cakgrays

Elio Nathanael, meski nama pemberian orang tuanya terdengar sangat bagus tapi tetap saja teman terdekatnya memanggilnya dengan sebutan 'Ethan'.

Ethan ingat kali pertama ia mengenal Yohan dan Arjuna satu tahun yang lalu, saat ketiganya masih sama-sama menjadi mahasiswa baru di Neo University. Mereka diharuskan untuk memilih salah satu UKM sebagai sebuah wadah untuk menyalurkan bakat dan minat, namun sayangnya tidak ada satupun jenis UKM yang mereka minati.

Sebenarnya hampir sebagian besar UKM yang tersedia tampak seperti ajang untuk adu tingkat kekerenan saja menurut point of view ketiganya. Hanya sedikit UKM yang berkesinambungan dengan kampus maupun fakultas yang ada. Tapi tidak ada yang salah, mengingat rata-rata mahasiswa kampus itu kuliah hanya untuk formalitas saja. Yah, pasalnya mayoritas dari mahasiswanya berasal dari golongan atas yang sebenarnya tanpa sekolah tinggi-tinggi pun hidup mereka sudah terjamin karena harta yang konon katanya tidak akan habis meski dihajar oleh tujuh turunan!

Masih untung ada yang berinisiatif mendirikan UKM. Agaknya mereka-mereka yang mengajukan untuk mendirikan UKM sebelumnya adalah mahasiswa-mahasiwa gabut atau lebih sopannya yaitu mahasiswa kurang kerjaan di universitas ini.

Satu hal yang seringkali Ethan katakan selama kurang lebih satu tahun belakangan ini.

“Dari sekian banyak orang keren, kenapa gak ada yang kepikiran bikin UKM band, sih?”

Begitu pula yang kira-kira dirasakan oleh Yohan dan juga Arjuna, hingga ketiganya memutuskan untuk menentang peraturan yang mewajibkan untuk memilih setidaknya satu jenis UKM, dan berujung dengan rencana membuat UKM baru ditengah-tengah obrolan ngelantur yang dicetuskan oleh Ethan sendiri.

flashback

“Lo yakin gak join UKM manapun, Than?” tanya Yohan penasaran tatkala Ethan tengah menyuap makanannya ke dalam mulut.

Ethan menggeleng, kemudian mengunyah makanan di dalam mulutnya dengan kecepatan dua kali lipat dari sebelumnya. “Yakin, lah. Kecuali ada UKM band.”

“Bikin sendiri aja kalo mau,” sahut Arjuna.

Baik Yohan maupun Ethan—keduanya sama-sama beralih menatap Arjun dengan raut wajah serius.

“Emangnya bisa?”

Ethan mengangguk, sebagai tanda mengamini pertanyaan yang Yohan lemparkan pada Arjuna barusan.

“Dari yang gua tau, sih, bisa. Cuman ada syaratnya.”

“Apa?” tanya Ethan yang sepertinya sudah mulai tertarik dengan topik obrolan kali ini.

Sebelum menjawab, Arjuna memilih untuk menyedot es susu ovaltinenya terlebih dahulu.

“Bikin kelompok mahasiswa yang minatnya sama dulu. Misal lo, gua, sama Yohan kan minatnya bermusik ya? Kita kumpulin orang-orang dengan minat sama—minimal dua puluh orang. Terus jadi komunitas tuh. Nah, komunitasnya harus aktif minimal selama tahun, baru bisa diajuin ke BEM.”

“Ribet, Anjing!” potong Yohan.

“Bajingan! Yo pancen ngono kui carane!” sulut Arjuna. (Bajingan! Ya emang kaya gitu caranya!)

“Dia ngomong apaan, Than?”

Lantas Ethan mengedikkan bahunya, sambil terkekeh. Menjadi salah satu anak rantau dalam fakultas mereka agaknya merupakan masalah serius bagi Yohan.

“Ayo buat...,” cetus Ethan tanpa basa-basi sebelumnya.

“Buat apaan?”

“UKM band.”

Kalau soal urusan kumpul-kumpul keluarga seperti saat ini, Jemian lah yang paling bersemangat. Maklum, menjabat sebagai mahasiswa semester akhir agaknya membuat adik laki-laki dari Jeffrey itu stress bukan main. Ah, Jemian, si bontot itu meski sudah menginjak usia dewasa tetap saja maunya mendapat perhatian dari banyak orang.

“Gini dong, Jemi capek mikirin penelitian terus. Gak udah-udah perasaan.”

Sore itu, berkat kebaikan hati Papa, seluruh anggota keluarga Jeffrey berkumpul di rumah yang sudah sejak beberapa bulan lalu ia tempati bersama Ratu.

“Ya namanya juga orang kuliah. Kalau mau santai, jadi pengangguran aja,” sahut Mbak Kila yang baru saja datang dari dapur sembari membawa beberapa gelas es teh yang tersusun apik di atas nampan warna merah jambu, kesayangan Ratu.

Jemian mendengkus seketika, sementara Ratu terkekeh. Wanita itu mengusap bagian belakang kepala Jemian. “Sedikit lagi, Jem. Semangat, dong! Kamu loyo banget,” kata Ratu yang kemudian menarik sebuah kursi yang letaknya tak jauh dari tempat duduk Jemian.

“Biannya mana, Mbak?”

“Lagi sama Mama,” bisik Ratu kemudian tersenyum.

Ratu tahu soal perdebatan keluarga mereka siang tadi yang dipicu oleh Jeffrey. Tak ingin Mama mertuanya itu merasakan sakit hati berlarut-larut, lantas ia sengaja membiarkan Mama menggendong Bian kemanapun wanita paruh baya itu mau.

Suara gelak tawa kedua anak Mbak Kila seperti sebuah alunan musik yang sengaja diputar untuk meramaikan rumah itu. Melihat Ciara dan Leon yang berlarian ke sana kemari karena dikejar-kejar oleh ayahnya, membuat perasaan Ratu menghangat. Ia membayangkan kelak anaknya akan seperti itu saat tengah main bersama Jeffrey. Ratu tersenyum. Meski ia sudah lupa bagaimana rasanya bermain bersama orang tua, terlebih lagi bersama sosok Ayah—namun dengan sangat baik hati Tuhan membiarkan dirinya menyaksikan bagaimana hangat dan asyiknya keluarga Jeffrey. Bahkan Tuhan memberikan kesempatan bagi Ratu untuk merasakan langsung kehangatan keluarga itu.

“Mbak Kila liat Jeffrey?” tanya Ratu tatkala Mbak Kila baru saja usai meneguk es tehnya.

Wanita itu terkikik geli. “Di belakang, lagi proses pendisiplinan sama Papa,” kata Mbak Kila.

Jemian yang juga mengerti maksud dari perkataan Mbak Kila barusan, sontak tergelak bukan main. “Lagia, sih, Mas Jeffrey suka gak difilter dulu kata-katanya.”


Jeffrey dan Papa sama-sama menyesap kopi buatan Budhe Lasih beberapa saat lalu. Hitam kental, menyisakan sensasi rasa pahit setelahnya.

“Papa gak mau yang kaya tadi siang keulang lagi, ya, Mas. Kamu gak mau kan kalau suatu saat nanti punya cucu malah dilarang nemuin cucu kamu? Mana yang ngelarang anak kamu sendiri.... Kamu tahu gak hidup itu pasti selalu berkaitan sama karma?”

“Kenapa bahas karma segala, sih?” sungut Jeffrey.

“Lho, Papa serius. Apa yang lakukan, pasti akan kamu rasain di kemudian hari, Mas. Apalagi ke orang tua.”

“Tapi kalau udah minta maaf gak akan, kan?”

“Ya ... tergantung,” sahut Papa.

“Tergantung apa?”

“Tergantung Tuhan.”

Siapa sangka jika tiba-tiba Jeffrey pergi begitu saja meninggalkan Papa di halaman belakang rumah? Bahkan tanpa mengatakan sepatah katapun, Jeffrey berlari masuk ke dalam.

Papa hanya mencibir. Ikut masuk ke dalam, sebab tak ada gunanya ia sibuk memandangi langit yang sudah mulai gelap itu sendirian. Nanti kalau terkena sawan, kan panjang urusannya.


“MAMA MANA?!”

Melihat Jeffrey yang terengah-engah dari arah dapur membuat Ratu dan yang lainnya—yang tengah berada berada di ruang keluarga, lantas saling bertukar pandangan.

“Kenapa?” tanya Mbak Kila.

Enggan menghabiskan banyak waktu untuk berbasa-basi, lantas Jeffrey mengarahkan pandangannya pada Ratu. “Ra?”

“Mama kayaknya di atas deh, sama Budhe Lasih lagi ngajak Bian main,” sahut Ratu dengan raut wajah yang masih tampak kebingungan.

Jeffrey langsung berlari menuju lantai atas. Yang ada di pikirannya saat ini ialah harus secepatnya meminta maaf kepada Mama sebelum sebuah karma yang Papa katakan beberapa saat lalu jatuh tempo.

Anehnya seorang Jeffreyan Aditama....

Jemian hanya geleng-geleng melihat tingkah laku kakaknya itu. Ia tak berniat mengangkat suara sedikitpun, pasalnya ia tengah disibukan dengan buah bakwan kembar di masing-masing tangannya.


“MAMA!” seru Jeffrey tatkala melihat punggung mamanya.

Tanpa memperdulikan Budhe Lasih yang notabennya sebagai asisten rumah tangganya, Jeffrey sekonyong-konyong memeluk pundak Mama. “Maafin Mas Jeffrey ya? Maaf soal yang tadi siang.”

Paham dengan apa yang tengah terjadi, Budhe Lasih pun menggendong si kecil Bian, dan pergi meninggalkan keduanya.

“Udah Mama maafin,” kata Mama sembari mengusap lengan Jeffrey yang memeluk tubuhnya.

“Beneran?”

“Iya.”

Jeffrey beringsut ke hadapan Mama. “Kok cepet banget?” tanyanya penuh penasaran.

Mama terkekeh, “Iya, soalnya Mama ngerasa deja vu. Dulu Papa juga seposesif itu kalau soal anak-anaknya. Apalagi waktu Mbak Kila baru lahir.”

Jeffrey melongo seketika. Papanya itu, lagi-lagi berhasil memanipulasinya. Si tua bangka kebangetan, batinnya.

“EMANG IYA YA? APAPUN MAKANANNYA, MINUMNYA TETEP LUDAH SENDIRI?!” seru Jeffrey. Sengaja agar sang Papa mendengarnya.

Lalu tanpa merasa malu sedikitpun, Papa membalas cibiran Jeffrey tengan tawa terbahak-bahak. Agaknya Papa merasa sangat puas karena telah mempermainkan anak laki-lakinya itu.

“GAK JELAS! BAPAK-BAPAK GAK JELAS!”


Rumah milik Jeffrey mungkin tidak sebesar rumah kedua orangtuanya. Mungkin juga belum dapat menyaingi rumah keluarga Mbak Kila. Namun, pemilihan konsep yang tepat mampu membuat siapapun yang berkunjung ke sana merasa nyaman sampai ingin berlama-lama berada di sana.

Jeffrey sampai merasa kesal, kenapa para keluarganya ini tak kunjung pulang ke rumah masing-masing, meski jam dinding sudah menunjukan pukul setengah delapan malam. Alhasil Ratu harus repot-repot memperingatkan Jeffrey untuk mengontrol ekspresi wajahnya.

“Apaan tuh, Budhe?” tanya Jemian kepada Budhe Lasih yang berjalan melalui ruang keluarga dengan menenteng sebuah benda persegi panjang yang terlihat cukup besar.

Sontak yang lainnya ikut menoleh.

“Bingkai foto, Mas.”

Kening Mama berkerut, “Kamu udah foto keluarga, Mas?” tanya Mama, sambil menatap Jeffrey. Bingung, pasalnya baru beberapa hari yang lalu Jeffrey mengatakan bahwa akan membuat foto keluarga setidaknya saat Sabian sudah bisa tersenyum ke arah kamera dengan benar.

Jeffrey menggeleng.

“Ini bukan foto keluarga, Ma. Cuman waktu itu aku sama Jeffrey iseng aja minta dibuatin ginian dari foto lama kita.” sahut Ratu.

“Itu apa, sih? Terus buat apa?” tanya Mbak Kila penasaran.

Baik Jeffrey maupun Ratu, keduanya tersenyum, “Buat pajangan di kamar kita,” jawab mereka secara bersamaan.

Jeffrey menatap sekitar. Usai makan malam bersama di atas tikar, di lantai rumah sakit beberapa saat lalu ketiga temannya pamit untuk pulang, begitu pula dengan Mama, Papa, Jemian, dan Mbak Kila sekeluarga.

“Kamu tau gak?” kata Jeffrey memecah keheningan ruangan tempat Ratu tengah berbaring.

Ratu menggeleng, sembari mengerjapkan matanya.

“Tadi siang itu, cuman kamu yang ngelahirinnya udah kayak ditungguin sama satu kelurahan alias rame banget!” Jeffrey menarik sebuah kursi, dan mendudukkan dirinya tepat di samping tempat tidur Ratu. “Ada Papa, Mama, Jemian, Mbak Kila sama suami terus anak-anaknya, ditambah lagi si Yudhis yang bawa Matius sama Dio kesini. Banyak banget ternyata yang sayang sama kamu.”

Ratu sempat memutar bola matanya. Paling-paling juga Jeffrey sendirilah yang mengabari semua orang layaknya manusia paling heboh sedunia. Bisa-bisanya mengatakan kalimat penuh basa basi seperti barusan.

Kemudian dengan niat seadanya Ratu terkekeh, “Iya, Mas.”

Jeffrey menggaruk hidungnya yang tidak gatal, kemudian beranjak dan melangkahkan kakinya dengan asal. Kali ini ia bergimik mencari sesuatu di dalam ruangan tersebut.

“Cari apa, sih?” tanya Ratu dengan nada yang terdengar sedikit kesal.

“Remot. Mau nyalain TV.”

“Ngapain nyalain TV?”

“Bosen....”

Ratu berdecak. “Tadi tuh, ada yang bilang katanya kangen lah, nungguin bangun lah, alay banget pokoknya. Eh ternyata—biasa aja. Kirain bakal dipeluk kek, atau diapain gitu? Ini malah mau dianggurin. Dasar gak jelas!” Kemudian Ratu melempar tatapan sengit ke arah Jeffrey.

Emang dasar duta gengsi sedunia! batinnya.

Alih-alih merasa takut, Jeffrey malah cengangas-cengenges sambil berjalan kembali mendekati Ratu. Ia bukan kehilangan minat, bukan juga melupakan soal perasaan rindu, cemas, dan bahagia yang yang beberapa jam lalu ia rasakan. Jeffrey hanya sedikit malu. Malu untuk menatap mata Ratu dengan perasaan yang seperti tengah meletup-letup di hatinya itu, malam ini.

Melihat bagaimana merahnya pipi suaminya itu, lantas Ratu menahan senyumannya. Gemas. Tentu saja, Ratu yang paling tahu soal perasaan Jeffrey. Ratu yang paling tahu betapa laki-laki itu menantikan anak pertamanya lahir. Ratu juga yang paling tahu bahwa kini Jeffrey sedang mati-matian menahan tangis harunya.

“Mas ... sini...,” pinta Ratu sebelum menggeser tubuhnya.

Ranjang rumah sakit, tempat ia berbaring itu cukup luas. Itu sebabnya Ratu meminta Jeffrey untuk ikut berbaring di sebelahnya.

“Mau ngapain, Ra?”

“Cepet sini!”

Sesaat setelah mengerti maksud Ratu, lantas Jeffrey mematikan lampu yang paling terang dalam kamar inap tersebut. Ia sengaja membiarkan lampu berwarna kemuning yang menyala, membuat cahaya remanglah yang tersisa di sana.

Kemudian, dengan penuh hati-hati Jeffrey ikut merebahkan dirinya di samping Ratu. Kini aroma tubuh laki-laki itu menguar, memenuhi indera penciuman Ratu. Aroma manisnya milky melon yang sejak dulu Ratu sukai itu masih tercium dari tubuh Jeffrey hingga saat ini.

Melihat Jeffrey yang diam mematung di sampingnya, tentu saja membuat Ratu tidak akan tinggal diam. Ratu kembali menggeser tubuhnya, mengahapus jarak di antara dirinya dan juga Jeffrey. Lalu tanpa memberikan aba-aba, ia memeluk tubuh suaminya itu meski kesusahan.

“Aku juga kangen,” kata Ratu menanggapi pengakuan Jeffrey dalam pesan online sebelumnya. “Tadi aku takut banget karna aku pikir gak akan bangun lagi. Soalnya aku kaya liat Bunda sekilas.”

Sontak Jeffrey menoleh, “Aku gak suka obrolan kaya gini ah, Ra.”

“Aku belum selesai ngomong, Mas.” Ratu tak terima perkataannya dipotong begitu saja. “Kamu tau gak Bunda bilang apa?” tanyanya.

Jeffrey menggeleng singkat.

“Bunda gak bilang apa-apa selain titip makasih buat kamu.”

“Ra....”

“Bunda bilang makasih buat apa ya, Mas? Emangnya kamu ngapain?”

Hening. Tak ada jawaban dari Jeffrey.

Ingatan tentang masa lalu Jeffrey kini kembali terputar. Dimana sang bunda dari wanita di sampingnya ini, dengan penuh rasa percaya menitipkan putrinya kepada dirinya beberapa hari sebelum meninggal dunia.

”... tolong jagain anak gadisnya Bunda, ya?”

Jeffrey menggigit bibirnya, menahan sebuah isak tangis yang hendak keluar.

“MAS?! Kok nangis?” Ratu yang panik melihat Jeffrey yang tiba-tiba saja menangis sesenggukan spontan menarik selimutnya. Ia sibuk mengusap air mata Jeffrey tanpa memperdulikan rasanya nyeri pada perutnya.

“Aku gak tau kamu nangis kenapa ... udah dong. Cup cup cup. Kamu kangen sama Bunda?”

Jeffrey mengangguk.

“Yaudah nanti kalau aku udah boleh pulang dari sini, kita ajak Bian tengokin nenek sama kakeknya, ya?” kata Ratu, dan lagi-lagi hanya dihadiahi oleh sebuah anggukan.

Sampai detik ini, Jeffrey sama sekali tidak pernah membahas soal janji yang ia katakan kepada Bunda. Sampai detik ini, Jeffrey tidak pernah sekalipun membahas tentang masa lalu yang menurut akan melukai atau sekedar membuat Ratu merasa sedih. Jeffrey simpan rapat-rapat semuanya. Jeffrey kenang semuanya dalam ingatannya sendiri. Karena, menurutnya Ratu hanya perlu mengetahui hal-hal yang mampu membuatnya tersenyum—dan bukannya menangis.

Jeffrey mengusap wajahnya seketika. Ia ingat bahwa harusnya hari ini ia berbahagia sebab putranya baru saja lahir dengan sangat sehat.

“Aku gak nangis, tadi itu cuman gak sengaja kecolok,” elak Jeffrey, sambil memamerkan senyum bodoh di wajahnya.

“Lah?”

“Oh iya, kamu tau gak kenapa nama anak kita Sabian?”

Ratu mengerutkan keningnya. “Gak tau. Emangnya kenapa?” tanya Ratu penasaran.

“Tadinya aku pikir anak kita cewek, Ra. Mau aku kasih nama Sabine, diambil dari salah satu nama suku di Italia yang punya karakteristik menarik, family friendly, unik, terus cerdas.” Jeffrey tersenyum bangga atas dirinya. “Tapi ternyata cowok, yaudah jadi Sabian aja.” Kemudian raut wajahnya berubah seketika.

“Pasrah banget anjir.”

“Mau gimana lagi? Orang kamu tidurnya lama,” ungkap Jeffrey penuh penekanan.

“ITU KARNA OBAT BI—,”

Ceklek!

“Permisi, Mama. Bayinya haus,” kata seorang perawat yang tiba-tiba saja masuk dengan membawa Sabian dalam gendongannya.

Jeffrey mengunci layar ponselnya sebelum memasukkan ponsel tersebut ke dalam saku celananya. Ia sudah menenteng kantung plastik berisikan air mineral kemasan dan beberapa roti di dalamnya. Kemudian, dengan langkah besar ia berniat untuk kembali ke ruangan dimana Ratu berada. Mengingat saran yang Papa berikan beberapa saat lalu, ada benarnya kalau saat ini seharusnya ia menyingkirkan segala perasaan takut, dan juga pikiran buruknya.

Tidak ada waktu untuk menenangkan diri dan meninggalkan Ratu yang tengah dilanda kecemasan sendirian. Sebagai kepala keluarga, sudah sepantasnya Jeffrey menenangkan Ratu di saat-saat seperti ini. Lagi pula sering kali Ratu yang selalu meredakan kecemasannya dalam banyak hal—kali ini adalah giliran ia yang melakukan hal tersebut.

Sekitar pukul sepuluh pagi, langit kota Jakarta agaknya terlihat lebih gelap. Sangat mendung. Seperti karena sudah beberapa hari belakangan ini tidak turun hujan.

Jeffrey mempercepat langkah kakinya, ia ingin mengatakan sesuatu sebelum dokter anestesi dan para perawat membawa istrinya itu. Jeffrey tidak bercanda saat dirinya mengatakan hanya cukup dengan satu anak, pasalnya degup jantungnya sudah tak karuan hanya dengan mengetahui bahwa istrinya itu harus melahirkan secara caesar, bagaimana dengan sang istri? Pikirnya begitu.

“RA!” pekik Jeffrey tatkala melihat Ratu yang sudah didatangi oleh beberapa perawat dalam ruang sebelumnya. Benar saja, sepertinya Ratu akan segera dibawa untuk diberi suntikan anestesi. “Sebentar, Dok. Jangan dibawa dulu, saya mau ngomong sama istri saya.” Lantas dokter dan beberapa perawat di sana seolah mengerti dan meninggalkan Ratu yang tengah terduduk di atas kursi roda, dan juga Jeffrey yang kini berlutut di hadapannya.

“Ra?”

Ratu bergeming, ia bingung, entah apa yang harus ia katakan? Sementara lidahnya saja terasa begitu kelu karena sangking takutnya akan operasi besar yang sebentar lagi akan ia jalani.

“Jangan takut, ya, Ra? Aku emang gak ikut masuk dan liat kamu secara langsung—tapi, aku ada di luar, Ra. Kamu gak akan kenapa-kenapa kok. Aku janji kalau ini gak akan sakit. Kalau ternyata nanti rasanya sakit, kamu boleh cubitin aku sebanyak yang kamu mau, tapi syaratnya harus langsung pulih, oke?” Jeffrey meraih tangan Ratu, lalu menggenggamnya erat. “Abis ini, kalau kamu gak mau punya anak lagi gak apa-apa, Ra. Tapi yang ini harus bisa dilewatin, ya?” kata Jeffrey.

Alih-alih menjawab perkataan Jeffrey, Ratu justru memejamkan matanya. Ia gemetar, dan tentu saja tak luput dari pandangan Jeffrey.

“Aku gak takut. Aku gak takut. Aku gak takut,” gumam Ratu yang membuat Jeffrey memeluk tubuhnya seketika.

Jeffrey mengusap kepala hingga punggung Ratu dengan lembut. “Iya, jangan takut. Aku nunggu kamu di luar pokoknya.”

Ratu membalas pelukan Jeffrey, ia tahu bagaimana laki-laki yang tengah mendekapnya itu hanyalah seorang Jeffreyan Aditama yang nyatanya juga masih memiliki mental seperti anak kemarin sore. Ratu jelas tahu kalau dibalik perkataan penyemangat Jeffrey barusan, ia juga sama takutnya.

Berikutnya sang dokter anestesi dan para perawat kembali, dan meminta izin untuk membawa Ratu.


Sekiranya ada lebih dari lima orang di koridor rumah sakit yang tengah menunggu operasi caesar Ratu berlangsung. Jeffrey, Mama, Papa, Mbak Kila dan keluarga kecilnya, Jemian, serta Yudhis bersama dua lainnya. Siapa lagi kalau bukan Matius, dan Dio?

Mereka semua menunggu lampu tanda operasi tengah berlangsung itu mati. Sudah lebih dari satu jam, namun belum juga muncul tanda-tanda para dokter dan perawat akan keluar.

“Ayo taruhan?” bisik Yudhis pada Matius dan Dio yang tentu saja didengar oleh Jeffrey karena ia berdiri tak jauh dari ketiganya.

“Apaan?” sahut Dio.

“Anaknya si Jeff cowok apa cewek?”

Matius yang sebelumnya tidak merespon, kini melirik ke arah Yudhis. “Gue pilih cowok. Kalau sampai gue bener, lo lari keliling rumah sakit ini.”

“ANJ—”

“Language...,” lirih Jeffrey.

“Iye sorry.”

Tiba-tiba Jemian berdiri dari tempat duduknya, “Mas! Operasinya udah selesai, tuh!” seru Jemian membuyarkan perhatian yang lainnya.

Tak lama kemudian pintu ruang operasi terbuka, menampilkan sosok seorang dokter dengan raut wajah tersenyum. “Bapak Jeffreyan?”

“Iya, saya?”

“Selamat ... anak anda sehat, dan berjenis kelamin laki-laki.”

Mendengar itu, sontak semua orang yang berada di sana tersenyum lebar, kecuali Yudhis.

Ratu mengelus perutnya dengan gerakan memutar. Detak jantungnya tak karuan tatkala melihat ekspresi wajah yang dokter dihadapannya itu tunjukkan. Alis bertaut, serta jemari yang terus menerus memainkan pena di tangannya—bukan hanya membuat Ratu cemas, tapi juga Jeffrey.

Beberapa saat lalu Ratu baru saja selesai melakukan pemeriksaan pasalnya ia merasa bahwa bayi dalam kandungannya itu tidak seaktif biasanya—sejak dua hari yang lalu. Sebelumnya, menurut perkiraan dokter kelahiran anak pertama Jeffrey itu adalah minggu depan, namun karena tidak ingin dilanda perasaan cemas terus-menerus Ratu memilih untuk mendatangi dokter kandungannya lebih cepat dibandingkan dengan jadwal yang sudah ditentukan.

“Jadi gimana, Dok?” tanya Jeffrey memecah keheningan.

“Sebelumnya saya pernah bilang kalau pintu panggul istri Bapak terlalu sempit....”

“Jadi harus caesar ya?” Belum sempat sang dokter menyelesaikan kalimatnya, Ratu lebih dahulu memotong dengan pertanyaan—membuat dokter tersebut tersenyum masam.

“Iya, Bu, dan di luar praduga saya detak jantung bayi dalam kandungan Ibu mulai melemah, sementara posisi bayi belum sesuai prosedur untuk melakukan persalinan normal. Saya sebagai dokter yang menangani Ibu selama masa kehamilan menyarankan supaya Ibu melakukan persalinan secara caesar, karena itu adalah yang terbaik untuk saat ini.”

Lantas Ratu menoleh ke arah Jeffrey, kemudian dengan sigap Jeffrey menggenggam tangannya.

Jeffrey tahu sejak sang dokter mengatakan bahwa panggul Ratu lumayan sempit untuk melakukan persalinan secara normal. Jeffrey tahu kalau akan tiba saatnya dokter di hadapannya itu mengatakan hal demikian. Hanya saja Jeffrey tidak memiliki cukup keberanian untuk mengatakannya pada Ratu. Pasalnya Ratu acap kali membayangkan tentang melahirkan anak secara normal dan didampingi olehnya. *Kalau caesar kan gak bisa ikut nemenin di dalam,” batinnya.

“Gapapa, Ra. Jangan takut ... itu nanti dibius kok. Iya, kan, Dok?” kata Jeffrey yang berusaha meyakinkan Ratu dan diamini oleh sang dokter.

“Iya. Bius regional, berupa anestesi spinal. Jadi Ibu tidak akan merasakan nyeri dari pinggang ke bawah. Tapi Ibu tetap dalam keadaan terjaga, jadi bisa langsung melihat bayinya setelah lahir.”

Mendengar itu, Ratu meneguk salivanya. Membayangkan bagaimana bayi yang selama berbulan-bulan dalam perutnya itu akan dikeluarkan dengan cara merobek perutnya. Ratu menggeleng semangat untuk menghilangkan pikirannya tersebut.

“Persetujuan Ibu dan Bapak ditunggu secepatnya agar dapat segera dilakukan persalinan karna seperti yang saya bilang sebelumnya—detak jantung bayi dalam kandungan Ibu mulai melemah.”

Melihat Ratu yang hanya diam membisu disampingnya, Jeffrey menarik tangan yang sebelumnya menggenggam tangan Ratu. Kini ia sibuk merangkul pundak istrinya itu. Jeffrey menghela nafas panjang, kemudian menganggukan kepalanya untuk merespon ucapan sang dokter obygn itu. “Kita ikutin yang menurut anda terbaik, Dok.”


Selang beberapa menit, Ratu dan Jeffrey diarahkan ke ruangan lain oleh seorang perawat. Usut punya usut untuk menunggu sekaligus mempersiapkan proses persalinan nanti.

Ratu tak henti-hentinya mengusap wajahnya kasar. Ia takut. Takut kalau-kalau nantinya proses melahirkan anak pertamanya ini akan terasa sangat sakit dan membekas dalam ingatannya. Ratu juga takut tatkala membayangkan jika salah satu dokter yang menanganinya melakukan sebuah kesalahan yang mungkin akan menyebabkan salah satu diantara ia dan anaknya tidak selamat.

Ratu terus menggenggam tangan Jeffrey kuat-kuat. Enggan untuk ditinggal rupanya. Dalam hati Ratu berdoa agar Jeffrey diperbolehkan untuk menemaninya nanti. Ia setuju dengan anggapan bahwa sebelum memiliki anak bukan hanya finansial yang perlu diperhatikan, tapi juga mental.

“Mas.”

“Hm? Kenapa, Ra?”

Lantas Ratu memamerkan senyum masam. “Nanti kamu ikut masuk, kan?” tanyanya dengan hati-hati.

“Aku gak tau. Tapi kayaknya gak bisa, Ra. Caesar kan termasuk operasi besar(?) Jadi kemungkinan aku disuruh nunggu di luar,” tutur Jeffrey lembut.

Melihat kening Ratu yang lagi-lagi berkerut, Jeffrey tersenyum manis. Ibu jarinya sengaja memijit kening Ratu dengan gemas. “Jangan gitu, nanti kamu cepet keriput. Aku keluar sebentar, ya?”

“Mau kemana?”

“Beli minum buat kamu. Nanti kalau perawatnya balik lagi, ajak ngobrol jangan diem aja. Rileks, Ra.” Setelah mengatakan itu, kedua tangan Jeffrey menangkup pipi Ratu kemudian sengaja mengecup wajah istrinya itu sebanyak tiga kali sebelum akhirnya pergi untuk membeli air mineral kemasan seperti yang ia katakan.

Ratu mengelus perutnya dengan gerakan memutar. Detak jantungnya tak karuan tatkala melihat ekspresi wajah yang dokter dihadapannya itu tunjukkan. Alis bertaut, serta jemari yang terus menerus memainkan pena di tangannya—bukan hanya membuat Ratu cemas, tapi juga Jeffrey.

Beberapa saat lalu Ratu baru saja selesai melakukan pemeriksaan pasalnya ia merasa bahwa bayi dalam kandungannya itu tidak seaktif biasanya—sejak dua hari yang lalu. Sebelumnya, menurut perkiraan dokter kelahiran anak pertama Jeffrey itu adalah minggu depan, namun karena tidak ingin dilanda perasaan cemas terus-menerus Ratu memilih untuk mendatangi dokter kandungannya lebih cepat dibandingkan dengan jadwal yang sudah ditentukan.

“Jadi gimana, Dok?” tanya Jeffrey memecah keheningan.

“Sebelumnya saya pernah bilang kalau pintu panggul istri Bapak terlalu sempit....”

“Jadi harus caesar ya?” Belum sempat sang dokter menyelesaikan kalimatnya, Ratu lebih dahulu memotong dengan pertanyaan—membuat dokter tersebut tersenyum masam.

“Iya, Bu, dan di luar praduga saya detak jantung bayi dalam kandungan Ibu mulai melemah, sementara posisi bayi belum sesuai prosedur untuk melakukan persalinan normal. Saya sebagai dokter yang menangani Ibu selama masa kehamilan menyarankan supaya Ibu melakukan persalinan secara caesar, karena itu adalah yang terbaik untuk saat ini.”

Lantas Ratu menoleh ke arah Jeffrey, kemudian dengan sigap Jeffrey menggenggam tangannya.

Jeffrey tahu sejak sang dokter mengatakan bahwa panggul Ratu lumayan sempit untuk melakukan persalinan secara normal. Jeffrey tahu kalau akan tiba saatnya dokter di hadapannya itu mengatakan hal demikian. Hanya saja Jeffrey tidak memiliki cukup keberanian untuk mengatakannya pada Ratu. Pasalnya Ratu acap kali membayangkan tentang melahirkan anak secara normal dan didampingi olehnya. *Kalau caesar kan gak bisa ikut nemenin di dalam,” batinnya.

“Gapapa, Ra. Jangan takut ... itu nanti dibius kok. Iya, kan, Dok?” kata Jeffrey yang berusaha meyakinkan Ratu dan diamini oleh sang dokter.

“Iya. Bius regional, berupa anestesi spinal. Jadi Ibu tidak akan merasakan nyeri dari pinggang ke bawah. Tapi Ibu tetap dalam keadaan terjaga, jadi bisa langsung melihat bayinya setelah lahir.”

Mendengar itu, Ratu meneguk salivanya. Membayangkan bagaimana bayi yang selama berbulan-bulan dalam perutnya itu akan dikeluarkan dengan cara merobek perutnya. Ratu menggeleng semangat untuk menghilangkan pikirannya tersebut.

“Persetujuan Ibu dan Bapak ditunggu secepatnya agar dapat segera dilakukan persalinan karna seperti yang saya bilang sebelumnya—detak jantung bayi dalam kandungan Ibu mulai melemah.”

Melihat Ratu yang hanya diam membisu disampingnya, Jeffrey menarik tangan yang sebelumnya menggenggam tangan Ratu. Kini ia sibuk merangkul pundak istrinya itu. Jeffrey menghela nafas panjang, kemudian menganggukan kepalanya untuk merespon ucapan sang dokter obygn itu. “Kita ikutin yang menurut anda terbaik, Dok.”


Selang beberapa menit, Ratu dan Jeffrey diarahkan ke ruangan lain oleh seorang perawat. Usut punya usut untuk menunggu sekaligus mempersiapkan proses persalinan nanti.

Ratu tak henti-hentinya mengusap wajahnya kasar. Ia takut. Takut kalau-kalau nantinya proses melahirkan anak pertamanya ini akan terasa sangat sakit dan membekas dalam ingatannya. Ratu juga takut tatkala membayangkan jika salah satu dokter yang menanganinya melakukan sebuah kesalahan yang mungkin akan menyebabkan salah satu diantara ia dan anaknya tidak selamat.

Ratu terus menggenggam tangan Jeffrey kuat-kuat. Enggan untuk ditinggal rupanya. Dalam hati Ratu berdoa agar Jeffrey diperbolehkan untuk menemaninya nanti. Ia setuju dengan anggapan bahwa sebelum memiliki anak bukan hanya finansial yang perlu diperhatikan, tapi juga mental.

“Mas.”

“Hm? Kenapa, Ra?”

Lantas Ratu memamerkan senyum masam. “Nanti kamu ikut masuk, kan?” tanyanya dengan hati-hati.

“Aku gak tau. Tapi kayaknya gak bisa, Ra. Caesar kan termasuk operasi besar(?) Jadi kemungkinan aku disuruh nunggu di luar,” tutur Jeffrey lembut.

Melihat kening Ratu yang lagi-lagi berkerut, Jeffrey tersenyum manis. Ibu jarinya sengaja memijit kening Ratu dengan gemas. “Jangan gitu, nanti kamu cepet keriput. Aku keluar sebentar, ya?”

“Mau kemana?”

“Beli minum buat kamu. Nanti kalau perawatnya balik lagi, ajak ngobrol jangan diem aja. Rileks, Ra.” Setelah mengatakan itu, kedua tangan Jeffrey menangkup pipi Ratu kemudian sengaja mengecup wajah istrinya itu sebanyak tiga kali sebelum akhirnya pergi untuk membeli air mineral kemasan seperti yang ia katakan.

Di awal bulan Agustus ini, cuaca cukup bersahabat. Membuat rencana Jeffrey untuk mengajak Ratu piknik di tengah-tengah hamparan rumput hijau milik salah satu taman kota Jakarta terealisasikan.

Jeffrey sengaja merencanakan piknik, mengingat kandungan Ratu sudah memasuki usia 9 bulan. Sudah menjelang hari persalinan sang istri, Jeffrey tidak mau Ratu merasa stress dan tertekan hanya dengan berada di rumah seharian. Ia ingin Ratu merasa rileks sebelum persalinan pertamanya nanti. Maka dari itu, mengajak Ratu piknik adalah upaya sederhana yang Jeffrey lakukan untuk memberikan Ratu healing.

“Suka gak sama tempatnya?” tanya Jeffrey dengan lembut.

“Suka, Mas!” sahut Ratu yang tengah sibuk menggendong anak anjing mereka selagi Jeffrey menggelar tikar di bawah sebuah pohon rindang.

Jeffrey tersenyum tatkala ia berhasil menggelar tikar tersebut dengan rapi. Selanjutnya Jeffrey meraih sebuah keranjang yang berisikan makanan-makanan ringan yang sudah mereka persiapkan dari rumah. Sudah mirip piknik sungguhan.

Ia menyusun setiap makanan dengan sangat apik, sebelum mempersilahkan Ratu untuk duduk di atas tikar.

Semakin dilihat, Jeffrey semakin tidak sabar menanti kelahiran anak pertamanya. Dalam benak laki-laki itu, sebenarnya ia ingin setidaknya memiliki 2 buah hati dalam keluarga kecilnya. Seperti pada sebuah tayangan televisi acapkali ia lihat—memiliki seorang anak laki-laki dan satu lagi perempuan, agaknya menjadi hal yang sangat Jeffrey inginkan. Namun menurut Jeffrey, semua keinginannya itu kembali lagi kepada sang istri. Pasalnya Jeffrey lebih suka jika segala keputusan dalam rumah tangganya, tidak hanya diputuskan olehnya, melainkan bersama Ratu.

Jeffrey menatap Ratu, dan seketika membuat wajahnya memerah sempurna tatkala mengingat hari kedua setelah pernikahan mereka, dimana istrinya itu mengeluh akibat kurang tidur hanya karena takut Jeffrey yang notabenenya sudah resmi menjadi suaminya itu melakukan sesuatu kepadanya saat sedang tertidur. Konyol, batinnya.

Sudah cukup lama rupanya. Kalau dipikir-pikir usia pernikahan mereka hampir satu tahun lamanya. Tapi kenapa rasanya seperti baru beberapa hari yang lalu?

“Sumpah ya, kenapa, sih? Kaya orang lagi mikir jorok tau gak? Cengangas-cengenges aja!” seru Ratu.

“Emang iya.”

“Dih?”

“Mikirin anjing punya upil apa enggak, ya, Ra?”

Ratu mendengkus setelah mendengar jawaban random yang baru saja keluar dari mulut suaminya itu. “Gak tau, Mas. Kamu tanya aja sama Yudis.” Kemudian Ratu mengangkat tubuh anak anjing mereka tepat di depan wajah Jeffrey, hingga membuat Jeffrey tertawa seketika.

“Gak bisa bahasa binatang, Ra....”

Lantas Ratu terkekeh, “Bisanya bahasa apa?” tanyanya penasaran.

“Bahasa cinta.”

“Aku geli banget setiap kali kamu kaya gini,” cibir Ratu.

“Gak gue kelitikin?!”

Tawa renyah Jeffrey kembali memenuhi indera pendengaran Ratu, dan disaat yang bersamaan Ratu tersadar bahwa tawa seorang Jeffreyan Aditama tidak pernah berubah sejak dulu. Tawanya mampu menghangatkan hati siapapun yang mendengarnya. Lantas Ratu menarik sudut bibirnya. Meski laki-laki di hadapannya ini seringkali bertingkah menyebalkan dan menggodanya, namun menikah dengan Jeffrey bukanlah pilihan yang buruk. Seiring berjalannya waktu, Jeffrey menjadi lebih baik dari sebelumnya. Seiring berjalannya waktu Jeffrey dapat membedakan antara hal yang memerlukan keseriusan dan lelucon. Seiring berjalannya waktu, Jeffrey mampu membangun peran sebagai seorang suami dan calon ayah yang baik dalam keluarga mereka. Ia hangat dan humoris. Persis seperti bayangan sosok suami yang Ratu inginkan sejak usianya baru menginjak belasan tahun.

“Mau minum gak, Ra?” tanya Jeffrey dan dibalas anggukan kepala oleh Ratu.

Tangan Jeffrey terulur, seperti mengusir sesuatu dari pundak Ratu dengan ekspresi wajah kesal.

“Ada semut. Nanti bumil digigit semut!”

Ratu terkekeh. Kemudian Jeffrey meraih sebotol air mineral, dan membukakan tutup botol tersebut untuk sang istri. “Silahkan diminum Yang Mulia Ratu,” kata Jeffrey dengan nada yang sengaja dibuat-buat, seorang tengah memerankan karakter seorang budak kerajaan.

“Freak banget.”

“Ssttt ... buruan diminum, jangan banyak ngomong.”

Helaan nafas pasrah terdengar dari mulut Ratu. Jelas-jelas Jeffrey yang sibuk nyerocos sejak tadi. Usai meneguk minumannya, tangan Jeffrey refleks mengusap bibir Ratu dengan lembut. Padahal hanya bercak air mineral, tapi sebegitu perhatiannya sampai harus diusap segala.

“Aku tuh gak pernah sadar kalau ternyata kamu makin berisi malah makin cantik. Seger banget keliatannya,” ungkap Jeffrey sembari menutup botol air.

“Jadi maksud kamu, aku jelek pas kurus? Aku dulu keliatan gak seger, gitu?”

Jeffrey menggeleng semangat. “Kenapa sih, semua yang keluar dari mulut aku ini, salah terus? Serba salah, udah kaya Raisa.” Jeffrey kemudian mencebikkan bibirnya, dan lagi-lagi membuat Ratu terkekeh.

“Kamu tuh suka bercanda, tapi giliran dibercandain balik langsung baper.” Ratu mengusap tengkuk kepala Jeffrey dengan gemas.

Yang sebelumnya cemberut, kini wajah Jeffrey kembali cerah.

“Ra?”

“Apa, Mas?”

“Kamu suka sama aku karna apa?”

Ratu bergeming.

“Harus ada jawabannya, Ra. Kalau gak ada, aku mogok makan satu minggu!” ancamnya tatkala melihat Ratu yang tampak masih bingung memikirkan jawabannya.

“Kita kenal dari kecil, kan? Aku gak pernah sih mikirin ini sebelumnya—tapi karna kamu tanya ... kayaknya aku suka kamu dari segala aspek deh.”

Refleks Jeffrey menutup wajah dengan kedua tangannya, malu.

“Sangking banyaknya, jadi gak bisa aku sebutin satu persatu—Mas, kamu ngapain, sih kaya gitu?!” timpal Ratu.

“Malu!”

Ratu tertawa tak habis pikir—namun, detik kemudian ia menghentikan tawa tersebut hingga membuat Jeffrey menatapnya khawatir.

“Kenapa?” tanyanya.

“Nih, yang di dalem perut mau diajak ngobrol deh kayanya. Tendangannya gak main-main....” sahut Ratu sembari mengelus perutnya.

Jeffrey yang mendengar jawaban Ratu, lantas mendekatkan wajahnya dengan perut istrinya yang sudah sangat besar itu. “Emang iya? Anaknya papa udah gak sabar mau keluar ya? Kalau gitu besok keluar ya, Dek!” kata Jeffrey semangat.

“Gue yang gak sabar.”

“Ngelahirin?”

Ratu menggeleng, “Ngantemi lo! Besak besok, lo kira ngelahirin itu gampang apa? Tinggal ngeden terus keluar? Ini aja setiap hari gue deg-degan!” kata Ratu bersungut-sungut.

“Tenang aja, nanti kan ada aku yang nemenin kamu.” Lalu Jeffrey mengecup perut Ratu sesaat. “Makasih ya, Ra.”

“Buat apa?”

Jeffrey menghela nafas panjang kala ibu jarinya mengusap mata Ratu dengan hati-hati. “Makasih karna selalu natap aku kaya gini. Mata kamu cantik—yang paling lama aku tatap dari yang terlama.”

Selanjutnya, perlahan-lahan Jeffrey meraih tangan Ratu. Menyelipkan setiap jari-jari tangannya pada jari tangan Ratu. “Kamu orang pertama yang aku tautin jarinya kaya gini, Ra.” Jeffrey tersenyum. “Aku tau kurangnya aku masih buanyak! Masih belum sepenuhnya jadi laki-laki dewasa kaya Papa—tapi percaya sama aku. Aku selalu usahain yang terbaik buat kamu kok, Ra. Aku gak akan buat kamu nyesel karna ubah status kita yang tadinya temenan jadi suami istri. Aku bakal ngetreat kamu selayaknya ratu buat aku. Aku mau rumah tangga kita happy terus pokoknya, sampai kamu dikira gila karna keseringan nyengir....”

“Kumat, kan! Kebiasaan!”

“Bercanda. Jangan serius-serius, nanti kamu nangis karna terharu,” sahut Jeffrey.

“Jadi yang tadi gak serius?”

“Astaga, gak gitu maksudnya! Terakhirnya doang yang bercanda, Ra, kamu mah....”

Ratu terkikik geli. “Masa sih?” tanyanya dengan nada penasaran yang sengaja dibuat-buat.

Kemudian Jeffrey mendelik, dan menarik tangan Ratu untuk menyentuh dadanya.

“Belah aja dada gue, Ra! Biar lo percaya, kalau gue secinta itu sama lo sampai-sampai hati gue bentuknya udah bukan kaya hati lagi asal lo tau!” kata Jeffrey menggebu-gebu.

“Bentuknya apa?”

“Huruf R!”

Kebanyakan orang mungkin beranggapan kalau hubungan rumah tangga yang tidak memiliki konflik di dalamnya bagaikan sayur tanpa garam. Sebelumnya Ratu juga berpikir demikian, dengan bertengkar mungkin dapat mendewasakan sebuah hubungan, namun sepertinya itu tidak sepenuhnya benar. Lagipula apa gunanya jika terus menerus bertengkar karena hal yang itu-itu saja? Alih-alih mendewasakan hubungannya, justru membuatnya terbiasa akan konflik-konflik sepele yang memancing pertikaian besar.

Disinilah Ratu sekarang, duduk manis di hadapan Jeffrey, dan masing-masing menggenggam secangkir teh hangat di tangannya.

Setelah memilih mendiami Jeffrey selama kurang lebih sepekan, Ratu sadar bahwa metode silent treatment memang tidak pernah cocok dengan laki-laki di hadapannya itu. Ratu sengaja meminta Jeffrey pulang lebih cepat hari ini, sebelum keadaan semakin kacau, pikirnya.

Jeffrey hanya diam seribu bahasa sembari menatap cangkir tehnya. Bingung harus memulai pembicaraan mereka darimana, pasalnya ia sadar bahwa Ratu sengaja membisu di hadapannya sejak beberapa hari yang lalu. Jeffrey takut kalau-kalau ia salah bicara kemudian kembali menyulut kekesalan Ratu.

“Kalau gak aku ancem pakai minggat, kamu pasti tetep di kantor, kan, Mas?”

Hening.

Ratu menyeruput tehnya dengan sorot mata yang masih fokus mengintimidasi Jeffrey.

“Di mata kamu sekarang, aku jelek ya? Gak enak ya buat dipandang, Mas?” kata Ratu, kemudian meletakkan cangkir yang sebelumnya ia genggam ke atas meja.

“Kamu sekarang jarang banget ada di rumah. Hari Sabtu aja, tetep ke kantor. Kerja, kerja, kerja. Itu kan alesan kamu? Mana yang katanya bakal nemenin setiap aku kunjungan ke dokter kandungan? Boro-boro. Kemarin pas aku kontraksi aja, yang nganterin ke dokter malah Pak Muhtad. Kamu tuh kenapa sih, Mas?—Berubah. Udah biasa aja ya liat aku? Aku tuh gendut gini juga karna anak kamu! Kalau tau gini, mending punya anaknya nanti-nanti aja, Mas. Nunggu kamunya bangkot, biar gak bisa kabur-kaburan.” Ratu menghela napas sejenak. “Lo tau gak? Gue nyes—.”

Kalimat Ratu lantas menggantung di udara tatkala Jeffrey tiba-tiba saja membekap mulutnya. Kini justru Jeffrey yang gaduh akibat ujung jari kakinya beradu dengan meja saat berusaha meraih mulut Ratu.

“ANJING SIAPA SIH YANG NARO MEJA DI SINI?!” serunya.

Kemudian dengan cepat Ratu menepis tangan Jeffrey. “Jangan ngalihin topik, deh!” kata Ratu dengan nada sewot.

Jeffrey mendengkus. *Siapa juga yang mau ngalihin topik? Batinnya. Memang semua wanita kalau sedang dalam keadaan marah, pasti sama. Contohnya seperti Ratu dan sang mama. Namun Jeffrey sadar, penyebab kemarahan mereka pun sama, yaitu dirinya.

“Aku gak ada niat ngalahin topik, kok. Tadi kamu mau bilang apa? Nyesel, kan? Gak boleh bilang kaya gitu. Masa nyesel dikasih anak sama Tuhan? Masa kamu ... nyesel hamil anak aku?” kata Jeffrey lirih.

Dengan tampang yang sengaja dimelas-melaskan, Jeffrey mencoba meraih tangan Ratu, namun nahas Ratu justru kembali menepis tangannya dengan kasar membuat Jeffrey mendelik seketika.

“Gak perlu disedih-sedihin gitu muka lo! Udah gak mempan! Mbak Kila boong....”

Mendengar kalimat itu, sontak kening Jeffrey mengernyit. Bagus, sekarang apa hubungannya sama Mbak Kila? Gak sekalian aja Jemian, Bapak RT beserta istrinya, dan satu kecamatan dibawa-bawa?

“Kata Mbak Kila gak bakal ada yang berubah setelah nikah. Tapi nyatanya apa? Ini aja lo udah berubah gak kaya dulu lagi. Anak lo belum lahir, elo-nya udah suka ninggalin rumah. Gimana nanti kalau udah lahir? Lo juga gak pernah ngajak gue ngobrol lagi. Dulu aja, pas awal nikah maunya deeptalk terus tiap malem. Sekarang apa? Lo kerja gak inget waktu! Gue udah tidur, lo baru pulang! Terus, lo berangkat waktu gue masih tidur! Lo gak seneng liat muka gue, apa gimana?! Bilang aja, deh!—Huh hahh huh hahhh ... perut gue....” hardik Ratu, dan diakhiri dengan nafas yang tersengal-sengal akibat perutnya kembali mengalami kontraksi tiba-tiba.

Melihat gerak-gerik Ratu yang aneh, dengan sigap Jeffrey menghampiri Ratu, kemudian membopong tubuh istrinya itu, berniat menuju ranjang mereka tanpa mengatakan apapun.

“Apaan sih? Jangan pegang-pegang!” pekik Ratu tepat di sebelah telinga Jeffrey.

“Ini lagi dibantuin! Kaya bisa jalan sendiri aja. Yaudah tuh, sana jalan sendiri!” sahut Jeffrey tak kalah sengit.

Tangan yang sebelumnya menopang tubuh Ratu, ia lepaskan begitu saja. Sementara Ratu, alih-alih melepaskan pelukannya pada tubuh Jeffrey, ia justru semakin mencengkram erat pakaian suaminya itu. Ratu menggigit bibirnya, malu. Nyatanya ia memang kesusahan untuk berjalan tanpa bantuan pada saat kontraksi seperti ini.

“Gak bisa, kan?”

Jeffrey kembali menopang tubuh Ratu. Menuntun istrinya itu untuk berjalan dengan hati-hati, kemudian membaringkan tubuh Ratu di atas ranjang, lalu ikut mendaratkan bokongnya tepat di samping tubuh Ratu.

Ditatapnya manik mata Ratu, lalu tangan Jeffrey terulur untuk membetulkan posisi bantal yang Ratu gunakan. “Kalau lo percaya sama omongan Mbak Kila soal gak akan ada yang berubah setelah pernikahan, berarti lo naif, Ra.”

Ratu bergeming. Hanya fokus membalas tatapan mata Jeffrey yang hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya itu.

“Pasti bakal banyak yang berubah, Ra. Contohnya kita akhir-akhir ini. Sebentar lagi lo jadi ibu rumah tangga, dan gue sebagai kepala keluarga punya kewajiban cari duit buat lo sama anak kita nanti. Tapi apa gue lepas tangan gitu aja atas diri lo?” Jeffrey menggelengkan kepalanya. “Enggak, Ra. Gue siapin semua kebutuhan lo. Gue kerja kaya orang tolol belakangan ini juga bukan semata-mata buat nyari duit, tapi karna gue mau punya banyak waktu buat nemenin lo pasca melahirkan nanti.”

Tangan Jeffrey kini beralih mengusap lembut wajah Ratu. “Terus tadi lo bilang apa? Bosen? Gila aja, emangnya siapa yang bisa bosen sama bini spec dewi kaya gini? Gak ada, Ra.”

Seperti terhipnotis dengan kalimat-kalimat manis yang Jeffrey lontarkan, rasa sakit yang sebelumnya Ratu rasakan di perutnya itu, kini menghilang seketika.

“Kita itu bukan pasangan yang baru aja kenal terus langsung nikah, Ra. Kita udah kenal dari berjuta-juta tahun yang lalu. Menurut gue, wajar kalau lo pikir ada yang berubah dari gue, ya karna makin banyak tanggungjawab gue. Beda sama dulu yang masih bisa main-main. Tapi kalau lo pikir gue bosen, atau males liat muka lo—itu fitnah sih.” Jeffrey terkekeh sejenak tatkala melihat Ratu yang kesulitan untuk mendudukkan tubuhnya. Batinnya, mirip seperti kura-kura yang terbalik di daratan.

“Bantuinnnn!”

“Lo ngerusak keseriusan gue aja, Anjing!” keluh Jeffrey, kemudian tetap membantu Ratu.

“Jadi ... lo lembur terus bukan karna ngehindarin gue?” tanya Ratu memastikan.

Jeffrey menggeleng semangat. “Enggaklah! Satu hal yang perlu lo tau dan lo tanemin di otak lo yang gedenya gak seberapa itu adalah 'semuanya boleh boleh berubah, Ra, kecuali perasaan'.”

Ratu menarik sudut bibirnya, tak percaya laki-laki di hadapannya itu mengatakan hal demikian dengan ekspresi yang tampak sangat serius.

“Kalau lagi ngomong serius gini, suka tiba-tiba pengen ciuman gak, sih?” kata Ratu menggoda, membuat Jeffrey melengos seketika.

“Jangan mancing-mancing, Ra.”

Sontak Ratu terkekeh, “Oke, jadi menurut lo, lo masih Jeffrey yang sama kaya dulu?” kata Ratu, sembari menatap Jeffrey.

Namun bukannya merasa terintimidasi, Jeffrey justru membalas tatapan Ratu sebelum mengangguk yakin. “Iya. Gue masih Jeffie yang kalau lo pukul gak bakal bales. Gue masih Jeffie yang selalu siap ngabisin isian zuppa soup lo. Gue ... masih Jeffie yang mau selalu pastiin lo ngerasain hal-hal baik aja, Ra. Gak perduli segila apa gue kemarin, hari ini, dan besok, asalkan buat kebaikan lo—gue lakuin.” Jeffrey mengusap rahang Ratu dengan lembut setelah mengakhiri kalimatnya.

“Tapi aku gak baik-baik aja dengan kamu tinggalin kerja terus-terusan, Mas. Aku juga ... ini mungkin aneh sih ... aku cemburu setiap kali kamu bahas baby kita, tapi ngelupain aku. Aku cemburu setiap kali kamu nyuruh aku ngelakuin sesuatu, dan alesannya karna dia.” Kini pandangan Ratu mengarah pada perutnya yang sudah sangat besar. “Seolah-olah kamu sekarang lebih sayang dia, terus status aku cuman perempuan yang yang di dalem perut besarnya ini—ada anak kamu,” tutur Ratu panjang lebar.

Seketika Jeffrey merasa ditampar oleh perkataan Ratu. Ia mengingat-ingat bagaimana perlakuannya pada istrinya itu belakangan ini, dan ya, persis seperti yang Ratu katakan. Sering kali Jeffrey hanya membahas mengenai sang jabang bayi tanpa mengikut sertakan keadaan Ratu dalam topik pembahasan mereka, dan dengan bodohnya Jeffrey baru menyadari hal itu sekarang.

Sontak Jeffrey meraih tangan Ratu, tampak seperti memohon ampunan kepada sang istri. “Pukul aja, Ra, si tolol ini emang gak sadar-sadar! Aku minta maaf karena kurang peka sama keadaan kamu. Pikiran aku lagi bercabang kemana-mana belakangan ini, Ra. Ya emang gak bisa dijadiin alesan, sih, tapi aku gak punya alesan lain....” Jeffrey mencebikkan bibirnya. “Aku serius. Gak pernah sekalipun ada pikiran buat berhenti sayang sama kamu. Mau nantinya anak kita ada seribu pun, perasaan sayang aku ke kamu gak bakal berkurang, Ra. Sebelumnya kan aku sayang sama kamu seratus persen—sekarang karna ada calon anak kita, jadinya dua ratus persen dibagi dua. Udah gitu aja.”

“Nilai matematika lo di rapot berapa, sih? Ngitung persenan aja blunder,” cibir Ratu.

“Bukan blunder, tapi emang rasa sayang gue gak bakal berubah.”

“Sumpah, Jeff?”

“Sumpil, sumpah paling serius! Aku rela kesamber petir demi kamu, asalkan gak kena!” tukas Jeffrey dengan ekspresi senyum bodoh yang tercetak jelas di wajahnya, membuat Ratu terkikik seketika.

Seperti deja vu. Dulu Jeffrey memang sering sekali mengucapkan omong kosong seperti yang barusan ia dengar. Sumpil? Gila, batinnya.

Jeffrey menarik Ratu kedalam pelukannya. Ia senang sekaligus bersyukur, istrinya adalah seorang Ratu Azalea. Sebab hanya wanita dalam peluknya itu yang mampu memaklumi dan memaafkannya acapkali Jeffrey melakukan kebodohan.

Sejak awal trimester ketiga, agaknya kini membuat Jeffrey maupun Ratu sudah mulai terbiasa akan hal-hal yang sebelumnya mampu membuat heboh satu rumah, seperti janin dalam perut Ratu yang mulai aktif menendang ke sana dan ke sini sampai Ratu yang tiba-tiba saja merasakan kontraksi palsu atau Braxton Hicks. Mengingat Ratu bukan lagi hamil di usia muda—Jeffrey sengaja mempekerjakan dua orang lagi untuk menjaga rumahnya. Ya, memang seperti itu yang ia katakan pada Ratu, meski kenyataannya Jeffrey melakukanya karena takut kalau-kalau ada sesuatu yang terjadi pada istrinya saat ia sendiri tidak sedang berada di rumah.

Sejak jauh-jauh hari, Jeffrey sudah menyiapkan segala sesuatu yang nantinya akan diperlukan pada saat Ratu melahirkan. Seperti rumah sakit yang menurutnya penanganan di sana cukup baik, hingga menyelesaikan beberapa pekerjaan penting yang deadline-nya pun terbilang masih sangat jauh. Pasalnya Jeffrey berniat semaksimal mungkin untuk menemani Ratu saat memasuki masa-masa menjelang melahirkan.

Namun, sayang niat baiknya itu justru membuat ia kekurangan waktu untuk berbicara santai dengan sang istri. Ratu acap kali telah lebih dulu tertidur pulas saat ia baru saja menginjakkan kaki ke dalam rumah. Alhasil Jeffrey hanya dapat mendengar informasi dari Budhe Lasih—seorang wanita paruh baya yang merupakan asisten rumah tangganya, seperti malam ini.

“Tadi Ibu makannya lahap Pak. Mungkin karna sesuai sama yang dipengenin,” tutur Budhe Lasih, sembari menyuguhkan segelas air putih dingin untuk Jeffrey.

Jeffrey terkekeh, “Emangnya hari ini masak apa, Budhe?” tanyanya penasaran.

Lantas Budhe Lasih mengangkat salah satu tutup mangkuk kaca yang berbeda di atas meja makan. “Ibu minta kulit melinjo ditumis sama ikan teri kaya gini, Pak. Bapak mau makan?”

Jeffrey menggeleng singkat, kemudian menepuk-nepuk perutnya. “Saya udah makan di luar,” kata Jeffrey, kemudian dihadiahi anggukan oleh Budhe Lasih.

Memang akhir-akhir ini Jeffrey lebih sering makan malam di luar. Karena ia memiliki maag, maka wajib hukumnya makan tepat waktu.

“Tidur Budhe. Saya mau masuk ke kamar dulu, kangen si Nyonya Besar.”

Jika biasanya Budhe Lasih akan tertawa tatkala mendengar kata Nyonya Besar keluar dari mulut Jeffrey—kali ini wanita paruh baya itu justru menampilkan ekspresi wajah seperti orang yang tengah khawatir.

“Pak,”

Jeffrey yang sebelumnya sudah memutar tubuh dan siap melenggang pergi, kini mengurungkan niatnya. Ia kembali menghadap Budhe Lasih. “Ada masalah apa?” sahut Jeffrey.

“Belakangan ini Ibu lagi mellow, mungkin karna jarang ketemu Bapak. Napsu makannya emang bagus, tapi Ibu selalu diem di kamar. Kalau boleh saya kasih saran, baiknya Bapak ajak Ibu buat ngobrol. Kasihan kalau suasana hatinya sedih waktu hamil tua kaya sekarang ini, Pak.”

Jeffrey menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. Ia tahu betul hal itu memang harus dilakukan. Ia tahu betul bahwa Ratu sepertinya merasa kurang diperhatikan akhir-akhir ini. Namun alasan ia sibuk, adalah untuk calon anaknya nanti.

Kemudian Jeffrey hanya menarik sudut bibirnya, singkat. “Iya, Budhe, nanti saya ngobrol sama Ratu. Sekarang kayanya udah tidur,” ucapnya terdengar lirih.

“Baik-baik ya, Pak, sama Ibu. Bener deh kasihan liat Ibu gak semangat. Saya doain semoga semua urusan lancar sampai melahirkan.”


Setelah pembicaraan singkat namun sangat sensitif di dapur beberapa saat lalu, Jeffrey memasuki kamarnya dengan ekspresi muka masam. Mau bagaimana lagi? Ia sudah berusaha untuk selalu membagi waktu namun sayangnya hanya ada 24 jam dalam sehari, dan menurutnya itu tidak cukup.

Pantas saja ia merasa bahwa istrinya itu lebih dingin dari biasanya. Ternyata ada sesuatu yang mungkin mengganjal di hatinya.

Jeffrey juga ingin menghabiskan waktu bersama Ratu kalau ia sempat. Jeffrey juga ingin melakukan pembicaraan secara mendalam mengenai perasaannya dan juga Ratu seperti biasa. Jeffrey ingin melakukan banyak hal, namun di sisi lain juga banyak hal yang harus ia selesaikan secepatnya.

Jeffrey manatap Ratu yang tengah terlelap dalam tidurnya. Sepertinya sudah lama sekali ia tidak pernah melakukan hubungan intim dengan wanita itu. Jeffrey ingat terakhir kali mereka melakukan itu, menyebabkan Ratu mengalami kontraksi hebat. Setelah dilarikan ke rumah sakit, usut punya usut penyebab terjadinya kontraksi yang Ratu alami adalah kecerobohan Jeffrey yang tidak menggunakan pengaman. Pasalnya menurut keterangan dokter, sperma dapat memicu kontraksi pada ibu hamil, dan yang lebih parahnya lagi berkemungkinan untuk menggugurkan janin. Sejak saat itu Jeffrey selalu merasa bersalah acap kali nafsunya mulai meningkat tat kala berada di sekitar Ratu. Alhasil ia akan menghabiskan waktu berlama-lama di dalam kamar mandi untuk mengatasi masalahnya sendiri. Tentu saja ia tidak mau Ratu merasa menderita karena sakit perut lagi.

Jeffrey menghela nafas panjang. Ia ingat pernah berkata kalau selain berhubungan intim, saling melempar lelucon juga merupakan usaha mempererat hubungan pernikahan. Namun sial, jangankan untuk melempar lelucon, sekedar berbicara tatap muka saja sulitnya setengah mati, batin Jeffrey.

Ia berjalan menuju ranjang tempat Ratu berbaring. Kemudian dengan gerakan hati-hati dikecupnya kening Ratu.

“Aku pulang, Ra.”

Tak ada respon. Tentu saja itu karena Ratu yang tertidur dengan sangat pulas sejak beberapa jam yang lalu.

Jeffrey mendengkus. Lantas ia memutuskan untuk segera membersihkan diri di kamar mandi, agar dapat ikut berbaring di samping Ratu secepatnya.

Sejak kedatangan Jemian, tak banyak yang Ratu lakukan, pasalnya ia merasa bahwa tubuhnya benar-benar sangat lemas kali ini. Ditambah lagi dengan sembelit yang memang sudah ia alami sejak beberapa hari yang lalu.

Tangan Ratu terkulai lemas, kakinya pun kini sulit digerakkan. Batinnya mengeluh, ini pertama kalinya Ratu merasakan hal tersebut. Kepalanya terus berkedut, pening. Ia ingin memanggil Jemian di luar kamar, namun tenggorokannya terasa begitu kering.

Mungkin ini semua akibat ia yang terus memuntahkan isi perutnya sejak pagi. Meskipun Ratu sudah mengikuti perkataan Jeffrey untuk tetap memakan sesuatu sekedar untuk mengisi perut, namun tetap saja semua itu akan ia muntahkan lagi dan lagi.

Ratu menghela nafas, Jemian pasti tengah sibuk menonton siaran televisi, karena suara televisi di luar sana terdengar ngaring sampai kedalam kamarnya.

“Jem ... Jemian ...,” lirih Ratu.

Jemian tak kunjung memberikan jawaban apapun. Kemudian, mau tidak mau Ratu beranjak dari tempat tidurnya. Dengan kaki yang sedikit gemetar karena sangking lemasnya, Ratu berjalan keluar kamar.

“Jem ....”

Mendengar suara Ratu, refleks Jemian menoleh. “Loh Mbak? Kenapa?” tanya Jemian.

Jemian beringsut menghampiri Ratu. Melihat kondisi tubuh dan raut wajah iparnya yang terlihat aneh itu, lantas Jemian berinisiatif untuk membopong Ratu ke arah sofa.

“Kenapa Mbak?”

“Aku pusing banget, Jem. Tolong anterin ke dokter ya? Takut ada apa-apa,” pinta Ratu.

“Mau sekarang, Mbak?”

Ratu mengangguk pelan. Lalu Jemian mengurungkan niatnya untuk mendudukkan tubuh Ratu pada sofa. “Mbak mau ganti baju dulu, atau nggak usah?” tanya Jemian, yang mungkin terdengar lembut namun dalam hatinya ia sudah panik bukan main.

“Nggak, Jem. Langsung aja.”

Tanpa basa-basi lagi, Jemian langsung menuntun tubuh Ratu dengan sangat hati-hati. Perkiraannya, jarak dari unit Ratu ke parkiran mobil cukup jauh. Jemian merutuki Kakaknya yang tak kunjung membeli rumah untuk ditempati. Kalau seperti ini segalanya menjadi repot. Jemian sadar bahwa tubuhnya tidak sebesar dan sekuat Jeffrey untuk menggendong Ratu, oleh karena itu ia hanya bisa bersabar dengan langkah kaki kecil-kecil milik ipranya tersebut.


Setiba di rumah sakit, Ratu langsung masuk ke UGD untuk diperiksa. Jemian menunggu dengan harap dan cemas. Takut kalau-kalau Ratu kenapa-napa. Kemudian dengan sangat terpaksa ia harus mengganggu pekerjaan Jeffrey dengan menelpon Kakaknya itu.

Tutt!

“Halo? Mas!” seru Jemian dengan nada panik.

“Kenapa?”

“Bisa gak kerjanya lanjut besok aja? Mbak Ratu masuk UGD!”

“HAH?!”

Bagai mendengar sambaran petir, jantung Jemian hampir saja melompat keluar tatkala mendengar Jeffrey berteriak diseberang telepon.

“Kagetnya nanti aja, Mas. Mas e mendingan kesini sekarang! Jantung Jemi nderedeg! Mana gak punya uang.” Jemian tidak berbohong. Ia memang tidak membawa sepeser uang pun, dan ia yakin hal yang sama juga dilakukan oleh saudara iparnya yang tengah diperiksa di dalam sana. Pasalnya baik Jemian dan juga Ratu, mereka berdua sama-sama terburu-buru meninggalkan apartemen.


Tiba-tiba saja, seorang dokter yang memang berjaga di ruang UGD tersebut keluar, “Anda keluarga pasien?” tanyanya.

Jemian ngangguk. “Iya, saya Adiknya, Dok.”

Sebelum pembicaraan keduanya berlanjut, kedatangan Jeffrey membuat mereka berdua terkejut.

“Istri saya gimana, Dok?!” kata Jeffrey menggebu-gebu.

“Sebelumnya Bapak bisa tenang terlebih dahulu?”

Jeffrey mengusap wajahnya gusar, lalu menarik nafas dalam-dalam dan membuangnya perlahan-lahan.

“Istri Bapak mengalami Hiperemesis Gravidarum, atau biasa disebut HEG. Ini merupakan keadaan muntah-muntah yang jauh lebih parah dibandingkan dengan morning sickness, Pak. Penyebab pastinya belum diketahui sampai sekarang. Tapi ini wajar, dan normal terjadi pada saat ibu hamil masih berada dalam masa trimester pertama. Saya menyarankan supaya istri bapak diopname sampai sekitar 2 atau 3 hari kedepan, karena mau bagaimanapun juga janin membutuhkan nutrisi untuk berkembang, tapi jika makanan yang masuk ke dalam perut Ibu hamil selalu dimuntahkan keluar maka nutrisi tersebut tidak terpenuhi, dan janin akan terganggu perkembangannya,” tutur dokter itu panjang lebar.

Selanjutnya, dengan sengaja Jemian menepuk pundak Jeffrey. Ia mencoba untuk menguatkan Kakaknya itu, sebab Jemian tahu bahwa Jeffrey pasti sangat gelisah saat ini karena mendengar penjelasan mengenai kondisi Ratu dan janin dalam kandungannya.


Jeffrey diam melamun di sudut rumah sakit. Setelah berpikir panjang, akhirnya ia memutuskan untuk membiarkan Ratu diopname. Ia tidak mau terjadi apa-apa lagi nantinya.

Jeffrey sudah cukup menyesal karena menurutnya, ia kurang memperhatikan Ratu. Bahkan setelah Ratu mengutarakan keluhannya pun, Jeffrey justru lebih memilih mengutamakan pekerjaannya terlebih dahulu. Meski ini semua terjadi di luar dugaannya, namun tetap saja ia merasa bersalah. Dalam benak Jeffrey, seharusnya tadi siang ia pulang dan mengecheck langsung kondisi istrinya itu, dan bukannya malah meminta Jemian untuk menjaga Ratu.

Sekarang, bahkan sekedar melihat wajah istrinya di dalam ruang kamar inap saja, Jeffrey takut. Takut kalau-kalau yang ia lihat adalah kondisi terburuk Ratu. Jeffrey takut kalau Ratu kesal melihatnya, karena ia gagal menjadi suami yang siaga.

“Mas.” Suara Jemian membuyarkan lamunannya. “Dicariin sama Mbak Ratu, tuh. Jemi mau pulang dulu, mau nugas,” kata adiknya itu.

“Ratu gimana?”

“Gimana apanya?” tanya Jemian, bingung dengan maksud perkataan Jeffrey.

Jeffrey menghela nafas, terdengar pasrah. “Gimana keadaannya?” jawabnya kemudian.

Lantas, Jemian mengulas senyum seketika. Ia dapat menangkap sinyal bahwa Jeffrey tengah khawatir, namun enggan untuk menemui Ratu saat ini.

“Dicariin sama Mbak Ratu, Mas. Mendingan Mas Jeffrey langsung masuk aja, ngapain malah tanya Jemi? Nanti kalo Mbak Ratu kenapa-napa karna nyariin Mas, gimana?” ledek Jemian, dan dihadiahi oleh dengkusan kesal oleh Jeffrey selanjutnya.

Detik kemudian Jeffrey beranjak. Ia berniat untuk menemui Ratu secepatnya, karena mendengar perkataan Jemian barusan. *Yah, memangnya suami mana yang tidak takut jika istrinya kenapa-napa?”

Baru saja ingin melangkah, Jemian lebih dahulu menyodorkan tangannya.

“Apa?” tanya Jeffrey.

“Ongkos buat pulang, Mas.”

“Kamu kan naik mobil?

“Lho lho lhoh, bensine pie?”