Sore Cerah Senyum Mama
“Pokoknya Mama gak mau nonton film horror, Bi!”
Padahal Bian masih sibuk memilah-milah film apa yang harus dia putar sore itu, tapi Mama sudah menggerutu bahkan sejak mereka baru saja duduk di ruang keluarga. Takut kalau-kalau film yang akan Bian putar setelah ini bergenre menyeramkan. Lucunya raut wajah Mama seolah menggambarkan betapa dia panik bukan main.
“Mama sekali ngomong aja, Bian udah denger.”
“Tapi kamu gak nyaut dari tadi,” kata Mama. Detik berikutnya layar televisi di hadapan mereka menampilkan opening dari sebuah film Disney. Mama melongo tak percaya. “Princess, Bi?”
Belasan tahun membesarkan Sabian Aditama, baru kali ini Mama tahu kalau anak laki-laki itu penggemar film Disney. Mama tak menyangka. Sebenarnya ini sisi gelap atau sisi terang anak Bian? Entahlah, tapi diam-diam Mama menarik sudut bibirnya. Dan, seandainya Mama memiliki kaca spion layaknya sebuah motor, maka Mama dapat melihat betapa sumringahnya raut wajah Bian kala itu.
“Itu tokoh utamanya?”
Bian mengangguk semangat. “Iya, cantik kan?”
Bian menatap Mama dengan seksama. Berharap sang mama mengiyakan perkataannya. Namun, ternyata nihil. Respon Mama justru sebaliknya. Mama ngegeleng, “Wajahnya agak judes. Kamu suka yang kayak gitu?” tanya Mama.
“Iya—wajah Mama juga sama judesnya kalo lagi diem.”
“Masa, sih?”
Bian tertawa setelahnya. Dia sadar bahwa sejak hari di mana dia meninggalkan rumah sakit, tawanya tak pernah lagi dia tahan. Bahagianya selalu dia ekspresikan keluar. Ini konyol, tapi itu yang Bian rasakan. Kadang ada kalanya Bian terus membuntuti Mama untuk sekedar menanyakan hal-hal yang sejatinya tidak begitu penting. Lebih tepatnya seperti basa-basi tak bermutu untuk mencuri perhatian Mama.
“Ini filmnya aneh banget. Mendingan nonton Naruto the movie, Bi. Dulu Mama sama Papa suka nonton bareng film gituan.”
“Pas pacaran?” tanya Bian penasaran. Kini dia menggeser tubuhnya, mendekat ke arah Mama seolah sangat tertarik dengan topik yang baru saja Mama bahas.
“Mama gak pernah pacaran sama Papa kamu.”
Baik, anggap saja Bian berlebihan. Matanya kini membola, tak percaya. “Mama ... hamil duluan?”
Mama nyaris lupa bagaimana caranya bernapas dengan baik. Darahnya berdesir hebat. Bocah itu kalau bicara kadang seenaknya, persis seperti sang papa tapi dengan versi dua kali lipat lebih mematikan.
“Iya? Kok gak jawab?”
“Mama gak sanggup sama mulut kamu. Bisa-bisanya!”
Bugh!
Bian tertawa. Tawanya puas, menggema dalam satu ruangan hingga Budhe Lasih—asisten rumah tangga mereka itu mengintip dari arah lantai dua. Eksistensi Bian di rumah itu sepertinya mulai meningkat. Bahkan Budhe Lasih ikut tersenyum kala itu. Sebagai saksi bagaimana dinginnya sikap Bian beberapa tahun terakhir, tanpa sadar Budhe Lasih mengucap syukur dalam hati.
Sementara Mama mendengus kesal.
“Mama ini cewek baik-baik tau!”
Baiklah, kali ini wajah Bian mulai serius. “Terus gimana ceritanya, kok gak pacaran tapi bisa nikah? Mama cinta gak sama Papa?”
Jauh di luar dugaan, wajah Mama merona seketika. “Cinta....”
Kalau boleh jujur, saat ini Bian menahan tawanya setengah mati. Ingin sekali rasanya mengolok-olok ekspresi Mama, tapi dia takut minat sang mama untuk bercerita jadi hilang seketika. Serius. Pasalnya wajah Mama hampir semerah tomat.
Lantas Bian berdehem, “Ceritain,” rengeknya. Tangan Bian secara spontan merangkul lengan Mama.
Mama hanya bisa pasrah. Mana tahan melihat Bian seperti merengek begitu? Jelas batin Mama kewalahan!
“Dulu Mama sama Papa temenan dari SD, SMP, SMA, kuliah, sampai kerja. Mama gak boong, Mama beneran gak pernah pacaran sama Papa. Tapi ... waktu kita sama-sama udah kerja, Papa kamu ngelamar Mama dan gak lama dari sana kita nikah.”
Dan hal pertama yang keluar dari mulut Bian adalah sebuah decihan tak percaya. “Boong, kan?”
Mama menerawang langit-langit ruang keluarga yang seakan memperlihatkan bagaimana kisah masa mudanya dengan Papa dahulu. Lucunya, sekarang sudah ada Bian di antara mereka yang perilaku serta wajahnya seperti fotokopian Papa.
Lagi-lagi Bian dapat melihat wajah Mama yang merona. Dan dengan begitu dia yakin seberapa besar Mama mencintai Papa.
“Mama sih gak maksa kamu buat percaya, tapi kenyataannya emang kayak gitu. Papa itu terbaik dari yang paling baik. Dia keliatannya diem, kayak gak ngelakuin pergerakan apa-apa tapi sebenernya Papa yang paling peduli sama Mama waktu itu—persis kayak yang dia lakuin ke kamu, Bi,” tutur Mama. Sorot matanya tak sekalipun beranjak dari Bian. Seolah Mama menyampaikan segalanya tanpa dibuat-buat sedikitpun.
Bian melenguh, sebenarnya muncul sedikit perasaan bersalah soal beberapa hari yang lalu. Bicara empat mata dengan Mama tidak seburuk itu. Dia suka hangatnya tatapan Mama. Dan kenapa dia baru sadar kalau harum sampo Mama sangat berbeda dari aroma ibu-ibu kebanyakan?
Agaknya Bian ingin kembali mengulang sesi bicara santai seperti ini dengan Mama untuk beberapa kali lagi kedepannya. Kalau bisa sih lengkap bersama Papa.
“Mama gak pernah ada rasa pengen pacaran?”
“Pernah.”
“Terus gimana?”
Mama tersenyum. “Mama pacaran sama orang lain, tapi cuman beberapa bulan, lupa putusnya karna apa. Terus abis itu kalau ke mana-mana berdua lagi sama Papa—”
“—kamu sendiri gimana sama yang waktu itu ikut ke rumah sakit?”
Bian tercekat. Bingung harus memberikan jawaban seperti apa. Masih belum cukup keberaniannya.
“Emangnya ... boleh...?”
Sontak tangan Mama menyentuh pucuk kepala Bian. Diusapnya dengan penuh perhatian seraya tersenyum hangat. “Kalau menurut Mama, keputusan yang kayak gitu tuh ada di tangan Bian. Pacaran aja, Mama gak pernah ngelarang—Mama yakin Papa juga gak akan ngelarang. Yang paling penting dia anak baik-baik, soalnya Mama gak mau anak Mama ini rusak. Sama satu lagi ... harus tau batasannya. Gak boleh berlebihan, karna semua yang berlebihan itu gak baik.”
Dan kemudian, sore itu ditutup dengan gurat senyum manis Mama di seluruh penjuru dunia.