cakgrays

Sudirman hanya bisa menggeleng frustasi usai mendengar kronologi kemalangan yang baru saja menimpa Sabian kemarin malam, dari mulut Zaid.

Sementara itu, yang bersangkutan justru sibuk pura-pura tak mendengar percakapan kedua temannya, dan mengalihkan pandangannya ke segala arah, sambil sesekali membuat kedua jempol kakinya yang berada di balik selimut itu beradu.

“Eh!”

Seakan mendapat sebuah sinyal bahwa sapaan itu ditujukan untuknya, Sabian sontak menoleh ke arah sumber suara.

Suara helaan napas kasar Sudirman terdengar begitu jelas setelahnya.

“Mau lo bawa celurit sekali pun, bukan berarti lo bisa menang ngelawan penjahat!” kata Sudirman sengaja menghardik.

Zaid langsung manggut-manggut dibuatnya. “Dia emang selalu goblok kalau ada sangkut pautnya sama perempuan.”

“Gak kayak gitu, ya!” timpal Sabian.

Namun, alih-alih menarik kembali perkataannya barusan, Sabian dapat melihat bagaimana Zaid secara tiba-tiba merangkul pundak Sudirman.

“Dia itu, selalu masuk rumah sakit gara-gara perempuan, Dir!” kata Zaid, dengan gestur tubuh seperti tengah berbisik, meski kenyataannya masih terdengar begitu lantang oleh telinga Sabian.

“Ealah, ben dianggep super hero opo'o?” (biar dianggap super hero apa gimana) cetus Sudirman.

Lalu, Zaid tampak mengiyakan perkataan Sudirman barusan.

Melihat itu, Sabian sontak menggaruk telinganya yang tiba-tiba saja terasa gatal. “Eh, gue tau, ya—lo berdua lagi ngomongin yang jelek-jelek tentang gue!” cetus Sabian tak terima.

Keduanya praktis menggeleng. Bohong.

“Apa yang Zaid bilang itu, fitnah! Gue pernah juga masuk rumah sakit karena hal lain, selain perempuan! Gue pernah tipes!!”

“Iya, tapi cuman sekali, kan? Sisanya gara-gara perempuan.”

“DUA KALI!”

Belum sempat Zaid menimpali perkataan Sabian barusan, Sudirman sudah lebih dahulu membekap mulut Zaid.

“Jangan ribut, ini rumah sakit.”

Hening kemudian. Hanya terdengar suara kendaraan bermotor yang berasal dari jalanan di luar gedung rumah sakit itu. Maklum, keberadaan gedung tersebut begitu dekat dari simpang empat jalan raya.

Lalu, sorot mata Sabian mengikuti arah kaki Zaid melangkah. Sahabat karibnya itu tanpa rasa canggung merebahkan diri di atas salah sebuah ranjang rumah sakit yang kosong. Kebetulan, Sabian memilih kamar rawat inap kelas satu—meski ada dua ranjang, namun, hanya Sabian yang tengah menjadi pasien rawat inap di sana.

“Bajingan, aku inget awakmu kondo wes ra kuat lunggoh! Iku onok kasur nganggur, Cok!” (aku ingat kamu bilang udah gak kuat duduk! itu ada kasur nganggur)

“Semalem ada pasiennya. Tanya aja Bian!”

Sabian yang sadar bahwa namanya baru saja disebut, lantas mengangkat dagunya. “Apaan?”

“Semalem ada pasien, kan, di sini?”

Sabian mengangguk. “Iya, pas gue sadar, kirain gue sendirian dan kasurnya cuman satu karena ketutupan tirai-tirai. Ternyata ada pasien satu lagi, tapi tadi siang dia dipindahin ke ICU.”

“ICU??”

“Ya, gue sempet liat, pasiennya emang udah dipasangin banyak alat waktu masih tidur di ranjang itu. Mungkin sakitnya makin parah.”

“Mesakno...,” (kasihan) kata Sudirman, lirih.

“Bayangin, kalau gue gak dateng nyelamatin lo, bisa masuk ICU juga lo, Anjing!”

Mendengar perkataan Zaid barusan, sontak membuat Sabian diam-diam berkata 'iya' di dalam hati. Ia mengulum senyumnya. Senang lantaran masih ia dapati tubuhnya yang utuh beserta hasil rontgen yang menunjukkan organ vitalnya tak apa-apa meski sudah dipukuli sampai hilang kesadaran setelahnya.

“Ngomong-ngomong, perempuan yang lo tolongin itu—ada dateng ke sini buat ngejenguk?”

Sabian menggeleng. “Kayaknya dia gak tau kalau gue dirawat di sini.” Ia beranjak kemudian. “Gue juga gak yakin kalau dia inget muka orang yang udah nolongin dia, karena ... gue sendiri gak sempet liat mukanya lebih dari tiga detik,” timpal Sabian, sembari berusaha turun dari ranjangnya.

“Eh, mau ngapain?” tanya Zaid. Ia langsung beringsut menghampiri Sabian dan menahan lengan Sabian agar tetap berdiri tegak.

“Pipis.”

Tak ingin repot-repot ikut turun tangan, Sudirman memilih untuk duduk sembari mengawasi kedua kawan barunya itu. “Ati-ati kesandung sikilmu, Id! Iso tibo lho koncomu.” (hati-hati tersandung kakimu, Id. Bisa jatuh temen kamu)

“Tolong! Tolong!!”

Sayup-sayup terdengar suara teriakan.

“Tolong!!”

Mendengar suara teriakan minta tolong milik seorang perempuan yang datangnya dari kegelapan itu, praktis membuat Sabian berlari menghampiri sumber suara itu.

“WOY!”

Dengan sisa-sisa helaan napas yang tersisa, tanpa pikir panjang ia menerjang tubuh seorang pria yang berpakaian serba hitam, lengkap dengan masker yang menutupi hingga sebagian dari wajahnya. Orang itu sebelumnya tengah menarik paksa, tangan perempuan di hadapannya.

“Asu!” (Anjing!) pekik orang tersebut tatkala tubuhnya terhuyung dan ambruk lantaran dihantam langsung oleh siku Sabian.

Sementara, sang perempuan yang Sabian lihat sebagai korban itu—praktis beringsut mundur. Ia ketakutan.

“Sini, Bangsat! Bangun, lo!” Sabian menarik kerah pakaian pria di hadapannya itu.

Mata Sabian memicing. Usut punya usut hantaman siku yang ia layangkan barusan itu cukup keras dan berhasil melemahkan lawan. Membuat salah satu dari kedua mata korbannya sulit terbuka. Sabian pun tersenyum culas, sebelum akhirnya ia kembali melayangkan satu kali serangan lagi untuk melumpuhkan pria itu.

Si empunya tubuh, lagi-lagi harus mencium tanah.

“Cuman segini pertahanan lo, tapi belaga jadi jambret?! Brengsek!” cetus Sabian.

Sadar kalau pertanyaan tak mungkin dijawab oleh pria yang sudah tak sadarkan diri itu, Sabian lantas menoleh. Melihat perempuan di belakangnya itu yang penampilannya kusut bukan main.

Sejenak, terlintas dalam benak Sabian, mungkin ia bukan hanya hampir menjadi korban perampasan barang-barang berharga, tapi juga yang lainnya. Namun, Sabian memilih untuk menurunkan tatapannya setelah itu. Ia melepas jaket yang sempat ia kenakan sebelumnya, seraya berjalan mendekat dengan penuh hati-hati.

Belum sempat Sabian memakai jaket tersebut, perempuan itu lebih dulu mendongak. Menatap lurus ke arah mata Sabian dengan tatapan yang sulit diartikan.

“A-ada ... sa-satu lagi.”

“Hah?”

“DI BELAKANG LO! AWAS!!” pekiknya tak tertahankan.

Tubuh Sabian ambruk seketika. Ia merasa seakan-akan dunia berputar, tepat sesaat— setelah pundaknya dihantam dari belakang oleh satu lagi pria berpakaian serba hitam dan menggunakan masker. Sepertinya mereka berdua adalah satu komplotan.

“Sapurane yo, Mas. Samean iku, gak diajak!” (Maaf ya, Mas. Kamu itu gak diajak) kata pria itu.

Lalu, belum sempat Sabian mengatakan apa-apa, tubuhnya sudah lebih dulu dijadikan selayaknya sebuah samsak.

Sabian dihajar secara membabi buta. Sementara sosok perempuan yang ia tolong itu, merasa kesulitan untuk sekadar mengatur degup jantungnya sendiri.

Sabian merintih kesakitan. Hampir sekujur tubuhnya terasa sangat nyeri karena begitu banyak pukulan serta tendangan yang dilayangkan oleh pria itu.

Sejujurnya, pria yang kali ini jauh lebih besar dan bertenaga jika dibandingkan dengan kawannya yang sudah tak sadarkan diri sejak beberapa saat yang lalu.

Dalam keadaan yang seperti sekarang ini, ia baru teringat akan perkataan Zaid. Seandainya mereka pulang bersama malam ini, mungkin, setidaknya ada salah satu di antara mereka yang selamat dan berhasil menelepon polisi. Dalam keadaan yang seperti sekarang ini, ia baru teringat kalau mungkin kini Sudirman—kawan barunya itu, dilanda perasaan gelisah semalaman lantaran ia tak kunjung menampakkan diri di depan pintu kamar kos. Dan, dalam keadaan yang sudah separah ini, ia baru teringat akan Papa, Mama, serta Alin di Jakarta.

Muncul sedikit perasaan menyesal lantaran ia selalu menunda untuk pulang, sekalipun liburan semester tiba.

Detik kemudian, Sabian seperti ingin menangis. Namun, di sisi lain ia sadar kalau ini bukanlah waktu yang tepat untuk menangis.

Sabian menarik napas tercekat, hingga tampak seperti akan meregang nyawa saat itu juga.

“TOLONGG! TOLONGGGGG!”

Akhirnya suara lantang itu lolos begitu saja. Perempuan yang Sabian berusaha selamatkan itu, kini berteriak sepenuh tenaga.

Sampai, saat pria yang sempat memukuli Sabian itu lengah, tiba-tiba saja, datang sosok pahlawan kesiangan.

“PAK INI, NIH! PENJAHATNYA ADA DI SINI, PAK!”

Zaid muncul, bersamaan dengan suara sirine polisi yang berasal dari ponselnya.

Mendengar perkataan Zaid barusan, pria yang berpakaian serba hitam itu spontan berniat kabur dan meninggalkan kawannya yang tak sadarkan diri begitu saja. Namun, nahas. Polisi sungguhan lebih dulu datang dan menembakan senapan angin di udara.

Sementara para polisi itu sibuk meringkus kedua orang jahat tersebut, Zaid beringsut ke tempat di mana Sabian berbaring lemah.

Babak belur sudah. Bibirnya sobek dan berdarah. Pelipisnya dipenuhi luka. Dan, jangan lupakan penampilannya yang kini sudah sangat carut-marut lantaran dipukuli sampai terbaring di atas tanah.

Tapi syukurlah, ia selamat.

“Heh! Bangun lo!” kata Zaid ketus.

Ia tahu Sabian tidak akan mati semudah itu.

Sabian membuka matanya seketika. Lalu, tangan kanannya terangkat. Ditatapnya sebuah pisau lipat yang sudah ia sembunyikan di balik tubuhnya sejak beberapa saat lalu, itu.

“Gue bawa pisau, Id. Tapi ternyata, gue gak sampai hati pakai pisau ini buat ngelukain musuh.... Gue cuman bisa pura-pura mati kayak barusan, biar dia berhenti.”

Mendengar hal itu, Zaid hanya diam. Bergeming.

“Makasih, udah panggilin polisi,” timpal Sabian yang kemudian langsung beranjak berdiri.

Satu-satunya hal yang ia lakukan setelahnya hanyalah menatap sosok perempuan yang tengah dibantu berdiri oleh salah seorang polisi yang datang.

“Lo kenal?” tanya Zaid penasaran.

Sabian menggeleng. “Gue denger dia minta tolong.”

“Terus hati lo terketuk buat nolongin, gitu?”

“Iya....”

Sebenarnya, hal yang membuat Sabian nekat ingin menyelamatkan perempuan itu meski ia sadar kalau ia hanya sendiri adalah ingatan Sabian perihal Alin. Adiknya itu, suatu saat nanti juga akan bertumbuh besar, sama seperti perempuan yang ingin ia selamatkan beberapa saat lalu. Sulit bagi Sabian membayangkan kalau-kalau Alin membutuhkan pertolongan, namun, tak ada satu pun orang yang rela berlari untuk menolongnya.

Sabian mengehela napas panjang. Ia beruntung sekali. Meski habis dipukuli seperti ini, tapi ia berhasil menyelamatkan seseorang.

“Selamat malam, Adik-Adik. Boleh ikut kami ke kantor polisi untuk dimintai kesaksian?”

Sabian menarik sudut bibirnya. “Boleh, Pak,” sahutnya semangat.

Berbanding terbalik dengan Zaid yang justru merotasikan bola matanya, malas. “Temen saya perlu ke rumah sakit, Pak, bukan kantor polisi.”

“Iya, kita ke rumah sakit dulu, sebelum ke kantor polisi.”


Malam itu, jalanan sekitar Keputih mendadak ramai meski sudah melampaui tengah malam. Sudah seperti iring-iringan. Ada suara sirene ambulans dan suara pertanda polisi tengah berpatroli di area sekitar.

Sabian yang mulanya sempat tampak baik-baik saja—akhirnya jatuh pingsan, tepat setelah ia meminjam sepatunya kepada sang korban yang bertelanjang kaki, lantaran sandal yang ia kenakan sempat terputus saat berusaha melarikan diri.

Korban sudah diamankan, komplotan penjahatnya juga sudah ditangkap oleh polisi. Lalu, Sabian sendiri sudah mendapatkan perawatan yang intensif dari seorang dokter yang tengah bertugas di IGD saat ini.

Semua sudah aman terkendali, tentunya. Kecuali, detak jantung Zaid yang sudah sejak tadi memiliki tempo yang tak beraturan. Pasalnya, saat ia panik melihat Sabian pingsan—ia spontan menelepon kedua orang tua Sabian. Dan kini, ia berakhir dihujani puluhan panggilan balik oleh Papa kawannya itu.

“Tolong! Tolong!!”

Sayup-sayup terdengar suara teriakan.

“Tolong!!”

Mendengar suara teriakan minta tolong milik seorang perempuan yang datangnya dari kegelapan itu, praktis membuat Sabian berlari menghampiri sumber suara itu.

“WOY!”

Dengan sisa-sisa helaan napas yang tersisa, tanpa pikir panjang ia menerjang tubuh seorang pria yang berpakaian serba hitam, lengkap dengan masker yang menutupi hingga sebagian dari wajahnya. Orang itu sebelumnya tengah menarik paksa, tangan perempuan di hadapannya.

“Asu!” (Anjing!) pekik orang tersebut tatkala tubuhnya terhuyung dan ambruk lantaran dihantam langsung oleh siku Sabian.

Sementara, sang perempuan yang Sabian lihat sebagai korban itu—praktis beringsut mundur. Ia ketakutan.

“Sini, Bangsat! Bangun, lo!” Sabian menarik kerah pakaian pria di hadapannya itu.

Mata Sabian memicing. Usut punya usut hantaman siku yang ia layangkan barusan itu cukup keras dan berhasil melemahkan lawan. Membuat salah satu dari kedua mata korbannya sulit terbuka. Sabian pun tersenyum culas, sebelum akhirnya ia kembali melayangkan satu kali serangan lagi untuk melumpuhkan pria itu.

Si empunya tubuh, lagi-lagi harus mencium tanah.

“Cuman segini pertahanan lo, tapi belaga jadi jambret?! Brengsek!” cetus Sabian.

Sadar kalau pertanyaan tak mungkin dijawab oleh pria yang sudah tak sadarkan diri itu, Sabian lantas menoleh. Melihat perempuan di belakangnya itu yang penampilannya kusut bukan main.

Sejenak, terlintas dalam benak Sabian, mungkin ia bukan hanya hampir menjadi korban perampasan barang-barang berharga, tapi juga yang lainnya. Namun, Sabian memilih untuk menurunkan tatapannya setelah itu. Ia melepas jaket yang sempat ia kenakan sebelumnya, seraya berjalan mendekat dengan penuh hati-hati.

Belum sempat Sabian memakai jaket tersebut, perempuan itu lebih dulu mendongak. Menatap lurus ke arah mata Sabian dengan tatapan yang sulit diartikan.

“A-ada ... sa-satu lagi.”

“Hah?”

“DI BELAKANG LO! AWAS!!” pekiknya tak tertahankan.

Tubuh Sabian ambruk seketika. Ia merasa seakan-akan dunia berputar, tepat sesaat— setelah pundaknya dihantam dari belakang oleh satu lagi pria berpakaian serba hitam dan menggunakan masker. Sepertinya mereka berdua adalah satu komplotan.

“Sapurane yo, Mas. Samean iku, gak diajak!” (Maaf ya, Mas. Kamu itu gak diajak) kata pria itu.

Lalu, belum sempat Sabian mengatakan apa-apa, tubuhnya sudah lebih dulu dijadikan selayaknya sebuah samsak.

Sabian dihajar secara membabi buta. Sementara sosok perempuan yang ia tolong itu, merasa kesulitan untuk sekadar mengatur degup jantungnya sendiri.

Sabian merintih kesakitan. Hampir sekujur tubuhnya terasa sangat nyeri karena begitu banyak pukulan serta tendangan yang dilayangkan oleh pria itu.

Sejujurnya, pria yang kali ini jauh lebih besar dan bertenaga jika dibandingkan dengan kawannya yang sudah tak sadarkan diri sejak beberapa saat yang lalu.

Dalam keadaan yang seperti sekarang ini, ia baru teringat akan perkataan Zaid. Seandainya mereka pulang bersama malam ini, mungkin, setidaknya ada salah satu di antara mereka yang selamat dan berhasil menelepon polisi. Dalam keadaan yang seperti sekarang ini, ia baru teringat kalau mungkin kini Sudirman—kawan barunya itu, dilanda perasaan gelisah semalaman lantaran ia tak kunjung menampakkan diri di depan pintu kamar kos. Dan, dalam keadaan yang sudah separah ini, ia baru teringat akan Papa, Mama, serta Alin di Jakarta.

Muncul sedikit perasaan menyesal lantaran ia selalu menunda untuk pulang, sekalipun liburan semester tiba.

Detik kemudian, Sabian seperti ingin menangis. Namun, di sisi lain ia sadar kalau ini bukanlah waktu yang tepat untuk menangis.

Sabian menarik napas tercekat, hingga tampak seperti akan meregang nyawa saat itu juga.

“TOLONGG! TOLONGGGGG!”

Akhirnya suara lantang itu lolos begitu saja. Perempuan yang Sabian berusaha selamatkan itu, kini berteriak sepenuh tenaga.

Sampai, saat pria yang sempat memukuli Sabian itu lengah, tiba-tiba saja, datang sosok pahlawan kesiangan.

“PAK INI, NIH! PENJAHATNYA ADA DI SINI, PAK!”

Zaid muncul, bersamaan dengan suara sirine polisi yang berasal dari ponselnya.

Mendengar perkataan Zaid barusan, pria yang berpakaian serba hitam itu spontan berniat kabur dan meninggalkan kawannya yang tak sadarkan diri begitu saja. Namun, nahas. Polisi sungguhan lebih dulu datang dan menembakan senapan angin di udara.

Sementara para polisi itu sibuk meringkus kedua orang jahat tersebut, Zaid beringsut ke tempat di mana Sabian berbaring lemah.

Babak belur sudah. Bibirnya sobek dan berdarah. Pelipisnya dipenuhi luka. Dan, jangan lupakan penampilannya yang kini sudah sangat carut-marut lantaran dipukuli sampai terbaring di atas tanah.

Tapi syukurlah, ia selamat.

“Heh! Bangun lo!” kata Zaid ketus.

Ia tahu Sabian tidak akan mati semudah itu.

Sabian membuka matanya seketika. Lalu, tangan kanannya terangkat. Ditatapnya sebuah pisau lipat yang sudah ia sembunyikan di balik tubuhnya sejak beberapa saat lalu, itu.

“Gue bawa pisau, Id. Tapi ternyata, gue gak sampai hati pakai pisau ini buat ngelukain musuh.... Gue cuman bisa pura-pura mati kayak barusan, biar dia berhenti.”

Mendengar hal itu, Zaid hanya diam. Bergeming.

“Makasih, udah panggilin polisi,” timpal Sabian yang kemudian langsung beranjak berdiri.

Satu-satunya hal yang ia lakukan setelahnya hanyalah menatap sosok perempuan yang tengah dibantu berdiri oleh salah seorang polisi yang datang.

“Lo kenal?” tanya Zaid penasaran.

Sabian menggeleng. “Gue denger dia minta tolong.”

“Terus hati lo terketuk buat nolongin, gitu?”

“Iya....”

Sebenarnya, hal yang membuat Sabian nekat ingin menyelamatkan perempuan itu meski ia sadar kalau ia hanya sendiri adalah ingatan Sabian perihal Alin. Adiknya itu, suatu saat nanti juga akan bertumbuh besar, sama seperti perempuan yang ingin ia selamatkan beberapa saat lalu. Sulit bagi Sabian membayangkan kalau-kalau Alin membutuhkan pertolongan, namun, tak ada satu pun orang yang rela berlari untuk menolongnya.

Sabian mengehela napas panjang. Ia beruntung sekali. Meski habis dipukuli seperti ini, tapi ia berhasil menyelamatkan seseorang.

“Selamat malam, Adik-Adik. Boleh ikut kami ke kantor polisi untuk dimintai kesaksian?”

Sabian menarik sudut bibirnya. “Boleh, Pak,” sahutnya semangat.

Berbanding terbalik dengan Zaid yang justru merotasikan bola matanya, malas. “Temen saya perlu ke rumah sakit, Pak, bukan kantor polisi.”

“Iya, kita ke rumah sakit dulu, sebelum ke kantor polisi.”


Malam itu, jalanan sekitar Keputih mendadak ramai meski sudah melampaui tengah malam. Sudah seperti iring-iringan. Ada suara sirene ambulans dan suara pertanda polisi tengah berpatroli di area sekitar.

Sabian yang mulanya sempat tampak baik-baik saja—akhirnya jatuh pingsan, tepat setelah ia meminjam sepatunya kepada sang korban yang bertelanjang kaki, lantaran sandal yang ia kenakan sempat terputus saat berusaha melarikan diri.

Korban sudah diamankan, komplotan penjahatnya juga sudah ditangkap oleh polisi. Lalu, Sabian sendiri sudah mendapatkan perawatan yang intensif dari seorang dokter yang tengah bertugas di IGD saat ini.

Semua sudah aman terkendali, tentunya. Kecuali, detak jantung Zaid yang sudah sejak tadi memiliki tempo yang tak beraturan. Pasalnya, saat ia panik melihat Sabian pingsan—ia spontan menelepon kedua orang tua Sabian. Dan kini, ia berakhir dihujani puluhan panggilan balik oleh Papa kawannya itu.

“Bener. Gak ada yang bisa jamin kalau mahasiswa sini lebih baik daripada jambret...,” gumamnya, lirih.

Bianca menghela napas panjang. Bahkan pesan yang ia unggah di base kampus, sama sekali tak membantu menyelesaikan kegalauan panjangnya, siang itu.

Entah, mana yang lebih baik—telat mengumpulkan tugas lalu diceramahi panjang kali lebar oleh sang dosen, atau nekat bermalam di kampus sendirian tanpa tahu apa yang akan terjadi kepada dirinya kemudian. Pasalnya dari kedua opsi yang tersedia, selalu ada konsekuensi di belakangnya.

Sudah hampir setengah jam ia duduk termangu di bawah pohon rindang yang kebanyakan tumbuh di area sekitar fakultas itu.

Suasananya teduh, dan begitu nyaman untuk singgah lebih lama.

Alih-alih mengerjakan tugas yang konon katanya sudah mendekati tenggat pengumpulan itu, Bianca justru sibuk menikmati hembusan angin sepai-sepoi, seraya memikirkan keputusannya untuk malam ini.

“Kalau gue pulang ke kosan malem, pasti zona merah udah rame sama oknum-oknum penjahat.”

Ia mengangguk sendiri. Seakan mengiyakan perkataannya yang barusan.

“Tapi, kalau stay di kampus—gue sendirian. Antara malem ini digangguin setan, atau digangguin cowok-cowok kayak waktu itu!”

Sementara ia sibuk bergumam sendirian, sekelompok mahasiswa melintas di hadapannya sembari saling melempartawa satu sama lain.

Bianca melempar tatapan iri seketika. Kalau dilihat-lihat, sekelompok mahasiswa tersebut adalah teman-teman satu angkatan yang mengambil program studi, yang sama dengannya. Sebagian dari mereka tampak tersenyum tanpa beban, dan yang sebagian lagi sama seperti ekspresinya saat ini. Gurat wajah penuh frustasi tampak begitu jelas—pertanda belum juga mengumpulkan tugas rencana desain interior untuk pameran di penghujung semester kali ini.

“Ca!”

Bianca langsung menoleh ketika namanya dipanggil oleh seseorang dari belakang. Malas menjawab, ia hanya mengangkat sebelah alisnya dengan tatapan yang seakan-akan tengah berkata, 'kenapa?'

“Gak ngumpulin makalah?”

Diberi pertanyaan demikian, lantas membuat Bianca tersenyum kikuk. Sebenarnya ia sudah tahu kalau pertanyaan semacam itulah yang akan keluar dari bibir seorang mahasiswa penanggungjawab mata kuliah.

“Belum selesai...,” sahutnya, lirih.

Lawan bicaranya itu, sontak tersenyum remeh. “Kira-kira ke mana perginya fokus seorang Bianca?”

“Tanya kayak gitu ke yang lain juga, Mar. Jangan gue doang, yang setiap jam lo tagih!” Usai mengatakan itu, Bianca lantas beranjak. Meninggalkan laki-laki yang akrab ia sapa 'Damar' itu sendirian.

Ia menghela napas kasar tatkala kakinya mulai melangkah jauh.

Kalau boleh jujur, Bianca sedikit jengah acapkali berbicara dengan laki-laki yang beberapa saat lalu ia temui itu. Maklum, Damar adalah mantan kekasihnya. Meski kisah percintaan di antara mereka sudah resmi kandas sejak setengah tahun yang lalu, namun, laki-laki itu masih sering mengusiknya.

“Ke mana perginya fokus gue?” kata Bianca, yang kemudian membuatgesturseakan-akan ia membuang ludah. “Sok akrab banget, najis!”


Malas-malas begini, Bianca Marella adalah ahlinya sistem kebut semalam. Entah, hal itu termasuk dalam kekurangan atau kelebihan pada dirinya, yang jelas tugas makalah miliknya rampung sudah. Dan, kini yang perlu ia lakukan hanyalah membaca tiap-tiap halamannya sebanyak satu sampai dua kali agar dapat menguasai materi, untuk diprensentasikan esok hari.

Bianca melihat ke arah pergelangan tangannya. Menatap jarum jam tangan yang menunjukkan bahwa saat ini sudah pukul sebelas malam.

“Gak pulang?” tanya sang pemilik kedai fotokopi.

Bianca meringis. “Sebentar, Mas. Numpang baca dua kali, ya, kalau di kosan pasti langsung tidur.”

Lantas sang pemilik kedai fotokopi itu mengangguk paham. Apa yang Bianca lakukan malam ini, sudah sering dilakukan oleh mahasiswa lain. Tentu saja, pasalnya kedai fotokopi ini sangat dekat dengan kampus dan juga buka selama 24 jam dalam sehari. Maka, sudah pasti menjadi tempat bagi para mahasiswa mempercayakan setiap tugas, dan skripsinya untuk dicetak. Bahkan, tak jarang, ada pula yang datang untuk sekadar berkeluh kesah atau adu nasib sebagai sesama mahasiswa.

Sesekali ada yang datang, lalu pergi. Ada yang hanya menyerahkan diska lepas, dan ada juga yang menunggu sampai semua file yang dibutuhkan selesai dicetak.

Detik, demi detik berlalu begitu cepat sampai Bianca pun tersadar kalau ia harus pulang sekarang.

Iya. Malam itu, Bianca memilih pulang.

“Mas! Makasih, ya! Aku pulang!” serunya, berpamitan.

Lalu, yang baru saja dipamiti pun, hanya melempar senyum seikhlasnya.

“Bener. Gak ada yang bisa jamin kalau mahasiswa sini lebih baik daripada jambret...,” gumamnya, lirih.

Bianca menghela napas panjang. Bahkan pesan yang ia unggah di base kampus, sama sekali tak membantu menyelesaikan kegalauan panjangnya, siang itu.

Entah, mana yang lebih baik—telat mengumpulkan tugas lalu diceramahi panjang kali lebar oleh sang dosen, atau nekat bermalam di kampus sendirian tanpa tahu apa yang akan terjadi kepada dirinya kemudian. Pasalnya dari kedua opsi yang tersedia, selalu ada konsekuensi di belakangnya.

Sudah hampir setengah jam ia duduk termangu di bawah pohon rindang yang kebanyakan tumbuh di area sekitar fakultas itu.

Suasananya teduh, dan begitu nyaman untuk singgah lebih lama.

Alih-alih mengerjakan tugas yang konon katanya sudah mendekati tenggat pengumpulan itu, Bianca justru sibuk menikmati hembusan angin sepai-sepoi, seraya memikirkan keputusannya untuk malam ini.

“Kalau gue pulang ke kosan malem, pasti zona merah udah rame sama oknum-oknum penjahat.”

Ia mengangguk sendiri. Seakan mengiyakan perkataannya yang barusan.

“Tapi, kalau stay di kampus—gue sendirian. Antara malem ini digangguin setan, atau digangguin cowok-cowok kayak waktu itu!”

Sementara ia sibuk bergumam sendirian, sekelompok mahasiswa melintas di hadapannya sembari saling melempartawa satu sama lain.

Bianca melempar tatapan iri seketika. Kalau dilihat-lihat, sekelompok mahasiswa tersebut adalah teman satu angkatan dengannya. Sebagian dari mereka tampak tersenyum tanpa beban, dan yang sebagian lagi sama seperti ekspresinya saat ini. Gurat wajah penuh frustasi tampak begitu jelas—pertanda belum juga mengumpulkan tugas rencana desain interior untuk pameran di penghujung semester kali ini.

“Ca!”

Bianca langsung menoleh ketika namanya dipanggil oleh seseorang dari belakang. Malas menjawab, ia hanya mengangkat sebelah alisnya dengan tatapan yang seakan-akan tengah berkata, 'kenapa?'

“Gak ngumpulin makalah?”

Diberi pertanyaan demikian, lantas membuat Bianca tersenyum kikuk. Sebenarnya ia sudah tahu kalau pertanyaan semacam itulah yang akan keluar dari bibir seorang mahasiswa penanggungjawab mata kuliah.

“Belum selesai...,” sahutnya, lirih.

Lawan bicaranya itu, sontak tersenyum remeh. “Kira-kira ke mana perginya fokus seorang Bianca?”

“Tanya kayak gitu ke yang lain juga, Mar. Jangan gue doang, yang setiap jam lo tagih!” Usai mengatakan itu, Bianca lantas beranjak. Meninggalkan laki-laki yang akrab ia sapa 'Damar' itu sendirian.

Ia menghela napas kasar tatkala kakinya mulai melangkah jauh.

Kalau boleh jujur, Bianca sedikit jengah acapkali berbicara dengan laki-laki yang beberapa saat lalu ia temui itu. Maklum, Damar adalah mantan kekasihnya. Meski kisah percintaan di antara mereka sudah resmi kandas sejak setengah tahun yang lalu, namun, laki-laki itu masih sering mengusiknya.

“Ke mana perginya fokus gue?” kata Bianca, yang kemudian membuatgesturseakan-akan ia membuang ludah. “Sok akrab banget, najis!”


Malas-malas begini, Bianca Marella adalah ahlinya sistem kebut semalam. Entah hal itu termasuk dalam kekurangan atau kelebihan pada dirinya, yang jelas tugas makalah miliknya rampung sudah. Dan, kini yang perlu ia lakukan hanyalah membaca tiap-tiap halamannya sebanyak satu sampai dua kali agar dapat menguasai materi, untuk diprensentasikan esok hari.

Bianca melihat ke arah pergelangan tangannya. Menatap jarum jam tangan yang menunjukkan bahwa saat ini sudah pukul sebelas malam.

“Gak pulang?” tanya sang pemilik kedai fotokopi.

Bianca meringis. “Sebentar, Mas. Numpang baca dua kali, ya, kalau di kosan pasti langsung tidur.”

Lantas sang pemilik kedai fotokopi itu mengangguk paham. Apa yang Bianca lakukan malam ini, sudah sering dilakukan oleh mahasiswa lain. Tentu saja, pasalnya kedai fotokopi ini sangat dekat dengan kampus dan juga buka selama 24 jam dalam sehari. Maka, sudah pasti menjadi tempat bagi para mahasiswa mempercayakan setiap tugas, dan skripsinya untuk dicetak. Bahkan, tak jarang, ada pula yang datang untuk sekadar berkeluh kesah atau adu nasib sebagai sesama mahasiswa.

Sesekali ada yang datang, lalu pergi. Ada yang hanya menyerahkan diska lepas, dan ada juga yang menunggu sampai semua file yang dibutuhkan selesai dicetak.

Detik, demi detik berlalu begitu cepat sampai Bianca pun tersadar kalau ia harus pulang sekarang.

“Mas! Makasih, ya! Aku pulang!” serunya, berpamitan.

Lalu, yang baru saja dipamiti pun, hanya melempar senyum seikhlasnya.

Malam ini keadaan rumah terasa begitu sepi sebab, seisinya kekurangan eksistensi seorang Sabian Aditama—si semata wayang, yang usut punya usut tengah menginap di hotel bersama salah seorang teman barunya.

Ratu duduk termangu di sebuah sofa, depan televisi yang tengah menyala. Bosan. Hanya terdengar suara penyiar berita yang asalnya dari benda besar, nan pipih di hadapannya itu. Sudah hampir keram punggung Ratu lantaran sejak dua jam yang lalu, ia sudah duduk menyendiri di sana. Seperti biasa, di jam-jam Jeffrey pulang kantor seperti ini—Budhe Lasih tentu sudah rebahan di dalam kamarnya dengan damai.

Sebenarnya, ia menunggu Jeffrey bukanlah atas dasar kepekaan dan rasa perhatian sebagai seorang istri, melainkan atas dasar permintaan Jeffrey sendiri untuk.

Katanya melalui telepon, ia ingin ditunggu dan disambut kepulangannya untuk malam ini. Manja sekali, kan? Yah, memang seperti itulah sikap Jeffrey acapkali Bian tak ada di rumah.

Ratu menghela napas panjang tatkala suara mesin mobil milik Jeffrey terdengar dari halaman rumah. Akhirnya laki-laki itu pulang, setelah rasanya ia sudah menunggu sekian lama.

Namun, alih-alih membukakan pintu, Ratu memilih untuk tetap berduduk manis di tempatnya. Bukan karena ia terlalu malas untuk beranjak, melainkan karena ukuran perutnya yang tak lagi kecil itu, cukup membatasi pergerakan Ratu sejak beberapa minggu terakhir.

Tangan Ratu meraih sebuah remot yang letaknya tak jauh darinya. Menekan tombol power untuk mematikan televisi yang sempat ia nyalakan dengan niat meramaikan seisi rumah, namun sia-sia.

Pintu utama terbuka dari luar, dan menimbulkan suara yang memecah keheningan seketika. Mendengar itu, Ratu praktis menoleh ke belakang. Didapatinya sosok laki-laki bertubuh tinggi dengan setelan kemeja yang sudah tak lagi rapi, kelihatannya.

Jeffreyan Aditama. Meski sudah banyak tahun-tahun yang Ratu lalui bersama laki-laki itu dalam pernikahan mereka, namun sampai detik ini Ratu masih saja merasa salah tingkah setiap kali melihat suaminya itu pulang kerja. Maklum, nilai plus Jeffrey memanglah ketampanannya. Belum lagi saat laki-laki itu tersenyum simpul ke arahnya—Ratu refleks menyetuh perutnya yang kini sudah begitu besar.

“Emang boleh ya, Papa kamu se-mantep ini?” kata Ratu lirih pada sang jabang bayi di dalam perut. Sementara ia sibuk mengagumi Jeffrey dalam minimnya pencahayaan ruang tengah, Jeffrey sendiri mulai melangkah masuk ke dalam rumah. Melalui ruang tamu, dan berjalan mendekat menuju ruang tengah.

“Aku pulang!”

Ratu hampir saja berdiri. Maksud hati ingin menyambut Jeffrey dengan sebuah pelukan hangat sepulang kerja. Namun, laki-laki itu lebih dahulu menahan tubuh Ratu, sehingga Ratu kembali terduduk di atas sofa.

“Mau ngapain?” tanya Jeffrey.

Ratu merentangkan kedua tangannya. “Mau peluk!” kata Ratu menjawab pertanyaan Jeffrey.

Kemudian, alih-alih membantu Ratu berdiri, Jeffrey justru memeluk tubuh Ratu dengan satu tangan, sementara tangannya yang satu lagi ia pergunakan untuk menopang tubuhnya pada sandaran sofa, agar ia tidak jatuh menimpa Ratu.

“Enak banget pelukan sama ibu hamil. Mana wanginya nyegerin.” Sontak wajah Ratu menghangat, hingga muncul semburat merah pada pipinya.

“Jangan godain saya, ya. Saya lagi hamil, dan udah punya suami!” kata Ratu seakan-akan Jeffrey adalah orang asing.

“Siapa, sih, suaminya?”

“Ada.”

“Siapa?”

Kemudian tangan Ratu menangkup kedua pipi Jeffrey, dan mengusapnya dengan begitu lembut. “Jeffreyan Aditama. Masnya berani gak lawan dia?”

Jeffrey refleks terkekeh, usai mendengar perkataan Ratu barusan. “Berani, lah!” cetus laki-laki yang kemudian melayangkan begitu banyak kecupan di wajah Ratu itu.

“Mas! Nanti dilihat Budhe Lasih, loh....”

Tapi, seakan tuli, Jeffrey justru semakin nekat. Kini kedua tangannya bertumpu pada sandaran sofa, dan dipagutnya bibir ranum Ratu seketika.

Di bawah cahaya temaram ruangan itu, di tengah-tengah keheningan yang melanda—suara decakan bibir keduanya terbang bersama udara dan kemudian memenuhi seisi ruangan. Tangan Ratu yang semula menangkup kedua pipi Jeffrey, kini mulai merambat ke arah tengkuk laki-laki itu. Tak ingin munafik—Ratu juga sangat mendambakan Jeffrey malam ini.

“Ngh....” Sebuah lenguhan yang berhasil lolos dari bibir Ratu, membuat Jeffrey menghentikan kegiatannya seketika.

Diusapnya sudut bibir Ratu yang sempat menyisakan saliva mereka berdua. “Astaga, aku kelepasan berbuat mesum sama ibu hamil!” kata Jeffrey sok dramatis.

“Gak masalah, ibu hamilnya suka.”

“Kalau suka, berarti boleh dilanjutin?”

Ratu merespons perkataan Jeffrey barusan dengan sebuah anggukan kepala. “Kamu tau jawabannya, bahkan sebelum aku ngangguk-ngangguk begini.”

Benar saja! Jeffrey tergelak dalam hitungan detik, sebelum akhirnya ia menggendong tubuh Ratu di depan—seperti koala. Untuk dapat mengangkat bobot tubuh Ratu yang sekarang ini, Jeffrey termasuk seorang laki-laki yang kuat.

“Berat gak?” tanya Ratu penasaran.

Jeffrey menggeleng singkat, kemudian mengecup ceruk leher Ratu. Kakinya melangkah hati-hati meneju kamar mereka yang tak jauh dari ruang tengah.

“Kenapa harus digendong, padahal aku masih bisa jalan?”

“Kalau kita jalan, kelamaan.”

Selanjutnya Ratu sengaja merapatkan kakinya yang melingkar pada pinggang Jeffrey. Membuat suaminya itu mengerang seketika. “Sumpah, kok, udah keras banget? Takut!”

“Kalau lunak, gak bisa masuk nanti.”

Seperti biasa; Ratu menyesal karena sudah memancing Jeffrey untuk berbicara di saat-saat seperti ini. Maksud hati ingin bergurau namun, justru dijawab dengan kalimat yang kedengarannya begitu kotor seperti barusan.

Ratu menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Jeffrey. Diam-diam ia menghirup sisa-sisa aroma parfum milik Jeffrey dari sana. Harum, dan tidak terlalu menyengat seperti saat perkali disemprotkan pada kerah kemejanya.

Jeffrey berdeham, “Menurut kamu, aku mandi dulu atau gak usah?” tanya Jeffrey dengan nada yang terdengar sedikit serius.

“Gak usah.”

“Kenapa?”

“Ya ... nanti aja sekalian.”

Langkah kaki Jeffrey tiba-tiba saja terhenti, padahal mereka belum sampai di ambang pintu kamar.

“Kok berhenti? Kan, belum sampai kamar,” timpal Ratu.

“Sekalian gimana maksudnya? Mau mandi bareng?”

Ratu menggeleng kemudian. “Mandinya sendiri-sendiri, lah! Tapi—mandinya habis berkeringat bareng.”

Kalimat itu lantas menjadi kalimat penutup percakapan mereka di luar kamar. Pasalnya, detik kemudian Jeffrey langsung berjalan cepat memasuki kamar yang hanya tersisa beberapa langkah lagi dari tempat ia berdiri sebelumnya.

Malam ini keadaan rumah terasa begitu sepi sebab, seisinya kekurangan eksistensi seorang Sabian Aditama—si semata wayang, yang usut punya usut tengah menginap di hotel bersama salah seorang teman barunya.

Ratu duduk termangu di sebuah sofa, depan televisi yang tengah menyala. Bosan. Hanya terdengar suara penyiar berita yang asalnya dari benda besar, nan pipih di hadapannya itu. Sudah hampir keram punggung Ratu lantaran sejak dua jam yang lalu, ia sudah duduk menyendiri di sana. Seperti biasa, di jam-jam Jeffrey pulang kantor seperti ini—Budhe Lasih tentu sudah rebahan di dalam kamarnya dengan damai.

Sebenarnya, ia menunggu Jeffrey bukanlah atas dasar kepekaan dan rasa perhatian sebagai seorang istri, melainkan atas dasar permintaan Jeffrey sendiri untuk.

Katanya melalui telepon, ia ingin ditunggu dan disambut kepulangannya untuk malam ini. Manja sekali, kan? Yah, memang seperti itulah sikap Jeffrey acapkali Bian tak ada di rumah.

Ratu menghela napas panjang tatkala suara mesin mobil milik Jeffrey terdengar dari halaman rumah. Akhirnya laki-laki itu pulang, setelah rasanya ia sudah menunggu sekian lama.

Namun, alih-alih membukakan pintu, Ratu memilih untuk tetap berduduk manis di tempatnya. Bukan karena ia terlalu malas untuk beranjak, melainkan karena ukuran perutnya yang tak lagi kecil itu, cukup membatasi pergerakan Ratu sejak beberapa minggu terakhir.

Tangan Ratu meraih sebuah remot yang letaknya tak jauh darinya. Menekan tombol power untuk mematikan televisi yang sempat ia nyalakan dengan niat meramaikan seisi rumah, namun sia-sia.

Pintu utama terbuka dari luar, dan menimbulkan suara yang memecah keheningan seketika. Mendengar itu, Ratu praktis menoleh ke belakang. Didapatinya sosok laki-laki bertubuh tinggi dengan setelan kemeja yang sudah tak lagi rapi, kelihatannya.

Jeffreyan Aditama. Meski sudah banyak tahun-tahun yang Ratu lalui bersama laki-laki itu dalam pernikahan mereka, namun sampai detik ini Ratu masih saja merasa salah tingkah setiap kali melihat suaminya itu pulang kerja. Maklum, nilai plus Jeffrey memanglah ketampanannya. Belum lagi saat laki-laki itu tersenyum simpul ke arahnya—Ratu refleks menyetuh perutnya yang kini sudah begitu besar.

“Emang boleh ya, Papa kamu se-mantep ini?” kata Ratu lirih pada sang jabang bayi di dalam perut. Sementara ia sibuk mengagumi Jeffrey dalam minimnya pencahayaan ruang tengah, Jeffrey sendiri mulai melangkah masuk ke dalam rumah. Melalui ruang tamu, dan berjalan mendekat menuju ruang tengah.

“Aku pulang!”

Ratu hampir saja berdiri. Maksud hati ingin menyambut Jeffrey dengan sebuah pelukan hangat sepulang kerja. Namun, laki-laki itu lebih dahulu menahan tubuh Ratu, sehingga Ratu kembali terduduk di atas sofa.

“Mau ngapain?” tanya Jeffrey.

Ratu merentangkan kedua tangannya. “Mau peluk!” kata Ratu menjawab pertanyaan Jeffrey.

Kemudian, alih-alih membantu Ratu berdiri, Jeffrey justru memeluk tubuh Ratu dengan satu tangan, sementara tangannya yang satu lagi ia pergunakan untuk menopang tubuhnya pada sandaran sofa, agar ia tidak jatuh menimpa Ratu.

“Enak banget pelukan sama ibu hamil. Mana wanginya nyegerin.” Sontak wajah Ratu menghangat, hingga muncul semburat merah pada pipinya.

“Jangan godain saya, ya. Saya lagi hamil, dan udah punya suami!” kata Ratu seakan-akan Jeffrey adalah orang asing.

“Siapa, sih, suaminya?”

“Ada.”

“Siapa?”

Kemudian tangan Ratu menangkup kedua pipi Jeffrey, dan mengusapnya dengan begitu lembut. “Jeffreyan Aditama. Masnya berani gak lawan dia?”

Jeffrey refleks terkekeh, usai mendengar perkataan Ratu barusan. “Berani, lah!” cetus laki-laki yang kemudian melayangkan begitu banyak kecupan di wajah Ratu itu.

“Mas! Nanti dilihat Budhe Lasih, loh....”

Tapi, seakan tuli, Jeffrey justru semakin nekat. Kini kedua tangannya bertumpu pada sandaran sofa, dan dipagutnya bibir ranum Ratu seketika.

Di bawah cahaya temaram ruangan itu, di tengah-tengah keheningan yang melanda—suara decakan bibir keduanya terbang bersama udara dan kemudian memenuhi seisi ruangan. Tangan Ratu yang semula menangkup kedua pipi Jeffrey, kini mulai merambat ke arah tengkuk laki-laki itu. Tak ingin munafik—Ratu juga sangat mendambakan Jeffrey malam ini.

“Ngh....” Sebuah lenguhan yang berhasil lolos dari bibir Ratu, membuat Jeffrey menghentikan kegiatannya seketika.

Diusapnya sudut bibir Ratu yang sempat menyisakan saliva mereka berdua. “Astaga, aku kelepasan berbuat mesum sama ibu hamil!” kata Jeffrey sok dramatis.

“Gak masalah, ibu hamilnya suka.”

“Kalau suka, berarti boleh dilanjutin?”

Ratu merespons perkataan Jeffrey barusan dengan sebuah anggukan kepala. “Kamu tau jawabannya, bahkan sebelum aku ngangguk-ngangguk begini.”

Benar saja! Jeffrey tergelak dalam hitungan detik, sebelum akhirnya ia menggendong tubuh Ratu di depan—seperti koala. Untuk dapat mengangkat bobot tubuh Ratu yang sekarang ini, Jeffrey termasuk seorang laki-laki yang kuat.

“Berat gak?” tanya Ratu penasaran.

Jeffrey menggeleng singkat, kemudian mengecup ceruk leher Ratu. Kakinya melangkah hati-hati meneju kamar mereka yang tak jauh dari ruang tengah.

“Kenapa harus digendong, padahal aku masih bisa jalan?”

“Kalau kita jalan, kelamaan.”

Selanjutnya Ratu sengaja merapatkan kakinya yang melingkar pada pinggang Jeffrey. Membuat suaminya itu mengerang seketika. “Sumpah, kok, udah keras banget? Takut!”

“Kalau lunak, gak bisa masuk nanti.”

Seperti biasa; Ratu menyesal karena sudah memancing Jeffrey untuk berbicara di saat-saat seperti ini. Maksud hati ingin bergurau namun, justru dijawab dengan kalimat yang kedengarannya begitu kotor seperti barusan.

Ratu menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Jeffrey. Diam-diam ia menghirup sisa-sisa aroma parfum milik Jeffrey dari sana. Harum, dan tidak terlalu menyengat seperti saat perkali disemprotkan pada kerah kemejanya.

Jeffrey berdeham, “Menurut kamu, aku mandi dulu atau gak usah?” tanya Jeffrey dengan nada yang terdengar sedikit serius.

“Gak usah.”

“Kenapa?”

“Ya ... nanti aja sekalian.”

Langkah kaki Jeffrey tiba-tiba saja terhenti, padahal mereka belum sampai di ambang pintu kamar.

“Kok berhenti? Kan, belum sampai kamar,” timpal Ratu.

“Sekalian gimana maksudnya? Mau mandi bareng?”

Ratu menggeleng kemudian. “Mandinya sendiri-sendiri, lah! Tapi—mandinya habis berkeringat bareng.”

Kalimat itu lantas menjadi kalimat penutup percakapan mereka di luar kamar. Pasalnya, detik kemudian Jeffrey langsung berjalan cepat memasuki kamar yang hanya tersisa beberapa langkah lagi dari tempat ia berdiri sebelumnya.

Malam ini keadaan rumah terasa begitu sepi sebab, seisinya kekurangan eksistensi seorang Sabian Aditama—si semata wayang, yang usut punya usut tengah menginap di hotel bersama salah seorang teman barunya.

Ratu duduk termangu di sebuah sofa, depan televisi yang tengah menyala. Bosan. Hanya terdengar suara penyiar berita yang asalnya dari benda besar, nan pipih di hadapannya itu. Sudah hampir keram punggung Ratu lantaran sejak dua jam yang lalu, ia sudah duduk menyendiri di sana. Seperti biasa, di jam-jam Jeffrey pulang kantor seperti ini—Budhe Lasih tentu sudah rebahan di dalam kamarnya dengan damai.

Sebenarnya, ia menunggu Jeffrey bukanlah atas dasar kepekaan dan rasa perhatian sebagai seorang istri, melainkan atas dasar permintaan Jeffrey sendiri untuk.

Katanya melalui telepon, ia ingin ditunggu dan disambut kepulangannya untuk malam ini. Manja sekali, kan? Yah, memang seperti itulah sikap Jeffrey acapkali Bian tak ada di rumah.

Ratu menghela napas panjang tatkala suara mesin mobil milik Jeffrey terdengar dari halaman rumah. Akhirnya laki-laki itu pulang, setelah rasanya ia sudah menunggu sekian lama.

Namun, alih-alih membukakan pintu, Ratu memilih untuk tetap berduduk manis di tempatnya. Bukan karena ia terlalu malas untuk beranjak, melainkan karena ukuran perutnya yang tak lagi kecil itu, cukup membatasi pergerakan Ratu sejak beberapa minggu terakhir.

Tangan Ratu meraih sebuah remot yang letaknya tak jauh darinya. Menekan tombol power untuk mematikan televisi yang sempat ia nyalakan dengan niat meramaikan seisi rumah, namun sia-sia.

Pintu utama terbuka dari luar, dan menimbulkan suara yang memecah keheningan seketika. Mendengar itu, Ratu praktis menoleh ke belakang. Didapatinya sosok laki-laki bertubuh tinggi dengan setelan kemeja yang sudah tak lagi rapi, kelihatannya.

Jeffreyan Aditama. Meski sudah banyak tahun-tahun yang Ratu lalui bersama laki-laki itu dalam pernikahan mereka, namun sampai detik ini Ratu masih saja merasa salah tingkah setiap kali melihat suaminya itu pulang kerja. Maklum, nilai plus Jeffrey memanglah ketampanannya. Belum lagi saat laki-laki itu tersenyum simpul ke arahnya—Ratu refleks menyetuh perutnya yang kini sudah begitu besar.

“Emang boleh ya, Papa kamu se-mantep ini?” kata Ratu lirih pada sang jabang bayi di dalam perut. Sementara ia sibuk mengagumi Jeffrey dalam minimnya pencahayaan ruang tengah, Jeffrey sendiri mulai melangkah masuk ke dalam rumah. Melalui ruang tamu, dan berjalan mendekat menuju ruang tengah.

“Aku pulang!”

Ratu hampir saja berdiri. Maksud hati ingin menyambut Jeffrey dengan sebuah pelukan hangat sepulang kerja. Namun, laki-laki itu lebih dahulu menahan tubuh Ratu, sehingga Ratu kembali terduduk di atas sofa.

“Mau ngapain?” tanya Jeffrey.

Ratu merentangkan kedua tangannya. “Mau peluk!” kata Ratu menjawab pertanyaan Jeffrey.

Kemudian, alih-alih membantu Ratu berdiri, Jeffrey justru memeluk tubuh Ratu dengan satu tangan, sementara tangannya yang satu lagi ia pergunakan untuk menopang tubuhnya pada sandaran sofa, agar ia tidak jatuh menimpa Ratu.

“Enak banget pelukan sama ibu hamil. Mana wanginya nyegerin.” Sontak wajah Ratu menghangat, hingga muncul semburat merah pada pipinya.

“Jangan godain saya, ya. Saya lagi hamil, dan udah punya suami!” kata Ratu seakan-akan Jeffrey adalah orang asing.

“Siapa, sih, suaminya?”

“Ada.”

“Siapa?”

Kemudian tangan Ratu menangkup kedua pipi Jeffrey, dan mengusapnya dengan begitu lembut. “Jeffreyan Aditama. Masnya berani gak lawan dia?”

Jeffrey refleks terkekeh, usai mendengar perkataan Ratu barusan. “Berani, lah!” cetus laki-laki yang kemudian melayangkan begitu banyak kecupan di wajah Ratu itu.

“Mas! Nanti dilihat Budhe Lasih, loh....”

Tapi, seakan tuli, Jeffrey justru semakin nekat. Kini kedua tangannya bertumpu pada sandaran sofa, dan dipagutnya bibir ranum Ratu seketika.

Di bawah cahaya temaram ruangan itu, di tengah-tengah keheningan yang melanda—suara decakan bibir keduanya terbang bersama udara dan kemudian memenuhi seisi ruangan. Tangan Ratu yang semula menangkup kedua pipi Jeffrey, kini mulai merambat ke arah tengkuk laki-laki itu. Tak ingin munafik—Ratu juga sangat mendambakan Jeffrey malam ini.

“Ngh....” Sebuah lenguhan yang berhasil lolos dari bibir Ratu, membuat Jeffrey menghentikan kegiatannya seketika.

Diusapnya sudut bibir Ratu yang sempat menyisakan saliva mereka berdua. “Astaga, aku kelepasan berbuat mesum sama ibu hamil!” kata Jeffrey sok dramatis.

“Gak masalah, ibu hamilnya suka.”

“Kalau suka, berarti boleh dilanjutin?”

Ratu merespons perkataan Jeffrey barusan dengan sebuah anggukan kepala. “Kamu tau jawabannya, bahkan sebelum aku ngangguk-ngangguk begini.”

Benar saja! Jeffrey tergelak dalam hitungan detik, sebelum akhirnya ia menggendong tubuh Ratu di depan—seperti koala. Untuk dapat mengangkat bobot tubuh Ratu yang sekarang ini, Jeffrey termasuk seorang laki-laki yang kuat.

“Berat gak?” tanya Ratu penasaran.

Jeffrey menggeleng singkat, kemudian mengecup ceruk leher Ratu. Kakinya melangkah hati-hati meneju kamar mereka yang tak jauh dari ruang tengah.

“Kenapa harus digendong, padahal aku masih bisa jalan?”

“Kalau kita jalan, kelamaan.”

Selanjutnya Ratu sengaja merapatkan kakinya yang melingkar pada pinggang Jeffrey. Membuat suaminya itu mengerang seketika. “Sumpah, kok, udah keras banget? Takut!”

“Kalau lunak, gak bisa masuk nanti.”

Seperti biasa; Ratu menyesal karena sudah memancing Jeffrey untuk berbicara di saat-saat seperti ini. Maksud hati ingin bergurau namun, justru dijawab dengan kalimat yang kedengarannya begitu kotor seperti barusan.

Ratu menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Jeffrey. Diam-diam ia menghirup sisa-sisa aroma parfum milik Jeffrey dari sana. Harum, dan tidak terlalu menyengat seperti saat perkali disemprotkan pada kerah kemejanya.

Jeffrey berdeham, “Menurut kamu, aku mandi dulu atau gak usah?” tanya Jeffrey dengan nada yang terdengar sedikit serius.

“Gak usah.”

“Kenapa?”

“Ya ... nanti aja sekalian.”

Langkah kaki Jeffrey tiba-tiba saja terhenti, padahal mereka belum sampai di ambang pintu kamar.

“Kok berhenti? Kan, belum sampai kamar,” timpal Ratu.

“Sekalian gimana maksudnya? Mau mandi bareng?”

Ratu menggeleng kemudian. “Mandinya sendiri-sendiri, lah! Tapi—mandinya habis berkeringat bareng.”

Kalimat itu lantas menjadi kalimat penutup percakapan mereka di luar kamar. Pasalnya, detik kemudian Jeffrey langsung berjalan cepat memasuki kamar yang hanya tersisa beberapa langkah lagi dari tempat ia berdiri sebelumnya.

Ratu membuka pintu kamar dan keningnya berkerut seketika. Ternyata ada Jeffrey di balik pintu. Entah kebetulan, atau memang suaminya ini sudah berdiam diri di sana sejak tadi—Ratu juga tidak tahu. Tapi, yang jelas, laki-laki itu kini tengah memamerkan senyum seringainya.

“Jangan ngeliatin aku kaya gitu!” Ratu spontan menyilangkan tangan di depan dadanya.

Tadi, sepulang dari kantor, Jeffrey langsung bergegas untuk mandi dan makan seperti biasanya. Namun, kali ini agaknya ia melakukan kegiatan tersebut dengan menggunakan kekuatan super kilat. Pasalnya cepat sekali.

Seingat Ratu, baru beberapa menit yang lalu ia menuangkan secentong nasi ke atas piring Jeffrey. Lalu, entah bagai mana caranya, saat ini pria itu sudah berdiri di hadapannya.

Ngomong-ngomong, melihat bagaimana Ratu menyilangkan tangannya di depan dada, sukses membuat Jeffrey mendengkus. “Apaan, sih? Emang aku ngeliatinnya kayak gimana?”

“Ya kayak gitu mata kamu. Kayak kucing liat ikan.”

Lantas Jeffrey memejamkan kedua matanya rapat-rapat sembari berjalan, menerobos masuk ke dalam kamar, dan melewati tubuh Ratu begitu saja.

“Tumben gak nyalain AC, Ra? Gerah!”

Alih-alih merespon perkataan Jeffrey, Ratu justru berjalan ke luar pintu kamar. Toleh kanan, lalu toleh kiri, yang ia lakukan. Mencari-cari eksistensi sang anak yang kebetulan nihil.

Jeffrey yang merasa terabaikan, tentu refleks memutar tubuhnya. Kembali menatap Ratu yang masih setia berdiri di depan pintu kamar tersebut. “Cari siapa?” tanya Jeffrey penasaran.

“Bian.”

“Gak ada di bawah. Kayaknya udah masuk ke kamar. Udah jam sembilan, kan, ini.”

Mendengar itu, barulah Ratu masuk dan mengunci pintu kamar dari dalam.

“Kamu tadi bilang gerah, ya?” tanya Ratu, berniat merespon perkataan Jeffrey beberapa saat lalu, meski sudah sangat terlambat.

“Iya!”

“Ya udah, nyalain aja AC-nya.”

Lalu, tanpa menimpali perkataan Ratu lagi, Jeffrey langsung meraih remot AC yang berada di dekatnya. Ia masih sibuk mengatur suhu yang pas, sewaktu berjalan menuju ranjang.

“Jadi gimana cara main truth or dare yang kamu sama Yudhis maksud itu, Ra?” tanya Jeffrey.

Sengaja ia lempar sebuah remot AC yang semula ia genggam itu, ke sembarang arah. Peduli setan dengan remot AC, Jeffrey ingin langsung memeluk tubuh Ratu, dan menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Ratu seperti saat ini.

Harum. Aroma citrus menyeruak, masuk ke dalam indera peniumannya seketika.

Kalau boleh jujur, kadang ada kalanya Jeffrey ingin seumur hidupnya berada di jarak sedekat ini dengan Ratu. Tanpa bekerja, tanpa kesibukan. Hanya tenggelam dalam pelukan hangat Ratu selamanya.

Bucin? Memang.

“Kayak main truth or dare biasa, Mas. Tapi, yang mau kita mainin sekarang ini, pertanyaan sama tantangannya berhubungan sama kegiatan seks.”

Kedua mata Jeffrey membola seketika. Ia spontan melepas sebuah pelukan hangat yang baru saja ia mulai beberapa saat lalu. Seumur-umur, ia baru mengetahui kalau ada permainan se-ekstrem ini.

Namun, setelah itu, Jeffrey menarik sudut bibirnya ke atas. Ia seakan baru saja mendapat wangsit kalau-kalau hari ini ia akan melewati malam yang panjang bersama Ratu. Jeffrey merasa sangat amat siap.

“Oh iya, ada rulesnya. Dilarang menyentuh lawan sampai permainan selasai, dilarang tutup mata waktu lawan ngelakuin tantangannya, dilarang berhenti di tengah-tengah permainan, dan dilarang kasih tantangan yang harus dilakuin di luar pintu kamar!” kata Ratu menimpali perkataannya sendiri. Membuat senyum Jeffrey sirna seketika.

“Kenapa?” tanya Jeffrey dengan nada tak terima. “Kenapa harus ada rulesnya?”

“Karena ini permainan....”

Kemudian, dengan tampang memelas—Jeffrey membaringkan tubuhnya dengan kasar. “Gak jadi main, ah, Ra. Gak seru.”

Ratu menghela napas panjang. “Padahal kamu bisa loh, kasih aku tantangan yang agak ekstrem,” katanya, kemudian berlagak kecewa dan memunggungi Jeffrey yang tengah berbaring. “Tapi ya udah kalau gak ma—.”

“Mau, deh! AKU MAU, AYO CEPETAN!”

Sontak Ratu tergelak bukan main. Jeffrey ini memang sangat mudah dimanipulasi.

Namun, di tengah gelak tawa Ratu, tiba-tiba saja ada hal yang membuat bibir Ratu kembali terkatup. Jeffrey, secara sukarela melucuti pakaian yang ia kenakan, hingga hanya tersisa celana dalam saja.

“Apaan sih? Belum-belum udah lepas baju aja?!” seru Ratu lantaran tak habis pikir.

“Satu lagi rulesnya—tambahan dari aku.”

Ratu menatap bingung ke arah Jeffrey. Menunggu, kira-kira ide konyol seperti apa yang akan keluar dari bibir suaminya itu.

“Kita main truth or darenya sambil naked.”

“GILA?”

“Kenapa?”

“Malu, Mas!”

Jeffrey praktis tergelak bukan main, sebelum akhirnya berjalan setengah memutari ranjang, dan berdiri tepat di hadapan Ratu. “Biasa aja, lah, Ra. Dari sini,” telunjuk Jeffrey yang semula mendarat di atas kening Ratu, perlahan turun hingga ke ujung kaki, “sampai sini—gak ada yang belum pernah aku liat sebelumnya, Ra.”

“Tapi dingin, Mas....”

Jeffrey lekas menyambar sebuah remot AC yang beberapa saat lalu, baru saja ia lempar sembarangan. “Pertama-tama, kita matiin dulu AC-nya,” kata Jeffrey yang kemudian benar-benar menekan tombol power pada remot tersebut. Membuat AC dalam kamar mereka mati seketika.

Setelah itu, keduanya sempat terjebak dalam keheningan, sampai Ratu menyadari bahwa Jeffrey tengah membantunya melepas pakaiannya. Dengan penuh hati-hati Jeffrey itu. Takut kalau-kalau tanpa sengaja menekan kandungan Ratu. Hanya perlu sekali tarikan, kedua gundukan pada dada Ratu yang masih terbungkus oleh bra terpampang di hadapannya secaranya nyata.

“Celananya mau aku yang lepasin juga?”

Mendengar itu, Ratu tersipu malu sampai muncul semburat kemerahan pada kedua pipinya. “Gak usah ... aku bisa sendiri.”

“Yakin?”

“Iya!”

“Padahal aku mau bantuin.”

“Aku bilang gak usah!!”

Ratu beranjak dari atas ranjang, untuk melepas celananya. Menyisakan celana dalam—sama seperti Jeffrey, juga sebuah bra tanpa tali yang membungkus kedua gundukan kembarnya.

Di depannya ada Jeffrey yang juga sama-sama tengah berdiri. Menatapnya kagum, dengan kedua bola mata yang berbinar.

Jeffrey hanya tersenyum, sementara Ratu sendiri sudah tahu perihal apa yang tengah suaminya itu pikirkan. Perut bundar karena tengah mengandung anak kedua mereka, dada yang semakin besar, serta permukaan kulitnya yang justru semakin halus dan cerah semenjak ia hamil. Tentu saja Ratu mengetahui semua hal tersebut. Pasalnya Jeffrey sendiri yang pernah mengatakan padanya. Jeffrey bahkan mengatakan kalau birahinya jauh lebih semena-mena datang semenjak Ratu kembali hamil.

Meski begitu, Ratu rasanya enggan membuang-buang waktu dengan kembali membahas hal tersebut dengan Jeffrey. Ia lebih memilih untuk berjalan menuju meja rias untuk mengambil sebuah botol parfum kosong yang terbuat dari kaca di seberang ranjang mereka.

“Buat apa?” tanya Jeffrey.

Ratu kemudian duduk begitu saja di atas lantai kamar mereka yang dingin. Diletakkannya botol parfum kosong tersebut, tepat di depan tempat ia berduduk manis. “Buat nentuin siapa yang dapet truth or dare duluan.”

“Oh, gitu.”

“Sini, Mas, duduk di depan aku.”

Jeffrey manut-manut saja. Ia ikut duduk di atas lantai tanpa sebuah alas apapun. Bokongnya nyaris kedinginan kalau-kalau ia tak memakai celana dalam saat ini. Sementara Ratu, tampaknya senang-senang saja, dan justru tengah mengsam-mengsem menatap ke arah Jeffrey.

“Aku puter sekarang, ya?” tanya Ratu memastikan, dan langsung dihadiahi anggukan kepala oleh Jeffrey.

Kemudian, botol itu berputar dengan sangat cepat. Mengarah pada Ratu dan Jeffrey secara bergantian. Sampai saat di mana kekuatan berputarnya mulai melemah, Ratu merasakan degup jantungnya yang justru meningkat.

Dan, ya, botol tersebut menunjuk Jeffrey sebagai pemain pertama. Tetapi alih-alih merasa cemas Jeffrey justru semakin bersemangat.

“Oke, kamu pilih truth or dare, Mas?”

Truth dulu, buat pemanasan,” sahut Jeffrey.

Ratu menatap lurus ke arah mata Jeffrey, hingga kedua pasang pupil mata mereka saling bertemu. “Nih, ya, dalam hubungan seks, gaya apa yang paling kamu suka, dan yang paling gak kamu suka?”

Jeffrey seketika mengangkat sebelah alisnya. “Wow?”

“Kenapa?”

“Aku gak nyangka kalau pernyataan pertama yang keluar, bakal kayak gini.”

Mendengar perkataan itu, Ratu hampir lupa caranya bernapas. Dalam benaknya, Ratu merasa kalau ini mungkin berlebihan bagi Jeffrey. Tapi kenyataannya ia salah.

“Aku suka sama pertanyaan,” timpal Jeffrey, membuat Ratu tak percaya.

“Jadi, jawabannya apa?”

“Aku paling suka lihat wajah kamu. Jadi apapun gayanya, asalkan itu bisa ngelihat wajah kamu dengan jelas, aku suka. Soalnya kamu seksi banget kalau lagi—.”

Stop, stop! Jawabnya tuh yang ditanyain aja!” kata Ratu, sengaja memotong perkataan Jeffrey.

Sontak Jeffrey terbahak. “Nah! Kalau gaya yang paling aku gak suka itu kebalikannya. Enam sembilan, doggy style—kecuali kalau doggy stylenya di depan kaca, sambil lihat pantulan wajah kamu. Pokoknya semua gaya yang gak bisa lihat wajah kamu, aku gak suka.”

Ingin sekali rasanya Ratu tenggelam di lautan usai mendengar bagaimana lancarnya penuturan Jeffrey mengenai hal sekotor ini. Ya, meski begitu, dalam benak Ratu juga muncul perasaan senang, karena secara tidak langsung Jeffrey tengah mengakui bahwa wajahnya begitu sedap dipandang.

“Sekarang giliran kamu yang puter botolnya, Mas.”

Selanjutnya, botol parfum di hadapan mereka kembali berputar.

“Kenapa aku lagi yang kena?!”

Ratu mengedikkan bahunya. “Karena tadi udah truth, sekarang harus dare,” cetus Ratu yang sengaja mengakal-akali Jeffrey.

“Emang ada aturan kayak gitu?”

“Ada. Hidup itu harus seimbang.”

“Ya, udah. Apa tantangannya?”

“Buat suara yang kayak biasa kamu keluarin pas kamu mau orgasme.” Jeffrey mendelik tak percaya, “Maksudnya? Aku gak bisa, kecuali kalau kamu mau kita ngeseks sekarang juga.”

“Kamu lupa? Dilarang menyentuh lawan sampai permainan selasai, dilarang tutup mata, dilarang berhenti di tengah-tengah permainan, dan dilarang kasih tantangan yang harus dilakuin di luar pintu kamar!!”

“Ya, aku gak bisa, Ra.”

“Bisa. Kamu tinggal tutup mata, dan bayangin kalau kita berdua lagi having sex.”

Ratu menatap wajah Jeffrey, sementara kini seluruh perhatian Jeffrey jatuh pada tubuhnya. Dalam diam, Jeffrey mengikuti interupsi Ratu. Dalam diam, ia membayangkan tatkala tangannya meremas kedua payudara Ratu secara bergantian. Dalam diam, ia membayangkan bagaimana gilanya malam-malam panjang yang pernah mereka lewati berdua. Dan, dalam diam, Jeffrey membayangkan dirinya hampir menyentuh puncak orgasmenya bersama Ratu.

Berhasil!

“Shhh....” Kedua tangan Jeffrey refleks menopang tubuhnya sendiri, dalam posisi duduk. “Ahh....” Jeffrey membuka kedua pahanya lebar-lebar di hadapan Ratu.

Rahangnya mengeras dan matanya kini mulai terpejam. Ada yang mengeras di balik celana dalamnya. Gila. Hanya dengan membayangkan tengah bercinta bersama Ratu, Jeffrey bisa sampai sefrustasi ini. Pikirannya kini dipenuhi oleh adegan-adegan panas antara mereka berdua, yang ia karang sendiri.

Sementara Jeffrey masih terus mengerang di hadapannya, Ratu tanpa sadar menyentuh miliknya sendiri menggunakan tangannya. Ia ikut terbawa suasana, lantaran melihat aksi Jeffrey.

“Ahh ... Ra!”

“Ekhm! Udah cukup, Mas.”

Jeffrey menghentikan suara, imajinasi, dan kegiatannya seketika. Wajahnya masih memerah, dan sesuatu di antara kedua pahanya yang telanjang itu tampaknya masih begitu ereksi. Membuatnya duduk dengan perasaan kurang nyaman.

“Udah aja, lah. Gak kuat aku!” ketus Jeffrey, putus asa.

“Nanti dulu! Siapa tau, abis ini giliran aku?”

“Aku bakal suruh kamu bener-bener naked di depan aku. Liat aja.”

Lalu, tanpa diberi aba-aba, Jeffrey kembali memutar botol parfum di tangannya sekuat tenaga. Siapa sangka bahwa dalam benaknya Jeffrey terus merapalkan doa agar kali ini Ratu yang terpilih oleh alam.

Dan, benar saja! Tatkala botol itu berhenti berputar, bagian paling ujungnya mengarah pada Ratu.

Ratu terkekeh, “Kamu abis berdoa, ya?”

“Iya, lah!”

“Aku pilih truth, Mas.”

Dare aja!”

Truth!

Bibir Jeffrey sontak mengerucut ke depan. Padahal, kalau saja Ratu memilih diberi tantangan, ia akan meminta Ratu menanggalkan sisa kain yang melekat di tubuhnya. Namun, nahas. Ratu tetap pada pendiriannya, dan memilih untuk berkata jujur.

“Ya udah, jawab pertanyaan ini—.”

“Apa?”

“Kalau kita lagi ngelakuin 'hal itu' ... apa kegiatan yang paling kamu suka?”

Ratu menggeleng, “Gak bisa jawab, ada banyak.”

“Yang paling-paling.”

Ratu merasakan lidahnya kelu seketika. “A-aku suka pas kamu fingering,” kata Ratu yang terdengar sangat lirih di akhir kalimatnya.

“Apa?”

Fingering!”

Jeffrey batuk-batuk seketika. “WOAHH?!”

“DIEM!”

Bukannya diam, Jeffrey justru semakin cengangas-cengenges untuk menggoda Ratu. Sampai-sampai Ratu dibuat kesal oleh tampang jenakanya itu. Tapi, untungnya Ratu tak ambil pusing. Ia lebih memilih untuk melanjutkan permainan dengan langsung memutar botol parfum di depannya, tanpa menunggu Jeffrey berhenti meledeknya terlebih dahulu.

Sial!

Selepas putaran botol itu terhenti, gelak tawa Jeffrey menjadi pecah.

Wajar saja. Pasalnya botol itu lagi-lagi menunjuk Ratu sebagai korbannya. Dan, yang lebih nahasnya lagi, Ratu sudah tahu jelas tantangan ekstrem seperti apa yang akan Jeffrey berikan.

“Lepasin semua, Ra.” Nah, kan! Bagaikan peribahasa 'pucuk dicinta, ulam pun tiba'. Sesuatu yang sudah Jeffrey nanti-nanti sejak awal permainan, akhirnya terjadi.

Mau tidak mau, suka tidak suka, Ratu harus melepas seluruh pakaian dalamnya di hadapan Jeffrey.

“Salah satu aja, ah,” kata Ratu yang merasa keberatan.

“Gak, Ra. Harus yang itu—” Jeffrey menunjuk ke arah dada Ratu, dan ke arah bagian bawah Ratu. “sama yang itu.”

Melihat respon Jeffrey yang sepertinya akan sulit untuk diajak kompromi—Ratu memutuskan untuk pasrah, dan benar-benar melucuti pakaian dalamnya sendiri, tepat di hadapan Jeffrey.

Kedua buah dada Ratu praktis mencuat tatkala bagian pengait pada bra yang tengah ia kenakan itu terlepas. Dan, begitu pula dengan celana dalamnya. Milik Ratu yang satu itu tentu saja terekspos secaranya nyata, dan membuat darah Jeffrey berdesir seketika. Jeffrey sontak menyunggingkan senyumnya. Ia merasa seakan menang telak dalam permainan ini.

Namun, sayang sekali. Rupanya Ratu ingin sesi permainan itu diperpanang karena skor mereka masih seimbang.

“Satu kali lagi, Mas. Satu kali lagi, dan cuman bisa pilih dare!”

Mendengar itu, Jeffrey tersenyum culas. “Oke, siapa takut?”

Lantas, dengan begitu percaya dirinya, Ratu lagi-lagi memutar botol tersebut, untuk yang terakhir kalinya. Tapi, sepertinya alam jauh lebih memihak pada Jeffrey malam ini. Ratu kembali terpilih, dan siap terperangkap dalam aturan yang ia ciptakan sendiri, tentunya.

“IH?” Ratu mengusap wajahnya dengan kasar. “Mas, jangan yang aneh-aneh darenya!” pintanya yang lebih cenderung memaksa.

“Gak aneh, kok....” Jeffrey terkekeh.

“Apa?”

Jeffrey tanpa sadar menggigit bibir bawahnya, seraya menatap Ratu dan sekujur tubuhnya yang sudah tak terbalut kain apapun. “Sama kayak dare aku sebelumnya, tapi ini sedikit lebih susah, Ra,” kata Jeffrey, kemudian mengacungkan jari telunjuk, serta jari tengahnya bersamaan. “Lakuin hal yang paling kamu suka dalam seks kita, pakai jari kamu sendiri, dan sambil bayangin kalau kamu lagi having sex sama aku.”

Ratu membeku di tempat. Muncul sedikit perasaan menyesal lantaran sempat memberi Jeffrey tantangan yang tidak-tidak beberapa saat lalu. Tapi, ia pikir, yang namanya hukum karma dan balas dendam dalam permainan seperti ini agaknya memang sangat sulit dihindari.

Ratu menggigit bagian dalam pipinya, dan menghindari bertemu tatap dengan Jeffrey tatkala ia mulai membuka kedua pahanya.

Tangan yang semula mengepal karena ragu itu, kini mulai menjalar, menuju satu titik di bawah perutnya.

“A-aku harus lakuin berapa lama?”

“Sampai orgasme.”

“HAH?!”

Jeffrey menaikan sebelah alisnya. “Semakin cepet kamu mulai, itu berarti akan semakin cepet selesainya, Ra.”

Ratu mendengkus. Bukannya respon seperti itu terlalu kejam untuk seorang ibu hamil?

Ratu mulai merasa kalau permainan ini sangat menyusahkan dan sama sekali tidak asyik!

“Ayo, nungguin apa?”

“Iya, iya!

Untuk beberapa saat Ratu masih sibuk merenungkan perihal apa saja yang harus ia lakukan untuk mencapai puncak orgasmenya menggunakan tangannya sendiri. Sementara Jeffrey yang tak jauh dari tempat Ratu, tengah menyipitkan kedua matanya demi memastikan apakah Ratu melakukan tantangan ini dengan benar atau tidak.

“Kakinya kurang lebar itu, Ra.”

Ratu mengikuti interupsi Jeffrey kali ini, dan perlahan-lahan membenamkan jari telunjuknya di bawah sana.

“Iya, tambahin satu jari lagi. Mana ada rasanya kalau cuman segitu.”

“Sebentar, sempit!”

“Ya, emang gitu. Itu yang aku rasain,” cetus Jeffrey secara terang-terangan.

Mendengar perkataan tak senonoh yang baru saja keluar dari mulut Jeffrey itu, membuat wajah Ratu memanas. Ia malu. Semakin malu karena ditatap Jeffrey dari dekat saat tengah melakukan hal ini.

“Udah?”

Ratu mengangguk. “Eungh ... terus abis ini harus apa?” tanya Ratu, berharap diberi arahan lagi oleh Jeffrey.

“Gerakin jari kamu yang di dalam sana.”

“Ahh ... Mas....” Ratu semakin terbiasa dan menikmati apa yang tengah ia lakukan tanpa mengindahkan eksistensi Jeffrey sama sekali.

Ia pikir sebentar lagi tantangan konyol ini akan segera berakahir. Namun, belum sempat Ratu mengalami orgasme, Jeffrey lebih dulu mengangkat tubuhnya. Membawanya ke atas ranjang dengan deru napas yang tak karuan.

Jeffrey menyerah pada nafsunya.

Bibirnya langsung mendarat di atas bibir Ratu saat punggung Ratu baru saja menyentuh ranjang. Mencumbu Ratu dengan sedikit kasar, dan menggebu-gebu.

Lalu, dilumatnya setiap inci bibir ranum itu, sembari tetap fokus menopang tubuhnya dengan kedua tangan agar tidak jatuh di atas tubuh Ratu.

Perlahan, tapi pasti ciuman itu beranjak. Menuju sepasang gundukan kembar milik Ratu, tanpa meminta izin terlebih dahulu. Kanan, dan kiri. Jeffrey menghisapnya secara bergantian sampai kedua puting Ratu mulai mengeras. Sementara itu, sang empunya tak mampu melakukan apapun selain mengerang di bawah kukungan Jeffrey.

Ratu banyak sekali melenguh, dan menggeliat. Membuat Jeffrey semakin panas.

Dan, tanpa memberi aba-aba sedikitpun—Jeffrey meloloskan kedua jarinya di bawah sana. Ibu jarinya sengaja menekan sebuah daging yang timbul. Memijitnya perlahan-lahan dengan permukaan ibu jarinya yang memberikan sensasi hangat.

Mata Ratu yang sebelumnya sempat terpejam, kini terbuka perlahan. Dan, di saat yang bersamaan, Jeffrey mengangkat kepalanya. Membuat mereka berdua saling bertukar tatapan tanpa mengatakan hal apapun.

Jeffrey semakin menggerakan ibu jarinya ke atas, kemudian ke bawah—sembari terus menatap Ratu, sebelum akhirnya kembali menghisap sepasang gundukan kembar milik Ratu dengan serakah.

“Mas!” pekik Ratu saat kedua jari Jeffrey yang berada di dalamnya juga ikut bergerak semakin cepat dan tak beraturan.

Mulut Ratu setengah terbuka, untuk meloloskan sebuah desahan yang Jeffrey ciptakan dari tiap-tiap sentuhannya.

Sampai, tiba saatnya Ratu merasakan sensasi tubuhnya seakan ikut diputar, bersamaan dengan kedua jari Jeffrey yang membuat gerakan berputar di dalam intinya.

Peluh Ratu bercucuran, deru napasnya juga tak karuan. Dan, detik selanjutnya tubuh Ratu praktis melengkung ke atas tatkala ia mencapai puncaknya. Ratu gemetar, dengan tangan yang refleks menarik rambut di kepala Jeffrey kuat-kuat.

Ia orgasme hanya dalam beberapa menit.

Ratu mengatur napasnya yang sempat tersendat beberapa saat lalu, dan melepas cengkramannya pada rambut Jeffrey seketika.

“Besok ajak aku main truth or dare lagi, ya, Ra,” bisik Jeffrey, sebelum menarik jemarinya.

Lantas Ratu mendelik “Males! Gak akan lagi!”

—fin—

Ratu membuka pintu kamar dan keningnya berkerut seketika. Ternyata ada Jeffrey di balik pintu. Entah kebetulan, atau memang suaminya ini sudah berdiam diri di sana sejak tadi—Ratu juga tidak tahu. Tapi, yang jelas, laki-laki itu kini tengah memamerkan senyum seringainya.

“Jangan ngeliatin aku kaya gitu!” Ratu spontan menyilangkan tangan di depan dadanya.

Tadi, sepulang dari kantor, Jeffrey langsung bergegas untuk mandi dan makan seperti biasanya. Namun, kali ini agaknya ia melakukan kegiatan tersebut dengan menggunakan kekuatan super kilat. Pasalnya cepat sekali.

Seingat Ratu, baru beberapa menit yang lalu ia menuangkan secentong nasi ke atas piring Jeffrey. Lalu, entah bagai mana caranya, saat ini pria itu sudah berdiri di hadapannya.

Ngomong-ngomong, melihat bagaimana Ratu menyilangkan tangannya di depan dada, sukses membuat Jeffrey mendengkus. “Apaan, sih? Emang aku ngeliatinnya kayak gimana?”

“Ya kayak gitu mata kamu. Kayak kucing liat ikan.”

Lantas Jeffrey memejamkan kedua matanya rapat-rapat sembari berjalan, menerobos masuk ke dalam kamar, dan melewati tubuh Ratu begitu saja.

“Tumben gak nyalain AC, Ra? Gerah!”

Alih-alih merespon perkataan Jeffrey, Ratu justru berjalan ke luar pintu kamar. Toleh kanan, lalu toleh kiri, yang ia lakukan. Mencari-cari eksistensi sang anak yang kebetulan nihil.

Jeffrey yang merasa terabaikan, tentu refleks memutar tubuhnya. Kembali menatap Ratu yang masih setia berdiri di depan pintu kamar tersebut. “Cari siapa?” tanya Jeffrey penasaran.

“Bian.”

“Gak ada di bawah. Kayaknya udah masuk ke kamar. Udah jam sembilan, kan, ini.”

Mendengar itu, barulah Ratu masuk dan mengunci pintu kamar dari dalam.

“Kamu tadi bilang gerah, ya?” tanya Ratu, berniat merespon perkataan Jeffrey beberapa saat lalu, meski sudah sangat terlambat.

“Iya!”

“Ya udah, nyalain aja AC-nya.”

Lalu, tanpa menimpali perkataan Ratu lagi, Jeffrey langsung meraih remot AC yang berada di dekatnya. Ia masih sibuk mengatur suhu yang pas, sewaktu berjalan menuju ranjang.

“Jadi gimana cara main truth or dare yang kamu sama Yudhis maksud itu, Ra?” tanya Jeffrey.

Sengaja ia lempar sebuah remot AC yang semula ia genggam itu, ke sembarang arah. Peduli setan dengan remot AC, Jeffrey ingin langsung memeluk tubuh Ratu, dan menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Ratu seperti saat ini.

Harum. Aroma citrus menyeruak, masuk ke dalam indera peniumannya seketika.

Kalau boleh jujur, kadang ada kalanya Jeffrey ingin seumur hidupnya berada di jarak sedekat ini dengan Ratu. Tanpa bekerja, tanpa kesibukan. Hanya tenggelam dalam pelukan hangat Ratu selamanya.

Bucin? Memang.

“Kayak main truth or dare biasa, Mas. Tapi, yang mau kita mainin sekarang ini, pertanyaan sama tantangannya berhubungan sama kegiatan seks.”

Kedua mata Jeffrey membola seketika. Ia spontan melepas sebuah pelukan hangat yang baru saja ia mulai beberapa saat lalu. Seumur-umur, ia baru mengetahui kalau ada permainan se-ekstrem ini.

Namun, setelah itu, Jeffrey menarik sudut bibirnya ke atas. Ia seakan baru saja mendapat wangsit kalau-kalau hari ini ia akan melewati malam yang panjang bersama Ratu. Jeffrey merasa sangat amat siap.

“Oh iya, ada rulesnya. Dilarang menyentuh lawan sampai permainan selasai, dilarang tutup mata waktu lawan ngelakuin tantangannya, dilarang berhenti di tengah-tengah permainan, dan dilarang kasih tantangan yang harus dilakuin di luar pintu kamar!” kata Ratu menimpali perkataannya sendiri. Membuat senyum Jeffrey sirna seketika.

“Kenapa?” tanya Jeffrey dengan nada tak terima. “Kenapa harus ada rulesnya?”

“Karena ini permainan....”

Kemudian, dengan tampang memelas—Jeffrey membaringkan tubuhnya dengan kasar. “Gak jadi main, ah, Ra. Gak seru.”

Ratu menghela napas panjang. “Padahal kamu bisa loh, kasih aku tantangan yang agak ekstrem,” katanya, kemudian berlagak kecewa dan memunggungi Jeffrey yang tengah berbaring. “Tapi ya udah kalau gak ma—.”

“Mau, deh! AKU MAU, AYO CEPETAN!”

Sontak Ratu tergelak bukan main. Jeffrey ini memang sangat mudah dimanipulasi.

Namun, di tengah gelak tawa Ratu, tiba-tiba saja ada hal yang membuat bibir Ratu kembali terkatup. Jeffrey, secara sukarela melucuti pakaian yang ia kenakan, hingga hanya tersisa celana dalam saja.

“Apaan sih? Belum-belum udah lepas baju aja?!” seru Ratu lantaran tak habis pikir.

“Satu lagi rulesnya—tambahan dari aku.”

Ratu menatap bingung ke arah Jeffrey. Menunggu, kira-kira ide konyol seperti apa yang akan keluar dari bibir suaminya itu.

“Kita main truth or darenya sambil naked.”

“GILA?”

“Kenapa?”

“Malu, Mas!”

Jeffrey praktis tergelak bukan main, sebelum akhirnya berjalan setengah memutari ranjang, dan berdiri tepat di hadapan Ratu. “Biasa aja, lah, Ra. Dari sini,” telunjuk Jeffrey yang semula mendarat di atas kening Ratu, perlahan turun hingga ke ujung kaki, “sampai sini—gak ada yang belum pernah aku liat sebelumnya, Ra.”

“Tapi dingin, Mas....”

Jeffrey lekas menyambar sebuah remot AC yang beberapa saat lalu, baru saja ia lempar sembarangan. “Pertama-tama, kita matiin dulu AC-nya,” kata Jeffrey yang kemudian benar-benar menekan tombol power pada remot tersebut. Membuat AC dalam kamar mereka mati seketika.

Setelah itu, keduanya sempat terjebak dalam keheningan, sampai Ratu menyadari bahwa Jeffrey tengah membantunya melepas pakaiannya. Dengan penuh hati-hati Jeffrey itu. Takut kalau-kalau tanpa sengaja menekan kandungan Ratu. Hanya perlu sekali tarikan, kedua gundukan pada dada Ratu yang masih terbungkus oleh bra terpampang di hadapannya secaranya nyata.

“Celananya mau aku yang lepasin juga?”

Mendengar itu, Ratu tersipu malu sampai muncul semburat kemerahan pada kedua pipinya. “Gak usah ... aku bisa sendiri.”

“Yakin?”

“Iya!”

“Padahal aku mau bantuin.”

“Aku bilang gak usah!!”

Ratu beranjak dari atas ranjang, untuk melepas celananya. Menyisakan celana dalam—sama seperti Jeffrey, juga sebuah bra tanpa tali yang membungkus kedua gundukan kembarnya.

Di depannya ada Jeffrey yang juga sama-sama tengah berdiri. Menatapnya kagum, dengan kedua bola mata yang berbinar.

Jeffrey hanya tersenyum, sementara Ratu sendiri sudah tahu perihal apa yang tengah suaminya itu pikirkan. Perut bundar karena tengah mengandung anak kedua mereka, dada yang semakin besar, serta permukaan kulitnya yang justru semakin halus dan cerah semenjak ia hamil. Tentu saja Ratu mengetahui semua hal tersebut. Pasalnya Jeffrey sendiri yang pernah mengatakan padanya. Jeffrey bahkan mengatakan kalau birahinya jauh lebih semena-mena datang semenjak Ratu kembali hamil.

Meski begitu, Ratu rasanya enggan membuang-buang waktu dengan kembali membahas hal tersebut dengan Jeffrey. Ia lebih memilih untuk berjalan menuju meja rias untuk mengambil sebuah botol parfum kosong yang terbuat dari kaca di seberang ranjang mereka.

“Buat apa?” tanya Jeffrey.

Ratu kemudian duduk begitu saja di atas lantai kamar mereka yang dingin. Diletakkannya botol parfum kosong tersebut, tepat di depan tempat ia berduduk manis. “Buat nentuin siapa yang dapet truth or dare duluan.”

“Oh, gitu.”

“Sini, Mas, duduk di depan aku.”

Jeffrey manut-manut saja. Ia ikut duduk di atas lantai tanpa sebuah alas apapun. Bokongnya nyaris kedinginan kalau-kalau ia tak memakai celana dalam saat ini. Sementara Ratu, tampaknya senang-senang saja, dan justru tengah mengsam-mengsem menatap ke arah Jeffrey.

“Aku puter sekarang, ya?” tanya Ratu memastikan, dan langsung dihadiahi anggukan kepala oleh Jeffrey.

Kemudian, botol itu berputar dengan sangat cepat. Mengarah pada Ratu dan Jeffrey secara bergantian. Sampai saat di mana kekuatan berputarnya mulai melemah, Ratu merasakan degup jantungnya yang justru meningkat.

Dan, ya, botol tersebut menunjuk Jeffrey sebagai pemain pertama. Tetapi alih-alih merasa cemas Jeffrey justru semakin bersemangat.

“Oke, kamu pilih truth or dare, Mas?”

Truth dulu, buat pemanasan,” sahut Jeffrey.

Ratu menatap lurus ke arah mata Jeffrey, hingga kedua pasang pupil mata mereka saling bertemu. “Nih, ya, dalam hubungan seks, gaya apa yang paling kamu suka, dan yang paling gak kamu suka?”

Jeffrey seketika mengangkat sebelah alisnya. “Wow?”

“Kenapa?”

“Aku gak nyangka kalau pernyataan pertama yang keluar, bakal kayak gini.”

Mendengar perkataan itu, Ratu hampir lupa caranya bernapas. Dalam benaknya, Ratu merasa kalau ini mungkin berlebihan bagi Jeffrey. Tapi kenyataannya ia salah.

“Aku suka sama pertanyaan,” timpal Jeffrey, membuat Ratu tak percaya.

“Jadi, jawabannya apa?”

“Aku paling suka lihat wajah kamu. Jadi apapun gayanya, asalkan itu bisa ngelihat wajah kamu dengan jelas, aku suka. Soalnya kamu seksi banget kalau lagi—.”

Stop, stop! Jawabnya tuh yang ditanyain aja!” kata Ratu, sengaja memotong perkataan Jeffrey.

Sontak Jeffrey terbahak. “Nah! Kalau gaya yang paling aku gak suka itu kebalikannya. Enam sembilan, doggy style—kecuali kalau doggy stylenya di depan kaca, sambil lihat pantulan wajah kamu. Pokoknya semua gaya yang gak bisa lihat wajah kamu, aku gak suka.”

Ingin sekali rasanya Ratu tenggelam di lautan usai mendengar bagaimana lancarnya penuturan Jeffrey mengenai hal sekotor ini. Ya, meski begitu, dalam benak Ratu juga muncul perasaan senang, karena secara tidak langsung Jeffrey tengah mengakui bahwa wajahnya begitu sedap dipandang.

“Sekarang giliran kamu yang puter botolnya, Mas.”

Selanjutnya, botol parfum di hadapan mereka kembali berputar.

“Kenapa aku lagi yang kena?!”

Ratu mengedikkan bahunya. “Karena tadi udah truth, sekarang harus dare,” cetus Ratu yang sengaja mengakal-akali Jeffrey.

“Emang ada aturan kayak gitu?”

“Ada. Hidup itu harus seimbang.”

“Ya, udah. Apa tantangannya?”

“Buat suara yang kayak biasa kamu keluarin pas kamu mau orgasme.” Jeffrey mendelik tak percaya, “Maksudnya? Aku gak bisa, kecuali kalau kamu mau kita ngeseks sekarang juga.”

“Kamu lupa? Dilarang menyentuh lawan sampai permainan selasai, dilarang tutup mata, dilarang berhenti di tengah-tengah permainan, dan dilarang kasih tantangan yang harus dilakuin di luar pintu kamar!!”

“Ya, aku gak bisa, Ra.”

“Bisa. Kamu tinggal tutup mata, dan bayangin kalau kita berdua lagi having sex.”

Ratu menatap wajah Jeffrey, sementara kini seluruh perhatian Jeffrey jatuh pada tubuhnya. Dalam diam, Jeffrey mengikuti interupsi Ratu. Dalam diam, ia membayangkan tatkala tangannya meremas kedua payudara Ratu secara bergantian. Dalam diam, ia membayangkan bagaimana gilanya malam-malam panjang yang pernah mereka lewati berdua. Dan, dalam diam, Jeffrey membayangkan dirinya hampir menyentuh puncak orgasmenya bersama Ratu.

Berhasil!

“Shhh....” Kedua tangan Jeffrey refleks menopang tubuhnya sendiri, dalam posisi duduk. “Ahh....” Jeffrey membuka kedua pahanya lebar-lebar di hadapan Ratu.

Rahangnya mengeras dan matanya kini mulai terpejam. Ada yang mengeras di balik celana dalamnya. Gila. Hanya dengan membayangkan tengah bercinta bersama Ratu, Jeffrey bisa sampai sefrustasi ini. Pikirannya kini dipenuhi oleh adegan-adegan panas antara mereka berdua, yang ia karang sendiri.

Sementara Jeffrey masih terus mengerang di hadapannya, Ratu tanpa sadar menyentuh miliknya sendiri menggunakan tangannya. Ia ikut terbawa suasana, lantaran melihat aksi Jeffrey.

“Ahh ... Ra!”

“Ekhm! Udah cukup, Mas.”

Jeffrey menghentikan suara, imajinasi, dan kegiatannya seketika. Wajahnya masih memerah, dan sesuatu di antara kedua pahanya yang telanjang itu tampaknya masih begitu ereksi. Membuatnya duduk dengan perasaan kurang nyaman.

“Udah aja, lah. Gak kuat aku!” ketus Jeffrey, putus asa.

“Nanti dulu! Siapa tau, abis ini giliran aku?”

“Aku bakal suruh kamu bener-bener naked di depan aku. Liat aja.”

Lalu, tanpa diberi aba-aba, Jeffrey kembali memutar botol parfum di tangannya sekuat tenaga. Siapa sangka bahwa dalam benaknya Jeffrey terus merapalkan doa agar kali ini Ratu yang terpilih oleh alam.

Dan, benar saja! Tatkala botol itu berhenti berputar, bagian paling ujungnya mengarah pada Ratu.

Ratu terkekeh, “Kamu abis berdoa, ya?”

“Iya, lah!”

“Aku pilih truth, Mas.”

Dare aja!”

Truth!

Bibir Jeffrey sontak mengerucut ke depan. Padahal, kalau saja Ratu memilih diberi tantangan, ia akan meminta Ratu menanggalkan sisa kain yang melekat di tubuhnya. Namun, nahas. Ratu tetap pada pendiriannya, dan memilih untuk berkata jujur.

“Ya udah, jawab pertanyaan ini—.”

“Apa?”

“Kalau kita lagi ngelakuin 'hal itu' ... apa kegiatan yang paling kamu suka?”

Ratu menggeleng, “Gak bisa jawab, ada banyak.”

“Yang paling-paling.”

Ratu merasakan lidahnya kelu seketika. “A-aku suka pas kamu fingering,” kata Ratu yang terdengar sangat lirih di akhir kalimatnya.

“Apa?”

Fingering!”

Jeffrey batuk-batuk seketika. “WOAHH?!”

“DIEM!”

Bukannya diam, Jeffrey justru semakin cengangas-cengenges untuk menggoda Ratu. Sampai-sampai Ratu dibuat kesal oleh tampang jenakanya itu. Tapi, untungnya Ratu tak ambil pusing. Ia lebih memilih untuk melanjutkan permainan dengan langsung memutar botol parfum di depannya, tanpa menunggu Jeffrey berhenti meledeknya terlebih dahulu.

Sial!

Selepas putaran botol itu terhenti, gelak tawa Jeffrey menjadi pecah.

Wajar saja. Pasalnya botol itu lagi-lagi menunjuk Ratu sebagai korbannya. Dan, yang lebih nahasnya lagi, Ratu sudah tahu jelas tantangan ekstrem seperti apa yang akan Jeffrey berikan.

“Lepasin semua, Ra.” Nah, kan! Bagaikan peribahasa 'pucuk dicinta, ulam pun tiba'. Sesuatu yang sudah Jeffrey nanti-nanti sejak awal permainan, akhirnya terjadi.

Mau tidak mau, suka tidak suka, Ratu harus melepas seluruh pakaian dalamnya di hadapan Jeffrey.

“Salah satu aja, ah,” kata Ratu yang merasa keberatan.

“Gak, Ra. Harus yang itu—” Jeffrey menunjuk ke arah dada Ratu, dan ke arah bagian bawah Ratu. “sama yang itu.”

Melihat respon Jeffrey yang sepertinya akan sulit untuk diajak kompromi—Ratu memutuskan untuk pasrah, dan benar-benar melucuti pakaian dalamnya sendiri, tepat di hadapan Jeffrey.

Kedua buah dada Ratu praktis mencuat tatkala bagian pengait pada bra yang tengah ia kenakan itu terlepas. Dan, begitu pula dengan celana dalamnya. Milik Ratu yang satu itu tentu saja terekspos secaranya nyata, dan membuat darah Jeffrey berdesir seketika. Jeffrey sontak menyunggingkan senyumnya. Ia merasa seakan menang telak dalam permainan ini.

Namun, sayang sekali. Rupanya Ratu ingin sesi permainan itu diperpanang karena skor mereka masih seimbang.

“Satu kali lagi, Mas. Satu kali lagi, dan cuman bisa pilih dare!”

Mendengar itu, Jeffrey tersenyum culas. “Oke, siapa takut?”

Lantas, dengan begitu percaya dirinya, Ratu lagi-lagi memutar botol tersebut, untuk yang terakhir kalinya. Tapi, sepertinya alam jauh lebih memihak pada Jeffrey malam ini. Ratu kembali terpilih, dan siap terperangkap dalam aturan yang ia ciptakan sendiri, tentunya.

“IH?” Ratu mengusap wajahnya dengan kasar. “Mas, jangan yang aneh-aneh darenya!” pintanya yang lebih cenderung memaksa.

“Gak aneh, kok....” Jeffrey terkekeh.

“Apa?”

Jeffrey tanpa sadar menggigit bibir bawahnya, seraya menatap Ratu dan sekujur tubuhnya yang sudah tak terbalut kain apapun. “Sama kayak dare aku sebelumnya, tapi ini sedikit lebih susah, Ra,” kata Jeffrey, kemudian mengacungkan jari telunjuk, serta jari tengahnya bersamaan. “Lakuin hal yang paling kamu suka dalam seks kita, pakai jari kamu sendiri, dan sambil bayangin kalau kamu lagi having sex sama aku.”

Ratu membeku di tempat. Muncul sedikit perasaan menyesal lantaran sempat memberi Jeffrey tantangan yang tidak-tidak beberapa saat lalu. Tapi, ia pikir, yang namanya hukum karma dan balas dendam dalam permainan seperti ini agaknya memang sangat sulit dihindari.

Ratu menggigit bagian dalam pipinya, dan menghindari bertemu tatap dengan Jeffrey tatkala ia mulai membuka kedua pahanya.

Tangan yang semula mengepal karena ragu itu, kini mulai menjalar, menuju satu titik di bawah perutnya.

“A-aku harus lakuin berapa lama?”

“Sampai orgasme.”

“HAH?!”

Jeffrey menaikan sebelah alisnya. “Semakin cepet kamu mulai, itu berarti akan semakin cepet selesainya, Ra.”

Ratu mendengkus. Bukannya respon seperti itu terlalu kejam untuk seorang ibu hamil?

Ratu mulai merasa kalau permainan ini sangat menyusahkan dan sama sekali tidak asyik!

“Ayo, nungguin apa?”

“Iya, iya!

Untuk beberapa saat Ratu masih sibuk merenungkan perihal apa saja yang harus ia lakukan untuk mencapai puncak orgasmenya menggunakan tangannya sendiri. Sementara Jeffrey yang tak jauh dari tempat Ratu, tengah menyipitkan kedua matanya demi memastikan apakah Ratu melakukan tantangan ini dengan benar atau tidak.

“Kakinya kurang lebar itu, Ra.”

Ratu mengikuti interupsi Jeffrey kali ini, dan perlahan-lahan membenamkan jari telunjuknya di bawah sana.

“Iya, tambahin satu jari lagi. Mana ada rasanya kalau cuman segitu.”

“Sebentar, sempit!”

“Ya, emang gitu. Itu yang aku rasain,” cetus Jeffrey secara terang-terangan.

Mendengar perkataan tak senonoh yang baru saja keluar dari mulut Jeffrey itu, membuat wajah Ratu memanas. Ia malu. Semakin malu karena ditatap Jeffrey dari dekat saat tengah melakukan hal ini.

“Udah?”

Ratu mengangguk. “Eungh ... terus abis ini harus apa?” tanya Ratu, berharap diberi arahan lagi oleh Jeffrey.

“Gerakin jari kamu yang di dalam sana.”

“Ahh ... Mas....” Ratu semakin terbiasa dan menikmati apa yang tengah ia lakukan tanpa mengindahkan eksistensi Jeffrey sama sekali.

Ia pikir sebentar lagi tantangan konyol ini akan segera berakahir. Namun, belum sempat Ratu mengalami orgasme, Jeffrey lebih dulu mengangkat tubuhnya. Membawanya ke atas ranjang dengan deru napas yang tak karuan.

Jeffrey menyerah pada nafsunya.

Bibirnya langsung mendarat di atas bibir Ratu saat punggung Ratu baru saja menyentuh ranjang. Mencumbu Ratu dengan sedikit kasar, dan menggebu-gebu.

Lalu, dilumatnya setiap inci bibir ranum itu, sembari tetap fokus menopang tubuhnya dengan kedua tangan agar tidak jatuh di atas tubuh Ratu.

Perlahan, tapi pasti ciuman itu beranjak. Menuju sepasang gundukan kembar milik Ratu, tanpa meminta izin terlebih dahulu. Kanan, dan kiri. Jeffrey menghisapnya secara bergantian sampai kedua puting Ratu mulai mengeras. Sementara itu, sang empunya tak mampu melakukan apapun selain mengerang di bawah kukungan Jeffrey.

Ratu banyak sekali melenguh, dan menggeliat. Membuat Jeffrey semakin panas.

Dan, tanpa memberi aba-aba sedikitpun—Jeffrey meloloskan kedua jarinya di bawah sana. Ibu jarinya sengaja menekan sebuah daging yang timbul. Memijitnya perlahan-lahan dengan permukaan ibu jarinya yang memberikan sensasi hangat.

Mata Ratu yang sebelumnya sempat terpejam, kini terbuka perlahan. Dan, di saat yang bersamaan, Jeffrey mengangkat kepalanya. Membuat mereka berdua saling bertukar tatapan tanpa mengatakan hal apapun.

Jeffrey semakin menggerakan ibu jarinya ke atas, kemudian ke bawah—sembari terus menatap Ratu, sebelum akhirnya kembali menghisap sepasang gundukan kembar milik Ratu dengan serakah.

“Mas!” pekik Ratu saat kedua jari Jeffrey yang berada di dalamnya juga ikut bergerak semakin cepat dan tak beraturan.

Mulut Ratu setengah terbuka, untuk meloloskan sebuah desahan yang Jeffrey ciptakan dari tiap-tiap sentuhannya.

Sampai, tiba saatnya Ratu merasakan sensasi tubuhnya seakan ikut diputar, bersamaan dengan kedua jari Jeffrey yang membuat gerakan berputar di dalam intinya.

Peluh Ratu bercucuran, deru napasnya juga tak karuan. Dan, detik selanjutnya tubuh Ratu praktis melengkung ke atas tatkala ia mencapai puncaknya. Ratu gemetar, dengan tangan yang refleks menarik rambut di kepala Jeffrey kuat-kuat.

Ia orgasme hanya dalam beberapa menit.

Ratu mengatur napasnya yang sempat tersendat beberapa saat lalu, dan melepas cengkramannya pada rambut Jeffrey seketika.

“Besok ajak aku main truth or dare lagi, ya, Ra,” bisik Jeffrey, sebelum menarik jemarinya.

Lantas Ratu mendelik “Males! Gak akan lagi!”

—fin—