cakgrays

“Pokoknya Mama gak mau nonton film horror, Bi!”

Padahal Bian masih sibuk memilah-milah film apa yang harus dia putar sore itu, tapi Mama sudah menggerutu bahkan sejak mereka baru saja duduk di ruang keluarga. Takut kalau-kalau film yang akan Bian putar setelah ini bergenre menyeramkan. Lucunya raut wajah Mama seolah menggambarkan betapa dia panik bukan main.

“Mama sekali ngomong aja, Bian udah denger.”

“Tapi kamu gak nyaut dari tadi,” kata Mama. Detik berikutnya layar televisi di hadapan mereka menampilkan opening dari sebuah film Disney. Mama melongo tak percaya. “Princess, Bi?”

Belasan tahun membesarkan Sabian Aditama, baru kali ini Mama tahu kalau anak laki-laki itu penggemar film Disney. Mama tak menyangka. Sebenarnya ini sisi gelap atau sisi terang anak Bian? Entahlah, tapi diam-diam Mama menarik sudut bibirnya. Dan, seandainya Mama memiliki kaca spion layaknya sebuah motor, maka Mama dapat melihat betapa sumringahnya raut wajah Bian kala itu.

“Itu tokoh utamanya?”

Bian mengangguk semangat. “Iya, cantik kan?”

Bian menatap Mama dengan seksama. Berharap sang mama mengiyakan perkataannya. Namun, ternyata nihil. Respon Mama justru sebaliknya. Mama ngegeleng, “Wajahnya agak judes. Kamu suka yang kayak gitu?” tanya Mama.

“Iya—wajah Mama juga sama judesnya kalo lagi diem.”

“Masa, sih?”

Bian tertawa setelahnya. Dia sadar bahwa sejak hari di mana dia meninggalkan rumah sakit, tawanya tak pernah lagi dia tahan. Bahagianya selalu dia ekspresikan keluar. Ini konyol, tapi itu yang Bian rasakan. Kadang ada kalanya Bian terus membuntuti Mama untuk sekedar menanyakan hal-hal yang sejatinya tidak begitu penting. Lebih tepatnya seperti basa-basi tak bermutu untuk mencuri perhatian Mama.

“Ini filmnya aneh banget. Mendingan nonton Naruto the movie, Bi. Dulu Mama sama Papa suka nonton bareng film gituan.”

“Pas pacaran?” tanya Bian penasaran. Kini dia menggeser tubuhnya, mendekat ke arah Mama seolah sangat tertarik dengan topik yang baru saja Mama bahas.

“Mama gak pernah pacaran sama Papa kamu.”

Baik, anggap saja Bian berlebihan. Matanya kini membola, tak percaya. “Mama ... hamil duluan?”

Mama nyaris lupa bagaimana caranya bernapas dengan baik. Darahnya berdesir hebat. Bocah itu kalau bicara kadang seenaknya, persis seperti sang papa tapi dengan versi dua kali lipat lebih mematikan.

“Iya? Kok gak jawab?”

“Mama gak sanggup sama mulut kamu. Bisa-bisanya!”

Bugh!

Bian tertawa. Tawanya puas, menggema dalam satu ruangan hingga Budhe Lasih—asisten rumah tangga mereka itu mengintip dari arah lantai dua. Eksistensi Bian di rumah itu sepertinya mulai meningkat. Bahkan Budhe Lasih ikut tersenyum kala itu. Sebagai saksi bagaimana dinginnya sikap Bian beberapa tahun terakhir, tanpa sadar Budhe Lasih mengucap syukur dalam hati.

Sementara Mama mendengus kesal.

“Mama ini cewek baik-baik tau!”

Baiklah, kali ini wajah Bian mulai serius. “Terus gimana ceritanya, kok gak pacaran tapi bisa nikah? Mama cinta gak sama Papa?”

Jauh di luar dugaan, wajah Mama merona seketika. “Cinta....”

Kalau boleh jujur, saat ini Bian menahan tawanya setengah mati. Ingin sekali rasanya mengolok-olok ekspresi Mama, tapi dia takut minat sang mama untuk bercerita jadi hilang seketika. Serius. Pasalnya wajah Mama hampir semerah tomat.

Lantas Bian berdehem, “Ceritain,” rengeknya. Tangan Bian secara spontan merangkul lengan Mama.

Mama hanya bisa pasrah. Mana tahan melihat Bian seperti merengek begitu? Jelas batin Mama kewalahan!

“Dulu Mama sama Papa temenan dari SD, SMP, SMA, kuliah, sampai kerja. Mama gak boong, Mama beneran gak pernah pacaran sama Papa. Tapi ... waktu kita sama-sama udah kerja, Papa kamu ngelamar Mama dan gak lama dari sana kita nikah.”

Dan hal pertama yang keluar dari mulut Bian adalah sebuah decihan tak percaya. “Boong, kan?”

Mama menerawang langit-langit ruang keluarga yang seakan memperlihatkan bagaimana kisah masa mudanya dengan Papa dahulu. Lucunya, sekarang sudah ada Bian di antara mereka yang perilaku serta wajahnya seperti fotokopian Papa.

Lagi-lagi Bian dapat melihat wajah Mama yang merona. Dan dengan begitu dia yakin seberapa besar Mama mencintai Papa.

“Mama sih gak maksa kamu buat percaya, tapi kenyataannya emang kayak gitu. Papa itu terbaik dari yang paling baik. Dia keliatannya diem, kayak gak ngelakuin pergerakan apa-apa tapi sebenernya Papa yang paling peduli sama Mama waktu itu—persis kayak yang dia lakuin ke kamu, Bi,” tutur Mama. Sorot matanya tak sekalipun beranjak dari Bian. Seolah Mama menyampaikan segalanya tanpa dibuat-buat sedikitpun.

Bian melenguh, sebenarnya muncul sedikit perasaan bersalah soal beberapa hari yang lalu. Bicara empat mata dengan Mama tidak seburuk itu. Dia suka hangatnya tatapan Mama. Dan kenapa dia baru sadar kalau harum sampo Mama sangat berbeda dari aroma ibu-ibu kebanyakan?

Agaknya Bian ingin kembali mengulang sesi bicara santai seperti ini dengan Mama untuk beberapa kali lagi kedepannya. Kalau bisa sih lengkap bersama Papa.

“Mama gak pernah ada rasa pengen pacaran?”

“Pernah.”

“Terus gimana?”

Mama tersenyum. “Mama pacaran sama orang lain, tapi cuman beberapa bulan, lupa putusnya karna apa. Terus abis itu kalau ke mana-mana berdua lagi sama Papa—”

“—kamu sendiri gimana sama yang waktu itu ikut ke rumah sakit?”

Bian tercekat. Bingung harus memberikan jawaban seperti apa. Masih belum cukup keberaniannya.

“Emangnya ... boleh...?”

Sontak tangan Mama menyentuh pucuk kepala Bian. Diusapnya dengan penuh perhatian seraya tersenyum hangat. “Kalau menurut Mama, keputusan yang kayak gitu tuh ada di tangan Bian. Pacaran aja, Mama gak pernah ngelarang—Mama yakin Papa juga gak akan ngelarang. Yang paling penting dia anak baik-baik, soalnya Mama gak mau anak Mama ini rusak. Sama satu lagi ... harus tau batasannya. Gak boleh berlebihan, karna semua yang berlebihan itu gak baik.”

Dan kemudian, sore itu ditutup dengan gurat senyum manis Mama di seluruh penjuru dunia.

“Kamu ngapain, sih, cengar-cengir kayak gitu?”

Mendengar suara bariton Papa yang tiba-tiba saja menegurnya itu, Bian panik bukan main. Meski sadar betul bahwa sama sekali belum ada kejelasan tentang hubungan seperti apa yang Bian jalani dengan si gadis bendahara, tapi tetap saja Bian takut kalau-kalau Papa sampai tau soal dirinya yang super rajin bertukar pesan dengan anak perempuan di kelasnya itu.

“Gak ngapa-ngapain, tuh?” kata Bian, kemudian menunjukkan layar ponselnya yang menampilkan menu utama.

Sebelah alis Papa naik, sengaja memberikan tatapan intimidasi ke arah Bian. “Kamu gak kayak Zaid, kan, Bi?”

Tunggu, ini apaan ya maksudnya?

“Maksud, Papa?”

Papa menggeleng cepat. Khawatir jika salah bicara lagi, bisa-bisa Ozi kembali diserang menggunakan tinju, tapi kali ini oleh Zaid. Toh yang sebelumnya Papa tangkap adalah ekspresi cengangas-cengenges Bian—bukan ekspresi seperti bocah yang tengah menonton film biru dalam kegelapan bilik rumah sakit.

“Gak jadi. Dagu kamu masih sakit, gak?”

“Udah enggak. Ngomong-ngomong ini Bian yang sakit, kok malah Mama yang tidur seharian?” Bian melirik Mama yang terus terlelap sejak tadi siang di atas sofa. Bahkan, sepertinya seingat Bian—Mama tidak merubah posisinya sedikitpun.

Papa terkekeh, sambil menarik sebuah kursi untuk duduk di samping ranjang tempat Bian berbaring.

“Waktu kamu belum sadar, Mama gak mau tidur sama sekali. Kamu itung aja, dari jam sepuluh malem sampai besok paginya. Cuman karna takut kamu kenapa-napa pas Mama lagi tidur.”

“Kan ada Dokter. Papa ... gimana? Tidur?”

“Anak satu-satunya abis ilang, dan ditemuin dalam keadaan berdarah-darah. Istrinya nangis semaleman. Terus kamu pikir, Papa bisa tidur?”

Sebenarnya tanpa perlu Papa jawab pun, Bian sudah tahu. Melihat penampilan Papa yang carut-marut padahal biasanya super rapi saja sudah aneh. Baik Papa, dan Mama—keduanya pasti sama-sama kurang istirahat.

Lantas sekelebat ingatan soal Papa yang melarangnya untuk ikut pergi ke perkemahan tiba-tiba saja muncul. Bian menghela napas panjang. Dalam benaknya dia membatin kalau sang papa pasti ada hubungannya dengan Mbak Rara, yang namanya sering kali disebut-sebut di televisi sebagai peramal sekaligus pawang hujan yang sangat sakti mandraguna! Pantas saja turun hujan di perkemahan tersebut selama seharian penuh.

“Kamu lagi ngomongin Papa di dalem hati, ya?”

“Enggak.”

“Alah boong! Buktinya mata kamu ke kanan-kiri gitu.”

Lalu dengan bodohnya Bian menaik-turunkan tatapannya. “Enggak, nih. Sekarang ke atas-bawah,” kata Bian.

Sontak keduanya tergelak di keheningan malam itu. Lucu sekali. Sementara tak lama setelah itu, Mama terbangun dari tidurnya. Sepertinya hampir terkejut karena minimnya pencahayaan. Maklum—tidur sejak siang, dan begitu bangun sudah larut malam.

“Kok gak ada yang bangunin Mama?”

Mama berjalan sempoyongan menuju Bian. Dan, hal pertama yang Bian lakukan kala matanya bertemu tatap dengan Mama adalah mendudukkan tubuhnya sendiri, sebelum akhirnya menepuk sebuah spot kosong di atas ranjangnya.

Sesuai seperti yang Bian minta, Mama pun naik dan duduk dengan manis di hadapan Bian. Kemudian diraihnya tangan Bian, “Jangan mampir ke sini lagi, Bi. Mama gak suka liat kamu tiduran di kasur rumah sakit.” Kalau saja cahaya lampu tidak temaram saat ini, mungkin Mama dapat melihat semburat merah pada pipi Bian.

Duduk di antara Papa dan Mama—Bian senang, tapi salah tingkah.

“Bian ... minta maaf.”

“Buat apa?” tanya Papa.

“Ngerokok ... sama nekat pergi kemah....”

Untuk sesaat Bian merasa dunianya seakan berhenti, tatkala melihat respon Papa dan Mama yang hanya membisu.

Papa bangkit dari tempat duduknya semula. “Papa juga minta maaf soal Oji.” Kemudian Papa sekonyong-konyong menepuk pundak Bian dengan penuh tenaga.

“AH SAKIT!”

“Lebay banget, sih?” kata Papa.

“Papa!”

Bian terkekeh geli tatkala Mama melayangkan tatapan seolah berarti 'Lo macem-macem ke anak gue, awas aja lo!'

“Marahin aja, Ma! Kaga kira-kira dia mukulnya”

“Demi Tuhan cuman aku usap, Ra!” seru Papa memberi pembelaan.

“Jelas-jelas bunyinya bukh!” timpal Mama, dan sudah dipastikan Bian menang melawan Papa malam ini.

Musik Saya · Andaikan Kau Datang Kembali – Koes Plus

Malam itu hujan turun dengan derasnya, mengguyur hampir seluruh komponen kota Jakarta. Bian duduk mematung di sebuah kursi plastik yang mengarah langsung pada dua buah pigura klasik milik Papa dan Mama. Pandangannya kosong. Seolah tak mampu lagi untuk mengeluarkan ekspresi kesedihan apapun. Bibir pucat keunguan, serta jejak air mata bocah itu seakan sudah mampu mengatakan pada dunia betapa kehilangannya dia saat ini.

Suara petir menjelma menjadi iring-iringan keramaian rumah Bian. Dia gemetar. Pundak hingga kakinya seolah tak lagi dapat dia kontrol dengan otaknya. Semua orang berlalu-lalang. Bergantian satu per satu untuk mengucapkan kalimat selamat tinggal bagi sang mendiang di depan sana, di dalam peti mati yang tampak sangat apik karena diukir dan dipernis sedemikian rupa.

Ada beberapa suara tangisan yang sesekali memekakkan telinga Bian. Tangis pilu yang memanggil-manggil nama Papa dan Mama secara bergantian. Namun, tak ada seorangpun yang menghampirinya, menguatkan pundaknya, atau bahkan memeluknya sebagai bentuk ungkapan turut berbelasungkawa.

Semua orang mengacuhkan Bian. Sebab bagi mereka—Bian lah orang yang bertanggung jawab atas kematian orang tuanya sendiri.

Bian dapat melihat Ozi dan Zaid berjalan dengan masing-masing keluarga mereka mendekati peti tersebut. Peti tempat Papa dan Mama terbaring kaku. Namun, tak satupun dari kedua temannya itu yang menoleh ke arahnya. Bian terpuruk dan dikucilkan, tepat di hari paling menyedihkan dalam hidupnya.

Bahkan saat dia beranjak untuk mengucapkan salam perpisahan, serta memanjatkan sebuah doa atas mendiang Papa dan Mama—dua orang tak dikenal dengan tubuh besar dan pakaian serba hitam memblokir jalannya.

Tak peduli sekeras apapun Bian berontak, dan berteriak—mereka tak sedikitpun memberi celah. Tidak seorangpun membantunya untuk lolos dari belenggu kedua orang yang menghalanginya itu.

“PAPA! MAMA!!” pekik Bian tatkala peti di depan sana perlahan-lahan mulai ditutup.

“ENGGAK! GAK BOLEH! JANGAN DITUTUP DULU PETINYA!”

Tangis Bian pecah seketika.

Di antara ramainya suara gelegar petir yang saling bersahutan, ingatan-ingatan tentang masa lalu Bian terputar begitu saja di kepalanya. Ada perasaan perih dalam hatinya. Seandainya dia sadar lebih cepat, Bian mungkin akan menekan egonya dalam-dalam. Seandainya dia diberikan satu kesempatan lagi, Bian ingin duduk di tengah-tengah Papa dan Mama sambil menceritakan semuanya hal tentangnya, mengutarakan apa keinginannya, serta mengatakan sebanyak mungkin betapa dia menyayangi keduanya. Seandainya diberi sedikit waktu saja, Bian ingin setidaknya meminta maaf untuk terakhir kalinya.

Namun nasi telah menjadi bubur. Bian hanya mampu menjerit sejadi-jadinya kala melihat peti di hadapannya itu kini telah terbakar di antara kobaran api berwarna merah yang entah darimana asalnya.

Kemudian sunyi dan dingin. Tak ada lagi orang-orang di sana. Hanya ada Bian dan menangis pilunya menyaksikan peti tersebut lama-kelamaan menghilang sebab mulai berubah menjadi butiran abu.

“SABIAN!”

Bian membelalakkan matanya seketika. Jantungnya bergemuruh kencang, sementara keningnya kini dibasahi peluh yang bercucuran. Sepasang matanya tak berkedip sekalipun saat melihat wajah Papa yang begitu nyata, ada di dekatnya. Napas Bian tersengal-sengal, tak karuan. Dia baru saja mimpi buruk.

“Kamu kenapa?” tanya Papa dengan nada khawatir.

Bian tidak mampu mencegah air matanya jatuh. Bian takut. Takut kehilangan Papa dan Mama.

Melihat itu, tanpa pikir panjang Papa menarik Bian masuk ke dalam dekapannya. Mengusap lembut punggung Bian dengan penuh perhatian. Mencoba menenangkan Bian semampunya.

“Ada yang sakit?”

Bian hanya menggeleng lemah dalam pelukan hangat Papa. Kalau boleh jujur, saat ini lidahnya bahkan terlalu kelu untuk bicara. Bian tidak pernah menyangka akan melihat kematian Papa dan Mama dalam mimpinya. Apalagi sampai harus seburuk 'itu'.

Bian membisu. Dadanya masih begitu nyeri.

“Mas, kata susternya Bian—BIAN UDAH SADAR?!”

Mendengar suara Mama yang melengking itu, Bian lantas melepas pelukan Papa dan mengusap wajah asal-asalan. Untuk sejenak dia mencoba mencerna apa yang sudah terjadi. Kenapa Mama muncul dengan membawa Ajeng di belakangnya? Gadis itu bahkan masih lengkap dengan celana training dan kaus warna coklat yang didapat dari perkemahan Pramuka. Tunggu, ini tanggal berapa? batin Bian. Bingung.

Mama meletakkan sebuah plastik berisikan beberapa obat-obatan milik Bian di atas nakas, kemudian menggantikan Papa untuk memeluk Bian. Agaknya sesuatu yang baru terjadi cukup membuat keluarga kecil ini sedikit shock.

“Kamu kenapa, sih, macem-macem aja. Ada aja tingkahnya yang bikin Mama kepikiran!” seru Mama sebelum melepaskan pelukannya, dan memegang pundak Bian erat-erat.

Bian mengerutkan keningnya, “Bian kenapa?” tanya Bian penasaran.

Saat itu juga, Bian dapat melihat sorot mata Mama berubah. Seperti ada penyesalan di sana, begitu pula dengan Papa. Tak ada jawaban yang keluar dari mulut mereka, lantas Bian melempar tatapannya pada Ajeng yang juga tengah menatapnya.

“Lo pergi abis marah-marah ke Kak Oji, kan? Terus semua orang nyariin lo, Bi. Gue, Zaid, Kak Oji, bahkan anak-anak lain akhirnya ikut nyariin lo—tapi gak ketemu. Semaleman itu semua orang kelilingin tempat perkemahan, sampe akhirnya ada anak IPS yang nemuin dalam keadaan gak sadar—” Ajeng mengarahkan jari telunjuk pada dagunya sendiri. “Lo kayanya jatoh, terus kena sesuatu—dagu lo sobek makanya dapet jaitan. Karna di sana gelap banget, kita semua gak ada yang tau lo kena apa. Lo sendiri pingsan karna ngeluarin banyak darah sama kedinginan,” tutur gadis itu dengan sangat jelas.

Tapi sepersekian detik, makin kebingungan. Agaknya Ajeng kembali menggunakan 'gue-lo' karena takut Mama dan Papa memikirkan hal yang tidak-tidak.

Selanjutnya Bian mencoba mengingat-ingat kejadian yang sebenarnya dia alami.

Kemarin malam tepatnya, saat emosinya tengah berada di puncak setelah mengetahui kalau Ozi sudah memata-matainya atas permintaan Papa—Bian pergi menjauh dari tenda-tenda peserta kemah. Langkah kakinya terus membawa Bian pergi entah ke mana. Kemudian, sepertinyanasib sial tengah mengikuti Bian hari itu. Lembabnya keadaan tanah membuat Bian tergelincir, jatuh terjerembab di dalam kegelapan malam. Usut punya usut, sepertinya luka jahitan pada dagu Bian disebabkan oleh patahan ranting pohon di sekitar tempat Bian terjatuh.

Dalam benak Bian mengucap syukur berkali-kali. Untung saja ada yang menemukan dia meski sudah dalam keadaan tidak sadar. Kalau tidak, mungkin dia sudah dikremasi hari ini.

“Nanti ada polisi yang mau tanya-tanya sedikit ke kamu, Bi. Jawab sesuai sama apa yang kamu alamin,” kata Papa.

“Apa? Polisi?”

“Papa kamu buat laporan ke kantor polisi gara-gara pihak dari sekolah lalai,” timpal Mama, kemudian mengusap pucuk kepala Bian.

Bian menggeleng cepat. Ini sama sekali bukan salahnya pihak sekolah, ini semua salah gue!

“Cabut laporannya, Pa. Ini semuanya salah Bian, Papa gak perlu lempar ke orang lain. Lagian Bian udah gapapa.”

“Dua belas jahitan di dagu, kamu bilang gapapa?”

Bian melirik ke arah Ajeng sesaat, kemudian menundukkan kepalanya. “Bian emosi ke Oji, Bian yang kabur, Bian yang cidera. Ini bukan salah pihak sekolah...,” cicit Bian, malu.

“Papa minta maaf tentang Oji.”

Ngomong-ngomong soal Ozi—setelah melihat Ozi yang tak acuh padanya dalam mimpi beberapa saat lalu, Bian jadi memikirkan kembali soal pertengkaran mereka. Dia sedikit menyesal sudah memukuli Ozi sampai sebegitunya. Sebab dalam mimpi rasanya seperti sangat kesepian kala tidak memiliki Ozi dan Zaid di sisinya. Bian menghela nafas panjang. Gue harus dengerin penjelasan dia sama Papa begitu pulang dari sini.

“Om, Tante ... karna Biannya udah siuman kayanya aku mau balik ke perkemahan dulu. Takut tasnya ditinggal sama yang lain.”

“Eh, sampai lupa bilang. Nanti kamu, Ozi, sama Zaid biar Om yang nganterin ke sana. Om juga mau ambil tasnya Bian.”

Bian dapat melihat bagaimana cara Papanya itu tersenyum pada gadis yang dia suka itu. Kalau dipikir-pikir, melihat Ajeng berdiri tak jauh dari Mama membuat keduanya tampak sedikit mirip karna gaya rambut mereka.

Tunggu, tadi Papa bilang apa?

“Oji sama Jaid di sini?!”

Ajeng mengangguk. Sudah pasti lah. Mana mungkin mereka berdua tetap asyik melakukan serangkaian kegiatan perkemahan tanpa Bian?

“Kak Ozi sama Zaid tadi katanya mau ke kantin rumah sakit. Laper deh, kayanya,” kata Ajeng menjawab pertanyaan Bian barusan.

Entah ada apa gerangan, tapi tiba-tiba saja Mama terkekeh. Membuat tiga orang lainnya keheranan.

“Mama kenapa?” tanya Bian dengan tampang polos.

Kemudian Mama sengaja mencondongkan tubuhnya. Berniat untuk membisikkan sesuatu pada Bian.

“Kamu harus cepet sehat, soalnya Mama liat-liat Ajeng gampang akrab sama orang. Nanti kamu ditikung sama Zaid atau Ozi.”

Lantas ekspresi Bian yang sebelumnya berangsur-angsur cerah, kini kembali gamang seketika.

Malam itu hujan turun dengan derasnya, mengguyur hampir seluruh komponen kota Jakarta. Bian duduk mematung di sebuah kursi plastik yang mengarah langsung pada dua buah pigura klasik milik Papa dan Mama. Pandangannya kosong. Seolah tak mampu lagi untuk mengeluarkan ekspresi kesedihan apapun. Bibir pucat keunguan, serta jejak air mata bocah itu sepertinya mampu mengatakan pada seluruh orang betapa kehilangannya dia saat ini.

Suara petir menjadi iring-iringan keramaian rumah Bian. Dia gemetar. Pundak hingga kakinya seolah tak lagi dan dia kontrol dengan otaknya. Semua orang berlalu-lalang. Bergantian satu per satu untuk mengucapkan kalimat selamat tinggal bagi sang mendiang di depan sana, di dalam peti mati yang tampak sangat apik karena diukir dan dipernis dengan sangat teliti.

Ada beberapa suara tangisan yang sesekali memekakkan telinga Bian. Tangis pilu yang memanggil-manggil nama Papa dan Mama secara bergantian. Namun, tak ada seorangpun yang menghampirinya, menguatkan pundaknya, atau bahkan memeluknya sebagai bentuk belasungkawa.

Semua orang mengacuhkan Bian. Sebab bagi keluarganya—Bian lah orang yang bertanggung jawab atas kematian orang tuanya.

Bian dapat melihat Ozi dan Zaid berjalan dengan masing-masing keluarga mereka mendekati peti tersebut. Peti tempat Papa dan Mama terbaring kaku. Namun, tak satupun dari kedua temannya itu menoleh ke arahnya. Bian terpuruk dan dikucilkan, tepat di hari paling menyedihkan dalam hidupnya.

Bahkan saat dia beranjak untuk mengucapkan salam perpisahan, serta memanjatkan sebuah doa atas mendiang Papa dan Mama—dua orang dengan tubuh besar dan pakaian serba hitam memblokir jalannya.

Tak peduli sekeras apapun Bian berontak, dan berteriak—mereka tak sedikitpun memberi celah. Tak ada yang membantunya dari belenggu kedua orang yang menghalanginya itu.

“PAPA! MAMA!!” pekik Bian tatkala peti di depan sana perlahan-lahan mulai ditutup.

“ENGGAK! GAK BOLEH! JANGAN DITUTUP DULU PETINYA!”

Tangis Bian pecah seketika.

Di antara ramainya suara gelegar petir yang saling bersahutan, ingatan-ingatan tentang masa lalu Bian terputar begitu saja di kepalanya. Ada perasaan perih dalam hatinya. Seandainya dia sadar lebih cepat, Bian mungkin akan menekan egonya dalam-dalam. Seandainya dia diberikan satu kesempatan lagi, Bian ingin duduk di tengah-tengah Papa dan Mama sambil menceritakan semuanya hal tentangnya, mengatakan apa keinginannya, serta mengatakan sebanyak mungkin betapa dia menyayangi keduanya. Seandainya diberi sedikit waktu saja, Bian ingin setidaknya meminta maaf untuk terakhir kalinya.

Namun nasi telah menjadi bubur. Bian hanya mampu menjerit sejadi-jadinya kala melihat peti di hadapannya itu kini telah terbakar di antara kobaran api berwarna merah yang entah darimana asalnya.

Tak ada lagi orang-orang di sana. Bian sendirian, menangis pilu menyaksikan peti tersebut lama-lama menghilang dilahap oleh api.

“SABIAN!”

Bian membelalakkan matanya seketika. Jantungnya bergemuruh kencang, sementara keningnya kini dibasahi peluh yang bercucuran. Sepasang matanya tak berkedip sekalipun saat melihat wajah Papa yang begitu nyata ada di dekatnya. Napas Bian tersengal-sengal, tak karuan. Dia baru saja mimpi buruk.

“Kamu kenapa?” tanya Papa dengan nada khawatir.

Bian tidak mampu mencegah air matanya jatuh. Bian takut. Takut kehilangan Papa dan Mama.

Melihat itu tanpa pikir panjang, Papa menarik Bian masuk ke dalam dekapannya. Mengusap lembut punggung Bian dengan penuh perhatian.

“Ada yang sakit?”

Bian hanya menggeleng lemah dalam pelukan hangat Papa. Kalau boleh jujur, saat ini lidahnya bahkan terlalu kelu untuk bicara. Bian tidak pernah menyangka akan melihat kematian Papa dan Mama dalam mimpinya.

Bian membisu. Dadanya masih begitu nyeri.

“Mas, kata susternya Bian—BIAN UDAH SADAR?!”

Mendengar suara Mama yang melengking itu, Bian lantas melepas pelukan Papa. Untuk sejenak dia mencoba mencerna apa yang sudah terjadi. Kenapa Mama muncul dengan membawa Ajeng di belakangnya? Gadis itu bahkan masih lengkap dengan celana training dan kaus warna coklat yang didapat dari perkemahan Pramuka. Tunggu, ini tanggal berapa? batin Bian.

Mama meletakkan sebuah plastik berisikan beberapa obat-obatan milik Bian di atas nakas, kemudian menggantikan Papa untuk memeluk Bian. Agaknya sesuatu yang baru terjadi cukup membuat keluarga kecil ini sedikit shock.

“Kamu kenapa, sih, macem-macem aja. Ada aja tingkahnya yang bikin Mama kepikiran!” Sebelum melepaskan pelukannya dan memegang pendak Bian erat-erat.

Bian mengerutkan keningnya, “Bian kenapa?” tanya Bian penasaran.

Saat itu juga, Bian dapat melihat sorot mata Mama berubah. Seperti ada penyesalan di sana, begitu pula dengan Papa. Tak ada jawaban yang keluar dari mulut mereka, lantas Bian melempar tatapannya pada Ajeng yang juga tengah menatapnya.

“Lo pergi abis marah-marah ke Kak Oji, kan? Terus semua orang nyariin lo, Bi. Gue, Zaid, Kak Oji, bahkan anak-anak lain akhirnya ikut nyariin lo—tapi gak ketemu. Semaleman itu semua orang kelilingin tempat perkemahan, sampe akhirnya ada anak IPS yang nemuin dalam keadaan gak sadar—” Ajeng mengarahkan jari telunjuk pada dagunya sendiri. “Lo kayanya jatoh, terus kena sesuatu—dagu lo sobek. Karna di sana gelap banget, kita semua gak ada yang tau lo kena apa. Lo sendiri pingsan karna ngeluarin banyak darah sama kedinginan,” tutur gadis itu dengan sangat cepat.

Sepersekian detik, Bian menarik sudut bibirnya. Agaknya Ajeng kembali menggunakan 'gue-lo' karena takut Mama dan Papa memikirkan hal yang tidak-tidak.

Selanjutnya Bian mencoba mengingat-ingat kejadian yang sebenarnya dia alami.

Kemarin malam tepatnya, saat emosinya tengah berada di puncak setelah mengetahui kalau Ozi sudah memata-matainya atas permintaan Papa—Bian pergi menjauh dari tenda-tenda peserta kemah. Langkah kakinya terus membawa Bian pergi entah ke mana. Kemudian, sepertinyanasib sial tengah mengikuti Bian hari itu. Lembabnya keadaan tanah membuat Bian tergelincir, jatuh terjerembab di dalam kegelapan malam. Usut punya usut, sepertinya luka jahitan pada dagu Bian disebabkan oleh patahan ranting pohon di sekitar tempat Bian terjatuh.

Dalam benak Bian mengucap syukur berkali-kali. Untung saja ada yang menemukan dia meski sudah dalam keadaan tidak sadar. Kalau tidak, mungkin dia sudah dikremasi hari ini.

“Nanti ada polisi yang mau tanya-tanya sedikit ke kamu, Bi. Jawab sesuai sama apa yang kamu alamin,” kata Papa.

“Apa? Polisi?”

“Papa kamu buat laporan ke kantor polisi gara-gara pihak dari sekolah lalai,” timpal Mama, kemudian mengusap pucuk kepala Bian.

Bian menggeleng cepat. Ini sama sekali bukan salahnya pihak sekolah, ini semua salah gue!

“Cabut laporannya, Pa. Ini semuanya salah Bian, Papa gak perlu lempar ke orang lain. Lagian Bian udah gapapa.”

“Dua belas jahitan di dagu, kamu bilang gapapa?”

Bian melirik ke arah Ajeng sesaat, kemudian menundukkan kepalanya. “Bian emosi ke Oji, Bian yang kabur, Bian yang cidera. Ini bukan salah pihak sekolah...,” cicit Bian, malu.

“Papa minta maaf tentang Oji.”

Ngomong-ngomong soal Ozi—setelah melihat Ozi yang tak acuh padanya dalam mimpi beberapa saat lalu, Bian jadi memikirkan kembali soal pertengkaran mereka. Dia sedikit menyesal sudah memukuli Ozi sampai sebegitunya. Sebab dalam mimpi rasanya seperti sangat kesepian kala tidak memiliki Ozi dan Zaid di sisinya. Bian menghela nafas panjang. Gue harus dengerin penjelasan dia sama Papa begitu pulang dari sini.

“Om, Tante ... karna Biannya udah siuman kayanya aku mau balik ke perkemahan dulu. Takut tasnya ditinggal sama yang lain.”

“Eh, sampai lupa bilang. Nanti kamu, Ozi, sama Zaid biar Om yang nganterin ke sana. Om juga mau ambil tasnya Bian.”

Bian dapat melihat bagaimana caranya Papanya itu tersenyum pada gadis yang dia suka. Kalau dipikir-pikir, melihat Ajeng berdiri tak jauh dari Mama membuat keduanya tampak sedikit mirip karna gaya rambut mereka.

Tunggu, tadi Papa bilang apa?

“Oji sama Jaid di sini?!”

Ajeng mengangguk. Sudah pasti lah. Mana mungkin mereka berdua tetap asyik melakukan serangkaian kegiatan perkemahan tanpa Bian?

“Kak Ozi sama Zaid tadi katanya mau ke kantin rumah sakit. Laper deh, kayanya,” kata Ajeng menjawab pertanyaan Bian barusan.

Entah ada apa gerangan, tiba-tiba saja Mama terkekeh. Membuat tiga lainnya keheranan.

“Mama kenapa?” tanya Bian dengan tampang polos.

Kemudian Mama sengaja mencondongkan tubuhnya. Berniat untuk membisikkan sesuatu pada Bian.

“Kamu harus cepet sehat, soalnya Mama liat-liat Ajeng gampang akrab sama orang. Nanti ditikung sama Zaid atau Ozi.”

Lantas ekspresi Bian yang sebelumnya berangsur-angsur cerah, kini kembali gamang seketika.

Jeffrey menatap layar ponselnya dengan wajah geram. Sekitar beberapa jam yang lalu, Ratu menelponnya. Kata wanita itu saat di telpon, ia akan datang, dan membawa sesuatu untuk mereka makan sama-sama. Tapi sampai detik ini batang hidung Ratu belum juga kelihatan.

Sebenarnya rencana Jeffrey hari ini cukup padat. Kalau bukan demi menjaga hati sang istri, mungkin ia akan menolak mentah-mentah ajakan Ratu. Dan sekarang, hampir satu jam lamanya Jeffrey tidak melakukan apa-apa. Hanya menatap pantulan wajahnya pada jendela kaca yang mengarah langsung ke gedung-gedung tinggi lainnya di Ibu Kota.

Jeffrey menghela nafas. Sempat terlintas dalam benaknya untuk pergi dan melakukan pertemuan penting dengan salah seorang klien. Tapi kalau diingat-ingat, ia sudah sangat belaga dan seenak jidatnya menyuruh Yudhis membatalkan jadwal pertemuan penting tersebut. Agaknya kalau ia lagi-lagi berubah pikiran, Yudhis pasti mengoceh tak karuan, sebab merasa dipermainkan.

Oke, baiklah. Akhirnya Jeffrey memutuskan untuk pasrah. Melewatkan pertemuan penting dan makan siangnya secara bersamaan hanya karena ibu satu anak yang menyandang status sebagai istrinya itu sulit dihubungi.

Niat hati ingin kembali bekerja, tapi pintu ruangannya tiba-tiba saja terbuka. Menampilkan sosok wanita ramping, dengan rambut yang dikuncir asal-asalan namun menambah kesan seksi karena rahangnya terekspos secara nyata. Jeffrey melongong. Matanya membola seketika dan tak lupa kedua tangannya ada di depan mulut. Seolah tak menyangka dengan sesuatu di hadapannya.

“Sayang!” sapa Jeffrey.

Ia sekonyong-konyong merentangkan tangan, dan berlari memeluk Ratu yang baru saja datang.

Rasa kesal yang sempat melanda hati Jeffrey itu seketika menghilang entah ke mana. Yah, suasana hatinya langsung berubah seketika. Masa bodo soal klien, masa bodo soal keterlambatan makan siangnya. Yang jelas, saat ini Jeffrey hanya ingin bergelendot pada tubuh istrinya—persis seperti bayi kukang menggelendoti batang pohon.

Sementara itu, tepat di belakang mereka berdua ada Yudhis yang mendecih tak senang. Melihat atasannya pamer kemesraan dengan sang istri, tentu saja membuat batin Yudhis meronta-ronta. Ia bahkan belum sempat memeluk istrinya sendiri pagi ini.

Si najis! Kurang lebih begitu batinnya.

Dan, detik kemudian. Seolah mampu mendengar umpatan batin Yudhis—Jeffrey melepaskan pelukannya pada Ratu. Ditatapnya Yudhis dengan ekspresi datar. “Lo gak ada niat buat ke luar dari ruangan gue, Yud? Muka lo ganggu banget, serius.” Tentu saja setelahnya Yudhis langsung pergi dan menutup pintu dengan kasar.

“Aku agak kelamaan, ya?”

“APA? AGAK?!”

Susah payah Jeffrey menarik sudut bibirnya. Ia kembali ingat akan hal yang beberapa saat lalu membuatnya kesal setengah mati. Tapi, lagi. Jeffrey mana berani mengambil tindakan serius untuk memarahi Ratu? Itu mungkin hanya aakan terjadi jika di dalam mimpi.

“Iya, aku agak kelaperan,” kata Jeffrey. Sengaja menggunakan kata yang sama, untuk menyindir istrinya, namun nihil. Alih-alih tersindir, Ratu malah menarik tangan Jeffrey. Menuntunnya untuk duduk di sofa yang memang di sediakan dalam ruangan tersebut.

“Aku sebenernya gak masak makanan berat, sih ... cuman kue balok lumer.”

Tuhan, apa lagi ini? Jeffrey mengelus dadanya sembari melayangkan tatapan nanar. Bahkan setelah menunggu begitu lama, ia masih harus dikecewakan? Keterlaluan! Rasanya Jeffrey ingin mengumpat meski hanya sekali saja tepat di depan wajah Ratu. MANA NASINYA?!

Tapi seolah tidak dapat menilai kondisi sekitar, dengan polosnya Ratu menyodorkan kue itu di depan mulut Jeffrey. Mulutnya sendiri sambil menganga, memberi Jeffrey isyarat agar ikut membuka mulut. Lantas mau tidak mau, lagi-lagi Jeffrey harus meredam kekesalannya.

Gak masalah. Ini sama ngenyanginnya sama nasi, Jeff.

Namun ketika satu gigitan lolos, lava coklat muncrat begitu saja. Dan, demi seluruh alam semesta kali ini Jeffrey tidak tahan lagi. Dikunyahnya kue yang sudah terlanjur bertengger di dalam mulut itu secepat kilat. Ia ingin segera menghujani Ratu dengan berbagai macam kalimat-kalimat umpatan setelahnya. Namun, jemari lentik istrinya itu lebih dahulu mendarat pada dua belah bibir yang sempat ternodai dengan lava coklat.

Dengan telaten Ratu menyeka bibir Jeffrey sambil tersenyum. Entahlah, mungkin karena wajah Jeffrey yang terlanjur memerah akibat kesal itu seolah menjadi hiburan untuknya.

Satu detik, lima detik, dan seterusnya kegiatan Ratu membersihkan bibir Jeffrey tak kunjung selesai. Sementara Jeffrey yang kini menatap wajah Ratu dari jarak sedekat itu pun mulai terbawa suasana. Jantungnya berdegup kencang. Jeffrey bahkan lupa mengedipkan matanya barang sejenak.

“Makannya tuh pel—”

Kalimat Ratu menggantung di udara kala Jeffrey mencengkeram erat tangan yang sebelumnya sibuk membersihkan bibir Jeffrey.

“Mas, kenapa? Kamu marah?” tanya Ratu penasaran dengan ekspresi Jeffrey.

Di sisi lain mata Jeffrey tidak lagi diam. Semakin turun, dan perlahan menyapu setiap inci wajah istrinya itu hingga ke bagian dada.

Bibir merah muda alami, mirip dengan buah persik Jepang yang tempo hari ia makan. Leher putih yang seakan-akan menariknya untuk membenamkan wajah di sana. Serta, dada putih yang sedikit terekspos karena model pakaian yang Ratu kenakan saat ini, rasa-rasanya bukanlah sebuah kebetulan.

Ratu sengaja?

Perlahan-lahan Jeffrey mencondongkan tubuhnya. Menyatukan bibir mereka dalam keheningan. Tak ada penolakan. Jeffrey tersenyum ditengah-tengah kegiatan bercumbunya.

Dengan lembut Jeffrey menyingkirkan anak rambut dari wajah Ratu. Tangan lainnya kini mendarat tepat di pinggang sang istri. Hanya perlu sedikit usaha sampai akhirnya Ratu kini duduk di atas pangkuan Jeffrey dengan nyaman.

Kelopak mata Ratu terpejam sesaat. Ia juga menikmati alurnya. Ada sisa rasa manis pada bibir Jeffrey saat ini, membuat Ratu sedikit kecanduan.

Tangan Jeffrey menelusuri permukaan punggung Ratu yang memang tidak tertutup oleh pakaiannya.Hangat.

Pagutan bibir mereka semakin intens, hingga napas Ratu tersengal-sengal dibuatnya.

Ratu mengerang. Dipukulnya berkali-kali bahu Jeffrey, sebab stok napasnya sudah habis.

“Aku makan kamu aja boleh gak, sih?” tanya Jeffrey seketika. Merasa perbuatannya kali ini masih kurang.

Oke, ini gila! Mereka ada di kantor!

Jeffrey menautkan kedua alisnya. “Kok gak jawab?”

Ratu menggeleng. Ia tahu ini salah. Bagaimana kalau tiba-tiba saja ada karyawan yang masuk?

“Kita lagi di kantor, kalau kamu lupa.”

“Kita bisa pakai kamar.”

Ah iya, Ratu melupakan sesuatu yang penting. Ada sebuah kamar kecil di dalam ruangan Jeffrey. Kamar yang dulunya sering mereka gunakan untuk istirahat saat musim lembur tiba. Tapi tetap saja ini terlalu beresiko. Apalagi kalau mengingat waktu bercinta Jeffrey tidaklah singkat.

“Gak bisa, Mas. Nanti aja di rumah....,” bujuk Ratu memelas. Tapi itu sama sekali tidak mempengaruhi Jeffrey.

Here we go! Bibirnya mengerucut, wajahnya kusut, serta alisnya terus saja bertaut. Siapa lagi kalau bukan 'Jeffrey yang merajuk?'

“Gini aja, cium aku sekali lagi.”

Kemudian tanpa pikir panjang, dan dengan sedikit minat yang masih tersisa, Jeffrey kembali memompa semangatnya. Meraup bibir Ratu dengan sangat rakus, dan mengabsen gigi istrinya itu satu per satu, hingga sebuah desah lirih lolos dari mulutnya. Kegiatan yang berlangsung selama bermenit-menit itu sukses membuat peluh mereka bercucuran meski di ruangan ber-AC. Anggaplah Jeffrey gila. Bahkan hanya sekedar ciuman penuh gairah mampu menghancurkan penampilan Ratu siang itu. Beruntung akal sehatnya masih sedikit berfungsi. Jeffrey sengaja tidak meninggalkan bekas apapun pada tengkuk hingga bahu Ratu.

Kemudian, saat dirasa sudah cukup melakukan ciuman panasnya, Ratu beranjak dari pangkuan Jeffrey sambil beringsut ketakutan.

“Udah, udah!”

“Sumpah buru-buru banget?!” kata Jeffrey tidak terima.

“APA? BURU-BURU APANYA?! AKU UDAH LAMA YA DUDUK DI SANA!” seru Ratu, sembari menunjuk sesuatu yang sepertinya sudah terbangun sejak beberapa menit yang lalu.

Ratu merinding sendirian saat tak sengeja membayangkan benda itu berhasil keluar, dan mereka melakukan kegiatan erotis di dalam kantor, persis seperti cerita-cerita yang sempat ia baca saat masih belia.

Sontak Jeffrey terbahak. Ekspresi panik Ratu sedikit menggelitik perutnya.

“Yaudah, sana pulang. Dianterin sama Yudhis, ya? Aku mau ngurus yang ini.” Jeffrey melirik ke bawah sepersekian detik, dan tentu saja Ratu paham apa maksudnya.

Selanjutnya Ratu mengangguk mantap. Namun sebelum pergi meninggalkan Jeffrey, ia lebih dulu mendekat. Sengaja mengecup bibir Jeffrey dengan singkat. “Pulang cepet, ya,” kata Ratu, diakhri dengan sebuah sentuhan sensual yang dimulai dari dada, dan terus terun hingga menyentuh sesuatu.

“RATU?!”

Sepoy angin kota Jakarta pagi ini merambat masuk ke dalam kemeja coklat yang Bian kenakan. Seragam Pramuka katanya.

Di depan Bian ada Zaid yang terus menggerutu. Kesal, sebab apel pagi yang tak kunjung usai. Padahal dia yakin setengah mati kalau begitu tiba di tempat perkemahan nanti, dia akan kembali melakukan kegiatan semacam ini. Berdiri setidaknya hampir satu jam ditemani teriknya sinar matahari. Lencang kanan, lencang kiri, kemudian istirahat di tempat untuk mendengarkan amanat. Belum lagi pembacaan Tri Satya, dan Dasa Darma Pramuka. Terdengar hela napas panjang dari Zaid.

“Tolong ini kapan jalannya, sih?!” kata Zaid. Meski kesal, dia masih berbisik. Takut kalau-kalau didengar oleh Kakak Pembina, dia akan diseret keluar dari barisan.

Bian berdecak, “Bisa gak lo tutup mulut lo itu? Gue jadi ikut tertekan dengernya!”

“Gak bisa, Anjing. Gue kesel bang—”

Perkataan Zaid menggantung di udara, dan sepertinya tersapu begitu saja oleh angin. Namun demikian Bian mengikuti ke mana perginya sorot mata Zaid.

Dengan cengiran lebar, dan jalan petantang-petetenteng, Ozi masuk ke dalam barisan yang lebih sedikit siswanya. Ya, itu yang mereka lihat. Padahal seingat Bian, Ozi sendiri yang mengatakan bahwa dirinya tidak mungkin mengikuti kegiatan ini.

“Dia jadi apaan? Pembina?” tanya Bian.

Zaid menggeleng, “Elo nanya ke gue? Terus gue harus nanya ke siapa, Bi?” jawab Zaid yang kemudian mengaduh sebab bokongnya dipukul oleh Bian.

“Pelecehan!” Zaid bersungut-sungut.


Dugaan Bian soal Ozi yang berubah pikiran dan ikut mewakili OSIS dalam acara perkemahan kali ini benar adanya. Buktinya sekarang kawan sekaligus kakak kelasnya itu tengah berdiri di hadapannya.

Tadi sekali, begitu tiba di tempat berlangsungnya kegiatan perkemahan yang telah ditentukan, para siswa diminta untuk segera mendirikan tenda masing-masing. Lalu, saat Bian dan Zaid tengah sibuk mendirikan tenda kecil mereka, Ozi sekonyong-konyong datang. Seakan-akan bukan perkara besar soal baginya meminta untuk menumpang tidur malam ini.

Sontak, baik Bian maupun Zaid, raut wajah mereka sama-sama nelangsa. Sudah sempit, ditambah Ozi. Persis seperti kata pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga. Bisa-bisanya dia terpikirkan untuk numpang tidur di tenda kecil itu. Bian menarik napas dalam-dalam. Kalaupun tidak diizinkan, dia sudah bisa membayangkan bagaimana menyedihkannya Ozi yang akan kepanasan dan kehujanan di luar tenda. Lantas Bian melempar tatapannya pada Zaid. Selanjutnya seolah mendebatkan sesuatu melalui sorot mata mereka.

“Gak!” pekik Zaid. Agaknya dia kurang setuju.

Detik kemudian yang mereka dapati adalah ekspresi paling menyedihkan yang pernah Ozi tunjukkan. Dia sendiri jelas tidak sampai hati melihat Ozi yang sangat lesu seolah tengah terserang tifus!

“Lo tega sama dia, Id?”

Zaid melirik ke arah Ozi. Dia hanya mengerutkan keningnya, entah apakah Bian dapat menangkap gestur itu.

“Satu malem doang....” timpal Ozi lirih.

“Yaudah!”

“Tapi lo harus ikut kontribusi buat perut gue sama Zaid nanti malem, Ji. Terus jangan lupa besok ikut beresin tendanya. Kalo enggak, elo yang gue beresin!”

Bian itu baik, sangat baik! Tapi, kalau soal perhitungan jelas levelnya jauh di atas Zaid. Mungkin Zaid terpaksa mengizinkan Ozi tidur di dalam tenda mereka. Tapi kalau Bian, yang dia pikirkan selain tentang pertemanan, juga sekaligus memanfaatkan keadaan. Prinsipnya, semua yang ada di dunia ini tidaklah gratis. Seperti yang dia katakan kepada Ozi barusan, ada syarat dibalik izin yang dia berikan.

Seolah tak ada habisnya. Usai mendirikan tenda, lagi-lagi para siswa diharuskan untuk berkumpul di tengah-tengah lingkaran tenda-tenda kosong. Sebut saja briefing, kata Kakak Pembina.

Dari yang Bian tangkap, malam ini akan ada kegiatan jerit malam untuk mencari kupon sarapan esok harinya. Selebihnya apa? Entahlah, Bian justru sibuk memandangi barisan para putri di hadapannya sebab ada sosok Ajeng yang paling menonjol di sana.

Maklum, gadis itu sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengan gadis lainnya. Otomatis tak begitu sulit untuk mencari Ajeng di antara banyaknya siswi lain.

Kedekatan Bian dan Ajeng sulit dijelaskan. Sejauh ini mereka sering kali bertukar cerita satu sama lain, meskipun Bian yang lebih sering mengobral ceritanya daripada Ajeng. Masih ada belum Ajeng sampaikan pada Bian. Tentang dirinya, tentang latar belakang keluarganya, dan masih banyak lagi. Namun di sisi lain, Bian enggan mengorek lebih dalam. Takut kalau-kalau keingin-tahuannya nanti justru menjadi taburan garam di atas luka milik Ajeng. Mengingat informasi yang Zaid sampaikan tempo hari, memang sepertinya urusan keluarga gadis itu sedikit sensitif. Toh Bian sudah cukup bahagia acapkali melihat Ajeng tertawa. Gadis itu seolah tak memiliki beban berat di pundaknya. Gadis itu seolah tak pernah ditinggalkan dan kehilangan sebelumnya meski apa yang ada di kenyataan berbanding terbalik.

Untuk saat ini, Bian merasa mungkin atmosfer di dalam keluarganya memang seringkali buruk, tapi konfliknya tentu saja tidak seserius keluarga Ajeng.

Bian memutuskan untuk menunggu sampai saatnya nanti sosok Diajeng Pramesti yang penuh rahasia itu menghampirinya dengan membawa sejuta kisah dalam hidupnya untuk dia ceritakan.

Sadar sudah terlalu lama menatap wajah Ajeng, bocah itupun mengalihkan pandangannya. Sepertinya nanti sore akan turun hujan, jika dilihat dari gelapnya langit bagian timur sebab tertutup oleh awan-awan hujan.

“Untuk sekarang kalian boleh kembali ke tenda masing-masing. Nanti sore, sekitar pukul tiga—kamar mandi umum akan dibuka. Kalian bisa ngantri mandi di sana nanti.”

Barisan siswa dibubarkan. Dan semuanya kembali ke tenda masing-masing. Soal ramalan cuaca oleh Bian, ternyata ada benarnya. Mungkin karena angin bertiup kencang, maka awan mendung lebih cepat mengunjungi tempat perkemahan daripada perkiraan sebelumnya. Masih terlalu pagi untuk gerimis. Alhasil ada banyak kegiatan yang harus ditunda, dan digantikan dengan kegiatan bincang hangat di dalam tenda.

“Biasanya kalo abis ujan gini, jalanan jadi licin. Karna rumput sama tanahnya basah, lo berdua harus hati-hati pas jalan. Jangan meleng!”

Bian menguap seketika. Hal-hal semacam itu, jelas dia sudah paham. Ada kalanya bagi Bian—Ozi ini terlalu cerewet untuk seukuran anak laki-laki usia delapan belas tahun. Persis seperti ibu-ibu yang hobi sekali menceramahi anak-anaknya—siapa lagi kalau bukan Bian dan Zaid?

Sementara di sisi lain ada Zaid yang sibuk manggut-manggut, tapi wajahnya tampak serius.

“Ngomong-ngomong nih, elo sama bokap lo gimana, Bi? Udah damai?” tanya Zaid.

Bian menggeleng lemah. Kurang yakin dengan jawaban yang ada di kepalanya. “Dia minta maaf, tapi gue belom. Dia juga udah kayak biasa aja, tapi menurut gue, kita masih ... awkward?” sahut Bian. Kini wajahnya ikut serius seperti halnya Zaid.

“Perasaan-perasaan kayak gitu emang harus lo tanganin gak, sih? Emangnya mau sampai kapan lo judes ke orang tua lo?” Oke, kali ini Ozi kembali angkat bicara.

“Abis pulang dari sini ... mungkin.”


Hari itu, pagi hingga menjelang sore, hujan turun sangat deras. Benar-benar banyak kegiatan yang harus mereka lewatkan.

Sempat terbesit di pikiran Bian, kenapa tidak ada yang memanggil Mbak Rara untuk menangkal hujan? Sebab baginya kemah ini merupakan suatu hal yang sia-sia. Tahu begini, lebih baik di rumah. Menonton televisi. Makan bolu-bolu bantet karya Mama yang rasanya terbilang lumayan. Melihat Mama mondar mandir dengan kemoceng yang sengaja diapit pada ketiaknya, sambil menggerutu tidak jelas soal Budhe Lasih yang seringkali melarangnya untuk ikut turun tangan di dapur. Ah, jadi kangen.

Entah dapat angin dari mana, Bian langsung beranjak dari tempat duduknya. Kemudian sekonyong-konyong melangkahi tubuh Zaid dan Ozi yang tengah merebahkan diri di dalam tenda itu.

“Bangsat nih anak kaga ada sopan-sopannya!” seru Ozi yang diamin oleh anggukan kepala Zaid.

“Eh sorry, gak liat.”

“Gede kaya gini gak keliatan, buta apa gimana?!” timpal Zaid.

Bian tak acuh. Dia hanya mengedikkan bahu, kemudian sibuk mencari keberadaan ponsel di dalam tas ranselnya.

Sebenarnya apa yang Bian harapkan sejauh ini?

Sejak awal Bian tahu bahwa dirinyalah yang paling bersalah di sini. Mulai dari menarik diri dari kedua orang tuanya, merokok diam-diam bahkan saat umurnya belum menyentuh tujuh belas tahun, sampai belaga membisu di dalam rumah. Kekacauan-kekacauan ini memang asalnya dari dirinya sendiri. Egonya berantakan. Tidak terkendali sama sekali. Meski dalam keadaan sadar sekalipun, Bian enggan mengalah.

Kalau dipikir-pikir, dia punya tempat yang nyaman untuk pulang. Lantas kenapa masih mencari tempat lainnya?

Kalau dipikir-pikir, ada benarnya apa yang Ayah Yudhis katakan. Nanti tiba saatnya Papa tidak peduli lagi, bagaimana?

Tapi sudah kepalang basah, batinnya. Bian yang masih berusia enam belas tahun lebih sedikit itu bingung memikirkan bagaimana caranya agar keluar dari kekacauan ini? Dibilang gengsi ya memang benar. Minta maaf duluan? Lalu bagaimana dengan perkataan sang papa yang sempat melukai perasaannya itu?

Bian menghela napas kasar. Tepat setelahnya terdengar suara knop pintu yang ditekan. Lalu dengan dada yang berdebar kencang, bocah laki-laki itu memejamkan matanya rapat-rapat. Siasat pura-pura tidurpun Bian lakukan.

“Bi, Papa tau kamu belum tidur, kan?”

Demi Tuhan jantung Bian hampir melompat keluar saat mendengar suara berat papanya itu di dalam keheningan kamar.

Bian sedikit tergoda untuk membuka matanya tatkala dia merasakan ranjangnya ikut bergerak begitu dinaiki oleh Papa—tapi dengan cepat Bian mengurungkan niatnya.

“Kamu selalu kunci pintu kamar akhir-akhir ini, tapi kayanya sekarang kelupaan. Iya, kan?”

Spontan Bian mengeratkan genggaman pada selimut yang tengah menutupi mulai dari leher hingga ujung kakinya.

“Soal chat waktu itu, Papa minta maaf karna gak ngefilter kata-katanya dulu. Papa minta maaf kalau dampaknya sampai bener-bener ngelukain perasaan kamu,” kata Papa sambil menatap lekat-lekat punggung Bian.

“Papa cuman ... gak nyangka waktu tau kamu ngerokok, Bi. Papa juga kalut—takut kalau Mama kamu nyalahin dirinya sendiri. Ngerasa gagal jadi orang tua karna anak satu-satunya udah berani ngerokok padahal masih sekecil ini.”

Tangan Papa menepuk pelan pundak Bian.

Bian dapat mengendus aroma parfum dan pengharum mobil yang menguar dari tubuh Papa.

Apa-apaan ini? Jadi Papa langsung datang ke kamarnya begitu sampai di rumah??

“Papa sih maunya kita bisa ngobrol sekarang, sebentar aja. Tapi kalau kamu belum siap, gak masalah. Papa gak akan maksa, karna yang terpenting Papa udah minta maaf ke kamu. Oh iya, ngomong-ngomong Papa juga sempet dimusuhin sama Mama karna chat itu.” Papa terkekeh kemudian.

“Sabian—Papa emang jarang ngobrol sama kamu. Jarang ada waktu buat kamu. Tapi Mama kamu dua puluh empat per tujuh ada buat kamu, Bi. Jadi jangan ngerasa kalau kamu itu sendirian. Anak laki-laki gak harus deket sama papanya aja, itu yang perlu diubah dari mindset kamu. Papa juga gak lepas tangan gitu aja, kok, soal kamu. Papa tetep mau pastiin kalau anak Papa ini baik-baik aja—tapi lagi ... maaf kalau menurut kamu banyak yang salah dari cara Papa.”

“Papa amatiran ini ... butuh bantuan anaknya buat jadi orang tua yang lebih baik lagi.”

Papa menarik nafas dalam-dalam, kemudian membalikkan posisi tubuh Bian yang sebelumnya sengaja memunggunginya, kini menjadi terlentang. “Boleh nipu asal pakai logika. Mana ada orang tidur tapi nangis kayak kamu!”

Nah kan, ketahuan!

Bian mengusap sudut matanya dengan kasar, dan masih dalam keadaan terpejam. Agaknya enggan bertemu tatap dengan sang papa, dan pastinya ini membuat Papa menahan tawanya seketika.

Bian takut kalau-kalau dia membuka mata, Papa justru akan semakin mengolok-olok dirinya.

Papa mendecih, “Yang kaya gini sok-sokan ngerokok!”

Habis sudah. Mau disimpan di mana muka Bian besok pagi? Sudah kepalang malu. Bian hanya mampu menutupi wajahnya menggunakan selimut. Untuk sesaat Bian lupa caranya bernapas yang baik itu seperti apa. Dia panik bukan main!

Sementara Papa yang melihat respon Bian yang ternyata di luar dugaannya itu, kini beranjak. Khawatir kalau tetap berada di sekitar Bian untuk saat ini justru membuat bocah itu semakin canggung dengannya nanti.

“Yaudah, Papa mau bersih-bersih dulu. Tapi Papa masih nunggu kamu minta maaf soal ngerokok itu, lho—

jangan lupa ya!”

Selanjutnya, tanpa menunggu jawaban dari Bian, Papa langsung pergi meninggalkan kamar itu dan tidak lupa kembali menutup pintunya, rapat.

Delapan hari setelah memutuskan untuk menghindari Papa, keadaan hati Bian tak kunjung membaik. Hubungannya dan Papa justru semakin renggang. Papa yang selalu mencuri-curi waktu sekedar untuk berbicara secara empat mata dengan Bian, harus berkali-kali mengurungkan niat karena faktor Bian sendiri yang sengaja memberi gestur penolakan.

Bingung. Pertengkaran antara seorang anak dan orang tua memang kadang kala sulit untuk dijelaskan. Sulit untuk diselesaikan. Jauh berbeda dengan pertengkaran karena adanya salah paham antar teman sebaya. Mungkin juga faktor perbedaan pendapat karena usia yang terpaut jauh cukup mempengaruhi komunikasi dua arah mereka. Perasaan canggung, dan segan sangat mungkin muncul di tengah-tengah Papa dan Bian.

Pernah sesekali Papa melucu di hadapan Bian. Saat mereka tengah duduk di sisi meja makan lebih tepatnya. Bian tetap acuh. Merasa bahwa dia seharusnya menahan tawa, dan bahkan tetap memasang wajah super kaku di depan Papa.

Kalau boleh jujur, Bian sendiri tidak yakin apakah yang dia lakukan itu benar atau salah. Tapi mengingat pesan yang Papa kirimkan beberapa hari yang lalu, dia masih kesal. Masih sakit hati, mungkin? Dan entah kapan waktu yang pasti bagi hatinya itu akan membaik.

Lalu bagaimana dengan Mama?

Biasa saja. Bian hanya mengeluarkan suara saat benar-benar diperlukan. Selebihnya? Tidak. Bian lebih memilih untuk diam. Menghabiskan waktu di kamar sendirian. Dan hanya akan keluar saat makan atau untuk berangkat sekolah.

Sebenarnya Bian sama sekali tidak kesal dengan Mama. Hanya malas untuk bicara saat tengah berada di rumah. Menghindar dan belaga bisu memang sering kali dilakukan oleh anak-anak seusia Bian saat terjebak dalam sebuah konflik di dalam keluarga. Untung ya, Papa masih baik hati dan tidak berniat memutus arus aliran uang saku Sabian Aditama.

Bocah itu kini sibuk melipat-lipat secarik kertas di tangannya. Sebut saja dia gila. Kertas berisikan permintaan izin untuk melakukan perkemahan yang beberapa saat lalu dibagikan oleh wali kelasnya disulapnya menjadi pesawat kertas. Zaid yang sedari tadi menyaksikan kebodohan kawannya itupun lantas memandang jengah ke arah Bian.

Bisa-bisanya, batin Zaid tak percaya.

Sayangnya Zaid tidak berani menegur Bian seenaknya seperti biasa. Sebab akhir-akhir ini keadaan hati Bian sangat buruk. Cepat sekali berubah seperti halnya langit kota Jakarta. Sebentar cerah, sebentar mendung, sebentar lagi hujan. Takut tersambar petir amarah lebih tepatnya.

“Bi, lo mau ke kantin gak?” tanya Zaid hati-hati.

Ada jeda sebelum akhirnya Bian menggeleng. Jangankan jajan ke kantin, minum air putih saja dia malas setengah mati.

Lalu tanpa banyak basa-basi, Zaid melangkah pergi. Meninggalkan Bian yang masih sibuk berkutat dengan pesawat kertasnya.

Bermenit-menit berlalu, hingga ujung mata Bian menangkap uluran tangan dari seorang gadis di hadapannya. Tangan yang terlihat sangat kecil, namun sepertinya pas untuk digenggam. Tangan yang terlihat cantik meski tanpa menggunakan perhiasan apapun pada jari maupun pergelangannya

Bian mengangkat kepalanya. Kemudian manik mata mereka bertemu. “Apa?” tanya Bian seketika.

“Mau ikut gak?”

“Ke mana?”

Tanpa suara gadis itu menarik tangan Bian. Membawanya menuju anak tangga yang jarang digunakan oleh para siswa karena letaknya ada di bagian sudut gedung sekolah. Dan, ya! Mereka berdua akhirnya menguasai tempat itu sekarang. Hanya berdua, di jam makan siang.

“Ajeng, ini ngapain kita ke sini?”

Ajeng menyodorkan sebuah kotak makan berisikan roti tawar dengan susu kental manis rasa coklat sebagai selainya. “Jangan ego kamu doang yang dikasih makan, Sab. Perut juga perlu. Aku ngajak kamu makan di sini biar kamu tetep keliatan keren di depan Zaid.”

Bian tergelak seketika.

Mana boleh ada gadis semenarik Ajeng? Lucunya. Bahkan dia sangat paham soal ego setinggi langit milik Bian di saat orang-orang terdekatnya bahkan seolah tak acuh?

Bian menarik sudut bibirnya. Dia tersipu malu di hadapan gadis bendahara kelas. Ah, ini kah yang dimaksud cinta monyet? Masa bodo, yang penting hatinya kini berbunga-bunga di tengah gersang.

Akhir-akhir ini memang gadis itulah yang menjadi tempatnya bercerita. Soal Mama, Papa, bahkan hal-hal acak lainnya. Bian selalu suka cara Ajeng merespon keluh kesahnya. Sangat detail. Sampai-sampai hal sesepele apapun dia berikan tanggapan. Bian selalu suka cara Ajeng menatap lurus matanya kala dirinya tengah menceritakan sesuatu. Dan yang paling penting, suara gadis itu kini menjadi menghantar tidur paling merdu saat Bian kesulitan tidur hanya karena tiba-tiba saja memikirkan papanya.

“Ini serius buat aku?”

Ajeng mengangguk semangat.

“Aku udah sarapan tadi pagi—itu cepetan dimakan! Nanti keburu selesai jam istirahatnya.”

Astaga. Mungkin kalau Ajeng mampu membaca pikiran Bian, maka dia akan tahu betapa tergila-gila laki-laki di hadapannya itu kepada dirinya saat ini.

Bian duduk di atas ranjangnya. Ranjang yang berdekatan dengan jendela kaca yang mengarah langsung ke sebuah balkon.

Pundak anak laki-laki itu merosot, sebelum akhirnya memutuskan untuk merebahkan diri di samping guling bersarung seprei warna abu-abu yang sejak tadi menemaninya dalam kegelapan kamar.

“Hadeh,” desahnya.

Ada sedikit rasa menyesal karena melewatkan makan malam. Kini perutnya terasa sangat kosong, bahkan Bian mampu mendengar suara perutnya sendirian. Bian mencibir diri sendiri. Memang agak sial hari yang dilewatinya kali ini. Bisa-bisanya rokok yang bahkan sudah lebih dari seminggu lama beranda di dalam tasnya itu melompat ke luar tas, terlebih lagi saat Mama yang memegang tersebut.

Sebenarnya dalam benak Bian tahu bahwa dirinya memang bersalah di sini. Bian tahu bahwa dirinya pasti sudah mengecewakan Mama. Baru saja beberapa hari yang lalu ketahuan berbohong soal ekstrakurikuler—eh sial, hari ini ketahuan merokok.

Habis sudah. Kurang lebih hampir sekitar dua jam Mama terus membawanya berputar-putar menaiki mobil sembari mendengarkan ceramah oleh sang mama mengenai bahaya merokok bagi anak muda.

Tapi, bukan itu yang membuat Bian memutuskan mengurung diri di kamar semalaman. Melainkan sebuah akhiran chat yang Papa kirimkan tadi sore untuknya.

Bian menghela napas kasar tatkala terdengar suara gagang pintu yang ditekan dari luar sana. Sepertinya lagi-lagi itu sang mama. Pasalnya Budhe Lasih mana berani mengusik dirinya? Bian mendengkus. Jangankan beranjak membukakan kunci pintu kamarnya, niat saja sedikitpun tak terlintas dalam benaknya.

Ini semua masalah hati! Dia terlanjur sakit hati mengingat pesan Papa, dan ya—pengebab Papa mengirimkan pesan seperti itu kan jelas-jelas karena laporan Mama, begitu batinnya.

“Bian, Mama minta maaf, Nak. Bukain dong pintunya?”

Entah sudah keberapa kalinya Mama berteriak memohon-mohon pada Bian agar dibukakan pintu kamarnya.

“Mama janji gak marah-marah lagi, Bi. Mama cuman mau ngobrol sama kamu sebentar aja.”

“Bian mau tidur, Ma. Emangnya masih kurang yang tadi sore di mobil? Bian tuh capek. Tenang aja, udah dibuang juga barangnya.” Bian jadi sewot seketika. Telinganya juga perlu diistirahatkan, bukan begitu? Toh, besok pagi masih harus bertemu sang papa dan lagi-lagi mendapat ceramah panjang kali lebar. Begitu pikirnya.

Mama pun sejak awal tidak berharap banyak saat kembali mendatangi kamar Bian untuk kesekian kalinya. Mama sejak awal tahu bagaimana kerasnya watak Bian. Mama sudah menduga kalau lagi-lagi dia akan gagal menyuruh Bian keluar untuk makan.

“Makanannya udah Mama angetin, Bi. Bawa masuk aja ke kamar sebelum Papa kamu pulang. Mama tau, kamu kaya gini karna Papa, kan? Mama minta maaf karna buru-buru kasih tau Papa tadi sore. Mama juga minta maaf ... karna Papa kamu kelewatan. Kamu gak perlu maafin Mama sekarang. Yang penting buat Mama—kamu gak lewatin makan malem, Bi.”

Sepersekian detik, seperti ada sesuatu yang menyengat dada Bian. Lantas dia beranjak turun dari ranjang. Saat kakinya menyentuh lantai, Bian kedinginan. Dia berjalan jinjit-jinjit menuju pintu. Menarik nafas sejenak dan memutar kunci pintu kamar yang sedari tadi menggantung di sana. Dan beberapa saat kemudian kepala anak laki-laki dengan rambut lembut hitam legam yang sedikit acak-acakan itu menyebul keluar. Mengejutkan sang mama yang masih setia berdiri di depan pintu kamarnya.

“Mau makan?” tanya Mama, disertai sebuah senyum penuh makna.

Bian mengangguk. Perlahan-lahan tubuh Bian kini muncul sepenuhnya dari balik pintu.

Bian duduk di atas ranjangnya. Ranjang yang berdekatan dengan jendela kaca yang mengarah langsung ke sebuah balkon.

Pundak anak laki-laki itu merosot, sebelum akhirnya memutuskan untuk merebahkan diri di samping guling bersarung seprei warna abu-abu yang sejak tadi menemaninya dalam kegelapan kamar.

“Hadeh,” desahnya.

Ada sedikit rasa menyesal karena melewatkan makan malam. Kini perutnya terasa sangat kosong, bahkan Bian mampu mendengar suara perutnya sendirian. Bian mencibir diri sendiri. Memang agak sial hari yang dilewatinya kali ini. Bisa-bisanya rokok yang bahkan sudah lebih dari seminggu lama beranda di dalam tasnya itu melompat ke luar tas, terlebih lagi saat Mama yang memegang tersebut.

Sebenarnya dalam benak Bian tahu bahwa dirinya memang bersalah di sini. Bian tahu bahwa dirinya pasti sudah mengecewakan Mama. Baru saja beberapa hari yang lalu ketahuan berbohong soal ekstrakurikuler—eh sial, hari ini ketahuan merokok.

Habis sudah. Kurang lebih hampir sekitar dua jam Mama terus membawanya berputar-putar menaiki mobil sembari mendengarkan ceramah oleh sang mama mengenai bahaya merokok bagi anak muda.

Tapi, bukan itu yang membuat Bian memutuskan mengurung diri di kamar semalaman. Melainkan sebuah akhiran chat yang Papa kirimkan tadi sore untuknya.

Bian menghela napas kasar tatkala terdengar suara gagang pintu yang ditekan dari luar sana. Sepertinya lagi-lagi itu sang mama. Pasalnya Budhe Lasih mana berani mengusik dirinya? Bian mendengkus. Jangankan beranjak membukakan kunci pintu kamarnya, niat saja sedikitpun tak terlintas dalam benaknya.

Ini semua masalah hati! Dia terlanjur sakit hati mengingat pesan Papa, dan ya—pengebab Papa mengirimkan pesan seperti itu kan jelas-jelas karena laporan Mama, begitu batinnya.

“Bian, Mama minta maaf, Nak. Bukain dong pintunya?”

Entah sudah keberapa kalinya Mama berteriak memohon-mohon pada Bian agar dibukakan pintu kamarnya.

“Mama janji gak marah-marah lagi, Bi. Mama cuman mau ngobrol sama kamu sebentar aja.”

“Bian mau tidur, Ma. Emangnya masih kurang yang tadi sore di mobil? Bian tuh capek. Tenang aja, udah dibuang juga barangnya.” Bian jadi sewot seketika. Telinganya juga perlu diistirahatkan, bukan begitu? Toh, besok pagi masih harus bertemu sang papa dan lagi-lagi mendapat ceramah panjang kali lebar. Begitu pikirnya.

Mama pun sejak awal tidak berharap banyak saat kembali mendatangi kamar Bian untuk kesekian kalinya. Mama sejak awal tahu bagaimana kerasnya watak Bian. Mama sudah menduga kalau lagi-lagi dia akan gagal menyuruh Bian keluar untuk makan.

“Makanannya udah Mama angetin, Bi. Bawa masuk aja ke kamar sebelum Papa kamu pulang. Mama tau, kamu kaya gini karna Papa, kan? Mama minta maaf karna buru-buru kasih tau Papa tadi sore. Mama juga minta maaf ... karna Papa kamu kelewatan. Kamu gak perlu maafin Mama sekarang. Yang penting buat Mama—kamu gak lewatin makan malem, Bi.”

Sepersekian detik, seperti ada sesuatu yang menyengat dada Bian. Lantas dia beranjak turun dari ranjang. Saat kakinya menyentuh lantai, Bian kedinginan. Dia berjalan jinjit-jinjit menuju pintu. Menarik nafas sejenak dan memutar kunci pintu kamar yang sedari tadi menggantung di sana. Dan beberapa saat kemudian kepala anak laki-laki dengan rambut lembut hitam legam yang sedikit acak-acakan itu menyebul keluar. Mengejutkan sang mama yang masih setia berdiri di depan pintu kamarnya.

“Mau makan?” tanya Mama, disertai sebuah senyum penuh makna.

Bian mengangguk. Perlahan-lahan tubuh Bian kini muncul sepenuhnya dari balik pintu.