Namanya Juga Anak-Anak
Langit jingga tak berawan, perlahan ditelan oleh ungu tua yang merayap dari timur. Angin sepoi-sepoi menerpa dedaunan di pinggir jalan, membawa aroma tanah basah yang khas sebelum malam tiba. Bianca duduk di kursi pengemudi sebuah mobil sedan tua milik sang ayah. Tangannya santai pada setir mobil sambil sesekali ia melirik ke arah Cica—adiknya.
Cica duduk di kursi penumpang, kakinya sengaja ia lipat sebab, belum cukup panjang untuk menyentuh lantai mobil. Ia memeluk erat sebuah kotak kado berpita merah muda, hadiah untuk Alin, teman sekelas Cica yang tengah merayakan ulang tahunnya bersama Acat—seorang anak laki-laki yang menurut kesaksian Cica adalah kekasih Alin—meski Bianca tak begitu yakin.
“Mbak... ini Alin pasti suka, kan?” tanya Cica dengan suara ceria khas anak kecil, matanya berbinar meski sedikit mengantuk karena hari mulai malam.
Bianca tersenyum tipis, menoleh sekilas ke arah Cica sebelum ia kembali fokus pada jalanan di depannya. “Tenang, aja. Pasti suka, kok. Nanti jangan lupa, bilang selamat ulang tahun ke Alin!” pesannya singkat.
Mendengar itu, Cica mengangguk cepat, meski tangannya sibuk memainkan ujung pita yang sudah hampir terlepas. “Mbak ikut masuk, kan?”
Bianca menggeleng mantap.
“Kenapa? Tadi Bunda nyuruh masuk aja,” kata Cica, suaranya polos tapi penuh rasa ingin tahu.
Bianca menghela napas, berusaha menutupi kekhawatirannya. “Males, aku cuman mau nganter kamu. Lagian aku nggak diundang,” jawabnya cepat.
Siang tadi, bundanya memang sempat berpesan sembari membungkus hadiah yang akan Cica berikan kepada Alin malam ini. Bundanya ingin ia ikut masuk untuk memberi ucapan, sekaligus menyapa orang tua Alin sebab, mereka mengenal baik satu sama lain. Namun, Bianca langsung menolaknya mentah-mentah, dengan wajah yang memerah. Alasannya cukup rumit untuk dijelaskan langsung kepada sang bunda siang itu. Rumah yang mereka tuju bukan hanya rumah Alin, tapi juga rumah Sabian—laki-laki yang baru ia temui kemarin malam. Bianca takut kalau-kalau mereka kembali bertemu di acara perayaan ulang tahun Alin secara kebetulan, Sabian mungkin akan berpikir yang tidak-tidak tentang dirinya.
Selang beberapa menit kemudian, mobil yang tengah Bianca kendarai itu akhirnya berhenti di depan halaman rumah Alin. Dengan penuh rasa penasaran, Bianca menelisik halaman rumah itu. Gerbangnya yang terbuka lebar seakan-akan menyambut siapapun yang datang malam ini. Lampu tamannya menyala redup, menciptakan suasana hangat tatkala Bianca terus memandanginya.
Langit kini hampir gelap, hanya menyisakan sisa-sisa jingga keunguan di kejauhan. Bianca mematikan mesin mobilnya, membantu Cica melepas sabuk pengaman. “Nggak usah buru-buru, nikmatin aja acaranya. Aku nungguin di sini.”
“Oke! Jangan ke mana-mana, ya, nanti aku kenalin ke Alin sama Acat!” seru Cica sambil melompat keluar. Kotak kado di pelukannya hampir terjatuh karena ia terlalu bersemangat.
Bianca mengangguk, “Iya, hati-hati, jangan lari!” titahnya. Namun, detik kemudian ia justru menyaksikan Cica yang berlari secepat kilat, memasuki halaman rumah itu.
Bianca mendesah pasrah seraya bersandar di kursi, dan mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. Ia duduk dengan tenang. Satu per satu kendaraan datang, dan langsung masuk ke dalam—berbeda dengan dirinya yang sengaja membuat Cica turun di depan gerbang rumah itu.
Perlahan tapi pasti, keheningan semakin lekat, pasalnya Bianca memang tidak melakukan apapun, selain bermain dengan ponselnya. Bianca sengaja membiarkan kaca mobilnya sedikit terbuka agar angin malam yang dingin menyelinap masuk.
Di dalam rumah, suasana semakin ramai. Maklum, seluruh tamu undangannya adalah anak-anak. Hanya segelintir orang tua yang ikut memeriahkan.
Alin dan Acat mulai membuka kado bersama teman-teman kecil mereka—termasuk Cica yang tengah sibuk menunjukkan pita merah mudanya dengan bangga.
“Pita ini kakak aku yang pilihin!”
“Wahh! Makasih kakaknya Cica!” seru Alin.
Sabian, yang tengah duduk di sudut ruang tamu dengan segelas air dingin di tangannya, praktis menoleh tatkala mendengar itu. Namun, detik kemudian ia berdeham. Berusaha mengalihkan pikiran.
'Kakaknya Cica mungkin ada banyak. Bukan cuman dia....'
Merasa tak terlalu cocok dengan kemeriahan pesta anak-anak, ia memutuskan untuk melangkah keluar melalui pintu samping, demi menghirup udara malam yang sejuk dan sedikit berembun.
Cahaya lampu taman membiaskan bayangan beberapa pohon ke halaman, menciptakan suasana yang kontras dengan keadaan di dalam. Tanpa sadar, Sabian terus berjalan menyusuri halaman rumah. Semakin jauh dari hiruk-pikuk yang diciptakan oleh anak-anak. Sembari berjalan, ia terus menilai beberapa kendaraan yang ia lihat, hingga pandangan berakhir pada satu titik yang berada di luar gerbang. Sabian menyipitkan matanya seketika.
“Lah, kok parkir di luar?” gumamnya penasaran. Rasa ingin tahunya menggoda Sabian untuk mendekat. Ia berjalan pelan, mengabaikan sapaan seorang penjaga keamanan yang bekerja untuk keluarganya, dan mengendap-endap demi melihat siapa gerangan yang berada di dalam mobil itu
Di dalam mobil, Bianca masih fokus pada ponselnya. Cahaya layar menyinari wajahnya dalam kegelapan kabin yang mulai pekat. Angin malam masuk dengan lembut, membawa hawa dingin yang membuatnya sedikit menggigil. Tiba-tiba, matanya menangkap sesuatu di kaca spion samping. Ada bayangan serba hitam yang bergerak mendekat.
Jantung Bianca langsung berdegup kencang. Ia praktis menutup pintu kaca di sisinya, dan menundukan kepala demi bersembunyi. Namun, detik kemudian kaca mobilnya diketuk berkali-kali dari luar.
Bianca yang ketakutan, spontan berteriak gaduh di dalam mobilnya. Menjerit minta tolong dengan suara yang sedikit gemetar.
Klek!
Kepanikan Bianca semakin bertambah tatkala ia menyadari bahwa pintu mobilnya baru saja dibuka dari luar.
“TOLONGG—”
“Eh, tenang, tenang!” kata Sabian cepat. Ia praktis menghapus jarak di antara mereka dan tangannya langsung menutup mulut Bianca agar jeritannya tak memancing perhatian banyak orang.
Sementara itu Bianca membelalak, napasnya tersengal, wajahnya memerah lantaran terkejut dan takut.
Sabian, yang juga sempat panik, akhirnya sadar jika perbuatannya cukup tak sopan. “Maaf, maaf!” Ia buru-buru melepaskan tangannya, dan menggaruk tengkuknya dengan ekspresi canggung.
“Sabian?!”
Sabian mengernyit, lalu matanya membesar. “Bianca?”
Bianca mengangguk, menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. “Gue... gue kira lo orang jahat,” katanya pelan.
Lantas Sabian mendengkus. Namun detik kemudian ia tersenyum miring. “Lo yang nganter Cica ke sini?”
“Iya.”
Sabian mengangguk paham, lalu menarik tubuhnya sedikit menjauh dari Bianca setelah ia sadar kalau beberapa saat lalu mereka terlalu dekat. “Nggak engap nunggu di dalem mobil? Sini keluar, angin enak di luar.”
Bianca ragu sejenak, namun akhirnya ia tersenyum—tanda setuju. Malam itu nada bicara Sabian sedikit bersahabat.
Mereka bersandar pada bumper mobil milik orang tua Bianca itu. Berdiri di salah satu sisi masing-masing dengan jarak sopan.
Selama beberapa menit, Bianca terus memainkan kerah pakaiannya—berusaha menyembunyikan perasaan kikuk serta cemasnya saat berada di dekat Sabian. Sementara Sabian hanya diam dan sesekali menghela napas panjang.
Langit kini gelap total, bintang-bintang mulai bermunculan, dan lampu jalanan yang menyatu pada tiang listrik menerangi mereka dengan cahaya kuning yang lembut.
“Lo... kenapa di luar? Ini, kan, ulang tahun adik lo,” tanya Bianca, memulai percakapan agar suasana tak terlalu hening.
“Di dalem sana isinya cuman temen-temen adik gue, dan temen-temen orang tua gue. Lumayan ngebosenin. Lo sendiri, kenapa nggak masuk?” balas Sabian.
“Alasan kita kurang lebih sama. Nggak ada yang gue kenal di sana, kecuali Cica.”
Sabian tertawa remeh mendengar jawaban Bianca barusan. Membuat Bianca sadar bahwa ada yang salah dari perkataannya.
“Gue kenal lo... tapi kita belum cukup deket...,” timpal Bianca.
“Kirain takut ditagih sepatu,” cetus Sabian. Membuat Bianca mendelik, dan keduanya praktis terkekeh.
Satu menit menjadi lima menit. Lima menit menjadi sepuluh menit. Lalu, seterusnya. Obrolan mereka mengalir perlahan, namun nyaman, dan tak terasa membosankan. Sabian mulai bercerita tentang keriuhan di rumahnya sejak pagi hingga malam ini, sementara Bianca mengaku sering menjadi sopir dadakan untuk Cica semenjak pulang ke kota ini.
Tanpa sadar waktu cepat berlalu. Angin malam semakin dingin, tapi hangatnya percakapan membuat mereka ingin berada di sana lebih lama.
“Masabi!” Tiba-tiba, terdengar teriakan dua bocak kecil yang memanggil Sabian. Mendengar itu, Sabian dan Bianca menoleh dengan spontan.
“Alin, Acat, ngapain keluar?” tanya Sabian, sambil berjalan menghampiri keduanya.
Namun, sebelum sempat pertanyaan itu terjawab, eksistensi Cica lebih dahulu muncul di balik Alin dan Acat, dengan raut wajah yang sulit untuk diartikan. “Mbak??” Cica berlari kecil, mendekati Bianca. “Kalian udah pacaran, ya!?”