cakgrays

Malam ini keadaan rumah terasa begitu sepi sebab, seisinya kekurangan eksistensi seorang Sabian Aditama—si semata wayang, yang usut punya usut tengah menginap di hotel bersama salah seorang teman barunya.

Ratu duduk termangu di sebuah sofa, depan televisi yang tengah menyala. Bosan. Hanya terdengar suara penyiar berita yang asalnya dari benda besar, nan pipih di hadapannya itu. Sudah hampir keram punggung Ratu lantaran sejak dua jam yang lalu, ia sudah duduk menyendiri di sana. Seperti biasa, di jam-jam Jeffrey pulang kantor seperti ini—Budhe Lasih tentu sudah rebahan di dalam kamarnya dengan damai.

Sebenarnya, ia menunggu Jeffrey bukanlah atas dasar kepekaan dan rasa perhatian sebagai seorang istri, melainkan atas dasar permintaan Jeffrey sendiri untuk.

Katanya melalui telepon, ia ingin ditunggu dan disambut kepulangannya untuk malam ini. Manja sekali, kan? Yah, memang seperti itulah sikap Jeffrey acapkali Bian tak ada di rumah.

Ratu menghela napas panjang tatkala suara mesin mobil milik Jeffrey terdengar dari halaman rumah. Akhirnya laki-laki itu pulang, setelah rasanya ia sudah menunggu sekian lama.

Namun, alih-alih membukakan pintu, Ratu memilih untuk tetap berduduk manis di tempatnya. Bukan karena ia terlalu malas untuk beranjak, melainkan karena ukuran perutnya yang tak lagi kecil itu, cukup membatasi pergerakan Ratu sejak beberapa minggu terakhir.

Tangan Ratu meraih sebuah remot yang letaknya tak jauh darinya. Menekan tombol power untuk mematikan televisi yang sempat ia nyalakan dengan niat meramaikan seisi rumah, namun sia-sia.

Pintu utama terbuka dari luar, dan menimbulkan suara yang memecah keheningan seketika. Mendengar itu, Ratu praktis menoleh ke belakang. Didapatinya sosok laki-laki bertubuh tinggi dengan setelan kemeja yang sudah tak lagi rapi, kelihatannya.

Jeffreyan Aditama. Meski sudah banyak tahun-tahun yang Ratu lalui bersama laki-laki itu dalam pernikahan mereka, namun sampai detik ini Ratu masih saja merasa salah tingkah setiap kali melihat suaminya itu pulang kerja. Maklum, nilai plus Jeffrey memanglah ketampanannya. Belum lagi saat laki-laki itu tersenyum simpul ke arahnya—Ratu refleks menyetuh perutnya yang kini sudah begitu besar.

“Emang boleh ya, Papa kamu se-mantep ini?” kata Ratu lirih pada sang jabang bayi di dalam perut. Sementara ia sibuk mengagumi Jeffrey dalam minimnya pencahayaan ruang tengah, Jeffrey sendiri mulai melangkah masuk ke dalam rumah. Melalui ruang tamu, dan berjalan mendekat menuju ruang tengah.

“Aku pulang!”

Ratu hampir saja berdiri. Maksud hati ingin menyambut Jeffrey dengan sebuah pelukan hangat sepulang kerja. Namun, laki-laki itu lebih dahulu menahan tubuh Ratu, sehingga Ratu kembali terduduk di atas sofa.

“Mau ngapain?” tanya Jeffrey.

Ratu merentangkan kedua tangannya. “Mau peluk!” kata Ratu menjawab pertanyaan Jeffrey.

Kemudian, alih-alih membantu Ratu berdiri, Jeffrey justru memeluk tubuh Ratu dengan satu tangan, sementara tangannya yang satu lagi ia pergunakan untuk menopang tubuhnya pada sandaran sofa, agar ia tidak jatuh menimpa Ratu.

“Enak banget pelukan sama ibu hamil. Mana wanginya nyegerin.” Sontak wajah Ratu menghangat, hingga muncul semburat merah pada pipinya.

“Jangan godain saya, ya. Saya lagi hamil, dan udah punya suami!” kata Ratu seakan-akan Jeffrey adalah orang asing.

“Siapa, sih, suaminya?”

“Ada.”

“Siapa?”

Kemudian tangan Ratu menangkup kedua pipi Jeffrey, dan mengusapnya dengan begitu lembut. “Jeffreyan Aditama. Masnya berani gak lawan dia?”

Jeffrey refleks terkekeh, usai mendengar perkataan Ratu barusan. “Berani, lah!” cetus laki-laki yang kemudian melayangkan begitu banyak kecupan di wajah Ratu itu.

“Mas! Nanti dilihat Budhe Lasih, loh....”

Tapi, seakan tuli, Jeffrey justru semakin nekat. Kini kedua tangannya bertumpu pada sandaran sofa, dan dipagutnya bibir ranum Ratu seketika.

Di bawah cahaya temaram ruangan itu, di tengah-tengah keheningan yang melanda—suara decakan bibir keduanya terbang bersama udara dan kemudian memenuhi seisi ruangan. Tangan Ratu yang semula menangkup kedua pipi Jeffrey, kini mulai merambat ke arah tengkuk laki-laki itu. Tak ingin munafik—Ratu juga sangat mendambakan Jeffrey malam ini.

“Ngh....” Sebuah lenguhan yang berhasil lolos dari bibir Ratu, membuat Jeffrey menghentikan kegiatannya seketika.

Diusapnya sudut bibir Ratu yang sempat menyisakan saliva mereka berdua. “Astaga, aku kelepasan berbuat mesum sama ibu hamil!” kata Jeffrey sok dramatis.

“Gak masalah, ibu hamilnya suka.”

“Kalau suka, berarti boleh dilanjutin?”

Ratu merespons perkataan Jeffrey barusan dengan sebuah anggukan kepala. “Kamu tau jawabannya, bahkan sebelum aku ngangguk-ngangguk begini.”

Benar saja! Jeffrey tergelak dalam hitungan detik, sebelum akhirnya ia menggendong tubuh Ratu di depan—seperti koala. Untuk dapat mengangkat bobot tubuh Ratu yang sekarang ini, Jeffrey termasuk seorang laki-laki yang kuat.

“Berat gak?” tanya Ratu penasaran.

Jeffrey menggeleng singkat, kemudian mengecup ceruk leher Ratu. Kakinya melangkah hati-hati meneju kamar mereka yang tak jauh dari ruang tengah.

“Kenapa harus digendong, padahal aku masih bisa jalan?”

“Kalau kita jalan, kelamaan.”

Selanjutnya Ratu sengaja merapatkan kakinya yang melingkar pada pinggang Jeffrey. Membuat suaminya itu mengerang seketika. “Sumpah, kok, udah keras banget? Takut!”

“Kalau lunak, gak bisa masuk nanti.”

Seperti biasa; Ratu menyesal karena sudah memancing Jeffrey untuk berbicara di saat-saat seperti ini. Maksud hati ingin bergurau namun, justru dijawab dengan kalimat yang kedengarannya begitu kotor seperti barusan.

Ratu menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Jeffrey. Diam-diam ia menghirup sisa-sisa aroma parfum milik Jeffrey dari sana. Harum, dan tidak terlalu menyengat seperti saat perkali disemprotkan pada kerah kemejanya.

Jeffrey berdeham, “Menurut kamu, aku mandi dulu atau gak usah?” tanya Jeffrey dengan nada yang terdengar sedikit serius.

“Gak usah.”

“Kenapa?”

“Ya ... nanti aja sekalian.”

Langkah kaki Jeffrey tiba-tiba saja terhenti, padahal mereka belum sampai di ambang pintu kamar.

“Kok berhenti? Kan, belum sampai kamar,” timpal Ratu.

“Sekalian gimana maksudnya? Mau mandi bareng?”

Ratu menggeleng kemudian. “Mandinya sendiri-sendiri, lah! Tapi—mandinya habis berkeringat bareng.”

Kalimat itu lantas menjadi kalimat penutup percakapan mereka di luar kamar. Pasalnya, detik kemudian Jeffrey langsung berjalan cepat memasuki kamar yang hanya tersisa beberapa langkah lagi dari tempat ia berdiri sebelumnya.

Malam ini keadaan rumah terasa begitu sepi sebab, seisinya kekurangan eksistensi seorang Sabian Aditama—si semata wayang, yang usut punya usut tengah menginap di hotel bersama salah seorang teman barunya.

Ratu duduk termangu di sebuah sofa, depan televisi yang tengah menyala. Bosan. Hanya terdengar suara penyiar berita yang asalnya dari benda besar, nan pipih di hadapannya itu. Sudah hampir keram punggung Ratu lantaran sejak dua jam yang lalu, ia sudah duduk menyendiri di sana. Seperti biasa, di jam-jam Jeffrey pulang kantor seperti ini—Budhe Lasih tentu sudah rebahan di dalam kamarnya dengan damai.

Sebenarnya, ia menunggu Jeffrey bukanlah atas dasar kepekaan dan rasa perhatian sebagai seorang istri, melainkan atas dasar permintaan Jeffrey sendiri untuk.

Katanya melalui telepon, ia ingin ditunggu dan disambut kepulangannya untuk malam ini. Manja sekali, kan? Yah, memang seperti itulah sikap Jeffrey acapkali Bian tak ada di rumah.

Ratu menghela napas panjang tatkala suara mesin mobil milik Jeffrey terdengar dari halaman rumah. Akhirnya laki-laki itu pulang, setelah rasanya ia sudah menunggu sekian lama.

Namun, alih-alih membukakan pintu, Ratu memilih untuk tetap berduduk manis di tempatnya. Bukan karena ia terlalu malas untuk beranjak, melainkan karena ukuran perutnya yang tak lagi kecil itu, cukup membatasi pergerakan Ratu sejak beberapa minggu terakhir.

Tangan Ratu meraih sebuah remot yang letaknya tak jauh darinya. Menekan tombol power untuk mematikan televisi yang sempat ia nyalakan dengan niat meramaikan seisi rumah, namun sia-sia.

Pintu utama terbuka dari luar, dan menimbulkan suara yang memecah keheningan seketika. Mendengar itu, Ratu praktis menoleh ke belakang. Didapatinya sosok laki-laki bertubuh tinggi dengan setelan kemeja yang sudah tak lagi rapi, kelihatannya.

Jeffreyan Aditama. Meski sudah banyak tahun-tahun yang Ratu lalui bersama laki-laki itu dalam pernikahan mereka, namun sampai detik ini Ratu masih saja merasa salah tingkah setiap kali melihat suaminya itu pulang kerja. Maklum, nilai plus Jeffrey memanglah ketampanannya. Belum lagi saat laki-laki itu tersenyum simpul ke arahnya—Ratu refleks menyetuh perutnya yang kini sudah begitu besar.

“Emang boleh ya, Papa kamu se-mantep ini?” kata Ratu lirih pada sang jabang bayi di dalam perut. Sementara ia sibuk mengagumi Jeffrey dalam minimnya pencahayaan ruang tengah, Jeffrey sendiri mulai melangkah masuk ke dalam rumah. Melalui ruang tamu, dan berjalan mendekat menuju ruang tengah.

“Aku pulang!”

Ratu hampir saja berdiri. Maksud hati ingin menyambut Jeffrey dengan sebuah pelukan hangat sepulang kerja. Namun, laki-laki itu lebih dahulu menahan tubuh Ratu, sehingga Ratu kembali terduduk di atas sofa.

“Mau ngapain?” tanya Jeffrey.

Ratu merentangkan kedua tangannya. “Mau peluk!” kata Ratu menjawab pertanyaan Jeffrey.

Kemudian, alih-alih membantu Ratu berdiri, Jeffrey justru memeluk tubuh Ratu dengan satu tangan, sementara tangannya yang satu lagi ia pergunakan untuk menopang tubuhnya pada sandaran sofa, agar ia tidak jatuh menimpa Ratu.

“Enak banget pelukan sama ibu hamil. Mana wanginya nyegerin.” Sontak wajah Ratu menghangat, hingga muncul semburat merah pada pipinya.

“Jangan godain saya, ya. Saya lagi hamil, dan udah punya suami!” kata Ratu seakan-akan Jeffrey adalah orang asing.

“Siapa, sih, suaminya?”

“Ada.”

“Siapa?”

Kemudian tangan Ratu menangkup kedua pipi Jeffrey, dan mengusapnya dengan begitu lembut. “Jeffreyan Aditama. Masnya berani gak lawan dia?”

Jeffrey refleks terkekeh, usai mendengar perkataan Ratu barusan. “Berani, lah!” cetus laki-laki yang kemudian melayangkan begitu banyak kecupan di wajah Ratu itu.

“Mas! Nanti dilihat Budhe Lasih, loh....”

Tapi, seakan tuli, Jeffrey justru semakin nekat. Kini kedua tangannya bertumpu pada sandaran sofa, dan dipagutnya bibir ranum Ratu seketika.

Di bawah cahaya temaram ruangan itu, di tengah-tengah keheningan yang melanda—suara decakan bibir keduanya terbang bersama udara dan kemudian memenuhi seisi ruangan. Tangan Ratu yang semula menangkup kedua pipi Jeffrey, kini mulai merambat ke arah tengkuk laki-laki itu. Tak ingin munafik—Ratu juga sangat mendambakan Jeffrey malam ini.

“Ngh....” Sebuah lenguhan yang berhasil lolos dari bibir Ratu, membuat Jeffrey menghentikan kegiatannya seketika.

Diusapnya sudut bibir Ratu yang sempat menyisakan saliva mereka berdua. “Astaga, aku kelepasan berbuat mesum sama ibu hamil!” kata Jeffrey sok dramatis.

“Gak masalah, ibu hamilnya suka.”

“Kalau suka, berarti boleh dilanjutin?”

Ratu merespons perkataan Jeffrey barusan dengan sebuah anggukan kepala. “Kamu tau jawabannya, bahkan sebelum aku ngangguk-ngangguk begini.”

Benar saja! Jeffrey tergelak dalam hitungan detik, sebelum akhirnya ia menggendong tubuh Ratu di depan—seperti koala. Untuk dapat mengangkat bobot tubuh Ratu yang sekarang ini, Jeffrey termasuk seorang laki-laki yang kuat.

“Berat gak?” tanya Ratu penasaran.

Jeffrey menggeleng singkat, kemudian mengecup ceruk leher Ratu. Kakinya melangkah hati-hati meneju kamar mereka yang tak jauh dari ruang tengah.

“Kenapa harus digendong, padahal aku masih bisa jalan?”

“Kalau kita jalan, kelamaan.”

Selanjutnya Ratu sengaja merapatkan kakinya yang melingkar pada pinggang Jeffrey. Membuat suaminya itu mengerang seketika. “Sumpah, kok, udah keras banget? Takut!”

“Kalau lunak, gak bisa masuk nanti.”

Seperti biasa; Ratu menyesal karena sudah memancing Jeffrey untuk berbicara di saat-saat seperti ini. Maksud hati ingin bergurau namun, justru dijawab dengan kalimat yang kedengarannya begitu kotor seperti barusan.

Ratu menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Jeffrey. Diam-diam ia menghirup sisa-sisa aroma parfum milik Jeffrey dari sana. Harum, dan tidak terlalu menyengat seperti saat perkali disemprotkan pada kerah kemejanya.

Jeffrey berdeham, “Menurut kamu, aku mandi dulu atau gak usah?” tanya Jeffrey dengan nada yang terdengar sedikit serius.

“Gak usah.”

“Kenapa?”

“Ya ... nanti aja sekalian.”

Langkah kaki Jeffrey tiba-tiba saja terhenti, padahal mereka belum sampai di ambang pintu kamar.

“Kok berhenti? Kan, belum sampai kamar,” timpal Ratu.

“Sekalian gimana maksudnya? Mau mandi bareng?”

Ratu menggeleng kemudian. “Mandinya sendiri-sendiri, lah! Tapi—mandinya habis berkeringat bareng.”

Kalimat itu lantas menjadi kalimat penutup percakapan mereka di luar kamar. Pasalnya, detik kemudian Jeffrey langsung berjalan cepat memasuki kamar yang hanya tersisa beberapa langkah lagi dari tempat ia berdiri sebelumnya.

Ratu membuka pintu kamar dan keningnya berkerut seketika. Ternyata ada Jeffrey di balik pintu. Entah kebetulan, atau memang suaminya ini sudah berdiam diri di sana sejak tadi—Ratu juga tidak tahu. Tapi, yang jelas, laki-laki itu kini tengah memamerkan senyum seringainya.

“Jangan ngeliatin aku kaya gitu!” Ratu spontan menyilangkan tangan di depan dadanya.

Tadi, sepulang dari kantor, Jeffrey langsung bergegas untuk mandi dan makan seperti biasanya. Namun, kali ini agaknya ia melakukan kegiatan tersebut dengan menggunakan kekuatan super kilat. Pasalnya cepat sekali.

Seingat Ratu, baru beberapa menit yang lalu ia menuangkan secentong nasi ke atas piring Jeffrey. Lalu, entah bagai mana caranya, saat ini pria itu sudah berdiri di hadapannya.

Ngomong-ngomong, melihat bagaimana Ratu menyilangkan tangannya di depan dada, sukses membuat Jeffrey mendengkus. “Apaan, sih? Emang aku ngeliatinnya kayak gimana?”

“Ya kayak gitu mata kamu. Kayak kucing liat ikan.”

Lantas Jeffrey memejamkan kedua matanya rapat-rapat sembari berjalan, menerobos masuk ke dalam kamar, dan melewati tubuh Ratu begitu saja.

“Tumben gak nyalain AC, Ra? Gerah!”

Alih-alih merespon perkataan Jeffrey, Ratu justru berjalan ke luar pintu kamar. Toleh kanan, lalu toleh kiri, yang ia lakukan. Mencari-cari eksistensi sang anak yang kebetulan nihil.

Jeffrey yang merasa terabaikan, tentu refleks memutar tubuhnya. Kembali menatap Ratu yang masih setia berdiri di depan pintu kamar tersebut. “Cari siapa?” tanya Jeffrey penasaran.

“Bian.”

“Gak ada di bawah. Kayaknya udah masuk ke kamar. Udah jam sembilan, kan, ini.”

Mendengar itu, barulah Ratu masuk dan mengunci pintu kamar dari dalam.

“Kamu tadi bilang gerah, ya?” tanya Ratu, berniat merespon perkataan Jeffrey beberapa saat lalu, meski sudah sangat terlambat.

“Iya!”

“Ya udah, nyalain aja AC-nya.”

Lalu, tanpa menimpali perkataan Ratu lagi, Jeffrey langsung meraih remot AC yang berada di dekatnya. Ia masih sibuk mengatur suhu yang pas, sewaktu berjalan menuju ranjang.

“Jadi gimana cara main truth or dare yang kamu sama Yudhis maksud itu, Ra?” tanya Jeffrey.

Sengaja ia lempar sebuah remot AC yang semula ia genggam itu, ke sembarang arah. Peduli setan dengan remot AC, Jeffrey ingin langsung memeluk tubuh Ratu, dan menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Ratu seperti saat ini.

Harum. Aroma citrus menyeruak, masuk ke dalam indera peniumannya seketika.

Kalau boleh jujur, kadang ada kalanya Jeffrey ingin seumur hidupnya berada di jarak sedekat ini dengan Ratu. Tanpa bekerja, tanpa kesibukan. Hanya tenggelam dalam pelukan hangat Ratu selamanya.

Bucin? Memang.

“Kayak main truth or dare biasa, Mas. Tapi, yang mau kita mainin sekarang ini, pertanyaan sama tantangannya berhubungan sama kegiatan seks.”

Kedua mata Jeffrey membola seketika. Ia spontan melepas sebuah pelukan hangat yang baru saja ia mulai beberapa saat lalu. Seumur-umur, ia baru mengetahui kalau ada permainan se-ekstrem ini.

Namun, setelah itu, Jeffrey menarik sudut bibirnya ke atas. Ia seakan baru saja mendapat wangsit kalau-kalau hari ini ia akan melewati malam yang panjang bersama Ratu. Jeffrey merasa sangat amat siap.

“Oh iya, ada rulesnya. Dilarang menyentuh lawan sampai permainan selasai, dilarang tutup mata waktu lawan ngelakuin tantangannya, dilarang berhenti di tengah-tengah permainan, dan dilarang kasih tantangan yang harus dilakuin di luar pintu kamar!” kata Ratu menimpali perkataannya sendiri. Membuat senyum Jeffrey sirna seketika.

“Kenapa?” tanya Jeffrey dengan nada tak terima. “Kenapa harus ada rulesnya?”

“Karena ini permainan....”

Kemudian, dengan tampang memelas—Jeffrey membaringkan tubuhnya dengan kasar. “Gak jadi main, ah, Ra. Gak seru.”

Ratu menghela napas panjang. “Padahal kamu bisa loh, kasih aku tantangan yang agak ekstrem,” katanya, kemudian berlagak kecewa dan memunggungi Jeffrey yang tengah berbaring. “Tapi ya udah kalau gak ma—.”

“Mau, deh! AKU MAU, AYO CEPETAN!”

Sontak Ratu tergelak bukan main. Jeffrey ini memang sangat mudah dimanipulasi.

Namun, di tengah gelak tawa Ratu, tiba-tiba saja ada hal yang membuat bibir Ratu kembali terkatup. Jeffrey, secara sukarela melucuti pakaian yang ia kenakan, hingga hanya tersisa celana dalam saja.

“Apaan sih? Belum-belum udah lepas baju aja?!” seru Ratu lantaran tak habis pikir.

“Satu lagi rulesnya—tambahan dari aku.”

Ratu menatap bingung ke arah Jeffrey. Menunggu, kira-kira ide konyol seperti apa yang akan keluar dari bibir suaminya itu.

“Kita main truth or darenya sambil naked.”

“GILA?”

“Kenapa?”

“Malu, Mas!”

Jeffrey praktis tergelak bukan main, sebelum akhirnya berjalan setengah memutari ranjang, dan berdiri tepat di hadapan Ratu. “Biasa aja, lah, Ra. Dari sini,” telunjuk Jeffrey yang semula mendarat di atas kening Ratu, perlahan turun hingga ke ujung kaki, “sampai sini—gak ada yang belum pernah aku liat sebelumnya, Ra.”

“Tapi dingin, Mas....”

Jeffrey lekas menyambar sebuah remot AC yang beberapa saat lalu, baru saja ia lempar sembarangan. “Pertama-tama, kita matiin dulu AC-nya,” kata Jeffrey yang kemudian benar-benar menekan tombol power pada remot tersebut. Membuat AC dalam kamar mereka mati seketika.

Setelah itu, keduanya sempat terjebak dalam keheningan, sampai Ratu menyadari bahwa Jeffrey tengah membantunya melepas pakaiannya. Dengan penuh hati-hati Jeffrey itu. Takut kalau-kalau tanpa sengaja menekan kandungan Ratu. Hanya perlu sekali tarikan, kedua gundukan pada dada Ratu yang masih terbungkus oleh bra terpampang di hadapannya secaranya nyata.

“Celananya mau aku yang lepasin juga?”

Mendengar itu, Ratu tersipu malu sampai muncul semburat kemerahan pada kedua pipinya. “Gak usah ... aku bisa sendiri.”

“Yakin?”

“Iya!”

“Padahal aku mau bantuin.”

“Aku bilang gak usah!!”

Ratu beranjak dari atas ranjang, untuk melepas celananya. Menyisakan celana dalam—sama seperti Jeffrey, juga sebuah bra tanpa tali yang membungkus kedua gundukan kembarnya.

Di depannya ada Jeffrey yang juga sama-sama tengah berdiri. Menatapnya kagum, dengan kedua bola mata yang berbinar.

Jeffrey hanya tersenyum, sementara Ratu sendiri sudah tahu perihal apa yang tengah suaminya itu pikirkan. Perut bundar karena tengah mengandung anak kedua mereka, dada yang semakin besar, serta permukaan kulitnya yang justru semakin halus dan cerah semenjak ia hamil. Tentu saja Ratu mengetahui semua hal tersebut. Pasalnya Jeffrey sendiri yang pernah mengatakan padanya. Jeffrey bahkan mengatakan kalau birahinya jauh lebih semena-mena datang semenjak Ratu kembali hamil.

Meski begitu, Ratu rasanya enggan membuang-buang waktu dengan kembali membahas hal tersebut dengan Jeffrey. Ia lebih memilih untuk berjalan menuju meja rias untuk mengambil sebuah botol parfum kosong yang terbuat dari kaca di seberang ranjang mereka.

“Buat apa?” tanya Jeffrey.

Ratu kemudian duduk begitu saja di atas lantai kamar mereka yang dingin. Diletakkannya botol parfum kosong tersebut, tepat di depan tempat ia berduduk manis. “Buat nentuin siapa yang dapet truth or dare duluan.”

“Oh, gitu.”

“Sini, Mas, duduk di depan aku.”

Jeffrey manut-manut saja. Ia ikut duduk di atas lantai tanpa sebuah alas apapun. Bokongnya nyaris kedinginan kalau-kalau ia tak memakai celana dalam saat ini. Sementara Ratu, tampaknya senang-senang saja, dan justru tengah mengsam-mengsem menatap ke arah Jeffrey.

“Aku puter sekarang, ya?” tanya Ratu memastikan, dan langsung dihadiahi anggukan kepala oleh Jeffrey.

Kemudian, botol itu berputar dengan sangat cepat. Mengarah pada Ratu dan Jeffrey secara bergantian. Sampai saat di mana kekuatan berputarnya mulai melemah, Ratu merasakan degup jantungnya yang justru meningkat.

Dan, ya, botol tersebut menunjuk Jeffrey sebagai pemain pertama. Tetapi alih-alih merasa cemas Jeffrey justru semakin bersemangat.

“Oke, kamu pilih truth or dare, Mas?”

Truth dulu, buat pemanasan,” sahut Jeffrey.

Ratu menatap lurus ke arah mata Jeffrey, hingga kedua pasang pupil mata mereka saling bertemu. “Nih, ya, dalam hubungan seks, gaya apa yang paling kamu suka, dan yang paling gak kamu suka?”

Jeffrey seketika mengangkat sebelah alisnya. “Wow?”

“Kenapa?”

“Aku gak nyangka kalau pernyataan pertama yang keluar, bakal kayak gini.”

Mendengar perkataan itu, Ratu hampir lupa caranya bernapas. Dalam benaknya, Ratu merasa kalau ini mungkin berlebihan bagi Jeffrey. Tapi kenyataannya ia salah.

“Aku suka sama pertanyaan,” timpal Jeffrey, membuat Ratu tak percaya.

“Jadi, jawabannya apa?”

“Aku paling suka lihat wajah kamu. Jadi apapun gayanya, asalkan itu bisa ngelihat wajah kamu dengan jelas, aku suka. Soalnya kamu seksi banget kalau lagi—.”

Stop, stop! Jawabnya tuh yang ditanyain aja!” kata Ratu, sengaja memotong perkataan Jeffrey.

Sontak Jeffrey terbahak. “Nah! Kalau gaya yang paling aku gak suka itu kebalikannya. Enam sembilan, doggy style—kecuali kalau doggy stylenya di depan kaca, sambil lihat pantulan wajah kamu. Pokoknya semua gaya yang gak bisa lihat wajah kamu, aku gak suka.”

Ingin sekali rasanya Ratu tenggelam di lautan usai mendengar bagaimana lancarnya penuturan Jeffrey mengenai hal sekotor ini. Ya, meski begitu, dalam benak Ratu juga muncul perasaan senang, karena secara tidak langsung Jeffrey tengah mengakui bahwa wajahnya begitu sedap dipandang.

“Sekarang giliran kamu yang puter botolnya, Mas.”

Selanjutnya, botol parfum di hadapan mereka kembali berputar.

“Kenapa aku lagi yang kena?!”

Ratu mengedikkan bahunya. “Karena tadi udah truth, sekarang harus dare,” cetus Ratu yang sengaja mengakal-akali Jeffrey.

“Emang ada aturan kayak gitu?”

“Ada. Hidup itu harus seimbang.”

“Ya, udah. Apa tantangannya?”

“Buat suara yang kayak biasa kamu keluarin pas kamu mau orgasme.” Jeffrey mendelik tak percaya, “Maksudnya? Aku gak bisa, kecuali kalau kamu mau kita ngeseks sekarang juga.”

“Kamu lupa? Dilarang menyentuh lawan sampai permainan selasai, dilarang tutup mata, dilarang berhenti di tengah-tengah permainan, dan dilarang kasih tantangan yang harus dilakuin di luar pintu kamar!!”

“Ya, aku gak bisa, Ra.”

“Bisa. Kamu tinggal tutup mata, dan bayangin kalau kita berdua lagi having sex.”

Ratu menatap wajah Jeffrey, sementara kini seluruh perhatian Jeffrey jatuh pada tubuhnya. Dalam diam, Jeffrey mengikuti interupsi Ratu. Dalam diam, ia membayangkan tatkala tangannya meremas kedua payudara Ratu secara bergantian. Dalam diam, ia membayangkan bagaimana gilanya malam-malam panjang yang pernah mereka lewati berdua. Dan, dalam diam, Jeffrey membayangkan dirinya hampir menyentuh puncak orgasmenya bersama Ratu.

Berhasil!

“Shhh....” Kedua tangan Jeffrey refleks menopang tubuhnya sendiri, dalam posisi duduk. “Ahh....” Jeffrey membuka kedua pahanya lebar-lebar di hadapan Ratu.

Rahangnya mengeras dan matanya kini mulai terpejam. Ada yang mengeras di balik celana dalamnya. Gila. Hanya dengan membayangkan tengah bercinta bersama Ratu, Jeffrey bisa sampai sefrustasi ini. Pikirannya kini dipenuhi oleh adegan-adegan panas antara mereka berdua, yang ia karang sendiri.

Sementara Jeffrey masih terus mengerang di hadapannya, Ratu tanpa sadar menyentuh miliknya sendiri menggunakan tangannya. Ia ikut terbawa suasana, lantaran melihat aksi Jeffrey.

“Ahh ... Ra!”

“Ekhm! Udah cukup, Mas.”

Jeffrey menghentikan suara, imajinasi, dan kegiatannya seketika. Wajahnya masih memerah, dan sesuatu di antara kedua pahanya yang telanjang itu tampaknya masih begitu ereksi. Membuatnya duduk dengan perasaan kurang nyaman.

“Udah aja, lah. Gak kuat aku!” ketus Jeffrey, putus asa.

“Nanti dulu! Siapa tau, abis ini giliran aku?”

“Aku bakal suruh kamu bener-bener naked di depan aku. Liat aja.”

Lalu, tanpa diberi aba-aba, Jeffrey kembali memutar botol parfum di tangannya sekuat tenaga. Siapa sangka bahwa dalam benaknya Jeffrey terus merapalkan doa agar kali ini Ratu yang terpilih oleh alam.

Dan, benar saja! Tatkala botol itu berhenti berputar, bagian paling ujungnya mengarah pada Ratu.

Ratu terkekeh, “Kamu abis berdoa, ya?”

“Iya, lah!”

“Aku pilih truth, Mas.”

Dare aja!”

Truth!

Bibir Jeffrey sontak mengerucut ke depan. Padahal, kalau saja Ratu memilih diberi tantangan, ia akan meminta Ratu menanggalkan sisa kain yang melekat di tubuhnya. Namun, nahas. Ratu tetap pada pendiriannya, dan memilih untuk berkata jujur.

“Ya udah, jawab pertanyaan ini—.”

“Apa?”

“Kalau kita lagi ngelakuin 'hal itu' ... apa kegiatan yang paling kamu suka?”

Ratu menggeleng, “Gak bisa jawab, ada banyak.”

“Yang paling-paling.”

Ratu merasakan lidahnya kelu seketika. “A-aku suka pas kamu fingering,” kata Ratu yang terdengar sangat lirih di akhir kalimatnya.

“Apa?”

Fingering!”

Jeffrey batuk-batuk seketika. “WOAHH?!”

“DIEM!”

Bukannya diam, Jeffrey justru semakin cengangas-cengenges untuk menggoda Ratu. Sampai-sampai Ratu dibuat kesal oleh tampang jenakanya itu. Tapi, untungnya Ratu tak ambil pusing. Ia lebih memilih untuk melanjutkan permainan dengan langsung memutar botol parfum di depannya, tanpa menunggu Jeffrey berhenti meledeknya terlebih dahulu.

Sial!

Selepas putaran botol itu terhenti, gelak tawa Jeffrey menjadi pecah.

Wajar saja. Pasalnya botol itu lagi-lagi menunjuk Ratu sebagai korbannya. Dan, yang lebih nahasnya lagi, Ratu sudah tahu jelas tantangan ekstrem seperti apa yang akan Jeffrey berikan.

“Lepasin semua, Ra.” Nah, kan! Bagaikan peribahasa 'pucuk dicinta, ulam pun tiba'. Sesuatu yang sudah Jeffrey nanti-nanti sejak awal permainan, akhirnya terjadi.

Mau tidak mau, suka tidak suka, Ratu harus melepas seluruh pakaian dalamnya di hadapan Jeffrey.

“Salah satu aja, ah,” kata Ratu yang merasa keberatan.

“Gak, Ra. Harus yang itu—” Jeffrey menunjuk ke arah dada Ratu, dan ke arah bagian bawah Ratu. “sama yang itu.”

Melihat respon Jeffrey yang sepertinya akan sulit untuk diajak kompromi—Ratu memutuskan untuk pasrah, dan benar-benar melucuti pakaian dalamnya sendiri, tepat di hadapan Jeffrey.

Kedua buah dada Ratu praktis mencuat tatkala bagian pengait pada bra yang tengah ia kenakan itu terlepas. Dan, begitu pula dengan celana dalamnya. Milik Ratu yang satu itu tentu saja terekspos secaranya nyata, dan membuat darah Jeffrey berdesir seketika. Jeffrey sontak menyunggingkan senyumnya. Ia merasa seakan menang telak dalam permainan ini.

Namun, sayang sekali. Rupanya Ratu ingin sesi permainan itu diperpanang karena skor mereka masih seimbang.

“Satu kali lagi, Mas. Satu kali lagi, dan cuman bisa pilih dare!”

Mendengar itu, Jeffrey tersenyum culas. “Oke, siapa takut?”

Lantas, dengan begitu percaya dirinya, Ratu lagi-lagi memutar botol tersebut, untuk yang terakhir kalinya. Tapi, sepertinya alam jauh lebih memihak pada Jeffrey malam ini. Ratu kembali terpilih, dan siap terperangkap dalam aturan yang ia ciptakan sendiri, tentunya.

“IH?” Ratu mengusap wajahnya dengan kasar. “Mas, jangan yang aneh-aneh darenya!” pintanya yang lebih cenderung memaksa.

“Gak aneh, kok....” Jeffrey terkekeh.

“Apa?”

Jeffrey tanpa sadar menggigit bibir bawahnya, seraya menatap Ratu dan sekujur tubuhnya yang sudah tak terbalut kain apapun. “Sama kayak dare aku sebelumnya, tapi ini sedikit lebih susah, Ra,” kata Jeffrey, kemudian mengacungkan jari telunjuk, serta jari tengahnya bersamaan. “Lakuin hal yang paling kamu suka dalam seks kita, pakai jari kamu sendiri, dan sambil bayangin kalau kamu lagi having sex sama aku.”

Ratu membeku di tempat. Muncul sedikit perasaan menyesal lantaran sempat memberi Jeffrey tantangan yang tidak-tidak beberapa saat lalu. Tapi, ia pikir, yang namanya hukum karma dan balas dendam dalam permainan seperti ini agaknya memang sangat sulit dihindari.

Ratu menggigit bagian dalam pipinya, dan menghindari bertemu tatap dengan Jeffrey tatkala ia mulai membuka kedua pahanya.

Tangan yang semula mengepal karena ragu itu, kini mulai menjalar, menuju satu titik di bawah perutnya.

“A-aku harus lakuin berapa lama?”

“Sampai orgasme.”

“HAH?!”

Jeffrey menaikan sebelah alisnya. “Semakin cepet kamu mulai, itu berarti akan semakin cepet selesainya, Ra.”

Ratu mendengkus. Bukannya respon seperti itu terlalu kejam untuk seorang ibu hamil?

Ratu mulai merasa kalau permainan ini sangat menyusahkan dan sama sekali tidak asyik!

“Ayo, nungguin apa?”

“Iya, iya!

Untuk beberapa saat Ratu masih sibuk merenungkan perihal apa saja yang harus ia lakukan untuk mencapai puncak orgasmenya menggunakan tangannya sendiri. Sementara Jeffrey yang tak jauh dari tempat Ratu, tengah menyipitkan kedua matanya demi memastikan apakah Ratu melakukan tantangan ini dengan benar atau tidak.

“Kakinya kurang lebar itu, Ra.”

Ratu mengikuti interupsi Jeffrey kali ini, dan perlahan-lahan membenamkan jari telunjuknya di bawah sana.

“Iya, tambahin satu jari lagi. Mana ada rasanya kalau cuman segitu.”

“Sebentar, sempit!”

“Ya, emang gitu. Itu yang aku rasain,” cetus Jeffrey secara terang-terangan.

Mendengar perkataan tak senonoh yang baru saja keluar dari mulut Jeffrey itu, membuat wajah Ratu memanas. Ia malu. Semakin malu karena ditatap Jeffrey dari dekat saat tengah melakukan hal ini.

“Udah?”

Ratu mengangguk. “Eungh ... terus abis ini harus apa?” tanya Ratu, berharap diberi arahan lagi oleh Jeffrey.

“Gerakin jari kamu yang di dalam sana.”

“Ahh ... Mas....” Ratu semakin terbiasa dan menikmati apa yang tengah ia lakukan tanpa mengindahkan eksistensi Jeffrey sama sekali.

Ia pikir sebentar lagi tantangan konyol ini akan segera berakahir. Namun, belum sempat Ratu mengalami orgasme, Jeffrey lebih dulu mengangkat tubuhnya. Membawanya ke atas ranjang dengan deru napas yang tak karuan.

Jeffrey menyerah pada nafsunya.

Bibirnya langsung mendarat di atas bibir Ratu saat punggung Ratu baru saja menyentuh ranjang. Mencumbu Ratu dengan sedikit kasar, dan menggebu-gebu.

Lalu, dilumatnya setiap inci bibir ranum itu, sembari tetap fokus menopang tubuhnya dengan kedua tangan agar tidak jatuh di atas tubuh Ratu.

Perlahan, tapi pasti ciuman itu beranjak. Menuju sepasang gundukan kembar milik Ratu, tanpa meminta izin terlebih dahulu. Kanan, dan kiri. Jeffrey menghisapnya secara bergantian sampai kedua puting Ratu mulai mengeras. Sementara itu, sang empunya tak mampu melakukan apapun selain mengerang di bawah kukungan Jeffrey.

Ratu banyak sekali melenguh, dan menggeliat. Membuat Jeffrey semakin panas.

Dan, tanpa memberi aba-aba sedikitpun—Jeffrey meloloskan kedua jarinya di bawah sana. Ibu jarinya sengaja menekan sebuah daging yang timbul. Memijitnya perlahan-lahan dengan permukaan ibu jarinya yang memberikan sensasi hangat.

Mata Ratu yang sebelumnya sempat terpejam, kini terbuka perlahan. Dan, di saat yang bersamaan, Jeffrey mengangkat kepalanya. Membuat mereka berdua saling bertukar tatapan tanpa mengatakan hal apapun.

Jeffrey semakin menggerakan ibu jarinya ke atas, kemudian ke bawah—sembari terus menatap Ratu, sebelum akhirnya kembali menghisap sepasang gundukan kembar milik Ratu dengan serakah.

“Mas!” pekik Ratu saat kedua jari Jeffrey yang berada di dalamnya juga ikut bergerak semakin cepat dan tak beraturan.

Mulut Ratu setengah terbuka, untuk meloloskan sebuah desahan yang Jeffrey ciptakan dari tiap-tiap sentuhannya.

Sampai, tiba saatnya Ratu merasakan sensasi tubuhnya seakan ikut diputar, bersamaan dengan kedua jari Jeffrey yang membuat gerakan berputar di dalam intinya.

Peluh Ratu bercucuran, deru napasnya juga tak karuan. Dan, detik selanjutnya tubuh Ratu praktis melengkung ke atas tatkala ia mencapai puncaknya. Ratu gemetar, dengan tangan yang refleks menarik rambut di kepala Jeffrey kuat-kuat.

Ia orgasme hanya dalam beberapa menit.

Ratu mengatur napasnya yang sempat tersendat beberapa saat lalu, dan melepas cengkramannya pada rambut Jeffrey seketika.

“Besok ajak aku main truth or dare lagi, ya, Ra,” bisik Jeffrey, sebelum menarik jemarinya.

Lantas Ratu mendelik “Males! Gak akan lagi!”

—fin—

Ratu membuka pintu kamar dan keningnya berkerut seketika. Ternyata ada Jeffrey di balik pintu. Entah kebetulan, atau memang suaminya ini sudah berdiam diri di sana sejak tadi—Ratu juga tidak tahu. Tapi, yang jelas, laki-laki itu kini tengah memamerkan senyum seringainya.

“Jangan ngeliatin aku kaya gitu!” Ratu spontan menyilangkan tangan di depan dadanya.

Tadi, sepulang dari kantor, Jeffrey langsung bergegas untuk mandi dan makan seperti biasanya. Namun, kali ini agaknya ia melakukan kegiatan tersebut dengan menggunakan kekuatan super kilat. Pasalnya cepat sekali.

Seingat Ratu, baru beberapa menit yang lalu ia menuangkan secentong nasi ke atas piring Jeffrey. Lalu, entah bagai mana caranya, saat ini pria itu sudah berdiri di hadapannya.

Ngomong-ngomong, melihat bagaimana Ratu menyilangkan tangannya di depan dada, sukses membuat Jeffrey mendengkus. “Apaan, sih? Emang aku ngeliatinnya kayak gimana?”

“Ya kayak gitu mata kamu. Kayak kucing liat ikan.”

Lantas Jeffrey memejamkan kedua matanya rapat-rapat sembari berjalan, menerobos masuk ke dalam kamar, dan melewati tubuh Ratu begitu saja.

“Tumben gak nyalain AC, Ra? Gerah!”

Alih-alih merespon perkataan Jeffrey, Ratu justru berjalan ke luar pintu kamar. Toleh kanan, lalu toleh kiri, yang ia lakukan. Mencari-cari eksistensi sang anak yang kebetulan nihil.

Jeffrey yang merasa terabaikan, tentu refleks memutar tubuhnya. Kembali menatap Ratu yang masih setia berdiri di depan pintu kamar tersebut. “Cari siapa?” tanya Jeffrey penasaran.

“Bian.”

“Gak ada di bawah. Kayaknya udah masuk ke kamar. Udah jam sembilan, kan, ini.”

Mendengar itu, barulah Ratu masuk dan mengunci pintu kamar dari dalam.

“Kamu tadi bilang gerah, ya?” tanya Ratu, berniat merespon perkataan Jeffrey beberapa saat lalu, meski sudah sangat terlambat.

“Iya!”

“Ya udah, nyalain aja AC-nya.”

Lalu, tanpa menimpali perkataan Ratu lagi, Jeffrey langsung meraih remot AC yang berada di dekatnya. Ia masih sibuk mengatur suhu yang pas, sewaktu berjalan menuju ranjang.

“Jadi gimana cara main truth or dare yang kamu sama Yudhis maksud itu, Ra?” tanya Jeffrey.

Sengaja ia lempar sebuah remot AC yang semula ia genggam itu, ke sembarang arah. Peduli setan dengan remot AC, Jeffrey ingin langsung memeluk tubuh Ratu, dan menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Ratu seperti saat ini.

Harum. Aroma citrus menyeruak, masuk ke dalam indera peniumannya seketika.

Kalau boleh jujur, kadang ada kalanya Jeffrey ingin seumur hidupnya berada di jarak sedekat ini dengan Ratu. Tanpa bekerja, tanpa kesibukan. Hanya tenggelam dalam pelukan hangat Ratu selamanya.

Bucin? Memang.

“Kayak main truth or dare biasa, Mas. Tapi, yang mau kita mainin sekarang ini, pertanyaan sama tantangannya berhubungan sama kegiatan seks.”

Kedua mata Jeffrey membola seketika. Ia spontan melepas sebuah pelukan hangat yang baru saja ia mulai beberapa saat lalu. Seumur-umur, ia baru mengetahui kalau ada permainan se-ekstrem ini.

Namun, setelah itu, Jeffrey menarik sudut bibirnya ke atas. Ia seakan baru saja mendapat wangsit kalau-kalau hari ini ia akan melewati malam yang panjang bersama Ratu. Jeffrey merasa sangat amat siap.

“Oh iya, ada rulesnya. Dilarang menyentuh lawan sampai permainan selasai, dilarang tutup mata waktu lawan ngelakuin tantangannya, dilarang berhenti di tengah-tengah permainan, dan dilarang kasih tantangan yang harus dilakuin di luar pintu kamar!” kata Ratu menimpali perkataannya sendiri. Membuat senyum Jeffrey sirna seketika.

“Kenapa?” tanya Jeffrey dengan nada tak terima. “Kenapa harus ada rulesnya?”

“Karena ini permainan....”

Kemudian, dengan tampang memelas—Jeffrey membaringkan tubuhnya dengan kasar. “Gak jadi main, ah, Ra. Gak seru.”

Ratu menghela napas panjang. “Padahal kamu bisa loh, kasih aku tantangan yang agak ekstrem,” katanya, kemudian berlagak kecewa dan memunggungi Jeffrey yang tengah berbaring. “Tapi ya udah kalau gak ma—.”

“Mau, deh! AKU MAU, AYO CEPETAN!”

Sontak Ratu tergelak bukan main. Jeffrey ini memang sangat mudah dimanipulasi.

Namun, di tengah gelak tawa Ratu, tiba-tiba saja ada hal yang membuat bibir Ratu kembali terkatup. Jeffrey, secara sukarela melucuti pakaian yang ia kenakan, hingga hanya tersisa celana dalam saja.

“Apaan sih? Belum-belum udah lepas baju aja?!” seru Ratu lantaran tak habis pikir.

“Satu lagi rulesnya—tambahan dari aku.”

Ratu menatap bingung ke arah Jeffrey. Menunggu, kira-kira ide konyol seperti apa yang akan keluar dari bibir suaminya itu.

“Kita main truth or darenya sambil naked.”

“GILA?”

“Kenapa?”

“Malu, Mas!”

Jeffrey praktis tergelak bukan main, sebelum akhirnya berjalan setengah memutari ranjang, dan berdiri tepat di hadapan Ratu. “Biasa aja, lah, Ra. Dari sini,” telunjuk Jeffrey yang semula mendarat di atas kening Ratu, perlahan turun hingga ke ujung kaki, “sampai sini—gak ada yang belum pernah aku liat sebelumnya, Ra.”

“Tapi dingin, Mas....”

Jeffrey lekas menyambar sebuah remot AC yang beberapa saat lalu, baru saja ia lempar sembarangan. “Pertama-tama, kita matiin dulu AC-nya,” kata Jeffrey yang kemudian benar-benar menekan tombol power pada remot tersebut. Membuat AC dalam kamar mereka mati seketika.

Setelah itu, keduanya sempat terjebak dalam keheningan, sampai Ratu menyadari bahwa Jeffrey tengah membantunya melepas pakaiannya. Dengan penuh hati-hati Jeffrey itu. Takut kalau-kalau tanpa sengaja menekan kandungan Ratu. Hanya perlu sekali tarikan, kedua gundukan pada dada Ratu yang masih terbungkus oleh bra terpampang di hadapannya secaranya nyata.

“Celananya mau aku yang lepasin juga?”

Mendengar itu, Ratu tersipu malu sampai muncul semburat kemerahan pada kedua pipinya. “Gak usah ... aku bisa sendiri.”

“Yakin?”

“Iya!”

“Padahal aku mau bantuin.”

“Aku bilang gak usah!!”

Ratu beranjak dari atas ranjang, untuk melepas celananya. Menyisakan celana dalam—sama seperti Jeffrey, juga sebuah bra tanpa tali yang membungkus kedua gundukan kembarnya.

Di depannya ada Jeffrey yang juga sama-sama tengah berdiri. Menatapnya kagum, dengan kedua bola mata yang berbinar.

Jeffrey hanya tersenyum, sementara Ratu sendiri sudah tahu perihal apa yang tengah suaminya itu pikirkan. Perut bundar karena tengah mengandung anak kedua mereka, dada yang semakin besar, serta permukaan kulitnya yang justru semakin halus dan cerah semenjak ia hamil. Tentu saja Ratu mengetahui semua hal tersebut. Pasalnya Jeffrey sendiri yang pernah mengatakan padanya. Jeffrey bahkan mengatakan kalau birahinya jauh lebih semena-mena datang semenjak Ratu kembali hamil.

Meski begitu, Ratu rasanya enggan membuang-buang waktu dengan kembali membahas hal tersebut dengan Jeffrey. Ia lebih memilih untuk berjalan menuju meja rias untuk mengambil sebuah botol parfum kosong yang terbuat dari kaca di seberang ranjang mereka.

“Buat apa?” tanya Jeffrey.

Ratu kemudian duduk begitu saja di atas lantai kamar mereka yang dingin. Diletakkannya botol parfum kosong tersebut, tepat di depan tempat ia berduduk manis. “Buat nentuin siapa yang dapet truth or dare duluan.”

“Oh, gitu.”

“Sini, Mas, duduk di depan aku.”

Jeffrey manut-manut saja. Ia ikut duduk di atas lantai tanpa sebuah alas apapun. Bokongnya nyaris kedinginan kalau-kalau ia tak memakai celana dalam saat ini. Sementara Ratu, tampaknya senang-senang saja, dan justru tengah mengsam-mengsem menatap ke arah Jeffrey.

“Aku puter sekarang, ya?” tanya Ratu memastikan, dan langsung dihadiahi anggukan kepala oleh Jeffrey.

Kemudian, botol itu berputar dengan sangat cepat. Mengarah pada Ratu dan Jeffrey secara bergantian. Sampai saat di mana kekuatan berputarnya mulai melemah, Ratu merasakan degup jantungnya yang justru meningkat.

Dan, ya, botol tersebut menunjuk Jeffrey sebagai pemain pertama. Tetapi alih-alih merasa cemas Jeffrey justru semakin bersemangat.

“Oke, kamu pilih truth or dare, Mas?”

Truth dulu, buat pemanasan,” sahut Jeffrey.

Ratu menatap lurus ke arah mata Jeffrey, hingga kedua pasang pupil mata mereka saling bertemu. “Nih, ya, dalam hubungan seks, gaya apa yang paling kamu suka, dan yang paling gak kamu suka?”

Jeffrey seketika mengangkat sebelah alisnya. “Wow?”

“Kenapa?”

“Aku gak nyangka kalau pernyataan pertama yang keluar, bakal kayak gini.”

Mendengar perkataan itu, Ratu hampir lupa caranya bernapas. Dalam benaknya, Ratu merasa kalau ini mungkin berlebihan bagi Jeffrey. Tapi kenyataannya ia salah.

“Aku suka sama pertanyaan,” timpal Jeffrey, membuat Ratu tak percaya.

“Jadi, jawabannya apa?”

“Aku paling suka lihat wajah kamu. Jadi apapun gayanya, asalkan itu bisa ngelihat wajah kamu dengan jelas, aku suka. Soalnya kamu seksi banget kalau lagi—.”

Stop, stop! Jawabnya tuh yang ditanyain aja!” kata Ratu, sengaja memotong perkataan Jeffrey.

Sontak Jeffrey terbahak. “Nah! Kalau gaya yang paling aku gak suka itu kebalikannya. Enam sembilan, doggy style—kecuali kalau doggy stylenya di depan kaca, sambil lihat pantulan wajah kamu. Pokoknya semua gaya yang gak bisa lihat wajah kamu, aku gak suka.”

Ingin sekali rasanya Ratu tenggelam di lautan usai mendengar bagaimana lancarnya penuturan Jeffrey mengenai hal sekotor ini. Ya, meski begitu, dalam benak Ratu juga muncul perasaan senang, karena secara tidak langsung Jeffrey tengah mengakui bahwa wajahnya begitu sedap dipandang.

“Sekarang giliran kamu yang puter botolnya, Mas.”

Selanjutnya, botol parfum di hadapan mereka kembali berputar.

“Kenapa aku lagi yang kena?!”

Ratu mengedikkan bahunya. “Karena tadi udah truth, sekarang harus dare,” cetus Ratu yang sengaja mengakal-akali Jeffrey.

“Emang ada aturan kayak gitu?”

“Ada. Hidup itu harus seimbang.”

“Ya, udah. Apa tantangannya?”

“Buat suara yang kayak biasa kamu keluarin pas kamu mau orgasme.” Jeffrey mendelik tak percaya, “Maksudnya? Aku gak bisa, kecuali kalau kamu mau kita ngeseks sekarang juga.”

“Kamu lupa? Dilarang menyentuh lawan sampai permainan selasai, dilarang tutup mata, dilarang berhenti di tengah-tengah permainan, dan dilarang kasih tantangan yang harus dilakuin di luar pintu kamar!!”

“Ya, aku gak bisa, Ra.”

“Bisa. Kamu tinggal tutup mata, dan bayangin kalau kita berdua lagi having sex.”

Ratu menatap wajah Jeffrey, sementara kini seluruh perhatian Jeffrey jatuh pada tubuhnya. Dalam diam, Jeffrey mengikuti interupsi Ratu. Dalam diam, ia membayangkan tatkala tangannya meremas kedua payudara Ratu secara bergantian. Dalam diam, ia membayangkan bagaimana gilanya malam-malam panjang yang pernah mereka lewati berdua. Dan, dalam diam, Jeffrey membayangkan dirinya hampir menyentuh puncak orgasmenya bersama Ratu.

Berhasil!

“Shhh....” Kedua tangan Jeffrey refleks menopang tubuhnya sendiri, dalam posisi duduk. “Ahh....” Jeffrey membuka kedua pahanya lebar-lebar di hadapan Ratu.

Rahangnya mengeras dan matanya kini mulai terpejam. Ada yang mengeras di balik celana dalamnya. Gila. Hanya dengan membayangkan tengah bercinta bersama Ratu, Jeffrey bisa sampai sefrustasi ini. Pikirannya kini dipenuhi oleh adegan-adegan panas antara mereka berdua, yang ia karang sendiri.

Sementara Jeffrey masih terus mengerang di hadapannya, Ratu tanpa sadar menyentuh miliknya sendiri menggunakan tangannya. Ia ikut terbawa suasana, lantaran melihat aksi Jeffrey.

“Ahh ... Ra!”

“Ekhm! Udah cukup, Mas.”

Jeffrey menghentikan suara, imajinasi, dan kegiatannya seketika. Wajahnya masih memerah, dan sesuatu di antara kedua pahanya yang telanjang itu tampaknya masih begitu ereksi. Membuatnya duduk dengan perasaan kurang nyaman.

“Udah aja, lah. Gak kuat aku!” ketus Jeffrey, putus asa.

“Nanti dulu! Siapa tau, abis ini giliran aku?”

“Aku bakal suruh kamu bener-bener naked di depan aku. Liat aja.”

Lalu, tanpa diberi aba-aba, Jeffrey kembali memutar botol parfum di tangannya sekuat tenaga. Siapa sangka bahwa dalam benaknya Jeffrey terus merapalkan doa agar kali ini Ratu yang terpilih oleh alam.

Dan, benar saja! Tatkala botol itu berhenti berputar, bagian paling ujungnya mengarah pada Ratu.

Ratu terkekeh, “Kamu abis berdoa, ya?”

“Iya, lah!”

“Aku pilih truth, Mas.”

Dare aja!”

Truth!

Bibir Jeffrey sontak mengerucut ke depan. Padahal, kalau saja Ratu memilih diberi tantangan, ia akan meminta Ratu menanggalkan sisa kain yang melekat di tubuhnya. Namun, nahas. Ratu tetap pada pendiriannya, dan memilih untuk berkata jujur.

“Ya udah, jawab pertanyaan ini—.”

“Apa?”

“Kalau kita lagi ngelakuin 'hal itu' ... apa kegiatan yang paling kamu suka?”

Ratu menggeleng, “Gak bisa jawab, ada banyak.”

“Yang paling-paling.”

Ratu merasakan lidahnya kelu seketika. “A-aku suka pas kamu fingering,” kata Ratu yang terdengar sangat lirih di akhir kalimatnya.

“Apa?”

Fingering!”

Jeffrey batuk-batuk seketika. “WOAHH?!”

“DIEM!”

Bukannya diam, Jeffrey justru semakin cengangas-cengenges untuk menggoda Ratu. Sampai-sampai Ratu dibuat kesal oleh tampang jenakanya itu. Tapi, untungnya Ratu tak ambil pusing. Ia lebih memilih untuk melanjutkan permainan dengan langsung memutar botol parfum di depannya, tanpa menunggu Jeffrey berhenti meledeknya terlebih dahulu.

Sial!

Selepas putaran botol itu terhenti, gelak tawa Jeffrey menjadi pecah.

Wajar saja. Pasalnya botol itu lagi-lagi menunjuk Ratu sebagai korbannya. Dan, yang lebih nahasnya lagi, Ratu sudah tahu jelas tantangan ekstrem seperti apa yang akan Jeffrey berikan.

“Lepasin semua, Ra.” Nah, kan! Bagaikan peribahasa 'pucuk dicinta, ulam pun tiba'. Sesuatu yang sudah Jeffrey nanti-nanti sejak awal permainan, akhirnya terjadi.

Mau tidak mau, suka tidak suka, Ratu harus melepas seluruh pakaian dalamnya di hadapan Jeffrey.

“Salah satu aja, ah,” kata Ratu yang merasa keberatan.

“Gak, Ra. Harus yang itu—” Jeffrey menunjuk ke arah dada Ratu, dan ke arah bagian bawah Ratu. “sama yang itu.”

Melihat respon Jeffrey yang sepertinya akan sulit untuk diajak kompromi—Ratu memutuskan untuk pasrah, dan benar-benar melucuti pakaian dalamnya sendiri, tepat di hadapan Jeffrey.

Kedua buah dada Ratu praktis mencuat tatkala bagian pengait pada bra yang tengah ia kenakan itu terlepas. Dan, begitu pula dengan celana dalamnya. Milik Ratu yang satu itu tentu saja terekspos secaranya nyata, dan membuat darah Jeffrey berdesir seketika. Jeffrey sontak menyunggingkan senyumnya. Ia merasa seakan menang telak dalam permainan ini.

Namun, sayang sekali. Rupanya Ratu ingin sesi permainan itu diperpanang karena skor mereka masih seimbang.

“Satu kali lagi, Mas. Satu kali lagi, dan cuman bisa pilih dare!”

Mendengar itu, Jeffrey tersenyum culas. “Oke, siapa takut?”

Lantas, dengan begitu percaya dirinya, Ratu lagi-lagi memutar botol tersebut, untuk yang terakhir kalinya. Tapi, sepertinya alam jauh lebih memihak pada Jeffrey malam ini. Ratu kembali terpilih, dan siap terperangkap dalam aturan yang ia ciptakan sendiri, tentunya.

“IH?” Ratu mengusap wajahnya dengan kasar. “Mas, jangan yang aneh-aneh darenya!” pintanya yang lebih cenderung memaksa.

“Gak aneh, kok....” Jeffrey terkekeh.

“Apa?”

Jeffrey tanpa sadar menggigit bibir bawahnya, seraya menatap Ratu dan sekujur tubuhnya yang sudah tak terbalut kain apapun. “Sama kayak dare aku sebelumnya, tapi ini sedikit lebih susah, Ra,” kata Jeffrey, kemudian mengacungkan jari telunjuk, serta jari tengahnya bersamaan. “Lakuin hal yang paling kamu suka dalam seks kita, pakai jari kamu sendiri, dan sambil bayangin kalau kamu lagi having sex sama aku.”

Ratu membeku di tempat. Muncul sedikit perasaan menyesal lantaran sempat memberi Jeffrey tantangan yang tidak-tidak beberapa saat lalu. Tapi, ia pikir, yang namanya hukum karma dan balas dendam dalam permainan seperti ini agaknya memang sangat sulit dihindari.

Ratu menggigit bagian dalam pipinya, dan menghindari bertemu tatap dengan Jeffrey tatkala ia mulai membuka kedua pahanya.

Tangan yang semula mengepal karena ragu itu, kini mulai menjalar, menuju satu titik di bawah perutnya.

“A-aku harus lakuin berapa lama?”

“Sampai orgasme.”

“HAH?!”

Jeffrey menaikan sebelah alisnya. “Semakin cepet kamu mulai, itu berarti akan semakin cepet selesainya, Ra.”

Ratu mendengkus. Bukannya respon seperti itu terlalu kejam untuk seorang ibu hamil?

Ratu mulai merasa kalau permainan ini sangat menyusahkan dan sama sekali tidak asyik!

“Ayo, nungguin apa?”

“Iya, iya!

Untuk beberapa saat Ratu masih sibuk merenungkan perihal apa saja yang harus ia lakukan untuk mencapai puncak orgasmenya menggunakan tangannya sendiri. Sementara Jeffrey yang tak jauh dari tempat Ratu, tengah menyipitkan kedua matanya demi memastikan apakah Ratu melakukan tantangan ini dengan benar atau tidak.

“Kakinya kurang lebar itu, Ra.”

Ratu mengikuti interupsi Jeffrey kali ini, dan perlahan-lahan membenamkan jari telunjuknya di bawah sana.

“Iya, tambahin satu jari lagi. Mana ada rasanya kalau cuman segitu.”

“Sebentar, sempit!”

“Ya, emang gitu. Itu yang aku rasain,” cetus Jeffrey secara terang-terangan.

Mendengar perkataan tak senonoh yang baru saja keluar dari mulut Jeffrey itu, membuat wajah Ratu memanas. Ia malu. Semakin malu karena ditatap Jeffrey dari dekat saat tengah melakukan hal ini.

“Udah?”

Ratu mengangguk. “Eungh ... terus abis ini harus apa?” tanya Ratu, berharap diberi arahan lagi oleh Jeffrey.

“Gerakin jari kamu yang di dalam sana.”

“Ahh ... Mas....” Ratu semakin terbiasa dan menikmati apa yang tengah ia lakukan tanpa mengindahkan eksistensi Jeffrey sama sekali.

Ia pikir sebentar lagi tantangan konyol ini akan segera berakahir. Namun, belum sempat Ratu mengalami orgasme, Jeffrey lebih dulu mengangkat tubuhnya. Membawanya ke atas ranjang dengan deru napas yang tak karuan.

Jeffrey menyerah pada nafsunya.

Bibirnya langsung mendarat di atas bibir Ratu saat punggung Ratu baru saja menyentuh ranjang. Mencumbu Ratu dengan sedikit kasar, dan menggebu-gebu.

Lalu, dilumatnya setiap inci bibir ranum itu, sembari tetap fokus menopang tubuhnya dengan kedua tangan agar tidak jatuh di atas tubuh Ratu.

Perlahan, tapi pasti ciuman itu beranjak. Menuju sepasang gundukan kembar milik Ratu, tanpa meminta izin terlebih dahulu. Kanan, dan kiri. Jeffrey menghisapnya secara bergantian sampai kedua puting Ratu mulai mengeras. Sementara itu, sang empunya tak mampu melakukan apapun selain mengerang di bawah kukungan Jeffrey.

Ratu banyak sekali melenguh, dan menggeliat. Membuat Jeffrey semakin panas.

Dan, tanpa memberi aba-aba sedikitpun—Jeffrey meloloskan kedua jarinya di bawah sana. Ibu jarinya sengaja menekan sebuah daging yang timbul. Memijitnya perlahan-lahan dengan permukaan ibu jarinya yang memberikan sensasi hangat.

Mata Ratu yang sebelumnya sempat terpejam, kini terbuka perlahan. Dan, di saat yang bersamaan, Jeffrey mengangkat kepalanya. Membuat mereka berdua saling bertukar tatapan tanpa mengatakan hal apapun.

Jeffrey semakin menggerakan ibu jarinya ke atas, kemudian ke bawah—sembari terus menatap Ratu, sebelum akhirnya kembali menghisap sepasang gundukan kembar milik Ratu dengan serakah.

“Mas!” pekik Ratu saat kedua jari Jeffrey yang berada di dalamnya juga ikut bergerak semakin cepat dan tak beraturan.

Mulut Ratu setengah terbuka, untuk meloloskan sebuah desahan yang Jeffrey ciptakan dari tiap-tiap sentuhannya.

Sampai, tiba saatnya Ratu merasakan sensasi tubuhnya seakan ikut diputar, bersamaan dengan kedua jari Jeffrey yang membuat gerakan berputar di dalam intinya.

Peluh Ratu bercucuran, deru napasnya juga tak karuan. Dan, detik selanjutnya tubuh Ratu praktis melengkung ke atas tatkala ia mencapai puncaknya. Ratu gemetar, dengan tangan yang refleks menarik rambut di kepala Jeffrey kuat-kuat.

Ia orgasme hanya dalam beberapa menit.

Ratu mengatur napasnya yang sempat tersendat beberapa saat lalu, dan melepas cengkramannya pada rambut Jeffrey seketika.

“Besok ajak aku main truth or dare lagi, ya, Ra,” bisik Jeffrey, sebelum menarik jemarinya.

Lantas Ratu mendelik “Males! Gak akan lagi!”

—fin—

Malam ini hening. Mungkin karena Bian yang biasanya menciptakan kegaduhan, sudah lebih dulu tertidur di kamarnya karena lelah usai bermain PS seharian. Maklum, libur panjang, harus dinikmati dengan sebaik-baiknya.

Berbanding terbalik dengan Bian, di dalam kamar Jeffrey masih terus berkutat dengan layar laptopnya yang masih menyala. Ia bersandar pada sandaran kursi yang menghadap langsung ke arah meja kerja. Siang tadi Ratu sendiri yang sudah menyuruhnya untuk pulang lebih cepat, dan ia pun menyetujuinya. Tapi, bukan berarti membawa pulang pekerjaan sampai ke rumah seperti ini. Selain percuma karena Jeffrey kesulitan untuk fokus karena adanya Ratu di dalam satu ruangan yang sama—rencananya dengan Ratu malam ini jadi tertunda, bahkan lebih dari 2 jam.

Sementara Ratu yang tengah berbaring di atas ranjang, sejak tadi sudah berkali-kali menahan rasa kantuknya. Padahal begitu lama sebelum kepulangan Jeffrey, Ratu sudah mempersiapkan banyak hal seperti; mengganti sprei kasur mereka, mandi hingga berendam, memilih piyama tidur yang jauh lebih tipis dari biasanya, juga menyemprotkan begitu banyak parfum sampai-sampai wanginya menyebar ke seluruh ruangan. Namun nahas, begitu Jeffrey di rumah—bahkan tidak sekalipun ia mengajak Ratu membicarakan hal selain tentang pekerjaan dan apa yang terjadi kantornya. Sial!

Ratu mendengkus. Ia beranjak menuruni kasur dengan kasar. Persetan dengan Jeffrey dan perkerjaannya, Ratu ingin turun ke dapur untuk minum sekarang juga!

Brak! Suara pintu kamar yang sengaja dibanting oleh Ratu itu, memekakkan indera pendengaran Jeffrey. Bahkan ia hampir melompat dari kursi kerjanya.

“Kenapa sih—EH, ASTAGA? Gue lupa soal tujuan utama pulang cepet, ya ... pantesan dia banting-banting pintu,” kata Jeffrey panik, tepat setelah menghilangnya sosok Ratu dari balik pintu.

Takut kalau sampai suasana hati Ratu semakin memburuk, lantas Jeffrey memilih untuk menyusul Ratu. Ia sampai setengah beringsut menuruni anak tangga, demi menyamai langkah Ratu.

“Ra, tunggu, sama aku turunnya!” pekik Jeffrey, nadanya terdengar gusar.

Lantas, langkah Ratu terhenti di anak tangga ke sekian. Ia sempat menoleh, sebelum akhirnya Jeffrey berdiri tepat di sebelahnya. Salah satu dari kedua alis Ratu refleks terangkat. Ditatapnya Jeffrey dengan tatapan yang seakan berkata 'apaan, sih?'

“Sama aku, ya, turunnya.”

Ratu menghela napas kasar, “Kerjaan kantor kamu masih numpuk, kan? Beresin itu aja dulu,” kata Ratu, sewot. Ia memilih untuk melanjutkan langkah—meninggalkan Jeffrey di belakangnya.

“Maaf!”

Persis seperti adegan-adegan dalam drama India, Jeffrey menarik tangan Ratu. Tidak kasar, tidak juga terlalu kuat, hanya cukup untuk membuat langkah Ratu kembali terhenti setelahnya. “Aku minta maaf karena gak tau waktu sama tempat. Aku niatnya pulang cepet buat kamu, tapi malah bawa pulang kerjaan ke rumah. Aku minta maaf, ya, Ra.”

Ratu bergeming.

“Mau ambil minum, kan? Aku temenin,” pinta Jeffrey, lagi.

Ratu menatapnya selama beberapa detik, lalu mengangguk. Secara teknis ia melakukan hal itu, karena setelah dipikir-pikir masalah ini tidak perlu diperpanjang lagi.

Lalu, sambil keduanya menuruni tiap-tiap anak tangga, tangan Jeffrey bertengger tepat di belakang punggung Ratu. Memastikan Ratu tiba di lantai satu, dengan aman. “Awas, pelan-pelan aja.”

“Iya, aku tauuu.”

Dan, sampai keduanya sama-sama menginjakan kaki di area dapur, Jeffrey masih terus menuntun Ratu berjalan, sebab cahaya dapur mereka cukup redup. Lampu utamanya memang sengaja dimatikan ketika sudah malam, dan sudah tidak ada yang menggunakan.

“Tunggu sini, aku nyalain lampu dulu.”

“Gak dinyalain juga masih keliatan, Mas.”

“Gak. Tetep bahaya, Ra.” Lalu suara saklar lampu terdengar di tengah keheningan. Klik!

Ratu berjalan sedikit ke arah di mana rak peralatan makan dan gelas berada. Meraih dua gelas, untuknya dan juga untuk Jeffrey. Sementara, di sisi lain, Jeffrey membuka pintu kulkas yang letaknya berseberangan dengan Ratu.

“Mau minum apa, Ra?” tanya Jeffrey. Nadanya sangat lembut, masuk ke telinga Ratu.

“Apple juice?”

“Siap, satu botol apple juice untuk ibu hamil dan suaminya!”

Mendengar itu, membuat Ratu terkekeh. Menurutnya Jeffrey terdengar sangat lucu saat memperagakan seorang barista cafe seperti barusan.

Jeffrey berjalan, kemudian menarik salah satu bangku yang tersedia di tiap-tiap sisi dari meja makan milik mereka. Ia duduk lebih dulu, sembari membuka tutup sebuah botol jus yang tempo hari ia beli di sebuah mini market saat perjalanan pulang dari kantor.

Usai membereskan urusannya dengan tutup botol tersebut, Jeffrey melihat Ratu yang berjalan mendekat. Ia sengaja menepuk pahanya sebanyak dua kali. “Di sini, Ra,” ajaknya.

Ratu tidak menjawab. Tapi, meski begitu, kakinya secara spontan berjalan lurus ke tempat di mana Jeffrey berada. Ia duduk di sana. Di atas pangkuan Jeffrey, dan tanpa sengaja menekan sesuatu yang ada di antara paha itu sembari menuangkan jus apel ke dalam gelas.

Tangan Jeffrey yang nakal, menelusuri lekuk tubuh Ratu kala itu. Perut Ratu sudah mulai membesar, dan dadanya juga lebih membengkak dari sebelumnya karena pengaruh hormon prolaktin. “Kamu mau punya anak kembar gak, Ra?” Seperti biasa. Bukan Jeffrey namanya kalau tidak mengangkat topik pembiaraan yang acak, saat mereka tengah berdua.

Ratu hampir menoleh, tapi Jeffrey menahan tubuhnya. “Gak bisa lah! Ini kan udah dibuahin, udah jadi juga, masa mau nambah?!”

“Kita gak akan pernah tau, sebelum kita coba.”

“Terus maksudnya mau ke luar di dalem?” tanya Ratu to the point.

Jeffrey menarik napas panjang. “Jangan, deh. Nanti kamu tiba-tiba kontraksi.”

“Mas, Mas ... kamu itu ada-ada aja.” Ratu kemudian bersandar pada tubuh Jeffrey yang berada di belakangnya. Menarik napas, dan membuangnya perlahan-lahan.

Mata Ratu memejam, karena ia merasa nyaman dengan duduk di atas Jeffrey seperti ini. “Jadi mau sampai kapan kita di sini, Mas?” kata Ratu, masih dengan mata terpejam.

“Sebentar.” Tangan Jeffrey tiba-tiba saja menyelinap ke dalam piyama Ratu. Menyentuh salah satu dari dua gundukan milik Ratu dengan gerakan sensual. “Lebih besar dari yang waktu hamil Bian ya, Ra?”

Ratu mengangguk. “Karna ini hamil yang kedua.”

“Lucu, aku suka. Tangan aku bahkan udah gak cukup buat nangkup ini.” Tangan Jeffrey semakin gatal untuk meninggalkan sentuhannya di mana-mana. Sementara Ratu kini sudah meletakkan gelas yang sempat ia genggam beberapa saat lalu.

“Ra, ke kamar, yuk!” kata Jeffrey. Tapi dengan dingin Ratu menggeleng.

“Kerjaan kantor kamu, tuh....” Lagi-lagi Ratu menyindir perihal pekerjaan kantor yang Jeffrey bawa pulang ke rumah.

Jeffrey buru-buru memeluk tubuh Ratu. Menyenderkan pipinya pada punggung Ratu yang hangat. “Aku kan udah minta maaf, Ra.” Jeffrey mencebik di belakang Ratu.

“Makanya, besok-besok jangan gitu lagi,” jawab Ratu.

Tanpa perlawanan, ia mampu melepaskan diri dari Jeffrey. Berjalan meninggalkan gelas, dan juga sisa jus apel miliknya begitu saja.

“Ra!”

Ratu memutar tubuhnya, menghadap Jeffrey. “Apa?”

“Jadinya batal?”

“Enggak. Cepetan matiin lampu dapurnya, terus gendong aku sampai atas kalau kamu masih mau.”

Jeffrey refleks menarik sudut bibirnya. “Masih mau lah!”

Lantas, Jeffrey kalang kabut untuk berdiri dan mematikan lampu dapur, sebelum akhirnya ia menggendong Ratu di depan—seperti bayi koala. Sejauh ini, menurutnya, Ratu masih ringan. Masih mudah untuk digendong seperti ini ke mana-mana, bahkan menaiki tangga sekalipun.

Sambil tetap hati-hati supaya tetap seimbang dan mereka berdua tidak terjatuh—Jeffrey sesekali menciumi bibir Ratu seperti awan. Membuat si empunya bibir kegelian.

“Sebentar lagi mau sampai kamar. Ada pesan terakhir?” kata Jeffrey menggoda.

Ratu terkikik sesaat. “Ada.”

“Apa?”

“Jangan kasar-kasar, nanti yang di dalem marah sama kamu.”

Sudah hampir setengah jam Bianca berada di gedung fakultas sebelah, mencari sosok laki-laki tampan, berambut pirang—seperti apa yang sempat dideskripsikan oleh Sudirman. Tapi, sejauh mata Bianca memandang, semua laki-laki yang ia temui selalu berkepala hitam.

“Ndi ta cah e?” kata Ayu atau yang lebih akrab dipanggil Yayuk. Ia sudah kepalang kesal, pasalnya sejak tadi mereka berdua hanya mondar-mandir seperti setrikaan di area gedung Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, tanpa melakukan hal lain.

Translate: Mana anaknya?

Bianca menoleh sambil cengangas-cengenges, “Kayaknya gue ditipu Sudirman, deh, Yuk....” Saking pasrahnya Bianca sampai berpikir demikian.

Ayu memutar bola matanya jengah. Kan ia jadi merasa sial karena harus ikut terkena dampak dari tipuan Sudirman—sepupu Bianca. “Ya Allah, Ca?!” Ayu mengusap dadanya dramatis. Sudah panas, ditipu pula

Sementara itu Bianca mencebik. Ia sendiri juga bingung, kenapa bisa langsung termakan oleh omongan Sudirman dan berakhir bodoh seperti ini. Entah fakta, atau sekedar tipuan—yang jelas Bianca kesal! Kalau bertemu nanti, ingin ia acak-acak wajah Sudirman yang tampangnya terbilang lumayan itu!

Laki-laki tampan berambut pirang, agaknya hanyalah sebuah dongeng belaka.

Lalu, dengan berat hati Bianca merangkul lengan Ayu. Membawa kawannya itu meninggalkan halaman fakultas tersebut, tanpa sepatah kata pun.

Di sebelahnya, Ayu memasang wajah heran sebelum memutuskan untuk menghentikan langkahnya. Ayu mengeluarkan sebuah cermin kecil dari tas kecil yang ia tenteng. Ia mengarahkan benda itu pada Bianca. “Liat muka kamu, deh, Ca. Siapa sih? Emangnya kamu kenal? Kok bisa sampai sekusut ini cuman karena gak bisa nemuin dia?” tanyanya, sebab penasaran usai melihat bagaimana ekspresi Bianca.

Kemudian, sebuah tatapan yang tak kalah bingung, Bianca lemparkan pada Ayu. Sejak satu-satunya kelas di hari itu selesai, Bianca terus memikirkan pesan terakhir yang ia dapat dari Sudirman. Ia terus membayangkan seperti apa sosok mahasiswa tampan, berambut nyentrik, tapi sangat penakut sebab baru saja pindah kos-kosan dengan alasan kematian tetangga sebelah kamar kosnya, itu. Terlebih lagi, belakangan ini Sudirman sering kali membahas perihal Si Anak Pirang—juga temannya yang sudah seperti biji tumbuhan dikotil ini, alias ke mana-mana selalu saja bersama.

“Gak kenal, se. Aku cuman penasaran.” Bianca terkekeh sendirian setelahnya.

Sebenarnya kalau dipikir-pikir, ia bisa saja meminta foto sepasang biji tanaman dikotil itu, langsung dari Sudirman. Kenapa juga ia malah repot-repot mampir ke area gedung fakultas lain?

Sementara Ayu, lagi-lagi mendengkus. Kesal, terlebih matahari rasanya seakan hanya berjarak 5 meter dari atas kepala. “Tukok ne aku es, Ca. Ngelak e, panase ra umum.”

Translate: Beliin aku es, Ca. Haus nih, panas banget

“Aku pengen ngopi se.”

“Yaudah, kopi.”

“Bayar sendiri-sendiri.”

“ASEM!”

Bian nyaris tidak bisa diam sepanjang hari. Meski di bibir sempat mengaku kurang semangat menyambut hari ini, namun yang dia lakukan justru sebaliknya. Bahkan sejak semalam dia terus memperingati Om Jemi, juga Tante Kila yang notabenenya adalah saudara kandung Papa, untuk datang dan membawakannya sesuatu.

Kalau Eyang Uti dan Eyang Kung sih tidak perlu diragukan lagi, sebab mereka sudah pasti datang dan membawa sebuah kotak hadiah besar untuk ulang tahun ke-17 cucunya yang satu ini. Awalnya Bian pikir itu hanya berisikan lelucon atau semacamnya, ternyata sebuah gitar listrik yang sama persis seperti keinginannya. Diam-diam Bian merasa sedikit bersalah, sebab sering kali berprasangka buruk pada kedua orang sepuh di hadapannya itu.

Beralih kepada Zaid dan Ozi yang datang bersamaan sembari menenteng sebuah tas berukuran besar di antara mereka. Bian tebak, kado yang satu ini pasti hasil patungan keduanya.

“Met Ultah, Bi,” kata Zaid serampangan, sebelum berakhir ditempeleng oleh Ozi yang berdiri tepat di sampingnya.

“Ngasih ucapan utu yang niat!”

Sontak Zaid memutar bola mata jengah sembari mencibir Ozi, “Kayak ke anaknya Presiden aja!”

Bian sendiri hanya pasrah. Niatnya di hari yang istimewa ini, dia harus menjadi pribadi yang baik di hadapan semua orang.

“Selamat ulang tahun, Bi. Semoga lo bisa masuk kampus gua.”

“Lo gak pernah doain gue kayak gitu, Ji?!” timpal Zaid tak mau kalah.

“Nanti pas lo ulang tahun.”

“Si Anjing!”

Bian bergeming sejenak, lalu celingak-celinguk seakan tengah mencari-cari keberadaan seseorang. “Ola mana?”

“Sama nyokap, lagi ngumpul sama ibu-ibu kali?” sahut Ozi.

Bian hanya manggut-manggut. “Lo berdua minum dulu aja, sambil nunggu yang lainnya.”

“Gue ke sini mau makan kue yang itu,” kata Zaid, refleks menunjuk ke arah sebuah kue ulang tahun milik Bian yang bahkan belum ditiup sama sekali.

Ozi yang tingkat kesabaran setipis tisu itu spontan membekap mulut Zaid dengan gemasnya. Sementara Bian hanya menampilkan senyum kecut di wajahnya.

“Lo diem-diem deh, Id, daripada gue gebukin di sini.” Sudah dapat dipastikan kalau yang barusan itu adalah sebuah bisikan penuh ancaman yang asalnya dari Bian.

Zaid merinding memikirkan bagaimana bisa Bian mengancamnya dengan tampang innocent seperti barusan? Lantas dia beringsut, menepis tangan Ozi seketika. “Ji, mendingan kita samperin Ola. Takut menua sebelum waktunya.”

Bian mendengkus.

Pesta ulang tahunnya ini sengaja diadakan di rumah, karena Mama yang ingin mendekor segala sesuatunya sendiri.

Ngomong-ngomong soal Mama, sejak tadi Bian belum sempat melihat Mama. Dan, mama juga belum sempat memberi sepatah kata pun untuk hari ulang tahun Bian ini. Mungking saking sibuknya mengurus inj dan itu untuk Bian.

“Bian!”

Nah, yang barusan memanggil nama Bian itu adalah Papa. “Sini, Bi!”

Bian mencibir dalam hati. Memikirkan kira-kira lelucon menyebalkan yang mana lagi yang sudah Papa siapkan untuknya. Tapi sebelum prasangka buruknya semakin meningkat, Bian samar-samar mendengar suara mesin yang menyala di halaman depan rumah. TUNGGU-TUNGGU! MOTOR?! Lantas Bian berlari sambil terseok-seok dengan kaki kanannya yang masih digips demi menyusul Papa.

“Pak, ini surat-suratnya silahkan ditandatangani.”

Bian mendelik seketika tatkala matanya menangkap eksistensi seorang pria yang baru saja menyalakan sebuah motor di halaman depan rumah.

“PAPA YANG BENER INI, PA?!”

Papa mengabaikan pertanyaan Bian, karena masih harus menandatangani beberapa surat lagi. “Ini ya, Pak.”

“Nah, beres. Makasih ya, Pak Jeffrey, kalau gitu saya pamit.” Pria itu pamit, tepat setelah menyerahkan kunci motor kepada Papa.

“PAPA!”

“Jangan teriak-teriak, Papa gak budek!”

“Itu motornya Bian?!”

Papa hanya memberi sebuah anggukan, lalu melempar sebuah kunci ke arah Bian. “Awas ya, jangan ditabrakin.”

“Tapikan Bian belum rapotan?” kata Bian yang sukses menangkap kunci tersebut.

“Gampang, nanti kalau banyak angka merah di rapot tinggal Papa jual lagi.”

Bian melongo di tempat. Namun dia tetap berpikir kalau yang satu ini adalah kado paling hebat yang pernah dia dapat.


Sementara yang lainnya sibuk bercengkrama satu sama lain, Bian tengah berdiri mematung di hadapan seseorang yang sejak tadi sudah dinanti-nanti kehadirannya. Ayah Yudhis datang dengan setelan jas yang terkesan biasa saja, tapi auranya menawan.

“Kenapa lama....”

Alih-alih merespon keluhan Bian, Ayah Yudhis justru memilih untuk mendekap tubuh Bian erat-erat selayaknya seorang Ayah memeluk anaknya sendiri.

“Jalanan mac—”

“Maaf.” Bian memotong ucapan Ayah Yudhis begitu saja. “Bian minta maaf.”

“Bi ... udah.”

“Bian bener-bener minta maaf.” Bian memeluk Ayah Yudhis jauh lebih erat.

“Shuttt ... udah dimaafin, Sabian,” kata Ayah Yudhis. Tangannya sesekali menepuk-nepuk punggung Bian dengan hangatnya. “Hei, ini hari ulang tahun kamu, jangan nangis kayak gini. Gak malu sama si Zaid?”

Lantas pelukan malam itu berakhir, sebab Bian gengsi kalau-kalau sampai kepergok oleh Zaid dan Ozi ketika dia tengah menangis. “Malu, lah!” seru Bian seraya mengusap jejak air matanya menggunakan lengan.

Ayah Yudhis terkekeh sejenak. “Kapan tiup lilinnya?”

“Tadi kayaknya masih disiapin sama Om Jemi.”

“Yaudah, ayo ke sana.”


Bian mengsam-mengsem tatkala menatap lilin demi lilin tengah ditancapkan pada kue ulang tahunnya. Namun selang beberapa detik kemudian, wajahnya berubah kusut. Malam ini menyenangkan. Semua datang, kecuali Diajeng Pramesti.

“Bi!” Suara Zaid membuyarkan lamunan Bian kala itu.

“Kenapa?” tanya Bian pada Zaid yang berdiri cukup jauh darinya.

Zaid melambaikan tangan, memberi isyarat agar Bian mendekat. “Ke sini bentar!” pintanya.

Lantas Bian menuruti permintaan kawannya itu, meski sebentar lagi kuenya siap. Bian dapat melihat bagaimana ekspresi wajah Zaid kala itu. Dia panik dan kebingungan, sementara Ozi yang berada di sebelahnya tampak tak senang dan berusaha merebut ponsel milik Zaid.

“Kenapa, sih? Lo gak liat gue mau tiup lilin?”

“Ajeng—”

Satu nama yang mampu membuat jantung Bian berdebar tak karuan, seketika keluar dari mulut Zaid.

“Gak usah lo peduliin, Anjing! Udah sana tiup lilin!” seru Ozi penuh penekanan.

“Dia harus tau, Bangsat!” kata Zaid.

Bian masih berusaha mengatur degup jantung juga napasnya yang sempat tercekat. “Gue harus tau apa?” tanya Bian penasaran.

“Ini.” Zaid menyerahkan ponselnya pada Bian dalam keadaan layar yang tengah menyala.

Satu detik, dua detik, lima detik, dan seterusnya. Pandangan Bian berubah kosong. Senyum yang sejak sore tadi terpatri di bibirnya kini tiba-tiba saja hilang entah ke mana. Cukup lama dia membeku di tempat, hingga akhirnya suara Mama menyadarkannya.

“Bian! Ayoo tiup lilinya, Bi!”

“Biannnnn!”

Kemudian tanpa mempedulikan kedua temannya, Bian kembali menuju tempat di mana kue ulang tahunnya berada. Dengan tatapan yang masih kosong, Bian berjalan susah payah.

“Sini-sini, tiup dulu lilinya, Bi.” Mama mengatur tubuh Bian di hadapan kue ulang tahun dengan lilin yang sudah menyala.

Sebuah lagu yang biasa digunakan untuk mengiringi acara ulang tahun dinyanyikan bersama-sama oleh para tamu.

“Tiup lilinnya, tiup lilinya sekarang juga, sekarang juga....”

Lilin pun padam, namun Bian masih dengan tanpa ekspresi.

“Bi, Mama sama Tante Julia punya hadiah spesial buat kamu!”

Mendengar itu, Bian mengangkat dagunya. Menatap orang-orang yang juga tengah menatapnya. Papa, Ayah Yudhis, Mama, Tante Julia, bahkan seluruh keluarganya tengah menatapnya dengan tatapan bahagia. Kecuali Zaid dan Ozi yang kala itu memilih untuk membuang muka karena mengetahui perasaan Bian yang sebenarnya.

Sebuah kotak hadiah kecil Mama berikan dengan perasaan suka cita.

Bian tersenyum, meski terpaksa. Dia buka kotak itu penuh hati-hati, dan yang Bian dapati adalah dua buah testpack yang hasilnya sama-sama positif.

“Selamat ulang tahun, Bian! Kamu akan punya dua adik sekaligus, dari Mama sama Tante Julia!”

“Kamu seneng gak, Bi?” tanya Tante Julia.

Dan di saat itu juga, air mata Bian lolos seketika. Dia bahagia, tapi air mata yang baru saja keluar adalah air mata kesedihan.

Sambil cengangas-cengenges Bian membukakan pintu untuk Papa. Kalau boleh jujur sebenarnya saat ini Bian tengah salah tingkah. Dia bingung tentang apa yang harus dilakukan setelah membuka pintu depan. Peluk? Cium? Atau salam? Begitu batinnya.

Papa yang tengah berdiri sambil menatapnya kebingungan justru membuat suasana menjadi canggung seketika. Siapapun, tolong. Bian benci suka situasi yang seperti ini.

“Bi?”

Bian melihat ke arah mata Papa yang hampir sejajar dengan sepasang mata miliknya. Bagian lucunya, tiba-tiba Papa tertawa entah karena apa. Mengabaikan Bian yang tengah kebingungan seorang diri.

“Papa kenapa ketawa?”

“Kamu ngapain bukain Papa pintu?” Papa lanjut terkekeh, lalu berjalan masuk melewati Bian begitu saja.

“Lagi pengen aja.”

“Mau minta motor?”

Bian tidak menjawab, dan memilih mengekori Papa kala itu. Berjalan menghampiri Mama yang baru saja kembali dari dapur sambari mengenggam segelas air putih dingin yang sepertinya baru saja di tuang dari dalam kulkas.

“Bian kenapa tuh, Ra—” Kalimat Papa terputus, sebab barusan Papa mencium kening Mama dengan hangat meski masih di hadapan Bian.

Mama yang mendengar itu, lantas menarik sudut bibirnya. “Mau ngobrol berdua sama kamu katanya.” Sambil menyerahkan gelas berisi air dingin, Mama berkata demikian.

Di sebelah Mama, Bian memasang wajah tegang. Dia masih belum memikirkan harus meminta maaf dengan gaya seperti apa pada sang Papa. Berbeda dengan Mama—Papa itu sudah kebal jika diberi kata manis juga janji-janji.

“Mau ngobrolin apa?”

“Motor,” kata Bian, sengaja memberi jawaban yang asal-asalan.

Papa berdeham. “Papa mau mandi dulu, masih bawa setan dari jalanan.”

“Bian udah ngantuk, Pa.”

Mama yang semula hanya menguping pembicaraan Bian juga Papa, seketika menyentuh pundak Papa sekaligus mengusapnya dengan lembut. “Sebentar aja, Mas, abis ini mau aku suruh tidur anaknya,” pinta Mama yang kemudian diamini oleh Papa.

“Oke, ayo kita ke balkon.”


Di sini lah Bian dan Papa sekarang. Di balkon yang pencahayaan terbilang cukup remang-remang, dengan angin malam yang bebas bertiup sepay-sepoy menyapu permukaan kulit mereka. Keduanya seakan saling menghindar dari tatapan mata satu sama lain. Keduanya sama-sama menumpu siku pada sebuah palang pembatas balkon yang terbuat tiang besi.

Helaan napas Papa yang tiba-tiba terdengar kasar, sukses mengusik Bian. Lantas Bian sengaja berbatuk meski tenggorokannya tidak gatal.

“Ini kalau gak jadi ngomong, mending Papa mandi aj—”

“JANGAN!”

“Shht—gak usah teriak-teriak, kamu kayak pengen digebukin aja. Jadi, mau ngobrolin apa?”

Bian menghela napas panjang. “Bian lupa belum minta maaf ke Papa kayak waktu minta maaf sama Mama.”

Lantas kening Papa bertaut, seakan memperlihatkan bahwa Papa tengah berpikir keras. “Minta maaf sambil nangis-nangis maksudnya?” tanya Papa sengaja meledek.

Bian spontan berdecak, “Kenapa yang Papa tangkep cuman bagian itunya, sih?”

“Tapi emang itu kan maksudnya? Udah lah, kamu gak usah repot-repot jual air mata ke Papa.”

“Jual air mata?! Bian nangis pakai hati ya!”

Untuk sejenak, Papa tertawa. “Jadi lebih baik aja ke depannya. Jangan ngulangin kesalahan yang sama. Kamu tau? Seumur-umur, Papa gak pernah liat Mama kamu semarah waktu itu. Percaya sama Papa, Bi—Mama kamu itu selalu jadi orang pertama yang ngelindungin kamu, bahkan dari Papa. Dia gak pernah marah. Gak bisa dia marah sama kamu. Jadi, kalau sampai dia nampar kamu pakai tangannya sendiri ... kamu tau artinya apa?”

“Bian udah kelewatan.” Pada akhirnya Bian menjawab dengan lirih.

“Bener itu. Terus ... apa kamu bakal jadiin kejadian itu sebagai pelajaran?”

Bian mengangguk.

“Jatuh cinta sama lawan jenis di usia kamu yang sekarang ini wajar, Bi. Gak aneh. Tapi kamu harus inget kalau ada juga yang punya cinta buat kamu. Tau gak siapa?” Papa memutar tubuhnya, dan meraih pundak Bian. “Keluarga,” sambung Papa.

“Bian minta maaf.”

“Berhenti minta maaf. Buktiin kalau emang kamu nyesel dan mau berubah.”

Lagi-lagi Bian hanya bisa mengangguk paham, dengan sorot matanya terus menatap ke bawah. Lalu dengan segenap perhatian Papa merentangkan tangannya lebar-lebar seraya tersenyum.

“Peluk?”

“Gak usah.”

Tapi Papa tetap memeluk erat tubuh Bian meski yang diterimanya adalah sebuah penolakan.

“Nyaman...,” kata Bian lirih.

“Apa?”

“Nyaman.”

Kalau Bian hitung-hitung, sekiranya sudah belasan kali Mama mondar-mandir ke kamar mandi selama menemaninya belajar di ruang tengah. Alih-alih fokus belajar, Bian kini justru terus mengawasi Mama. Wajah pucat pasi, juga gestur yang menandakan bahwa Mama sedang tidak baik-baik saja, sudah pasti mengusiknya.

Bian menghela napas panjang. Semangat belajarnya sudah hilang entah ke mana. Sengaja dia tutup buku yang semula sempat dia baca. “Mama kenapa, sih?” Akhirnya Bian membuka suara.

Mama acuh tak acuh. “Jangan peduliin Mama—kamu lanjut belajar aja.”

“Gak bisa. Napsu belajar Bian udah ilang gara-gara liat Mama bolak-balik ke kamar mandi.” Dua bola matanya menatap Mama, sembari membaca situasi dan kondisi yang ada. “Mama sakit perut?” tanya Bian penasaran.

Mama menggeleng spontan. “Gak sakit perut, sih. Mama cuman mual aja—sama pusing, makanya ke kamar mandi terus.”

“Masuk angin?”

“Gak tau.”

Bian lalu memicing tajam. Dia ingat bagaimana alur cerita dalam sinetron yang sering kali dia tonton di televisi. Mual seperti halnya orang masuk angin pada seorang wanita biasanya jadi pertanda kehamilan di usia dini.

Mama yang semula santai-santai saja, kini tampak salah tingkah begitu kedua matanya ditatap langsung oleh Bian.

“Apa?” tanya Mama.

“Mama hamil kali.” Tanpa memberi barang sedikitpun aba-aba Bian berkata demikian, sampai-sampai sukses membuat Mama hampir tersedak salivanya sendiri.

“Kebanyakan nonton sinetron!”

Bian tergelak kemudian. “Tapi bukannya bener, ya? Mual itu jadi salah satu tanda kehamilan? Siapa tau Mama hamil,” kata Bian, lalu dia mendapat tatapan mata menyalang dari Mama.

“Masih kecil bahas hamil-hamilan. Kamu jangan sok tau!”

Mendengar perkataan Mama barusan, membuat ingatan Bian kembali terputar ke belakang. Seingatnya materi soal kehamilan sudah dia pelajari bahkan saat masih duduk di bangku kelas 8 SMP, jadi dari segi usia agaknya Bian merasa cukup untuk berbicara soal kehamilan. Tapi, mungkin saja pembahasan ini mampu membuat perasaan Mama sedikit canggung.

Wajah Mama kemerahan. Jelas, tepat sekali dugaan Bian perihal Mama yang merasa canggung sebab dia membahas perihal kehamilan. Sambil berusaha untuk memikirkan topik pembicaraan lain, Bian memilih untuk menumpuk buku-bukunya yang sempat berserakan.

“Bi....” Belum juga menemukan topik pembicaraan baru, Mama lebih dulu menyebut namanya.

Aktivitas Bian sebelumnya, sontak saja terhenti. Bian menoleh ke arah Mama tanpa mengatakan apapun.

“Coba bayangin, deh. Kalau ternyata Mama beneran hamil lagi—”

“Bian seneng. Bian ikut seneng, kalau Mama hamil lagi.” Perkataannya sukses membuat napas Mama tercekat sepersekian detik. “Mama khawatir soal itu, kan?” timpal Bian.

Kemudian anggukan kepala Mama menjadi jawaban untuk pertanyaan yang baru saja Bian lontarkan.

“Bian udah tujuh belas, tahun ini. Mama gak perlu khawatir—Bian udah jauh dari kata puas buat dapetin semua perhatian Mama selama ini. Kalau ternyata Mama hamil lagi, Bian siap belajar buat jadi kakak yang baik.” Bian menghela napas kasar, lalu memilih bersandar pada sofa di belakangnya. “Mama pikir Bian bakal ngerasa iri, ya?” tanya Bian.

Mendengar itu, hati Mama rasanya sakit seketika. Mama sontak memutar tubuhnya mengahadap ke samping. Menatap bagaimana sorot mata Bian yang mendadak berubah menjadi sendu.

Mama menggeleng, “Bukan itu yang Mama pikirin, Bi. Mama sempet takut kalau kamu bakal ngejauh kalau Mama hamil lagi. Mama takut kalau nantinya perhatian yang Mama kasih, mungkin berat sebelah. Mama ... banyak takutnya.”

Bian menatap lurus sepasang mata Mama. Dan, di wajah Mama terukir jelas gurat kekhawatiran yang tengah Mama rasakan.

“Dulu, waktu pertama kali Mama tau kalau Mama lagi hamil kamu—Mama seneng banget. Waktu kamu lahir, Mama ngerasa kalau punya kamu sama Papa aja udah cukup. Tapi, belakangan ini sesuatu terus ganggu pikiran Mama. Gimana kalau nanti Papa sama Mama tiba-tiba dipanggil Tuhan? Kamu sendirian—”

“Ma, stop.”

“Atau, gimana kalau kamu udah nikah nanti? Mama sama Papa bakal kesepian—”

“Ma!” Bian praktis menyentuh pundak Mama dengan kedua tangan. “Pertama, Tuhan tau Bian masih butuh Papa sama Mama, jadi gak mungkin dia panggil kalian berdua secepet itu. Kedua, nikah? Bian aja belum lulus SMA?!” kata Bian menggebu-gebu.

“Lohhh? Bukannya yang di rumah sakit itu calon istri kamu, buktinya kamu lebih prioritasin dia daripada Mama.” Nada bicara Mama sok dramatis, dan direspon dengan suara decakan kesal dari mulut Bian.

“Kenapa harus dibahas lagi, sih?”

Bian hampir bangkit dari posisi duduknya, tapi gagal sebab tangan Mama menarik tubuh Bian seketika. “EH EH MAMA BERCANDA!” seru Mama sembari mendekap tubuh Bian erat-erat.

“Gak lucu, sumpah!” timpal Bian.

Bian kesal bukan karena mendengar Mama membahas Ajeng, atau semacamnya. Melainkan karena topik yang satu ini cukup melenceng dari topik sebelumnya. Kemudian, lebih dari itu—Bian spontan teringat betapa dinginnya atmosfer di sekitar Ajeng saat mereka saling berpapasan di sekolah sejak beberapa hari lalu. Entah karena gadis itu fokus menghadapi ujian, tidak dalam keadaan hati yang baik, atau mungkin Ajeng mendengar keributan yang dia ciptakan saat di rumah sakit. Pasalnya Bian sendiri merasa terlalu takut untuk sekedar menyapa lebih dulu, apalagi harus bertanya perihal alasan di balik sikap dingin Ajeng.

Mama berdecak, “Sabian ... apa sopan ngelamun depan Mama begini?”

“Bian gak ngelamun,” sahut Bian tak terima.

“Ayo lanjutin belajarnya, tanggung kalau disisain satu bab lagi.”

Bian lantas melirik Mama dengan sorot mata yang tajam. Apa semua perempuan di muka bumi ini senang sekali mengalihkan topik pembicaraan, seperti apa yang Mama lakukan sejak tadi?

“Kenapa, sih, mukanya begitu?”

“Ma?”

“Apa lagi?”

“Jujur aja, Mama lagi hamil ya?”

Mama menggeleng, lalu tangannya menyapu lembut kening Bian, sembari menatapnya lamat-lamat. “Mama gak tau, karna sama sekali belum ngecheck. Tapi kalau kenyataannya Mama beneran hamil, pasti Mama kasih tau kamu, Bi. Mama gak mungkin bohongin kamu, atau bahkan sembunyiin fakta tentang kehamilan Mama dari kamu.”

“Janji?”

Mama terkekeh, kemudian berdecak. “Iya, janji.”

Detik itu juga suara mesin mobil yang masuk ke pekarangan rumah, terdengar hingga ke dalam. Mama dan Bian saling tatap satu sama lain, sepertinya Papa baru saja pulang.

“Bian aja yang bukain pintunya, Ma!”

“Tumben?”

“Mau PDKT lagi sama Papa.”

Selanjutnya pecah tawa Mama. Tidak ada alasan untuk tidak tertawa selepas mendengar pengakuan Bian barusan. “Ada-ada aja!” seru Mama.

Lantas Bian juga ikut tertawa, seraya menjawab. “Biar jadi dibeliin motor, Ma.”

Ratu mengintip ke dalam kamar. Mengamati bagaimana Jeffrey yang kebetulan sibuk sejak pagi, bahkan di hari Sabtu seperti ini.

Ia menghela napas berat sejenak. Sudah bermenit-menit, yang Ratu lakukan hanya berdiri di ambang pintu kamar. Ia ingin masuk ke dalam, tapi takut kalau-kalau eksistensinya dapat mengganggu atensi Jeffrey pada sekumpulan map kertas, dan laptop di atas meja kerjanya.

Lalu, ketika kedua lututnya mulai terasa pegal, dan ia gelisah—suara Jeffrey menginterupsi. “Masuk, Ra, jangan diem di sana. Nanti kejepit pintu.”

Ratu membuka lebar pintu kamar yang semula dalam keadaan setengah tertutup itu. Berjalan masuk, dan di saat yang bersamaan Jeffrey beranjak dari tempat duduk dan mengambil langkah, menghampirinya.

“Tutup lagi pintunya, Ra.” Suara Jeffrey terdengar lembut seperti biasanya.

Lantas, Ratu memutar tubuhnya kembali. Melakukan apa yang Jeffrey minta. Menutup pintu kamar mereka rapat-rapat, sampai tak ada celah barang sedikitpun.

Untuk sejenak Ratu merasa ragu. Haruskah ia mengunci pintu di hadapannya, atau sekedar menutupnya seperti ini. Namun, pada akhirnya Ratu memutuskan untuk memutar kunci kamar sebanyak dua kali.

Sudut bibir Jeffrey tertarik ke atas, lalu terkekeh sendiri. “Kenapa, Ra?” Ia memiringkan kepalanya, “kok dikunci?” tanya Jeffrey yang tentunya untuk basa-basi.

“Aku mau ngomongin sesuatu yang serius.”

“Ngomongin?” Alis Jeffrey menukik sebelah kemudian. “Bukannya ngelakuin sesuatu yang serius...?”

Pipi Ratu memanas, hingga muncul rona merah pada seluruh wajahnya. Hampir terlihat seperti buah tomat yang sudah matang.

“Kalau mau cuddling itu bilang, Ra, jangan ngabisin parfum aku.” Jeffrey sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Ratu. “Tuh—ini bau aku nih.”

“Mas, aku....”

“Apa?”

“Jadi gini....” Ratu masih bingung memilih kata

“Di dahi kamu ada tulisannya, 'aku mau kamu' gitu.”

Sontak Ratu membeku di tempatnya. Sementara, di waktu yang bersamaan Jeffrey mengambil satu langkah lebih dekat. Menghapus setiap jarak di antara mereka, menangkup kedua pipi Ratu yang hangat, seraya tergelak untuk sesaat.

“Kayaknya selama ini kamu cuman suka kangen sama bau aku, ya? Bukan akunya?” kata Jeffrey sambil melirik tempat di mana parfum miliknya berada.

Ratu menggeleng semangat, “Gak gitu, ya!”

Ia berjinjit demi melingkarkan kedua tangannya di leher Jeffrey. “Mas ... Kamu lagi capek, gak?” Ratu dengan hati-hati bertanya demikian.

Telinga Jeffrey praktis memerah. Kedua tangannya kemudian membingkai tubuh Ratu di pinggang. Ia sengaja mendekatkan bibirnya pada telinga Ratu yang lucunya juga ikut kemerahan saat itu. Suara Jeffrey rendah untuk berbisik. “Beneran mau aku ternyata.”

Hening.

Nafas Jeffrey hangat, menyapu daun telinga hingga leher Ratu. “Ra ... aku juga kangen. Aku juga ... mau kamu.”

Percakapan mereka berhenti sampai di sana, sebab Jeffrey tiba-tiba saja mendaratkan banyak sekali kecupan kupu-kupu di sekitar leher Ratu. Aksi Jeffrey sebenarnya cukup sederhana, tapi bagi Ratu—itu sangat menggairahkan.

Jeffrey menghimpit tubuh Ratu, mendorong tubuhnya pada kedua buah dada istrinya itu. Kecupan-kecupan kecil darinya perlahan berubah menjadi sebuah sapuan lidah, hingga hisapan lembut yang kemudian membuat degup jantung Ratu meningkat.

Bibir Jeffrey beranjak turun, lalu mendarat cukup lama pada tulang selangka milik Ratu. Mencumbuinya dengan agresif hingga Ratu tak sengaja mengeluarkan sebuah lenguhan.

Ratu menggigit bagian dalam pipinya. Ia ingin bibir Jeffrey segera. Ditangkupnya dagu laki-laki itu supaya mendongak ke atas. Kemudian, tanpa permisi ia menempelkan kedua belah bibir mereka dalam kehangatan, hingga tak lama kemudian sebuah suara decakan lolos seketika. Kaki Ratu gemetar saat salah satu tangan Jeffrey menelusup masuk ke dalam piyamanya.

“Ra.”

“Hm?”

“Bian udah tidur, kan?” Jeffrey merasa was-was, sementara Ratu hanya merespon dengan sebuah anggukan singkat. “Berarti bisa sambil teriak-teriak mainnya.”

“Gila kamu?!” timpal Ratu.