cakgrays

Bianca turun dari motor dengan cepat, kemudian langsung berlari menuju halaman luas sebuah kafe—tempat ia akan bertemu lagi dengan Sabian malam ini. Ia bahkan lupa mengatakan terimakasih kepada sang pengemudi ojek online yang ia sewa. Sepatu kets putih yang ia kenakan sedikit berdecit, setiap kali ia melangkah. Di tangan kanannya, Bianca membawa sebuah tas jinjing berwarna cokelat tua, yang di dalamnya tersimpan sepasang sepatu milik Sabian—alasan utama ia mengajak laki-laki itu bertemu lagi hari ini.

Angin sore sepoi-sepoi, meniup permukaan kulit, hingga rambut Bianca. Membawa beberapa helai dari rambutnya hinggap di atas wajah. Bianca praktis menyibak rambut panjangnya menggunakan jemari tangan. Ia kemudian tersenyum tatkala melihat pintu masuk kafe, di hadapannya. Dari rumah, Bianca sudah merencanakan untuk datang lebih awal, seperti saat pertemuan pertama mereka beberapa hari lalu. Pikirnya, akan ada rasa aman tersendiri kalau ia dapat sampai lebih dulu—memilih meja, mengatur napas, dan menyiapkan diri sebelum Sabian muncul. Ia ingin semuanya terasa terkontrol, setidaknya di menit-menit awal.

Bianca sudah membayangkan kalau Sabian akan datang tepat waktu atau mungkin sedikit terlambat—seperti terakhir kali, dan memberinya ruang untuk duduk, sekaligus memesan minuman terlebih dahulu.

Pintu kaca kafe itu sedikit berderit tatkala Bianca mendorongnya. Kemudian bunyi lonceng kecil di atas pintu, berdenting pelan. Wangi biji kopi panggang bercampur dengan aroma kayu dari furnitur sederhana yang mengisi ruangan, langsung menyambutnya. Itu bukan kafe yang besar, tapi hangat. Dindingnya tak begitu padat dengan hiasan, jendela-jendelanya lebar menghadap trotoar, dan lampu-lampu gantung kuning tua bergoyang pelan di langit-langitnya.

Bianca menarik napas dalam, matanya menyapu ruangan mencari meja kosong—tapi langkahnya mendadak terhenti di ambang pintu. Tuhan, seperti biasa, punya cara sendiri untuk mengejutkannya.

Di sudut ruangan dekat jendela, Sabian sudah ada di sana. Laki-laki itu duduk dengan santai, dan satu dari kedua tangannya memegang segelas thai tea dingin yang permukaannya sudah berkondensasi hingga menyebabkan tetesan air kecil mengalir ke bawah gelas dan membasahi meja kayu di bawahnya. Cahaya lampu kafe memantul lembut di wajahnya, menonjolkan garis rahangnya yang tegas dan senyum tipis yang muncul begitu ia menyadari kehadiran Bianca.

Ketika mata mereka bertemu, Sabian praktis mengangkat tangan kirinya sedikit, menyapa dengan gerakan yang ramah.

Laki-laki itu mengenakan kemeja warna biru lembut dengan lengan yang digulung hingga siku, dipadukan dengan celana jeans hitam yang sedikit sobek di bagian lutut. Gaya kasualnya selaras dengan suasana kafe yang santai namun penuh karakter.

Bianca melangkah mendekat. Tangannya memegang tas jinjing yang ia bawa dengan lebih erat, seolah itu menjadi sebuah tameng dari rasa canggung yang tiba-tiba saja muncul, menyergap dirinya

“Udah di sini dari tadi?” tanya Bianca, sebagai sapaan awal.

“Enggak, baru lima menit. Kebetulan tadi di rumah nggak ada kerjaan,” jawab Sabian sambil tertawa kecil. Suaranya hangat, ada kelembutan di dalamnya yang membuat Bianca merasa sedikit lebih rileks.

Namun, dalam diam Bianca sadar kalau laki-laki itu berbohong. Lima menit terlalu singkat untuk seorang barista menyajikan minuman. Terlebih lagi, minuman milik Sabian tampaknya sudah berkurang cukup banyak.

“Duduk dulu.” Perkataan Sabian seketika memecah keheningan Bianca.

Ia tersenyum, lalu menarik kursi kayu di hadapan Sabian. Saat ia kebingungan untuk meletakkan tas bawaannya, Sabian tiba-tiba saja bergerak cepat. Dengan gerakan yang begitu alami, ia meraih tas itu dari tangan Bianca dan meletakkannya di atas meja, tepat di samping gelas minumannya.

Bianca tersentak kecil, tak menyangka Sabian akan melakukan itu. Jantungnya berdetak lebih cepat, dan ia buru-buru mendudukkan tubuhnya, berusaha menyembunyikan kekikukan yang ia rasakan.“Makasih ya,” ucapnya cepat, sedikit tergagap. Jauh di dalam benaknya, Bianca bertanya-tanya; apakah Sabian sekadar bersemangat karena sudah mengetahui bahwa di dalam tas itu terdapat sepatunya, atau ada niat lain di balik kepekaan dan gerakannya? Mata Bianca melirik ke tas jinjing itu, lalu ke wajah Sabian yang kini tersenyum tipis kepadanya—secara bergantian.

“Apa? Kenapa?” Sabian memiringkan kepalanya.

Bianca menggeleng. Pertanyaan dalam benaknya itu sengaja ia simpan rapat-rapat.

“Oh, ya, minum lo belum ada.” Sabian beranjak, “mau minum apa? Biar gue pesenin.”

“Gue pesen sendiri aja, Sab,” jawab Bianca, cepat, tak ingin merepotkan Sabian.

Namun, Sabian tampaknya tak ingin mengalah.“Biar gue, lo duduk aja. Mau minum apa?” tanyanya, sekali lagi.

Lantas, Bianca mendengkus, pasrah. “Iced matcha latte...”

Detik kemudian Sabian melenggang pergi, memesankan minuman untuk Bianca. Namun kepergian hanya sebentar, sebelum akhirnya ia kembali ke meja mereka, sembari mengantungi dompet.

Tatkala Bianca melihat Sabian yang tengah berjalan mendekat, ia merasa ada sesuatu yang berbeda dari laki-laki itu dibandingkan saat pertemuan pertama mereka di kafe ini. Sebelumnya, Sabian terkesan lebih pendiam, sedikit kaku, dan begitu dingin seakan tak berniat membuka diri. Tapi hari ini, ia terlihat lebih banyak bicara, lebih santai, dan ada kehangatan yang tak Bianca rasakan sebelumnya. Mungkin karena mereka sudah sempat bertemu beberapa kali, atau mungkin karena Sabian sedang dalam keadaan hati yang baik. Apa pun itu, Bianca merasa nyaman—lebih nyaman dari yang ia prediksikan.

“Kita satu kampus tapi gak pernah ketemu di kampus, sebelumnya,” kata Sabian, memulai obrolan dengan nada ringan. Ia meletakkan gelas thai tea-nya di meja, lalu bersandar sedikit ke kursi, tangannya terlipat santai di dada.

“Iya, lah! Gue, kan, di fakultas seni,” jawab Bianca. “Tapi kalo lo mau lebih sering ketemu sama gue setelah ini, bisa aja sih...,” timpalnya sambil tersenyum.

“Bisa, ya?” tanya Sabian, memastikan.

“Bisa! Nanti kapan-kapan gue berkeliaran, deh, di fakultas lo.”

Detik kemudian, Sabian langsung menggeleng sambil tersenyum lebar. “Jangan... banyak cowok,” kata Sabian, menginterupsi.

Seketika, Bianca tersipu, tak menyangka Sabian akan mengatakan itu secara spontan. Pipinya terasa hangat, dan ia buru-buru menundukkan kepala, pura-pura sibuk dengan layar ponselnya.

“Permisi, satu iced matcha latte-nya,” kata seorang pelayan yang baru saja datang membawakan pesanan Bianca ke meja mereka. Sabian mewakili Bianca untuk tersenyum singkat, seraya mengatakan terimakasih.

“Bianca... minuman lo.”

Bianca praktis mengangkat kepalanya, begitu Sabian menyodorkan segelas minuman matcha itu ke kepadanya. “Makasih....” Ia tersenyum kikuk. “Ngomong-ngomong, lucu ya. Kita seumuran, dan adik-adik kita juga sama,” katanya, berusaha mengangkat topik pembicaraan lain—yang lebih menarik, kemudian meneguk minumannya dengan santai.

Mendengar itu, Sabian mengangkat alis, lalu terkekeh. “Sebenernya nggak bener-bener gitu....” Ada sesuatu di matanya yang membuat Bianca merasa kalau ia akan mengatakan sesuatu yang tak terduga.

“Hah?” Bianca mengerutkan kening, bingung. Ia meletakkan gelas minumannya, sebagai tanda tanya.

Sabian menghela napas, lalu mulai bercerita dengan nada yang lebih serius tapi tetap santai. “Kita nggak seumuran, kayaknya gue lebih tua dua tahun dari lo—juga dari Sudirman. Sebelum ngerantau dan kuliah di Surabaya, gue udah sempet kuliah di sini.”

“Serius nggak, sih?”

Anggukan kepala dari Sabian, yang kemudian meyakinkan Bianca. “Gue tadinya ambil manajemen bisnis sesuai permintaan orang tua. Katanya, biar gue bisa nerusin bokap dan punya masa depan yang ‘pasti’. Tapi pas udah di tengah jalan, gue mutusin buat nyerah. Nggak ada minat dan bakat sama sekali. Setiap hari, rasanya kayak disuruh nyanyi lagu yang gue benci.”

Bianca mendengarkan dengan tatapan serius. Ia dapat membayangkan betapa frustrasinya Sabian saat itu, terjebak dalam sesuatu yang tak ia sukai, untuk waktu yang cukup lama. “Terus?” tanya ia, penasaran.

“Terus gue ajak diskusi keluarga dan ngomong tentang itu, di sana. Awalnya mereka kecewa, apalagi bokap. Awalnya dia bilang, ‘udah tinggal sedikit lagi, kenapa nyerah?’. Tapi, gue jawab terus sampai dia sadar dan ngerasa bersalah, soalnya dia emang agak maksa di awal. Akhirnya bokap kasih ijin buat gue pindah jurusan. Tapi gue malah pindah provinsi sekalian,” Sabian tertawa kecil, seolah mengenang betapa impulsif keputusannya waktu itu.

Bianca ikut tertawa, begitu mendengar kalimat terakhir Sabian. Tangannya refleks menutup mulut. “Nggak expect!”

“Gue pikir kalo tinggal agak jauh, gue bisa lebih mandiri dan dewasa. Soalnya kalo di rumah—”

“Lo dimanjain, ya?”

“Iya,” jawab Sabian sambil mengangguk, ada kebanggaan kecil di matanya. “Keliatan banget, ya?”

Bianca langsung menggeleng. “Di elo nggak keliatan. Tapi, kan, gue pernah liat keluarga lo secara langsung. Jadi, gue bisa mikir gitu,” katanya. Takut Sabian salah paham, dan merasa rendah diri. “Terus, lo kenal sama Zaid itu di mana?”

“Zaid?” Sabian tampak bingung. “Tau Zaid dari siapa?”

“Dari story Instagram lo, kan isinya selalu hangout sama dia. Lo pulang ke sini juga bareng dia, kan? Terus Sudirman pernah bilang kalo, temen kost barunya itu 'dua orang yang nggak bisa dipisahin'. Dia juga ada di malem 'itu' kan? Dia yang akhirnya nolongin kita berdua.” Bianca menyebutkan semua sumber yang membuatnya mengenal seorang Zaid.

Usai mendengar jawaban itu, alih-alih langsung menjawab, Sabuan justru tertawa.

“Kenapa, kok, tiba-tiba ketawa?”

“Gapapa, lucu aja. Lo bisa inget semuanya sedetail itu, dan ngomong tanpa terbata.” Kemudian, Sabian menghela napas panjang, sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Bianca. “Gue kenal Zaid itu dari lahir. Orang tua kita temenan. Kita TK, SD, SMP, SMA selalu bareng. Terus pisah karena dia masuk univ swasta. Tapi, gue sama Zaid tuh kayak… entah, kenapa... kita selalu ada di perahu yang sama. Waktu gue bilang kalo gue mau keluar dari univ lama, ternyata dia juga punya pikiran yang sama. Kita ketemu, ngobrol, dan akhirnya mutusin buat ngerantau ke Surabaya. Pikir kita dulu itu... biar bebas, tenang, dan bisa jadi mandiri,” Sabian tersenyum lebar, ada kehangatan di nada suaranya saat menyebut nama Zaid.

Mengetahui hal itu, Bianca sontak memberikan Sabian tepukan tangan yang dramatis. Membuat laki-laki itu sedikit kaget, dan menarik perhatian pengunjung kafe lain. “Wow, keren banget pertemanan lo sama Zaid!” ujar Bianca.

Lalu Sabian tertawa, terbawa suasana. “Iya, ya? Katanya, di masa tua nanti, dia mau jadi tetangga gue.”

Dari sana, obrolan mereka mengalir lebih dalam, dan lebih personal. Tak jarang Sabian melempar lelucon kecil yang membuat Bianca tak bisa menahan tawa. Ada satu momen ketika Sabian menceritakan kalau ia dan Zaid pernah bernyanyi di depan kelas—sewaktu SMA—menggunakan suara sengau lantaran kalah taruhan, dan Bianca sampai terpingkal dibuatnya.

Malam semakin larut tanpa mereka sadari. Cahaya lampu kafe seakan lebih terang dibandingkan langit di luar yang kini hanya diterangi lampu jalan dan sorot kendaraan yang tengah berlalu-lalang. Bianca melirik jam tangannya—sudah hampir pukul delapan. Ia tahu, ia harus pulang, meski sebenarnya ia masih betah duduk berlama-lama di sana, mendengarkan Sabian bercerita tentang kehidupan barunya selama di Surabaya, tentang kedua adiknya yang selalu menanyakan kabarnya—sampai terkadang tak nafsu makan jikalau ia tak kunjung menelepon, dan tentang betapa ia akhirnya menemukan sesuatu yang ia sukai.

“Gue pulang dulu ya,” ucap Bianca sambil bangkit dari kursi. Ia meraih tas berisi sepatu di atas meja, lalu menyerahkannya tas itu kepada Sabian, secara formal. “Makasih ya buat sepatunya, pertemuan ini, sama minuman yang lo traktir tadi.”

Sabian mengangguk, menerima tas itu dengan senyum yang lebih lebar dari sebelumnya. “Iya, sama-sama. Hati-hati di jalan ya, Bi.” Entah, sejak kapan Sabian mulai akrab dengan panggilan itu untuk Bianca.

Mereka berjalan keluar bersama. Lonceng kecil di atas pintu kafe kembali berdenting saat mereka melewati pintu. Udara malam terasa dingin, angin bertiup lebih kencang dibandingkan sore tadi, membawa serta aroma asap knalpot yang samar dari jalan raya di kejauhan. Bianca menyingkap poninya ke belakang, siap melangkah pergi—namun, tiba-tiba saja Sabian meraih tangannya dengan gerakan cepat namun lembut.

“Eh, tunggu sebentar,” kata Sabian, nadanya sedikit tergesa.

Bianca menoleh, jantungnya langsung berdegup kencang seperti drum yang dipukul terlalu kencang. “Kenapa, Sab?”

Sabian mengangkat tas berisi sepatu yang baru saja Bianca berikan beberapa saat lalu, dengan tangan kanannya, lalu tersenyum nakal—senyum yang belum pernah Bianca lihat sebelumnya. “Sepatu ini gue pinjemin ke lo, lagi.”

“Hah?” Bianca mengerutkan kening, bingung. Otaknya berputar dan mencoba memahami maksud dari perkataan Sabian, namun nihil.

“Jangan lupa dikembaliin lagi,” timpal Sabian, nadanya penuh maksud yang jelas.

Mendengar itu Bianca tertawa. Akhirnya ia paham apa yang Sabian inginkan. Tawa itu keluar begitu saja, membawa serta rasa lega dan gembira yang tak dapat ia tahan. “Kapan?” tanya Bianca.

“Kapan pun. Kalo lo punya waktu, dan mau nemuin gue di sini lagi,” jawab Sabian, matanya menatap Bianca dengan hangat, penuh harapan yang sengaja tak ia sembunyikan.

Pipi Bianca memerah, jantungnya semakin tak karuan, meski ia menolak tas itu dengan tangannya.

Ekspresi Sabian berubah seketika. Mungkin ia pikir Bianca merasa kurang nyaman dan menolak umpannya mentah-mentah. Akan tetapi, yang kemudian Bianca katakan justru sebaliknya.

“Gue bakal kabarin lo. Mungkin bulan depan, lusa, atau bahkan besok,” kata Bianca. Lalu ia menarik sudut bibirnya makin ke atas. “Tapi, gue harap kita bisa ketemuan di tempat lain, karna Jakarta luas banget, Sab.”

Lantas, laki-laki itu tertawa riang, suaranya menggema pelan di trotoar yang sepi. “Oke, gue tunggu kabar dari lo, ya.”

Bianca hanya tersenyum, sebagai respon—lalu melangkah pergi dengan hati yang penuh perasaan gugup, senang, dan sesuatu yang belum bisa ia definisikan. Meninggalkan Sabian yang masih setia berdiri di depan kafe seraya memandangi punggung Bianca yang perlahan menghilang di tikungan jalan. Tas jinjing warna cokelat berisikan sepatu itu masih di tangannya, dan harapan untuk pertemuan berikutnya membesar di dadanya.

Di sudut ruangan yang remang-remang, denting bola biliar yang saling bertabrakan mengisi suara malam itu. Cahaya lampu neon di atas meja biliar memantulkan bayangan samar pada wajah Sabian, yang tengah memusatkan pandangannya pada bola strip dengan angka 14. Tangan kanannya memegang stik dengan mantap, jari-jarinya menyesuaikan posisi dengan penuh perhitungan.

Di sisi lain meja, ada Zaid yang tengah berdiri santai—bersandar pada dinding ruangan yang terasa begitu dingin berkat suhu rendah yang dihasilkan AC. Segelas es teh dingin, berkeringat di tangannya, dan sesekali ia menyeruputnya sambil memperhatikan Sabian dengan senyum kecil yang penuh makna. “Lelet banget, Bi. Bidiknya yang bener, jangan cuma gaya,” ujar Zaid, nada suaranya penuh ejekan ringan yang sudah menjadi ciri khas persahabatan mereka.

Sabian tak langsung menjawab. Ia menarik napas dalam, lalu dengan gerakan presisi ia melepaskan pukulan. Bola angka 14 itu meluncur cepat, menghantam tepi meja sebelum akhirnya masuk ke lubang sudut dengan suara benturan yang memuaskan telinga. Sabian berdiri tegak, menyandarkan stik ke bahunya seperti pemenang kecil, namun tatkala ia menoleh, bola berwarna putih tak sengaja ikut terjun ke dalam lubang.

“Sialan!” seru Sabian, secara spontan.

Zaid tertawa kecil, menyeruput segelas es teh-nya, sebelum meletakkan gelas itu di atas sebuah meja kaca kecil yang berada tak jauh darinya. Ia bangkit, meraih stik biliarnya sendiri—kini giliran Zaid yang memukul bola solid.

Akan tetapi, sebelum fokus membidik, mulutnya sudah lebih dulu bergerak, membuka topik pembicaraan yang sepertinya sudah ia rencanakan sejak beberapa saat lalu.“Eh, ngomong-ngomong, apa kabar tuh, sepupunya Cudil?” tanya Zaid, matanya menyipit penuh rasa ingin tahu.

Sabian, yang baru saja akan mengambil gelas es teh miliknya, langsung terdiam sejenak, lalu menatap Zaid dengan ekspresi yang sulit diartikan—antara kesal, malu, dan sedikit senang begitu topik pembicaraan ini diangkat naik ke permukaan.

“Biasa aja. Tadi sore sempet chat-an lagi... sedikit,” jawab Sabian, berusaha terdengar santai.

Usai mengatakan itu, Sabian baru mengangkat gelasnya dan meneguk kecil—segelas es teh-nya. Rasa manis dan dingin dari teh itu menyegarkan tenggorokan Sabian, tapi tak cukup untuk menutupi kegugupan yang mulai merayap di dadanya.

Zaid, dengan insting teman lama, tahu ada sesuatu di balik nada datar itu. Ia tak akan melewatkan kesempatan untuk mengorek lebih dalam.

“Dibales, dong, chat lo yang najisin itu?” tanya Zaid, sengaja mengungkit perihal pesan menggoda yang sempat Sabian kirimkan pada Bianca, kemudian Sabian mengangguk. “Terus kalian jadi ketemuan? Besok??” Zaid membungkuk, memposisikan stik di tangannya, tapi matanya tetap tertuju pada Sabian, menunggu jawaban dengan penuh antisipasi.

Sabian berdeham, meletakkan gelasnya kembali, lalu bersandar pada tepi meja biliar. “Iya, jadi. Tapi gue pikir, kayaknya itu bakal jadi pertemuan terakhir kami.”

“Kenapa!?” Zaid melepaskan pukulan, tapi bola yang ia bidik hanya menggelinding pelan tanpa masuk ke dalam lubang. Ia menggerutu setelahnya, lalu berdiri tegak dan menatap Sabian lagi. “Ada apa gerangan, Bi? Bukannya udah mulai ada benih-benih pendekatan di antara kalian?”

Sabian mengusap wajahnya dengan tangan, seolah ingin menghapus ingatan tentang peristiwa bodoh yang terjadi saat pesta perayaan ulang tahun Alin.

“Kelakuan Acat tempo hari itu, cukup bikin gue malu parah. Bianca juga keliatan canggung dan kurang nyaman... ya walaupun setelah itu, kita udah chatan lagi.”

Zaid mengangguk paham atas apa yang dirasakan oleh Sabian. “Tapi ya udah, sih? Gitu, doang. Kenapa kejadian itu sampai bikin pertemuan lo sama Bianca berakhir?” timpalnya.

“Lo tau, kan, Id? Sejak kenal Ajeng, gue sadar kalau gue ini gampang jatuh cinta. Sejak gagal sama Ajeng, gue mulai takut. Deket sama perempuan suka bikin gue ngerasa cemas buat hal-hal yang belum terjadi. Jatuh cinta sama orang, bisa bikin gue ngelakuin apa aja. Hal gila sekalipun. Gue takut ngulang kesalahan yang sama lagi. Ke nyokap gue, ke bokap gue, bahkan... ke lo. Menurut gue, jauh dari kehidupan percintaan selama bertahun-tahun belakangan ini rasanya tenang. Hubungan gue sama orang-orang terdekat gue berjalan baik. Dan, yang paling penting kesehatan mental gue aman. Tapi...,” Sabian menarik napas dalam-dalam. “Bianca... sepupunya Cudil ini caper banget dan semua kebetulan di antara gue sama dia ini sialan banget. Akhir-akhir ini rasanya satu dunia gue isinya dia doang. Apalagi semenjak pulang ke Jakarta. Ngelakuin interaksi sesering ini sama perempuan yang jelas-jelas tertarik sama gue, lumayan bikin gue takut. Gimana kalo gue... em—dia mulai... menarik(?)”

Sabian diam sejenak. Stik biliar di tangannya terasa dingin, dan ia menatap bola-bola di atas meja, seolah-olah tengah mencari jawaban di sana. Setelah beberapa detik, ia berkata pelan, “Konyolnya lagi, nama dia banyak disebut-sebut orang di sekitar gue. Lo, nyokap gue, Alin, Acat, bahkan hampir semua keluarga gue! Telinga gue panas! Kayak… itu terlalu menyenangkan buat jadi kenyataan. Apalagi sejak acara ulang tahun Alin itu, nyokap gue nggak berhenti bahas soal dia dan keluarganya.”

Zaid mengerutkan kening, penasaran. “Emangnya Tante Ratu bilang apa?” Itu menjadi satu-satunya pertanyaan yang keluar dari mulut Zaid, usai ia mendengar keluh kesah Sabian.

Sabian membungkukkan tubuh lagi, lalu mulai membidik bola strip selanjutnya. Sembari fokus pada ujung stik, ia bercerita dengan nada yang lebih rileks. “Nyokap gue bilang, dia kenal keluarga Bianca, terutama bundanya. Mereka deket karena rapat orang tua di sekolah Alin, yang bahas tentang rencana liburan murid. Singkat cerita, nyokap gue nolak ide perjalanan itu demi kebaikan anak-anak, dan yap! Cuman bundanya Bianca yang dukung. Intinya mereka sama-sama punya visi buat ngelindungin anak-anak. Dari situ mereka jadi akrab, sampai Alin sama Cica—adiknya Bianca—juga jadi temen.”

Bola angka 15 berhasil Sabian masukkan ke dalam lubang. Namun, Zaid tak memberi reaksi apapun untuk itu. Ia malah fokus mendengarkan cerita Sabian dengan antusias, dan sesekali mengangguk.

“Terus?” kata Zaid.

“Terus, abis ceritain itu, nyokap gue tiba-tiba bilang, ‘Bi, Mama yakin Bianca ini anak baik. Bukan tipikal yang akan bikin kamu jauh dari keluarga.’ Denger dia ngomong gitu, wajar, kan, kalo gue kaget? Lo tau sendiri, waktu gue sama Ajeng dulu, nggak ada satu orang pun yang dukung gue. Dulu gue kayak nggak punya siapapun yang ngerti sama perasaan gue. Tapi sekarang? Nyokap gue sendiri yang malah kasih dorongan.”

Zaid tersenyum kecil, mulai mengerti konsep kekacauan batin temannya itu. “Jadi lo ngerasa aneh karena tiba-tiba ada harapan baru?”

“Iya,” Sabian menjawab cepat. “Gue takut, Id. Takut kalau harapan ini cuma bikin gue jatuh lagi. Gue sama Bianca emang baru di tahap kenal, sih. Tapi kalau dia suka gue, gue suka dia, dan satu dunia dukung kami berdua. Menurut lo apa yang akan terjadi? Ya, bener! Kita pacaran! Terus? Masalah baru pasti dateng lagi. Iya, kan, Id? Hidup ini ibarat ikut Ninja Warrior.”

Lalu tawa Zaid pecah seketika. Ia merasa lucu dan sedikit terharu. Pasalnya, berbeda dengan saat pertama kali Sabian jatuh cinta, kini Sabian jauh lebih terbuka kepadanya. Dan, hal itu membuat Zaid merasa sangat dihargai sebagai seorang sahabat.

Zaid berjalan demi meraih segelas es teh-nya yang sudah semakin berkeringat dari sebelumnya. “Bi, denger gue. Ketakutan lo wajar, tapi lo nggak bisa terus takut sama sesuatu yang belum terjadi. Gue tau lo mungkin trauma sama Ajeng... tapi, waktu itu usia lo emang belum cukup buat cinta-cintaan. Kesalahan-kesalahan yang lo lakuin waktu itu, ya, karena lo masih muda dan tolol aja. Sekarang, lo udah jauh lebih dewasa. Menurut gue, mungkin udah saatnya lo bertindak kayak laki-laki pada umumnya. Kalo lo emang mulai suka, deketin dia beneran. Bukan cuman ngasih umpan-umpan menajiskan kayak terakhir kali. Ambil langkah yang pasti. Saling jatuh cinta atau menjauh dan jadi single sampai mati. Pilih salah satu, jangan nanggung!”

Mendengar penuturan Zaid, Sabian tertawa kecil, namun ada nada gugup yang tertinggal di sana. Ia kembali memposisikan stik, lalu membidik bola terakhirnya di atas meja. Bola angka 8.

“Kalau bola ini masuk, gue pilih opsi pertama,” kata Sabian, seraya memicingkan mata.

“Oke.” Zaid mengangkat gelasnya, seolah bersulang. “Selamat menempuh hidup baru, Sabian!” serunya.

Lalu, tatkala Sabian melepaskan pukulan terakhir, bola berangka 8 itu menggelinding sebelum akhirnya masuk sempurna.

Kalimat terakhir Zaid, akan segera menjadi kenyataan. Besok adalah awal yang baru, bagi kehidupan baru seorang Sabian.

Langit jingga tak berawan, perlahan ditelan oleh ungu tua yang merayap dari timur. Angin sepoi-sepoi menerpa dedaunan di pinggir jalan, membawa aroma tanah basah yang khas sebelum malam tiba. Bianca duduk di kursi pengemudi sebuah mobil sedan tua milik sang ayah. Tangannya santai pada setir mobil sambil sesekali ia melirik ke arah Cica—adiknya.

Cica duduk di kursi penumpang, kakinya sengaja ia lipat sebab, belum cukup panjang untuk menyentuh lantai mobil. Ia memeluk erat sebuah kotak kado berpita merah muda, hadiah untuk Alin, teman sekelas Cica yang tengah merayakan ulang tahunnya bersama Acat—seorang anak laki-laki yang menurut kesaksian Cica adalah kekasih Alin—meski Bianca tak begitu yakin.

“Mbak... ini Alin pasti suka, kan?” tanya Cica dengan suara ceria khas anak kecil, matanya berbinar meski sedikit mengantuk karena hari mulai malam.

Bianca tersenyum tipis, menoleh sekilas ke arah Cica sebelum ia kembali fokus pada jalanan di depannya. “Tenang, aja. Pasti suka, kok. Nanti jangan lupa, bilang selamat ulang tahun ke Alin!” pesannya singkat.

Mendengar itu, Cica mengangguk cepat, meski tangannya sibuk memainkan ujung pita yang sudah hampir terlepas. “Mbak ikut masuk, kan?”

Bianca menggeleng mantap.

“Kenapa? Tadi Bunda nyuruh masuk aja,” kata Cica, suaranya polos tapi penuh rasa ingin tahu.

Bianca menghela napas, berusaha menutupi kekhawatirannya. “Males, aku cuman mau nganter kamu. Lagian aku nggak diundang,” jawabnya cepat.

Siang tadi, bundanya memang sempat berpesan sembari membungkus hadiah yang akan Cica berikan kepada Alin malam ini. Bundanya ingin ia ikut masuk untuk memberi ucapan, sekaligus menyapa orang tua Alin sebab, mereka mengenal baik satu sama lain. Namun, Bianca langsung menolaknya mentah-mentah, dengan wajah yang memerah. Alasannya cukup rumit untuk dijelaskan langsung kepada sang bunda siang itu. Rumah yang mereka tuju bukan hanya rumah Alin, tapi juga rumah Sabian—laki-laki yang baru ia temui kemarin malam. Bianca takut kalau-kalau mereka kembali bertemu di acara perayaan ulang tahun Alin secara kebetulan, Sabian mungkin akan berpikir yang tidak-tidak tentang dirinya.

Selang beberapa menit kemudian, mobil yang tengah Bianca kendarai itu akhirnya berhenti di depan halaman rumah Alin. Dengan penuh rasa penasaran, Bianca menelisik halaman rumah itu. Gerbangnya yang terbuka lebar seakan-akan menyambut siapapun yang datang malam ini. Lampu tamannya menyala redup, menciptakan suasana hangat tatkala Bianca terus memandanginya.

Langit kini hampir gelap, hanya menyisakan sisa-sisa jingga keunguan di kejauhan. Bianca mematikan mesin mobilnya, membantu Cica melepas sabuk pengaman. “Nggak usah buru-buru, nikmatin aja acaranya. Aku nungguin di sini.”

“Oke! Jangan ke mana-mana, ya, nanti aku kenalin ke Alin sama Acat!” seru Cica sambil melompat keluar. Kotak kado di pelukannya hampir terjatuh karena ia terlalu bersemangat.

Bianca mengangguk, “Iya, hati-hati, jangan lari!” titahnya. Namun, detik kemudian ia justru menyaksikan Cica yang berlari secepat kilat, memasuki halaman rumah itu.

Bianca mendesah pasrah seraya bersandar di kursi, dan mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. Ia duduk dengan tenang. Satu per satu kendaraan datang, dan langsung masuk ke dalam—berbeda dengan dirinya yang sengaja membuat Cica turun di depan gerbang rumah itu.

Perlahan tapi pasti, keheningan semakin lekat, pasalnya Bianca memang tidak melakukan apapun, selain bermain dengan ponselnya. Bianca sengaja membiarkan kaca mobilnya sedikit terbuka agar angin malam yang dingin menyelinap masuk.


Di dalam rumah, suasana semakin ramai. Maklum, seluruh tamu undangannya adalah anak-anak. Hanya segelintir orang tua yang ikut memeriahkan.

Alin dan Acat mulai membuka kado bersama teman-teman kecil mereka—termasuk Cica yang tengah sibuk menunjukkan pita merah mudanya dengan bangga.

“Pita ini kakak aku yang pilihin!”

“Wahh! Makasih kakaknya Cica!” seru Alin.

Sabian, yang tengah duduk di sudut ruang tamu dengan segelas air dingin di tangannya, praktis menoleh tatkala mendengar itu. Namun, detik kemudian ia berdeham. Berusaha mengalihkan pikiran.

'Kakaknya Cica mungkin ada banyak. Bukan cuman dia....'

Merasa tak terlalu cocok dengan kemeriahan pesta anak-anak, ia memutuskan untuk melangkah keluar melalui pintu samping, demi menghirup udara malam yang sejuk dan sedikit berembun.

Cahaya lampu taman membiaskan bayangan beberapa pohon ke halaman, menciptakan suasana yang kontras dengan keadaan di dalam. Tanpa sadar, Sabian terus berjalan menyusuri halaman rumah. Semakin jauh dari hiruk-pikuk yang diciptakan oleh anak-anak. Sembari berjalan, ia terus menilai beberapa kendaraan yang ia lihat, hingga pandangan berakhir pada satu titik yang berada di luar gerbang. Sabian menyipitkan matanya seketika.

“Lah, kok parkir di luar?” gumamnya penasaran. Rasa ingin tahunya menggoda Sabian untuk mendekat. Ia berjalan pelan, mengabaikan sapaan seorang penjaga keamanan yang bekerja untuk keluarganya, dan mengendap-endap demi melihat siapa gerangan yang berada di dalam mobil itu


Di dalam mobil, Bianca masih fokus pada ponselnya. Cahaya layar menyinari wajahnya dalam kegelapan kabin yang mulai pekat. Angin malam masuk dengan lembut, membawa hawa dingin yang membuatnya sedikit menggigil. Tiba-tiba, matanya menangkap sesuatu di kaca spion samping. Ada bayangan serba hitam yang bergerak mendekat.

Jantung Bianca langsung berdegup kencang. Ia praktis menutup pintu kaca di sisinya, dan menundukan kepala demi bersembunyi. Namun, detik kemudian kaca mobilnya diketuk berkali-kali dari luar.

Bianca yang ketakutan, spontan berteriak gaduh di dalam mobilnya. Menjerit minta tolong dengan suara yang sedikit gemetar.

Klek!

Kepanikan Bianca semakin bertambah tatkala ia menyadari bahwa pintu mobilnya baru saja dibuka dari luar.

“TOLONGG—”

“Eh, tenang, tenang!” kata Sabian cepat. Ia praktis menghapus jarak di antara mereka dan tangannya langsung menutup mulut Bianca agar jeritannya tak memancing perhatian banyak orang.

Sementara itu Bianca membelalak, napasnya tersengal, wajahnya memerah lantaran terkejut dan takut.

Sabian, yang juga sempat panik, akhirnya sadar jika perbuatannya cukup tak sopan. “Maaf, maaf!” Ia buru-buru melepaskan tangannya, dan menggaruk tengkuknya dengan ekspresi canggung.

“Sabian?!”

Sabian mengernyit, lalu matanya membesar. “Bianca?”

Bianca mengangguk, menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. “Gue... gue kira lo orang jahat,” katanya pelan.

Lantas Sabian mendengkus. Namun detik kemudian ia tersenyum miring. “Lo yang nganter Cica ke sini?”

“Iya.”

Sabian mengangguk paham, lalu menarik tubuhnya sedikit menjauh dari Bianca setelah ia sadar kalau beberapa saat lalu mereka terlalu dekat. “Nggak engap nunggu di dalem mobil? Sini keluar, angin enak di luar.”

Bianca ragu sejenak, namun akhirnya ia tersenyum—tanda setuju. Malam itu nada bicara Sabian sedikit bersahabat.

Mereka bersandar pada bumper mobil milik orang tua Bianca itu. Berdiri di salah satu sisi masing-masing dengan jarak sopan.

Selama beberapa menit, Bianca terus memainkan kerah pakaiannya—berusaha menyembunyikan perasaan kikuk serta cemasnya saat berada di dekat Sabian. Sementara Sabian hanya diam dan sesekali menghela napas panjang.

Langit kini gelap total, bintang-bintang mulai bermunculan, dan lampu jalanan yang menyatu pada tiang listrik menerangi mereka dengan cahaya kuning yang lembut.

“Lo... kenapa di luar? Ini, kan, ulang tahun adik lo,” tanya Bianca, memulai percakapan agar suasana tak terlalu hening.

“Di dalem sana isinya cuman temen-temen adik gue, dan temen-temen orang tua gue. Lumayan ngebosenin. Lo sendiri, kenapa nggak masuk?” balas Sabian.

“Alasan kita kurang lebih sama. Nggak ada yang gue kenal di sana, kecuali Cica.”

Sabian tertawa remeh mendengar jawaban Bianca barusan. Membuat Bianca sadar bahwa ada yang salah dari perkataannya.

“Gue kenal lo... tapi kita belum cukup deket...,” timpal Bianca.

“Kirain takut ditagih sepatu,” cetus Sabian. Membuat Bianca mendelik, dan keduanya praktis terkekeh.

Satu menit menjadi lima menit. Lima menit menjadi sepuluh menit. Lalu, seterusnya. Obrolan mereka mengalir perlahan, namun nyaman, dan tak terasa membosankan. Sabian mulai bercerita tentang keriuhan di rumahnya sejak pagi hingga malam ini, sementara Bianca mengaku sering menjadi sopir dadakan untuk Cica semenjak pulang ke kota ini.

Tanpa sadar waktu cepat berlalu. Angin malam semakin dingin, tapi hangatnya percakapan membuat mereka ingin berada di sana lebih lama.

“Masabi!” Tiba-tiba, terdengar teriakan dua bocak kecil yang memanggil Sabian. Mendengar itu, Sabian dan Bianca menoleh dengan spontan.

“Alin, Acat, ngapain keluar?” tanya Sabian, sambil berjalan menghampiri keduanya.

Namun, sebelum sempat pertanyaan itu terjawab, eksistensi Cica lebih dahulu muncul di balik Alin dan Acat, dengan raut wajah yang sulit untuk diartikan. “Mbak??” Cica berlari kecil, mendekati Bianca. “Kalian udah pacaran, ya!?”

Sabian berbaring di atas ranjang dengan ponsel yang menempel di telinga kanannya. Cahaya lampu tidur yang lembut menerangi wajahnya di dalam kegelapan kamar. Di ujung sambungan telepon, suara Zaid terdengar santai, sesekali diselingi tawa kecil yang khas ketika ia mendengarkan cerita Sabian mengenai seorang perempuan—bernama Bianca—yang ia temui hari ini.

“Dia modis banget, Id,” kata Sabian, suaranya penuh semangat, “Selera fashionnya mantep.” Ia berhenti sejenak, seolah mencari kata yang tepat untuk mendeskripsikan perempuan yang baru saja meninggalkan kesan di benaknya itu.

Zaid yang mendangar itu, lantas menyela, “Gue langsung kebayang, lagi, sama postingan OOTD dia di Instagramnya selama ini,” kata Zaid. Kemudian, tawa kecilnya menggema di telinga Sabian.

“Nah! Persis! Tingkat percaya diri dia tinggi, gue bisa ngerasain itu. Jadi, outfit apapun yang dia pakai, keliatan cocok sama dia.”

“Mukanya secantik itu, kalo nggak percaya diri parah, sih. Nggak mensyukuri apa yang udah Tuhan kasih.”

Lantas, Sabian manggut-manggut tanda setuju, seraya berdeham singkat.

“Lo sama dia, lama nggak ngobrolnya?”

“Lumayan.” Sabian mulai bercerita. “Tapi tadi, pas kita lagi ngobrol santai, tiba-tiba Alin nelepon. Dan, tau? Sepupunya Cudil itu, tiba-tiba nyuruh gue cabut. Dia pikir yang telpon itu temen gue, dan gue ada janji lain? Tanpa drama, tanpa muka cemberut, dia nyuruh gue pergi sambil senyum!”

Zaid tergelak. “Serius?” tanya Zaid penasaran. “Perempuan yang kayak Bianca inilah yang dibutuhin dalam setiap pertemanan laki-laki, Bi!”

Sabian ikut terkekeh, tapi ada nada serius di balik tawanya. “Mulai.” Ia menghela napas, memindahkan ponsel ke telinganya yang satu lagi.

“Maaf, Kak. Siap! Salah!”

Sabian berdeham singkat.

“Terus! Terus! Lanjutin!” Zaid terdengar antusias, seperti sedang mengharapkan lanjutan spoiler dari sebuah film dengan genre kesukaannya.

“Terus gue beneran harus pulang, soalnya orang rumah udah nungguin.” Sabian tersenyum lebar, ketika mengingat kejadian yang masih segar di kepalanya. “Tapi....”

“Tapi apa?”

“Pas kita mau pisah, dia tiba-tiba bilang, kalo dia nggak bawa sepatunya. Dia lupa. Dia pikir udah masukin sepatu gue ke tas, ternyata belum.”

“LAH?! GIMANA SIH MONYET?? BISA-BISANYA KELUPAAN!”

Sabian praktis terkekeh mendengar betapa emosinya Zaid dari kejauhan. “Dia boong. A1 valid! Dia boong, karna dari awal gue dateng, gue udah tau kalo dia bawa tas tenteng yang agak penuh. Dan, gue yakin itu isinya sepatu gue. Dari muka dia pun keliatan jelas kalo dia lagi boongin gue.”

“Tapi, boong buat apa? Bukannya dia sendiri yang kepengen balikin sepatu lo?”

“Dia ngajak ketemu lagi.”

Zaid tak bisa menahan tawanya lagi usai mendengar jawaban Sabian. “Brengsek! Oke banget modusnya!” kata Zaid yang masih tak percaya. “Terus gimana? Lo mau?”

Sabian mengangguk, meski Zaid tak bisa melihatnya. “Iya....”

Hening.

“Gue nggak tau kenapa gue langsung setuju, tanpa pikir panjang. Tololnya lagi, gue udah terlanjur bilang besok bisa. Padahal jelas-jelas besok ada acaranya Alin sama Acat.”

Zaid terdengar menghela napas panjang di seberangsana. “Lo udah kena, Bi. Minta ganti hari aja,” sahutnya.

Zaid memang tahu betul sifat Sabian yang cenderung tak acuh dan sulit membuka hati setelah kegagalan cintanya dengan Ajeng—cinta pertamanya yang berakhir pahit beberapa tahun lalu. Sejak saat itu, Sabian seperti membangun tembok tinggi di sekitar dirinya. Setiap kali ada perempuan yang mendekat—entah dengan cara halus atau terang-terangan—ia selalu menghindar. Bukan karena ia tak mau, tapi karena bayang-bayang Ajeng masih ada. Ia takut mengulang momen tak menyenangkan, seperti saat ia dekat dengan perempuan dari masa lalunya itu.

“Denger, Bi... sebagai temen dan saksi hidup lo, gue seneng banget akhirnya ada satu cewek lagi yang bisa bikin lo tertarik. Gue seneng lo sekarang udah bisa seterbuka ini tentang perasaan lo. Ini pertama kalinya gue denger lo kasih respons positif buat cewek setelah Ajeng. Itu tandanya, lo sendiri sadar kalo ada sesuatu yang bener-bener beda di diri Bianca. Ubah tanggal tuh gampang. Jangan kepikiran buat ngilang gitu aja.”

Mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Zaid, membuat Sabian paham akan situasi dan apa yang tengah ia rasakan saat ini. Kawannya itu memang selalu pintar acapkali membahas perihal dunia percintaan. Zaid sudah seperti Pak Comblang, meski ia sendiri belum pernah memiliki seorang pasangan seumur hidupnya.

Saat Sabian berniat menimpali perkataan Zaid, tiba-tiba saja pintu kamarnya terbuka dari luar. Alin, adiknya muncul sembari memeluk erat sebuah bantal karakter cinnamoroll.

“Masabi.... Alin boleh nggak bobo sama Masabi malem ini? Alin masih kangen....”

Sabian melangkah lebar dengan kakinya yang panjang. Sepatu kulit yang tengah ia pakai mengeluarkan suara 'tap-tap' acapkali menyentuh trotoar yang basah oleh sisa hujan beberapa saat lalu. Udara malam terasa dingin, tapi ia tampak tak begitu terganggu. Jaket hitamnya yang sedikit basah berkat tetesan air hujan dari dedaunan di atas pohon hanya ia lap sekilas menggunakan tangan. Ia sengaja memilih untuk berjalan kaki pasalnya, tempat yang ia tuju berada tak jauh dari rumah.

Saat sudah hampir sampai, Sabian menghentikan langkahnya sejenak. Netranya menatap lurus ke depan, ke arah kafe kecil di seberangnya. Sabian menghela napas panjang lalu ia masukkan kedua tangannya ke dalam saku. Dalam diam ia berharap, semoga pertemuannya dengan seorang perempuan kali ini tak berakhir buruk nantinya.

Jujur saja, menurut Sabian, permintaan Bianca ini adalah gangguan kecil di tengah rutinitasnya yang teratur. Akan tetapi, ia memilih untuk tetap datang—karena ingin menghargai usaha perempuan itu, dan kebetulan ia tak punya alasan kuat untuk melakukan penolakan kesekian kalinya. Sabian merasa bahwa apa yang sempat Zaid katakan, ada benarnya. Ia sudah terlalu menutup diri, hanya karena seseorang dari masa lalu.


Di dalam kafe, Bianca sudah duduk di sudut dekat jendela, tangannya memainkan ujung gelas kopi yang tampaknya belum ia minum sama sekali.

Rambutnya yang panjang dan sedikit bergelombang, jatuh ke samping bahu. Sementara itu, matanya membola tatkala ia melihat eksistensi Sabian dari balik pintu masuk. Secara spontan Bianca melambaikan tangannya, kemudian Sabian hanya mengangguk singkat sebagai respons. Laki-laki itu berjalan mendekat, menarik kursi di hadapan Bianca dengan gerakan kaku, lalu duduk tanpa banyak kata.

“Makasih, ya, udah mau dateng,” ujar Bianca, suaranya lembut tapi ada nada gugup yang tak bisa ia sembunyikan di sana. “Mau pesen minum apa?”

Sabian hanya mengangkat bahu sedikit, dan tersenyum singkat. “Nanti aja, gue bisa pesen sendiri.” Ia berkata demikian dan raut wajahnya tampak sangat menjelaskan bahwa ia tak berniat lama-lama berada di dalam kafe itu.

Mendapat respons seadanya seperti barusan, membuat Bianca praktis mencebikkan bibirnya sesaat. Ada setitik rasa kekecewaan di hatinya, namun, ia berusaha untuk tetap ramah. “Oh, ya, kenalin nama gue Bianca. Lo nggak perlu kenalin diri lo, kalau lo males—karna gue udah tau.”

Sabian menumpuk salah satu kakinya, di atas kaki yang lain sembari manggut-manggut.

“Sebenernya gue ngajak ketemu karna mau bilang makasih banyak atas bantuan lo malem itu, dan maaf karna udah ngerepotin lo, secara langsung...,” tutur Bianca.

Detik kemudian, Sabian mencondongkan tubuhnya ke depan. “Sama-sama. Tapi menurut gue, lo nggak perlu minta maaf,”

Bianca tersenyum. “Anyway, setelah malem itu... keadaan lo gimana? Soalnya, seinget gue, lo luka parah. Tapi, gue nggak dapet kabar apapun tentang lo. Pihak kepolisian juga... kayaknya nemuin kita secara terpisah, ya?” katanya, berusaha membuka topik obrolan baru.

“Sudirman nggak cerita?”

Bianca mendelik, “Lo udah tau kalo gue sama dia sodaraan?”

“Tau, dia ngaku.” Sabian menarik sudut bibirnya, teringat betapa konyolnya pengakuan kawannya itu beberapa hari lalu. “Setelah malem itu, gue ada di rumah sakit. Tapi untungnya nggak ada luka yang serius, dan gue cepet pulih,” sambungnya.

“Astaga... gue minta maaf.”

“Nggak masalah.”

“Gue bakal ganti biaya yang udah lo keluarin selama di rumah sakit.”

Sabian mengangkat sebelah alisnya. “Nggak usah.” Ia kemudian terkekeh. “Gue emang nolongin lo, tapi gue masuk rumah sakit bukan karna lo. Lagian, biaya rumah sakitnya juga nggak seberapa.”

Bianca paham betul maksud Sabian, namun, ia sudah terlanjur menerima pertolongan Sabian waktu itu dengan rasa terima kasih yang berlebihan. Ia kesulitan melupakannya. Ada sesuatu pada diri Sabian yang membuatnya penasaran, ingin kenal, dan lebih dekat dengat dalih berterima kasih seperti yang baru saja ia lakukan.

Kini, Bianca menatap Sabian yang tengah duduk di hadapannya, mencoba mencari celah untuk memulai percakapan lebih jauh. “Hmm... jadi di antara kita cuman ada sepatu, ya?”

“Maksudnya?”

“Eh... maksudnya, gue cuman perlu kembaliin sepatu lo....”

Untuk kedua kalinya Sabian hanya manggut-manggut, dengan ibu jari dan telunjuk yang menyanggah dagunya.

“Tapi ukuran sepatu lo betulan segitu?” tanya Bianca, terus berusaha mengembangkan topik pembicaraan mereka.

Mendengar itu, Sabian memasang raut wajah tak percaya. “Kalau lo sendiri masih belum yakin sepatu itu punya gue, kenapa sampai seniat ini—ngajak ketemuan?” jawabnya singkat, nadanya datar seperti tengah membaca daftar belanjaan.

Bianca tersenyum kecil, tangannya memutar gelas kopi di meja. Misinya sukses. “Siapa yang bilang kalau gue nggak yakin?”

“Terus kenapa nanya kayak barusan?”

“Buat gue lucu. Ukuran kaki kita sama.”

Sabian hanya mendengkus pelan, tatapannya beralih ke jendela. “Apanya yang lucu? Kaki lo sama besarnya sama kaki cowok.”

Bianca tertawa kecil, suaranya renyah di tengah suasana kafe yang sepi. “Bagus, dong? Suatu saat nanti, gue jadi bisa minjem sepatu lo lagi.” Ia berkata begitu tanpa malu, matanya berbinar penuh minat.

Sementara Sabian hanya meliriknya sekilas, tak menunjukkan reaksi apa pun, tapi di dalam hatinya ia merasa sedikit terusik. Bianca terlalu terbuka, terlalu hangat—bertentangan dengan dirinya yang ingin selalu membuat jarak.

Tiba-tiba saja, ponsel Sabian yang tergeletak di atas meja, berdering. Getarannya memecah keheningan sesaat yang sempat merayap di antara mereka. Sabian mengambil ponsel itu dengan gerakan lambat, melirik layarnya sebelum mengangkat. “Halo.” Suaranya terdengar begitu bersahabat. Berbeda saat ia tengah berbicara dengan Bianca beberapa lalu.

Bianca memperhatikan Sabian dalam diam. Mencoba menebak siapa gerangan yang tengah menelepon. Ia menduga itu temannya. Mungkin Sabian mempunyai janji lain malam ini, batinnya.

Lantas, dengan begitu santai, ia berkata, “Kalau lo ada janji sama temen, nggak apa-apa, kok. Udah nggak ada yang mau gue omongin.” Bianca tak ingin menyita waktu Sabian bersama temannya. Ia merasa tak pantas.

Namun, Sabian menggeleng pelan, lalu kembali bicara pada ponsel. “Masabi lagi sama temen, Lin. Iya, sebentar lagi pulang. Kasih tau Mama kalau Masabi beli makaron.” Ia menutup telepon tanpa menunggu jawaban panjang, lalu kembali menatap Bianca yang kini tampak penasaran.

“Adik gue,” jelas Sabian, meski Bianca tak bertanya. “Sebentar lagi natal dan birthday adik gue. Kami bikin acara, dan gue udah janji mau bantuin bokap gue bikin dekorasi.”

Bianca membelalakkan mata, tak dapat menyembunyikan kekagumannya. “Serius? Wah.... Gue nggak nyangka kalau lo tipikal yang sefamily man itu.”

Sabian mendecih, ekspresinya tetap tak berubah. “Biasa aja,” timpal Sabian.

Namun, bagi Bianca, itu bukan hal yang 'biasa saja'. Ada sisi Sabian yang baru ia lihat—dingin di luar, namun ternyata memiliki kehangatan yang disembunyikan rapat-rapat. Bianca pikir, Sabian hanya bersikap manis kepada sang adik, ternyata ia lebih dari itu. Jantung Bianca berdetak sedikit lebih kencang. Kini ia merasa semakin tertarik pada laki-laki di depannya ini.

Bianca tiba-tiba tersenyum lebar, lalu memainkan rambutnya dengan gerakan yang sengaja dibuat-buat. “Eh, gue baru sadar… kayaknya gue lupa bawa sepatunya, deh? Maaf banget, gue pikir udah gue bawa, tapi ternyata ketinggalan di rumah.”

Sabian melempar tatapan tajam, dan ada sedikit kerutan di dahinya yang menunjukkan bahwa ia tak sepenuhnya percaya.

“Terus?”

“Gue janji bakal balikin besok! Bisa nggak kita ketemuan lagi?” timpal Bianca, cepat. Nadanya penuh harap. Ia memandang Sabian dengan sorot mata yang berbinar, berharap laki-laki itu tak menolak.

Sabian diam sejenak, tampak seperti tengah mempertimbangkan sesuatu. Ia sebenarnya tak suka rencana yang mendadak, apalagi harus bertemu lagi hanya untuk urusan sepatu yang ia sendiri tak terlalu peduli. Akan tetapi, ada sesuatu dalam cara Bianca bicara—terlalu antusias, terlalu hidup—yang membuatnya tak bisa langsung menolak ajakan itu.

“Boleh, besok sore. Di sini lagi, aja,” kata Sabian sedikit ketus, niatnya tulus.

Bianca hampir melonjak dari kursinya, tapi ia menahan diri dan hanya tersenyum lebar. “Oke! Besok sore di sini. Gue janji bawa sepatunya. Makasih banget, ya!”

Sabian mengangguk singkat, lalu berdiri dari kursi. “Yaudah, kalau gitu gue duluan, ya. Adik gue udah nungguin.” Ia menggenggam ponselnya erat-erat, lalu melangkah cepat keluar tanpa menoleh lagi.

Bianca memandangi punggungnya yang menghilang di balik pintu kafe. Tangannya memegang gelas kopi yang sudah sejak lama berada di sana. Saat Sabian sudah tak terlihat, Bianca bersandar di kursi, senyumnya tak kunjung hilang dari wajahnya.

Sepatu itu sebenarnya ada di dalam tas jinjing yang ia letakan di bawah meja—ia sengaja tak mengeluarkannya, dan berbohong kepada Sabian. Baginya, itu adalah satu-satunya cara agar ia bisa bertemu Sabian lagi, dan dapat mencoba mengenal laki-laki dingin itu lebih dalam.


Di perjalanan pulang, Sabian menggenggam sekotak makaron di tangannya. Ia tiba-tiba saha terkekeh, mengingat sesuatu.

Sabian tahu persis bahwa Bianca mengatakan sebuah kebohongan. Pasalnya, ketika ia menumpuk kakinya saat mereka berdua tengah berbicara—Sabian tak sengaja menendang sebuah tas jinjing yang berada di bawah meja. Ia yakin sekali bahwa tas tersebut berisikan sepasang sepatunya. Namun, entah kenapa, Sabian merasa sulit untuk sekadar menolak ajakan perempuan itu.

Sabian berdiam diri di pinggir peron dan membiarkan orang-orang yang juga baru saja keluar dari kereta berlalu-lalang. Ia dan Zaid masih belum percaya kalau mereka berdua pada akhirnya pulang ke Jakarta secepat ini. Niat hati ingin menetap sampai gelar sarjana ada di nama mereka, nyatanya gagal karena kedua adik Sabian sudah gaduh minta segera dikunjungi pada akhir tahun ini. Zaid sendiri, sebenarnya biasa-biasa saja. Ia tak begitu mendapat tekanan untuk pulang dari kedua orang tuanya. Namun, ia tanpa eksistensi Sabian, sudah seperti sayur asam tanpa garam. Oleh sebab itu, ia memutuskan untuk ikut pulang.

Aroma khas besi berkarat, menguar. Seiring dengan itu, kesadaran Sabian kembali. Semalaman ia sulit tidur, dan baru memejamkan mata beberapa saat setelah Zaid terjaga—nahas, kereta yang ia naiki itu sudah lebih dulu sampai di tujuan.

Sabian meringis. Ia melangkah gontai di samping Zaid, seraya melempar pandangan ke segala arah. Stasiun itu ramai sekali. Mungkin lantaran menjelang Natal dan tahun baru. Banyak orang yang memutuskan untuk mudik atau sekadar berlibur ke luar kota menggunakan kereta.

“Jadi, kita pisah di sini, nih?” tanya Zaid.

Sabian mengangguk. Sejak Zaid mengatakan kalau ia akan dijemput oleh sang papa, Sabian sudah memperkirakan momen ini. Papanya sendiri juga akan menjemputnya di stasiun. Oleh karena itu, mereka harus berpisah.

“Om Dio udah dateng?” Sabian memastikan.

“Udah, nih,” Zaid menunjukkan layar ponselnya yang tengah menampilkan panggilan telepon masuk. “Bokap gue udah telpon.”

“Mau gue bantuin bawa itu, nggak?” Sorot mata Sabian mengarah pada barang bawaan Zaid yang kebetulan ada begitu banyak.

Alih-alih mengangkat panggilan telepon yang masuk, Zaid justru berkecak pinggang. “Ya, menurut lo aja, Anjing? Menurut lo bisa nggak gue bawa ini semua ke depan?!”

Sabian praktis cekikikan. “Makanya jadi orang, tuh, jangan serakah! Satu toko lo masukin ke tas!”

“Nyokap gue suka makan!”

Mendengar itu, Sabian langsung memukul angin, seraya memasang raut wajah yang seakan-akan tengah meremehkan Zaid. “Nyokap lo atau elo?” tanya Sabian penuh penekanan.

Lantas, sang tersangka banyak makan—Zaid, hanya dapat cengar-cengir dibuatnya.

Sabian mengatakan itu bukan tanpa alasan. Pasalnya selama ia tinggal bersama Zaid, hampir tak pernah sekalipun kawannya itu melewatkan malam tanpa memakan camilan. Namun, anehnya kebiasaan buruk Zaid itu tak membuat tubuhnya membesar. Sejak dulu, bahkan sampai saat ini—Zaid yang ia kenal selalu bertubuh kurus. Kadang, ada kalanya Sabian menaruh prasangka buruk pada kondisi kesehatan Zaid seperti; mungkin saja ia mengalami cacingan. Namun, meski sempat memaksa Zaid meminum obat untuk mengatasi cacingan, nafsu makan serta bentuk tubuh Zaid tak kunjung menunjukkan berubah sedikitpun.

Sabian meraih barang bawaan Zaid. Menentengnya dengan satu tangan, sedangkan tangannya yang lain membawa koper berukuran besar, miliknya.

“Kalau Om Jeff masih lama, mendingan lo pulang sama gue aja, Bi. Jadi nggak perlu nungguin.”

Sabian menggeleng. “Paling sebentar lagi bokap gue telepon,” katanya. Zaid hanya manggut-manggut.

Namun, hingga keduanya tiba di depan pintu keluar utama, ponsel Sabian tak kunjung berdering. Entah di mana sang papa saat ini, Sabian sendiri juga tak tahu.

“Tuh, bokap gue!” pekik Zaid semangat.

Sementara itu, orang yang ia sebut-sebut langsung berlari mendekati mereka.

“Akhirnya keluar juga kamu, Id. Papa udah nunggu di sini dari tadi.” Meski perkataan itu ditujukan untuk Zaid, tetapi papanya sibuk menyambut Sabian dengan pelukan hangat.

“Si Bian ngomong mulu, jadi lama jalannya.” Kini giliran Zaid yang memeluk papanya sendiri.

“Bian dijemput sama siapa?”

Sabian praktis menampilkan senyum kikuk. “Sama Papa, Om,” sahutnya.

Detik kemudian, Om Dio—papa Zaid seperti tengah melempar jauh pandangannya sembari celingak-celinguk. “Mana? Belum dateng?”

Bingung harus menjawab apa, lantas Sabian hanya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

“Kita tungguin Om Jeffrey dateng, ya, Pa? Kasihan Bian.” Meski Zaid mengatakannya sambil berbisik, Sabian masih dapat mendengar dengan samar-samar.

“Nggak usah, Om! Nggak usah!” Sabian langsung meletakkan barang bawaan Zaid yang sempat ia tenteng di bawah—di hadapan Om Dio. “Pulang aja, Om. Zaid udah pengen ketemu sama kasur, tuh.”

“Biasa aja, kocak!” timpal Zaid.

Om Dio tampak sangat dilema, setelahnya. Ia menyentuh pundak Zaid, seraya memberi sedikit pijatan refleks di sana. Kemudian, menatap Sabian dan menghela napas kasar. “Kamu yakin kalau papamu jemput?”

“Yakin, Om. Papa udah bilang bakal jemput, bahkan dari semalem.”

“Nggak mau bareng kami aja?”

Sabian menggeleng penuh keyakinan. “Bian mau nunggu Papa aja, Om.”

Mendengar itu, Om Dio langsung beralih menatap Zaid, lalu tersenyum dan menepuk pipi kanannya. “Ayo kita pulang!” kata Om Dio, sebelum akhirnya ia menggantikan Sabian untuk menenteng barang bawaan Zaid.

Si empunya barang hanya dapat mengangguk pasrah. “Ya udah, Bi, gue balik duluan, ya!”

Sabian mengacungkan ibu jarinya.

“Nanti kalau papa kamu nggak dateng-dateng, telepon Om aja, ya, Bi. Atau telepon Om Yudhis, dia pasti langsung jemput.”

Sabian terkekeh, pasalnya itu terdengar seperti tak ada kendaraan umum saja di muka bumi ini. “Iya, Om. Siap!”

Tak lama kemudian, Zaid dan papanya benar-benar melenggang pergi meninggalkan Sabian di tengah ramainya stasiun pagi itu. Sabian terus memandangi punggung keduanya dari belakang. Om Dio tampak sangat santai merangkul pundak Zaid dengan tangannya yang kosong. Entah apa yang sedang mereka bicarakan, keduanya kemudian tertawa.

Dalam diam, Sabian bertanya-tanya, akan seperti apa saat ia bertemu oleh sang papa nanti? Sabian sedikit takut kalau-kalau ia akan berada dalam keadaan canggung bersama papanya sendiri, lantaran sudah terlalu lama tidak bertemu—yah, meski sering bertukar kabar melalui pesan singkat.

Sabian tak ingin hal itu terjadi.

Kini, ia berusaha memutar otak agar menemukan cara yang tepat untuk menyapa Papa lagi, setelah sekian lama.

Lama banget, Bos!

Sendirian aja? Nggak sama Mama?

Pa, apa kabar?

Sabian terus bergumam dengan tujuan melancarkan perkataannya. Ia tak ingin terbata-bata, atau sekadar terlihat kikuk di hadapan sang papa.

“Bian?”

Mendengar namanya baru saja disebut, Sabian yang mulanya hanya duduk sembari menatap lutut itu, praktis mengangkat kepalanya untuk melihat siapa gerangan yang tengah berada di hadapannya saat ini.

Detik berlalu, Sabian tak kunjung bereaksi usai menatap lurus orang itu.

“Sabian??”

“Papa?!”

Yang dipanggil 'papa' sontak merentangkan tangan selebar-lebarnya demi menyambut hangat sang anak. Kemudian Sabian menerima sambutan itu dengan penuh perasaan bahagia.

“Makin gede aja badan kamu, Bi? Apa ini perasaan Papa aja?” tanya Papa sembari mengukur punggung Sabian yang masih dalam pelukannya.

Sabian menarik tubuhnya lebih dulu. “Papa, kan, nyuruh Bian cari kesibukan selama di sana biar nggak seks bebas? Ya, Bian ngegym.”

Detik kemudian, tawa Papa pecah. Namun, Sabian dapat melihat bulir air mata di sudut mata papa.

Sabian langsung mengernyitn keningnya.

“Selucu itu, kah, sampai nangis?” tanya Sabian, penasaran.

Alih-alih menjawab pertanyaan Sabian barusan, Papa justru bergegas meraih koper Sabian dan berbalik badan. “Ayo makan dulu. Katanya kamu laper,” kata Papa tanpa melihat Sabian.

Meski kebingungan akan sikap Papa yang tiba-tiba saja berubah, Sabian memilih untuk tak banyak bicara dan fokus berjalan membuntuti Papa di belakang.

Memang benar ia tengah merasa lapar. Lambung seperti terus menjerit sejak beberapa saat lalu.

Pada akhirnya, semua kalimat yang sempat Sabian latih sebelumnya hanya menjadi hal yang sia-sia. Nyatanya tak ada kata canggung lagi di kamus Sabian dan Papa. Nyatanya bahan pembicaraan mereka terus mengalir, bahkan saat mereka hanya berdua saja di dalam mobil.

Papa masih sama seperti saat Sabian pergi meninggalkannya untuk pertama kali tanpa kawan minum teh lagi, di balkon. Tak ada yang berubah dari cara bicara, serta tingkah lakunya. Wajah Papa mungkin sedikit lebih kencang karena kabarnya Mama sering kali membawa Papa ikut melakukan perawatan wajah—atau Bian salah. Yang jelas, Sabian bersyukur sebab, tak tampak ada tanda penuaan dari Papa, dan Papa masih sangat sehat meski sempat ia tinggal bertahun-tahun di kota orang.

Eksistensi matahari akhir-akhir ini cukup membuat Sabian kewalahan. Sebentar muncul, sebentar lagi menghilang. Sebentar panas tak karuan, sebentar lagi hujan badai. Laki-laki itu jadi kesulitan memilih alas kaki yang harus ia gunakan di luar ruangan.

Kemarin siang, menurut BMKG tak akan turun hujan. Sabian dengan percaya diri mengenakan satu-satunya sepatu yang ia miliki sejak ia memberikan sepatunya yang lain kepada seorang perempuan asing—beberapa waktu lalu. Sialnya, perkiraan cuaca oleh BMKG meleset. Hujan badai mendadak muncul di saat matahari seharusnya tengah berada tepat di atas kepala.

Meski Sabian pulang ketika hujan sudah reda, sepatunya tak selamat dari genangan air kotor. Alhasil, sepatunya yang tinggal satu itu harus berakhir di atas jok motor Sudirman untuk dijemur langsung di bawah sinar matahari—setelah Sabian berusaha membersihkannya hanya dengan sebuah sikat gigi bekas Zaid dan sabun wajahnya, lantaran ia dan kedua temannya itu kehabisan detergen.

Namun, nahas. Sepatunya belum juga kering saat ia ingin berangkat kuliah pagi ini. Dengan berat hati, Sabian mengenakan sandal jepitnya.

Hari ini, matahari seakan begitu dekat dengan bumi. Terik dan panasnya bukan main. Andai saja Sabian tak punya rasa malu, mungkin ia akan menangis sejadi-jadinya saat ini juga. Kakinya yang semula tampak bersih dan terawat—kini menjadi belang yang membentuk bayangan sandal jepit.

“Makanya, pake kaos kaki kayak gue, Bi!” cetus Zaid di sebelah Sabian. Sudah begitu lama berteman pertemanan mereka sehingga laki-laki itu dapat langsung menyadari kegelisahan Sabian hanya melalui gerak-geriknya saja.

Mendengar itu, Sabian lantas melihat ke arah kaki Zaid—dan ia pun tertawa. “Konyol!” seru Sabian.

“Yang penting nggak belang, Anjing!”

Lantas, keduanya semakin tergelak. Usut punya usut, kaus kaki yang Zaid kenakan saat ini adalah kaus kaki selalu ia kenakan saat tidur.

“Beli kaos kaki leopard gitu di mana?”

“Toko online.”

Sabian manggut-manggut. “Pesenin satu buat gue.”

“Jadi duo macan, bangsat!” Kemudian, uraian tawa mereka tak ada habisnya.

Perjalanan dari kampus menuju kostan mereka cukup jauh. Namun, tak begitu terasa sebab, keduanya terus bergurau di sepanjang perjalanan. Sebetulnya Zaid memiliki motor yang sengaja orang tuanya belikan untuk mobilitas selama di sini. Akan tetapi, motor itu sering kali mogok di perjalanan—sejak lima bulan terakhir.

Sempat terbesit keinginan untuk minta dibelikan motor baru tapi, setelah mereka berdua pikir panjang, hal itu mungkin hanya akan menjadi sia-sia. Pasalnya, hanya tersisa beberapa semester lagi kuliah mereka. Setelah itu, keduanya akan langsung kembali pulang ke Jakarta.

“Eh, Bi!” Zaid menepuk pundak Sabian berulang kali.

Sementara itu, sang empunya pundak hanya menoleh, seraya memasang raut wajah seakan-akan tengah berkata; kenapa?

Zaid menunjuk langsung pada lantai dua gedung indekos—lebih tepatnya letak kamar mereka.

Detik selanjutnya, Sabian menelan ludah. “Itu siapa yang ngintip-ngintip ke dalem kamar kita, ya, Id?” tanya ia yang kedengarannya begitu cemas.

“Mana gue tau? Gue, kan, baru dateng—sama kayak lo!”

Sabian praktis menarik punggung Zaid seraya bersembunyi di balik tiang beton bangunan itu tatkala seseorang di atas sana tiba-tiba saja menoleh.

“Perempuan, Bi!” bisik Zaid.

Sebuah anggukan setuju, Sabian lancarkan. “Jangan-jangan, pacarnya Cudil?”

“Bisa jadi....” Zaid menimpali. Lalu, dengan gegabah, ia berniat keluar dari balik tiang beton itu. “Ayo kita sanperin aja!”

“Jangan!” Untuk kedua kalinya Sabian menarik pundak Zaid.

Selang beberapa detik kemudian, terdengar suara mesin motor yang baru saja datang. Menilik dari jenis motor dan plat nomornya—sudah dapat Sabian pastikan bahwa orang yang tengah mengendarai motor itu adalah Sudirman.

“Tuh, tuh, Cudil dateng!”

Zaid mengangguk. “Yaudah, kita ngintip dari sini aja, Bi.”

Sabian langsung memutar malas bola matanya. “Dari tadi juga gue suruh ngintip dari sini!” gumamnya.

Tak jauh di depan mereka berdua, Sudirman melepas helmnya dan mencabut kunci motor. Tanpa menoleh atau bahkan curiga sedikitpun, laki-laki itu langsung melenggang pergi. Sudirman menuju ke arah tangga.

Satu detik, dua detik, tiga detik. Waktu berlalu. Tengkuk Sabian sudah mulai keram lantaran menunggu Sudirman tiba di depan pintu kamar mereka.

“Heh!”

Seruan Sudirman sukses membuat Sabian dan Zaid menutup mulut mereka seketika.

“Dirman!”

“Arep opo ndek kosanku, Ca?” (Mau apa di kosanku)

Meski perkataan Sudirman dapat begitu jelas Sabian dengar, ia sama sekali tak mengerti artinya.

“Si Cudil ngomong apaan, Id?”

Mendengar pertanyaan itu, Zaid langsung menghela napas panjang. “Dia nanya kenapa perempuan itu dateng ke kosannya.”

“Oh....”

“Gue penasaran sama temen sekamar lo.”

Bukan hanya Sabian yang lantas membelalakkan kedua matanya namun, Zaid juga.

“Jadi, dia mau ngintipin kita, Id?” tanya Sabian memastikan.

Detik kemudian, tangan Zaid naik dan menyilang di depan dadanya, seraya mengangguk. “Ih, takut....”

Belum sempat Sabian menimpali, perempuan di atas sana lebih dahulu memekik gaduh sebab, telinganya tengah menjadi sasaran empuk tangan ganas Sudirman. Laki-laki itu celingak-celinguk, seakan tengah memastikan kalau tak ada yang melihatnya.

“Dijewer, Bi, kupingnya!”

“Gue juga liat, Anjing!”

“Cah kentir! Muleh! Muleh!” (anak stress! pulang! pulang!) Seru Sudirman yang terdengar dari kejauhan.

Kali ini, Sabian tak bertanya apa arti perkataan Sudirman kepada Zaid. Ia sibuk menatap lamat-lamat perempuan yang tampaknya tengah dianiaya oleh Sudirman itu. Wajahnya seperti tak asing, dan cukup sering ia lihat. Akan tetapi, Sabian kesulitan untuk mengingatnya.

“Id,” bisik Sabian pada Zaid.

Zaid berdeham untuk merespons panggil Sabian.

“Gue kayak ngerasa nggak asing sama perempuan itu....”

“Mbak mbak yang storynya titik-titik, Bi.”

Sabian langsung menyentuh pundak Zaid dengan kedua tangannya. “Serius?”

Dan, anggukan kepala lah yang Zaid berikan. “Iya. Itu dia.”

Hal pertama yang Sabian lakukan saat menyambut kepulangan Zaid adalah, bertolak pinggang di depan pintu kamar kostan mereka, seraya memasang raut wajah sangar.

“Udah keluar dari akun gue?”

Mendengar itu, Zaid praktis cengangas-cengenges. Ia sih sudah melakukan perintah Sabian sejak masih mengantre nasi goreng dan mie nyemek pesanan Sudirman. Namun, rasa bersalahnya belum juga sirna. Dihadang seperti ini oleh sang empunya akun, tentu saja membuat Zaid salah tingkah.

Zaid melirik ke Sudirman yang sedang berdiri, tak jauh di belakang Sabian. Niat hati ingin minta diselamatkan, dengan dalih mie nyemek titipannya ikut tertahan di depan pintu karena Sabian. Namun, belum-belum, Sudirman sudah lebih dulu menggeleng—seakan ia tak berminat ikut campur dalam huru-hara yang Zaid sebabkan.

“Udah atau belum?” desaknya, lagi.

Zaid berdecak sebal. “Udah, Bi!”

“Pernah nggak, gue pakai akun lo buat macem-macem?”

“Ya, enggak, sih....”

“Terus kenapa lo macem-macem pakai akun gue?” cetus Sabian. Geram.

Sudah lama sejak terakhir kali ia berurusan dengan seorang perempuan, Sabian tak mau terlibat kesalahan pahaman dengan siapapun lagi. Namun, apa yang Zaid lakukan malam ini justru sebaliknya. Tentu saja, hal itu menyulut emosi Sabian.

“Sori, gue nggak bakal ngulangin lagi....” Pundak Zaid merosot. Ia sadar, tak ada kalimat lain, yang pantas untuk dikatakan.

“Sebelumnya lo juga pernah bilang kayak gitu.”

“Kapan?”

“Udah lama. Tapi, intinya omongan sama perbuatan lo nggak sinkron!”

Sabian dapat melihat jelas gerak-gerik Zaid di hadapannya. Mata Si Tengik itu ke atas, seakan-akan ia tengah mencoba mengingat perkataannya di masa lalu, namun, tak kunjung ingat.

“Sek, guys... anu....”

“Nggak inget, kan, lo sama omongan lo sendiri?”

“Guys....” Sudirman menggaruk-garuk pangkal hidungnya yang tidak gatal. Sebenarnya ia malas menengahi Sabian dan Zaid, hanya saja jauh di dalam lubuk hatinya, ia mulai khawatir dengan keadaan mie nyemek yang sampai saat ini masih setia digenggam Zaid.

Oke fine! Gue emang lupa! Tapi, barusan gue udah minta maaf lagi!” seru Zaid, menirukan drama televisi yang akhir-akhir ini acapkali ia tonton bersama Sudirman.

Sabian merotasikan bola matanya. “Percuma minta maaf, kalau selalu diulangin lagi!”

Menjadi saksi keributan dengan perut yang keroncongan, pada akhirnya membuat Sudirman jengah. Lantas, Sudirman berdeham, seraya memposisikan dirinya di antara Sabian dan Zaid yang masih berdiri pegal, di tengah akses depan pintu.

“Ngene, rek. Barangkali perdebatan di antara awakmu, karo awakmu iseh panjang,” Sudirman menyentuh pundak Sabian dan Zaid secara bersamaan. “Saranku, yo, ra usah dilanjut meneh. Soale opo? Soale aku arep mangan cok, jancok! Kesuen! Wetengku ra kuat!” hardiknya.

Mendengar itu, Sabian mengedipkan kedua matanya. Ia bingung harus memberi respons seperti apa. Pasalnya, Sudirman baru saja berbicara menggunakan bahasa daerah.

Usai mengatakan itu, Sudirman langsung meraih sebuah kresek yang Zaid tenteng sejak beberapa saat lalu, kemudian melenggang pergi begitu saja—tanpa berniat mengartikan perkataannya, beberapa saat lalu.

“Barusan dia ngomong apa?” tanya Sabian, begitu polosnya. Perihal kekesalannya pada Zaid itu, kini jadi nomor sekian. Saat ini, yang terpenting adalah, ia tahu apa yang baru saja dikatakan oleh Sudirman.

“Dia bilang, perkara random chat cewek aja dibikin heboh!”

Kening Sabian mengkerut seketika. “Sumpah?” Kedua matanya memicing. Sabian tak langsung percaya begitu saja.

Zaid mengangguk.

“Terus?” timpal Sabian.

“Kita disuruh baikan, demi kesejahteraan bersama.”

Sabian makin tak percaya. Batinnya, tak mungkin Sudirman mau repot-repot meminta ia dan Zaid, agar berdamai. Itu sama sekali tidak seperti Sudirman yang ia kenal.

Namun, Zaid adalah jagonya memutar balikkan fakta di hadapan Sabian. Ia memasang raut wajah serius, seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.

“Lo nggak percaya, Bi?”

Sabian mengangguk.

“Ya, udah.” Zaid mencondongkan tubuhnya. “Kata dia, kalau kita terus ribut... dia mau pindah kamar aja.”

Lalu, detik itu juga, Sabian bungkam. Tanpa Sabian sadari, ternyata ia sudah terlanjur nyaman dengan keberadaan Sudirman di antara ia dan Zaid akhir-akhir ini.

Ratu melangkah masuk lebih dahulu ke dalam vila. Ia menekan saklar lampu tanpa ragu. Sementara itu, Jeffrey dengan sebuah koper berisikan pakaian yang mereka bawa dari rumah, berjalan di belakang Ratu, sembari kepayahan.

Vila tempat mereka menginap malam ini, tak begitu besar. Pada dasarnya, keluarga Jeffrey lebih senang berlibur ke luar pulau, dibanding hanya bermalam di sebuah vila yang berada di Bogor—seperti apa yang Jeffrey dan Ratu lakukan kali ini. Bisa dibilang vila itu hanya satu dari sekian banyak aset keluarga Jeffrey yang sejatinya nyaris dilupakan.

Kendati begitu, ujung hingga ke ujung vila itu masih tampak sangat terawat. Tak ada sarang laba-laba, atau bahkan aroma tak sedap dari sebuah dinding lembab yang dibiarkan. Semuanya bersih, dan rapi. Masih begitu nyaman untuk ditempati.

Sebenarnya ada sepasang suami dan istri yang bertugas menjaga, serta merawat vila itu selama bertahun-tahun lamanya. Jeffrey berkata, mereka bahkan ikut menua seiring dengan bertambahnya usia bangunan vila itu. Mereka menempati bangunan yang terpisah dari vila itu, yang keberadaannya di halaman belakang.

Mengetahui hal itu, Ratu merasa tenang. Meski ia tak hanya berdua saja dengan Jeffrey—setidaknya privasi mereka tetap aman.

“Jelek ya, Ra? Apa mau nginep di hotel sekitar sini aja?” tanya Jeffrey, khawatir. Pasalnya, ia melihat Ratu hanya terdiam pasca menekan saklar lampu beberapa saat lalu. “Maksudku, biar lebih nyaman tidurnya.... Barangkali kamu nggak bisa tidur di sini, karena udah lama nggak ditempatin.”

Ratu menoleh ke arah Jeffrey, lalu menggeleng.

“Ini lebih dari nyaman tau, Mas.” Sembari berjalan meninggalkan Jeffrey, Ratu mengedarkan pandangan matanya ke seluruh penjuru ruangan. Satu telunjuknya menyentuh sebuah bufet panjang yang melengkapi ruang tengah. “Bersih banget, ya? Padahal, kata Mama—vila ini terakhir dikunjungin waktu kamu masih sekolah. Berarti udah lamaaa... bangettt.... Iya, kan, Mas?”

“Iya, Ra.” Jeffrey mendaratkan koper mereka di atas sebuah karpet beludru. “Untungnya Papa nggak pernah ninggalin asetnya gitu aja. Kayak ini, jadi ada yang ngurusin.”

Lantas, Ratu terkekeh. “Padahal Papa sendiri udah lupa kalau punya vila di Bogor. Tapi, kok, bisa ya, tetep inget ngegaji orang yang kerja di sini?”

“Ya, inget-inget begitu, kan, bukan tugas Papa. Ada Pak Beni yang ngurusin.”

Bibir Ratu mengatup. Ia baru saja lupa akan fakta kalau ia memiliki mertua yang cukup kaya raya untuk membayar seseorang yang bertugas mengurus segalanya, seperti; pemasukan, pengeluaran, tagihan, agenda, dan masih banyak lagi.

Dengan senyuman kikuk, Ratu memutar tubuh ke belakang. Menghadap Jeffrey. “Oh, iya, ya....”

Jeffrey mendesah panjang. Merasa kehabisan kata-kata. Sudah lama tinggal bersama, namun masih saja Ratu lupa orang seperti apa ia dan keluarganya.

“Eh, Mas!”

“Apa?”

“Pintunya nggak kamu kunci, ya?”

Mereka saling tatap. Dan, Ratu merasa aneh seketika, tatkala Jeffrey mengangkat sebelah alisnya ke atas.

Suaminya itu, bahkan tersenyum menggoda.

“Apa?” tanya Ratu, kebingungan. “Aku takut liat tatapanmu!”

“Kenapa pintu depan harus dikunci?” Jeffrey melangkah ke depan, sambil memberi isyarat melalui sorot tatap mata. “Emangnya kita mau ngelakuin ‘hal itu’ di ruang tengah?”

Ratu mendelik seketika. “APA SIH?! AKU TAKUT DENGERNYA!”

Lantas, gelak tawa Jeffrey lolos. Tawanya hingga menggema di dalam keheningan vila itu. Sementara, Ratu sibuk menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

Mencondongkan tubuh, Jeffrey semakin dekat dengan Ratu. Ia mencebikkan bibirnya, seraya berkata, “sok takut!”

Hampir saja Ratu melayangkan sebuah pukulan panas pada pundak Jeffrey, seperti yang biasa ia lakukan di rumah. Namun, Jeffrey sudah lebih dulu beringsut menuju pintu.

Jeffrey sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya—jika ia diam saja. Oleh sebab itu, ia memilih untuk pergi meninggalkan Ratu dan mengunci pintu. Lagi pula, pikirnya, akan sangat konyol kalau-kalau kemesraan ia dan Ratu tak sengaja terpergok oleh penjaga vila hanya karena tak mengunci pintu.

“Mas!”

“Apa!?”

“Habis ngunci pintu, tolong masukin barang-barang bawaan kita ke kamar, ya!”

Meski mendengar itu, Jeffrey sengaja tak menjawab. Ia memang kembali menuju ruang tengah. Namun, atensinya bukanlah pada barang-barang bawaan yang Ratu maksud, melainkan pada Ratu sendiri yang tengah duduk di hadapan sebuah grand piano berwarna hitam, seraya menekan tuts dengan asal-asalan.

Melihat itu, Jeffrey tersenyum sambil bersedekap tangan. “Kamu pantesan main pianika, Ra.” Ia menghampiri Ratu yang hanya tertawa ringan.

“Kamu bisa, kan?” Ratu menggeser tubuhnya ke samping. Menyediakan sedikit tempat bagi Jeffrey, agar mereka dapat duduk bersama di sana. “Mainin satu lagu, dong, buat aku.”

Jeffrey mendecih, sebelum ia benar-benar ikut duduk di sisi Ratu. “When a man loves a woman, khusus buat Ratu Azalea.”

“Bisa? Aku kira cuman bisa river flows in you....”

Tatkala jemari Jeffrey mulai menekan tuts, demi tuts, Ratu mulai tertegun.

Selang beberapa detik, Ratu tersipu malu. Kedua pipinya memerah seperti buah tomat matang yang baru dipetik dari kebun.

“Nyanyi, Ra,” pinta Jeffrey, namun Ratu menolak.

Ia hanya menikmati alunan tuts piano yang Jeffrey mainkan, dengan mengayunkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri.

Detik, hingga menit berlalu. Jeffrey benar-benar menghangatkan suasana, melalui permainan pianonya. Ratu semakin lekat menatap Jeffrey dari samping, ia merasa seperti jatuh cinta sekali lagi.

Sadar akan tatapan dalam yang Ratu layangkan untuknya, Jeffrey menoleh. Membuat wajah mereka kini hanya berjarak beberapa inci saja.

Nada yang tercipta dari rangkaian tuts piano yang semula terdengar indah itu, kini menggantung di sana.

“Aku nggak bisa fokus main piano kalau kamu ada di jarak sedeket ini, Ra.”

“Ya, udah....”

“Apa?”

Ratu meneguk salivanya sendiri. “Berhenti aja.” Ia sudah menahan diri untuk tidak tertarik, akan tetapi ia gagal.

Seakan ada aliran listrik di udara, Ratu dengan senang hati menyambut bibir Jeffrey yang tiba-tiba saja mendarat di atas bibirnya tanpa sepatah kata pun. Mereka berdua berciuman.

Ciuman itu semakin dalam, hingga Ratu tak menyadari jika tubuhnya baru saja ditarik oleh Jeffrey, dan diangkat—supaya mendarat di atas tuts piano.

Dengung suara tuts yang ditekan secara mendadak, kontan meramaikan ruang tengah vila itu. Menenggelamkan suara lenguhan yang tercipta oleh pagutan mereka berdua.

Sebuah tekanan pada tengkuk, Ratu terima.

Lidah Jeffrey bergerak bebas. Ia menyapu mulai dari bibir, hingga ke bagian dalam mulut Ratu. Membuat mereka berdua saling terengah, dan mulai kehabisan napas.

Perlahan-lahan, tangan Jeffrey tergerak membuka paksa sebuah kardigan yang sempat Ratu kenakan sebelumnya. Ia juga tak lupa melepas jaket yang membuat tubuhnya lebih hangat, beberapa saat lalu.

Dalam hitungan detik, Jeffrey melepas pagutan mereka. Memberi Ratu isyarat agar melingkarkan kaki pada pinggangnya. Dengan gerakan cepat, Jeffrey lagi-lagi mengangkat tubuh Ratu. Ia menutup fallboard sebab, mulai jengah mendengar bisingnya suara tuts yang tercipta hanya karena pergerakan sederhana yang mereka ciptakan. Jeffrey meletakkan Ratu di atas fallboard, seakan-akan ia tak berbobot sama sekali.

“Di kamar aja nggak, sih, Mas?” Ratu merasa ragu.

Namun, Jeffrey tak menghiraukan perkataannya barusan. Jeffrey justru melepas bagian atas pakaian ia dan Ratu dengan begitu tergesa.

“Mas... aku malu kalau di sini....”

Jeffrey meletakkan ibu jarinya di depan bibir, seraya mengusap lembut pipi hingga tengkuk Ratu. Membuat sang empunya terpejam seketika. “Ngapain malu? Di sini cuman ada aku, sama kamu,” kata Jeffrey berusaha meyakinkan.

Menerima sentuhan, demi sentuhan dari tangan Jeffrey—Ratu bereaksi dengan melengkungkan tubuhnya. Terlihat jelas betapa mengerasnya dada Ratu di hadapan Jeffrey. Hal itu, tentu saja berkat keahlian Jeffrey.

Duduk di tepi fallboard yang tertutup, dalam keaadan seperti ini adalah hal baru untuk Ratu. Kedua kakinya secara praktis terbuka. Seperti menjadi tempat ternyaman untuk Jeffrey berdiri di antaranya, seraya memandangi tubuh bagian atas Ratu dengan seksama.

Ratu dapat merasakan telapak tangan Jeffrey yang hangat di pipinya, perlahan tapi pasti, mulai turun—mendarat pada tengkuk. Belum puas membuat Ratu kegelian, tangan Jeffrey semakin turun menjamah kedua gundukan kembar milik Ratu. Menyalurkan rasa hangat pada keduanya, sambil menekannya lembut—sesekali.

Sorot matanya turun lagi ke bawah. Melewati perut, hingga pinggang Ratu, kemudian berhenti tepat saat ia melihat miliknya sendiri yang menonjol dengan berani di balik celana. Seakan tengah menghadang milik Ratu di bawah sana.

Lalu, segalanya mulai kacau. Tangan Jeffrey seakan bergerak sendiri tanpa menunggu perintah sang empunya. Melepas celananya, begitu juga dengan celana milik Ratu. Jeffrey membuangnya begitu saja ke atas lantai yang dingin.

Ratu hanya diam tatkala tangan Jeffrey bergerak menjamah bagian dalam pahanya yang sejak beberapa saat lalu sudah mulai berkeringat. Ia justru dengan spontan merenggangkannya lebar-lebar.

Dengan begitu, milik Jeffrey menempel sempurna pada miliknya. Benda yang keras itu menggoda klitoris Ratu, penuh gairah. Sementara Ratu, tak bisa menahan lenguhan tatkala miliknya semakin basah karena Jeffrey.

Tubuh Ratu kembali melengkung seperti busur, saat Jeffrey tanpa sabar menyerbu masuk bagian bawahnya dengan satu dorongan. Mulut Ratu terbuka, namun tak bersuara. Sementara itu, Jeffrey menenggelamkan wajahnya demi menyesap dan memberi beberapa tanda pada ceruk leher Ratu, di waktu yang bersamaan.

Sesekali Ratu menggigit bibirnya, kemudian balas menghirup dengan serakah aroma tubuh Jeffrey yang saat itu tengah menusuknya di bawah sana.

Ratu mengerang. Jeffrey pun, sama. Selaras dengan suara ritmis dorongan Jeffrey pada dirinya. Keduanya tak bisa menahan diri untuk terus menekan permukaan fallboard piano tua itu.

Jeffrey menjadi lebih liar, dan cepat. Tiba-tiba ia melakukan hal itu, membuat Ratu mulai kewalahan untuk mengimbangi.

Sensasi terbakar, menjalar di sekujur tubuh Ratu tatkala Jeffrey mengubur miliknya lebih dalam. Menekan hingga menemui inti Ratu dalam satu gerakan kuat.

Hampir tiba di penghujung kenikmatannya, Jeffrey justru menarik keluar miliknya dengan cepat. Membuat Ratu mendelik kesal untuk beberapa waktu, sebelum akhirnya kembali menancapkan miliknya yang sudah lebih keras.

Namun, kali ini Jeffrey mengayun lembut seraya menggigit bibir bawahnya, saat melihat Ratu dari atas. Kedua payudara Ratu bergoyang, acapkali Jeffrey bergerak. Membuatnya semakin bergairah, lagi dan lagi.

“Mas, jangan di dalem!” pekik Ratu saat menyadari kalau Jeffrey hampir sampai pada titik puncaknya.

Mendengar peringatan itu, Jeffrey mengernyit—meski tubuhnya masih terus memompa di bawah sana. “Kenapa?” tanya Jeffrey. Nadanya begitu rendah.

Seraya memejamkan kedua matanya, Ratu mencengkram lengan Jeffrey kuat-kuat. “Kalau punya adik lagi, Bian pasti marah. Dia nggak mau punya adik banyak-banyak, AKHH! MASSSSSS!”

Jantung Ratu berdebar kencang. Ia merasakan bahwa dirinya baru saja dipenuhi oleh Jeffrey yang meledak akibat mencapai klimaksnya.

Keduanya kehabisan napas. Sisa-sisa kenikmatan itu masih ada. Jeffrey meloloskan suara desahan panjang yang terdengar rendah.

Tak lama setelah itu, Jeffrey mengecup bibir Ratu, begitu lembut. “Kamu, kan, udah KB, Ra.”

Kedua mata Ratu, praktis membola. “Oh, iya!”

Jeffrey mengangguk gemas. Ia masih belum menarik miliknya, dari dalam Ratu. “Tapi kalau kamu maunya tetep dibuang di luar, nggak masalah. Aku siap ngulang lagi.”

Mendengar itu, Ratu yang masih sibuk mengatur napas, lantas meraup wajah Jeffrey menggunakan tangannya dengan kesal. “Dasar kotor!”

Malam ini keadaan rumah terasa begitu sepi sebab, seisinya kekurangan eksistensi seorang Sabian Aditama—si semata wayang, yang usut punya usut tengah menginap di hotel bersama salah seorang teman barunya.

Ratu duduk termangu di sebuah sofa, depan televisi yang tengah menyala. Bosan. Hanya terdengar suara penyiar berita yang asalnya dari benda besar, nan pipih di hadapannya itu. Sudah hampir keram punggung Ratu lantaran sejak dua jam yang lalu, ia sudah duduk menyendiri di sana. Seperti biasa, di jam-jam Jeffrey pulang kantor seperti ini—Budhe Lasih tentu sudah rebahan di dalam kamarnya dengan damai.

Sebenarnya, ia menunggu Jeffrey bukanlah atas dasar kepekaan dan rasa perhatian sebagai seorang istri, melainkan atas dasar permintaan Jeffrey sendiri untuk.

Katanya melalui telepon, ia ingin ditunggu dan disambut kepulangannya untuk malam ini. Manja sekali, kan? Yah, memang seperti itulah sikap Jeffrey acapkali Bian tak ada di rumah.

Ratu menghela napas panjang tatkala suara mesin mobil milik Jeffrey terdengar dari halaman rumah. Akhirnya laki-laki itu pulang, setelah rasanya ia sudah menunggu sekian lama.

Namun, alih-alih membukakan pintu, Ratu memilih untuk tetap berduduk manis di tempatnya. Bukan karena ia terlalu malas untuk beranjak, melainkan karena ukuran perutnya yang tak lagi kecil itu, cukup membatasi pergerakan Ratu sejak beberapa minggu terakhir.

Tangan Ratu meraih sebuah remot yang letaknya tak jauh darinya. Menekan tombol power untuk mematikan televisi yang sempat ia nyalakan dengan niat meramaikan seisi rumah, namun sia-sia.

Pintu utama terbuka dari luar, dan menimbulkan suara yang memecah keheningan seketika. Mendengar itu, Ratu praktis menoleh ke belakang. Didapatinya sosok laki-laki bertubuh tinggi dengan setelan kemeja yang sudah tak lagi rapi, kelihatannya.

Jeffreyan Aditama. Meski sudah banyak tahun-tahun yang Ratu lalui bersama laki-laki itu dalam pernikahan mereka, namun sampai detik ini Ratu masih saja merasa salah tingkah setiap kali melihat suaminya itu pulang kerja. Maklum, nilai plus Jeffrey memanglah ketampanannya. Belum lagi saat laki-laki itu tersenyum simpul ke arahnya—Ratu refleks menyetuh perutnya yang kini sudah begitu besar.

“Emang boleh ya, Papa kamu se-mantep ini?” kata Ratu lirih pada sang jabang bayi di dalam perut. Sementara ia sibuk mengagumi Jeffrey dalam minimnya pencahayaan ruang tengah, Jeffrey sendiri mulai melangkah masuk ke dalam rumah. Melalui ruang tamu, dan berjalan mendekat menuju ruang tengah.

“Aku pulang!”

Ratu hampir saja berdiri. Maksud hati ingin menyambut Jeffrey dengan sebuah pelukan hangat sepulang kerja. Namun, laki-laki itu lebih dahulu menahan tubuh Ratu, sehingga Ratu kembali terduduk di atas sofa.

“Mau ngapain?” tanya Jeffrey.

Ratu merentangkan kedua tangannya. “Mau peluk!” kata Ratu menjawab pertanyaan Jeffrey.

Kemudian, alih-alih membantu Ratu berdiri, Jeffrey justru memeluk tubuh Ratu dengan satu tangan, sementara tangannya yang satu lagi ia pergunakan untuk menopang tubuhnya pada sandaran sofa, agar ia tidak jatuh menimpa Ratu.

“Enak banget pelukan sama ibu hamil. Mana wanginya nyegerin.” Sontak wajah Ratu menghangat, hingga muncul semburat merah pada pipinya.

“Jangan godain saya, ya. Saya lagi hamil, dan udah punya suami!” kata Ratu seakan-akan Jeffrey adalah orang asing.

“Siapa, sih, suaminya?”

“Ada.”

“Siapa?”

Kemudian tangan Ratu menangkup kedua pipi Jeffrey, dan mengusapnya dengan begitu lembut. “Jeffreyan Aditama. Masnya berani gak lawan dia?”

Jeffrey refleks terkekeh, usai mendengar perkataan Ratu barusan. “Berani, lah!” cetus laki-laki yang kemudian melayangkan begitu banyak kecupan di wajah Ratu itu.

“Mas! Nanti dilihat Budhe Lasih, loh....”

Tapi, seakan tuli, Jeffrey justru semakin nekat. Kini kedua tangannya bertumpu pada sandaran sofa, dan dipagutnya bibir ranum Ratu seketika.

Di bawah cahaya temaram ruangan itu, di tengah-tengah keheningan yang melanda—suara decakan bibir keduanya terbang bersama udara dan kemudian memenuhi seisi ruangan. Tangan Ratu yang semula menangkup kedua pipi Jeffrey, kini mulai merambat ke arah tengkuk laki-laki itu. Tak ingin munafik—Ratu juga sangat mendambakan Jeffrey malam ini.

“Ngh....” Sebuah lenguhan yang berhasil lolos dari bibir Ratu, membuat Jeffrey menghentikan kegiatannya seketika.

Diusapnya sudut bibir Ratu yang sempat menyisakan saliva mereka berdua. “Astaga, aku kelepasan berbuat mesum sama ibu hamil!” kata Jeffrey sok dramatis.

“Gak masalah, ibu hamilnya suka.”

“Kalau suka, berarti boleh dilanjutin?”

Ratu merespons perkataan Jeffrey barusan dengan sebuah anggukan kepala. “Kamu tau jawabannya, bahkan sebelum aku ngangguk-ngangguk begini.”

Benar saja! Jeffrey tergelak dalam hitungan detik, sebelum akhirnya ia menggendong tubuh Ratu di depan—seperti koala. Untuk dapat mengangkat bobot tubuh Ratu yang sekarang ini, Jeffrey termasuk seorang laki-laki yang kuat.

“Berat gak?” tanya Ratu penasaran.

Jeffrey menggeleng singkat, kemudian mengecup ceruk leher Ratu. Kakinya melangkah hati-hati meneju kamar mereka yang tak jauh dari ruang tengah.

“Kenapa harus digendong, padahal aku masih bisa jalan?”

“Kalau kita jalan, kelamaan.”

Selanjutnya Ratu sengaja merapatkan kakinya yang melingkar pada pinggang Jeffrey. Membuat suaminya itu mengerang seketika. “Sumpah, kok, udah keras banget? Takut!”

“Kalau lunak, gak bisa masuk nanti.”

Seperti biasa; Ratu menyesal karena sudah memancing Jeffrey untuk berbicara di saat-saat seperti ini. Maksud hati ingin bergurau namun, justru dijawab dengan kalimat yang kedengarannya begitu kotor seperti barusan.

Ratu menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Jeffrey. Diam-diam ia menghirup sisa-sisa aroma parfum milik Jeffrey dari sana. Harum, dan tidak terlalu menyengat seperti saat perkali disemprotkan pada kerah kemejanya.

Jeffrey berdeham, “Menurut kamu, aku mandi dulu atau gak usah?” tanya Jeffrey dengan nada yang terdengar sedikit serius.

“Gak usah.”

“Kenapa?”

“Ya ... nanti aja sekalian.”

Langkah kaki Jeffrey tiba-tiba saja terhenti, padahal mereka belum sampai di ambang pintu kamar.

“Kok berhenti? Kan, belum sampai kamar,” timpal Ratu.

“Sekalian gimana maksudnya? Mau mandi bareng?”

Ratu menggeleng kemudian. “Mandinya sendiri-sendiri, lah! Tapi—mandinya habis berkeringat bareng.”

Kalimat itu lantas menjadi kalimat penutup percakapan mereka di luar kamar. Pasalnya, detik kemudian Jeffrey langsung berjalan cepat memasuki kamar yang hanya tersisa beberapa langkah lagi dari tempat ia berdiri sebelumnya.