Tertangkap Basah
Bel pulang sekolah baru saja berbunyi, seiringan dengan Bian yang tengah menumpuk buku-buku pelajaran sebelum memasukan buku tersebut ke dalam tasnya. Sebagian murid mulai menghambur ke luar kelas. Tidak ada berdoa, atau bahkan salam yang diucapkan sebab sejak satu jam yang lalu kelas mereka tak kedatangan guru seorang pun.
Bian menatap layar ponselnya lamat-lamat. Sampai detik ini, sang mama belum juga membalas pesan yang dia kirimkan. Ke mana? Anak laki-laki itu bertanya-tanya.
“Liat apa tuh di hp?” tanya Zaid dengan tampang paling menyebalkan yang pernah Bian lihat.
Bian memutar bola matanya malas. Kemudian dia sengaja mengarahkan layar ponselnya pada Zaid, “Nih, Anjing! Gue liat roomchat! Gue mah gak kayak elo yang hobi nontonesek-esek,” hardik Bian.
Lantas sebuah buku tulis mendarat tepat di atas bibirnya dengan kasar. “Jaga bicaramu itu, ya, Bangsat...,” kata Zaid. Sengaja berbisik, takut kalau-kalau ada yang mendengar percakapan mereka. Alih-alih bergaduh kesakitan, Bian justru cengengesan. Agaknya senang sekali membuat temannya itu gelagapan.
“Lo yang mulai, Id.”
Meski seringkali bertengkar karena hal-hal sepele seperti yang baru saja terjadi—Bian paling dekat dengan Zaid. Bisa dibilang Zaid itu social butterfly. Temannya tersebar hampir di setiap kelas. Bian sendiri bukan seorang anak yang penutup, hanya malas jika harus bersosialisasi dengan banyak orang. Maka jadilah sebuah perpaduan yang pas antara mereka berdua.
“Bian!”
Muncul seseorang di ambang pintu kelas mereka. Rupanya itu si kakak kelas tercinta—alias Ozi sang OSIS. Laki-laki bertubuh kurus itu melongok sebentar, sebelum akhirnya melangkah masuk.
“Ngapain, Ji?” tanya Zaid penasaran. Tangannya sambil merangkul pundak Bian yang sedikit lebih tinggi darinya.
“Mamanya Bian di depan sekolah, tuh.”
Bian mendelik seketika. “Kok bisa?”
“Lah? Lo tanya gua, terus gua tanya ke siapa?” sahut Ozi.
Ozi terdengar sangat serius. Maka sepertinya benar. Entah alasan apa yang menyebabkan sang mama tidak membalas pesannya, dan malah menjemput Bian padahal harusnya hari ini dia melaksanakan ekstrakurikuler. Lantas Bian melepaskan rangkulannya Zaid dan langsung meraih tasnya.
“Makasih infonya, Ji.”
Tanpa mengatakan hal lainnya, Bian bergegas lari ke luar kelas. Meninggalkan Zaid dan Ozi begitu saja. Dia enggan membuat sang mama menunggu lama.
Sementara di dalam kelas Zaid dan Ozi saling menatap satu sama lain, kemudian mereka tergelak.
“Muka adek lo panik banget, Ji. Si paling bucin Mama tapi gengsian,” kata Zaid.
“Temen lo itu.”
Bian dapat langsung melihat mobil mamanya yang terparkir tepat di seberang gerbang sekolah. Degup jantungnya sangat kencang karena berlari kencang dari lantai dua gedung sekolah tersebut.
Sembari mengatur nafas, Bian menormalkan langkah kakinya. Mendekat ke arah mobil hitam di hadapannya.
Sampai saat tubuhnya sudah berada sangat dekat dengan pintu pengemudi, Bian mengetuk kaca mobil tersebut.
Kaca mobil pun terbuka. Menampilkan sosok Mama yang tengah tersenyum kikuk.
“Bi....”
“Mama gak baca chat dari, Bian?” tanya Bian seketika.
“Mama abis dari rumah Kakek kamu. Gak bawa handphone, Sayang. Ketinggalan,”
“Bian ekskul hari ini....”
Bian dapat melihat Mama mengerucutkan bibirnya sesaat. Yah, Bian paham pasti ada sedikit rasa kecewa dalam benak mamanya itu.
Mama menarik nafas panjang. Sadar diri bahwa ini merupakan kesalahannya. “Yaudah Mama pulang dulu, deh.” Mama kedengarannya pasrah. Sebab ingin mengajak Bian pulang saat itu juga sepertinya tidak mungkin. Bisa-bisa Bian marah karena diganggu jadwalnya. Apalagi kalau mengingat bermain bola basket adalah kegemaran Bian—Mama tidak sampai hati untuk meminta Bian bolos ekskul barang sekali saja.
“Mama gapapa?” tanya Bian, nyaris tak terdengar.
“Gapapa.”
“Nanti Bian pulang naik taxi aja, masih ada duit.”
Lantas tangan Mama terulur ke luar mobil. Mengusap lembut rahang anak laki-lakinya itu, kemudian tersenyum. “Tetep Mama jemput aja. Udah sana masuk lagi,” kata Mama.
Bian mengangkat sebelah alisnya. Dia agak ragu, tapi tik juga memberikan penolakan sedikit pun.
“Yaudah kalo gitu—”
“—Bian nitip tas sebentar, mau ganti baju, boleh?”
Mama mengangguk.
Setelah mengeluarkan jersey dari dalam tasnya, Bian langsung memberikan tas itu pada Mama—tanpa menutupnya.
“5 menit!” kata Bian, kemudian berlari kembali menuju gerbang sekolah.
Namun, sebelum langkah kakinya terlalu jauh Mama lebih dahulu berteriak memanggil namanya.
“BIAN!”
Dia menoleh, menatap Mama yang mengangkat sesuatu di tangannya. Menatap Mama yang memasang ekspresi wajah kecewa. Menatap Mama yang pada akhirnya meremat sebungkus rokok miliknya.
Bian tertangkap basah. Ketahuan. Dan sepertinya tidak akan selamat dari sang papa.