cakgrays

  • “Kalau Papa kamu anggep rumah paling nyaman. Ayah, kamu anggep apa, Bi?”

–“Rumah paling aman.”

Bian ingat pernah berkata demikian seraya menggenggam erat tangan Om Yudhis saat tengah asyik duduk di teras rumah kawan papanya itu, beberapa bulan yang lalu—saat liburan usai kelulusannya di bangku sekolah menengah pertama.

Semua kawan Papa semasa muda itu baik, tapi Om Yudhis mungkin jadi satu-satunya sosok yang hampir setiap hari Bian temui sejak masih duduk di bangku taman kanak-kanak.

Sore ini, Bian kembali duduk dan merasakan dinginnya teras tersebut. Keramiknya masih sama seperti saat terakhir kali dia berkunjung. Berteman segelas es cappucino cincau buatan istri sang pemilik rumah, alias Tante Jupe, alias Tante Julia Paramitha yang rasanya luar biasa kemanisan! Bian beradu kepandaian bermain jenga dengan si pemilik rumah.

“Ayah jangan curang gitulah! Masa udah dipegang gak jadi dicabut?!” seru Bian. Matanya memicing menatap Om Yudhis, kesal.

“Gak sengaja kepegang, Bi!”

“BOONG!”

Seolah terkena dampak dari panasnya persaingan kedua laki-laki penuh ambisi itu—bukan cuman Tante Jupe yang berkeringat, tapi juga gelas yang sejak tadi nangkring di samping mereka.

Ngomong-ngomong soal Tante Jupe—bisa dibilang sebenarnya Bian ibarat cupid di antara Om Yudhis dan Tante Jupe. Dulu sekali, Bian kecil sering kali diantar jemput oleh Om Yudhis saat masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Sebab Papa sedang sibuk-sibuknya, dan Mama belum punya kendaraan pribadi untuk mengantar jemput Bian. Maka Papa menyerahkan tugas tersebut kepada Om Yudhis yang notabenenya adalah seorang sekertaris pribadi untuk Papa. Memang sangat out of the box, sih. Tapi Om Yudhis melakukan tugas tersebut dengan senang hati. Om Yudhis yang pada dasarnya memang sangat loyal pada Papa, secara tidak sadar menganggap Bian seperti anaknya sendiri. Ditambah lagi pada saat itu Om Yudhis masih melajang. Lantas, Om Yudhis yang ceria serta humoris itu dipertemukan dengan seorang ibu guru cantik—wali kelas Bian kecil.

Pertemuan-pertemuan singkat antar keduanya ternyata mampu menimbulkan percikan cinta. Dan yang Bian tahu, tidak lama dari kelulusannya—Om Yudhis dan Tante Jupe menikah.

Bian meringis. Tiba-tiba saja teringat cintanya yang baru saja ditolak. Bocah itu membuang napas dengan kasar.

“Udah ah mainnya!”

“Kok udahan?” tanya Tante Jupe terheran-heran.

Memang keadaan hati Sabian Aditama jauh lebih buruk dari remaja perempuan sekalipun. Sebentar cerah, sebentar mendung, sebentar lagi hujan petir.

“Jelek banget sih ini anak moodnya?! Lagi enak-enak main juga!” pekik Om Yudhis tidak terima.

Bian mencebik. Dua bola matanya yang polos menatap ke arah jengan. “Orang galau kok diajak main ginian ... gak jelas....”

Nah kan! Berbanding terbalik dengan Bian yang biasanya—saat bersama Om Yudhis, bahkan tanpa paksaan sedikitpun Bian akan menumpahkan semua keluh kesahnya.

Dalam beberapa kesempatan, Om Yudhis seperti yang Bian katakan sebelumnya. Yaitu tempat paling aman. Sebab, kadang ada kalanya yang dirasa nyaman belum tentu jadi yang teraman. Begitu pula sebaliknya.

Om Yudhis dan Tante Jupe saling beradu tatap. Apalagi ya kali ini?

Tante Jupe berbatuk kecil. “Tante masuk dulu, deh. Nanti abis ini Bian jangan lupa langsung mandi sore ya? Air angetnya Tante siapin dulu,” katanya sebelum memilih untuk meninggalkan sang suami beserta Bian di teras rumah.

...

Bian yang semula duduk tegap, kini bahunya merosot seolah kehilangan tulang punggungnya seketika.

“Gimana ya caranya ngobatin penyakit hati? Sakit banget ini, udah berhari-hari kok gak sembuh-sembuh,” kata Bian membuka percakapan.

Om Yudhis tertawa sumbang. “Sakit yang kayak gimana dulu nih?”

“Patah....”

“Dibawa ke yang bersangkutan, terus paksa suruh obatin. Kalo gak, ya obatin sendiri pelan-pelan.” Om Yudhis meraih gelas berisikan capuccino ekstra air es batu yang sudah mencair. Menyeruputnya, kemudian mengangguk singkat. Kini rasa minuman tersebut, tak semanis sebelumnya. “Pokoknya jangan coba-coba minta diobatin sama orang lain,” timpal lelaki itu.

Bian menarik sudut bibirnya. Yang membuat percakapan mereka seru adalah kalimat-kalimat yang tidak perlu diucapkan secara gamblang, tapi tetap jelas apa maksudnya.

“Takut gak, sih?”

“Takut kenapa?”

“Takut kayak ngemis ke yang bersangkutan,” jawab Bian begitu singkat.

Sontak Om Yudhis menggeleng penuh semangat. “Ngemis atau enggaknya, itu tergantung sama cara kamu.”

Sudah tujuh hari Bian sibuk meratapi tragisnya nasib percintaannya dengan seorang Diajeng Pramesti. Mungkin akan bertambah menjadi sembilan, sepuluh atau bahkan banyak hari lagi kedepan.

Makan tak selera, tubuh tak semangat, tidur larut kini jadi kebiasaannya. Cinta remaja begini ya.

Sering kali Bian ingin sekali kembali menyesap sebatang rokok yang dulu sempat jadi kawan setianya. Tapi Bian ingat, dia sudah pernah berjanji pada Mama. Bisa-bisa nanti Mama mengamuk tak karuan kalau lagi-lagi memergokinya merokok, kemudian habislah Bian diceramahi panjang kali lebar oleh Papa.

Dalam redupnya pencahayaan kamar, Bian memeluk sebuah gitar akustik milik Papa. Disaat-saat seperti ini, bakat terpendam Bian ada gunanya juga. Bisa dijadikan pengiring rasa kegagalan, serta kekecewaan yang dia derita belakangan.

“I want a perfect body I want a perfect soul I want you to notice When I'm not around”

Sembari memetik setiap senar gitar dengan tenaga seadanya, Bian bernyanyi. Bocah itu sepenuhnya memikirkan Ajeng. Suara serak sisa tangisannya terdengar begitu jelas. Bian sedikit tak menyangka akan menyukai Ajeng sampai seperti ini.

“So fuckin' special I wish I was special”

Bian menarik napas dalam-dalam. Kalau boleh jujur sejak hari di mana Ajeng menolak pernyataan cintanya mentah-mentah, hatinya seolah berdenyut nyeri.

Sebenarnya sakit hati Bian bukan sepenuhnya tanggung jawab Ajeng. Bian tahu betul akan hal itu. Dia hanya butuh seseorang untuk disalahkan.

Perihal trauma yang mungkin Ajeng alami juga sedikit mengganggu pikiran Bian malam itu. Dalam benaknya khawatir kalau-kalau pernyataan cinta tempo hari lalu dapat membebani gadis tersebut. Pasalnya secara terang-terangan Ajeng berkata kalau dirinya juga memiliki perasaan yang sama.

“But I'm a creep I'm a weirdo What the hell I doin' here? I don't belong here”

Kemudian, tiba-tiba saja terdengar suara tepukan tangan yang membuat Bian menghentikan kegiatannya seketika. Dan pelakunya adalah Papa—si pemilik gitar! Kemunculan persis seperti jin lampu ajaib milik Aladin.

“Papa ngapain sih?” Bian bangkit dari posisi wenaknya.

“Bagus nyanyinya, kayak orang yang lagi galau.”

Mendengar kalimat tersebut, lantas Bian mendengkus. Emang lagi galau!

“Papa ngapain tiba-tiba masuk kamar Bian?”

Papa tergelak. Bian yang jauh lebih emosional dari biasanya, menjadi bukti kebenaran dari apa yang dikatakan oleh Ozi.

Tanpa sepatah katapun, Papa merangkul Bian. Kembali mengajaknya untuk duduk di atas sofa yang mengarah langsung pada sebuah jendela kaca dengan bukaan cukup lebar. Akhir-akhir ini hujan sering kali turun, kemudian menjadi sebuah pemandangan yang sendu dari dalam kamar Bian.

“Kalau kita bener-bener suka sama orang, ada yang lebih penting daripada status, Bi. Kamu tau gak, apa?” kata Papa. Spontan Bian menggeleng. “Bisa terus ada di sekitar orang itu.”

Bian geming.

“Sekarang pikir ... yang kamu butuhin statusnya atau orangnya?”

Sepersekian detik Bian merinding. Kira-kira dari mana Papa tau? Meski begitu kali ini Bian tak ambil pusing—kalau bukan Zaid, ya sudah pasti Ozi lagi.

Bian menghela napas berat. “Bian butuh orangnya, Pa.”

Papa terkesiap, lalu mengangguk. Bagaimanapun Papa juga pernah muda. Perasaan seperti itu bukan hal yang asing lagi baginya.

Tentu saja malam ini Papa yang berpengalaman bukan datang untuk mengejek Bian, melainkan ingin memberi sebuah wejangan kepada Bian yang baru merasakan cinta.

Dengan wajah serius yang tampaknya sengaja dibuat-buat, Papa menekuk kakinya. “Kalau gitu udah cukup sedih-sedihnya. Anggep aja kayak gak pernah ada kejadian apa-apa antara kamu sama dia. Tetep jadi diri kamu yang biasanya, di depan dia. Percaya sama Papa ... entah itu kapan, tapi lama kelamaan dia pasti juga mau punya hubungan yang lebih sama kamu. Karna dia udah terbiasa sama kamu. Udah bergantung ke kamu. Yah, itung-itung sekalian latihan buat kamu setia sama satu perempuan, Bi.”

Bian hanya mampu melongo tak percaya. Di luar dugaan, Papa berkata demikian.

“Gak usah heran gitu. Papa kan juga pernah muda.”

“Bian bingung harus mulai lagi dari mana.” Bahu Bian merosot pada sandaran sofa.

“Ya biasanya gimana?”

“Biasanya chatan.”

“Ya udah, sekarang chat orangnya.”

“Gak siap...,” kata Bian praktis membuat Papa mengusap kepalanya dengan sangat gemas.

“Payah banget kamu, Bi.”

Sudah tujuh hari Bian sibuk meratapi tragisnya nasib percintaannya dengan seorang Diajeng Pramesti. Mungkin akan bertambah menjadi sembilan, sepuluh atau bahkan banyak hari lagi kedepan.

Makan tak selera, tubuh tak semangat, tidur larut kini jadi kebiasaannya. Cinta remaja begini ya. Sering kali Bian ingin sekali kembali menyesap sebatang rokok yang dulu sempat jadi kawan setianya. Tapi Bian ingat, dia sudah berjanji pada Mama. Bisa-bisa nanti Mama mengamuk tak karuan, kemudian habislah Bian diceramahi panjang kali lebar oleh Papa.

Dalam redupnya pencahayaan kamar, Bian memeluk sebuah gitar akustik milik Papa. Disaat-saat seperti ini, bakat terpendam Bian ada gunanya juga. Bisa dijadikan pengiring rasa kegagalan, serta kekecewaan yang dia derita belakangan.

“I want a perfect body I want a perfect soul I want you to notice When I'm not around”

Sembari memetik setiap senar gitar dengan tenaga seadanya, Bian bernyanyi. Bocah itu sepenuhnya memikirkan Ajeng. Suara serak sisa tangisannya terdengar begitu jelas. Bian sedikit tak menyangka akan menyukai Ajeng sampai seperti ini.

“So fuckin' special I wish I was special”

Bian menarik napas dalam-dalam. Kalau boleh jujur sejak hari di mana Ajeng menolak pernyataan cintanya mentah-mentah, hatinya seolah berdenyut nyeri.

Sebenarnya sakit hati Bian bukan sepenuhnya tanggung jawab Ajeng. Bian tahu betul akan hal itu. Dia hanya butuh seseorang untuk disalahkan.

Perihal trauma yang mungkin Ajeng alami juga sedikit mengganggu pikiran Bian malam itu. Dalam benaknya khawatir kalau-kalau pernyataan cinta tempo hari lalu dapat membebani gadis tersebut. Pasalnya secara terang-terangan Ajeng berkata kalau dirinya juga memiliki perasaan yang sama.

“But I'm a creep I'm a weirdo What the hell I doin' here? I don't belong here”

Kemudian, tiba-tiba saja terdengar suara tepukan tangan yang membuat Bian menghentikan kegiatannya seketika. Dan pelakunya adalah Papa—si pemilik gitar! Kemunculan persis seperti jin lampu ajaib milik Aladin.

“Papa ngapain sih?” Bian bangkit dari posisi wenaknya.

“Bagus nyanyinya, kayak orang yang lagi galau.”

Mendengar kalimat tersebut, lantas Bian mendengkus. Emang lagi galau!

“Papa ngapain tiba-tiba masuk kamar Bian?”

Papa tergelak. Bian yang jauh lebih emosional dari biasanya, menjadi bukti kebenaran dari apa yang dikatakan oleh Ozi.

Tanpa sepatah katapun, Papa merangkul Bian. Kembali mengajaknya untuk duduk di atas sofa yang mengarah langsung pada sebuah jendela kaca dengan bukaan cukup lebar. Akhir-akhir ini hujan sering kali turun, kemudian menjadi sebuah pemandangan yang sendu dari dalam kamar Bian.

“Kalau kita bener-bener suka sama orang, ada yang lebih penting daripada status, Bi. Kamu tau gak, apa?” kata Papa. Spontan Bian menggeleng. “Bisa terus ada di sekitar orang itu.”

Bian geming.

“Sekarang pikir ... yang kamu butuhin statusnya atau orangnya?”

Sepersekian detik Bian merinding. Kira-kira dari mana Papa tau? Meski begitu kali ini Bian tak ambil pusing—kalau bukan Zaid, ya sudah pasti Ozi lagi.

Bian menghela napas berat. “Bian butuh orangnya, Pa.”

Papa terkesiap, lalu mengangguk. Bagaimanapun Papa juga pernah muda. Perasaan seperti itu bukan hal yang asing lagi baginya.

Tentu saja malam ini Papa yang berpengalaman bukan datang untuk mengejek Bian, melainkan ingin memberi sebuah wejangan kepada Bian yang baru merasakan cinta.

Dengan wajah serius yang tampaknya sengaja dibuat-buat, Papa menekuk kakinya. “Kalau gitu udah cukup sedih-sedihnya. Anggep aja kayak gak pernah ada kejadian apa-apa antara kamu sama dia. Tetep jadi diri kamu yang biasanya, di depan dia. Percaya sama Papa ... entah itu kapan, tapi lama kelamaan dia pasti juga mau punya hubungan yang lebih sama kamu. Karna dia udah terbiasa sama kamu. Udah bergantung ke kamu. Yah, itung-itung sekalian latihan buat kamu setia sama satu perempuan, Bi.”

Bian hanya mampu melongo tak percaya. Di luar dugaan, Papa berkata demikian.

“Gak heran gitu. Papa kan juga pernah muda.”

“Bian bingung harus mulai lagi dari mana.” Bahu Bian merosot pada sandaran sofa.

“Ya biasanya gimana?”

“Biasanya chatan.”

“Ya udah, sekarang chat orangnya.”

“Gak siap...,” kata Bian praktis membuat Papa mengusap kepalanya dengan sangat gemas.

“Payah banget kamu, Bi.”

Mama itu, bisa dibilang yang paling tahu watak Bian. Berkacak sangar seperti tokoh gatot kaca, padahal aslinya tidak lebih kuat dari hellokitty.

Melihat bagaimana Bian menangis di hadapan Papa, Mama pikir sepertinya dunia tidak sedang baik-baik saja. Hampir wajah Papa dihantam dengan bantal sofa oleh Mama. Sebab, Mama kira bayi besarnya itu menangis karena sang papa memarahinya semata-mata karena nilai rapot yang merah semua atau bagaimana. Ternyata bukan.

Di sini lah Mama dan Bian sekarang. Di dalam sebuah kamar yang nuansa dan interiornya sebelas dua belas dengan kamar Papa semasa muda. Yah, itu menurut Mama.

Bian duduk sembari memeluk Mama erat-erat. Nyaman mungkin? Tak lupa meminta agar punggungnya terus diusap-usap oleh Mama. Kapan lagi? Mumpung ada kesempatan. Toh, Bian sudah kepalang malu karena kejadian menangis di hadapan Papa beberapa menit yang lalu.

“Nilai kamu gak jelek-jelek banget, tuh?” kata Mama, sambil menunjuk buku rapot pada Bian yang masih setia dalam dekapannya.

Bian menggeleng. Dia yakin bahwa nilai tersebut tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan nilai teman sekelasnya. “Jelek itu....”

Lantas mau tidak mau Mama mengalah. Dilihat-lihat suasana hati Bian masih belum membaik. Takut Bian tersinggung pada akhirnya.

“Nangis sambil peluk Papa enak, gak?” tanya Mama. Nadanya seolah sengaja menggoda Bian.

Kalau boleh jujur, Bian suka bagaimana cara Papa menenangkannya. Bian suka kala bahu Papa yang jauh lebih lebar dari miliknya itu, mendekap tubuhnya erat. Seperti kembali ke masa lalu. Saat Bian masih berusia sekitar lima, sampai depan tahun. Momen seperti itu, kini langka. Bahkan selang beberapa menit setelah pelukan seperti teletubbies—Papa harus langsung melakukan meeting online dengan rekan kerjanya. Oleh karena itu Mama bertanggung jawab mengambil alih Bian.

“Dulu itu ... pas kamu masih bayi, kayaknya Papa yang lebih sering gendong kamu daripada Mama. Paling tuh ya, Mama gendong kamu kalau mau bikin kamu tidur aja. Dulu, Papa over protective ke kamu, Bi.”

Sontak Bian ngangkat dagunya. Mencoba menatap Mama—masih dalam keadaan memeluknya. Dasar si manja!

“Masa iya Papa over protective?” tanya Bian, penasaran.

Sebenarnya sampai detik ini, Bian masih sering menjadi korban ke-over protective-an Papa. Namun, ada sedikit rasa penasaran perihal seperti apa Papa saat dia masih kecil.

Mama mengangguk mantap, sampai dagunya tidak sengaja membentur pucuk kepala Bian. “Dulu—pas kamu baru lahir—gak ada yang boleh pegang kamu kecuali Mama, sama Papa sendiri. Nenek kamu, kakek kamu, pokoknya semua orang tuh gak boleh! Kamu tau gak apa alesan Papa sampai kayak gitu?”

“Apa?”

“Papa gak mau kulit kamu iritasi karna kontak fisik sama banyak orang,” kata Mama, lalu terkekeh. Agaknya Mama masih tak habis pikir dengan jalan pikiran Papa pada saat itu.

“Pantes Bian kayaknya cucu nenek yang paling gak akrab sama Nenek, ya?”

Mendengar perkataan Bian barusan, sontak Mama tergelak bukan main. Secara tidak langsung Mama mengiyakan opini Bian. Memang di antara cucu-cucu mertuanya itu, hanya Bian yang tampaknya menutup diri. Malas berinteraksi dengan dengan keluarga besar kecuali dengan Om Jemi—adik Papa. Namun, itupun tak terlalu sering.

“Kamu harus akur-akur sama nenek kamu, bi.”

“Kenapa?”

“Biar dapet warisan.”

Di luar dugaan. Bian mendorong Mama, sampai Mama terguling di atas ranjang sembari tertawa terbahak-bahak.

“SI MAMA BISA-BISANYA!”

Mama itu, bisa dibilang yang paling tahu watak Bian. Berkacak sangar seperti tokoh gatot kaca, padahal aslinya tidak lebih kuat dari hellokitty.

Melihat bagaimana Bian menangis di hadapan Papa, Mama pikir sepertinya dunia tidak sedang baik-baik saja. Hampir wajah Papa dihantam dengan bantal sofa oleh Mama. Sebab, Mama kira bayi besarnya itu menangis karena sang papa memarahinya semata-mata karena nilai rapot yang merah semua atau bagaimana. Ternyata bukan.

Di sini lah Mama dan Bian sekarang. Di dalam sebuah kamar yang nuansa dan interiornya sebelas dua belas dengan kamar Papa semasa muda. Yah, itu menurut Mama.

Bian duduk sembari memeluk Mama erat-erat. Nyaman mungkin? Tak lupa meminta agar punggungnya terus diusap-usap oleh Mama. Kapan lagi? Mumpung ada kesempatan. Toh, Bian sudah kepalang malu karena kejadian menangis di hadapan Papa beberapa menit yang lalu.

“Nilai kamu gak jelek-jelek banget, tuh?” kata Mama, sambil menunjuk buku rapot pada Bian yang masih setia dalam dekapannya.

Bian menggeleng. Dia yakin bahwa nilai tersebut tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan nilai teman sekelasnya. “Jelek itu....”

Lantas mau tidak mau Mama mengalah. Dilihat-lihat suasana hati Bian masih belum membaik. Takut Bian tersinggung pada akhirnya.

“Nangis sambil peluk Papa enak, gak?” tanya Mama. Nadanya seolah sengaja menggoda Bian.

Kalau boleh jujur, Bian suka bagaimana cara Papa menenangkannya. Bian suka kala bahu Papa yang jauh lebih lebar dari miliknya itu, mendekap tubuhnya erat. Seperti kembali ke masa lalu. Saat Bian masih berusia sekitar lima, sampai depan tahun. Momen seperti itu, kini langka. Bahkan selang beberapa menit setelah pelukan seperti teletubbies—Papa harus langsung melakukan meeting online dengan rekan kerjanya. Oleh karena itu Mama bertanggung jawab mengambil alih Bian.

“Dulu itu ... pas kamu masih bayi, kayaknya Papa yang lebih sering gendong kamu daripada Mama. Paling tuh ya, Mama gendong kamu kalau mau bikin kamu tidur aja. Dulu, Papa over protective ke kamu, Bi.”

Sontak Bian ngangkat dagunya. Mencoba menatap Mama—masih dalam keadaan memeluknya. Dasar si manja!

“Masa iya Papa over protective?” tanya Bian, penasaran.

Sebenarnya sampai detik ini, Bian masih sering menjadi korban ke-over protective-an Papa. Namun, ada sedikit rasa penasaran perihal seperti apa Papa saat dia masih kecil.

Mama mengangguk mantap, sampai dagunya tidak sengaja membentur pucuk kepala Bian. “Dulu—pas kamu baru lahir—gak ada yang boleh pegang kamu kecuali Mama, sama Papa sendiri. Nenek kamu, kakek kamu, pokoknya semua orang tuh gak boleh! Kamu tau gak apa alesan Papa sampai kayak gitu?”

“Apa?”

“Papa gak mau kulit kamu iritasi karna kontak fisik sama banyak orang,” kata Mama, lalu terkekeh. Agaknya Mama masih tak habis pikir dengan jalan pikiran Papa pada saat itu.

“Pantes Bian kayaknya cucu nenek yang paling gak akrab sama Nenek, ya?”

Mendengar perkataan Bian barusan, sontak Mama tergelak bukan main. Secara tidak langsung Mama mengiyakan opini Bian. Memang di antara cucu-cucu mertuanya itu, hanya Bian yang tampaknya menutup diri. Malas berinteraksi dengan dengan keluarga besar kecuali dengan Om Jemi—adik Papa. Namun, itupun tak terlalu sering.

“Kamu harus akur-akur sama nenek kamu, bi.”

“Kenapa?”

“Biar dapet warisan.”

Di luar dugaan. “SI MAMA BISA-BISANYA!”

Bian mendorong Mama, sampai Mama terguling di atas ranjang sembari tertawa terbahak-bahak.

Mama itu, bisa dibilang yang paling tahu watak Bian. Berkacak sangar seperti tokoh gatot kaca, padahal aslinya tidak lebih kuat dari hellokitty.

Melihat bagaimana Bian menangis di hadapan Papa, Mama pikir sepertinya dunia tidak sedang baik-baik saja. Hampir wajah Papa dihantam dengan bantal sofa oleh Mama. Sebab, Mama kira bayi besarnya itu menangis karena sang papa memarahinya semata-mata karena nilai rapot yang merah semua atau bagaimana. Ternyata bukan.

Di sini lah Mama dan Bian sekarang. Di dalam sebuah kamar yang nuansa dan interiornya sebelas dua belas dengan kamar Papa semasa muda. Yah, itu menurut Mama.

Bian duduk sembari memeluk Mama erat-erat. Nyaman mungkin? Tak lupa meminta agar punggungnya terus diusap-usap oleh Mama. Kapan lagi? Mumpung ada kesempatan. Toh, Bian sudah kepalang malu karena kejadian menangis di hadapan Papa beberapa menit yang lalu.

“Nilai kamu gak jelek-jelek banget, tuh?” kata Mama, sambil menunjuk buku rapot pada Bian yang masih setia dalam dekapannya.

Bian menggeleng. Dia yakin bahwa nilai tersebut tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan nilai teman sekelasnya. “Jelek itu....”

Lantas mau tidak mau Mama mengalah. Dilihat-lihat suasana hati Bian masih belum membaik. Takut Bian tersinggung pada akhirnya.

“Nangis sambil peluk Papa enak, gak?” tanya Mama. Nadanya seolah sengaja menggoda Bian.

Kalau boleh jujur, Bian suka bagaimana cara Papa menenangkannya. Bian suka kala bahu Papa yang jauh lebih lebar dari miliknya itu, mendekap tubuhnya erat. Seperti kembali ke masa lalu. Saat Bian masih berusia sekitar lima, sampai depan tahun. Momen seperti itu, kini langka. Bahkan selang beberapa menit setelah pelukan seperti teletubbies—Papa harus langsung melakukan meeting online dengan rekan kerjanya. Oleh karena itu Mama bertanggung jawab mengambil alih Bian.

“Dulu itu ... pas kamu masih bayi, kayaknya Papa yang lebih sering gendong kamu daripada Mama. Paling tuh ya, Mama gendong kamu kalau mau bikin kamu tidur aja. Dulu, Papa over protective ke kamu, Bi.”

Sontak Bian ngangkat dagunya. Mencoba menatap Mama—masih dalam keadaan memeluknya. Dasar si manja!

“Masa iya Papa over protective?” tanya Bian, penasaran.

Sebenarnya sampai detik ini, Bian masih sering menjadi korban ke-over protective-an Papa. Namun, ada sedikit rasa penasaran perihal seperti apa Papa saat dia masih kecil.

Mama mengangguk mantap, sampai dagunya tidak sengaja membentur pucuk kepala Bian. “Dulu—pas kamu baru lahir—gak ada yang boleh pegang kamu kecuali Mama, sama Papa sendiri. Nenek kamu, kakek kamu, pokoknya semua orang tuh gak boleh! Kamu tau gak apa alesan Papa sampai kayak gitu?”

“Apa?”

“Papa gak mau kulit kamu iritasi karna kontak fisik sama banyak orang,” kata Mama, lalu terkekeh. Agaknya Mama masih tak habis pikir dengan jalan pikiran Papa pada saat itu.

“Pantes Bian kayaknya cucu nenek yang paling gak akrab sama Nenek, ya?”

Mendengar perkataan Bian barusan, sontak Mama tergelak bukan main. Secara tidak langsung Mama mengiyakan opini Bian. Memang di antara cucu-cucu mertuanya itu, hanya Bian yang tampaknya menutup diri. Malas berinteraksi dengan dengan keluarga besar kecuali dengan Om Jemi—adik Papa. Namun, itupun tak terlalu sering.

“Kamu harus akur-akur sama nenek kamu, bi.”

“Kenapa?”

“Biar dapet warisan.”

Di luar dugaan. “SI MAMA BISA-BISANYA!”

![]https://i.imgur.com/5wOnywR.jpg

Bian mendorong Mama, sampai Mama terguling di atas ranjang sembari tertawa terbahak-bahak.

Hari ini, sejak pagi-pagi buta sistem pencernaan Bian sudah bermasalah, sampai heboh seisi rumah. Yang mual lah, yang diare lah—aduh, Papa jadi harus menghubungi dokter saking khawatirnya.

Wajah bocah itu kini pucat pasi. Usut punya usut, ini semua terjadi bukan karena salah makan atau apa, melainkan karena perasaan panik yang memang menghantui Bian sejak semalam. Namun, Bian bukannya sedang mengada-ada. Mulas dan mual benar-benar Bian rasakan. Tatapan matanya gamang. Yang muncul di dalam kepalanya hanya soal nilai rapor dan bayang-bayang bagaimana wajah masam Papa. Bian menghela napas panjang.

“Papa sama Mama aja, kamu istirahat di rumah. Kamu gak usah ikut,” kata Papa sambil mengeratkan dasinya.

Lantas, seperti halnya orang yang melihat hantu—Bian spontan mendelik. Dia terbangun dari posisi rebahan yang sebelumnya tampak sangat nyaman. “Bian ikut, Pa!” katanya. Kemudian dengan sisa-sisa tenaga yang ada, bocah itu beranjak dari atas ranjang tanpa mempedulikan Papa dan Mama yang menatapnya kebingungan. Bian meraih pakaian dari dalam lemari secara asal-asalan.

“Bi, kamu yakin mau ikut ambil rapot?” tanya Mama khawatir.

“Iya. Papa sama Bian aja.”

Papa memilih untuk diam. Toh kalaupun dilarang pasti akan jadi usaha yang sia-sia, sebab Papa tahu jelas Bian seperti apa.

Tanpa suara, Papa merangkul Mama. Membawa Mama keluar dari kamar Bian karena sadar bahwa anak semata wayangnya itu perlu ruang untuk segera mengganti pakaian sebelum jam menunjukkan pukul sembilan pagi—waktu pengambilan rapor.


Pada akhirnya Bian di sini sekarang. Duduk di lantai, di depan kelas bersama dengan beberapa teman sekelasnya yang juga sengaja datang ke sekolah hari ini. Di sampingnya ada Zaid yang dengan santainya masih bisa cengengesan.

Sekarang entah hilang ke mana penyakit pencernaan yang sebelumnya Bian derita.

Bian berharap, setidaknya dia mendapat ranking lima belas dari dua puluh siswa yang ada. Sialnya pintu ruang kelas yang memang sudah disiapkan sebagai tempat pertemuan antar wali kelas dan orang tua sengaja ditutup rapat-rapat—tak lupa jendela kacanya pun tertutup oleh tirai.

Papa di sana, di dalam kelas, dan entah tengah mendengarkan wali kelasnya berkata apa. Yang jelas, Bian yakin seratus persen kalau urutan ranking siswa terpampang jelas pada papan tulis di depan kelas karena sebelumnya Bian melihat ketua kelas menuliskan angka satu sampai dua puluh menggunakan spidol hitam di papan tersebut.

“Lo tau gak, tadi gue liat yang dateng sama sepeda kupas bukan bokapnya.” Entah apa maksud Zaid tiba-tiba mengangkat topik seperti ini, tapi hati kecil Bian berontak. Ikut penasaran.

“Mamanya?” tanya Bian tanpa berpikir panjang.

“Tolol! Dia kan udah gak punya nyokap, Bi! Gimana sih?” Sontak Bian melotot. Benar juga.

“Terus sama siapa?”

“Sama cowok, tinggi. Kayak mas mas kuliahan, tapi ... lo pikir, deh....”

“Apa?”

“Dia kan anak tunggal? Gak mungkin kakaknya, dong? Apa jangan-jangan itu pacarnya?” Mendengar itu Bian geming seketika.

Isi kepalanya kian kompleks. Bingung mana yang harus dipusingkan terlebih dahulu. Netra Bian menatap ke segala arah mencari keberadaan Ajeng, dan dia dapati gadis itu tengah berkumpul dengan beberapa anak gadis lainnya.

“Kalo itu pacarnya, gimana?” timpal Zaid.

Bian enggan menjawab.

Dia melengos kala tak sengaja beradu tatap dengan gadis itu. “Ya, gak gimana-gimana,” sahut Bian ala kadarnya. Masa bodo, sekarang yang terpenting adalah seperti apa ekspresi Papa begitu keluar dari dalam kelas.

Bian sudah mengambil ancang-ancang saat ada suara yang muncul dari balik pintu kelas. Dan benar saja. Sesaat kemudian pintu tersebut terbuka. Riuh suara orang tua yang saling membanggakan anak mereka masing-masing terdengar layaknya suara koloni lebah. Bian berdiri, menunggu Papa keluar dengan perasaan harap-harap cemas.

“Papa!” Yang dipanggil lantas menoleh. Papa tersenyum lebar ke arah Bian. Kemudian, dengan langkah lebar-lebar Papa menghampiri tempat di mana Bian berada.

“Gimana hasilnya, Pa?” tanya Bian penasaran. Masih ada Zaid di sana.

Papa mengacungkan ibu jari kanannya pada Bian. “Bagus! Kamu pasti udah berusaha keras, kan?”

Bian tidak benar-benar yakin akan ekspresi Papa, sebab ini jauh di luar dugaannya. Hasilnya bagus? Dia hanya diam mematung. Masih tak percaya.

“Tuh, kan. Gue bilang juga apa? Hasilnya pasti gak mungkin sejelek yang lo pikirin!” bisik Zaid sesaat sebelum lehernya diapit oleh lengan seseorang di belakangnya. “AKHHH TOLONG!” pekik Zaid.

“Papa udah bilang, belajar! Jangan main hp terus!”

“Ampun! Lepas dulu, ampun!” pinta Zaid sambil tertawa dan memukul-mukul tangan lelaki yang akrab Bian sapa 'Om Dio'.

Bian dan Papa yang melihat itu hanya melempar pandangan satu sama lain. Bingung harus melerai atau apa, pasalnya Zaid justru tertawa kala papanya sibuk mengomel. Memang dasar! Zaid ... Zaid....

Tiba-tiba saja Papa berdeham, seraya merangkul pundak Bian. “Yo, gue duluan ya?”

“Langsung, Jeff?”

“Iya, ada urusan.” Usai menjawab dengan sangat singkat, Papa menjabat tangan Om Dio dan memeluk tubuh kawan lamanya itu dalam sekejap sebelum memutuskan untuk benar-benar pergi dari sana.

Saat berjalan melalui koridor, Bian pikir mungkin ada satu pekerjaan mendesak, yang harus Papa selesaikan secepatnya. Bian ikut saja. Sudah syukur Papa tidak mengomelinya seperti Om Dio mengomel pada Zaid di depan umum. Ngomong-ngomong sejelek apa ya nilai Zaid? Mengingat wajah awal Om Dio, agaknya Zaid memang berlebihan.

Sejak mobil Papa keluar dari area sekolah—Papa hanya sesekali bicara. Itupun hanya untuk menawari Bian ingin makan siang di luar atau tidak? Selebihnya hanya diisi suara playlist yang diputar.

“Papa?” Bian yang sejak awal merasakan keanehan atmosfer di antara mereka, memilih untuk angkat bicara lebih dulu.

“Apa, Bi?” jawab Papa tanpa menoleh. Pasalnya jalanan Ibu Kota saat ini tengah padat-padatnya.

“Hasilnya ... jelek ya?”

Bian dapat melihat dengan jelas genggaman tangan Papa pada kemudi mobil kian erat. Air wajah Papa berubah seketika. Dan tanpa perlu Papa jawab, Bian sudah bisa menarik kesimpulannya.

“Maaf ... Bian minta maaf udah bikin Papa malu di depan papanya Zaid,” kata Bian lirih.

“Apapun hasilnya, Papa tetep bangga sama kamu. Gak usah terlalu dipikirin.”

Bian menghela napas berat, kemudian membuang wajahnya ke arah kaca. “Papa malu, itu faktanya.” Dengan mata yang mulai berkaca-kaca bocah itu berkata demikian.

Dalam keadaan seperti ini, Papa juga bingung harus melakukan apa. Ingin parkir di pinggir jalan beberapa menit untuk sekedar menenangkan Bian rasanya sulit. Bisa-bisanya berujung di hampiri oleh polisi. Ingin buru-buru sampai ke rumah, tapi jika melihat kondisi jalanan yang padat—sepertinya tambah mustahil. Alhasil Papa hanya bisa diam, dan mendengar isakan kecil yang lolos begitu saja dari bibir Bian.


Sekiranya hampir satu jam berlalu—kini mobil Papa memasuki pekarangan rumah mereka. Bian masih diam membisu. Dan, saat Papa mematikan mesin mobil—Bian memutuskan untuk keluar dari mobil. Sudah malu sekujur tubuh. Bian bahkan tidak berani sedikitpun menoleh ke arah Papa.

Sementara di sisi lain, Papa beringsut mengejar Bian. Sebab meski diteriaki namanya, Bian sengaja pura-pura tuli.

“BI!”

Grep!

Runtuh sudah pernah tahanan Bian. Melebur sudah seluruh gengsinya dengan tangisannya tatkala Papa memeluk tubuhnya yang sudah sangat lemas itu. Malu, menyesal, kecewa pada diri sendiri—itu yang Bian rasakan. Dipeluk Papa seperti ini ... rasanya Bian semakin merasa bersalah.

Bian terus terisak. Mau bagaimanapun juga, dia masih anak remaja yang emosinya mudah naik dan turun di saat-saat seperti ini.

“Heh, dengerin Papa!” pinta Papa. Tangannya sembari menepuk-nepuk punggung Bian. “Berapapun nilai rapot kamu, gak akan bikin kamu gagal jadi anak Papa. Soal yang di sekolah tadi—Papa bukannya malu, Bi. Papa emang buru-buru karna harus ngezoom abis ini sama klien,” tutur Papa lembut. Kemudian, Papa melepas lingkaran tangannya pada punggung Bian terlebih dahulu. Digantikan dengan cengkraman erat pada punggung Bian.

“Liat Papa, Bi.”

Dengan penuh keraguan, Bian menatap lurus mata Papa. Dan saat dia hampir menangis lagi, Papa semakin menekan pundaknya kuat-kuat.

“Berapa nilainya, itu gak penting. Yang penting, usaha kamu. Kalau sekarang masih belum memuaskan, usahanya ditambah lagi! Bukannya malah nangis kayak gin—”

“MAS? BI? KOK GAK LANGSUNG MASUK?” Suara Mama tiba-tiba saja memekakkan telinga mereka berdua. “Gimana nilainya—LOH BIAN NANGIS?!”

Kalau melihat tanggal, hari ini harusnya jadi hari terakhir Bian melaksanakan ulangan semester ganjil. Sudah hampir dua minggu lamanya Bian merasa makan tak enak, dan tidur tak nyenyak, sebab terus dihantui oleh perasaan takut mengecewakan Mama, Papa, dan Ayah dengan nilai rapornya nanti.

Ini bukan soal dimarahi atau tidak, tapi soal bagaimana pendapat orang tuanya nanti. Mengingat bagaimana caranya menjawab setiap soal demi soal—Bian yakin kalau nilainya nanti pasti banyak yang di bawah rata-rata.

Kemarin, rasa-rasanya lebih dari setengah soal dia jawab dengan asal-asalan.

“Besar atau kecil nilainya itu gak penting. Yang penting kamu jujur.”

Kalimat itu terus saja berputar-putar di kepalanya. Kalimat yang akhir-akhir ini seolah dia jadikan pedoman hidup, kenyataannya tidak seratus persen benar. Bian tahu jelas. Jujur itu baik. Tapi kalau jujur dan mendapat nilai tinggi pasti jauh lebih baik, kan?

Bian duduk dalam ruang kelas yang masih kosong. Niatnya untuk datang sepagi ini adalah untuk belajar dalam keheningan. Kini di hadapannya, di atas sebuah meja kelas yang terbuat dari kayu kemudian dipernis itu tergeletak sebuah buku. Namun, alih-alih belajar Bian justru melamun.

Bagaimana ya caranya agar dapat keluar dari kekacauan ini? Bian ingin sekali keluar dari zona nyaman yang membawanya menjadi malas-malasan seperti ini sejak beberapa tahun terakhir.

Bian mengusap wajahnya frustasi, kemudian sengaja menjatuhkan kepalanya ke atas buku. Sekelebat bayangan wajah kebahagiaan Mama dan Papa saat Bian mendapat nilai bagus muncul begitu saja. “Bian janji semester depan ya Ma, Pa,” gumamnya lirih.

Detik selanjutnya satu per satu murid lainnya datang memasuki kelas. Seketika ramai, jauh berbeda dengan suasana sebelumnya. Dalam benak Bian, entah dia harus bersyukur karena kini telah dibuyarkan dari lamunan, atau harus merasa kesal karena belum sempat dia belajar?

Diam-diam Bian menatap sebuah pensil yang dia genggam sejak tadi—atau mungkin lebih tepatnya sejak seminggu yang lalu. Pensil milik Ajeng itu bahkan sudah semakin pendek diameternya. Bian menarik sudut bibirnya. Dia berniat untuk menggantikan pensil tersebut dengan yang baru nantinya—mungkin selepas pelaksanaan ulangan.

Dan dalam sepersekian detik Bian tersadar—sepertinya selalu ada si gadis bendahara yang tiba-tiba saja muncul dalam pikiran Bian di tengah kegelisahannya. Ini karena sugesti, kebetulan, atau memang jodoh? batinnya. Bian menggeleng cepat. Kenapa lagi-lagi dia kesulitan untuk fokus belajar?!

“Sab?”

Tidak ada angin, tidak ada hujan tiba-tiba gadis itu kini tengah berdiri menjulang di sampingnya. Membuat Bian berjengit kaget seketika.

“Dep?!” pekik Bian, memastikan. Sementara Ajeng yang masih tidak terima dipanggil seperti itu pun hanya bisa merotasikan bola matanya.

“Kamu bengong mulu.”

Bian tersenyum lebar. Senyumnya sengaja dibuat-buat. “Takut. Takut semua nilai ulangannya jelek-jelek, soalnya aku kurang maksimal belajarnya.”

Tak!

Ajeng meletakkan sebuah pensil baru di atas meja Bian. Ujungnya lancip. Sepertinya baru saja diraut beberapa saat lalu.

“Tugas kamu selalu tuntas, kan?” tanya Ajeng, lalu Bian mengangguk. “Tenang aja, nilainya gak mungkin di bawah KKM di rapotnya kalo gitu.”

Kemudian, seperti baru saja mendapat kabar baik sepanjang masa—Bian tersenyum sumringah, tapi belum sempat Bian mengatakan sepatah katapun Ajeng lebih dahulu kembali membuka suara.

“Tuh, pake pensil yang baru, Sab. Pake pensil pendek itu ada mitosnya,” kata gadis itu bisik-bisik.

“Apa?”

“Doain Ibu meninggal.”

“HAH? APAAN SIH?!”

Ajeng tergelak bukan main kala melihat ekspresi terkejut Bian. Tak mau kena semprot setelahnya, gadis itu pun lebih dahulu pergi dari hadapan Bian. “Cuman mitos, Sab!” seru Ajeng dari kejauhan—di seberang tempat duduk Bian.

Pagi ini tidak banyak siswa yang berkerumun seperti hari-hari biasanya. Kebanyakan dari mereka sibuk membaca buku catatan mereka masing-masing, sebab kurang lebih selama dua minggu kedepan adalah pelaksanaan ulangan semester ganjil. Lain halnya dengan Bian. Dia justru sibuk berjalan petantang-petenteng keliling kelas untuk mendapatkan pinjaman pensil dengan standar ujian.

Jangankan belajar, pensil saja lupa dia bawa. Mungkin kalau hidung Bian adalah jenis portabel, dia akan sering kelupaan untuk membawanya.

“SIAPA YANG PUNYA PENSIL LEBIH?!” tanya bocah itu sambil berteriak di dalam kelas yang memang sejak tadi keadaan sangat berisik. Persis seperti pasar swalayan karena semua penghuninya sengaja membaca buku catatan mereka sampai mengeluarkan suara.

“Gak ada,” sahut Zaid yang tengah duduk dengan manis di kursi mejanya sejak tadi dan memperhatikan gerak-gerik bodoh temannya itu.

Bian mendengkus, “Serius, Anjing.”

“Sab!”

Mendengar namanya dipanggil, sontak Bian mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kelas. Dan didapatinya Ajeng yang tengah mengayunkan tangan, seolah memanggil Bian sembari tersenyum.

Tanpa pikir panjang, Bian langsung menghampiri gadis itu.

Kabar baiknya, Ajeng punya tiga pensil yang Bian butuhkan. Dia menyodorkan tiga pensil tersebut ke arah Bian. Bermaksud untuk membiarkan Bian memilih sendiri yang mana yang ingin dia pakai—meski model ketiganya sama persis.

Diam-diam Bian menahan senyumnya. “Kamu pake yang mana?” tanya Bian dengan polos.

“Kamu ambil aja dulu, aku bisa pake yang mana aja.”

Jangan tanya bagaimana perasaan Bian sekarang. Sudah pasti dia salah tingkah! Bahkan kala ibu jarinya tak sengaja menyentuh ibu jari Ajeng—Bian sengaja membuang wajahnya. Takut kalau-kalau gadis itu tahu soal perasaannya karena melihat ekspresi malunya.

“Aku pinjem yang ini aja.” Satu pensil yang sedikit lebih pendek dari yang lainnya. Sudah dipastikan kalau pensil tersebut memanglah pensil yang biasa Ajeng gunakan.

Gadis itu mengangguk. “Penghapusnya ada?” tanya Ajeng memastikan. Pasalnya terakhir kali dia ingat, Bian bahkan tidak pernah membawa kotak pensil dalam tasnya.

Alih-alih menjawab, Bian justru cengangas-cengenges.

“Kamu tuh, gak punya kotak pensil apa gimana, sih?” Ajeng kemudian sibuk merogoh kotak pensilnya. “Padahal kotak pensil kan murah, Sab!”

Selang beberapa detik kemudian, dia mengeluarkan sebuah penghapus dan rautan pensil. Sebab dia sadar bahwa tempat duduknya dan Bian cukup jauh—Ajeng khawatir kalau-kalau di tengah-tengah kegiatan mengerjakan ulangan nanti Bian akan kesulitan untuk meminjam peralatan tersebut dan berujung dimarahi oleh pengawas. Lantas inilah cara Ajeng menyelamatkan Bian sebelum itu semua terjadi.

“Nih, bawa aja.”

Pada akhirnya Bian menyerah. Diajeng Pramesti memang gadis utusan Dewa! Begitu batinnya. Habis bisa-bisanya dia sangat pengertian seperti itu, ditambah lagi dengan sudut bibir yang selalu menyunggingkan senyuman kala tengah berbicara dengan orang lain.

“Makasih ya, Dep. Nanti aku balikin,” kata Bian penuh semangat.

Sementara itu mereka berdua tidak sadar kalau sejak tadi ada Zaid yang duduk di atas meja. Mengamati percakapan mereka berdua sambil terus bersumpah serapah dalam hati.

“Aku? Kamu? Dep? ANJING?! GUE ADA DI ALAM MANA INI ANJINGG?!!”

Bian berkacak pinggang sembari menatap sebuah kalender masehi yang menggantung dengan sangat apik pada dinding ruang keluarga. Dia meletakkan jari telunjuk di bibir, layaknya tengah memikirkan sesuatu. Besok adalah hari Sabtu, besoknya lagi jelas hari Minggu, dan besoknya lagi ulangan semester ganjil dilaksanakan.

Jadwal mata pelajaran yang diujikan sudah ada di tangan. Namun, entah kenapa rasanya seperti malas sekali belajar. Dia menghela napas berat.

Kalau dipikir-pikir, Bian kan memang seperti ini sejak dulu. Mau ulangan semester, ulangan semester genap, bahkan ujian nasional dia selalu santai dan cenderung malas-malasan. Kenapa? Ya karena dia tahu mau setinggi apapun nilainya nanti, yang bangga hanyalah Ayah Yudhis seorang.

Dulu sekali, saat dia masih kelas satu sekolah menengah pertama—Bian pernah mendapat nilai yang hampir sempurna pada setiap lembar ulangannya. Dan, saat pengambilan rapor dia berhasil mendapat ranking dua. Hebat, kan? Tapi sayang, pada saat itu Papa justru harus menemui salah seorang rekan kerjanya di luar negeri, dan tak lupa menbondong Mama bersamanya. Alhasil hanya Ayah Yudhis lah yang datang untuk menghadiri rapat wali murid dan mengambil rapornya.

Bian yang saat itu emosinya masih sangat menggebu-gebu, lantas kecewa. Semua waktu dan segala usahanya telah dikerahkan untuk mengharumkan nama keluarga Papa, tapi justru sia-sia. Kemudian sejak hari itu, Bian jadi pemalas. Benar, Sabian Aditama itu pada dasarnya bukan bodoh. Dia hanya anak pintar yang tersakiti, begitu katanya.

Sebenarnya, kalau boleh jujur iming-iming sepeda motor tidak ada apa-apanya dengan luka masa lalu yang membekas di hatinya itu. Bian sejatinya bukan benci Papa. Hanya saja, dia takut kembali merasakan hal yang sama. Meski sekarang hubungannya dan Papa membaik, tapikan tidak jaminan kalau Papa tidak akan pernah melakukan hal yang sama untuk kesekian kalinya. Di sisi lain, Bian merasa kalau mungkin setelah ini dia yang justru akan mengecewakan Papa. Dia takut Papa menaruh ekspektasi lebih tinggi di pundaknya. Yah, mengingat saat ini keduanya sudah berdamai satu sama lainnya.

Bian mendesah, dalam artian Bian sudah pasrah. Dia terlalu pusing memikirkan nanti bagaimana. Dia memutuskan untuk biasa-biasa saja. Tidak perlu terlalu berusaha keras, begitu maunya.

“Bi?”

Bian benar-benar tak berkutik tatkala suara Mama masuk ke indera pendengarannya. Bisa-bisanya kehadiran Mama tak terduga, tiba-tiba saja ada di belakangnya.

“Itu kertas apa?” tanya Mama.

Kemudian tanpa pikir panjang, Bian memutar tubuhnya. Menghadap Mama. “Ini? Ini jadwal ulangan semester ganjil,” jawab Bian sambil menatap secarik kertas di tangannya.

“Kamu gak belajar?”

“Ini mau.”

Lalu saat kakinya akan melangkah pergi dari sana, ujung pakaiannya lebih dahulu ditarik Mama. “Ikut Mama deh sebentar.” Mama merangkulnya, menuju kelantai dua rumah mereka.

“Mau ngapain, sih, Ma?”

“Udah ikut aja!”

Usut punya usut Mama mengajaknya berdiri di balkon. Sore itu langit sudah mulai redup, tapi awannya masih terlihat jelas. Mama menatap Bian yang sedikit lebih tinggi darinya.

“Mama gak tau Bian lagi mikirin apa. Bian juga gak cerita sama Mama, kan? Tapi Mama tau kalau di dalem kepala kamu itu, lagi ruwet isinya.”

Selepas mendengar perkataan Mama, Bian seperti tertangkap basah. Dia bertanya-tanya apakah semua ibu-ibu di muka bumi ini pasti memiliki kemampuan membaca pikiran seperti Mama? Tapi tentu saja pertanyaan itu hanya dia simpan dalam benaknya.

“Ah enggak juga,” kata Bian dengan nada santai.

Mama mendecih, lalu kini beralih menatap awan-awan yang seolah bergerak malu-malu di atas kepala mereka. “Dulu Mama kalau lagi gak tenang, banyak pikiran, sedih, atau marah—pasti niupin awan.”

Bian diam menyimak. Dia yakin seribu persen kalau setelah ini, Mama pasti akan kembali mengatakan sesuatu.

“Soalnya Mama percaya kalau ngelakuin itu bisa bikin beban pikiran sama beban perasaan kita ilang, walaupun sedikit,” timpal Mama.

Nahkan, benar dugaannya!

Lantas Bian cekikikan. “Itu teori aneh dari mana coba?”

Wajah Mama yang sebelumnya cerah, tiba-tiba saja mendung. Wajar saja, sebab tawa Bian lebih terdengar seperti sebuah ejekan menyebalkan di telinga Mama. Sorot matanya jengkel, sambil mendongak menatap Bian. “Terus aja ketawa, udah tau Mama lagi serius!” seru Mama.

Lalu tanpa memberi aba-aba sedikitpun, jemari Mama terampil mencubit perut Bian dengan gemas hingga bocah itupun memekik tak tertahan. “AKHH GILA SAKIT BANGET?!” Kalau harus dideskripsikan, perih sekali rasanya.

“Nyebelin banget lagian jadi anak!” Dan detik kemudian Mama melenggang pergi, meninggalkan Bian yang sibuk mengusap-usap oerutnya di area balkon.

Diam-diam Bian menahan senyuman. Ini pertama kalinya Mama menampakkan kekesalannya secara langsung di hadapan Bian. Ada perasaan aneh yang muncul dalam benak Bian. Bukankah ini artinya di antara Bian dan Mama tidak ada lagi perasaan canggung seperti sebelumnya? Bukankah ini artinya Bian dan Mama sudah selayaknya seorang ibu dan anak laki-lakinya? Kemudian tanpa sadar Bian salah tingkah. Dia mendongak menatap awan, lalu meniup-niup udara seolah tengah meniup awan.

Satu detik, tiga detik, kemudian dia tersadar dan memukul ujung bibirnya sendiri. “Tolol, ngapain sih gue?”