Memang benar kalau tingkah nakal Bian tidak akan ada habisnya. Seperti baru kemarin mencium aspal, hari ini sudah bertekad untuk melompat dari jendela kamar. Apa lagi kalau bukan demi melihat langsung keadaan sang mantan pujaan hati—Diajeng Pramesti?
Bian menatap pantulan dirinya pada cermin. Beberapa saat lalu dia masih lengkap memakai piyamanya. Duduk dengan manis di atas ranjang, sembari sibuk pura-pura membaca sebuah buku pelajaran, demi mengelabui Mama. Sekarang, piyama itu sudah tergantikan oleh baju putih bertuliskan 'I Love Bali' yang serasi dengan sebuah celana training yang menutupi gips pada kakinya.
“Lebih baik minta maaf, daripada pamit—iya, kan?” tanya Bian pada pantulan wajahn. “Iya.” Usai menimpali perkataannya sendiri, lantas Bian mengusap wajahnya frustrasi. “Sekali lagi. Gue janji sama diri gue sendiri, kalo ini jadi terakhir kali sekaligus penutup perjalanan cinta gue yang macet, dan gak jelas ini.”
Bian memutar tubuhnya. Berjalan pincang menuju ranjang. Sebuah buku yang sempat dia jadikan sebagai senjata dalam kebohongannya kali ini, diraih. “Sori. Buat lo, gue janji abis ini, atensi gue cuman ke lo....” Buku yang semula dia ajak bicara itu, dia letakkan di atas nakas.
Kini, sorot mata Bian beralih ke pintu. Takut kalau sewaktu-waktu Mama atau Papa berkunjung ke kamarnya—Bian spontan meraih guling dan selimutnya. Menata kedua benda itu sebaik mungkin, sampai seolah-olah menyerupai dirinya yang tengah terlelap di bawah kehangatan selimut.
“Bian minta maaf, Ma ... Pa....”
Perasaannya tak tenang. Jantungnya seakan tengah dipenuhi oleh ribuan petasan tahun baru.
Sesuai kesepakatannya dengan Ozi, Bian akan menemuinya di luar pekarangan rumah. Maka, mau tidak mau, untuk sampai di luar gerbang rumah milik Papa itu—sebelumnya dia perlu melompat keluar jendela, menggunakan kaki pincangnya. Ini gila. Faktanya ini jauh lebih gila dari sebuah ketidaksengajaannya membawa Zaid ikut mencium aspal. Bian meringis tatkala membayangkan bokongnya mendarat lebih dahulu.
Dan, tanpa menunggu lama—Bian mulai melancarkan aksinya. Pertama-tama, dengan sengaja dia melempar kruknya keluar jendela. Suara besi yang membentur keramik pun terdengar gaduh. Bian refleks menoleh ke arah pintu.
Satu detik, lima detik, sepuluh detik. Agaknya situasi saat itu aman. Tidak ada tanda-tanda Mama atau Papa akan datang.
Kemudian, Bian menumpu tangannya pada kisi jendela. Dan, semua beban tubuhnya, dia tahan menggunakan tangan. Kaki kirinya naik terlebih dahulu, sebelum akhirnya disusul oleh kaki sebelah kanan yang keadaannyajauh lebih lemah. “Tinggal satu step lagi, Bi. Terjun bebas—akhh!”
Bian lagi-lagi jatuh dengan posisi yang sama seperti saat di rumah sakit.
“Anjing....” Kaki bahkan punggungnya sakit bukan main. Dia ingin berteriak lebih kencang, tapi ingat kalau saat ini dirinya dalam upaya melarikan diri.
Celingak-celinguk kepala Bian. Memeriksa apakah ada Budhe Lasih—sang asisten rumah tangga, atau mungkin pak satpam di sekitarnya namun, nihil. Sontak Bian menarik napas lega.
Dengan terburu-buru Bian berusaha berdiri menggunakan kruknya. Dan, pada saat itu juga dia tersadar kalau ponselnya masih tertinggal di dalam kamar. Bian berdecak pasrah. Mungkin kali ini lebih baik dia tidak membawa ponsel, daripada harus jatuh dari kisi jendela untuk kedua kalinya.
Sepi. Entah ke mana perginya pak satpam yang menjaga rumah Papa. Eksistensinya Bian pertanyakan meski tengah berada di momen seperti ini. Jangan-jangan makan gaji buta?
Masih sembari menoleh ke kanan dan ke kiri, Bian berjalan menuju gerbang utama. Pada setiap langkahnya, Bian mengeluh kesakitan. Sementara itu, presensi Zaid dan Ozi sudah muncul di balik gerbang. Sialnya kali ini mereka benar-benar akan menumpangi satu motor, bertiga.
Di sisi lain, alih-alih membantu Bian yang tampak kesulitan untuk berjalan, Zaid justru memasang muka masam, sembari melempar tatapan nyalang.
“Bantuin temen lo, Id! Malah diliatin doang, yeh.” Ozi hampir saja menurunkan standar motornya untuk membantu Bian kalau-kalau kakinya tidak ditendang oleh Zaid kala itu.
“Tolol, Anjing! Untung gak jatoh!” seru Ozi, kesal.
“Biarin aja dia. Ini, kan, pilihan dia. Biar usaha.”
Bian membuka gerbang penuh kesulitan. Pasalnya tangan kanan Bian masih harus menahan kruknya agar tidak jatuh, sementara mendorong gerbang rumahnya menggunakan satu tangan saja, tentunya terlalu berat. “Lo berdua tega-teganya cuman ngeliatin gue?” kata Bian tak percaya.
“Usaha sendiri,” sahut Zaid.
“Susah!”
Melihat bagaimana frustrasinya Bian saat itu, barulah Zaid turun tangan. “Makanya, minimal mikir. Lagi kesusahan aja sok-sokan peduli sama orang. Orangnya gak nganggep lo lagi....” Tangan kiri Zaid sembari membantu Bian membuka gerbang. Lalu, dengan kekuatan gotong royong itu, gerbang rumah Bian sesikit terbuka.
“Buruan naik elah lo berdua!” pekik Ozi tak sabar.
Sementara itu Zaid langsung beringsut mendekat ke motor Ozi. “Gue tengah!” katanya.
Ozi menggeleng. “Bian, lah, yang ditengah!
Zaid melengos, Bian mengulum senyum sumringah. “Bantuin gue naik, Id!” pinta Bian dengan nada memaksa.
“Udah tau pincang, banyak gaya. Biar apa, sih, lo?”
“Biar gue lega.”
Bian mengerang mendadak sesaat setelah membuka lebar kakinya demi menaiki motor Ozi. Sementar, Zaid selaku teman yang baik, akhirnya memutuskan untuk membantu meski dengan tampang kesalnya. Seperti kata Agnes Monica—cinta ini kadang-kadang tak ada logika.
Setelah memastikan bahwa Bian duduk dengan nyaman dan aman, Zaid baru memposisikan diri di belakangnya. Dan, jadilah mereka bonceng tiga, di atas sebuah motor usang milik Ozi.
“Terus kaki gue gimana?” tanya Bian, polos.
“Lo lepas aja dulu, nanti begitu sampai RS baru lo pasang lagi.”
“Goblok! Dipikir casing hp kali?!”
“Lagian macem-macem nanyanya. Kayak bisa ditekuk aja kaki lo.”
Pusing mendengar kedua temannya terus terseteru, Ozi hanya mampu menghela napas panjang. Pasalnya dia tahu betapa panjang kaki milik Bian, dan fakta di balik perkataan Zaid mengenai kaki Bian yang memang belum bisa ditekuk.
“Terus kaki gue gimana?”
“Lo kedepanin, nanti biar gua tahan pake kaki gua.” Ozi akhirnya angkat bicara.
Merasa pendapat Ozi adalah yang terbaik, lantas Bian hanya manggut-manggut pasrah. Tapi tepat sebelum motor yang mereka tumpangi itu melaju, Bian menepuk-nepuk paha Zaid.
“Apa lagi?”
“Kruk gue, kok, lo biarin, Anjing?”
Sontak dengan serampangan Zaid memukul kepala Bian. Peduli setan soal umur Bian yang sebenarnya satu tahun di atasnya itu. Zaid sudah dibuat kesal bukan kepalang. “Lo bener-bener definisi nyusahin!” hardiknya, sebelum kembali turun dan mengangkat kruk milik Bian dari tanah.
Motor Ozi melaju. Bagaikan sang pembalap mantap seantero jagad raya— Valentino Rossi, Ozi menarik gas tanpa keraguan. Motornya seakan melesat, membelah bahu jalanan kota Jakarta. Maklum, sudah punya dua jenis surat izin mengemudi. Jadi, sombong sedikit akan skillnya yang bukan kaleng-kaleng.
“Bisa gak kita mampir beli buah?” kata Bian di tengah keheningan.
“Gak bisa,” jawab Ozi. Pandangannya tetap lurus, menatap luasnya jalanan di depan sana.
“JABLAY JABLAY!”
Spontan, baik Bian maupun Zaid menoleh. Melihat segerombolan anak yang tampaknya lebih kecil dari mereka bertiga tengah mengendarai motor matic sambil terbahak usai berteriak demikian.
“WOY BANGSAT??? SIAPA YANG LO PANGGIL JABLAY?!” pekik Bian tak tertahankan. Membuat gendang telinga Ozi nyaris pecah seketika.
“Jangan norak, Sabian!”
“Bang, udah, Bang!” kata Zaid bercanda. “Kita doain aja mereka jatoh di jalan yang benar.”
Benar juga, sebab jalur doa adalah jalan terbaik. Yah, setidaknya begitu batin Bian.
Kemudian, hening sesaat sampai suara Bian tiba-tiba kembali mengudara. “Yang dikatain jablay si Oji bukan, sih?”
“Hah? Kenapa emang?” tanya Zaid penasaran oleh opini tak penting milik Bian.
“Tuh....” Sorot mata Bian mengarah pada paha Ozi yang terekspos secara nyata. “Kolornya tinggi banget, sebatas selangkangan lebih dikit.”
Zaid tergelak kemudian. Memang benar, saking rendahnya potongan celana Ozi kala itu, belangnya sampai kelihatan. Sementara yang tengah digosip memilih untuk menjadi tuli mendadak. Bian dan Zaid kalau disatukan memang mampu menguras kesabaran siapapun yang berada di dekatnya.
Sebenarnya jarak antara kediaman Bian dan rumah sakit tempat di mana Ajeng diopname terhitung cukup jauh. Tapi, berkat ilmu 'joki melesat' yang ditekuni Ozi, ketiganya sudah sampai di tempat tujuan. Zaid jalan lebih dulu sebab, dia yang tahu di kamar rawat mana Ajeng berada.
Sore itu, suasana IGD rumah sakit sedang ramai-ramainya. Banyak pasang mata menatap penampilan Bian dan Ozi yang sangat berbanding terbalik. Bian yang menyadarinya sontak terkekeh.
“Besok-besok lo kalau mau keluar rumah tuh pake celana.” Bian berbisik pada Ozi, di belakang Zaid.
“Ini namanya apa kalau bukan celana, Nyet?!”
Langkah Zaid terhenti. Membuat Bian dan Ozi ikut menghentikan langkahnya seketika. Bocah memutar tubuh menghadap Bian, serta Ozi. “Jangan berisik, ini bukan kebun binatang.” Zaid menempelkan ujung jari telunjuknya di depan bibir.
Bian mendengkus. “Mana kamarnya?”
Kemudian dengan gestur membusungkan dada, Zaid berkata, “silahkan masuk, Pak. Istri anda selamat, anak anda buat saya.” Sambil membuka sebuah pintu di belakangnya.
“Orang sinting.” Bukan! Bukan Bian yang menjawab demikian, melainkan Ozi. Sementara itu Bian sibuk mengsam-mengsem.
Ya, namanya Sabian. Kalau ditanya hobinya apa? Jawabannya HALU! Begitu pula dengan Zaid.
Lantas, sambil terpincang-pincang, Bian melangkah masuk ke dalam ruang rawat inap yang udara di dalamnya tercium seperti obat-obatan. Dingin, hening, dan luas. Bian manggut-manggut. Kekayaan Ajeng dapat terlihat dari bagaimana pihak keluarga memilih kamar inap tersebut.
“Bian?” Tepat sesaat setelah namanya disebut oleh suara itu, Bian membeku. Ajeng tengah terjaga.
Pintu tertutup rapat dari luar. Entah, mungkin Zaid atau Ozi dalangnya.
“H-hai?”
“Kok bisa di sini?”
Bian bungkam. Kali ini bukan karena grogi atau apa, tapi karena melihat tangan kecil milik Ajeng terhubung dengan selang infus. Wajahnya pucat. Rambutnya sedikit berantakan. Dan, matanya bengkak. Separah apa keadaan Ajeng saat ini? Seingatnya Zaid bilang kalau Ajeng hanya kelelahan.
Alih-alih menjawab, Bian justru menarik sebuah kursi dan menempatkannya di sisi tempat Ajeng tengah berbaring. Dia duduk di sana. Menatap wajah Ajeng dalam keheningan.
“Kenapa, sih, harus hujan-hujanan? Lo bisa neduh, tau, kan?”
Ajeng yang semula menatap Bian, kini melempar tatapan itu pada langit-langit kamar inap. “Jadi, lo tau ya?” Ajeng menghela napas berat. “Panjang kalo diceritain. Lo gak bakal ngerti, apalagi related.”
“Lo selalu mikir gue kayak gitu, ya? Lo kira gue bakal judge mental, gitu? Lo selalu nyimpulin sesuatu cuman dari perspektif lo aj—”
“Sabian.... Mama tiri gue tempramental. Kalo kemarin gue neduh, dan gak langsung pulang—dia siap marah atau bahkan ngelakuin sesuatu ke gue.” Bian bungkam seketika. “Papa gak ada di rumah sampai minggu depan. Itu yang bikin gue takut.”
Hening. Sekalipun tak pernah terlintas dalam pikiran Bian, kalau kehidupan yang dijalani seorang Diajeng Pramesti sampai serumit itu.
“Kak Xander—tutor kita di tempat les itu, beruntung karna milih pisah tempat tinggal. Dia tau kalo nyokapnya sinting, dan sekarang gue yang jadi sasaran.” Ajeng menatap Bian lamat-lamat. “Gue pengen pergi, Sab. Dari awal gue emang gak pernah siap punya mama baru. Ngeliat Papa sama perempuan selain Mama—gue gak siap.”
“Sekarang, gue bahkan gak punya siapa-siapa selain diri gue sendiri di momen-momen kayak gini. Papa pikir, semua perempuan cuman butuh duit, termasuk gue. Papa selama ini mikir hubungan gue sama istrinya baik-baik aja, padahal enggak. Papa gak pernah peduli. Mungkin juga Papa nikah bukan buat isi kekosongan sosok ibu rumah tangga di keluarga kita, tapi cuman buat temenin dia tidur atau seneng-seneng begitu pulang kerja.”
Kemudian gestur menyeka sudut mata yang Ajeng lakukan, tak luput dari pandangan Bian kala itu.
“Gue kangen Mama, Sab. Gak ada yang bisa gantiin Mama. Gue bukannya gak pernah bersyukur, gue selalu bersyukur, kok—awalnya. Emangnya, sekarang apa yang bisa disyukuri dari hidup gue? Nothing. Gue bahkan gak takut buat kehilangan apa-apa lagi. Kayak, ambil aja. Ambil, Tuhan. Gue udah capek. Gue bukannya gak pernah coba buat ngambil hati mama tiri gue—gue selalu. Tapi emang gak bisa, Sabian.”
Setelah mendengar itu, lantas tangan Bian terulur. Mengusap air kesedihan yang mengalir dari sudut mata Ajeng. Gadis itu diam-diam menangis. Bian dapat merasakan kalau saat ini suhu tubuh Ajeng masih sangat panas. Mata Bian mengedar, mencari-cari sesuatu, dan akhirnya berhenti pada sebuah tanda memar pada bagian lengan Ajeng. Dalam bisunya, Bian sibuk mengamati. Dan, sepemahamannya—apa yang Ajeng katakan beberapa saat lalu adalah benar. Mungkin jauh sebelum hari ini, kekerasan sudah pernah dilancarkan oleh mama sambungnya.
Bian mengusap lembut lengan Ajeng menggunakan telapak tangannya yang hangat. Dia mulai menyusun sebuah kalimat dalam pikirannya. Bian sudah tahu harus merespon seperti apa.
“Perasaan capek lo itu valid, kok. Gue minta maaf karna denger ini semua. Ajeng, lo gak sendirian. Ada gue. Kalo mau nangis yang kenceng, nangis aja. Gue temenin. Mau pergi ke mana? Masih sakit. Nanti kalo udah sembuh, biar gue anterin.”
Ajeng kemudian tertawa di tengah-tengah tangisnya. Tawa paling miris yang pernah Bian dengar.
“Kemarin lo jauhin gue, kan?”
“Itu tindakan alami orang yang lagi patah hati.”
“Sabian, gue minta maaf kalo gue pernah salah ngomong ke lo(?)”
“Gak ada yang perlu dimaafin. Gue yang salah, karna langsung bawa perasaan. Gue minta maaf kalo sempet bikin lo kebingungan sendiri karna tiba-tiba gue block.” Bian memainkan ujung bantal di bawah kepala Ajeng saat itu. “Gue pengen banget peluk lo, tapi gue takut ganggu posisi nyaman lo sekarang ini. Tapi ini bukan tentang itu, lo tau?”
Ajeng mengangguk paham. “Jangan, Sab. Menurut gue, lo deserve someone better than me. Gue dengan segala energi negatif gue, mungkin gak akan baik buat lo. Gue gak mau jadi egois.” Susah payah Ajeng berkata demikian.
Lalu dengan begitu, Bian menundukkan kepalanya. Dia tersenyum getir, sembari memainkan ujung-ujung jemarinya. Sudah cukup. Sesuai janjinya, ini adalah kali terakhir. Bian pikir mungkin dia harus berdamai dengan perasaannya sendiri, sambil perlahan melepas nama Ajeng dalam hatinya. Kalau bukan jadi sepasang kekasih, setidaknya masih berteman dekat. Sebab, menemani dan ditemani Ajeng itu sekarang sudah lebih dari cukup rasanya.
Bian mengangkat kembali dagunya. Dan, yang dia temukan adalah Ajeng yang tengah mematapnya dengan sorot mata teduh.
“Gue minta maaf, Sabian....”
“Pulang dari sini, rencananya mau ke mana? Papa lo masih belom ada di rumah, kan?”
“Mau gak mau tetep ke rumah papa. Nyelesaiin ulangan, ambil rapot, abis itu gue pergi ke—”
Klek!
“BI, BOKAP LO MISSCALL GUE!!”