cakgrays

Parfume

Ratu mengintip ke dalam kamar. Mengamati bagaimana Jeffrey yang kebetulan sibuk sejak pagi, bahkan di hari Sabtu seperti ini.

Ia menghela napas berat sejenak. Sudah bermenit-menit, yang Ratu lakukan hanya berdiri di ambang pintu kamar. Ia ingin masuk ke dalam, tapi takut kalau-kalau eksistensinya dapat mengganggu atensi Jeffrey pada sekumpulan map kertas, dan laptop di atas meja kerjanya.

Lalu, ketika kedua lututnya mulai terasa pegal, dan ia gelisah—suara Jeffrey menginterupsi. “Masuk, Ra, jangan diem di sana. Nanti kejepit pintu.”

Ratu membuka lebar pintu kamar yang semula dalam keadaan setengah tertutup itu. Berjalan masuk, dan di saat yang bersamaan Jeffrey beranjak dari tempat duduk dan mengambil langkah, menghampirinya.

“Tutup lagi pintunya, Ra.” Suara Jeffrey terdengar lembut seperti biasanya.

Lantas, Ratu memutar tubuhnya kembali. Melakukan apa yang Jeffrey minta. Menutup pintu kamar mereka rapat-rapat, sampai tak ada celah barang sedikitpun.

Untuk sejenak Ratu merasa ragu. Haruskah ia mengunci pintu di hadapannya, atau sekedar menutupnya seperti ini. Namun, pada akhirnya Ratu memutuskan untuk memutar kunci kamar sebanyak dua kali.

Sudut bibir Jeffrey tertarik ke atas, lalu terkekeh sendiri. “Kenapa, Ra?” Ia memiringkan kepalanya, “kok dikunci?” tanya Jeffrey yang tentunya untuk basa-basi.

“Aku mau ngomongin sesuatu yang serius.”

“Ngomongin?” Alis Jeffrey menukik sebelah kemudian. “Bukannya ngelakuin sesuatu yang serius...?”

Pipi Ratu memanas, hingga muncul rona merah pada seluruh wajahnya. Hampir terlihat seperti buah tomat yang sudah matang.

“Kalau mau cuddling itu bilang, Ra, jangan ngabisin parfum aku.” Jeffrey sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Ratu. “Tuh—ini bau aku nih.”

“Mas, aku....”

“Apa?”

“Jadi gini....” Ratu masih bingung memilih kata

“Di dahi kamu ada tulisannya, 'aku mau kamu' gitu.”

Sontak Ratu membeku di tempatnya. Sementara, di waktu yang bersamaan Jeffrey mengambil satu langkah lebih dekat. Menghapus setiap jarak di antara mereka, menangkup kedua pipi Ratu yang hangat, seraya tergelak untuk sesaat.

“Kayaknya selama ini kamu cuman suka kangen sama bau aku, ya? Bukan akunya?” kata Jeffrey sambil melirik tempat di mana parfum miliknya berada.

Ratu menggeleng semangat, “Gak gitu, ya!”

Ia berjinjit demi melingkarkan kedua tangannya di leher Jeffrey. “Mas ... Kamu lagi capek, gak?” Ratu dengan hati-hati bertanya demikian.

Telinga Jeffrey praktis memerah. Kedua tangannya kemudian membingkai tubuh Ratu di pinggang. Ia sengaja mendekatkan bibirnya pada telinga Ratu yang lucunya juga ikut kemerahan saat itu. Suara Jeffrey rendah untuk berbisik. “Beneran mau aku ternyata.”

Hening.

Nafas Jeffrey hangat, menyapu daun telinga hingga leher Ratu. “Ra ... aku juga kangen. Aku juga ... mau kamu.”

Percakapan mereka berhenti sampai di sana, sebab Jeffrey tiba-tiba saja mendaratkan banyak sekali kecupan kupu-kupu di sekitar leher Ratu. Aksi Jeffrey sebenarnya cukup sederhana, tapi bagi Ratu—itu sangat menggairahkan.

Jeffrey menghimpit tubuh Ratu, mendorong tubuhnya pada kedua buah dada istrinya itu. Kecupan-kecupan kecil darinya perlahan berubah menjadi sebuah sapuan lidah, hingga hisapan lembut yang kemudian membuat degup jantung Ratu meningkat.

Bibir Jeffrey beranjak turun, lalu mendarat cukup lama pada tulang selangka milik Ratu. Mencumbuinya dengan agresif hingga Ratu tak sengaja mengeluarkan sebuah lenguhan.

Ratu menggigit bagian dalam pipinya. Ia ingin bibir Jeffrey segera. Ditangkupnya dagu laki-laki itu supaya mendongak ke atas. Kemudian, tanpa permisi ia menempelkan kedua belah bibir mereka dalam kehangatan, hingga tak lama kemudian sebuah suara decakan lolos seketika. Kaki Ratu gemetar saat salah satu tangan Jeffrey menelusup masuk ke dalam piyamanya.

“Ra.”

“Hm?”

“Bian udah tidur, kan?” Jeffrey merasa was-was, sementara Ratu hanya merespon dengan sebuah anggukan singkat. “Berarti bisa sambil teriak-teriak mainnya.”

“Gila kamu?!” timpal Ratu.

Ratu mengintip ke dalam kamar. Mengamati bagaimana Jeffrey yang kebetulan sibuk sejak pagi, bahkan di hari Sabtu seperti ini.

Ia menghela napas berat sejenak. Sudah bermenit-menit, yang Ratu lakukan hanya berdiri di ambang pintu kamar. Ia ingin masuk ke dalam, tapi takut kalau-kalau eksistensinya dapat mengganggu atensi Jeffrey pada sekumpulan map kertas, dan laptop di atas meja kerjanya.

Lalu, ketika kedua lututnya mulai terasa pegal, dan ia gelisah—suara Jeffrey menginterupsi. “Masuk, Ra, jangan diem di sana. Nanti kejepit pintu.”

Ratu membuka lebar pintu kamar yang semula dalam keadaan setengah tertutup itu. Berjalan masuk, dan di saat yang bersamaan Jeffrey beranjak dari tempat duduk dan mengambil langkah, menghampirinya.

“Tutup lagi pintunya, Ra.” Suara Jeffrey terdengar lembut seperti biasanya.

Lantas, Ratu memutar tubuhnya kembali. Melakukan apa yang Jeffrey minta. Menutup pintu kamar mereka rapat-rapat, sampai tak ada celah barang sedikitpun.

Untuk sejenak Ratu merasa ragu. Haruskah ia mengunci pintu di hadapannya, atau sekedar menutupnya seperti ini. Namun, pada akhirnya Ratu memutuskan untuk memutar kunci kamar sebanyak dua kali.

Sudut bibir Jeffrey tertarik ke atas, lalu terkekeh sendiri. “Kenapa, Ra?” Ia memiringkan kepalanya, “kok dikunci?” tanya Jeffrey yang tentunya untuk basa-basi.

“Aku mau ngomongin sesuatu yang serius.”

“Ngomongin?” Alis Jeffrey menukik sebelah kemudian. “Bukannya ngelakuin sesuatu yang serius...?”

Pipi Ratu memanas, hingga muncul rona merah pada seluruh wajahnya. Hampir terlihat seperti buah tomat yang sudah matang.

“Kalau mau cuddling itu bilang, Ra, jangan ngabisin parfum aku.” Jeffrey sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Ratu. “Tuh—ini bau aku nih.”

“Mas, aku....”

“Apa?”

“Jadi gini....” Ratu masih bingung memilih kata

“Di dahi kamu ada tulisannya, 'aku mau kamu' gitu.”

Sontak Ratu membeku di tempatnya. Sementara, di waktu yang bersamaan Jeffrey mengambil satu langkah lebih dekat. Menghapus setiap jarak di antara mereka, menangkup kedua pipi Ratu yang hangat, seraya tergelak untuk sesaat.

“Kayaknya selama ini kamu cuman suka kangen sama bau aku, ya? Bukan akunya?” kata Jeffrey sambil melirik tempat di mana parfum miliknya berada.

Ratu menggeleng semangat, “Gak gitu, ya!”

Ia berjinjit demi melingkarkan kedua tangannya di leher Jeffrey. “Mas ... Kamu lagi capek, gak?” Ratu dengan hati-hati bertanya demikian.

Telinga Jeffrey praktis memerah. Kedua tangannya kemudian membingkai tubuh Ratu di pinggang. Ia sengaja mendekatkan bibirnya pada telinga Ratu yang lucunya juga ikut kemerahan saat itu. Suara Jeffrey rendah untuk berbisik. “Beneran mau aku ternyata.”

Hening.

Nafas Jeffrey hangat, menyapu daun telinga hingga leher Ratu. “Ra ... aku juga kangen. Aku juga ... mau kamu.”

Percakapan mereka berhenti sampai di sana, sebab Jeffrey tiba-tiba saja mendaratkan banyak sekali kecupan kupu-kupu di sekitar leher Ratu. Aksi Jeffrey sebenarnya cukup sederhana, tapi bagi Ratu—itu sangat menggairahkan.

Jeffrey menghimpit tubuh Ratu, mendorong tubuhnya pada kedua buah dada istrinya itu. Kecupan-kecupan kecil darinya perlahan berubah menjadi sebuah sapuan lidah, hingga hisapan lembut yang kemudian membuat degup jantung Ratu meningkat.

Bibir Jeffrey beranjak turun, lalu mendarat cukup lama pada tulang selangka milik Ratu. Mencumbuinya dengan agresif hingga Ratu tak sengaja mengeluarkan sebuah lenguhan.

Ratu menggigit bagian dalam pipinya. Ia ingin bibir Jeffrey segera. Ditangkupnya dagu laki-laki itu supaya mendongak ke atas. Kemudian, tanpa permisi ia menempelkan kedua belah bibir mereka dalam kehangatan, hingga tak lama kemudian sebuah suara decakan lolos seketika. Kaki Ratu gemetar saat salah satu tangan Jeffrey menelusup masuk ke dalam piyamanya.

“Ra.”

“Hm?”

“Bian udah tidur, kan?” Jeffrey merasa was-was, sementara Ratu hanya merespon dengan sebuah anggukan singkat. “Berarti bisa sambil teriak-teriak mainnya.”

“Gila kamu?!” timpal Ratu.

Langit yang semula biru, kini sudah gelap sempurna. Hampir pukul sembilan malam. Tapi Bian sama sekali tak beranjak dari sebuah kursi kayu di depan meja belajarnya. Menatap nanar setumpuk buku pelajaran yang ada di atas sana.

Hening. Bian tenggelam dalam pikirannya, kemudian sesekali dia bergumam pada selinting kertas di tangannya. Harus minta maaf ke siapa dulu, ya? Pada Papa yang sepertinya lagi-lagi menerapkan silent treatment untuknya, atau pada Mama yang Bian ketahui tengah marah basar?

Bian menghela napas panjang. Ingatan tentang Mama yang menampar pipinya untuk pertama kali, kembali terputar. Disentuhnya pipi yang sejak tadi masih meninggalkan sensasi cenat cenut itu. Bian meringis. Rasa panas yang telapak tangan Mama tinggalkan masih membekas.

Kalau membahas perihal sadar atau tidaknya Bian pada kesalahannya kali ini—jawabannya tentu, iya. Bian sadar seberapa fatal kesalahannya, maka dari itu wajar kalau-kalau Mama sampai habis kesabaran. Ditamparpun sejujurnya dia pasrah. Tapi, di sisi lain Bian pikir dia masih terlalu muda untuk mati penasaran hanya karena perasaannya yang tak kunjung mendapat kejelasan. Pasalnya kalau dilihat-lihat, selama ini Ajeng juga sama tertariknya dengan Bian—yah, walaupun gadis itu sudah berkali-kali mengatakan kalau dia sama sekali tak berminat menjalin sebuah hubungan romansa.

Ekspresi wajahnya menjadi masam. Bian dengar, dan dia paham sejak awal. Bian cukup mengerti kalau tidak semua hal di muka bumi ini bisa dia dapatkan, termasuk Diajeng Pramesti yang kalau tersenyum, manisnya mampu mengalahi gula jawa di dapur Mama.

Hanya saja, melepaskan Ajeng memang tidak semudah yang Zaid atau bahkan Ozi bayangkan. Masalahnya Ajeng adalah satu-satunya wanita selain Mama yang mampu menarik atensi Bian setelah enam belas tahun, sebelas bulan, dan delapan hari masa hidupnya. Lalu fakta lainnya adalah, Bian merasa dia sering kali membutuhkan eksistensi Ajeng, sejak hari di mana gadis itu mulai andil dalam upaya-upaya penyelesaian masalah-masalah hidupnya.

Ajeng tidak pernah keberatan kala Bian bercerita panjang kali lebar mengenai apa yang dia suka dan benci saat berada di rumah. Ajeng tidak keberatan kalau-kalau dia harus memberi saran dan masukan bagi Bian perihal masalahnya dengan Mama atau Papa, meski pada kenyataannya hal itu mungkin menyinggung perasaan Ajeng, mengingat apa yang sudah terjadi dalam keluarganya. Lalu sebut Bian bodoh, dia akan terima. Karena menurut Bian, menaruh perasaan untuk Diajeng Pramesti bukanlah sebuah kesalahan. Bian hanya merasa, kalau pada dasarnya dia lah satu-satunya kesalahan di sini.

Tok tok tok!

Tiba-tiba suara pintu diketuk membuyarkan keterdiaman Bian. Dia beranjak dari kursinya seketika. Kemudian, pintu yang terbuka menampilkan sosok wanita paruh baya di baliknya. Budhe Lasih datang membawa makan malam.

Bian bergeming. Bodohnya dia berencana mogok makan demi mengemis belas kasih Mama, namun justru Budhe Lasih yang terketuk pintu hatinya.

“Mas, ini cepet dimakan. Budhe mau cuci piring.”

“Mama mana?” tanya Bian penasaran.

“Ibu, sama Bapak udah makan malem dari tadi. Sekarang Ibu lagi di kamar, kalau Bapak sih, Budhe gak tau, Mas. Tadi keluar naik mobil.”

Cukup lama Bian terdiam. Menatap mata Budhe Lasih, dan sesekali melihat makanan yang beliau bawa menggunakan nampan kesayangan Mama. “Taro di meja makan aja Budhe, nanti Bian ke sana—sama Mama.” Bian berpesan demikian, sebelum akhirnya beringsut pergi ke luar kamar dengan sebuah tongkat kruk yang dia sambar lalu diapit di ketiaknya.

Sementara Budhe Lasih yang ditinggalkan begitu saja, diam-diam menahan sebuah tawa. “Mas Bian, Mas Bian ... pasti berantem lagi sama Ibu, Bapak,” kata Budhe Lasih, lalu geleng-geleng.


Saat sampai di depan pintu kamar Mama, Bian sadar kalau ini mungkin akan jadi satu-satunya maaf yang tersisa. Pasalnya sudah berkali-kali dia membuat Mama marah, dan mungkin juga setelah ini, tindakan yang Mama ambil bisa saja menendangnya dari rumah.

Diiringi deru napas yang masih tersengal-sengal akibat berjalan menggunakan kakinya yang masih pincang—tangan Bian terulur. Mengetuk pintu kamar Mama dengan rasa harap-harap cemas.

Tok! Tok! Tok!

“Mama...,” kata Bian lirih. Namun, yang dia dapati hanya sebuah keheningan.

Tok! Tok! Tok!

“Mama, ini Bian ... Bian mau minta maaf, Ma.” Sedetik, dua detik—rupanya kalimat itu belum cukup untuk mengetuk pintu hati Mama. Mama tak kunjung merespon, dan Bian menarik napas panjang. Matanya terpejam sejenak, mengingat kembali bagaimana raut wajah Mama yang tampak sangat kecewa ketika mereka di rumah sakit tadi.

Sesak. Dada Bian seketika rasanya sakit. Jauh lebih sakit ketimbang saat cinta pertamanya ditolak mentah-mentah oleh Ajeng. Bahunya terkulai lemas, sesaat sebelum sebuah bulir air matanya tiba-tiba menetes. Cengeng. Perasaan emosional Bian mulai menjalar keseluruh tubuh sepertinya, sebab detik kemudian dia berani mengetuk pintu kamar Mama lebih kencang dari sebelumnya.

“Bian minta maaf, Ma!”

“Bian salah, Bian minta maaf!”

“Bian janji gak bakal ngelakuin kesalahan ini lagi, tapi tolong buka dulu pintunya, Ma!”

Sambil terus berteriak gaduh, Bian mengetuk pintu kamar Mama. Sesekali dia kumpulkan asanya yang mulai jatuh berserakan. Bian enggan beranjak sampai Mama menemuinya.

Lalu persis seperti yang dia harapkan, suara pintu kamar yang berderit terdengar setelahnya. Bian yang semula menunduk, kini mendongak seketika. Terperanjat, sebab Mama tiba-tiba saja berdiri di hadapannya dan masih dengan pakaian yang sama, namun dengan penampilan yang sedikit berantakan. Diam-diam Bian mencuri tatap mata Mama. Ada jejak air mata di sudut pipinya—membuat Bian kembali digerayangi oleh sebuah perasaan tak nyaman.

Mama sendiri hanya mematung. Menatap Bian dengan tatapan kosong.

“Susah punya anak laki-laki....” Mama akhirnya membuka suara meski sedikit gemetar. “Sekarang kamu maunya gimana? Kamu mau apa ke sini? Udah sana kabur aja lag—” Sarkasnya perkataan Mama terjeda seketika, tatkala Bian sekonyong-konyong mengenggam tangannya.

“Bian minta maaf, Ma.”

Mama bergeming.

“Bian minta maaf udah buat semua orang khawatir—”

“Mama gak khawatir.” Mama menimpali. Membalas bagaimana cara Bian memotong kalimat Mama sebelumnya.

Kemudian sepasang mata milik Bian lagi-lagi memburam. Pekat, dan terasa penuh. Hanya satu kalimat, namun dampaknya luar biasa untuk Bian. Sementara Mama berpaling tanpa sedikitpun rasa empati, bibir mencebik—tepat sebelum dia berlutut dan memeluk kaki Mama hingga samar-samar terdengar suara isakan tangis yang terkesan mendramatisir suasana.

“Bian minta maaf, Ma! Bian udah janji sama diri Bian sendiri kalau ini yang terakhir. Bian janji ini terakhir kalinya Bian bikin Mama kecewa, Ma. Bian minta maaf....” Sembari memeluk kaki Mama sekuat tenaga, Bian berkata demikian.

Malam itu keadaan ruang keluarga di depan kamar Mama sebelumnya sepi. Sebab Papa pergi entah ke mana, dan selain Mama yang berada di dalam kamar—hanya ada Bian dan Budhe Lasih di lantai atas. Tapi, kini jadi lebih gaduh karena Bian melakukan drama tangisan di kaki Mama. Bian sendiri yakin kalau Budhe Lasih sedikit banyak menguping dari dapur. Entah saat ini apakah beliau tengah menertawai tingkah Bian atau justru merasa jengah—Bian masa bodoh.

Sebab hanya dengan begitu, Bian baru berhasil menarik kembali simpati Mama. Membuat Mama melihatnya dengan tatapan iba. Pasalnya menurut sepengetahuan Mama, Bian belum pernah terlihat semenyesal ini untuk kesalahannya.

Helaan napas gusar keluar dari mulut Mama. “Kamu paling jago kalau soal jual kesedihan ke Mama, Bi. Kamu juara satunya.” Lantas Mama membungkuk. Menangkup kedua sisi dari pundak Bian yang sejak tadi memang sudah menunggu Mama melakukan hal tersebut.

“Bangun.”

Bian menyedot cairan ingusnya yang hampir saja menetes ke luar. “Susah, Ma,” sahutnya. Kemudian dengan tampang tak berdosa, Bian merentangkan kedua tangannya tinggi-tinggi dengan harapan supaya mendapat bantuan dari Mama. Dan, ya! Mama seperti biasa, mudah luluh. Dibantunya Bian berdiri tegak, namun saat Mama ingin kembali membungkuk demi meraih kruk milik Bian—bocah itu lebih dulu memeluk Mama erat-erat seperti takut ditinggalkan.

“Bian minta maaf. Bener-bener minta maaf.”

Ibarat ditikam sebuah benda tajam, dada rasanya sakit. Suara lirih Bian berbisik di belakang telinga Mama. Kedengarannya getir. Mama sendiri tahu kalau meminta maaf pada orang tua itu sulit sekali rasanya, tapi Bian fasih. Seperti seketika hilang sudah rasa kesal Mama pada Bian.

“Iya ... Mama maafin.” Kemudian dekapan hangat Mama membalas Bian. Atmosfer persis seperti bertahun-tahun yang lalu, saat Bian masih duduk di bangku TK. Nyaman. Pelukan Mama itu nyaman.


Ingat soal apa yang Bian katakan pada Budhe Lasih beberapa saat yang lalu? Yah, di sini lah Bian sekarang. Duduk pada sebuah kursi di sisi meja makan, berteman Mama yang saat ini tengah cosplay menjadi dayang-dayang. Sebut Bian anak kurang ajar, itu bukan masalah. Pasalnya baru beberapa menit yang lalu dia menangis bombay di kaki Mama—sekarang sudah cengangas-cengenges sebab disuapi makan oleh Mama di jam setengah sepuluh malam.

Dengan lahap dan perasaan senang yang menggebu-gebu, Bian menyantap makan malamnya tanpa peduli kalau juga ada Budhe Lasih di sana yang sibuk mencibir sejak tadi.

“Mas Bian kayak anak kecil aja.” Budhe Lasih menyodorkan segelas air yang baru saja dituang dari dispenser kulkas.

Mama tergelak. “Emang masih bayi ini, mah, Budhe!” Begitu kata Mama.

Sepanjang makan, Bian full senyum—sebelum akhirnya suara mobil Papa terdengar samar-samar di halaman rumah. Agaknya dia masih panik, takut kalau harus dengan bertemu Papa.

Klek!

Duduk di ruang makan yang teknisnya menghadap langsung dengan pintu utama, membuat Bian dapat melihat presensi Papa secara terang-terangan. Ada sekantung kresek putih yang Papa tenteng di tangan kanannya.

“Mas?”

Papa berjalan mendekat ke arah meja makan. Setiap langkah yang Papa ambil, sukses menambah degup jantung Bian semakin cepat. Wajah yang dingin, ditambah rahang yang sepertinya masih mengeras sepert saat Bian melihat Papa di rumah sakit tadi mampu membuat senyum Bian luntur seketika.

Sementara itu, di sisi lain ada Mama yang justru semakin menarik sudut bibirnya. “Apa itu, Mas?” tanya Mama.

“Es krim.” Lalu Papa melengos, sesaat setelah menyerahkan bungkusan es krim ke tangan Mama. Papa berjalan menjauh, bahkan mengabaikan dua orang lainnya. Seakan tak peduli dengan eksistensi Bian sedikitpun.

“Mas?? Kenapa?” pekik Mama secara spontan.

“MARAHNYA KURANG LAMA, RA!”

Bian terus menunduk sejak beberapa saat lalu. Diam membisu, mendengar seribu satu ocehan yang keluar dari dalam mulut Zaid. Mungkin sebentar lagi akan habis riwayat mereka bertiga, mengingat sang papa, dan barangkali teman-teman dari orang tuanya itu ikut datang.

“Lagian elo tuh—ah! nekat banget, Anjing!” Zaid menarik napas, kesal. “Elo juga, Ji. Mau-mauan aja disuruh sama dia demi duit.”

Mendengar bagaimana Zaid marah-marah, sembari menyalahkan dirinya, lantas Ozi berdecak. Dalam benak dia kesal, toh Zaid juga pada akhirnya bersedia ikut tanpa paksaan. “Terus apa bedanya sama lo?”

Kemudian, di waktu yang bersamaan dengan Bian mengangkat dagunya, dia melihat bagaimana Zaid merotasikan mata ditambah raut wajah sinis yang tercetak jelas.

“Jelas-jelas gue ikut karna lo sama Bian!” seru Zaid.

“Ya, gua juga karna Bian.”

“Karna duit!” kata Zaid mengkoreksi perkataan Ozi.

Menyaksikan perdebatan sengit itu, bahu Bian merosot. Sadar kalau masalah yang satu ini lagi-lagi karena ulahnya. Jangankan ikut menimpali keduanya, menatap wajah Zaid dan Ozi lebih lama saja Bian tidak mampu. Bian terus mengingat pesan terakhir yang Zaid dapat dari sang papa. Dia bergidik ngeri.

Tiba-tiba saja suasana mendadak hening. Zaid dan Ozi berhenti di tengah-tengah perdebatan mereka begitu saja. Lalu, detik selanjutnya Bian baru tersadar kalau presensi kedua orang tuanya lah yang membuat atmosfer di sekitar mereka berubah seketika. Sementara Zaid dan Ozi saling menyenggol satu sama lain, Bian justru diam dan mematung di tempat. Menatap garangnya wajah Papa yang perlahan tapi pasti kian mendekat. Tepat di belakang Papa, ada Mama yang kelihatannya tidak bersemangat. Mama marah? Tentu.

“Bian!” Baik Zaid maupun Ozi refleks menoleh ke arah Bian. “Ayo pulang,” kata Papa dengan nada paling dingin yang pernah Bian dengar.

Sorot mata Bian menelisik. Mengamati situasi, kira-kira seperti apa suasana hati Papa dan Mama saat ini. Kemudian, sesaat, selepas kedua manik matanya bertemu dengan milik sang Papa, suara bariton Papa kembali menginterupsi.

“Kuping kamu udah gak berfungsi, ya? Papa bilang ayo pulang!” seru Papa yang kemudian menarik bahu Bian dengan paksa.

Sementara Bian, saat dibentak oleh Papa seperti barusan bukannya takut, justru sibuk memberontak. Berusaha melepas cengkraman tangan Papa pada bahunya. “Sebentar, Pa, Bian mau pamit sama Ajeng, Pa!” rengeknya.

“Gak ada. Pulang sekarang!”

“Sebentar aja, Pa!”

Plak!

Tubuh Bian gontai seketika. Kruk bantu jalan yang semula dia pegang erat-erat pun terlepas. Tangannya spontan menyentuh pipi yang baru saja menjadi sebuah sasaran paling empuk atas kekesalan Mama. Bian membisu. Ada jejak kemerahandi pipinya, dan panas.

Zaid, Ozi, juga Papa memilih untuk bergeming tatkala melihat bagaimana ekspresi Mama setelahnya.

“Setiap kali, Bian—setiap kali kamu ngelakuin kesalahan, Mama selalu bantu kamu lolos dari Papa. Setiap kali kamu bohongin Mama, selalu Mama maafin. Semua yang kamu mau, selalu Mama penuhin sebagai orang tua. Mama gak pernah nuntut banyak dari kamu, SABIAN!” Mama menggertak. Saking pekatnya kekesalan Mama, suara napasnya bahkan seakan gemetar. “Tapi pernah gak sekali aja, kamu mikirin gimana Mama? Kamu bahkan gak pamit waktu ke sini, padahal semua orang di rumah khawatirin kamu!”

“Ma....”

“Kamu mikir, gak?!” Napas Mama tersengal-sengal. “Kok bisa, sih, kamu lebih mikirin orang asing daripada keluarga kamu? Pamit sama Ajeng kamu bilang?”

Lalu tawa sumbang Mama mengudara. Mama meraih kerah pakaian Bian dengan kasar. “Kamu kepikiran gak buat pamit sama Mama, Bi?? Enggak! Mama udah hampir gila cuman karena denger kabar kamu tiba-tiba ada di rumah sakit!”

“Ra, udah, ayo pulang.” Papa akhirnya melerai.

Diam-diam air mata Bian mengalir. Diam-diam ada banyak pasang mata yang memperhatikannya sejak tadi, karena praktisnya mereka tengah berada di sebuah lorong rumah sakit yang sudah pasti dilalui banyak orang.

Papa merangkul pundak Mama, sembari sesekali membari usapan menenangkan.

“Ozi, tolong anterin Zaid pulang dulu, di dicariin sama orang tuanya.”

“Iya, Om.” Ozi mengangguk-angguk patuh.

Selanjutnya, Papa melirik pada Bian yang sepertinya sudah hampir terisak, namun masih dia tahan. “Kamu kalau mau pulang, sekarang. Kalau gak mau, tidur aja di jalanan mulai malem ini.”

Kala itu senyum Papa mengembang sempurna usai mendapat kabar bahagia yang datangnya dari Om Yudhis. Sembari tergesa menuruni tangga, dia meneriaki nama Mama. Larangan yang sempat Om Yudhis katakan tentunya tak berarti apa-apa bagi Papa sebab, dia ingin membagi kebahagian ini secepatnya pada Mama.

Namun tiba-tiba langkahnya terhenti tatkala dia menangkap presensi Mama yang tengah berlarian di dalam rumah sambil memasang ekspresi panik di wajahnya. Kenapa? Seingat Papa, ini belum lama sejak Mama mengirim pesan singkat mengenai Bian yang katanya tengah tertidur, tapi tampak sangat gemas—dengan suasana hati yang sepertinya jauh lebih baik dibanding saat ini. Lalu, tanpa pikir panjang Papa kembali mengambil langkah menuruni sisa anak tangga yang ada.

“Kenapa, Ra?” tanya Papa, masih sambil berjalan mendekat sebelum akhirnya dia sadar kalau ternyata diam-diam air mata mama merembes dari sudut-sudut matanya.

“Mas—Bian gak ada. Aku udah cari ke mana-mana, tapi tetep gak ketemu, Mas.”

Kening Papa sontak mengernyit. “Bukannya lagi tidur di kamar?” tanya Papa memastikan, lalu dibalas gelengan cepat oleh Mama.

“Tadi aku ngerasa mau liat Bian lagi di kamarnya, tapi begitu aku liat, cuman ada guling sama bantal yang ditutupin selimut—Mas ... Bian ke mana?”

Mendengqr sedikit kesaksian Mama barusan mampu membuat degupan jantung Papa bekerja lebih cepat. Lantas, dengan langkah besar-besar Papa menuju pintu kamar Bian.

Brak!

Suara benturan pintu dan dinding kamar Bian agaknya mampu memekakan telingan siapapun yang mendengarnya. Dan, benar. Hening, sebab tidak ada siapa-siapa di dalam kamar Bian. Kemudian, mata Papa terpejam untuk beberapa saat. Seketika perasaan cemas yang berlebihan menjalar di sekujur tubuh Papa. Di antara bayang-bayang kenakalan Bian, Papa mencoba menormalkan kembali deru napasnya.

“Telpon Bian—” Belum usai perkataan Papa, gestur Mama menujuk ke arah sebuah nakas lebih dahulu menginterupsi.

“Hp-nya dia tinggal. Tadi sebelum kamu suruh, aku udah coba telpon dia.”

Butuh waktu setidaknya dua menit bagi Papa untuk mencerna apa yang sebenarnya tengah terjadi di sini. Guling yang sebelumnya sengaja ditutupi selimut, ponsel yang sengaja tidak dibawa oleh Bian, serta kepergian yang terkesan mendadak bahkan tanpa sepatah pun kata pamit. Di sisi lain, Mama semakin cemas. Jelas, memangnya ibu mana yang tidak akan seperti ini kalau anaknya menghilang tiba-tiba?

Papa meraih ponsel Bian tepat sebelum memutuskan untuk keluar dari kamar itu. Suara debaman pintu yang Papa pukul begitu keras, spontan mengejutkan Mama.

“Budhe Lasih!?” panggil Papa pada seorang asisten rumah tangga yang memang sudah bekerja di sana sejak lama.

Budhe Lasih sontak beringsut, sambil menenteng ujung dasternya yang usut punya usut begitu kebesaran. “I—iya, Pak?” sahut Budhe Lasih setengah gugup. Pasalnya Papa jarang sekali memanggil namanya dengan nada tinggi seperti yang baru saja Papa lakukan. Mungkin pernah, tapi dulu sekali. Terlebih biasanya Papa menghormati Budhe Lasih sebagaimana Papa menghormati orang tua lainnya.

“Budhe liat Bian?” tanya Papa to the point.

Kemudian dengan berat hati Budhe menggeleng. Wong, sejak pagi Budhe sibuk berkutat di dapur, dan menyetrika segunung pakaian yang sudah usai dijemur. “Saya gak liat, Pak,” jawab Budhe Lasih jujur.

Tak lama, Mama menyusul ke luar. “Mas, ayo lapor ke polisi.” Sambil menunduk dalam-dalam, Mama mengusap sudut matanya.

“Gak perlu. Polisi gak terima laporan tentang anak kabur dari rumah.” Lalu, Papa menjulurkan tangannya. Menyerahkan ponselnya pada Mama. “Kamu tau gak pola HP-nya?” tanya Papa. Sebab, kebetulan Papa tidak tahu-menahu perihal pola maupun sandi ponsel milik Bian. Namun, sayangnya Mama juga kurang memperhatikan acapkali Bian memainkan ponsel di dekatnya.

“Aku gak tau, Mas.” Suara Mama berbisik. Mungkin takut kalau-kalau dianggap tidak peduli soal anak mereka satu-satunya.

Melihat bagaimana Mama sekarang, membuat Papa merasa ikut bersalah. Sebeb, pada dasarnya Mama itu cengeng—maka sudah pasti akan terbawa suasana dan berakhir menangis seperti ini. Padahal jelas-jelas menghilangnya Bian ini adalah salah satu bentuk kenakalannya yang lain, tapi Mama terlalu naif. Dengan langkah kecil, Papa mendekat. Menarik Mama masuk ke dalam pelukan.

“Udah jangan nangis. Coba kita tanya ke temen-temennya dulu.”

Memang benar kalau tingkah nakal Bian tidak akan ada habisnya. Seperti baru kemarin mencium aspal, hari ini sudah bertekad untuk melompat dari jendela kamar. Apa lagi kalau bukan demi melihat langsung keadaan sang mantan pujaan hati—Diajeng Pramesti?

Bian menatap pantulan dirinya pada cermin. Beberapa saat lalu dia masih lengkap memakai piyamanya. Duduk dengan manis di atas ranjang, sembari sibuk pura-pura membaca sebuah buku pelajaran, demi mengelabui Mama. Sekarang, piyama itu sudah tergantikan oleh baju putih bertuliskan 'I Love Bali' yang serasi dengan sebuah celana training yang menutupi gips pada kakinya.

“Lebih baik minta maaf, daripada pamit—iya, kan?” tanya Bian pada pantulan wajahn. “Iya.” Usai menimpali perkataannya sendiri, lantas Bian mengusap wajahnya frustrasi. “Sekali lagi. Gue janji sama diri gue sendiri, kalo ini jadi terakhir kali sekaligus penutup perjalanan cinta gue yang macet, dan gak jelas ini.”

Bian memutar tubuhnya. Berjalan pincang menuju ranjang. Sebuah buku yang sempat dia jadikan sebagai senjata dalam kebohongannya kali ini, diraih. “Sori. Buat lo, gue janji abis ini, atensi gue cuman ke lo....” Buku yang semula dia ajak bicara itu, dia letakkan di atas nakas.

Kini, sorot mata Bian beralih ke pintu. Takut kalau sewaktu-waktu Mama atau Papa berkunjung ke kamarnya—Bian spontan meraih guling dan selimutnya. Menata kedua benda itu sebaik mungkin, sampai seolah-olah menyerupai dirinya yang tengah terlelap di bawah kehangatan selimut.

“Bian minta maaf, Ma ... Pa....”

Perasaannya tak tenang. Jantungnya seakan tengah dipenuhi oleh ribuan petasan tahun baru.

Sesuai kesepakatannya dengan Ozi, Bian akan menemuinya di luar pekarangan rumah. Maka, mau tidak mau, untuk sampai di luar gerbang rumah milik Papa itu—sebelumnya dia perlu melompat keluar jendela, menggunakan kaki pincangnya. Ini gila. Faktanya ini jauh lebih gila dari sebuah ketidaksengajaannya membawa Zaid ikut mencium aspal. Bian meringis tatkala membayangkan bokongnya mendarat lebih dahulu.

Dan, tanpa menunggu lama—Bian mulai melancarkan aksinya. Pertama-tama, dengan sengaja dia melempar kruknya keluar jendela. Suara besi yang membentur keramik pun terdengar gaduh. Bian refleks menoleh ke arah pintu.

Satu detik, lima detik, sepuluh detik. Agaknya situasi saat itu aman. Tidak ada tanda-tanda Mama atau Papa akan datang.

Kemudian, Bian menumpu tangannya pada kisi jendela. Dan, semua beban tubuhnya, dia tahan menggunakan tangan. Kaki kirinya naik terlebih dahulu, sebelum akhirnya disusul oleh kaki sebelah kanan yang keadaannyajauh lebih lemah. “Tinggal satu step lagi, Bi. Terjun bebas—akhh!”

Bian lagi-lagi jatuh dengan posisi yang sama seperti saat di rumah sakit.

“Anjing....” Kaki bahkan punggungnya sakit bukan main. Dia ingin berteriak lebih kencang, tapi ingat kalau saat ini dirinya dalam upaya melarikan diri.

Celingak-celinguk kepala Bian. Memeriksa apakah ada Budhe Lasih—sang asisten rumah tangga, atau mungkin pak satpam di sekitarnya namun, nihil. Sontak Bian menarik napas lega.

Dengan terburu-buru Bian berusaha berdiri menggunakan kruknya. Dan, pada saat itu juga dia tersadar kalau ponselnya masih tertinggal di dalam kamar. Bian berdecak pasrah. Mungkin kali ini lebih baik dia tidak membawa ponsel, daripada harus jatuh dari kisi jendela untuk kedua kalinya.

Sepi. Entah ke mana perginya pak satpam yang menjaga rumah Papa. Eksistensinya Bian pertanyakan meski tengah berada di momen seperti ini. Jangan-jangan makan gaji buta?

Masih sembari menoleh ke kanan dan ke kiri, Bian berjalan menuju gerbang utama. Pada setiap langkahnya, Bian mengeluh kesakitan. Sementara itu, presensi Zaid dan Ozi sudah muncul di balik gerbang. Sialnya kali ini mereka benar-benar akan menumpangi satu motor, bertiga.

Di sisi lain, alih-alih membantu Bian yang tampak kesulitan untuk berjalan, Zaid justru memasang muka masam, sembari melempar tatapan nyalang.

“Bantuin temen lo, Id! Malah diliatin doang, yeh.” Ozi hampir saja menurunkan standar motornya untuk membantu Bian kalau-kalau kakinya tidak ditendang oleh Zaid kala itu.

“Tolol, Anjing! Untung gak jatoh!” seru Ozi, kesal.

“Biarin aja dia. Ini, kan, pilihan dia. Biar usaha.”

Bian membuka gerbang penuh kesulitan. Pasalnya tangan kanan Bian masih harus menahan kruknya agar tidak jatuh, sementara mendorong gerbang rumahnya menggunakan satu tangan saja, tentunya terlalu berat. “Lo berdua tega-teganya cuman ngeliatin gue?” kata Bian tak percaya.

“Usaha sendiri,” sahut Zaid.

“Susah!”

Melihat bagaimana frustrasinya Bian saat itu, barulah Zaid turun tangan. “Makanya, minimal mikir. Lagi kesusahan aja sok-sokan peduli sama orang. Orangnya gak nganggep lo lagi....” Tangan kiri Zaid sembari membantu Bian membuka gerbang. Lalu, dengan kekuatan gotong royong itu, gerbang rumah Bian sesikit terbuka.

“Buruan naik elah lo berdua!” pekik Ozi tak sabar.

Sementara itu Zaid langsung beringsut mendekat ke motor Ozi. “Gue tengah!” katanya.

Ozi menggeleng. “Bian, lah, yang ditengah!

Zaid melengos, Bian mengulum senyum sumringah. “Bantuin gue naik, Id!” pinta Bian dengan nada memaksa.

“Udah tau pincang, banyak gaya. Biar apa, sih, lo?”

“Biar gue lega.”

Bian mengerang mendadak sesaat setelah membuka lebar kakinya demi menaiki motor Ozi. Sementar, Zaid selaku teman yang baik, akhirnya memutuskan untuk membantu meski dengan tampang kesalnya. Seperti kata Agnes Monica—cinta ini kadang-kadang tak ada logika.

Setelah memastikan bahwa Bian duduk dengan nyaman dan aman, Zaid baru memposisikan diri di belakangnya. Dan, jadilah mereka bonceng tiga, di atas sebuah motor usang milik Ozi.

“Terus kaki gue gimana?” tanya Bian, polos.

“Lo lepas aja dulu, nanti begitu sampai RS baru lo pasang lagi.”

“Goblok! Dipikir casing hp kali?!”

“Lagian macem-macem nanyanya. Kayak bisa ditekuk aja kaki lo.”

Pusing mendengar kedua temannya terus terseteru, Ozi hanya mampu menghela napas panjang. Pasalnya dia tahu betapa panjang kaki milik Bian, dan fakta di balik perkataan Zaid mengenai kaki Bian yang memang belum bisa ditekuk.

“Terus kaki gue gimana?”

“Lo kedepanin, nanti biar gua tahan pake kaki gua.” Ozi akhirnya angkat bicara.

Merasa pendapat Ozi adalah yang terbaik, lantas Bian hanya manggut-manggut pasrah. Tapi tepat sebelum motor yang mereka tumpangi itu melaju, Bian menepuk-nepuk paha Zaid.

“Apa lagi?”

“Kruk gue, kok, lo biarin, Anjing?”

Sontak dengan serampangan Zaid memukul kepala Bian. Peduli setan soal umur Bian yang sebenarnya satu tahun di atasnya itu. Zaid sudah dibuat kesal bukan kepalang. “Lo bener-bener definisi nyusahin!” hardiknya, sebelum kembali turun dan mengangkat kruk milik Bian dari tanah.


Motor Ozi melaju. Bagaikan sang pembalap mantap seantero jagad raya— Valentino Rossi, Ozi menarik gas tanpa keraguan. Motornya seakan melesat, membelah bahu jalanan kota Jakarta. Maklum, sudah punya dua jenis surat izin mengemudi. Jadi, sombong sedikit akan skillnya yang bukan kaleng-kaleng.

“Bisa gak kita mampir beli buah?” kata Bian di tengah keheningan.

“Gak bisa,” jawab Ozi. Pandangannya tetap lurus, menatap luasnya jalanan di depan sana.

“JABLAY JABLAY!”

Spontan, baik Bian maupun Zaid menoleh. Melihat segerombolan anak yang tampaknya lebih kecil dari mereka bertiga tengah mengendarai motor matic sambil terbahak usai berteriak demikian.

“WOY BANGSAT??? SIAPA YANG LO PANGGIL JABLAY?!” pekik Bian tak tertahankan. Membuat gendang telinga Ozi nyaris pecah seketika.

“Jangan norak, Sabian!”

“Bang, udah, Bang!” kata Zaid bercanda. “Kita doain aja mereka jatoh di jalan yang benar.”

Benar juga, sebab jalur doa adalah jalan terbaik. Yah, setidaknya begitu batin Bian.

Kemudian, hening sesaat sampai suara Bian tiba-tiba kembali mengudara. “Yang dikatain jablay si Oji bukan, sih?”

“Hah? Kenapa emang?” tanya Zaid penasaran oleh opini tak penting milik Bian.

“Tuh....” Sorot mata Bian mengarah pada paha Ozi yang terekspos secara nyata. “Kolornya tinggi banget, sebatas selangkangan lebih dikit.”

Zaid tergelak kemudian. Memang benar, saking rendahnya potongan celana Ozi kala itu, belangnya sampai kelihatan. Sementara yang tengah digosip memilih untuk menjadi tuli mendadak. Bian dan Zaid kalau disatukan memang mampu menguras kesabaran siapapun yang berada di dekatnya.


Sebenarnya jarak antara kediaman Bian dan rumah sakit tempat di mana Ajeng diopname terhitung cukup jauh. Tapi, berkat ilmu 'joki melesat' yang ditekuni Ozi, ketiganya sudah sampai di tempat tujuan. Zaid jalan lebih dulu sebab, dia yang tahu di kamar rawat mana Ajeng berada.

Sore itu, suasana IGD rumah sakit sedang ramai-ramainya. Banyak pasang mata menatap penampilan Bian dan Ozi yang sangat berbanding terbalik. Bian yang menyadarinya sontak terkekeh.

“Besok-besok lo kalau mau keluar rumah tuh pake celana.” Bian berbisik pada Ozi, di belakang Zaid.

“Ini namanya apa kalau bukan celana, Nyet?!”

Langkah Zaid terhenti. Membuat Bian dan Ozi ikut menghentikan langkahnya seketika. Bocah memutar tubuh menghadap Bian, serta Ozi. “Jangan berisik, ini bukan kebun binatang.” Zaid menempelkan ujung jari telunjuknya di depan bibir.

Bian mendengkus. “Mana kamarnya?”

Kemudian dengan gestur membusungkan dada, Zaid berkata, “silahkan masuk, Pak. Istri anda selamat, anak anda buat saya.” Sambil membuka sebuah pintu di belakangnya.

“Orang sinting.” Bukan! Bukan Bian yang menjawab demikian, melainkan Ozi. Sementara itu Bian sibuk mengsam-mengsem.

Ya, namanya Sabian. Kalau ditanya hobinya apa? Jawabannya HALU! Begitu pula dengan Zaid.

Lantas, sambil terpincang-pincang, Bian melangkah masuk ke dalam ruang rawat inap yang udara di dalamnya tercium seperti obat-obatan. Dingin, hening, dan luas. Bian manggut-manggut. Kekayaan Ajeng dapat terlihat dari bagaimana pihak keluarga memilih kamar inap tersebut.

“Bian?” Tepat sesaat setelah namanya disebut oleh suara itu, Bian membeku. Ajeng tengah terjaga.

Pintu tertutup rapat dari luar. Entah, mungkin Zaid atau Ozi dalangnya.

“H-hai?”

“Kok bisa di sini?”

Bian bungkam. Kali ini bukan karena grogi atau apa, tapi karena melihat tangan kecil milik Ajeng terhubung dengan selang infus. Wajahnya pucat. Rambutnya sedikit berantakan. Dan, matanya bengkak. Separah apa keadaan Ajeng saat ini? Seingatnya Zaid bilang kalau Ajeng hanya kelelahan.

Alih-alih menjawab, Bian justru menarik sebuah kursi dan menempatkannya di sisi tempat Ajeng tengah berbaring. Dia duduk di sana. Menatap wajah Ajeng dalam keheningan.

“Kenapa, sih, harus hujan-hujanan? Lo bisa neduh, tau, kan?”

Ajeng yang semula menatap Bian, kini melempar tatapan itu pada langit-langit kamar inap. “Jadi, lo tau ya?” Ajeng menghela napas berat. “Panjang kalo diceritain. Lo gak bakal ngerti, apalagi related.”

“Lo selalu mikir gue kayak gitu, ya? Lo kira gue bakal judge mental, gitu? Lo selalu nyimpulin sesuatu cuman dari perspektif lo aj—”

“Sabian.... Mama tiri gue tempramental. Kalo kemarin gue neduh, dan gak langsung pulang—dia siap marah atau bahkan ngelakuin sesuatu ke gue.” Bian bungkam seketika. “Papa gak ada di rumah sampai minggu depan. Itu yang bikin gue takut.”

Hening. Sekalipun tak pernah terlintas dalam pikiran Bian, kalau kehidupan yang dijalani seorang Diajeng Pramesti sampai serumit itu.

“Kak Xander—tutor kita di tempat les itu, beruntung karna milih pisah tempat tinggal. Dia tau kalo nyokapnya sinting, dan sekarang gue yang jadi sasaran.” Ajeng menatap Bian lamat-lamat. “Gue pengen pergi, Sab. Dari awal gue emang gak pernah siap punya mama baru. Ngeliat Papa sama perempuan selain Mama—gue gak siap.”

“Sekarang, gue bahkan gak punya siapa-siapa selain diri gue sendiri di momen-momen kayak gini. Papa pikir, semua perempuan cuman butuh duit, termasuk gue. Papa selama ini mikir hubungan gue sama istrinya baik-baik aja, padahal enggak. Papa gak pernah peduli. Mungkin juga Papa nikah bukan buat isi kekosongan sosok ibu rumah tangga di keluarga kita, tapi cuman buat temenin dia tidur atau seneng-seneng begitu pulang kerja.”

Kemudian gestur menyeka sudut mata yang Ajeng lakukan, tak luput dari pandangan Bian kala itu.

“Gue kangen Mama, Sab. Gak ada yang bisa gantiin Mama. Gue bukannya gak pernah bersyukur, gue selalu bersyukur, kok—awalnya. Emangnya, sekarang apa yang bisa disyukuri dari hidup gue? Nothing. Gue bahkan gak takut buat kehilangan apa-apa lagi. Kayak, ambil aja. Ambil, Tuhan. Gue udah capek. Gue bukannya gak pernah coba buat ngambil hati mama tiri gue—gue selalu. Tapi emang gak bisa, Sabian.”

Setelah mendengar itu, lantas tangan Bian terulur. Mengusap air kesedihan yang mengalir dari sudut mata Ajeng. Gadis itu diam-diam menangis. Bian dapat merasakan kalau saat ini suhu tubuh Ajeng masih sangat panas. Mata Bian mengedar, mencari-cari sesuatu, dan akhirnya berhenti pada sebuah tanda memar pada bagian lengan Ajeng. Dalam bisunya, Bian sibuk mengamati. Dan, sepemahamannya—apa yang Ajeng katakan beberapa saat lalu adalah benar. Mungkin jauh sebelum hari ini, kekerasan sudah pernah dilancarkan oleh mama sambungnya.

Bian mengusap lembut lengan Ajeng menggunakan telapak tangannya yang hangat. Dia mulai menyusun sebuah kalimat dalam pikirannya. Bian sudah tahu harus merespon seperti apa.

“Perasaan capek lo itu valid, kok. Gue minta maaf karna denger ini semua. Ajeng, lo gak sendirian. Ada gue. Kalo mau nangis yang kenceng, nangis aja. Gue temenin. Mau pergi ke mana? Masih sakit. Nanti kalo udah sembuh, biar gue anterin.”

Ajeng kemudian tertawa di tengah-tengah tangisnya. Tawa paling miris yang pernah Bian dengar.

“Kemarin lo jauhin gue, kan?”

“Itu tindakan alami orang yang lagi patah hati.”

“Sabian, gue minta maaf kalo gue pernah salah ngomong ke lo(?)”

“Gak ada yang perlu dimaafin. Gue yang salah, karna langsung bawa perasaan. Gue minta maaf kalo sempet bikin lo kebingungan sendiri karna tiba-tiba gue block.” Bian memainkan ujung bantal di bawah kepala Ajeng saat itu. “Gue pengen banget peluk lo, tapi gue takut ganggu posisi nyaman lo sekarang ini. Tapi ini bukan tentang itu, lo tau?”

Ajeng mengangguk paham. “Jangan, Sab. Menurut gue, lo deserve someone better than me. Gue dengan segala energi negatif gue, mungkin gak akan baik buat lo. Gue gak mau jadi egois.” Susah payah Ajeng berkata demikian.

Lalu dengan begitu, Bian menundukkan kepalanya. Dia tersenyum getir, sembari memainkan ujung-ujung jemarinya. Sudah cukup. Sesuai janjinya, ini adalah kali terakhir. Bian pikir mungkin dia harus berdamai dengan perasaannya sendiri, sambil perlahan melepas nama Ajeng dalam hatinya. Kalau bukan jadi sepasang kekasih, setidaknya masih berteman dekat. Sebab, menemani dan ditemani Ajeng itu sekarang sudah lebih dari cukup rasanya.

Bian mengangkat kembali dagunya. Dan, yang dia temukan adalah Ajeng yang tengah mematapnya dengan sorot mata teduh.

“Gue minta maaf, Sabian....”

“Pulang dari sini, rencananya mau ke mana? Papa lo masih belom ada di rumah, kan?”

“Mau gak mau tetep ke rumah papa. Nyelesaiin ulangan, ambil rapot, abis itu gue pergi ke—”

Klek!

“BI, BOKAP LO MISSCALL GUE!!”

Memang benar kalau tingkah nakal Bian tidak akan ada habisnya. Seperti baru kemarin mencium aspal, hari ini sudah bertekad untuk melompat dari jendela kamar. Apa lagi kalau bukan demi melihat langsung keadaan sang mantan pujaan hati Diajeng Pramesti?

Bian menatap pantulan dirinya pada cermin. Beberapa saat lalu dia masih lengkap memakai piyamanya. Duduk dengan manis di atas ranjang, sembari sibuk pura-pura membaca sebuah buku pelajaran—demi mengelabui Mama. Sekarang, piyama itu sudah tergantikan oleh baju putih bertuliskan 'I Love Jogja' yang serasi dengan sebuah celana training yang menutupi gips pada kakinya.

“Lebih baik minta maaf, daripada pamit—iya, kan?” tanya Bian pada pantulan wajahnya sendiri. “Iya.” Usai menimpali perkataannya sendiri, lantas Bian mengusap wajahnya frustrasi.

“Sekali lagi. Gue janji sama diri gue sendiri, kalo ini jadi terakhir kali sekaligus penutup perjalanan cinta gue yang macet ini.” Bian memutar tubuhnya. Berjalan pincang-pincang menuju ranjang. Sebuah buku yang sempat dia jadikan sebagai senjata dalam kebohongannya kali ini diraih. “Sori. Buat lo, gue janji abis ini atensi gue cuman ke lo....” Buku yang semula dia ajak bicara itu, dia letakkan di atas nakas.

Kini, sorot mata Bian beralih ke pintu. Takut kalau sewaktu-waktu Mama atau Papa berkunjung ke kamarnya—Bian spontan meraih guling dan selimutnya. Menata kedua benda itu sebaik mungkin, sampai seolah-olah menyerupai dirinya yang tengah terlelap.

“Bian minta maaf, Ma ... Pa....”

Perasaannya tak tenang. Jantungnya seakan tengah dipenuhi oleh ribuan petasan tahun baru.

Sesuai kesepakatannya dengan Ozi, Bian akan menemuinya di luar area rumah. Maka, mau tidak mau, untuk sampai di luar gerbang rumah milik Papa itu—sebelumnya dia perlu melompat keluar jendela menggunakan kaki pincangnya. Ini gila. Faktanya ini jauh lebih gila dari sebuah ketidaksengajaannya mencium aspal. Bian meringis tatkala membayangkan bokongnya mendarat lebih dahulu.

Dan, tanpa menunggu lama—Bian mulai melancarkan aksinya. Pertama-tama, dengan sengaja dia melempar kruknya keluar jendela. Suara besi yang membentur keramik pun terdengar gaduh. Bian refleks menoleh ke arah pintu.

Satu detik, lima detik, sepuluh detik. Agaknya situasi saat itu aman. Tidak ada tanda-tanda Mama atau Papa akan datang.

Kemudian, Bian menumpu tangannya pada kisi jendela. Dan, semua beban tubuhnya, dia tahan menggunakan tangan. Kaki kanannya naik terlebih dahulu, sebelum akhirnya disusul oleh kaki sebelah kiri. “Tinggal satu step lagi, Bi. Terjun bebas—akhh!”

Bian lagi-lagi jatuh dengan posisi yang sama seperti saat di rumah sakit.

“Anjing....” Kaki sampai kepunggung sakit bukan main. Dia ingin berteriak lebih kencang, tapi ingat kalau saat ini dirinya dalam upaya melarikan diri.

Celingak-celinguk kepala Bian. Memeriksa apakah ada Budhe Lasih—sang asisten rumah tangga atau mungkin pak satpam di sekitarnya namun, nihil. Sontak Bian menarik napas lega.

Dengan terburu-buru Bian berusaha berdiri menggunakan kruknya. Dan, pada saat itu juga dia tersadar kalau ponselnya masih tertinggal di dalam kamar. Bian berdecak pasrah. Mungkin kali ini lebih baik dia tidak membawa ponsel, daripada harus jatuh dari kisi jendela untuk kedua kalinya.

Sepi. Entah ke mana perginya pak satpam yang menjaga rumah Papa. Eksistensinya Bian pertanyakan meski tengah berada di momen seperti ini.

Masih sembari menoleh ke kanan dan ke kiri, Bian berjalan menuju gerbang utama. Pada setiap langkahnya, Bian mengeluh kesakitan. Sementara itu, presensi Zaid dan Ozi sudah muncul di balik pagar. Sialnya kali ini mereka benar-benar akan menumpangi satu motor, bertiga.

Di sisi lain, alih-alih membantu Bian yang tampak kesulitan untuk berjalan, Zaid justru memasang muka masang semabari melempar tatapan nyalang.

“Bantuin temen lo, Id! Malah diliatin doang, yeh.” Ozi hampir saja menurutkan standar motornya untuk membantu Bian kalau-kalau kakinya tidak ditendang oleh Zaid kala itu. “Tolol, Anjing! Untung gak jatoh!” seru Ozi, kesal.

“Biarin aja dia. Ini, kan, pilihan dia.”

Bian membuka gerbang penuh kesulitan. Pasalnya tangan kanan Bian masih harus menahan kruknya agar tidak jatuh, semntara menggunkan satu tangan saja tentunya terlalu berat. “Lo berdua tega-teganya cuman ngeliatin gue?” kata Bian tak percaya.

“Usaha sendiri,” sahut Zaid.

“Susah!”

Melihat bagaimana frustrasinya Bian saat itu, barulah Zaid turun tangan. “Makanya, minimal mikir. Lagi kesusahan aja sok-sokan peduli sama orang. Orangnya gak nganggep lo lagi....” Tangan kiri Zaid sembari membantu Bian membuka gerbang. Lalu, dengan kekuatan gotong royong itu, gerbang rumah Bian sesikit terbuka.

“Buruan naik elah lo berdua!” pekik Ozi tak sabar.

Sementara itu Zaid langsung beringsut mendekat ke motor Ozi. “Gue tengah!” katanya.

Ozi menggeleng. “Bian, lah, yang ditengah!

Zaid melengos, Bian mengulum senyum sumringah. “Bantuin gue naik, Id!” pinta Biqn dengan nada memaksa.

“Udah tau pincang, banyak gaya. Biar apa, sih, lo.”

“Biar gue lega.”

Bian mengerang mendadak sesaat setelah membuka lebar kakinya demi menaiki motor Ozi. Sementar, Zaid selaku teman yang baik, akhirnya memutuskan untuk membantu meski dengan tampang kesalnya.

Setelah memastikan bahwa Bian duduk dengan nyaman dan aman, Zaid baru memposisikan diri di belakangnya. Dan, jadilah mereka bonceng tiga di tengah-tengah padatnya jalanan kota Jakarta kala itu.

“Terus kaki gue gimana?” tanya Bian, polos.

“Lo lepas aja dulu, nanti begitu sampai RS baru lo pasang lagi.”

“Goblok! Dipikir casing hp kali?!”

“Lagian macem-macem nanyanya. Kayak bisa ditekuk aja kaki lo.”

Pusing mendengar kedua temannya terus terseteru, Ozi hanya mampu menghela napas panjang. Pasalnya dia tahu betapa panjang kaki milik Bian, dan fakta di balik perkataan Zaid mengenai kaki Bian yang memang belum bisa ditekuk.

“Terus kaki gue gimana?”

“Lo kedepanin, nanti biar gua tahan pake kaki gua.” Ozi akhirnya angkat bicara.

Merasa pendapat Ozi adalah yang terbaik, lantas Bian hanya manggut-manggut pasrah. Tapi tepat sebelum motor yang mereka tumpangi itu melaju, Bian menepuk-nepuk paha Zaid.

“Apa lagi?”

“Kruk gue kok lo biarin, Anjing?”

Sontak dengan serampangan Zaid memukul kepala Bian. Peduli setan soal umur Bian yang sebenarnya satu tahun di atasnya itu. Zaid sudah dibuat kesal bukan kepalang. “Lo bener-bener definisi nyusahin!” hardiknya, sebelum kembali turun dan mengangkat kruk milik Bian dari tanah.


Motor Ozi melaju. Bagaikan sang pembalap mantap seantero jagad raya— Valentino Rossi, Ozi menarik gas tanpa keraguan. Motornya seakan melesat, membelah bahu jalanan kota Jakarta. Maklum, sudah punya dua jenis surat izin mengemudi.

“Bisa gak kita mampir beli buah?” kata Bian di tengah keheningan.

“Gak bisa,” jawab Ozi. Pandangannya tetap lurus, menatap luasnya jalanan di depan sana.

“JABLAY JABLAY!”

Spontan, baik Bian maupun Zaid menoleh. Melihat segerombolan anak yang tampaknya lebih kecil dari mereka bertiga tengah mengendarai motor matic sambil terbahak usai berteriak demikian.

“WOY BANGSAT??? SIAPA YANG LO PANGGIL JABLAY?!” pekik Bian tak tertahankan. Membuat gendang telinga Ozi nyaris pecah seketika.

“Jangan norak, Sabian!”

“Bang, udah, Bang!” kata Zaid bercanda. “Kita doain aja mereka jatoh di jalan yang benar.”

Benar juga, sebab jalur doa adalah jalan terbaik. Yah, setidaknya begitu batin Bian.

Kemudian, hening sesaat sampai suara Bian tiba-tiba kembali mengudara. “Yang dikatain jablay si Oji bukan, sih?”

“Hah? Kenapa emang?” tanya Zaid penasaran oleh opini tak penting milik Bian.

“Tuh....” Sorot mata Bian mengarah pada paha Ozi yang terekspos secara nyata. “Kolornya tinggi banget, sebatas selangkangan lebih dikit.”

Zaid tergelak kemudian. Memang benar, saking rendahnya potongan celana Ozi kala itu, belangnya sampai kelihatan. Sementara yang tengah digosip memilih untuk menjadi tuli mendadak. Bian dan Zaid kalau disatukan memang mampu menguras kesabaran siapapun yang berada di dekatnya.


Sebenarnya jarak antara kediaman Bian dan rumah sakit tempat di mana Ajeng diopname terhitung cukup jauh. Tapi, berkat ilmu 'joki melesat' yang ditekuni Ozi, ketiganya sudah sampai di tempat tujuan. Zaid jalan lebih dulu sebab, dia yang tahu di kamar rawat mana Ajeng berada.

Sore itu, suasana IGD rumah sakit sedang ramai-ramainya. Banyak pasang mata menatap penampilan Bian dan Ozi yang sangat berbanding terbalik. Bian yang menyadarinya sontak terkekeh.

“Besok-besok lo kalau mau keluar rumah tuh pake celana.” Bian berbisik pada Ozi, di belakang Zaid.

“Ini namanya apa kalau bukan celana, Nyet?!”

Langkah Zaid terhenti. Membuat Bian dan Ozi ikut menghentikan langkahnya seketika. Bocah memutar tubuh menghadap Bian, serta Ozi. “Jangan berisik, ini bukan kebun binatang.” Zaid menempelkan ujung jari telunjuknya di depan bibir.

Bian mendengkus. “Mana kamarnya?”

Kemudian dengan gestur membusungkan dada, Zaid berkata, “silahkan masuk, Pak. Istri anda selamat, anak anda buat saya.” Sambil membuka sebuah pintu di belakangnya.

“Orang sinting.” Bukan! Bukan Bian yang menjawab demikian, melainkan Ozi. Sementara itu Bian sibuk mengsam-mengsem.

Ya, namanya Sabian. Kalau ditanya hobinya apa? Jawabannya HALU! Begitu pula dengan Zaid.

Lantas, sambil terpincang-pincang, Bian melangkah masuk ke dalam ruang rawat inap yang udara di dalamnya tercium seperti obat-obatan. Dingin, hening, dan luas. Bian manggut-manggut. Kekayaan Ajeng dapat terlihat dari bagaimana pihak keluarga memilih kamar inap tersebut.

“Bian?” Tepat sesaat setelah namanya disebut oleh suara itu, Bian membeku. Ajeng tengah terjaga.

Pintu tertutup rapat dari luar. Entah, mungkin Zaid atau Ozi dalangnya.

“H-hai?”

“Kok bisa di sini?”

Bian bungkam. Kali ini bukan karena grogi atau apa, tapi karena melihat tangan kecil milik Ajeng terhubung dengan selang infus. Wajahnya pucat. Rambutnya sedikit berantakan. Dan, matanya bengkak. Separah apa keadaan Ajeng saat ini? Seingatnya Zaid bilang kalau Ajeng hanya kelelahan.

Alih-alih menjawab, Bian justru menarik sebuah kursi dan menempatkannya di sisi tempat Ajeng tengah berbaring. Dia duduk di sana. Menatap wajah Ajeng dalam keheningan.

“Kenapa, sih, harus hujan-hujanan? Lo bisa neduh, tau, kan?”

Ajeng yang semula menatap Bian, kini melempar tatapan itu pada langit-langit kamar inap. “Jadi, lo tau ya?” Ajeng menghela napas berat. “Panjang kalo diceritain. Lo gak bakal ngerti, apalagi related.”

“Lo selalu mikir gue kayak gitu, ya? Lo kira gue bakal judge mental, gitu? Lo selalu nyimpulin sesuatu cuman dari perspektif lo aj—”

“Sabian.... Mama tiri gue tempramental. Kalo kemarin gue neduh, dan gak langsung pulang—dia siap marah atau bahkan ngelakuin sesuatu ke gue.” Bian bungkam seketika. “Papa gak ada di rumah sampai minggu depan. Itu yang bikin gue takut.”

Hening. Sekalipun tak pernah terlintas dalam pikiran Bian, kalau kehidupan yang dijalani seorang Diajeng Pramesti sampai serumit itu.

“Kak Xander—tutor kita di tempat les itu, beruntung karna milih pisah tempat tinggal. Dia tau kalo nyokapnya sinting, dan sekarang gue yang jadi sasaran.” Ajeng menatap Bian lamat-lamat. “Gue pengen pergi, Sab. Dari awal gue emang gak pernah siap punya mama baru. Ngeliat Papa sama perempuan selain Mama—gue gak siap.”

“Sekarang, gue bahkan gak punya siapa-siapa selain diri gue sendiri di momen-momen kayak gini. Papa pikir, semua perempuan cuman butuh duit, termasuk gue. Papa selama ini mikir hubungan gue sama istrinya baik-baik aja, padahal enggak. Papa gak pernah peduli. Mungkin juga Papa nikah bukan buat isi kekosongan sosok ibu rumah tangga di keluarga kita, tapi cuman buat temenin dia tidur atau seneng-seneng begitu pulang kerja.”

Kemudian gestur menyeka sudut mata yang Ajeng lakukan, tak luput dari pandangan Bian kala itu.

“Gue kangen Mama, Sab. Gak ada yang bisa gantiin Mama. Gue bukannya gak pernah bersyukur, gue selalu bersyukur, kok—awalnya. Emangnya, sekarang apa yang bisa disyukuri dari hidup gue? Nothing. Gue bahkan gak takut buat kehilangan apa-apa lagi. Kayak, ambil aja. Ambil, Tuhan. Gue udah capek. Gue bukannya gak pernah coba buat ngambil hati mama tiri gue—gue selalu. Tapi emang gak bisa, Sabian.”

Setelah mendengar itu, lantas tangan Bian terulur. Mengusap air kesedihan yang mengalir dari sudut mata Ajeng. Gadis itu diam-diam menangis. Bian dapat merasakan kalau saat ini suhu tubuh Ajeng masih sangat panas. Mata Bian mengedar, mencari-cari sesuatu, dan akhirnya berhenti pada sebuah tanda memar pada bagian lengan Ajeng. Dalam bisunya, Bian sibuk mengamati. Dan, sepemahamannya—apa yang Ajeng katakan beberapa saat lalu adalah benar. Mungkin jauh sebelum hari ini, kekerasan sudah pernah dilancarkan oleh mama sambungnya.

Bian mengusap lembut lengan Ajeng menggunakan telapak tangannya yang hangat. Dia mulai menyusun sebuah kalimat dalam pikirannya. Bian sudah tahu harus merespon seperti apa.

“Perasaan capek lo itu valid, kok. Gue minta maaf karna denger ini semua. Ajeng, lo gak sendirian. Ada gue. Kalo mau nangis yang kenceng, nangis aja. Gue temenin. Mau pergi ke mana? Masih sakit. Nanti kalo udah sembuh, biar gue anterin.”

Ajeng kemudian tertawa di tengah-tengah tangisnya. Tawa paling miris yang pernah Bian dengar.

“Kemarin lo jauhin gue, kan?”

“Itu tindakan alami orang yang lagi patah hati.”

“Sabian, gue minta maaf kalo gue pernah salah ngomong ke lo(?)”

“Gak ada yang perlu dimaafin. Gue yang salah, karna langsung bawa perasaan. Gue minta maaf kalo sempet bikin lo kebingungan sendiri karna tiba-tiba gue block.” Bian memainkan ujung bantal di bawah kepala Ajeng saat itu. “Gue pengen banget peluk lo, tapi gue takut ganggu posisinya lo sekarang ini. Tapi ini bukan tentang itu, lo tau?”

Ajeng mengangguk paham. “Jangan, Sab. Menurut gue, lo deserve someone better than me. Gue dengan segala energi negatif gue, mungkin gak akan baik buat lo. Gue gak mau jadi egois.” Susah payah Ajeng berkata demikian.

Lalu dengan begitu, Bian menundukkan kepalanya. Dia tersenyum getir, sembari memainkan ujung-ujung jemarinya. Sudah cukup. Sesuai janjinya, ini adalah kali terakhir. Bian pikir mungkin dia harus berdamai dengan perasaannya sendiri, sambil perlahan melepas nama Ajeng dalam hatinya. Kalau bukan jadi sepasang kekasih, setidaknya masih berteman dekat. Sebab, menemani dan ditemani Ajeng itu sekarang sudah lebih dari cukup rasanya.

Bian mengangkat kembali dagunya. Dan, yang dia temukan adalah Ajeng yang tengah mematapnya dengan sorot mata teduh.

“Gue minta maaf, Sabian....”

“Pulang dari sini, rencananya mau ke mana? Papa lo masih belom ada di rumah, kan?”

“Mau gak mau tetep ke rumah papa. Nyelesaiin ulangan, ambil rapot, abis itu gue pergi ke—”

Klek!

“BI, BOKAP LO MISSCALL GUE!!”

Tidak ada kegiatan khusus yang Bian lakukan malam ini. Hanya menatap ke luar jendela kamar. Meninjau kira-kira ada berapa banyak bintang yang tengah eksis di atas langit Ibu Kota.

Bian berdiri dengan kruknya. Berjalan mendekat ke arah jendela sambil sesekali meringis sakit. Dalam benak bertanya-tanya, kapan kaki kanannya akan kembali normal. Namun, agaknya masih cukup lama sebab, rasa sakit yang muncul acapkali dia berjalan masih sangat pekat.

“Bian murung terus, kenapa?”

Bian menoleh cepat, kemudian buru-buru melukis sebuah senyum pada bibirnya. Ada Mama yang berkunjung ke kamar sembari membawa sebuah mangkuk, beralaskan nampan kesayangan. “Waktunya makan putih telur, Bi. Biar cepet balik kayak semula lagi kakinya.” Mama berkata demikian, sebelum akhirnya tersenyum.

Sementara itu, di hadapannya, Bian mencebik. Hari-harinya belakangan ini seolah disponsori oleh putih telur. Bosan. Sudah sampai mual setiap kali Bian mencium aromanya.

Mama yang paham begitu melihat ekspresi Bian, lantas ikut mencebik. “Ayo, dong. Ini, kan, demi kesembuhan kaki kamu. Kalau bisa diwakilin pasti udah Mama wakilin makannya—tapikan gak bisa.”

“Minimal Mama sambelin telurnya.”

“Nanti ilang khasiatnya!”

Malas mulai perdebatan, akhirnya Bian membuka mulutnya dengan pasrah. Malas melihat, dan menyentuh makanan wajibnya itu—maka, disuapi Mama adalah solusinya.

“Mama gak pinter baca suasana hati orang, tapi Mama paham kalau muka anak Mama kusut kayak gini berarti lagi ada yang dipikirin.” Mama meletakan nampannya di atas sebuah nakas yang dekat dengan jendela kamar itu. Kemudin, satu suapan masuk ke dalam mulut Bian. “Bian kangen jalan kayak biasa, ya? Atau apa, Bi? Cerita sama Mama, biar rasanya lebih baikan,” kata Mama.

“Gak ada.”

“Dulu, waktu Mama masih sekolah—Mama cuman punya mendiang nenek kamu. Mama suka cerita banyak hal sama beliau. Mulai dari hal paling penting, sampai ke hal yang sebenernya sama sekali gak penting. Makanya, waktu masih ada beliau hidup Mama rasanya ringan banget! Tapi, waktu Mama kuliah, nenek kamu pergi nyusul kakek. Mama ngerasa nyesel, Bi. Mama ngerasa masih ada banyak hal yang mau Mama ceritain ke beliau ... dan, waktunya gak ada lagi.” Mama menarik napas panjang. “Kamu sekarang masih punya Papa sama Mama, Bi. Mungkin awalnya emang susah buat terbuka. Pasti rasanya aneh, ya? Tapi, manfaatin waktu yang kamu punya sebaik mungkin, Sabian.”

Yang terjadi selanjutnya adalah Bian semakin bungkam seribu bahasa. Mulutnya yang semula aktif mengunyah, kini diam. Mendengar kalimat terakhir Mama barusan membuat sebuah perasaan aneh menggerayangi benaknya. Dunia Bian seakan berhenti mendadak.

“Bian gak suka denger Mama ngomong gitu,” katanya dengan nada kesal.

Mama yang mendapat tatapan mengintimidasi dari Bian, sontak mengerutkan keningnya. Mencoba mengingat-ingat apakah ada yang salah dari ucapannya beberapa saat lalu. “Mama minta maaf kalau kedengerannya kayak maksa....”

“Enggak, bukan itu! Bian gak suka denger Mama bahas waktu, kesempatan—atau apalah itu. Rasanya ... aneh....”

Sebuah senyuman tercetak jelas di wajah Mama. “Lucu, deh.”

“Apanya?”

“Mama punya anak cowok yang udah sebesar ini, tapi masih suka bingung sama perasaan sendiri. Lucu, gemes! Padahal mah bilang aja kalau Bian takut ditinggal Mama.” Sambil berkata demikian, tangan Mama kembali memasukan putih telur ke dalam nulut Bian. Sementara Bian mendengkus. “Oh, iya! Bian bosen gak di rumah aja kayak gini?”

Bian mengangguk. Sudah pasti jawabannya 'iya'.

“Besok niatnya Papa mau bawa kita main ke luar—” Belum sempat Mama menyelesaikan kalimatnya, Bian lebih dulu tersedak putih telur. “PELAN-PELAN, DONG, NGUNYAHNYA!” seru Mama seketika.

“Besok banget?!”

“Iya, besok. Emangnya kenapa?”

Bian sejatinya tahu kalau Papa merencakan hal demikian, maka sudah pasti dirinya sengaja mengosongkan jadwal sejak jauh-jauh hari. Bian sejatinya juga tahu, kalau kesempatan untuk menghabiskan waktu seharian bersama Papa mungkin hanya sekitar 2% dari hari-hari sibuknya mengurus kantor. Namun, lebih daripada itu, Bian ingat perihal janji yang sebelumnya sudah disepakati olehnya.

Keheningan melanda, Bian masih sibuk menghadapi konflik batin sambil terus mengunyah putih telurnya.

“Kenapa, Bi?” tanya Mama penasaran. Pasalnya sejak tadi Bian terus menatap langit-langit kamar tanoa mengatakan apapun. Mama takut. Takut Bian kerasukan atau semacamnya.

“Ma....” Bian memandang Mama dengan sorot mata serius. “Bian minta maaf, tapi kayaknya besok gak bisa.”

“Kenapa?” Gurat kekhawatiran seketika muncul pada wajah Mama.

Karna Bian gak bisa batalin janji sama Om Yudhis, buat pergi sama Papa—Bian pilih pura-pura sakit aja. Maaf.

“Bian kayaknya mau pilek. Bian minta maaf ... sama Papa Mama.”

Tidak ada kegiatan khusus yang Bian lakukan malam ini. Hanya menatap ke luar jendela kamar. Meninjau kira-kira ada berapa banyak bintang yang tengah eksis di atas langit Ibu Kota.

Bian berdiri dengan kruknya. Berjalan mendekat ke arah jendela sambil sesekali meringis sakit. Dalam benak bertanya-tanya, kapan kaki kanannya akan kembali normal. Namun, agaknya masih cukup lama sebab, rasa sakit yang muncul acapkali dia berjalan masih sangat pekat.

“Bian murung terus, kenapa?”

Bian menoleh cepat, kemudian buru-buru melukis sebuah senyum pada bibirnya. Ada Mama yang berkunjung ke kamar sembari membawa sebuah mangkuk, beralaskan nampan kesayangan. “Waktunya makan putih telur, Bi. Biar cepet balik kayak semula lagi kakinya.” Mama berkata demikian, sebelum akhirnya tersenyum.

Sementara itu, di hadapannya, Bian mencebik. Hari-harinya belakangan ini seolah disponsori oleh putih telur. Bosan. Sudah sampai mual setiap kali Bian mencium aromanya.

Mama yang paham begitu melihat ekspresi Bian, lantas ikut mencebik. “Ayo, dong. Ini, kan, demi kesembuhan kaki kamu. Kalau bisa diwakilin pasti udah Mama wakilin makannya—tapikan gak bisa.”

“Minimal Mama sambelin telurnya.”

“Nanti ilang khasiatnya!”

Malas mulai perdebatan, akhirnya Bian membuka mulutnya dengan pasrah. Malas melihat, dan menyentuh makanan wajibnya itu—maka, disuapi Mama adalah solusinya.

“Mama gak pinter baca suasana hati orang, tapi Mama paham kalau muka anak Mama kusut kayak gini berarti lagi ada yang dipikirin.” Mama meletakan nampannya di atas sebuah nakas yang dekat dengan jendela kamar itu. Kemudin, satu suapan masuk ke dalam mulut Bian. “Bian kangen jalan kayak biasa, ya? Atau apa, Bi? Cerita sama Mama, biar rasanya lebih baikan,” kata Mama.

“Gak ada.”

“Dulu, waktu Mama masih sekolah—Mama cuman punya mendiang nenek kamu. Mama suka cerita banyak hal sama beliau. Mulai dari hal paling penting, sampai ke hal yang sebenernya sama sekali gak penting. Makanya, waktu masih ada beliau hidup Mama rasanya ringan banget! Tapi, waktu Mama kuliah, nenek kamu pergi nyusul kakek. Mama ngerasa nyesel, Bi. Mama ngerasa masih ada banyak hal yang mau Mama ceritain ke beliau ... dan, waktunya gak ada lagi.” Mama menarik napas panjang. “Kamu sekarang masih punya Papa sama Mama, Bi. Mungkin awalnya emang susah buat terbuka. Pasti rasanya aneh, ya? Tapi, manfaatin waktu yang kamu punya sebaik mungkin, Sabian.”

Yang terjadi selanjutnya adalah Bian semakin bungkam seribu bahasa. Mulutnya yang semula aktif mengunyah, kini diam. Mendengar kalimat terakhir Mama barusan membuat sebuah perasaan aneh menggerayangi benaknya. Dunia Bian seakan berhenti mendadak.

“Bian gak suka denger Mama ngomong gitu,” katanya dengan nada kesal.

Mama yang mendapat tatapan mengintimidasi dari Bian, sontak mengerutkan keningnya. Mencoba mengingat-ingat apakah ada yang salah dari ucapannya beberapa saat lalu. “Mama minta maaf kalau kedengerannya kayak maksa....”

“Enggak, bukan itu! Bian gak suka denger Mama bahas waktu, kesempatan—atau apalah itu. Rasanya ... aneh....”

Sebuah senyuman tercetak jelas di wajah Mama. “Lucu, deh.”

“Apanya?”

“Mama punya anak cowok yang udah sebesar ini, tapi masih suka bingung sama perasaan sendiri. Lucu, gemes! Padahal mah bilang aja kalau Bian takut ditinggal Mama.” Sambil berkata demikian, tangan Mama kembali memasukan putih telur ke dalam nulut Bian. Sementara Bian mendengkus. “Oh, iya! Bian bosen gak di rumah aja kayak gini?”

Bian mengangguk. Sudah pasti jawabannya 'iya'.

“Besok niatnya Papa mau bawa kita main ke luar—” Belum sempat Mama menyelesaikan kalimatnya, Bian lebih dulu tersedak putih telur. “PELAN-PELAN, DONG, NGUNYAHNYA!” seru Mama seketika.

“Besok banget?!”

“Iya, besok. Emangnya kenapa?”

Bian sejatinya tahu kalau Papa merencakan hal demikian, maka sudah pasti dirinya sengaja mengosongkan jadwal sejak jauh-jauh hari. Bian sejatinya juga tahu, kalau kesempatan untuk menghabiskan waktu seharian bersama Papa mungkin hanya sekitar 2% dari hari-hari sibuknya mengurus kantor. Namun, lebih daripada itu, Bian ingat perihal janji yang sebelumnya sudah disepakati olehnya.

Keheningan melanda, Bian masih sibuk menghadapi konflik batin sambil terus mengunyah putih telurnya.

“Kenapa, Bi?” tanya Mama penasaran. Pasalnya sejak tadi Bian terus menatap langit-langit kamar tanoa mengatakan apapun. Mama takut. Takut Bian kerasukan atau semacamnya.

“Ma....” Bian memandang Mama dengan sorot mata serius. “Bian minta maaf, tapi kayaknya besok gak bisa.”

“Kenapa?” Gurat kekhawatiran seketika muncul pada wajah Mama.

Karna Bian gak bisa batalin janji sama Om Yudhis, buat pergi sama Papa—Bian pilih pura-pura sakit aja. Maaf.

“Bian kayaknya mau pilek.”

Tidak ada kegiatan khusus yang Bian lakukan malam ini. Hanya menatap ke luar jendela kamar. Meninjau kira-kira ada berapa banyak bintang yang tengah eksis di atas langit Ibu Kota.

Bian berdiri dengan kruknya. Berjalan mendekat ke arah jendela sambil sesekali meringis sakit. Dalam benak bertanya-tanya, kapan kaki kanannya akan kembali normal. Namun, agaknya masih cukup lama sebab, rasa sakit yang muncul acapkali dia berjalan masih sangat pekat.

“Bian murung terus, kenapa?”

Bian menoleh cepat, kemudian buru-buru melukis sebuah senyum pada bibirnya. Ada Mama yang berkunjung ke kamar sembari membawa sebuah mangkuk, beralaskan nampan kesayangan. “Waktunya makan putih telur, Bi. Biar cepet balik kayak semula lagi kakinya.” Mama berkata demikian, sebelum akhirnya tersenyum.

Sementara itu, di hadapannya, Bian mencebik. Hari-harinya belakangan ini seolah disponsori oleh putih telur. Bosan. Sudah sampai mual setiap kali Bian mencium aromanya.

Mama yang paham begitu melihat ekspresi Bian, lantas ikut mencebik. “Ayo, dong. Ini, kan, demi kesembuhan kaki kamu. Kalau bisa diwakilin pasti udah Mama wakilin makannya—tapikan gak bisa.”

“Minimal Mama sambelin telurnya.”

“Nanti ilang khasiatnya!”

Malas mulai perdebatan, akhirnya Bian membuka mulutnya dengan pasrah. Malas melihat, dan menyentuh makanan wajibnya itu—maka, disuapi Mama adalah solusinya.

“Mama gak pinter baca suasana hati orang, tapi Mama paham kalau muka anak Mama kusut kayak gini berarti lagi ada yang dipikirin.” Mama meletakan nampannya di atas sebuah nakas yang dekat dengan jendela kamar itu. Kemudin, satu suapan masuk ke dalam mulut Bian. “Bian kangen jalan kayak biasa, ya? Atau apa, Bi? Cerita sama Mama, biar rasanya lebih baikan,” kata Mama.

“Gak ada.”

“Dulu, waktu Mama masih sekolah—Mama cuman punya mendiang nenek kamu. Mama suka cerita banyak hal sama beliau. Mulai dari hal paling penting, sampai ke hal yang sebenernya sama sekali gak penting. Makanya, waktu masih ada beliau hidup Mama rasanya ringan banget! Tapi, waktu Mama kuliah, nenek kamu pergi nyusul kakek. Mama ngerasa nyesel, Bi. Mama ngerasa masih ada banyak hal yang mau Mama ceritain ke beliau ... dan, waktunya gak ada lagi.” Mama menarik napas panjang. “Kamu sekarang masih punya Papa sama Mama, Bi. Mungkin awalnya emang susah buat terbuka. Pasti rasanya aneh, ya? Tapi, manfaatin waktu yang kamu punya sebaik mungkin, Sabian.”

Yang terjadi selanjutnya adalah Bian semakin bungkam seribu bahasa. Mulutnya yang semula aktif mengunyah, kini diam. Mendengar kalimat terakhir Mama barusan membuat sebuah perasaan aneh menggerayangi benaknya. Dunia Bian seakan berhenti mendadak.

“Bian gak suka denger Mama ngomong gitu,” katanya dengan nada kesal.

Mama yang mendapat tatapan mengintimidasi dari Bian, sontak mengerutkan keningnya. Mencoba mengingat-ingat apakah ada yang salah dari ucapannya beberapa saat lalu. “Mama minta maaf kalau kedengerannya kayak maksa....”

“Enggak, bukan itu! Bian gak suka denger Mama bahas waktu, kesempatan—atau apalah itu. Rasanya ... aneh....”

Sebuah senyuman tercetak jelas di wajah Mama. “Lucu, deh.”

“Apanya?”

“Mama punya anak cowok yang udah sebesar ini, tapi masih suka bingung sama perasaan sendiri. Lucu, gemes! Padahal mah bilang aja kalau Bian takut ditinggal Mama.” Sambil berkata demikian, tangan Mama kembali memasukan putih telur ke dalam nulut Bian. Sementara Bian mendengkus. “Oh, iya! Bian bosen gak di rumah aja kayak gini?”

Bian mengangguk. Sudah pasti jawabannya 'iya'.

“Besok niatnya Papa mau bawa kita main ke luar—” Belum sempat Mama menyelesaikan kalimatnya, Bian lebih dulu tersedak putih telur. “PELAN-PELAN, DONG, NGUNYAHNYA!” seru Mama seketika.

“Besok banget?!”

“Iya, besok. Emangnya kenapa?”

Bian sejatinya tahu kalau Papa merencakan hal demikian, maka sudah pasti dirinya sengaja mengosongkan jadwal sejak jauh-jauh hari. Bian sejatinya juga tahu, kalau kesempatan untuk menghabiskan waktu seharian bersama Papa mungkin hanya sekitar 2% dari hari-hari sibuknya mengurus kantor. Namun, lebih daripada itu, Bian ingat perihal janji yang sebelumnya sudah disepakati olehnya.

Keheningan melanda, Bian masih sibuk menghadapi konflik batin sambil terus mengunyah putih telurnya.

“Kenapa, Bi?” tanya Mama penasaran. Pasalnya sejak tadi Bian terus menatap langit-langit kamar tanoa mengatakan apapun. Mama takut. Takut Bian kerasukan atau semacamnya.

“Ma....” Bian memandang Mama dengan sorot mata serius. “Bian minta maaf, tapi kayaknya besok gak bisa.”

“Kenapa?” Gurat kekhawatiran seketika muncul pada wajah Mama.

  • Karna Bian gak bisa batalin janji sama Om Yudhis, buat pergi sama Papa—Bian pilih pura-pura sakit aja. Maaf.

“Bian kayaknya mau pilek.”