Ratu membuka pintu kamar dan keningnya berkerut seketika. Ternyata ada Jeffrey di balik pintu. Entah kebetulan, atau memang suaminya ini sudah berdiam diri di sana sejak tadi—Ratu juga tidak tahu. Tapi, yang jelas, laki-laki itu kini tengah memamerkan senyum seringainya.
“Jangan ngeliatin aku kaya gitu!” Ratu spontan menyilangkan tangan di depan dadanya.
Tadi, sepulang dari kantor, Jeffrey langsung bergegas untuk mandi dan makan seperti biasanya. Namun, kali ini agaknya ia melakukan kegiatan tersebut dengan menggunakan kekuatan super kilat. Pasalnya cepat sekali.
Seingat Ratu, baru beberapa menit yang lalu ia menuangkan secentong nasi ke atas piring Jeffrey. Lalu, entah bagai mana caranya, saat ini pria itu sudah berdiri di hadapannya.
Ngomong-ngomong, melihat bagaimana Ratu menyilangkan tangannya di depan dada, sukses membuat Jeffrey mendengkus. “Apaan, sih? Emang aku ngeliatinnya kayak gimana?”
“Ya kayak gitu mata kamu. Kayak kucing liat ikan.”
Lantas Jeffrey memejamkan kedua matanya rapat-rapat sembari berjalan, menerobos masuk ke dalam kamar, dan melewati tubuh Ratu begitu saja.
“Tumben gak nyalain AC, Ra? Gerah!”
Alih-alih merespon perkataan Jeffrey, Ratu justru berjalan ke luar pintu kamar. Toleh kanan, lalu toleh kiri, yang ia lakukan. Mencari-cari eksistensi sang anak yang kebetulan nihil.
Jeffrey yang merasa terabaikan, tentu refleks memutar tubuhnya. Kembali menatap Ratu yang masih setia berdiri di depan pintu kamar tersebut. “Cari siapa?” tanya Jeffrey penasaran.
“Bian.”
“Gak ada di bawah. Kayaknya udah masuk ke kamar. Udah jam sembilan, kan, ini.”
Mendengar itu, barulah Ratu masuk dan mengunci pintu kamar dari dalam.
“Kamu tadi bilang gerah, ya?” tanya Ratu, berniat merespon perkataan Jeffrey beberapa saat lalu, meski sudah sangat terlambat.
“Iya!”
“Ya udah, nyalain aja AC-nya.”
Lalu, tanpa menimpali perkataan Ratu lagi, Jeffrey langsung meraih remot AC yang berada di dekatnya. Ia masih sibuk mengatur suhu yang pas, sewaktu berjalan menuju ranjang.
“Jadi gimana cara main truth or dare yang kamu sama Yudhis maksud itu, Ra?” tanya Jeffrey.
Sengaja ia lempar sebuah remot AC yang semula ia genggam itu, ke sembarang arah. Peduli setan dengan remot AC, Jeffrey ingin langsung memeluk tubuh Ratu, dan menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Ratu seperti saat ini.
Harum. Aroma citrus menyeruak, masuk ke dalam indera peniumannya seketika.
Kalau boleh jujur, kadang ada kalanya Jeffrey ingin seumur hidupnya berada di jarak sedekat ini dengan Ratu. Tanpa bekerja, tanpa kesibukan. Hanya tenggelam dalam pelukan hangat Ratu selamanya.
Bucin? Memang.
“Kayak main truth or dare biasa, Mas. Tapi, yang mau kita mainin sekarang ini, pertanyaan sama tantangannya berhubungan sama kegiatan seks.”
Kedua mata Jeffrey membola seketika. Ia spontan melepas sebuah pelukan hangat yang baru saja ia mulai beberapa saat lalu. Seumur-umur, ia baru mengetahui kalau ada permainan se-ekstrem ini.
Namun, setelah itu, Jeffrey menarik sudut bibirnya ke atas. Ia seakan baru saja mendapat wangsit kalau-kalau hari ini ia akan melewati malam yang panjang bersama Ratu. Jeffrey merasa sangat amat siap.
“Oh iya, ada rulesnya. Dilarang menyentuh lawan sampai permainan selasai, dilarang tutup mata waktu lawan ngelakuin tantangannya, dilarang berhenti di tengah-tengah permainan, dan dilarang kasih tantangan yang harus dilakuin di luar pintu kamar!” kata Ratu menimpali perkataannya sendiri. Membuat senyum Jeffrey sirna seketika.
“Kenapa?” tanya Jeffrey dengan nada tak terima. “Kenapa harus ada rulesnya?”
“Karena ini permainan....”
Kemudian, dengan tampang memelas—Jeffrey membaringkan tubuhnya dengan kasar. “Gak jadi main, ah, Ra. Gak seru.”
Ratu menghela napas panjang. “Padahal kamu bisa loh, kasih aku tantangan yang agak ekstrem,” katanya, kemudian berlagak kecewa dan memunggungi Jeffrey yang tengah berbaring. “Tapi ya udah kalau gak ma—.”
“Mau, deh! AKU MAU, AYO CEPETAN!”
Sontak Ratu tergelak bukan main. Jeffrey ini memang sangat mudah dimanipulasi.
Namun, di tengah gelak tawa Ratu, tiba-tiba saja ada hal yang membuat bibir Ratu kembali terkatup.
Jeffrey, secara sukarela melucuti pakaian yang ia kenakan, hingga hanya tersisa celana dalam saja.
“Apaan sih? Belum-belum udah lepas baju aja?!” seru Ratu lantaran tak habis pikir.
“Satu lagi rulesnya—tambahan dari aku.”
Ratu menatap bingung ke arah Jeffrey. Menunggu, kira-kira ide konyol seperti apa yang akan keluar dari bibir suaminya itu.
“Kita main truth or darenya sambil naked.”
“GILA?”
“Kenapa?”
“Malu, Mas!”
Jeffrey praktis tergelak bukan main, sebelum akhirnya berjalan setengah memutari ranjang, dan berdiri tepat di hadapan Ratu. “Biasa aja, lah, Ra. Dari sini,” telunjuk Jeffrey yang semula mendarat di atas kening Ratu, perlahan turun hingga ke ujung kaki, “sampai sini—gak ada yang belum pernah aku liat sebelumnya, Ra.”
“Tapi dingin, Mas....”
Jeffrey lekas menyambar sebuah remot AC yang beberapa saat lalu, baru saja ia lempar sembarangan. “Pertama-tama, kita matiin dulu AC-nya,” kata Jeffrey yang kemudian benar-benar menekan tombol power pada remot tersebut. Membuat AC dalam kamar mereka mati seketika.
Setelah itu, keduanya sempat terjebak dalam keheningan, sampai Ratu menyadari bahwa Jeffrey tengah membantunya melepas pakaiannya.
Dengan penuh hati-hati Jeffrey itu. Takut kalau-kalau tanpa sengaja menekan kandungan Ratu. Hanya perlu sekali tarikan, kedua gundukan pada dada Ratu yang masih terbungkus oleh bra terpampang di hadapannya secaranya nyata.
“Celananya mau aku yang lepasin juga?”
Mendengar itu, Ratu tersipu malu sampai muncul semburat kemerahan pada kedua pipinya. “Gak usah ... aku bisa sendiri.”
“Yakin?”
“Iya!”
“Padahal aku mau bantuin.”
“Aku bilang gak usah!!”
Ratu beranjak dari atas ranjang, untuk melepas celananya. Menyisakan celana dalam—sama seperti Jeffrey, juga sebuah bra tanpa tali yang membungkus kedua gundukan kembarnya.
Di depannya ada Jeffrey yang juga sama-sama tengah berdiri. Menatapnya kagum, dengan kedua bola mata yang berbinar.
Jeffrey hanya tersenyum, sementara Ratu sendiri sudah tahu perihal apa yang tengah suaminya itu pikirkan. Perut bundar karena tengah mengandung anak kedua mereka, dada yang semakin besar, serta permukaan kulitnya yang justru semakin halus dan cerah semenjak ia hamil. Tentu saja Ratu mengetahui semua hal tersebut. Pasalnya Jeffrey sendiri yang pernah mengatakan padanya. Jeffrey bahkan mengatakan kalau birahinya jauh lebih semena-mena datang semenjak Ratu kembali hamil.
Meski begitu, Ratu rasanya enggan membuang-buang waktu dengan kembali membahas hal tersebut dengan Jeffrey. Ia lebih memilih untuk berjalan menuju meja rias untuk mengambil sebuah botol parfum kosong yang terbuat dari kaca di seberang ranjang mereka.
“Buat apa?” tanya Jeffrey.
Ratu kemudian duduk begitu saja di atas lantai kamar mereka yang dingin. Diletakkannya botol parfum kosong tersebut, tepat di depan tempat ia berduduk manis. “Buat nentuin siapa yang dapet truth or dare duluan.”
“Oh, gitu.”
“Sini, Mas, duduk di depan aku.”
Jeffrey manut-manut saja. Ia ikut duduk di atas lantai tanpa sebuah alas apapun. Bokongnya nyaris kedinginan kalau-kalau ia tak memakai celana dalam saat ini. Sementara Ratu, tampaknya senang-senang saja, dan justru tengah mengsam-mengsem menatap ke arah Jeffrey.
“Aku puter sekarang, ya?” tanya Ratu memastikan, dan langsung dihadiahi anggukan kepala oleh Jeffrey.
Kemudian, botol itu berputar dengan sangat cepat. Mengarah pada Ratu dan Jeffrey secara bergantian. Sampai saat di mana kekuatan berputarnya mulai melemah, Ratu merasakan degup jantungnya yang justru meningkat.
Dan, ya, botol tersebut menunjuk Jeffrey sebagai pemain pertama. Tetapi alih-alih merasa cemas Jeffrey justru semakin bersemangat.
“Oke, kamu pilih truth or dare, Mas?”
“Truth dulu, buat pemanasan,” sahut Jeffrey.
Ratu menatap lurus ke arah mata Jeffrey, hingga kedua pasang pupil mata mereka saling bertemu. “Nih, ya, dalam hubungan seks, gaya apa yang paling kamu suka, dan yang paling gak kamu suka?”
Jeffrey seketika mengangkat sebelah alisnya. “Wow?”
“Kenapa?”
“Aku gak nyangka kalau pernyataan pertama yang keluar, bakal kayak gini.”
Mendengar perkataan itu, Ratu hampir lupa caranya bernapas. Dalam benaknya, Ratu merasa kalau ini mungkin berlebihan bagi Jeffrey. Tapi kenyataannya ia salah.
“Aku suka sama pertanyaan,” timpal Jeffrey, membuat Ratu tak percaya.
“Jadi, jawabannya apa?”
“Aku paling suka lihat wajah kamu. Jadi apapun gayanya, asalkan itu bisa ngelihat wajah kamu dengan jelas, aku suka. Soalnya kamu seksi banget kalau lagi—.”
“Stop, stop! Jawabnya tuh yang ditanyain aja!” kata Ratu, sengaja memotong perkataan Jeffrey.
Sontak Jeffrey terbahak. “Nah! Kalau gaya yang paling aku gak suka itu kebalikannya. Enam sembilan, doggy style—kecuali kalau doggy stylenya di depan kaca, sambil lihat pantulan wajah kamu. Pokoknya semua gaya yang gak bisa lihat wajah kamu, aku gak suka.”
Ingin sekali rasanya Ratu tenggelam di lautan usai mendengar bagaimana lancarnya penuturan Jeffrey mengenai hal sekotor ini. Ya, meski begitu, dalam benak Ratu juga muncul perasaan senang, karena secara tidak langsung Jeffrey tengah mengakui bahwa wajahnya begitu sedap dipandang.
“Sekarang giliran kamu yang puter botolnya, Mas.”
Selanjutnya, botol parfum di hadapan mereka kembali berputar.
“Kenapa aku lagi yang kena?!”
Ratu mengedikkan bahunya. “Karena tadi udah truth, sekarang harus dare,” cetus Ratu yang sengaja mengakal-akali Jeffrey.
“Emang ada aturan kayak gitu?”
“Ada. Hidup itu harus seimbang.”
“Ya, udah. Apa tantangannya?”
“Buat suara yang kayak biasa kamu keluarin pas kamu mau orgasme.”
Jeffrey mendelik tak percaya, “Maksudnya? Aku gak bisa, kecuali kalau kamu mau kita ngeseks sekarang juga.”
“Kamu lupa? Dilarang menyentuh lawan sampai permainan selasai, dilarang tutup mata, dilarang berhenti di tengah-tengah permainan, dan dilarang kasih tantangan yang harus dilakuin di luar pintu kamar!!”
“Ya, aku gak bisa, Ra.”
“Bisa. Kamu tinggal tutup mata, dan bayangin kalau kita berdua lagi having sex.”
Ratu menatap wajah Jeffrey, sementara kini seluruh perhatian Jeffrey jatuh pada tubuhnya. Dalam diam, Jeffrey mengikuti interupsi Ratu. Dalam diam, ia membayangkan tatkala tangannya meremas kedua payudara Ratu secara bergantian. Dalam diam, ia membayangkan bagaimana gilanya malam-malam panjang yang pernah mereka lewati berdua. Dan, dalam diam, Jeffrey membayangkan dirinya hampir menyentuh puncak orgasmenya bersama Ratu.
Berhasil!
“Shhh....” Kedua tangan Jeffrey refleks menopang tubuhnya sendiri, dalam posisi duduk. “Ahh....” Jeffrey membuka kedua pahanya lebar-lebar di hadapan Ratu.
Rahangnya mengeras dan matanya kini mulai terpejam. Ada yang mengeras di balik celana dalamnya. Gila. Hanya dengan membayangkan tengah bercinta bersama Ratu, Jeffrey bisa sampai sefrustasi ini. Pikirannya kini dipenuhi oleh adegan-adegan panas antara mereka berdua, yang ia karang sendiri.
Sementara Jeffrey masih terus mengerang di hadapannya, Ratu tanpa sadar menyentuh miliknya sendiri menggunakan tangannya. Ia ikut terbawa suasana, lantaran melihat aksi Jeffrey.
“Ahh ... Ra!”
“Ekhm! Udah cukup, Mas.”
Jeffrey menghentikan suara, imajinasi, dan kegiatannya seketika. Wajahnya masih memerah, dan sesuatu di antara kedua pahanya yang telanjang itu tampaknya masih begitu ereksi. Membuatnya duduk dengan perasaan kurang nyaman.
“Udah aja, lah. Gak kuat aku!” ketus Jeffrey, putus asa.
“Nanti dulu! Siapa tau, abis ini giliran aku?”
“Aku bakal suruh kamu bener-bener naked di depan aku. Liat aja.”
Lalu, tanpa diberi aba-aba, Jeffrey kembali memutar botol parfum di tangannya sekuat tenaga. Siapa sangka bahwa dalam benaknya Jeffrey terus merapalkan doa agar kali ini Ratu yang terpilih oleh alam.
Dan, benar saja! Tatkala botol itu berhenti berputar, bagian paling ujungnya mengarah pada Ratu.
Ratu terkekeh, “Kamu abis berdoa, ya?”
“Iya, lah!”
“Aku pilih truth, Mas.”
“Dare aja!”
“Truth!“
Bibir Jeffrey sontak mengerucut ke depan. Padahal, kalau saja Ratu memilih diberi tantangan, ia akan meminta Ratu menanggalkan sisa kain yang melekat di tubuhnya. Namun, nahas. Ratu tetap pada pendiriannya, dan memilih untuk berkata jujur.
“Ya udah, jawab pertanyaan ini—.”
“Apa?”
“Kalau kita lagi ngelakuin 'hal itu' ... apa kegiatan yang paling kamu suka?”
Ratu menggeleng, “Gak bisa jawab, ada banyak.”
“Yang paling-paling.”
Ratu merasakan lidahnya kelu seketika. “A-aku suka pas kamu fingering,” kata Ratu yang terdengar sangat lirih di akhir kalimatnya.
“Apa?”
“Fingering!”
Jeffrey batuk-batuk seketika. “WOAHH?!”
“DIEM!”
Bukannya diam, Jeffrey justru semakin cengangas-cengenges untuk menggoda Ratu. Sampai-sampai Ratu dibuat kesal oleh tampang jenakanya itu. Tapi, untungnya Ratu tak ambil pusing. Ia lebih memilih untuk melanjutkan permainan dengan langsung memutar botol parfum di depannya, tanpa menunggu Jeffrey berhenti meledeknya terlebih dahulu.
Sial!
Selepas putaran botol itu terhenti, gelak tawa Jeffrey menjadi pecah.
Wajar saja. Pasalnya botol itu lagi-lagi menunjuk Ratu sebagai korbannya. Dan, yang lebih nahasnya lagi, Ratu sudah tahu jelas tantangan ekstrem seperti apa yang akan Jeffrey berikan.
“Lepasin semua, Ra.” Nah, kan! Bagaikan peribahasa 'pucuk dicinta, ulam pun tiba'. Sesuatu yang sudah Jeffrey nanti-nanti sejak awal permainan, akhirnya terjadi.
Mau tidak mau, suka tidak suka, Ratu harus melepas seluruh pakaian dalamnya di hadapan Jeffrey.
“Salah satu aja, ah,” kata Ratu yang merasa keberatan.
“Gak, Ra. Harus yang itu—” Jeffrey menunjuk ke arah dada Ratu, dan ke arah bagian bawah Ratu. “sama yang itu.”
Melihat respon Jeffrey yang sepertinya akan sulit untuk diajak kompromi—Ratu memutuskan untuk pasrah, dan benar-benar melucuti pakaian dalamnya sendiri, tepat di hadapan Jeffrey.
Kedua buah dada Ratu praktis mencuat tatkala bagian pengait pada bra yang tengah ia kenakan itu terlepas. Dan, begitu pula dengan celana dalamnya. Milik Ratu yang satu itu tentu saja terekspos secaranya nyata, dan membuat darah Jeffrey berdesir seketika.
Jeffrey sontak menyunggingkan senyumnya. Ia merasa seakan menang telak dalam permainan ini.
Namun, sayang sekali. Rupanya Ratu ingin sesi permainan itu diperpanang karena skor mereka masih seimbang.
“Satu kali lagi, Mas. Satu kali lagi, dan cuman bisa pilih dare!”
Mendengar itu, Jeffrey tersenyum culas. “Oke, siapa takut?”
Lantas, dengan begitu percaya dirinya, Ratu lagi-lagi memutar botol tersebut, untuk yang terakhir kalinya. Tapi, sepertinya alam jauh lebih memihak pada Jeffrey malam ini. Ratu kembali terpilih, dan siap terperangkap dalam aturan yang ia ciptakan sendiri, tentunya.
“IH?” Ratu mengusap wajahnya dengan kasar. “Mas, jangan yang aneh-aneh darenya!” pintanya yang lebih cenderung memaksa.
“Gak aneh, kok....” Jeffrey terkekeh.
“Apa?”
Jeffrey tanpa sadar menggigit bibir bawahnya, seraya menatap Ratu dan sekujur tubuhnya yang sudah tak terbalut kain apapun.
“Sama kayak dare aku sebelumnya, tapi ini sedikit lebih susah, Ra,” kata Jeffrey, kemudian mengacungkan jari telunjuk, serta jari tengahnya bersamaan. “Lakuin hal yang paling kamu suka dalam seks kita, pakai jari kamu sendiri, dan sambil bayangin kalau kamu lagi having sex sama aku.”
Ratu membeku di tempat. Muncul sedikit perasaan menyesal lantaran sempat memberi Jeffrey tantangan yang tidak-tidak beberapa saat lalu. Tapi, ia pikir, yang namanya hukum karma dan balas dendam dalam permainan seperti ini agaknya memang sangat sulit dihindari.
Ratu menggigit bagian dalam pipinya, dan menghindari bertemu tatap dengan Jeffrey tatkala ia mulai membuka kedua pahanya.
Tangan yang semula mengepal karena ragu itu, kini mulai menjalar, menuju satu titik di bawah perutnya.
“A-aku harus lakuin berapa lama?”
“Sampai orgasme.”
“HAH?!”
Jeffrey menaikan sebelah alisnya. “Semakin cepet kamu mulai, itu berarti akan semakin cepet selesainya, Ra.”
Ratu mendengkus. Bukannya respon seperti itu terlalu kejam untuk seorang ibu hamil?
Ratu mulai merasa kalau permainan ini sangat menyusahkan dan sama sekali tidak asyik!
“Ayo, nungguin apa?”
“Iya, iya!
Untuk beberapa saat Ratu masih sibuk merenungkan perihal apa saja yang harus ia lakukan untuk mencapai puncak orgasmenya menggunakan tangannya sendiri. Sementara Jeffrey yang tak jauh dari tempat Ratu, tengah menyipitkan kedua matanya demi memastikan apakah Ratu melakukan tantangan ini dengan benar atau tidak.
“Kakinya kurang lebar itu, Ra.”
Ratu mengikuti interupsi Jeffrey kali ini, dan perlahan-lahan membenamkan jari telunjuknya di bawah sana.
“Iya, tambahin satu jari lagi. Mana ada rasanya kalau cuman segitu.”
“Sebentar, sempit!”
“Ya, emang gitu. Itu yang aku rasain,” cetus Jeffrey secara terang-terangan.
Mendengar perkataan tak senonoh yang baru saja keluar dari mulut Jeffrey itu, membuat wajah Ratu memanas. Ia malu. Semakin malu karena ditatap Jeffrey dari dekat saat tengah melakukan hal ini.
“Udah?”
Ratu mengangguk. “Eungh ... terus abis ini harus apa?” tanya Ratu, berharap diberi arahan lagi oleh Jeffrey.
“Gerakin jari kamu yang di dalam sana.”
“Ahh ... Mas....” Ratu semakin terbiasa dan menikmati apa yang tengah ia lakukan tanpa mengindahkan eksistensi Jeffrey sama sekali.
Ia pikir sebentar lagi tantangan konyol ini akan segera berakahir. Namun, belum sempat Ratu mengalami orgasme, Jeffrey lebih dulu mengangkat tubuhnya. Membawanya ke atas ranjang dengan deru napas yang tak karuan.
Jeffrey menyerah pada nafsunya.
Bibirnya langsung mendarat di atas bibir Ratu saat punggung Ratu baru saja menyentuh ranjang. Mencumbu Ratu dengan sedikit kasar, dan menggebu-gebu.
Lalu, dilumatnya setiap inci bibir ranum itu, sembari tetap fokus menopang tubuhnya dengan kedua tangan agar tidak jatuh di atas tubuh Ratu.
Perlahan, tapi pasti ciuman itu beranjak. Menuju sepasang gundukan kembar milik Ratu, tanpa meminta izin terlebih dahulu. Kanan, dan kiri. Jeffrey menghisapnya secara bergantian sampai kedua puting Ratu mulai mengeras. Sementara itu, sang empunya tak mampu melakukan apapun selain mengerang di bawah kukungan Jeffrey.
Ratu banyak sekali melenguh, dan menggeliat. Membuat Jeffrey semakin panas.
Dan, tanpa memberi aba-aba sedikitpun—Jeffrey meloloskan kedua jarinya di bawah sana. Ibu jarinya sengaja menekan sebuah daging yang timbul. Memijitnya perlahan-lahan dengan permukaan ibu jarinya yang memberikan sensasi hangat.
Mata Ratu yang sebelumnya sempat terpejam, kini terbuka perlahan. Dan, di saat yang bersamaan, Jeffrey mengangkat kepalanya. Membuat mereka berdua saling bertukar tatapan tanpa mengatakan hal apapun.
Jeffrey semakin menggerakan ibu jarinya ke atas, kemudian ke bawah—sembari terus menatap Ratu, sebelum akhirnya kembali menghisap sepasang gundukan kembar milik Ratu dengan serakah.
“Mas!” pekik Ratu saat kedua jari Jeffrey yang berada di dalamnya juga ikut bergerak semakin cepat dan tak beraturan.
Mulut Ratu setengah terbuka, untuk meloloskan sebuah desahan yang Jeffrey ciptakan dari tiap-tiap sentuhannya.
Sampai, tiba saatnya Ratu merasakan sensasi tubuhnya seakan ikut diputar, bersamaan dengan kedua jari Jeffrey yang membuat gerakan berputar di dalam intinya.
Peluh Ratu bercucuran, deru napasnya juga tak karuan. Dan, detik selanjutnya tubuh Ratu praktis melengkung ke atas tatkala ia mencapai puncaknya. Ratu gemetar, dengan tangan yang refleks menarik rambut di kepala Jeffrey kuat-kuat.
Ia orgasme hanya dalam beberapa menit.
Ratu mengatur napasnya yang sempat tersendat beberapa saat lalu, dan melepas cengkramannya pada rambut Jeffrey seketika.
“Besok ajak aku main truth or dare lagi, ya, Ra,” bisik Jeffrey, sebelum menarik jemarinya.
Lantas Ratu mendelik “Males! Gak akan lagi!”
—fin—