ada celah barang sedikitpun.

Untuk sejenak Ratu merasa ragu. Haruskah ia mengunci pintu di hadapannya, atau sekedar menutupnya seperti ini. Namun, pada akhirnya Ratu memutuskan untuk memutar kunci kamar sebanyak dua kali.

Sudut bibir Jeffrey tertarik ke atas, lalu terkekeh sendiri. “Kenapa, Ra?” Ia memiringkan kepalanya, “kok dikunci?” tanya Jeffrey yang tentunya untuk basa-basi.

“Aku mau ngomongin sesuatu yang serius.”

“Ngomongin?” Alis Jeffrey menukik sebelah kemudian. “Bukannya ngelakuin sesuatu yang serius...?”

Pipi Ratu memanas, hingga muncul rona merah pada seluruh wajahnya. Hampir terlihat seperti buah tomat yang sudah matang.

“Kalau mau cuddling itu bilang, Ra, jangan ngabisin parfum aku.” Jeffrey sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Ratu. “Tuh—ini bau aku nih.”

“Mas, aku....”

“Apa?”

“Jadi gini....” Ratu masih bingung memilih kata

“Di dahi kamu ada tulisannya, 'aku mau kamu' gitu.”

Sontak Ratu membeku di tempatnya. Sementara, di waktu yang bersamaan Jeffrey mengambil satu langkah lebih dekat. Menghapus setiap jarak di antara mereka, menangkup kedua pipi Ratu yang hangat, seraya tergelak untuk sesaat.

“Kayaknya selama ini kamu cuman suka kangen sama bau aku, ya? Bukan akunya?” kata Jeffrey sambil melirik tempat di mana parfum miliknya berada.

Ratu menggeleng semangat, “Gak gitu, ya!”

Ia berjinjit demi melingkarkan kedua tangannya di leher Jeffrey. “Mas ... Kamu lagi capek, gak?” Ratu dengan hati-hati bertanya demikian.

Telinga Jeffrey praktis memerah. Kedua tangannya kemudian membingkai tubuh Ratu di pinggang. Ia sengaja mendekatkan bibirnya pada telinga Ratu yang lucunya juga ikut kemerahan saat itu. Suara Jeffrey rendah untuk berbisik. “Beneran mau aku ternyata.”

Hening.

Nafas Jeffrey hangat, menyapu daun telinga hingga leher Ratu. “Ra ... aku juga kangen. Aku juga ... mau kamu.”

Percakapan mereka berhenti sampai di sana, sebab Jeffrey tiba-tiba saja mendaratkan banyak sekali kecupan kupu-kupu di sekitar leher Ratu. Aksi Jeffrey sebenarnya cukup sederhana, tapi bagi Ratu—itu sangat menggairahkan.

Jeffrey menghimpit tubuh Ratu, mendorong tubuhnya pada kedua buah dada istrinya itu. Kecupan-kecupan kecil darinya perlahan berubah menjadi sebuah sapuan lidah, hingga hisapan lembut yang kemudian membuat degup jantung Ratu meningkat.

Bibir Jeffrey beranjak turun, lalu mendarat cukup lama pada tulang selangka milik Ratu. Mencumbuinya dengan agresif hingga Ratu tak sengaja mengeluarkan sebuah lenguhan.

Ratu menggigit bagian dalam pipinya. Ia ingin bibir Jeffrey segera. Ditangkupnya dagu laki-laki itu supaya mendongak ke atas. Kemudian, tanpa permisi ia menempelkan kedua belah bibir mereka dalam kehangatan, hingga tak lama kemudian sebuah suara decakan lolos seketika. Kaki Ratu gemetar saat salah satu tangan Jeffrey menelusup masuk ke dalam piyamanya.

“Ra.”

“Hm?”

“Bian udah tidur, kan?” Jeffrey merasa was-was, sementara Ratu hanya merespon dengan sebuah anggukan singkat. “Berarti bisa sambil teriak-teriak mainnya.”

“Gila kamu?!” timpal Ratu.

Langit yang semula biru, kini sudah gelap sempurna. Hampir pukul sembilan malam. Tapi Bian sama sekali tak beranjak dari sebuah kursi kayu di depan meja belajarnya. Menatap nanar setumpuk buku pelajaran yang ada di atas sana.

Hening. Bian tenggelam dalam pikirannya, kemudian sesekali dia bergumam pada selinting kertas di tangannya. Harus minta maaf ke siapa dulu, ya? Pada Papa yang sepertinya lagi-lagi menerapkan silent treatment untuknya, atau pada Mama yang Bian ketahui tengah marah basar?

Bian menghela napas panjang. Ingatan tentang Mama yang menampar pipinya untuk pertama kali, kembali terputar. Disentuhnya pipi yang sejak tadi masih meninggalkan sensasi cenat cenut itu. Bian meringis. Rasa panas yang telapak tangan Mama tinggalkan masih membekas.

Kalau membahas perihal sadar atau tidaknya Bian pada kesalahannya kali ini—jawabannya tentu, iya. Bian sadar seberapa fatal kesalahannya, maka dari itu wajar kalau-kalau Mama sampai habis kesabaran. Ditamparpun sejujurnya dia pasrah. Tapi, di sisi lain Bian pikir dia masih terlalu muda untuk mati penasaran hanya karena perasaannya yang tak kunjung mendapat kejelasan. Pasalnya kalau dilihat-lihat, selama ini Ajeng juga sama tertariknya dengan Bian—yah, walaupun gadis itu sudah berkali-kali mengatakan kalau dia sama sekali tak berminat menjalin sebuah hubungan romansa.

Ekspresi wajahnya menjadi masam. Bian dengar, dan dia paham sejak awal. Bian cukup mengerti kalau tidak semua hal di muka bumi ini bisa dia dapatkan, termasuk Diajeng Pramesti yang kalau tersenyum, manisnya mampu mengalahi gula jawa di dapur Mama.

Hanya saja, melepaskan Ajeng memang tidak semudah yang Zaid atau bahkan Ozi bayangkan. Masalahnya Ajeng adalah satu-satunya wanita selain Mama yang mampu menarik atensi Bian setelah enam belas tahun, sebelas bulan, dan delapan hari masa hidupnya. Lalu fakta lainnya adalah, Bian merasa dia sering kali membutuhkan eksistensi Ajeng, sejak hari di mana gadis itu mulai andil dalam upaya-upaya penyelesaian masalah-masalah hidupnya.

Ajeng tidak pernah keberatan kala Bian bercerita panjang kali lebar mengenai apa yang dia suka dan benci saat berada di rumah. Ajeng tidak keberatan kalau-kalau dia harus memberi saran dan masukan bagi Bian perihal masalahnya dengan Mama atau Papa, meski pada kenyataannya hal itu mungkin menyinggung perasaan Ajeng, mengingat apa yang sudah terjadi dalam keluarganya. Lalu sebut Bian bodoh, dia akan terima. Karena menurut Bian, menaruh perasaan untuk Diajeng Pramesti bukanlah sebuah kesalahan. Bian hanya merasa, kalau pada dasarnya dia lah satu-satunya kesalahan di sini.

Tok tok tok!

Tiba-tiba suara pintu diketuk membuyarkan keterdiaman Bian. Dia beranjak dari kursinya seketika. Kemudian, pintu yang terbuka menampilkan sosok wanita paruh baya di baliknya. Budhe Lasih datang membawa makan malam.

Bian bergeming. Bodohnya dia berencana mogok makan demi mengemis belas kasih Mama, namun justru Budhe Lasih yang terketuk pintu hatinya.

“Mas, ini cepet dimakan. Budhe mau cuci piring.”

“Mama mana?” tanya Bian penasaran.

“Ibu, sama Bapak udah makan malem dari tadi. Sekarang Ibu lagi di kamar, kalau Bapak sih, Budhe gak tau, Mas. Tadi keluar naik mobil.”

Cukup lama Bian terdiam. Menatap mata Budhe Lasih, dan sesekali melihat makanan yang beliau bawa menggunakan nampan kesayangan Mama. “Taro di meja makan aja Budhe, nanti Bian ke sana—sama Mama.” Bian berpesan demikian, sebelum akhirnya beringsut pergi ke luar kamar dengan sebuah tongkat kruk yang dia sambar lalu diapit di ketiaknya.

Sementara Budhe Lasih yang ditinggalkan begitu saja, diam-diam menahan sebuah tawa. “Mas Bian, Mas Bian ... pasti berantem lagi sama Ibu, Bapak,” kata Budhe Lasih, lalu geleng-geleng.


Saat sampai di depan pintu kamar Mama, Bian sadar kalau ini mungkin akan jadi satu-satunya maaf yang tersisa. Pasalnya sudah berkali-kali dia membuat Mama marah, dan mungkin juga setelah ini, tindakan yang Mama ambil bisa saja menendangnya dari rumah.

Diiringi deru napas yang masih tersengal-sengal akibat berjalan menggunakan kakinya yang masih pincang—tangan Bian terulur. Mengetuk pintu kamar Mama dengan rasa harap-harap cemas.

Tok! Tok! Tok!

“Mama...,” kata Bian lirih. Namun, yang dia dapati hanya sebuah keheningan.

Tok! Tok! Tok!

“Mama, ini Bian ... Bian mau minta maaf, Ma.” Sedetik, dua detik—rupanya kalimat itu belum cukup untuk mengetuk pintu hati Mama. Mama tak kunjung merespon, dan Bian menarik napas panjang. Matanya terpejam sejenak, mengingat kembali bagaimana raut wajah Mama yang tampak sangat kecewa ketika mereka di rumah sakit tadi.

Sesak. Dada Bian seketika rasanya sakit. Jauh lebih sakit ketimbang saat cinta pertamanya ditolak mentah-mentah oleh Ajeng. Bahunya terkulai lemas, sesaat sebelum sebuah bulir air matanya tiba-tiba menetes. Cengeng. Perasaan emosional Bian mulai menjalar keseluruh tubuh sepertinya, sebab detik kemudian dia berani mengetuk pintu kamar Mama lebih kencang dari sebelumnya.

“Bian minta maaf, Ma!”

“Bian salah, Bian minta maaf!”

“Bian janji gak bakal ngelakuin kesalahan ini lagi, tapi tolong buka dulu pintunya, Ma!”

Sambil terus berteriak gaduh, Bian mengetuk pintu kamar Mama. Sesekali dia kumpulkan asanya yang mulai jatuh berserakan. Bian enggan beranjak sampai Mama menemuinya.

Lalu persis seperti yang dia harapkan, suara pintu kamar yang berderit terdengar setelahnya. Bian yang semula menunduk, kini mendongak seketika. Terperanjat, sebab Mama tiba-tiba saja berdiri di hadapannya dan masih dengan pakaian yang sama, namun dengan penampilan yang sedikit berantakan. Diam-diam Bian mencuri tatap mata Mama. Ada jejak air mata di sudut pipinya—membuat Bian kembali digerayangi oleh sebuah perasaan tak nyaman.

Mama sendiri hanya mematung. Menatap Bian dengan tatapan kosong.

“Susah punya anak laki-laki....” Mama akhirnya membuka suara meski sedikit gemetar. “Sekarang kamu maunya gimana? Kamu mau apa ke sini? Udah sana kabur aja lag—” Sarkasnya perkataan Mama terjeda seketika, tatkala Bian sekonyong-konyong mengenggam tangannya.

“Bian minta maaf, Ma.”

Mama bergeming.

“Bian minta maaf udah buat semua orang khawatir—”

“Mama gak khawatir.” Mama menimpali. Membalas bagaimana cara Bian memotong kalimat Mama sebelumnya.

Kemudian sepasang mata milik Bian lagi-lagi memburam. Pekat, dan terasa penuh. Hanya satu kalimat, namun dampaknya luar biasa untuk Bian. Sementara Mama berpaling tanpa sedikitpun rasa empati, bibir mencebik—tepat sebelum dia berlutut dan memeluk kaki Mama hingga samar-samar terdengar suara isakan tangis yang terkesan mendramatisir suasana.

“Bian minta maaf, Ma! Bian udah janji sama diri Bian sendiri kalau ini yang terakhir. Bian janji ini terakhir kalinya Bian bikin Mama kecewa, Ma. Bian minta maaf....” Sembari memeluk kaki Mama sekuat tenaga, Bian berkata demikian.

Malam itu keadaan ruang keluarga di depan kamar Mama sebelumnya sepi. Sebab Papa pergi entah ke mana, dan selain Mama yang berada di dalam kamar—hanya ada Bian dan Budhe Lasih di lantai atas. Tapi, kini jadi lebih gaduh karena Bian melakukan drama tangisan di kaki Mama. Bian sendiri yakin kalau Budhe Lasih sedikit banyak menguping dari dapur. Entah saat ini apakah beliau tengah menertawai tingkah Bian atau justru merasa jengah—Bian masa bodoh.

Sebab hanya dengan begitu, Bian baru berhasil menarik kembali simpati Mama. Membuat Mama melihatnya dengan tatapan iba. Pasalnya menurut sepengetahuan Mama, Bian belum pernah terlihat semenyesal ini untuk kesalahannya.

Helaan napas gusar keluar dari mulut Mama. “Kamu paling jago kalau soal jual kesedihan ke Mama, Bi. Kamu juara satunya.” Lantas Mama membungkuk. Menangkup kedua sisi dari pundak Bian yang sejak tadi memang sudah menunggu Mama melakukan hal tersebut.

“Bangun.”

Bian menyedot cairan ingusnya yang hampir saja menetes ke luar. “Susah, Ma,” sahutnya. Kemudian dengan tampang tak berdosa, Bian merentangkan kedua tangannya tinggi-tinggi dengan harapan supaya mendapat bantuan dari Mama. Dan, ya! Mama seperti biasa, mudah luluh. Dibantunya Bian berdiri tegak, namun saat Mama ingin kembali membungkuk demi meraih kruk milik Bian—bocah itu lebih dulu memeluk Mama erat-erat seperti takut ditinggalkan.

“Bian minta maaf. Bener-bener minta maaf.”

Ibarat ditikam sebuah benda tajam, dada rasanya sakit. Suara lirih Bian berbisik di belakang telinga Mama. Kedengarannya getir. Mama sendiri tahu kalau meminta maaf pada orang tua itu sulit sekali rasanya, tapi Bian fasih. Seperti seketika hilang sudah rasa kesal Mama pada Bian.

“Iya ... Mama maafin.” Kemudian dekapan hangat Mama membalas Bian. Atmosfer persis seperti bertahun-tahun yang lalu, saat Bian masih duduk di bangku TK. Nyaman. Pelukan Mama itu nyaman.


Ingat soal apa yang Bian katakan pada Budhe Lasih beberapa saat yang lalu? Yah, di sini lah Bian sekarang. Duduk pada sebuah kursi di sisi meja makan, berteman Mama yang saat ini tengah cosplay menjadi dayang-dayang. Sebut Bian anak kurang ajar, itu bukan masalah. Pasalnya baru beberapa menit yang lalu dia menangis bombay di kaki Mama—sekarang sudah cengangas-cengenges sebab disuapi makan oleh Mama di jam setengah sepuluh malam.

Dengan lahap dan perasaan senang yang menggebu-gebu, Bian menyantap makan malamnya tanpa peduli kalau juga ada Budhe Lasih di sana yang sibuk mencibir sejak tadi.

“Mas Bian kayak anak kecil aja.” Budhe Lasih menyodorkan segelas air yang baru saja dituang dari dispenser kulkas.

Mama tergelak. “Emang masih bayi ini, mah, Budhe!” Begitu kata Mama.

Sepanjang makan, Bian full senyum—sebelum akhirnya suara mobil Papa terdengar samar-samar di halaman rumah. Agaknya dia masih panik, takut kalau harus dengan bertemu Papa.

Klek!

Duduk di ruang makan yang teknisnya menghadap langsung dengan pintu utama, membuat Bian dapat melihat presensi Papa secara terang-terangan. Ada sekantung kresek putih yang Papa tenteng di tangan kanannya.

“Mas?”

Papa berjalan mendekat ke arah meja makan. Setiap langkah yang Papa ambil, sukses menambah degup jantung Bian semakin cepat. Wajah yang dingin, ditambah rahang yang sepertinya masih mengeras sepert saat Bian melihat Papa di rumah sakit tadi mampu membuat senyum Bian luntur seketika.

Sementara itu, di sisi lain ada Mama yang justru semakin menarik sudut bibirnya. “Apa itu, Mas?” tanya Mama.

“Es krim.” Lalu Papa melengos, sesaat setelah menyerahkan bungkusan es krim ke tangan Mama. Papa berjalan menjauh, bahkan mengabaikan dua orang lainnya. Seakan tak peduli dengan eksistensi Bian sedikitpun.

“Mas?? Kenapa?” pekik Mama secara spontan.

“MARAHNYA KURANG LAMA, RA!”

Bian terus menunduk sejak beberapa saat lalu. Diam membisu, mendengar seribu satu ocehan yang keluar dari dalam mulut Zaid. Mungkin sebentar lagi akan habis riwayat mereka bertiga, mengingat sang papa, dan barangkali teman-teman dari orang tuanya itu ikut datang.

“Lagian elo tuh—ah! nekat banget, Anjing!” Zaid menarik napas, kesal. “Elo juga, Ji. Mau-mauan aja disuruh sama dia demi duit.”

Mendengar bagaimana Zaid marah-marah, sembari menyalahkan dirinya, lantas Ozi berdecak. Dalam benak dia kesal, toh Zaid juga pada akhirnya bersedia ikut tanpa paksaan. “Terus apa bedanya sama lo?”

Kemudian, di waktu yang bersamaan dengan Bian mengangkat dagunya, dia melihat bagaimana Zaid merotasikan mata ditambah raut wajah sinis yang tercetak jelas.

“Jelas-jelas gue ikut karna lo sama Bian!” seru Zaid.

“Ya, gua juga karna Bian.”

“Karna duit!” kata Zaid mengkoreksi perkataan Ozi.

Menyaksikan perdebatan sengit itu, bahu Bian merosot. Sadar kalau masalah yang satu ini lagi-lagi karena ulahnya. Jangankan ikut menimpali keduanya, menatap wajah Zaid dan Ozi lebih lama saja Bian tidak mampu. Bian terus mengingat pesan terakhir yang Zaid dapat dari sang papa. Dia bergidik ngeri.

Tiba-tiba saja suasana mendadak hening. Zaid dan Ozi berhenti di tengah-tengah perdebatan mereka begitu saja. Lalu, detik selanjutnya Bian baru tersadar kalau presensi kedua orang tuanya lah yang membuat atmosfer di sekitar mereka berubah seketika. Sementara Zaid dan Ozi saling menyenggol satu sama lain, Bian justru diam dan mematung di tempat. Menatap garangnya wajah Papa yang perlahan tapi pasti kian mendekat. Tepat di belakang Papa, ada Mama yang kelihatannya tidak bersemangat. Mama marah? Tentu.

“Bian!” Baik Zaid maupun Ozi refleks menoleh ke arah Bian. “Ayo pulang,” kata Papa dengan nada paling dingin yang pernah Bian dengar.

Sorot mata Bian menelisik. Mengamati situasi, kira-kira seperti apa suasana hati Papa dan Mama saat ini. Kemudian, sesaat, selepas kedua manik matanya bertemu dengan milik sang Papa, suara bariton Papa kembali menginterupsi.

“Kuping kamu udah gak berfungsi, ya? Papa bilang ayo pulang!” seru Papa yang kemudian menarik bahu Bian dengan paksa.

Sementara Bian, saat dibentak oleh Papa seperti barusan bukannya takut, justru sibuk memberontak. Berusaha melepas cengkraman tangan Papa pada bahunya. “Sebentar, Pa, Bian mau pamit sama Ajeng, Pa!” rengeknya.

“Gak ada. Pulang sekarang!”

“Sebentar aja, Pa!”

Plak!

Tubuh Bian gontai seketika. Kruk bantu jalan yang semula dia pegang erat-erat pun terlepas. Tangannya spontan menyentuh pipi yang baru saja menjadi sebuah sasaran paling empuk atas kekesalan Mama. Bian membisu. Ada jejak kemerahandi pipinya, dan panas.

Zaid, Ozi, juga Papa memilih untuk bergeming tatkala melihat bagaimana ekspresi Mama setelahnya.

“Setiap kali, Bian—setiap kali kamu ngelakuin kesalahan, Mama selalu bantu kamu lolos dari Papa. Setiap kali kamu bohongin Mama, selalu Mama maafin. Semua yang kamu mau, selalu Mama penuhin sebagai orang tua. Mama gak pernah nuntut banyak dari kamu, SABIAN!” Mama menggertak. Saking pekatnya kekesalan Mama, suara napasnya bahkan seakan gemetar. “Tapi pernah gak sekali aja, kamu mikirin gimana Mama? Kamu bahkan gak pamit waktu ke sini, padahal semua orang di rumah khawatirin kamu!”

“Ma....”

“Kamu mikir, gak?!” Napas Mama tersengal-sengal. “Kok bisa, sih, kamu lebih mikirin orang asing daripada keluarga kamu? Pamit sama Ajeng kamu bilang?”

Lalu tawa sumbang Mama mengudara. Mama meraih kerah pakaian Bian dengan kasar. “Kamu kepikiran gak buat pamit sama Mama, Bi?? Enggak! Mama udah hampir gila cuman karena denger kabar kamu tiba-tiba ada di rumah sakit!”

“Ra, udah, ayo pulang.” Papa akhirnya melerai.

Diam-diam air mata Bian mengalir. Diam-diam ada banyak pasang mata yang memperhatikannya sejak tadi, karena praktisnya mereka tengah berada di sebuah lorong rumah sakit yang sudah pasti dilalui banyak orang.

Papa merangkul pundak Mama, sembari sesekali membari usapan menenangkan.

“Ozi, tolong anterin Zaid pulang dulu, di dicariin sama orang tuanya.”

“Iya, Om.” Ozi mengangguk-angguk patuh.

Selanjutnya, Papa melirik pada Bian yang sepertinya sudah hampir terisak, namun masih dia tahan. “Kamu kalau mau pulang, sekarang. Kalau gak mau, tidur aja di jalanan mulai malem ini.”

Kala itu senyum Papa mengembang sempurna usai mendapat kabar bahagia yang datangnya dari Om Yudhis. Sembari tergesa menuruni tangga, dia meneriaki nama Mama. Larangan yang sempat Om Yudhis katakan tentunya tak berarti apa-apa bagi Papa sebab, dia ingin membagi kebahagian ini secepatnya pada Mama.

Namun tiba-tiba langkahnya terhenti tatkala dia menangkap presensi Mama yang tengah berlarian di dalam rumah sambil memasang ekspresi panik di wajahnya. Kenapa? Seingat Papa, ini belum lama sejak Mama mengirim pesan singkat mengenai Bian yang katanya tengah tertidur, tapi tampak sangat gemas—dengan suasana hati yang sepertinya jauh lebih baik dibanding saat ini. Lalu, tanpa pikir panjang Papa kembali mengambil langkah menuruni sisa anak tangga yang ada.

“Kenapa, Ra?” tanya Papa, masih sambil berjalan mendekat sebelum akhirnya dia sadar kalau ternyata diam-diam air mata mama merembes dari sudut-sudut matanya.

“Mas—Bian gak ada. Aku udah cari ke mana-mana, tapi tetep gak ketemu, Mas.”

Kening Papa sontak mengernyit. “Bukannya lagi tidur di kamar?” tanya Papa memastikan, lalu dibalas gelengan cepat oleh Mama.

“Tadi aku ngerasa mau liat Bian lagi di kamarnya, tapi begitu aku liat, cuman ada guling sama bantal yang ditutupin selimut—Mas ... Bian ke mana?”

Mendengqr sedikit kesaksian Mama barusan mampu membuat degupan jantung Papa bekerja lebih cepat. Lantas, dengan langkah besar-besar Papa menuju pintu kamar Bian.

Brak!

Suara benturan pintu dan dinding kamar Bian agaknya mampu memekakan telingan siapapun yang mendengarnya. Dan, benar. Hening, sebab tidak ada siapa-siapa di dalam kamar Bian. Kemudian, mata Papa terpejam untuk beberapa saat. Seketika perasaan cemas yang berlebihan menjalar di sekujur tubuh Papa. Di antara bayang-bayang kenakalan Bian, Papa mencoba menormalkan kembali deru napasnya.

“Telpon Bian—” Belum usai perkataan Papa, gestur Mama menujuk ke arah sebuah nakas lebih dahulu menginterupsi.

“Hp-nya dia tinggal. Tadi sebelum kamu suruh, aku udah coba telpon dia.”

Butuh waktu setidaknya dua menit bagi Papa untuk mencerna apa yang sebenarnya tengah terjadi di sini. Guling yang sebelumnya sengaja ditutupi selimut, ponsel yang sengaja tidak dibawa oleh Bian, serta kepergian yang terkesan mendadak bahkan tanpa sepatah pun kata pamit. Di sisi lain, Mama semakin cemas. Jelas, memangnya ibu mana yang tidak akan seperti ini kalau anaknya menghilang tiba-tiba?

Papa meraih ponsel Bian tepat sebelum memutuskan untuk keluar dari kamar itu. Suara debaman pintu yang Papa pukul begitu keras, spontan mengejutkan Mama.

“Budhe Lasih!?” panggil Papa pada seorang asisten rumah tangga yang memang sudah bekerja di sana sejak lama.

Budhe Lasih sontak beringsut, sambil menenteng ujung dasternya yang usut punya usut begitu kebesaran. “I—iya, Pak?” sahut Budhe Lasih setengah gugup. Pasalnya Papa jarang sekali memanggil namanya dengan nada tinggi seperti yang baru saja Papa lakukan. Mungkin pernah, tapi dulu sekali. Terlebih biasanya Papa menghormati Budhe Lasih sebagaimana Papa menghormati orang tua lainnya.

“Budhe liat Bian?” tanya Papa to the point.

Kemudian dengan berat hati Budhe menggeleng. Wong, sejak pagi Budhe sibuk berkutat di dapur, dan menyetrika segunung pakaian yang sudah usai dijemur. “Saya gak liat, Pak,” jawab Budhe Lasih jujur.

Tak lama, Mama menyusul ke luar. “Mas, ayo lapor ke polisi.” Sambil menunduk dalam-dalam, Mama mengusap sudut matanya.

“Gak perlu. Polisi gak terima laporan tentang anak kabur dari rumah.” Lalu, Papa menjulurkan tangannya. Menyerahkan ponselnya pada Mama. “Kamu tau gak pola HP-nya?” tanya Papa. Sebab, kebetulan Papa tidak tahu-menahu perihal pola maupun sandi ponsel milik Bian. Namun, sayangnya Mama juga kurang memperhatikan acapkali Bian memainkan ponsel di dekatnya.

“Aku gak tau, Mas.” Suara Mama berbisik. Mungkin takut kalau-kalau dianggap tidak peduli soal anak mereka satu-satunya.

Melihat bagaimana Mama sekarang, membuat Papa merasa ikut bersalah. Sebeb, pada dasarnya Mama itu cengeng—maka sudah pasti akan terbawa suasana dan berakhir menangis seperti ini. Padahal jelas-jelas menghilangnya Bian ini adalah salah satu bentuk kenakalannya yang lain, tapi Mama terlalu naif. Dengan langkah kecil, Papa mendekat. Menarik Mama masuk ke dalam pelukan.

“Udah jangan nangis. Coba kita tanya ke temen-temennya dulu.”

Memang benar kalau tingkah nakal Bian tidak akan ada habisnya. Seperti baru kemarin mencium aspal, hari ini sudah bertekad untuk melompat dari jendela kamar. Apa lagi kalau bukan demi melihat langsung keadaan sang mantan pujaan hati—Diajeng Pramesti?

Bian menatap pantulan dirinya pada cermin. Beberapa saat lalu dia masih lengkap memakai piyamanya. Duduk dengan manis di atas ranjang, sembari sibuk pura-pura membaca sebuah buku pelajaran, demi mengelabui Mama. Sekarang, piyama itu sudah tergantikan oleh baju putih bertuliskan 'I Love Bali' yang serasi dengan sebuah celana training yang menutupi gips pada kakinya.

“Lebih baik minta maaf, daripada pamit—iya, kan?” tanya Bian pada pantulan wajahn. “Iya.” Usai menimpali perkataannya sendiri, lantas Bian mengusap wajahnya frustrasi. “Sekali lagi. Gue janji sama diri gue sendiri, kalo ini jadi terakhir kali sekaligus penutup perjalanan cinta gue yang macet, dan gak jelas ini.”

Bian memutar tubuhnya. Berjalan pincang menuju ranjang. Sebuah buku yang sempat dia jadikan sebagai senjata dalam kebohongannya kali ini, diraih. “Sori. Buat lo, gue janji abis ini, atensi gue cuman ke lo....” Buku yang semula dia ajak bicara itu, dia letakkan di atas nakas.

Kini, sorot mata Bian beralih ke pintu. Takut kalau sewaktu-waktu Mama atau Papa berkunjung ke kamarnya—Bian spontan meraih guling dan selimutnya. Menata kedua benda itu sebaik mungkin, sampai seolah-olah menyerupai dirinya yang tengah terlelap di bawah kehangatan selimut.

“Bian minta maaf, Ma ... Pa....”

Perasaannya tak tenang. Jantungnya seakan tengah dipenuhi oleh ribuan petasan tahun baru.

Sesuai kesepakatannya dengan Ozi, Bian akan menemuinya di luar pekarangan rumah. Maka, mau tidak mau, untuk sampai di luar gerbang rumah milik Papa itu—sebelumnya dia perlu melompat keluar jendela, menggunakan kaki pincangnya. Ini gila. Faktanya ini jauh lebih gila dari sebuah ketidaksengajaannya membawa Zaid ikut mencium aspal. Bian meringis tatkala membayangkan bokongnya mendarat lebih dahulu.

Dan, tanpa menunggu lama—Bian mulai melancarkan aksinya. Pertama-tama, dengan sengaja dia melempar kruknya keluar jendela. Suara besi yang membentur keramik pun terdengar gaduh. Bian refleks menoleh ke arah pintu.

Satu detik, lima detik, sepuluh detik. Agaknya situasi saat itu aman. Tidak ada tanda-tanda Mama atau Papa akan datang.

Kemudian, Bian menumpu tangannya pada kisi jendela. Dan, semua beban tubuhnya, dia tahan menggunakan tangan. Kaki kirinya naik terlebih dahulu, sebelum akhirnya disusul oleh kaki sebelah kanan yang keadaannyajauh lebih lemah. “Tinggal satu step lagi, Bi. Terjun bebas—akhh!”

Bian lagi-lagi jatuh dengan posisi yang sama seperti saat di rumah sakit.

“Anjing....” Kaki bahkan punggungnya sakit bukan main. Dia ingin berteriak lebih kencang, tapi ingat kalau saat ini dirinya dalam upaya melarikan diri.

Celingak-celinguk kepala Bian. Memeriksa apakah ada Budhe Lasih—sang asisten rumah tangga, atau mungkin pak satpam di sekitarnya namun, nihil. Sontak Bian menarik napas lega.

Dengan terburu-buru Bian berusaha berdiri menggunakan kruknya. Dan, pada saat itu juga dia tersadar kalau ponselnya masih tertinggal di dalam kamar. Bian berdecak pasrah. Mungkin kali ini lebih baik dia tidak membawa ponsel, daripada harus jatuh dari kisi jendela untuk kedua kalinya.

Sepi. Entah ke mana perginya pak satpam yang menjaga rumah Papa. Eksistensinya Bian pertanyakan meski tengah berada di momen seperti ini. Jangan-jangan makan gaji buta?

Masih sembari menoleh ke kanan dan ke kiri, Bian berjalan menuju gerbang utama. Pada setiap langkahnya, Bian mengeluh kesakitan. Sementara itu, presensi Zaid dan Ozi sudah muncul di balik gerbang. Sialnya kali ini mereka benar-benar akan menumpangi satu motor, bertiga.

Di sisi lain, alih-alih membantu Bian yang tampak kesulitan untuk berjalan, Zaid justru memasang muka masam, sembari melempar tatapan nyalang.

“Bantuin temen lo, Id! Malah diliatin doang, yeh.” Ozi hampir saja menurunkan standar motornya untuk membantu Bian kalau-kalau kakinya tidak ditendang oleh Zaid kala itu.

“Tolol, Anjing! Untung gak jatoh!” seru Ozi, kesal.

“Biarin aja dia. Ini, kan, pilihan dia. Biar usaha.”

Bian membuka gerbang penuh kesulitan. Pasalnya tangan kanan Bian masih harus menahan kruknya agar tidak jatuh, sementara mendorong gerbang rumahnya menggunakan satu tangan saja, tentunya terlalu berat. “Lo berdua tega-teganya cuman ngeliatin gue?” kata Bian tak percaya.

“Usaha sendiri,” sahut Zaid.

“Susah!”

Melihat bagaimana frustrasinya Bian saat itu, barulah Zaid turun tangan. “Makanya, minimal mikir. Lagi kesusahan aja sok-sokan peduli sama orang. Orangnya gak nganggep lo lagi....” Tangan kiri Zaid sembari membantu Bian membuka gerbang. Lalu, dengan kekuatan gotong royong itu, gerbang rumah Bian sesikit terbuka.

“Buruan naik elah lo berdua!” pekik Ozi tak sabar.

Sementara itu Zaid langsung beringsut mendekat ke motor Ozi. “Gue tengah!” katanya.

Ozi menggeleng. “Bian, lah, yang ditengah!

Zaid melengos, Bian mengulum senyum sumringah. “Bantuin gue naik, Id!” pinta Bian dengan nada memaksa.

“Udah tau pincang, banyak gaya. Biar apa, sih, lo?”

“Biar gue lega.”

Bian mengerang mendadak sesaat setelah membuka lebar kakinya demi menaiki motor Ozi. Sementar, Zaid selaku teman yang baik, akhirnya memutuskan untuk membantu meski dengan tampang kesalnya. Seperti kata Agnes Monica—cinta ini kadang-kadang tak ada logika.

Setelah memastikan bahwa Bian duduk dengan nyaman dan aman, Zaid baru memposisikan diri di belakangnya. Dan, jadilah mereka bonceng tiga, di atas sebuah motor usang milik Ozi.

“Terus kaki gue gimana?” tanya Bian, polos.

“Lo lepas aja dulu, nanti begitu sampai RS baru lo pasang lagi.”

“Goblok! Dipikir casing hp kali?!”

“Lagian macem-macem nanyanya. Kayak bisa ditekuk aja kaki lo.”

Pusing mendengar kedua temannya terus terseteru, Ozi hanya mampu menghela napas panjang. Pasalnya dia tahu betapa panjang kaki milik Bian, dan fakta di balik perkataan Zaid mengenai kaki Bian yang memang belum bisa ditekuk.

“Terus kaki gue gimana?”

“Lo kedepanin, nanti biar gua tahan pake kaki gua.” Ozi akhirnya angkat bicara.

Merasa pendapat Ozi adalah yang terbaik, lantas Bian hanya manggut-manggut pasrah. Tapi tepat sebelum motor yang mereka tumpangi itu melaju, Bian menepuk-nepuk paha Zaid.

“Apa lagi?”

“Kruk gue, kok, lo biarin, Anjing?”

Sontak dengan serampangan Zaid memukul kepala Bian. Peduli setan soal umur Bian yang sebenarnya satu tahun di atasnya itu. Zaid sudah dibuat kesal bukan kepalang. “Lo bener-bener definisi nyusahin!” hardiknya, sebelum kembali turun dan mengangkat kruk milik Bian dari tanah.


Motor Ozi melaju. Bagaikan sang pembalap mantap seantero jagad raya— Valentino Rossi, Ozi menarik gas tanpa keraguan. Motornya seakan melesat, membelah bahu jalanan kota Jakarta. Maklum, sudah punya dua jenis surat izin mengemudi. Jadi, sombong sedikit akan skillnya yang bukan kaleng-kaleng.

“Bisa gak kita mampir beli buah?” kata Bian di tengah keheningan.

“Gak bisa,” jawab Ozi. Pandangannya tetap lurus, menatap luasnya jalanan di depan sana.

“JABLAY JABLAY!”

Spontan, baik Bian maupun Zaid menoleh. Melihat segerombolan anak yang tampaknya lebih kecil dari mereka bertiga tengah mengendarai motor matic sambil terbahak usai berteriak demikian.

“WOY BANGSAT??? SIAPA YANG LO PANGGIL JABLAY?!” pekik Bian tak tertahankan. Membuat gendang telinga Ozi nyaris pecah seketika.

“Jangan norak, Sabian!”

“Bang, udah, Bang!” kata Zaid bercanda. “Kita doain aja mereka jatoh di jalan yang benar.”

Benar juga, sebab jalur doa adalah jalan terbaik. Yah, setidaknya begitu batin Bian.

Kemudian, hening sesaat sampai suara Bian tiba-tiba kembali mengudara. “Yang dikatain jablay si Oji bukan, sih?”

“Hah? Kenapa emang?” tanya Zaid penasaran oleh opini tak penting milik Bian.

“Tuh....” Sorot mata Bian mengarah pada paha Ozi yang terekspos secara nyata. “Kolornya tinggi banget, sebatas selangkangan lebih dikit.”

Zaid tergelak kemudian. Memang benar, saking rendahnya potongan celana Ozi kala itu, belangnya sampai kelihatan. Sementara yang tengah digosip memilih untuk menjadi tuli mendadak. Bian dan Zaid kalau disatukan memang mampu menguras kesabaran siapapun yang berada di dekatnya.


Sebenarnya jarak antara kediaman Bian dan rumah sakit tempat di mana Ajeng diopname terhitung cukup jauh. Tapi, berkat ilmu 'joki melesat' yang ditekuni Ozi, ketiganya sudah sampai di tempat tujuan. Zaid jalan lebih dulu sebab, dia yang tahu di kamar rawat mana Ajeng berada.

Sore itu, suasana IGD rumah sakit sedang ramai-ramainya. Banyak pasang mata menatap penampilan Bian dan Ozi yang sangat berbanding terbalik. Bian yang menyadarinya sontak terkekeh.

“Besok-besok lo kalau mau keluar rumah tuh pake celana.” Bian berbisik pada Ozi, di belakang Zaid.

“Ini namanya apa kalau bukan celana, Nyet?!”

Langkah Zaid terhenti. Membuat Bian dan Ozi ikut menghentikan langkahnya seketika. Bocah memutar tubuh menghadap Bian, serta Ozi. “Jangan berisik, ini bukan kebun binatang.” Zaid menempelkan ujung jari telunjuknya di depan bibir.

Bian mendengkus. “Mana kamarnya?”

Kemudian dengan gestur membusungkan dada, Zaid berkata, “silahkan masuk, Pak. Istri anda selamat, anak anda buat saya.” Sambil membuka sebuah pintu di belakangnya.

“Orang sinting.” Bukan! Bukan Bian yang menjawab demikian, melainkan Ozi. Sementara itu Bian sibuk mengsam-mengsem.

Ya, namanya Sabian. Kalau ditanya hobinya apa? Jawabannya HALU! Begitu pula dengan Zaid.

Lantas, sambil terpincang-pincang, Bian melangkah masuk ke dalam ruang rawat inap yang udara di dalamnya tercium seperti obat-obatan. Dingin, hening, dan luas. Bian manggut-manggut. Kekayaan Ajeng dapat terlihat dari bagaimana pihak keluarga memilih kamar inap tersebut.

“Bian?” Tepat sesaat setelah namanya disebut oleh suara itu, Bian membeku. Ajeng tengah terjaga.

Pintu tertutup rapat dari luar. Entah, mungkin Zaid atau Ozi dalangnya.

“H-hai?”

“Kok bisa di sini?”

Bian bungkam. Kali ini bukan karena grogi atau apa, tapi karena melihat tangan kecil milik Ajeng terhubung dengan selang infus. Wajahnya pucat. Rambutnya sedikit berantakan. Dan, matanya bengkak. Separah apa keadaan Ajeng saat ini? Seingatnya Zaid bilang kalau Ajeng hanya kelelahan.

Alih-alih menjawab, Bian justru menarik sebuah kursi dan menempatkannya di sisi tempat Ajeng tengah berbaring. Dia duduk di sana. Menatap wajah Ajeng dalam keheningan.

“Kenapa, sih, harus hujan-hujanan? Lo bisa neduh, tau, kan?”

Ajeng yang semula menatap Bian, kini melempar tatapan itu pada langit-langit kamar inap. “Jadi, lo tau ya?” Ajeng menghela napas berat. “Panjang kalo diceritain. Lo gak bakal ngerti, apalagi related.”

“Lo selalu mikir gue kayak gitu, ya? Lo kira gue bakal judge mental, gitu? Lo selalu nyimpulin sesuatu cuman dari perspektif lo aj—”

“Sabian.... Mama tiri gue tempramental. Kalo kemarin gue neduh, dan gak langsung pulang—dia siap marah atau bahkan ngelakuin sesuatu ke gue.” Bian bungkam seketika. “Papa gak ada di rumah sampai minggu depan. Itu yang bikin gue takut.”

Hening. Sekalipun tak pernah terlintas dalam pikiran Bian, kalau kehidupan yang dijalani seorang Diajeng Pramesti sampai serumit itu.

“Kak Xander—tutor kita di tempat les itu, beruntung karna milih pisah tempat tinggal. Dia tau kalo nyokapnya sinting, dan sekarang gue yang jadi sasaran.” Ajeng menatap Bian lamat-lamat. “Gue pengen pergi, Sab. Dari awal gue emang gak pernah siap punya mama baru. Ngeliat Papa sama perempuan selain Mama—gue gak siap.”

“Sekarang, gue bahkan gak punya siapa-siapa selain diri gue sendiri di momen-momen kayak gini. Papa pikir, semua perempuan cuman butuh duit, termasuk gue. Papa selama ini mikir hubungan gue sama istrinya baik-baik aja, padahal enggak. Papa gak pernah peduli. Mungkin juga Papa nikah bukan buat isi kekosongan sosok ibu rumah tangga di keluarga kita, tapi cuman buat temenin dia tidur atau seneng-seneng begitu pulang kerja.”

Kemudian gestur menyeka sudut mata yang Ajeng lakukan, tak luput dari pandangan Bian kala itu.

“Gue kangen Mama, Sab. Gak ada yang bisa gantiin Mama. Gue bukannya gak pernah bersyukur, gue selalu bersyukur, kok—awalnya. Emangnya, sekarang apa yang bisa disyukuri dari hidup gue? Nothing. Gue bahkan gak takut buat kehilangan apa-apa lagi. Kayak, ambil aja. Ambil, Tuhan. Gue udah capek. Gue bukannya gak pernah coba buat ngambil hati mama tiri gue—gue selalu. Tapi emang gak bisa, Sabian.”

Setelah mendengar itu, lantas tangan Bian terulur. Mengusap air kesedihan yang mengalir dari sudut mata Ajeng. Gadis itu diam-diam menangis. Bian dapat merasakan kalau saat ini suhu tubuh Ajeng masih sangat panas. Mata Bian mengedar, mencari-cari sesuatu, dan akhirnya berhenti pada sebuah tanda memar pada bagian lengan Ajeng. Dalam bisunya, Bian sibuk mengamati. Dan, sepemahamannya—apa yang Ajeng katakan beberapa saat lalu adalah benar. Mungkin jauh sebelum hari ini, kekerasan sudah pernah dilancarkan oleh mama sambungnya.

Bian mengusap lembut lengan Ajeng menggunakan telapak tangannya yang hangat. Dia mulai menyusun sebuah kalimat dalam pikirannya. Bian sudah tahu harus merespon seperti apa.

“Perasaan capek lo itu valid, kok. Gue minta maaf karna denger ini semua. Ajeng, lo gak sendirian. Ada gue. Kalo mau nangis yang kenceng, nangis aja. Gue temenin. Mau pergi ke mana? Masih sakit. Nanti kalo udah sembuh, biar gue anterin.”

Ajeng kemudian tertawa di tengah-tengah tangisnya. Tawa paling miris yang pernah Bian dengar.

“Kemarin lo jauhin gue, kan?”

“Itu tindakan alami orang yang lagi patah hati.”

“Sabian, gue minta maaf kalo gue pernah salah ngomong ke lo(?)”

“Gak ada yang perlu dimaafin. Gue yang salah, karna langsung bawa perasaan. Gue minta maaf kalo sempet bikin lo kebingungan sendiri karna tiba-tiba gue block.” Bian memainkan ujung bantal di bawah kepala Ajeng saat itu. “Gue pengen banget peluk lo, tapi gue takut ganggu posisi nyaman lo sekarang ini. Tapi ini bukan tentang itu, lo tau?”

Ajeng mengangguk paham. “Jangan, Sab. Menurut gue, lo deserve someone better than me. Gue dengan segala energi negatif gue, mungkin gak akan baik buat lo. Gue gak mau jadi egois.” Susah payah Ajeng berkata demikian.

Lalu dengan begitu, Bian menundukkan kepalanya. Dia tersenyum getir, sembari memainkan ujung-ujung jemarinya. Sudah cukup. Sesuai janjinya, ini adalah kali terakhir. Bian pikir mungkin dia harus berdamai dengan perasaannya sendiri, sambil perlahan melepas nama Ajeng dalam hatinya. Kalau bukan jadi sepasang kekasih, setidaknya masih berteman dekat. Sebab, menemani dan ditemani Ajeng itu sekarang sudah lebih dari cukup rasanya.

Bian mengangkat kembali dagunya. Dan, yang dia temukan adalah Ajeng yang tengah mematapnya dengan sorot mata teduh.

“Gue minta maaf, Sabian....”

“Pulang dari sini, rencananya mau ke mana? Papa lo masih belom ada di rumah, kan?”

“Mau gak mau tetep ke rumah papa. Nyelesaiin ulangan, ambil rapot, abis itu gue pergi ke—”

Klek!

“BI, BOKAP LO MISSCALL GUE!!”