cakgrays

Pagi ini tidak banyak siswa yang berkerumun seperti hari-hari biasanya. Kebanyakan dari mereka sibuk membaca buku catatan mereka masing-masing, sebab kurang lebih selama dua minggu kedepan adalah pelaksanaan ulangan semester ganjil. Lain halnya dengan Bian. Dia justru sibuk berjalan petantang-petenteng keliling kelas untuk mendapatkan pinjaman pensil dengan standar ujian.

Jangankan belajar, pensil saja lupa dia bawa. Mungkin kalau hidung Bian adalah jenis portabel, dia akan sering kelupaan untuk membawanya.

“SIAPA YANG PUNYA PENSIL LEBIH?!” tanya bocah itu sambil berteriak di dalam kelas yang memang sejak tadi keadaan sangat berisik. Persis seperti pasar swalayan karena semua penghuninya sengaja membaca buku catatan mereka sampai mengeluarkan suara.

“Gak ada,” sahut Zaid yang tengah duduk dengan manis di kursi mejanya sejak tadi dan memperhatikan gerak-gerik bodoh temannya itu.

Bian mendengkus, “Serius, Anjing.”

“Sab!”

Mendengar namanya dipanggil, sontak Bian mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kelas. Dan didapatinya Ajeng yang tengah mengayunkan tangan, seolah memanggil Bian sembari tersenyum.

Tanpa pikir panjang, Bian langsung menghampiri gadis itu.

Kabar baiknya, Ajeng punya tiga pensil yang Bian butuhkan. Dia menyodorkan tiga pensil tersebut ke arah Bian. Bermaksud untuk membiarkan Bian memilih sendiri yang mana yang ingin dia pakai—meski model ketiganya sama persis.

Diam-diam Bian menahan senyumnya. “Kamu pake yang mana?” tanya Bian dengan polos.

“Kamu ambil aja dulu, aku bisa pake yang mana aja.”

Jangan tanya bagaimana perasaan Bian sekarang. Sudah pasti dia salah tingkah! Bahkan kala ibu jarinya tak sengaja menyentuh ibu jari Ajeng—Bian sengaja membuang wajahnya. Takut kalau-kalau gadis itu tahu soal perasaannya karena melihat ekspresi malunya.

“Aku pinjem yang ini aja.” Satu pensil yang sedikit lebih pendek dari yang lainnya. Sudah dipastikan kalau pensil tersebut memanglah pensil yang biasa Ajeng gunakan.

Gadis itu mengangguk. “Penghapusnya ada?” tanya Ajeng memastikan. Pasalnya terakhir kali dia ingat, Bian bahkan tidak pernah membawa kotak pensil dalam tasnya.

Alih-alih menjawab, Bian justru cengangas-cengenges.

“Kamu tuh, gak punya kotak pensil apa gimana, sih?” Ajeng kemudian sibuk merogoh kotak pensilnya. “Padahal kotak pensil kan murah, Sab!”

Selang beberapa detik kemudian, dia mengeluarkan sebuah penghapus dan rautan pensil. Sebab dia sadar bahwa tempat duduknya dan Bian cukup jauh—Ajeng khawatir kalau-kalau di tengah-tengah kegiatan mengerjakan ulangan nanti Bian akan kesulitan untuk meminjam peralatan tersebut dan berujung dimarahi oleh pengawas. Lantas inilah cara Ajeng menyelamatkan Bian sebelum itu semua terjadi.

“Nih, bawa aja.”

Pada akhirnya Bian menyerah. Diajeng Pramesti memang gadis utusan Dewa! Begitu batinnya. Habis bisa-bisanya dia sangat pengertian seperti itu, ditambah lagi dengan sudut bibir yang selalu menyunggingkan senyuman kala tengah berbicara dengan orang lain.

“Makasih ya, Dep. Nanti aku balikin,” kata Bian penuh semangat.

Sementara itu mereka berdua tidak sadar kalau sejak tadi ada Zaid yang duduk di atas meja. Mengamati percakapan mereka berdua sambil terus bersumpah serapah dalam hati.

“Aku? Kamu? Dep? ANJING?! GUE ADA DI ALAM MANA INI ANJINGG?!!”

Bian berkacak pinggang sembari menatap sebuah kalender masehi yang menggantung dengan sangat apik pada dinding ruang keluarga. Dia meletakkan jari telunjuk di bibir, layaknya tengah memikirkan sesuatu. Besok adalah hari Sabtu, besoknya lagi jelas hari Minggu, dan besoknya lagi ulangan semester ganjil dilaksanakan.

Jadwal mata pelajaran yang diujikan sudah ada di tangan. Namun, entah kenapa rasanya seperti malas sekali belajar. Dia menghela napas berat.

Kalau dipikir-pikir, Bian kan memang seperti ini sejak dulu. Mau ulangan semester, ulangan semester genap, bahkan ujian nasional dia selalu santai dan cenderung malas-malasan. Kenapa? Ya karena dia tahu mau setinggi apapun nilainya nanti, yang bangga hanyalah Ayah Yudhis seorang.

Dulu sekali, saat dia masih kelas satu sekolah menengah pertama—Bian pernah mendapat nilai yang hampir sempurna pada setiap lembar ulangannya. Dan, saat pengambilan rapor dia berhasil mendapat ranking dua. Hebat, kan? Tapi sayang, pada saat itu Papa justru harus menemui salah seorang rekan kerjanya di luar negeri, dan tak lupa menbondong Mama bersamanya. Alhasil hanya Ayah Yudhis lah yang datang untuk menghadiri rapat wali murid dan mengambil rapornya.

Bian yang saat itu emosinya masih sangat menggebu-gebu, lantas kecewa. Semua waktu dan segala usahanya telah dikerahkan untuk mengharumkan nama keluarga Papa, tapi justru sia-sia. Kemudian sejak hari itu, Bian jadi pemalas. Benar, Sabian Aditama itu pada dasarnya bukan bodoh. Dia hanya anak pintar yang tersakiti, begitu katanya.

Sebenarnya, kalau boleh jujur iming-iming sepeda motor tidak ada apa-apanya dengan luka masa lalu yang membekas di hatinya itu. Bian sejatinya bukan benci Papa. Hanya saja, dia takut kembali merasakan hal yang sama. Meski sekarang hubungannya dan Papa membaik, tapikan tidak jaminan kalau Papa tidak akan pernah melakukan hal yang sama untuk kesekian kalinya. Di sisi lain, Bian merasa kalau mungkin setelah ini dia yang justru akan mengecewakan Papa. Dia takut Papa menaruh ekspektasi lebih tinggi di pundaknya. Yah, mengingat saat ini keduanya sudah berdamai satu sama lainnya.

Bian mendesah, dalam artian Bian sudah pasrah. Dia terlalu pusing memikirkan nanti bagaimana. Dia memutuskan untuk biasa-biasa saja. Tidak perlu terlalu berusaha keras, begitu maunya.

“Bi?”

Bian benar-benar tak berkutik tatkala suara Mama masuk ke indera pendengarannya. Bisa-bisanya kehadiran Mama tak terduga, tiba-tiba saja ada di belakangnya.

“Itu kertas apa?” tanya Mama.

Kemudian tanpa pikir panjang, Bian memutar tubuhnya. Menghadap Mama. “Ini? Ini jadwal ulangan semester ganjil,” jawab Bian sambil menatap secarik kertas di tangannya.

“Kamu gak belajar?”

“Ini mau.”

Lalu saat kakinya akan melangkah pergi dari sana, ujung pakaiannya lebih dahulu ditarik Mama. “Ikut Mama deh sebentar.” Mama merangkulnya, menuju kelantai dua rumah mereka.

“Mau ngapain, sih, Ma?”

“Udah ikut aja!”

Usut punya usut Mama mengajaknya berdiri di balkon. Sore itu langit sudah mulai redup, tapi awannya masih terlihat jelas. Mama menatap Bian yang sedikit lebih tinggi darinya.

“Mama gak tau Bian lagi mikirin apa. Bian juga gak cerita sama Mama, kan? Tapi Mama tau kalau di dalem kepala kamu itu, lagi ruwet isinya.”

Selepas mendengar perkataan Mama, Bian seperti tertangkap basah. Dia bertanya-tanya apakah semua ibu-ibu di muka bumi ini pasti memiliki kemampuan membaca pikiran seperti Mama? Tapi tentu saja pertanyaan itu hanya dia simpan dalam benaknya.

“Ah enggak juga,” kata Bian dengan nada santai.

Mama mendecih, lalu kini beralih menatap awan-awan yang seolah bergerak malu-malu di atas kepala mereka. “Dulu Mama kalau lagi gak tenang, banyak pikiran, sedih, atau marah—pasti niupin awan.”

Bian diam menyimak. Dia yakin seribu persen kalau setelah ini, Mama pasti akan kembali mengatakan sesuatu.

“Soalnya Mama percaya kalau ngelakuin itu bisa bikin beban pikiran sama beban perasaan kita ilang, walaupun sedikit,” timpal Mama.

Nahkan, benar dugaannya!

Lantas Bian cekikikan. “Itu teori aneh dari mana coba?”

Wajah Mama yang sebelumnya cerah, tiba-tiba saja mendung. Wajar saja, sebab tawa Bian lebih terdengar seperti sebuah ejekan menyebalkan di telinga Mama. Sorot matanya jengkel, sambil mendongak menatap Bian. “Terus aja ketawa, udah tau Mama lagi serius!” seru Mama.

Lalu tanpa memberi aba-aba sedikitpun, jemari Mama terampil mencubit perut Bian dengan gemas hingga bocah itupun memekik tak tertahan. “AKHH GILA SAKIT BANGET?!” Kalau harus dideskripsikan, perih sekali rasanya.

“Nyebelin banget lagian jadi anak!” Dan detik kemudian Mama melenggang pergi, meninggalkan Bian yang sibuk mengusap-usap oerutnya di area balkon.

Diam-diam Bian menahan senyuman. Ini pertama kalinya Mama menampakkan kekesalannya secara langsung di hadapan Bian. Ada perasaan aneh yang muncul dalam benak Bian. Bukankah ini artinya di antara Bian dan Mama tidak ada lagi perasaan canggung seperti sebelumnya? Bukankah ini artinya Bian dan Mama sudah selayaknya seorang ibu dan anak laki-lakinya? Kemudian tanpa sadar Bian salah tingkah. Dia mendongak menatap awan, lalu meniup-niup udara seolah tengah meniup awan.

Satu detik, tiga detik, kemudian dia tersadar dan memukul ujung bibirnya sendiri. “Tolol, ngapain sih gue?”

Jeffrey mengangkat cangkir berisikan teh hijau hangat buatan Ratu, untuk bersulang. Niat hati meneguk whiskey malam ini harus ia urungkan sebab besok pagi ada rapat penting dengan salah seorang klien. Bibir cangkir miliknya dan Ratu saling beradu. Menyebabkan suara dentingan memecah keheningan di antara mereka berdua.

Sebelumnya Ratu sempat tertidur, tapi ia langsung terbangun kala suara klakson mobil Aston Martin milik Jeffrey mengganggu rungunya. Kemudian teringat bahwa hari ini tepat perayaan delapan belas tahun pernikahan mereka.

Dan yang paling mirisnya Ratu lupa menyiapkan apapun sejak pagi. Ia bahkan ketiduran. Lantas, kini di hadapan Ratu—Jeffrey tengah cemberut. Bagaimana tidak? Sebelumnya, Jeffrey dengan wajah secerah cahaya matahari siang tadi, menggenggam sebuah box berisikan tas limited edition yang beberapa hari lalu sempat Ratu idam-idamkan untuk dijadikan hadiah di hari spesial mereka. Kemudian, Ratu hanya menyambutnya di depan pintu dengan piyama yang sudah compang-camping serta rambut kusut sebab sudah bercinta dengan kasur bahkan sejak matahari belum sepenuhnya tenggelam.

“Aku masih speechless, bisa-bisanya kamu lupa,” kata Jeffrey sarkas.

Jeffrey memutar bola matanya kesal. “Aku nyiapin hadiah buat kamu dari jauh-jauh hari, tapi kamu apa? Teh doang?” Jeffrey terus menggerutu seperti itu sejak tadi. Namun, tangan kirinya setia menggenggam tangan Ratu di atas meja makan.

Sementara itu Ratu tiba-tiba saja melempar sebuah senyum kepadanya. Senyum yang terkesan sedih, pahit, dan sejenisnya. “Aku minta maaf, ya? Akhir-akhir ini pikiran aku kurang fokus. Gimana kalau weekend ini kita diner di luar, sama Bian? Buat ngerayain anniversary kita.”

Seolah terhipnotis ucapan Ratu barusan, raut wajah Jeffrey melunak. Segera ia letakkan cangkir tehnya, dan melompat dari kursi. Jeffrey mengangkat Ratu tanpa memberikan aba-aba terlebih dahulu. “Dimaafin, tapi malem ini aku mau dinner menu spesial dulu!”

Seketika jantung Ratu rasanya jatuh ke perut. “APA?!”

“Jangan berisik, Ra. Nanti Bian kebangun!”


Jeffrey membaringkan tubuh Ratu di atas ranjang dengan hati-hati. Bukan seperti di cerita-cerita lama kebanyakan yang tokoh prianya mungkin akan melempar sang wanita begitu saja ke atas ranjang kala nafsu mulai menguasai dirinya. Jeffrey masih menggunakan akal sehatnya. Jelas ia tidak akan mau melihat istrinya kesakitan karena dilempar seperti itu.

Ratu terengah-engah mengatur napasnya. Ini bukan yang pertama, tapi entah kenapa rasa-rasanya acapkali melihat Jeffrey dengan tatapan mata seolah membakarnya—Ratu kewalahan. Dia ikut menggila, dan kesulitan mengatasi perasaan terbakar itu.

“Ra, aku ... boleh?” Jeffrey setengah mengerang memecah fokus Ratu kemudian.

Rona merah memenuhi pipi Jeffrey. Mungkin tak hanya pipi, tapi telinganya juga ikut memerah. Tangannya menyentuh rahang Ratu yang kini berada di bawahnya kukungannya dengan lembut. Belum ada jawaban yang keluar dari mulut Ratu.

Tentu saja, Ratu membeku. Bingung harus menjawab seperti apa. Dalam benaknya beranggapan mungkin ada baiknya kalau langsung mulai keintinya saja daripada harus bertanya terlebih dahulu. Memangnya siapa yang tidak akan canggung jika ditempatkan di situasi seperti ini?

Dan disaat yang bersamaan, kala Ratu tengah bergelut dengan pikirannya sendiri, tangan Jeffrey mencengkram pinggul Ratu erat-erat.

“Ra?”

“Iya. Boleh,” kata Ratu cepat. Ia tersesat dalam napsunya sendiri.

Sontak mata Jeffrey turun, menjamah tubuh Ratu dari dada hingga ke bagian bawahnya yang sensitif, lalu kembali memfokuskan pandangannya pada wajah Ratu. Rahangnya mengeras seketika.

Tanpa sadar Jeffrey menekan paksa bagian bawahnya yang masih tertutup rapat, menyebabkan Ratu meloloskan sebuah lenguhan dari bibirnya. Jeffrey gila. Permainannya membuat Ratu gila, dan putus asa.

Hanya karena satu, atau dua sentuhan saja—Jeffrey seolah mampu menguasai tubuh Ratu.

“Aku benci banget sama cara kamu, Mas.”

Mendengar itu lantas Jeffrey terkekeh di tengah-tengah kegiatannya. Ia menarik tubuhnya dari atas Ratu, lalu berjalan santai ke arah lemari sambil melucuti piyama bagian atasnya.

“Sinting! Gak jadi?” pekik Ratu.

Awalnya ia kira Jeffrey mengurungkan niatnya atau apa, kemudian ingin mengganti pakaian—ternyata ia salah. Jeffrey mengeluarkan sebuah alat kontrasepsi dari dalam laci lemari pakaian mereka.

“Aku gak mau dimusuhin Bian karna tiba-tiba munculin bayi dalem perut kamu tanpa minta izin sama sekali ke dia,” tutur Jeffrey.

Selanjutnya Ratu dapat melihat Jeffrey yang kembali berjalan mendekat ke arahnya dengan tatapan siap menyantapnya setelah ini. Namun, sebelum itu ia sengaja memadamkan beberapa lampu dalam kamar mereka yang cukup luas. Menyisakan satu lampu menyala dengan cahaya temaram untuk melewati malam panjang mereka berdua kali ini.


Is your punishment, Ra, tapi ini jadi hadiah buat aku. Happy Anniversary, Sayang.”

Jeffrey mengangkat cangkir berisikan teh hijau hangat buatan Ratu, untuk bersulang. Niat hati meneguk whiskey malam ini harus ia urungkan sebab besok pagi ada rapat penting dengan salah seorang klien. Bibir cangkir miliknya dan Ratu saling beradu. Menyebabkan suara dentingan memecah keheningan di antara mereka berdua.

Sebelumnya Ratu sempat tertidur, tapi ia terbangun kala suara klakson mobil Aston Martin milik Jeffrey mengganggu rungunya. Kemudian teringat bahwa hari ini tepat perayaan delapan belas tahun pernikahan mereka.

Dan yang paling mirisnya Ratu lupa menyiapkan apapun sejak pagi. Ia bahkan ketiduran. Lantas, kini di hadapan Ratu—Jeffrey tengah cemberut. Bagaimana tidak? Sebelumnya, Jeffrey dengan wajah secerah cahaya matahari siang tadi, menggenggam sebuah box berisikan tas limited edition yang beberapa hari lalu sempat Ratu idam-idamkan untuk dijadikan hadiah di hari spesial mereka. Kemudian, Ratu hanya menyambutnya di depan pintu dengan piyama yang sudah compang-camping serta rambut kusut sebab sudah bercinta dengan kasur bahkan sejak matahari belum sepenuhnya tenggelam.

“Aku masih speechless, bisa-bisanya kamu lupa,” kata Jeffrey sarkas.

Jeffrey memutar bola matanya kesal. “Aku nyiapin hadiah buat kamu dari jauh-jauh hari, tapi kamu apa? Teh doang?” Jeffrey terus menggerutu seperti itu sejak tadi. Namun, tangan kirinya setia menggenggam tangan Ratu di atas meja makan.

Sementara itu Ratu tiba-tiba saja melempar sebuah senyum kepadanya. Senyum yang terkesan sedih, pahit, dan sejenisnya. “Aku minta maaf, ya? Akhir-akhir ini pikiran aku kurang fokus. Gimana kalau weekend ini kita diner di luar, sama Bian? Buat ngerayain anniversary kita.”

Seolah terhipnotis ucapan Ratu barusan, raut wajah Jeffrey melunak. Segera ia letakkan cangkir tehnya, dan melompat dari kursi. Jeffrey mengangkat Ratu tanpa memberikan aba-aba terlebih dahulu. “Dimaafin, tapi malem ini aku mau dinner menu spesial dulu!”

Seketika jantung Ratu rasanya jatuh ke perut. “APA?!”

“Jangan berisik, Ra. Nanti Bian kebangun!”


Jeffrey membaringkan tubuh Ratu di atas ranjang dengan hati-hati. Bukan seperti di cerita-cerita lama kebanyakan yang tokoh prianya mungkin akan melempar sang wanita begitu saja ke atas ranjang kala nafsu mulai menguasai dirinya. Jeffrey masih menggunakan akal sehatnya. Jelas ia tidak akan mau melihat istrinya kesakitan karena dilempar seperti itu.

Ratu terengah-engah mengatur napasnya. Ini bukan yang pertama, tapi entah kenapa rasa-rasanya acapkali melihat Jeffrey dengan tatapan mata seolah membakarnya—Ratu kewalahan. Dia ikut menggila, dan kesulitan mengatasi perasaan terbakar itu.

“Ra, aku ... boleh?” Jeffrey setengah mengerang memecah fokus Ratu kemudian.

Rona merah memenuhi pipi Jeffrey. Mungkin tak hanya pipi, tapi telinganya juga ikut memerah. Tangannya menyentuh rahang Ratu yang kini berada di bawahnya kukungannya dengan lembut. Belum ada jawaban yang keluar dari mulut Ratu.

Tentu saja, Ratu membeku. Bingung harus menjawab seperti apa. Dalam benaknya beranggapan mungkin ada baiknya kalau langsung mulai keintinya saja daripada harus bertanya terlebih dahulu. Memangnya siapa yang tidak akan canggung jika ditempatkan di situasi seperti ini?

Dan disaat yang bersamaan, kala Ratu tengah bergelut dengan pikirannya sendiri, tangan Jeffrey mencengkram pinggul Ratu erat-erat.

“Ra?”

“Iya. Boleh,” kata Ratu cepat. Ia tersesat dalam napsunya sendiri.

Sontak mata Jeffrey turun, menjamah tubuh Ratu dari dada hingga ke bagian bawahnya yang sensitif, lalu kembali memfokuskan pandangannya pada wajah Ratu. Rahangnya mengeras seketika.

Tanpa sadar Jeffrey menekan paksa bagian bawahnya yang masih tertutup rapat, menyebabkan Ratu meloloskan sebuah lenguhan dari bibirnya. Jeffrey gila. Permainannya membuat Ratu gila, dan putus asa.

Hanya karena satu, atau dua sentuhan saja—Jeffrey seolah mampu menguasai tubuh Ratu.

“Aku benci banget sama cara kamu, Mas.”

Mendengar itu lantas Jeffrey terkekeh di tengah-tengah kegiatannya. Ia menarik tubuhnya dari atas Ratu, lalu berjalan santai ke arah lemari sambil melucuti piyama bagian atasnya.

“Sinting! Gak jadi?” pekik Ratu.

Awalnya ia kira Jeffrey mengurungkan niatnya atau apa, kemudian ingin mengganti pakaian—ternyata ia salah. Jeffrey mengeluarkan sebuah alat kontrasepsi dari dalam laci lemari pakaian mereka.

“Aku gak mau dimusuhin Bian karna tiba-tiba munculin bayi dalem perut kamu tanpa minta izin sama sekali ke dia,” tutur Jeffrey.

Selanjutnya Ratu dapat melihat Jeffrey yang kembali berjalan mendekat ke arahnya dengan tatapan siap menyantapnya setelah ini. Namun, sebelum itu ia sengaja memadamkan beberapa lampu dalam kamar mereka yang cukup luas. Menyisakan satu lampu menyala dengan cahaya temaram untuk melewati malam panjang mereka berdua kali ini.


Is your punishment, ra. Tapi ini jadi kado anniversary buat aku.”

Kalau ada yang lebih gila dari seorang Sabian Aditama, mungkin Zaid orangnya. Memang benar sih kalau niat hati Zaid memberi tumpangan pada Bian itu baik. Bahkan dengan sangat bangga dia mengatakan kalau Bian lah orang pertama yang dia bonceng dengan motor barunya itu. Bian memijit pelipisnya, pening. Pasalnya motor yang dia lihat dihadapannya ini belum memiliki plat sama sekali.

“Lo tolol banget sih, Id? Gak kuat gue berteman sama lo.”

“Namanya juga motor baru.”

Entah, mungkin memang demikianlah definisi motor baru menurut Zaid. Kinclong, keset, serta tanpa plat motor di bagian depan dan belakangnya. Bian sudah terlalu malas menyuarakan banyak pendapat. Toh, nantinya akan dianggap angin lewat oleh kawannya itu. Beruntungnya bocah seperti Zaid tau banyak jalan tikus di Jakarta—kalau tidak, pasti dia sudah terkena tilang dengan pasal berlapis sejak berangkat ke sekolah pagi tadi.

Bian menghela napas panjang. Dia pasrah. Lagipula dia sudah sekonyong-konyong meminta Mama untuk tidak menjemputnya hari ini.

“Cepetan naik,” kata Zaid.

Dan dengan gerak yang sengaja disentak-sentak, Bian menaiki jok bagian belakang. “Bensin ada, kan?” tanya Bian memastikan.

Zaid mengangguk, “Tapi tetep harus lo isiin.” Kemudian, setelah mengatakan itu motornya langsung melancong meninggalkan area sekolah. Kalau saja Zaid tidak tengah mengendarai motor, mungkin Bian akan memukul kepalanya, atau bahkan mencekiknya (?) Mengingat batas kesabaran Bian sangat minim—bisa-bisanya dia yang menawarkan tumpangan, tapi Bian yang harus bertanggung jawab urusan bensi.


Langit sudah sore, dan jam menunjukkan pukul 15:23 waktu Indonesia bagian Barat. Motor baru Zaid meliuk-liuk di dalam sempitnya komplek perumahan warga, pasar, serta jalanan satu arah lainnya. Yang jelas bukan jalanan raya lengkap dengan seorang polisi pada setiap pengkolannya. Diam-diam Bian membayangkan dirinya yang tengah mengendarai motor, dan alih-alih Zaid—dia akan membonceng Diajeng Pramesti keliling Jakarta. Konyol. Bian bahkan tidak begitu tahu seluas apa kota Jakarta. Dia kan hanya anak laki-laki rumahan yang hanya akan keluar kalau diajak oleh Zaid atau Ozi.

“Pegangan, Sayang. Nanti kamu ketiup angin.”

“Najis!” seru Bian sesaat kemudian, setelah mendengar candaan bodoh yang keluar dari mulut Zaid.

Sementara itu Zaid terbahak-bahak sembari menyetir. Biasalah, kebahagiaannya karena memiliki motor baru itu tak terbendung.

Bian terkekeh. Kadang, meski perkataan Zaid mampu mengalahi pedasnya sambal buatan Mama, tapi dia ada benarnya. Bian bukan anak yang anti sosial, hanya saja dia malas kalau harus beradaptasi dengan lingkungan baru. Bian tipikal orang yang kalau tidak disapa duluan, maka dia tidak akan menyapa terlebih dahulu. Kata Ozi soal Bian yang kurang suka diberi perintah juga ada benarnya. Belum lagi emosi Bian yang cenderung tidak stabil dan masih kekanak-kanakan, pasti akan sangat merepotkan kalau-kalau dia menjadi anggota OSIS nantinya.

Kala tengah bergelut dengan pikirannya, tiba-tiba saja sebuah tangan menyentuh punggung Bian yang pada saat itu memang sedang duduk di bawah karena memasang sepatu.

“Udah belum?” tanya Papa.

Bian mengangguk. Sebenarnya dia sudah selesai memasang sepatu sejak tadi, dan tetap diam di sana karena dia pikir Papa masih memanaskan mobil.

Pagi itu cerah, Bian diantar Papa ke sekolah. Tidak diragukan lagi, Papa benar-benar berubah—Bian suka Papa yang sekarang. Seperti ayah-ayah dalam film tema keluarga cemara kebanyakan. Tak pernah sekalipun Bian melihat Papa pulang larut malam seperti sebelum-sebelumnya. Bahkan kini Papa sendiri yang menawarkan untuk berangkat bersama meski arah sekolah Bian dan kantor Papa berlawanan.

Batin bocah itu sekali, dua kali, tidak apa-apa. Nanti dia akan minta kembali seperti semula, diantar Mama atau bisa jadi berangkat dengan Zaid menggunakan motor barunya.

Seat belt memeluknya erat. Cara Papa mengemudi mobil terasa sangat berbeda dengan Mama kalau dilihat dari kursi penumpang bagian depan. Papa jauh lebih tenang. Pandangan fokus ke depan, dan setiap tikungannya dibabat habis tanpa guncangan kasar sedikitpun.

Untuk beberapa detik Bian merasa kalau Papa sangat keren dengan setelan jas, duduk di balik kursi pengemudi. Ah, Bian mau jadi Papa.

“Nanti semester dua, mau mulai les gak?”

Perihal les ini, memang sudah sejak lama dia dengar dari sang mama. Waktu itu belum berniat untuk mengikuti les sama sekali. Tapi karena kali ini Papa yang bertanya langsung, atmosfernya seakan berbeda.

“Mau, tapi boleh gak Bian yang pilih tempat lesnya?” tanya Bian hati-hati.

Lantas kening Papa bertautan. “Gak mau di tempatnya Ozi aja?” kata Papa.

Bian menggeleng. Selain karena dia bosan bertemu Ozi lagi Ozi lagi, Bian ingin satu tempat les dengan gadis bendahara kelas. Siapa lagi kalau bukan Diajeng Pramesti? Membayangkan bagaimana rasanya berangkat dan pulang les bersama, Bian cengar-cengir sendiri.

“Bian mau les di tempat lain.”

Mendengar itu, Papa hanya manggut-manggut. Yang penting Bian mau les—itu saja sudah cukup.

Kemudian hening beberapa saat. Bukan. Bukan karena mereka canggung, melainkan memang belum ada topik yang bisa dijadikan obrolan. Tapi bukan Bian namanya kalau pasrah begitu saja. Ngomong-ngomong soal Zaid dan motornya sedikit mengganggu pikiran Bian sejak tadi. Dia kan juga sangat ingin memiliki motor sejak lama. Lalu muncul sebuah ide untuk Bian mengangkat topik tersebut ke permukaan.

“Papa.”

“Apa?”

“Jaid udah punya motor, masa Bian enggak?” Dengan tampang yang sengaja dimelas-melaskan Bian berkata demikian.

“Motornya apa?”

“Motor matic,” jawab Bian sambil cengengesan.

Sementara Papa menghela napas berat. “Papa kan udah pernah bilang, kalau kamu maunya motor matic udah Papa beliin dari lama. Masalahnya motor yang kamu mau itu pasti lain dari yang lain.”

Apa yang Papa katakan tidak salah, sih. Bian sering kali melihat-lihat motor yang terparkir di lahan kosong sekolahnya, dan dia memang tidak pernah melihat ada siswa yang membawa motor persis seperti motor impiannya.

Bian menjebik. Lagi lagi dia harus menerima kenyataan pahit, penolakan Papa.

“Pokoknya Mama gak mau nonton film horror, Bi!”

Padahal Bian masih sibuk memilah-milah film apa yang harus dia putar sore itu, tapi Mama sudah menggerutu bahkan sejak mereka baru saja duduk di ruang keluarga. Takut kalau-kalau film yang akan Bian putar setelah ini bergenre menyeramkan. Lucunya raut wajah Mama seolah menggambarkan betapa dia panik bukan main.

“Mama sekali ngomong aja, Bian udah denger.”

“Tapi kamu gak nyaut dari tadi,” kata Mama. Detik berikutnya layar televisi di hadapan mereka menampilkan opening dari sebuah film Disney. Mama melongo tak percaya. “Princess, Bi?”

Belasan tahun membesarkan Sabian Aditama, baru kali ini Mama tahu kalau anak laki-laki itu penggemar film Disney. Mama tak menyangka. Sebenarnya ini sisi gelap atau sisi terang anak Bian? Entahlah, tapi diam-diam Mama menarik sudut bibirnya. Dan, seandainya Mama memiliki kaca spion layaknya sebuah motor, maka Mama dapat melihat betapa sumringahnya raut wajah Bian kala itu.

“Itu tokoh utamanya?”

Bian mengangguk semangat. “Iya, cantik kan?”

Bian menatap Mama dengan seksama. Berharap sang mama mengiyakan perkataannya. Namun, ternyata nihil. Respon Mama justru sebaliknya. Mama ngegeleng, “Wajahnya agak judes. Kamu suka yang kayak gitu?” tanya Mama.

“Iya—wajah Mama juga sama judesnya kalo lagi diem.”

“Masa, sih?”

Bian tertawa setelahnya. Dia sadar bahwa sejak hari di mana dia meninggalkan rumah sakit, tawanya tak pernah lagi dia tahan. Bahagianya selalu dia ekspresikan keluar. Ini konyol, tapi itu yang Bian rasakan. Kadang ada kalanya Bian terus membuntuti Mama untuk sekedar menanyakan hal-hal yang sejatinya tidak begitu penting. Lebih tepatnya seperti basa-basi tak bermutu untuk mencuri perhatian Mama.

“Ini filmnya aneh banget. Mendingan nonton Naruto the movie, Bi. Dulu Mama sama Papa suka nonton bareng film gituan.”

“Pas pacaran?” tanya Bian penasaran. Kini dia menggeser tubuhnya, mendekat ke arah Mama seolah sangat tertarik dengan topik yang baru saja Mama bahas.

“Mama gak pernah pacaran sama Papa kamu.”

Baik, anggap saja Bian berlebihan. Matanya kini membola, tak percaya. “Mama ... hamil duluan?”

Mama nyaris lupa bagaimana caranya bernapas dengan baik. Darahnya berdesir hebat. Bocah itu kalau bicara kadang seenaknya, persis seperti sang papa tapi dengan versi dua kali lipat lebih mematikan.

“Iya? Kok gak jawab?”

“Mama gak sanggup sama mulut kamu. Bisa-bisanya!”

Bugh!

Bian tertawa. Tawanya puas, menggema dalam satu ruangan hingga Budhe Lasih—asisten rumah tangga mereka itu mengintip dari arah lantai dua. Eksistensi Bian di rumah itu sepertinya mulai meningkat. Bahkan Budhe Lasih ikut tersenyum kala itu. Sebagai saksi bagaimana dinginnya sikap Bian beberapa tahun terakhir, tanpa sadar Budhe Lasih mengucap syukur dalam hati.

Sementara Mama mendengus kesal.

“Mama ini cewek baik-baik tau!”

Baiklah, kali ini wajah Bian mulai serius. “Terus gimana ceritanya, kok gak pacaran tapi bisa nikah? Mama cinta gak sama Papa?”

Jauh di luar dugaan, wajah Mama merona seketika. “Cinta....”

Kalau boleh jujur, saat ini Bian menahan tawanya setengah mati. Ingin sekali rasanya mengolok-olok ekspresi Mama, tapi dia takut minat sang mama untuk bercerita jadi hilang seketika. Serius. Pasalnya wajah Mama hampir semerah tomat.

Lantas Bian berdehem, “Ceritain,” rengeknya. Tangan Bian secara spontan merangkul lengan Mama.

Mama hanya bisa pasrah. Mana tahan melihat Bian seperti merengek begitu? Jelas batin Mama kewalahan!

“Dulu Mama sama Papa temenan dari SD, SMP, SMA, kuliah, sampai kerja. Mama gak boong, Mama beneran gak pernah pacaran sama Papa. Tapi ... waktu kita sama-sama udah kerja, Papa kamu ngelamar Mama dan gak lama dari sana kita nikah.”

Dan hal pertama yang keluar dari mulut Bian adalah sebuah decihan tak percaya. “Boong, kan?”

Mama menerawang langit-langit ruang keluarga yang seakan memperlihatkan bagaimana kisah masa mudanya dengan Papa dahulu. Lucunya, sekarang sudah ada Bian di antara mereka yang perilaku serta wajahnya seperti fotokopian Papa.

Lagi-lagi Bian dapat melihat wajah Mama yang merona. Dan dengan begitu dia yakin seberapa besar Mama mencintai Papa.

“Mama sih gak maksa kamu buat percaya, tapi kenyataannya emang kayak gitu. Papa itu terbaik dari yang paling baik. Dia keliatannya diem, kayak gak ngelakuin pergerakan apa-apa tapi sebenernya Papa yang paling peduli sama Mama waktu itu—persis kayak yang dia lakuin ke kamu, Bi,” tutur Mama. Sorot matanya tak sekalipun beranjak dari Bian. Seolah Mama menyampaikan segalanya tanpa dibuat-buat sedikitpun.

Bian melenguh, sebenarnya muncul sedikit perasaan bersalah soal beberapa hari yang lalu. Bicara empat mata dengan Mama tidak seburuk itu. Dia suka hangatnya tatapan Mama. Dan kenapa dia baru sadar kalau harum sampo Mama sangat berbeda dari aroma ibu-ibu kebanyakan?

Agaknya Bian ingin kembali mengulang sesi bicara santai seperti ini dengan Mama untuk beberapa kali lagi kedepannya. Kalau bisa sih lengkap bersama Papa.

“Mama gak pernah ada rasa pengen pacaran?”

“Pernah.”

“Terus gimana?”

Mama tersenyum. “Mama pacaran sama orang lain, tapi cuman beberapa bulan, lupa putusnya karna apa. Terus abis itu kalau ke mana-mana berdua lagi sama Papa—”

“—kamu sendiri gimana sama yang waktu itu ikut ke rumah sakit?”

Bian tercekat. Bingung harus memberikan jawaban seperti apa. Masih belum cukup keberaniannya.

“Emangnya ... boleh...?”

Sontak tangan Mama menyentuh pucuk kepala Bian. Diusapnya dengan penuh perhatian seraya tersenyum hangat. “Kalau menurut Mama, keputusan yang kayak gitu tuh ada di tangan Bian. Pacaran aja, Mama gak pernah ngelarang—Mama yakin Papa juga gak akan ngelarang. Yang paling penting dia anak baik-baik, soalnya Mama gak mau anak Mama ini rusak. Sama satu lagi ... harus tau batasannya. Gak boleh berlebihan, karna semua yang berlebihan itu gak baik.”

Dan kemudian, sore itu ditutup dengan gurat senyum manis Mama di seluruh penjuru dunia.

“Kamu ngapain, sih, cengar-cengir kayak gitu?”

Mendengar suara bariton Papa yang tiba-tiba saja menegurnya itu, Bian panik bukan main. Meski sadar betul bahwa sama sekali belum ada kejelasan tentang hubungan seperti apa yang Bian jalani dengan si gadis bendahara, tapi tetap saja Bian takut kalau-kalau Papa sampai tau soal dirinya yang super rajin bertukar pesan dengan anak perempuan di kelasnya itu.

“Gak ngapa-ngapain, tuh?” kata Bian, kemudian menunjukkan layar ponselnya yang menampilkan menu utama.

Sebelah alis Papa naik, sengaja memberikan tatapan intimidasi ke arah Bian. “Kamu gak kayak Zaid, kan, Bi?”

Tunggu, ini apaan ya maksudnya?

“Maksud, Papa?”

Papa menggeleng cepat. Khawatir jika salah bicara lagi, bisa-bisa Ozi kembali diserang menggunakan tinju, tapi kali ini oleh Zaid. Toh yang sebelumnya Papa tangkap adalah ekspresi cengangas-cengenges Bian—bukan ekspresi seperti bocah yang tengah menonton film biru dalam kegelapan bilik rumah sakit.

“Gak jadi. Dagu kamu masih sakit, gak?”

“Udah enggak. Ngomong-ngomong ini Bian yang sakit, kok malah Mama yang tidur seharian?” Bian melirik Mama yang terus terlelap sejak tadi siang di atas sofa. Bahkan, sepertinya seingat Bian—Mama tidak merubah posisinya sedikitpun.

Papa terkekeh, sambil menarik sebuah kursi untuk duduk di samping ranjang tempat Bian berbaring.

“Waktu kamu belum sadar, Mama gak mau tidur sama sekali. Kamu itung aja, dari jam sepuluh malem sampai besok paginya. Cuman karna takut kamu kenapa-napa pas Mama lagi tidur.”

“Kan ada Dokter. Papa ... gimana? Tidur?”

“Anak satu-satunya abis ilang, dan ditemuin dalam keadaan berdarah-darah. Istrinya nangis semaleman. Terus kamu pikir, Papa bisa tidur?”

Sebenarnya tanpa perlu Papa jawab pun, Bian sudah tahu. Melihat penampilan Papa yang carut-marut padahal biasanya super rapi saja sudah aneh. Baik Papa, dan Mama—keduanya pasti sama-sama kurang istirahat.

Lantas sekelebat ingatan soal Papa yang melarangnya untuk ikut pergi ke perkemahan tiba-tiba saja muncul. Bian menghela napas panjang. Dalam benaknya dia membatin kalau sang papa pasti ada hubungannya dengan Mbak Rara, yang namanya sering kali disebut-sebut di televisi sebagai peramal sekaligus pawang hujan yang sangat sakti mandraguna! Pantas saja turun hujan di perkemahan tersebut selama seharian penuh.

“Kamu lagi ngomongin Papa di dalem hati, ya?”

“Enggak.”

“Alah boong! Buktinya mata kamu ke kanan-kiri gitu.”

Lalu dengan bodohnya Bian menaik-turunkan tatapannya. “Enggak, nih. Sekarang ke atas-bawah,” kata Bian.

Sontak keduanya tergelak di keheningan malam itu. Lucu sekali. Sementara tak lama setelah itu, Mama terbangun dari tidurnya. Sepertinya hampir terkejut karena minimnya pencahayaan. Maklum—tidur sejak siang, dan begitu bangun sudah larut malam.

“Kok gak ada yang bangunin Mama?”

Mama berjalan sempoyongan menuju Bian. Dan, hal pertama yang Bian lakukan kala matanya bertemu tatap dengan Mama adalah mendudukkan tubuhnya sendiri, sebelum akhirnya menepuk sebuah spot kosong di atas ranjangnya.

Sesuai seperti yang Bian minta, Mama pun naik dan duduk dengan manis di hadapan Bian. Kemudian diraihnya tangan Bian, “Jangan mampir ke sini lagi, Bi. Mama gak suka liat kamu tiduran di kasur rumah sakit.” Kalau saja cahaya lampu tidak temaram saat ini, mungkin Mama dapat melihat semburat merah pada pipi Bian.

Duduk di antara Papa dan Mama—Bian senang, tapi salah tingkah.

“Bian ... minta maaf.”

“Buat apa?” tanya Papa.

“Ngerokok ... sama nekat pergi kemah....”

Untuk sesaat Bian merasa dunianya seakan berhenti, tatkala melihat respon Papa dan Mama yang hanya membisu.

Papa bangkit dari tempat duduknya semula. “Papa juga minta maaf soal Oji.” Kemudian Papa sekonyong-konyong menepuk pundak Bian dengan penuh tenaga.

“AH SAKIT!”

“Lebay banget, sih?” kata Papa.

“Papa!”

Bian terkekeh geli tatkala Mama melayangkan tatapan seolah berarti 'Lo macem-macem ke anak gue, awas aja lo!'

“Marahin aja, Ma! Kaga kira-kira dia mukulnya”

“Demi Tuhan cuman aku usap, Ra!” seru Papa memberi pembelaan.

“Jelas-jelas bunyinya bukh!” timpal Mama, dan sudah dipastikan Bian menang melawan Papa malam ini.

Musik Saya · Andaikan Kau Datang Kembali – Koes Plus

Malam itu hujan turun dengan derasnya, mengguyur hampir seluruh komponen kota Jakarta. Bian duduk mematung di sebuah kursi plastik yang mengarah langsung pada dua buah pigura klasik milik Papa dan Mama. Pandangannya kosong. Seolah tak mampu lagi untuk mengeluarkan ekspresi kesedihan apapun. Bibir pucat keunguan, serta jejak air mata bocah itu seakan sudah mampu mengatakan pada dunia betapa kehilangannya dia saat ini.

Suara petir menjelma menjadi iring-iringan keramaian rumah Bian. Dia gemetar. Pundak hingga kakinya seolah tak lagi dapat dia kontrol dengan otaknya. Semua orang berlalu-lalang. Bergantian satu per satu untuk mengucapkan kalimat selamat tinggal bagi sang mendiang di depan sana, di dalam peti mati yang tampak sangat apik karena diukir dan dipernis sedemikian rupa.

Ada beberapa suara tangisan yang sesekali memekakkan telinga Bian. Tangis pilu yang memanggil-manggil nama Papa dan Mama secara bergantian. Namun, tak ada seorangpun yang menghampirinya, menguatkan pundaknya, atau bahkan memeluknya sebagai bentuk ungkapan turut berbelasungkawa.

Semua orang mengacuhkan Bian. Sebab bagi mereka—Bian lah orang yang bertanggung jawab atas kematian orang tuanya sendiri.

Bian dapat melihat Ozi dan Zaid berjalan dengan masing-masing keluarga mereka mendekati peti tersebut. Peti tempat Papa dan Mama terbaring kaku. Namun, tak satupun dari kedua temannya itu yang menoleh ke arahnya. Bian terpuruk dan dikucilkan, tepat di hari paling menyedihkan dalam hidupnya.

Bahkan saat dia beranjak untuk mengucapkan salam perpisahan, serta memanjatkan sebuah doa atas mendiang Papa dan Mama—dua orang tak dikenal dengan tubuh besar dan pakaian serba hitam memblokir jalannya.

Tak peduli sekeras apapun Bian berontak, dan berteriak—mereka tak sedikitpun memberi celah. Tidak seorangpun membantunya untuk lolos dari belenggu kedua orang yang menghalanginya itu.

“PAPA! MAMA!!” pekik Bian tatkala peti di depan sana perlahan-lahan mulai ditutup.

“ENGGAK! GAK BOLEH! JANGAN DITUTUP DULU PETINYA!”

Tangis Bian pecah seketika.

Di antara ramainya suara gelegar petir yang saling bersahutan, ingatan-ingatan tentang masa lalu Bian terputar begitu saja di kepalanya. Ada perasaan perih dalam hatinya. Seandainya dia sadar lebih cepat, Bian mungkin akan menekan egonya dalam-dalam. Seandainya dia diberikan satu kesempatan lagi, Bian ingin duduk di tengah-tengah Papa dan Mama sambil menceritakan semuanya hal tentangnya, mengutarakan apa keinginannya, serta mengatakan sebanyak mungkin betapa dia menyayangi keduanya. Seandainya diberi sedikit waktu saja, Bian ingin setidaknya meminta maaf untuk terakhir kalinya.

Namun nasi telah menjadi bubur. Bian hanya mampu menjerit sejadi-jadinya kala melihat peti di hadapannya itu kini telah terbakar di antara kobaran api berwarna merah yang entah darimana asalnya.

Kemudian sunyi dan dingin. Tak ada lagi orang-orang di sana. Hanya ada Bian dan menangis pilunya menyaksikan peti tersebut lama-kelamaan menghilang sebab mulai berubah menjadi butiran abu.

“SABIAN!”

Bian membelalakkan matanya seketika. Jantungnya bergemuruh kencang, sementara keningnya kini dibasahi peluh yang bercucuran. Sepasang matanya tak berkedip sekalipun saat melihat wajah Papa yang begitu nyata, ada di dekatnya. Napas Bian tersengal-sengal, tak karuan. Dia baru saja mimpi buruk.

“Kamu kenapa?” tanya Papa dengan nada khawatir.

Bian tidak mampu mencegah air matanya jatuh. Bian takut. Takut kehilangan Papa dan Mama.

Melihat itu, tanpa pikir panjang Papa menarik Bian masuk ke dalam dekapannya. Mengusap lembut punggung Bian dengan penuh perhatian. Mencoba menenangkan Bian semampunya.

“Ada yang sakit?”

Bian hanya menggeleng lemah dalam pelukan hangat Papa. Kalau boleh jujur, saat ini lidahnya bahkan terlalu kelu untuk bicara. Bian tidak pernah menyangka akan melihat kematian Papa dan Mama dalam mimpinya. Apalagi sampai harus seburuk 'itu'.

Bian membisu. Dadanya masih begitu nyeri.

“Mas, kata susternya Bian—BIAN UDAH SADAR?!”

Mendengar suara Mama yang melengking itu, Bian lantas melepas pelukan Papa dan mengusap wajah asal-asalan. Untuk sejenak dia mencoba mencerna apa yang sudah terjadi. Kenapa Mama muncul dengan membawa Ajeng di belakangnya? Gadis itu bahkan masih lengkap dengan celana training dan kaus warna coklat yang didapat dari perkemahan Pramuka. Tunggu, ini tanggal berapa? batin Bian. Bingung.

Mama meletakkan sebuah plastik berisikan beberapa obat-obatan milik Bian di atas nakas, kemudian menggantikan Papa untuk memeluk Bian. Agaknya sesuatu yang baru terjadi cukup membuat keluarga kecil ini sedikit shock.

“Kamu kenapa, sih, macem-macem aja. Ada aja tingkahnya yang bikin Mama kepikiran!” seru Mama sebelum melepaskan pelukannya, dan memegang pundak Bian erat-erat.

Bian mengerutkan keningnya, “Bian kenapa?” tanya Bian penasaran.

Saat itu juga, Bian dapat melihat sorot mata Mama berubah. Seperti ada penyesalan di sana, begitu pula dengan Papa. Tak ada jawaban yang keluar dari mulut mereka, lantas Bian melempar tatapannya pada Ajeng yang juga tengah menatapnya.

“Lo pergi abis marah-marah ke Kak Oji, kan? Terus semua orang nyariin lo, Bi. Gue, Zaid, Kak Oji, bahkan anak-anak lain akhirnya ikut nyariin lo—tapi gak ketemu. Semaleman itu semua orang kelilingin tempat perkemahan, sampe akhirnya ada anak IPS yang nemuin dalam keadaan gak sadar—” Ajeng mengarahkan jari telunjuk pada dagunya sendiri. “Lo kayanya jatoh, terus kena sesuatu—dagu lo sobek makanya dapet jaitan. Karna di sana gelap banget, kita semua gak ada yang tau lo kena apa. Lo sendiri pingsan karna ngeluarin banyak darah sama kedinginan,” tutur gadis itu dengan sangat jelas.

Tapi sepersekian detik, makin kebingungan. Agaknya Ajeng kembali menggunakan 'gue-lo' karena takut Mama dan Papa memikirkan hal yang tidak-tidak.

Selanjutnya Bian mencoba mengingat-ingat kejadian yang sebenarnya dia alami.

Kemarin malam tepatnya, saat emosinya tengah berada di puncak setelah mengetahui kalau Ozi sudah memata-matainya atas permintaan Papa—Bian pergi menjauh dari tenda-tenda peserta kemah. Langkah kakinya terus membawa Bian pergi entah ke mana. Kemudian, sepertinyanasib sial tengah mengikuti Bian hari itu. Lembabnya keadaan tanah membuat Bian tergelincir, jatuh terjerembab di dalam kegelapan malam. Usut punya usut, sepertinya luka jahitan pada dagu Bian disebabkan oleh patahan ranting pohon di sekitar tempat Bian terjatuh.

Dalam benak Bian mengucap syukur berkali-kali. Untung saja ada yang menemukan dia meski sudah dalam keadaan tidak sadar. Kalau tidak, mungkin dia sudah dikremasi hari ini.

“Nanti ada polisi yang mau tanya-tanya sedikit ke kamu, Bi. Jawab sesuai sama apa yang kamu alamin,” kata Papa.

“Apa? Polisi?”

“Papa kamu buat laporan ke kantor polisi gara-gara pihak dari sekolah lalai,” timpal Mama, kemudian mengusap pucuk kepala Bian.

Bian menggeleng cepat. Ini sama sekali bukan salahnya pihak sekolah, ini semua salah gue!

“Cabut laporannya, Pa. Ini semuanya salah Bian, Papa gak perlu lempar ke orang lain. Lagian Bian udah gapapa.”

“Dua belas jahitan di dagu, kamu bilang gapapa?”

Bian melirik ke arah Ajeng sesaat, kemudian menundukkan kepalanya. “Bian emosi ke Oji, Bian yang kabur, Bian yang cidera. Ini bukan salah pihak sekolah...,” cicit Bian, malu.

“Papa minta maaf tentang Oji.”

Ngomong-ngomong soal Ozi—setelah melihat Ozi yang tak acuh padanya dalam mimpi beberapa saat lalu, Bian jadi memikirkan kembali soal pertengkaran mereka. Dia sedikit menyesal sudah memukuli Ozi sampai sebegitunya. Sebab dalam mimpi rasanya seperti sangat kesepian kala tidak memiliki Ozi dan Zaid di sisinya. Bian menghela nafas panjang. Gue harus dengerin penjelasan dia sama Papa begitu pulang dari sini.

“Om, Tante ... karna Biannya udah siuman kayanya aku mau balik ke perkemahan dulu. Takut tasnya ditinggal sama yang lain.”

“Eh, sampai lupa bilang. Nanti kamu, Ozi, sama Zaid biar Om yang nganterin ke sana. Om juga mau ambil tasnya Bian.”

Bian dapat melihat bagaimana cara Papanya itu tersenyum pada gadis yang dia suka itu. Kalau dipikir-pikir, melihat Ajeng berdiri tak jauh dari Mama membuat keduanya tampak sedikit mirip karna gaya rambut mereka.

Tunggu, tadi Papa bilang apa?

“Oji sama Jaid di sini?!”

Ajeng mengangguk. Sudah pasti lah. Mana mungkin mereka berdua tetap asyik melakukan serangkaian kegiatan perkemahan tanpa Bian?

“Kak Ozi sama Zaid tadi katanya mau ke kantin rumah sakit. Laper deh, kayanya,” kata Ajeng menjawab pertanyaan Bian barusan.

Entah ada apa gerangan, tapi tiba-tiba saja Mama terkekeh. Membuat tiga orang lainnya keheranan.

“Mama kenapa?” tanya Bian dengan tampang polos.

Kemudian Mama sengaja mencondongkan tubuhnya. Berniat untuk membisikkan sesuatu pada Bian.

“Kamu harus cepet sehat, soalnya Mama liat-liat Ajeng gampang akrab sama orang. Nanti kamu ditikung sama Zaid atau Ozi.”

Lantas ekspresi Bian yang sebelumnya berangsur-angsur cerah, kini kembali gamang seketika.

Malam itu hujan turun dengan derasnya, mengguyur hampir seluruh komponen kota Jakarta. Bian duduk mematung di sebuah kursi plastik yang mengarah langsung pada dua buah pigura klasik milik Papa dan Mama. Pandangannya kosong. Seolah tak mampu lagi untuk mengeluarkan ekspresi kesedihan apapun. Bibir pucat keunguan, serta jejak air mata bocah itu sepertinya mampu mengatakan pada seluruh orang betapa kehilangannya dia saat ini.

Suara petir menjadi iring-iringan keramaian rumah Bian. Dia gemetar. Pundak hingga kakinya seolah tak lagi dan dia kontrol dengan otaknya. Semua orang berlalu-lalang. Bergantian satu per satu untuk mengucapkan kalimat selamat tinggal bagi sang mendiang di depan sana, di dalam peti mati yang tampak sangat apik karena diukir dan dipernis dengan sangat teliti.

Ada beberapa suara tangisan yang sesekali memekakkan telinga Bian. Tangis pilu yang memanggil-manggil nama Papa dan Mama secara bergantian. Namun, tak ada seorangpun yang menghampirinya, menguatkan pundaknya, atau bahkan memeluknya sebagai bentuk belasungkawa.

Semua orang mengacuhkan Bian. Sebab bagi keluarganya—Bian lah orang yang bertanggung jawab atas kematian orang tuanya.

Bian dapat melihat Ozi dan Zaid berjalan dengan masing-masing keluarga mereka mendekati peti tersebut. Peti tempat Papa dan Mama terbaring kaku. Namun, tak satupun dari kedua temannya itu menoleh ke arahnya. Bian terpuruk dan dikucilkan, tepat di hari paling menyedihkan dalam hidupnya.

Bahkan saat dia beranjak untuk mengucapkan salam perpisahan, serta memanjatkan sebuah doa atas mendiang Papa dan Mama—dua orang dengan tubuh besar dan pakaian serba hitam memblokir jalannya.

Tak peduli sekeras apapun Bian berontak, dan berteriak—mereka tak sedikitpun memberi celah. Tak ada yang membantunya dari belenggu kedua orang yang menghalanginya itu.

“PAPA! MAMA!!” pekik Bian tatkala peti di depan sana perlahan-lahan mulai ditutup.

“ENGGAK! GAK BOLEH! JANGAN DITUTUP DULU PETINYA!”

Tangis Bian pecah seketika.

Di antara ramainya suara gelegar petir yang saling bersahutan, ingatan-ingatan tentang masa lalu Bian terputar begitu saja di kepalanya. Ada perasaan perih dalam hatinya. Seandainya dia sadar lebih cepat, Bian mungkin akan menekan egonya dalam-dalam. Seandainya dia diberikan satu kesempatan lagi, Bian ingin duduk di tengah-tengah Papa dan Mama sambil menceritakan semuanya hal tentangnya, mengatakan apa keinginannya, serta mengatakan sebanyak mungkin betapa dia menyayangi keduanya. Seandainya diberi sedikit waktu saja, Bian ingin setidaknya meminta maaf untuk terakhir kalinya.

Namun nasi telah menjadi bubur. Bian hanya mampu menjerit sejadi-jadinya kala melihat peti di hadapannya itu kini telah terbakar di antara kobaran api berwarna merah yang entah darimana asalnya.

Tak ada lagi orang-orang di sana. Bian sendirian, menangis pilu menyaksikan peti tersebut lama-lama menghilang dilahap oleh api.

“SABIAN!”

Bian membelalakkan matanya seketika. Jantungnya bergemuruh kencang, sementara keningnya kini dibasahi peluh yang bercucuran. Sepasang matanya tak berkedip sekalipun saat melihat wajah Papa yang begitu nyata ada di dekatnya. Napas Bian tersengal-sengal, tak karuan. Dia baru saja mimpi buruk.

“Kamu kenapa?” tanya Papa dengan nada khawatir.

Bian tidak mampu mencegah air matanya jatuh. Bian takut. Takut kehilangan Papa dan Mama.

Melihat itu tanpa pikir panjang, Papa menarik Bian masuk ke dalam dekapannya. Mengusap lembut punggung Bian dengan penuh perhatian.

“Ada yang sakit?”

Bian hanya menggeleng lemah dalam pelukan hangat Papa. Kalau boleh jujur, saat ini lidahnya bahkan terlalu kelu untuk bicara. Bian tidak pernah menyangka akan melihat kematian Papa dan Mama dalam mimpinya.

Bian membisu. Dadanya masih begitu nyeri.

“Mas, kata susternya Bian—BIAN UDAH SADAR?!”

Mendengar suara Mama yang melengking itu, Bian lantas melepas pelukan Papa. Untuk sejenak dia mencoba mencerna apa yang sudah terjadi. Kenapa Mama muncul dengan membawa Ajeng di belakangnya? Gadis itu bahkan masih lengkap dengan celana training dan kaus warna coklat yang didapat dari perkemahan Pramuka. Tunggu, ini tanggal berapa? batin Bian.

Mama meletakkan sebuah plastik berisikan beberapa obat-obatan milik Bian di atas nakas, kemudian menggantikan Papa untuk memeluk Bian. Agaknya sesuatu yang baru terjadi cukup membuat keluarga kecil ini sedikit shock.

“Kamu kenapa, sih, macem-macem aja. Ada aja tingkahnya yang bikin Mama kepikiran!” Sebelum melepaskan pelukannya dan memegang pendak Bian erat-erat.

Bian mengerutkan keningnya, “Bian kenapa?” tanya Bian penasaran.

Saat itu juga, Bian dapat melihat sorot mata Mama berubah. Seperti ada penyesalan di sana, begitu pula dengan Papa. Tak ada jawaban yang keluar dari mulut mereka, lantas Bian melempar tatapannya pada Ajeng yang juga tengah menatapnya.

“Lo pergi abis marah-marah ke Kak Oji, kan? Terus semua orang nyariin lo, Bi. Gue, Zaid, Kak Oji, bahkan anak-anak lain akhirnya ikut nyariin lo—tapi gak ketemu. Semaleman itu semua orang kelilingin tempat perkemahan, sampe akhirnya ada anak IPS yang nemuin dalam keadaan gak sadar—” Ajeng mengarahkan jari telunjuk pada dagunya sendiri. “Lo kayanya jatoh, terus kena sesuatu—dagu lo sobek. Karna di sana gelap banget, kita semua gak ada yang tau lo kena apa. Lo sendiri pingsan karna ngeluarin banyak darah sama kedinginan,” tutur gadis itu dengan sangat cepat.

Sepersekian detik, Bian menarik sudut bibirnya. Agaknya Ajeng kembali menggunakan 'gue-lo' karena takut Mama dan Papa memikirkan hal yang tidak-tidak.

Selanjutnya Bian mencoba mengingat-ingat kejadian yang sebenarnya dia alami.

Kemarin malam tepatnya, saat emosinya tengah berada di puncak setelah mengetahui kalau Ozi sudah memata-matainya atas permintaan Papa—Bian pergi menjauh dari tenda-tenda peserta kemah. Langkah kakinya terus membawa Bian pergi entah ke mana. Kemudian, sepertinyanasib sial tengah mengikuti Bian hari itu. Lembabnya keadaan tanah membuat Bian tergelincir, jatuh terjerembab di dalam kegelapan malam. Usut punya usut, sepertinya luka jahitan pada dagu Bian disebabkan oleh patahan ranting pohon di sekitar tempat Bian terjatuh.

Dalam benak Bian mengucap syukur berkali-kali. Untung saja ada yang menemukan dia meski sudah dalam keadaan tidak sadar. Kalau tidak, mungkin dia sudah dikremasi hari ini.

“Nanti ada polisi yang mau tanya-tanya sedikit ke kamu, Bi. Jawab sesuai sama apa yang kamu alamin,” kata Papa.

“Apa? Polisi?”

“Papa kamu buat laporan ke kantor polisi gara-gara pihak dari sekolah lalai,” timpal Mama, kemudian mengusap pucuk kepala Bian.

Bian menggeleng cepat. Ini sama sekali bukan salahnya pihak sekolah, ini semua salah gue!

“Cabut laporannya, Pa. Ini semuanya salah Bian, Papa gak perlu lempar ke orang lain. Lagian Bian udah gapapa.”

“Dua belas jahitan di dagu, kamu bilang gapapa?”

Bian melirik ke arah Ajeng sesaat, kemudian menundukkan kepalanya. “Bian emosi ke Oji, Bian yang kabur, Bian yang cidera. Ini bukan salah pihak sekolah...,” cicit Bian, malu.

“Papa minta maaf tentang Oji.”

Ngomong-ngomong soal Ozi—setelah melihat Ozi yang tak acuh padanya dalam mimpi beberapa saat lalu, Bian jadi memikirkan kembali soal pertengkaran mereka. Dia sedikit menyesal sudah memukuli Ozi sampai sebegitunya. Sebab dalam mimpi rasanya seperti sangat kesepian kala tidak memiliki Ozi dan Zaid di sisinya. Bian menghela nafas panjang. Gue harus dengerin penjelasan dia sama Papa begitu pulang dari sini.

“Om, Tante ... karna Biannya udah siuman kayanya aku mau balik ke perkemahan dulu. Takut tasnya ditinggal sama yang lain.”

“Eh, sampai lupa bilang. Nanti kamu, Ozi, sama Zaid biar Om yang nganterin ke sana. Om juga mau ambil tasnya Bian.”

Bian dapat melihat bagaimana caranya Papanya itu tersenyum pada gadis yang dia suka. Kalau dipikir-pikir, melihat Ajeng berdiri tak jauh dari Mama membuat keduanya tampak sedikit mirip karna gaya rambut mereka.

Tunggu, tadi Papa bilang apa?

“Oji sama Jaid di sini?!”

Ajeng mengangguk. Sudah pasti lah. Mana mungkin mereka berdua tetap asyik melakukan serangkaian kegiatan perkemahan tanpa Bian?

“Kak Ozi sama Zaid tadi katanya mau ke kantin rumah sakit. Laper deh, kayanya,” kata Ajeng menjawab pertanyaan Bian barusan.

Entah ada apa gerangan, tiba-tiba saja Mama terkekeh. Membuat tiga lainnya keheranan.

“Mama kenapa?” tanya Bian dengan tampang polos.

Kemudian Mama sengaja mencondongkan tubuhnya. Berniat untuk membisikkan sesuatu pada Bian.

“Kamu harus cepet sehat, soalnya Mama liat-liat Ajeng gampang akrab sama orang. Nanti ditikung sama Zaid atau Ozi.”

Lantas ekspresi Bian yang sebelumnya berangsur-angsur cerah, kini kembali gamang seketika.