cakgrays

Jeffrey menatap layar ponselnya dengan wajah geram. Sekitar beberapa jam yang lalu, Ratu menelponnya. Kata wanita itu saat di telpon, ia akan datang, dan membawa sesuatu untuk mereka makan sama-sama. Tapi sampai detik ini batang hidung Ratu belum juga kelihatan.

Sebenarnya rencana Jeffrey hari ini cukup padat. Kalau bukan demi menjaga hati sang istri, mungkin ia akan menolak mentah-mentah ajakan Ratu. Dan sekarang, hampir satu jam lamanya Jeffrey tidak melakukan apa-apa. Hanya menatap pantulan wajahnya pada jendela kaca yang mengarah langsung ke gedung-gedung tinggi lainnya di Ibu Kota.

Jeffrey menghela nafas. Sempat terlintas dalam benaknya untuk pergi dan melakukan pertemuan penting dengan salah seorang klien. Tapi kalau diingat-ingat, ia sudah sangat belaga dan seenak jidatnya menyuruh Yudhis membatalkan jadwal pertemuan penting tersebut. Agaknya kalau ia lagi-lagi berubah pikiran, Yudhis pasti mengoceh tak karuan, sebab merasa dipermainkan.

Oke, baiklah. Akhirnya Jeffrey memutuskan untuk pasrah. Melewatkan pertemuan penting dan makan siangnya secara bersamaan hanya karena ibu satu anak yang menyandang status sebagai istrinya itu sulit dihubungi.

Niat hati ingin kembali bekerja, tapi pintu ruangannya tiba-tiba saja terbuka. Menampilkan sosok wanita ramping, dengan rambut yang dikuncir asal-asalan namun menambah kesan seksi karena rahangnya terekspos secara nyata. Jeffrey melongong. Matanya membola seketika dan tak lupa kedua tangannya ada di depan mulut. Seolah tak menyangka dengan sesuatu di hadapannya.

“Sayang!” sapa Jeffrey.

Ia sekonyong-konyong merentangkan tangan, dan berlari memeluk Ratu yang baru saja datang.

Rasa kesal yang sempat melanda hati Jeffrey itu seketika menghilang entah ke mana. Yah, suasana hatinya langsung berubah seketika. Masa bodo soal klien, masa bodo soal keterlambatan makan siangnya. Yang jelas, saat ini Jeffrey hanya ingin bergelendot pada tubuh istrinya—persis seperti bayi kukang menggelendoti batang pohon.

Sementara itu, tepat di belakang mereka berdua ada Yudhis yang mendecih tak senang. Melihat atasannya pamer kemesraan dengan sang istri, tentu saja membuat batin Yudhis meronta-ronta. Ia bahkan belum sempat memeluk istrinya sendiri pagi ini.

Si najis! Kurang lebih begitu batinnya.

Dan, detik kemudian. Seolah mampu mendengar umpatan batin Yudhis—Jeffrey melepaskan pelukannya pada Ratu. Ditatapnya Yudhis dengan ekspresi datar. “Lo gak ada niat buat ke luar dari ruangan gue, Yud? Muka lo ganggu banget, serius.” Tentu saja setelahnya Yudhis langsung pergi dan menutup pintu dengan kasar.

“Aku agak kelamaan, ya?”

“APA? AGAK?!”

Susah payah Jeffrey menarik sudut bibirnya. Ia kembali ingat akan hal yang beberapa saat lalu membuatnya kesal setengah mati. Tapi, lagi. Jeffrey mana berani mengambil tindakan serius untuk memarahi Ratu? Itu mungkin hanya aakan terjadi jika di dalam mimpi.

“Iya, aku agak kelaperan,” kata Jeffrey. Sengaja menggunakan kata yang sama, untuk menyindir istrinya, namun nihil. Alih-alih tersindir, Ratu malah menarik tangan Jeffrey. Menuntunnya untuk duduk di sofa yang memang di sediakan dalam ruangan tersebut.

“Aku sebenernya gak masak makanan berat, sih ... cuman kue balok lumer.”

Tuhan, apa lagi ini? Jeffrey mengelus dadanya sembari melayangkan tatapan nanar. Bahkan setelah menunggu begitu lama, ia masih harus dikecewakan? Keterlaluan! Rasanya Jeffrey ingin mengumpat meski hanya sekali saja tepat di depan wajah Ratu. MANA NASINYA?!

Tapi seolah tidak dapat menilai kondisi sekitar, dengan polosnya Ratu menyodorkan kue itu di depan mulut Jeffrey. Mulutnya sendiri sambil menganga, memberi Jeffrey isyarat agar ikut membuka mulut. Lantas mau tidak mau, lagi-lagi Jeffrey harus meredam kekesalannya.

Gak masalah. Ini sama ngenyanginnya sama nasi, Jeff.

Namun ketika satu gigitan lolos, lava coklat muncrat begitu saja. Dan, demi seluruh alam semesta kali ini Jeffrey tidak tahan lagi. Dikunyahnya kue yang sudah terlanjur bertengger di dalam mulut itu secepat kilat. Ia ingin segera menghujani Ratu dengan berbagai macam kalimat-kalimat umpatan setelahnya. Namun, jemari lentik istrinya itu lebih dahulu mendarat pada dua belah bibir yang sempat ternodai dengan lava coklat.

Dengan telaten Ratu menyeka bibir Jeffrey sambil tersenyum. Entahlah, mungkin karena wajah Jeffrey yang terlanjur memerah akibat kesal itu seolah menjadi hiburan untuknya.

Satu detik, lima detik, dan seterusnya kegiatan Ratu membersihkan bibir Jeffrey tak kunjung selesai. Sementara Jeffrey yang kini menatap wajah Ratu dari jarak sedekat itu pun mulai terbawa suasana. Jantungnya berdegup kencang. Jeffrey bahkan lupa mengedipkan matanya barang sejenak.

“Makannya tuh pel—”

Kalimat Ratu menggantung di udara kala Jeffrey mencengkeram erat tangan yang sebelumnya sibuk membersihkan bibir Jeffrey.

“Mas, kenapa? Kamu marah?” tanya Ratu penasaran dengan ekspresi Jeffrey.

Di sisi lain mata Jeffrey tidak lagi diam. Semakin turun, dan perlahan menyapu setiap inci wajah istrinya itu hingga ke bagian dada.

Bibir merah muda alami, mirip dengan buah persik Jepang yang tempo hari ia makan. Leher putih yang seakan-akan menariknya untuk membenamkan wajah di sana. Serta, dada putih yang sedikit terekspos karena model pakaian yang Ratu kenakan saat ini, rasa-rasanya bukanlah sebuah kebetulan.

Ratu sengaja?

Perlahan-lahan Jeffrey mencondongkan tubuhnya. Menyatukan bibir mereka dalam keheningan. Tak ada penolakan. Jeffrey tersenyum ditengah-tengah kegiatan bercumbunya.

Dengan lembut Jeffrey menyingkirkan anak rambut dari wajah Ratu. Tangan lainnya kini mendarat tepat di pinggang sang istri. Hanya perlu sedikit usaha sampai akhirnya Ratu kini duduk di atas pangkuan Jeffrey dengan nyaman.

Kelopak mata Ratu terpejam sesaat. Ia juga menikmati alurnya. Ada sisa rasa manis pada bibir Jeffrey saat ini, membuat Ratu sedikit kecanduan.

Tangan Jeffrey menelusuri permukaan punggung Ratu yang memang tidak tertutup oleh pakaiannya.Hangat.

Pagutan bibir mereka semakin intens, hingga napas Ratu tersengal-sengal dibuatnya.

Ratu mengerang. Dipukulnya berkali-kali bahu Jeffrey, sebab stok napasnya sudah habis.

“Aku makan kamu aja boleh gak, sih?” tanya Jeffrey seketika. Merasa perbuatannya kali ini masih kurang.

Oke, ini gila! Mereka ada di kantor!

Jeffrey menautkan kedua alisnya. “Kok gak jawab?”

Ratu menggeleng. Ia tahu ini salah. Bagaimana kalau tiba-tiba saja ada karyawan yang masuk?

“Kita lagi di kantor, kalau kamu lupa.”

“Kita bisa pakai kamar.”

Ah iya, Ratu melupakan sesuatu yang penting. Ada sebuah kamar kecil di dalam ruangan Jeffrey. Kamar yang dulunya sering mereka gunakan untuk istirahat saat musim lembur tiba. Tapi tetap saja ini terlalu beresiko. Apalagi kalau mengingat waktu bercinta Jeffrey tidaklah singkat.

“Gak bisa, Mas. Nanti aja di rumah....,” bujuk Ratu memelas. Tapi itu sama sekali tidak mempengaruhi Jeffrey.

Here we go! Bibirnya mengerucut, wajahnya kusut, serta alisnya terus saja bertaut. Siapa lagi kalau bukan 'Jeffrey yang merajuk?'

“Gini aja, cium aku sekali lagi.”

Kemudian tanpa pikir panjang, dan dengan sedikit minat yang masih tersisa, Jeffrey kembali memompa semangatnya. Meraup bibir Ratu dengan sangat rakus, dan mengabsen gigi istrinya itu satu per satu, hingga sebuah desah lirih lolos dari mulutnya. Kegiatan yang berlangsung selama bermenit-menit itu sukses membuat peluh mereka bercucuran meski di ruangan ber-AC. Anggaplah Jeffrey gila. Bahkan hanya sekedar ciuman penuh gairah mampu menghancurkan penampilan Ratu siang itu. Beruntung akal sehatnya masih sedikit berfungsi. Jeffrey sengaja tidak meninggalkan bekas apapun pada tengkuk hingga bahu Ratu.

Kemudian, saat dirasa sudah cukup melakukan ciuman panasnya, Ratu beranjak dari pangkuan Jeffrey sambil beringsut ketakutan.

“Udah, udah!”

“Sumpah buru-buru banget?!” kata Jeffrey tidak terima.

“APA? BURU-BURU APANYA?! AKU UDAH LAMA YA DUDUK DI SANA!” seru Ratu, sembari menunjuk sesuatu yang sepertinya sudah terbangun sejak beberapa menit yang lalu.

Ratu merinding sendirian saat tak sengeja membayangkan benda itu berhasil keluar, dan mereka melakukan kegiatan erotis di dalam kantor, persis seperti cerita-cerita yang sempat ia baca saat masih belia.

Sontak Jeffrey terbahak. Ekspresi panik Ratu sedikit menggelitik perutnya.

“Yaudah, sana pulang. Dianterin sama Yudhis, ya? Aku mau ngurus yang ini.” Jeffrey melirik ke bawah sepersekian detik, dan tentu saja Ratu paham apa maksudnya.

Selanjutnya Ratu mengangguk mantap. Namun sebelum pergi meninggalkan Jeffrey, ia lebih dulu mendekat. Sengaja mengecup bibir Jeffrey dengan singkat. “Pulang cepet, ya,” kata Ratu, diakhri dengan sebuah sentuhan sensual yang dimulai dari dada, dan terus terun hingga menyentuh sesuatu.

“RATU?!”

Sepoy angin kota Jakarta pagi ini merambat masuk ke dalam kemeja coklat yang Bian kenakan. Seragam Pramuka katanya.

Di depan Bian ada Zaid yang terus menggerutu. Kesal, sebab apel pagi yang tak kunjung usai. Padahal dia yakin setengah mati kalau begitu tiba di tempat perkemahan nanti, dia akan kembali melakukan kegiatan semacam ini. Berdiri setidaknya hampir satu jam ditemani teriknya sinar matahari. Lencang kanan, lencang kiri, kemudian istirahat di tempat untuk mendengarkan amanat. Belum lagi pembacaan Tri Satya, dan Dasa Darma Pramuka. Terdengar hela napas panjang dari Zaid.

“Tolong ini kapan jalannya, sih?!” kata Zaid. Meski kesal, dia masih berbisik. Takut kalau-kalau didengar oleh Kakak Pembina, dia akan diseret keluar dari barisan.

Bian berdecak, “Bisa gak lo tutup mulut lo itu? Gue jadi ikut tertekan dengernya!”

“Gak bisa, Anjing. Gue kesel bang—”

Perkataan Zaid menggantung di udara, dan sepertinya tersapu begitu saja oleh angin. Namun demikian Bian mengikuti ke mana perginya sorot mata Zaid.

Dengan cengiran lebar, dan jalan petantang-petetenteng, Ozi masuk ke dalam barisan yang lebih sedikit siswanya. Ya, itu yang mereka lihat. Padahal seingat Bian, Ozi sendiri yang mengatakan bahwa dirinya tidak mungkin mengikuti kegiatan ini.

“Dia jadi apaan? Pembina?” tanya Bian.

Zaid menggeleng, “Elo nanya ke gue? Terus gue harus nanya ke siapa, Bi?” jawab Zaid yang kemudian mengaduh sebab bokongnya dipukul oleh Bian.

“Pelecehan!” Zaid bersungut-sungut.


Dugaan Bian soal Ozi yang berubah pikiran dan ikut mewakili OSIS dalam acara perkemahan kali ini benar adanya. Buktinya sekarang kawan sekaligus kakak kelasnya itu tengah berdiri di hadapannya.

Tadi sekali, begitu tiba di tempat berlangsungnya kegiatan perkemahan yang telah ditentukan, para siswa diminta untuk segera mendirikan tenda masing-masing. Lalu, saat Bian dan Zaid tengah sibuk mendirikan tenda kecil mereka, Ozi sekonyong-konyong datang. Seakan-akan bukan perkara besar soal baginya meminta untuk menumpang tidur malam ini.

Sontak, baik Bian maupun Zaid, raut wajah mereka sama-sama nelangsa. Sudah sempit, ditambah Ozi. Persis seperti kata pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga. Bisa-bisanya dia terpikirkan untuk numpang tidur di tenda kecil itu. Bian menarik napas dalam-dalam. Kalaupun tidak diizinkan, dia sudah bisa membayangkan bagaimana menyedihkannya Ozi yang akan kepanasan dan kehujanan di luar tenda. Lantas Bian melempar tatapannya pada Zaid. Selanjutnya seolah mendebatkan sesuatu melalui sorot mata mereka.

“Gak!” pekik Zaid. Agaknya dia kurang setuju.

Detik kemudian yang mereka dapati adalah ekspresi paling menyedihkan yang pernah Ozi tunjukkan. Dia sendiri jelas tidak sampai hati melihat Ozi yang sangat lesu seolah tengah terserang tifus!

“Lo tega sama dia, Id?”

Zaid melirik ke arah Ozi. Dia hanya mengerutkan keningnya, entah apakah Bian dapat menangkap gestur itu.

“Satu malem doang....” timpal Ozi lirih.

“Yaudah!”

“Tapi lo harus ikut kontribusi buat perut gue sama Zaid nanti malem, Ji. Terus jangan lupa besok ikut beresin tendanya. Kalo enggak, elo yang gue beresin!”

Bian itu baik, sangat baik! Tapi, kalau soal perhitungan jelas levelnya jauh di atas Zaid. Mungkin Zaid terpaksa mengizinkan Ozi tidur di dalam tenda mereka. Tapi kalau Bian, yang dia pikirkan selain tentang pertemanan, juga sekaligus memanfaatkan keadaan. Prinsipnya, semua yang ada di dunia ini tidaklah gratis. Seperti yang dia katakan kepada Ozi barusan, ada syarat dibalik izin yang dia berikan.

Seolah tak ada habisnya. Usai mendirikan tenda, lagi-lagi para siswa diharuskan untuk berkumpul di tengah-tengah lingkaran tenda-tenda kosong. Sebut saja briefing, kata Kakak Pembina.

Dari yang Bian tangkap, malam ini akan ada kegiatan jerit malam untuk mencari kupon sarapan esok harinya. Selebihnya apa? Entahlah, Bian justru sibuk memandangi barisan para putri di hadapannya sebab ada sosok Ajeng yang paling menonjol di sana.

Maklum, gadis itu sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengan gadis lainnya. Otomatis tak begitu sulit untuk mencari Ajeng di antara banyaknya siswi lain.

Kedekatan Bian dan Ajeng sulit dijelaskan. Sejauh ini mereka sering kali bertukar cerita satu sama lain, meskipun Bian yang lebih sering mengobral ceritanya daripada Ajeng. Masih ada belum Ajeng sampaikan pada Bian. Tentang dirinya, tentang latar belakang keluarganya, dan masih banyak lagi. Namun di sisi lain, Bian enggan mengorek lebih dalam. Takut kalau-kalau keingin-tahuannya nanti justru menjadi taburan garam di atas luka milik Ajeng. Mengingat informasi yang Zaid sampaikan tempo hari, memang sepertinya urusan keluarga gadis itu sedikit sensitif. Toh Bian sudah cukup bahagia acapkali melihat Ajeng tertawa. Gadis itu seolah tak memiliki beban berat di pundaknya. Gadis itu seolah tak pernah ditinggalkan dan kehilangan sebelumnya meski apa yang ada di kenyataan berbanding terbalik.

Untuk saat ini, Bian merasa mungkin atmosfer di dalam keluarganya memang seringkali buruk, tapi konfliknya tentu saja tidak seserius keluarga Ajeng.

Bian memutuskan untuk menunggu sampai saatnya nanti sosok Diajeng Pramesti yang penuh rahasia itu menghampirinya dengan membawa sejuta kisah dalam hidupnya untuk dia ceritakan.

Sadar sudah terlalu lama menatap wajah Ajeng, bocah itupun mengalihkan pandangannya. Sepertinya nanti sore akan turun hujan, jika dilihat dari gelapnya langit bagian timur sebab tertutup oleh awan-awan hujan.

“Untuk sekarang kalian boleh kembali ke tenda masing-masing. Nanti sore, sekitar pukul tiga—kamar mandi umum akan dibuka. Kalian bisa ngantri mandi di sana nanti.”

Barisan siswa dibubarkan. Dan semuanya kembali ke tenda masing-masing. Soal ramalan cuaca oleh Bian, ternyata ada benarnya. Mungkin karena angin bertiup kencang, maka awan mendung lebih cepat mengunjungi tempat perkemahan daripada perkiraan sebelumnya. Masih terlalu pagi untuk gerimis. Alhasil ada banyak kegiatan yang harus ditunda, dan digantikan dengan kegiatan bincang hangat di dalam tenda.

“Biasanya kalo abis ujan gini, jalanan jadi licin. Karna rumput sama tanahnya basah, lo berdua harus hati-hati pas jalan. Jangan meleng!”

Bian menguap seketika. Hal-hal semacam itu, jelas dia sudah paham. Ada kalanya bagi Bian—Ozi ini terlalu cerewet untuk seukuran anak laki-laki usia delapan belas tahun. Persis seperti ibu-ibu yang hobi sekali menceramahi anak-anaknya—siapa lagi kalau bukan Bian dan Zaid?

Sementara di sisi lain ada Zaid yang sibuk manggut-manggut, tapi wajahnya tampak serius.

“Ngomong-ngomong nih, elo sama bokap lo gimana, Bi? Udah damai?” tanya Zaid.

Bian menggeleng lemah. Kurang yakin dengan jawaban yang ada di kepalanya. “Dia minta maaf, tapi gue belom. Dia juga udah kayak biasa aja, tapi menurut gue, kita masih ... awkward?” sahut Bian. Kini wajahnya ikut serius seperti halnya Zaid.

“Perasaan-perasaan kayak gitu emang harus lo tanganin gak, sih? Emangnya mau sampai kapan lo judes ke orang tua lo?” Oke, kali ini Ozi kembali angkat bicara.

“Abis pulang dari sini ... mungkin.”


Hari itu, pagi hingga menjelang sore, hujan turun sangat deras. Benar-benar banyak kegiatan yang harus mereka lewatkan.

Sempat terbesit di pikiran Bian, kenapa tidak ada yang memanggil Mbak Rara untuk menangkal hujan? Sebab baginya kemah ini merupakan suatu hal yang sia-sia. Tahu begini, lebih baik di rumah. Menonton televisi. Makan bolu-bolu bantet karya Mama yang rasanya terbilang lumayan. Melihat Mama mondar mandir dengan kemoceng yang sengaja diapit pada ketiaknya, sambil menggerutu tidak jelas soal Budhe Lasih yang seringkali melarangnya untuk ikut turun tangan di dapur. Ah, jadi kangen.

Entah dapat angin dari mana, Bian langsung beranjak dari tempat duduknya. Kemudian sekonyong-konyong melangkahi tubuh Zaid dan Ozi yang tengah merebahkan diri di dalam tenda itu.

“Bangsat nih anak kaga ada sopan-sopannya!” seru Ozi yang diamin oleh anggukan kepala Zaid.

“Eh sorry, gak liat.”

“Gede kaya gini gak keliatan, buta apa gimana?!” timpal Zaid.

Bian tak acuh. Dia hanya mengedikkan bahu, kemudian sibuk mencari keberadaan ponsel di dalam tas ranselnya.

Sebenarnya apa yang Bian harapkan sejauh ini?

Sejak awal Bian tahu bahwa dirinyalah yang paling bersalah di sini. Mulai dari menarik diri dari kedua orang tuanya, merokok diam-diam bahkan saat umurnya belum menyentuh tujuh belas tahun, sampai belaga membisu di dalam rumah. Kekacauan-kekacauan ini memang asalnya dari dirinya sendiri. Egonya berantakan. Tidak terkendali sama sekali. Meski dalam keadaan sadar sekalipun, Bian enggan mengalah.

Kalau dipikir-pikir, dia punya tempat yang nyaman untuk pulang. Lantas kenapa masih mencari tempat lainnya?

Kalau dipikir-pikir, ada benarnya apa yang Ayah Yudhis katakan. Nanti tiba saatnya Papa tidak peduli lagi, bagaimana?

Tapi sudah kepalang basah, batinnya. Bian yang masih berusia enam belas tahun lebih sedikit itu bingung memikirkan bagaimana caranya agar keluar dari kekacauan ini? Dibilang gengsi ya memang benar. Minta maaf duluan? Lalu bagaimana dengan perkataan sang papa yang sempat melukai perasaannya itu?

Bian menghela napas kasar. Tepat setelahnya terdengar suara knop pintu yang ditekan. Lalu dengan dada yang berdebar kencang, bocah laki-laki itu memejamkan matanya rapat-rapat. Siasat pura-pura tidurpun Bian lakukan.

“Bi, Papa tau kamu belum tidur, kan?”

Demi Tuhan jantung Bian hampir melompat keluar saat mendengar suara berat papanya itu di dalam keheningan kamar.

Bian sedikit tergoda untuk membuka matanya tatkala dia merasakan ranjangnya ikut bergerak begitu dinaiki oleh Papa—tapi dengan cepat Bian mengurungkan niatnya.

“Kamu selalu kunci pintu kamar akhir-akhir ini, tapi kayanya sekarang kelupaan. Iya, kan?”

Spontan Bian mengeratkan genggaman pada selimut yang tengah menutupi mulai dari leher hingga ujung kakinya.

“Soal chat waktu itu, Papa minta maaf karna gak ngefilter kata-katanya dulu. Papa minta maaf kalau dampaknya sampai bener-bener ngelukain perasaan kamu,” kata Papa sambil menatap lekat-lekat punggung Bian.

“Papa cuman ... gak nyangka waktu tau kamu ngerokok, Bi. Papa juga kalut—takut kalau Mama kamu nyalahin dirinya sendiri. Ngerasa gagal jadi orang tua karna anak satu-satunya udah berani ngerokok padahal masih sekecil ini.”

Tangan Papa menepuk pelan pundak Bian.

Bian dapat mengendus aroma parfum dan pengharum mobil yang menguar dari tubuh Papa.

Apa-apaan ini? Jadi Papa langsung datang ke kamarnya begitu sampai di rumah??

“Papa sih maunya kita bisa ngobrol sekarang, sebentar aja. Tapi kalau kamu belum siap, gak masalah. Papa gak akan maksa, karna yang terpenting Papa udah minta maaf ke kamu. Oh iya, ngomong-ngomong Papa juga sempet dimusuhin sama Mama karna chat itu.” Papa terkekeh kemudian.

“Sabian—Papa emang jarang ngobrol sama kamu. Jarang ada waktu buat kamu. Tapi Mama kamu dua puluh empat per tujuh ada buat kamu, Bi. Jadi jangan ngerasa kalau kamu itu sendirian. Anak laki-laki gak harus deket sama papanya aja, itu yang perlu diubah dari mindset kamu. Papa juga gak lepas tangan gitu aja, kok, soal kamu. Papa tetep mau pastiin kalau anak Papa ini baik-baik aja—tapi lagi ... maaf kalau menurut kamu banyak yang salah dari cara Papa.”

“Papa amatiran ini ... butuh bantuan anaknya buat jadi orang tua yang lebih baik lagi.”

Papa menarik nafas dalam-dalam, kemudian membalikkan posisi tubuh Bian yang sebelumnya sengaja memunggunginya, kini menjadi terlentang. “Boleh nipu asal pakai logika. Mana ada orang tidur tapi nangis kayak kamu!”

Nah kan, ketahuan!

Bian mengusap sudut matanya dengan kasar, dan masih dalam keadaan terpejam. Agaknya enggan bertemu tatap dengan sang papa, dan pastinya ini membuat Papa menahan tawanya seketika.

Bian takut kalau-kalau dia membuka mata, Papa justru akan semakin mengolok-olok dirinya.

Papa mendecih, “Yang kaya gini sok-sokan ngerokok!”

Habis sudah. Mau disimpan di mana muka Bian besok pagi? Sudah kepalang malu. Bian hanya mampu menutupi wajahnya menggunakan selimut. Untuk sesaat Bian lupa caranya bernapas yang baik itu seperti apa. Dia panik bukan main!

Sementara Papa yang melihat respon Bian yang ternyata di luar dugaannya itu, kini beranjak. Khawatir kalau tetap berada di sekitar Bian untuk saat ini justru membuat bocah itu semakin canggung dengannya nanti.

“Yaudah, Papa mau bersih-bersih dulu. Tapi Papa masih nunggu kamu minta maaf soal ngerokok itu, lho—

jangan lupa ya!”

Selanjutnya, tanpa menunggu jawaban dari Bian, Papa langsung pergi meninggalkan kamar itu dan tidak lupa kembali menutup pintunya, rapat.

Delapan hari setelah memutuskan untuk menghindari Papa, keadaan hati Bian tak kunjung membaik. Hubungannya dan Papa justru semakin renggang. Papa yang selalu mencuri-curi waktu sekedar untuk berbicara secara empat mata dengan Bian, harus berkali-kali mengurungkan niat karena faktor Bian sendiri yang sengaja memberi gestur penolakan.

Bingung. Pertengkaran antara seorang anak dan orang tua memang kadang kala sulit untuk dijelaskan. Sulit untuk diselesaikan. Jauh berbeda dengan pertengkaran karena adanya salah paham antar teman sebaya. Mungkin juga faktor perbedaan pendapat karena usia yang terpaut jauh cukup mempengaruhi komunikasi dua arah mereka. Perasaan canggung, dan segan sangat mungkin muncul di tengah-tengah Papa dan Bian.

Pernah sesekali Papa melucu di hadapan Bian. Saat mereka tengah duduk di sisi meja makan lebih tepatnya. Bian tetap acuh. Merasa bahwa dia seharusnya menahan tawa, dan bahkan tetap memasang wajah super kaku di depan Papa.

Kalau boleh jujur, Bian sendiri tidak yakin apakah yang dia lakukan itu benar atau salah. Tapi mengingat pesan yang Papa kirimkan beberapa hari yang lalu, dia masih kesal. Masih sakit hati, mungkin? Dan entah kapan waktu yang pasti bagi hatinya itu akan membaik.

Lalu bagaimana dengan Mama?

Biasa saja. Bian hanya mengeluarkan suara saat benar-benar diperlukan. Selebihnya? Tidak. Bian lebih memilih untuk diam. Menghabiskan waktu di kamar sendirian. Dan hanya akan keluar saat makan atau untuk berangkat sekolah.

Sebenarnya Bian sama sekali tidak kesal dengan Mama. Hanya malas untuk bicara saat tengah berada di rumah. Menghindar dan belaga bisu memang sering kali dilakukan oleh anak-anak seusia Bian saat terjebak dalam sebuah konflik di dalam keluarga. Untung ya, Papa masih baik hati dan tidak berniat memutus arus aliran uang saku Sabian Aditama.

Bocah itu kini sibuk melipat-lipat secarik kertas di tangannya. Sebut saja dia gila. Kertas berisikan permintaan izin untuk melakukan perkemahan yang beberapa saat lalu dibagikan oleh wali kelasnya disulapnya menjadi pesawat kertas. Zaid yang sedari tadi menyaksikan kebodohan kawannya itupun lantas memandang jengah ke arah Bian.

Bisa-bisanya, batin Zaid tak percaya.

Sayangnya Zaid tidak berani menegur Bian seenaknya seperti biasa. Sebab akhir-akhir ini keadaan hati Bian sangat buruk. Cepat sekali berubah seperti halnya langit kota Jakarta. Sebentar cerah, sebentar mendung, sebentar lagi hujan. Takut tersambar petir amarah lebih tepatnya.

“Bi, lo mau ke kantin gak?” tanya Zaid hati-hati.

Ada jeda sebelum akhirnya Bian menggeleng. Jangankan jajan ke kantin, minum air putih saja dia malas setengah mati.

Lalu tanpa banyak basa-basi, Zaid melangkah pergi. Meninggalkan Bian yang masih sibuk berkutat dengan pesawat kertasnya.

Bermenit-menit berlalu, hingga ujung mata Bian menangkap uluran tangan dari seorang gadis di hadapannya. Tangan yang terlihat sangat kecil, namun sepertinya pas untuk digenggam. Tangan yang terlihat cantik meski tanpa menggunakan perhiasan apapun pada jari maupun pergelangannya

Bian mengangkat kepalanya. Kemudian manik mata mereka bertemu. “Apa?” tanya Bian seketika.

“Mau ikut gak?”

“Ke mana?”

Tanpa suara gadis itu menarik tangan Bian. Membawanya menuju anak tangga yang jarang digunakan oleh para siswa karena letaknya ada di bagian sudut gedung sekolah. Dan, ya! Mereka berdua akhirnya menguasai tempat itu sekarang. Hanya berdua, di jam makan siang.

“Ajeng, ini ngapain kita ke sini?”

Ajeng menyodorkan sebuah kotak makan berisikan roti tawar dengan susu kental manis rasa coklat sebagai selainya. “Jangan ego kamu doang yang dikasih makan, Sab. Perut juga perlu. Aku ngajak kamu makan di sini biar kamu tetep keliatan keren di depan Zaid.”

Bian tergelak seketika.

Mana boleh ada gadis semenarik Ajeng? Lucunya. Bahkan dia sangat paham soal ego setinggi langit milik Bian di saat orang-orang terdekatnya bahkan seolah tak acuh?

Bian menarik sudut bibirnya. Dia tersipu malu di hadapan gadis bendahara kelas. Ah, ini kah yang dimaksud cinta monyet? Masa bodo, yang penting hatinya kini berbunga-bunga di tengah gersang.

Akhir-akhir ini memang gadis itulah yang menjadi tempatnya bercerita. Soal Mama, Papa, bahkan hal-hal acak lainnya. Bian selalu suka cara Ajeng merespon keluh kesahnya. Sangat detail. Sampai-sampai hal sesepele apapun dia berikan tanggapan. Bian selalu suka cara Ajeng menatap lurus matanya kala dirinya tengah menceritakan sesuatu. Dan yang paling penting, suara gadis itu kini menjadi menghantar tidur paling merdu saat Bian kesulitan tidur hanya karena tiba-tiba saja memikirkan papanya.

“Ini serius buat aku?”

Ajeng mengangguk semangat.

“Aku udah sarapan tadi pagi—itu cepetan dimakan! Nanti keburu selesai jam istirahatnya.”

Astaga. Mungkin kalau Ajeng mampu membaca pikiran Bian, maka dia akan tahu betapa tergila-gila laki-laki di hadapannya itu kepada dirinya saat ini.

Bian duduk di atas ranjangnya. Ranjang yang berdekatan dengan jendela kaca yang mengarah langsung ke sebuah balkon.

Pundak anak laki-laki itu merosot, sebelum akhirnya memutuskan untuk merebahkan diri di samping guling bersarung seprei warna abu-abu yang sejak tadi menemaninya dalam kegelapan kamar.

“Hadeh,” desahnya.

Ada sedikit rasa menyesal karena melewatkan makan malam. Kini perutnya terasa sangat kosong, bahkan Bian mampu mendengar suara perutnya sendirian. Bian mencibir diri sendiri. Memang agak sial hari yang dilewatinya kali ini. Bisa-bisanya rokok yang bahkan sudah lebih dari seminggu lama beranda di dalam tasnya itu melompat ke luar tas, terlebih lagi saat Mama yang memegang tersebut.

Sebenarnya dalam benak Bian tahu bahwa dirinya memang bersalah di sini. Bian tahu bahwa dirinya pasti sudah mengecewakan Mama. Baru saja beberapa hari yang lalu ketahuan berbohong soal ekstrakurikuler—eh sial, hari ini ketahuan merokok.

Habis sudah. Kurang lebih hampir sekitar dua jam Mama terus membawanya berputar-putar menaiki mobil sembari mendengarkan ceramah oleh sang mama mengenai bahaya merokok bagi anak muda.

Tapi, bukan itu yang membuat Bian memutuskan mengurung diri di kamar semalaman. Melainkan sebuah akhiran chat yang Papa kirimkan tadi sore untuknya.

Bian menghela napas kasar tatkala terdengar suara gagang pintu yang ditekan dari luar sana. Sepertinya lagi-lagi itu sang mama. Pasalnya Budhe Lasih mana berani mengusik dirinya? Bian mendengkus. Jangankan beranjak membukakan kunci pintu kamarnya, niat saja sedikitpun tak terlintas dalam benaknya.

Ini semua masalah hati! Dia terlanjur sakit hati mengingat pesan Papa, dan ya—pengebab Papa mengirimkan pesan seperti itu kan jelas-jelas karena laporan Mama, begitu batinnya.

“Bian, Mama minta maaf, Nak. Bukain dong pintunya?”

Entah sudah keberapa kalinya Mama berteriak memohon-mohon pada Bian agar dibukakan pintu kamarnya.

“Mama janji gak marah-marah lagi, Bi. Mama cuman mau ngobrol sama kamu sebentar aja.”

“Bian mau tidur, Ma. Emangnya masih kurang yang tadi sore di mobil? Bian tuh capek. Tenang aja, udah dibuang juga barangnya.” Bian jadi sewot seketika. Telinganya juga perlu diistirahatkan, bukan begitu? Toh, besok pagi masih harus bertemu sang papa dan lagi-lagi mendapat ceramah panjang kali lebar. Begitu pikirnya.

Mama pun sejak awal tidak berharap banyak saat kembali mendatangi kamar Bian untuk kesekian kalinya. Mama sejak awal tahu bagaimana kerasnya watak Bian. Mama sudah menduga kalau lagi-lagi dia akan gagal menyuruh Bian keluar untuk makan.

“Makanannya udah Mama angetin, Bi. Bawa masuk aja ke kamar sebelum Papa kamu pulang. Mama tau, kamu kaya gini karna Papa, kan? Mama minta maaf karna buru-buru kasih tau Papa tadi sore. Mama juga minta maaf ... karna Papa kamu kelewatan. Kamu gak perlu maafin Mama sekarang. Yang penting buat Mama—kamu gak lewatin makan malem, Bi.”

Sepersekian detik, seperti ada sesuatu yang menyengat dada Bian. Lantas dia beranjak turun dari ranjang. Saat kakinya menyentuh lantai, Bian kedinginan. Dia berjalan jinjit-jinjit menuju pintu. Menarik nafas sejenak dan memutar kunci pintu kamar yang sedari tadi menggantung di sana. Dan beberapa saat kemudian kepala anak laki-laki dengan rambut lembut hitam legam yang sedikit acak-acakan itu menyebul keluar. Mengejutkan sang mama yang masih setia berdiri di depan pintu kamarnya.

“Mau makan?” tanya Mama, disertai sebuah senyum penuh makna.

Bian mengangguk. Perlahan-lahan tubuh Bian kini muncul sepenuhnya dari balik pintu.

Bian duduk di atas ranjangnya. Ranjang yang berdekatan dengan jendela kaca yang mengarah langsung ke sebuah balkon.

Pundak anak laki-laki itu merosot, sebelum akhirnya memutuskan untuk merebahkan diri di samping guling bersarung seprei warna abu-abu yang sejak tadi menemaninya dalam kegelapan kamar.

“Hadeh,” desahnya.

Ada sedikit rasa menyesal karena melewatkan makan malam. Kini perutnya terasa sangat kosong, bahkan Bian mampu mendengar suara perutnya sendirian. Bian mencibir diri sendiri. Memang agak sial hari yang dilewatinya kali ini. Bisa-bisanya rokok yang bahkan sudah lebih dari seminggu lama beranda di dalam tasnya itu melompat ke luar tas, terlebih lagi saat Mama yang memegang tersebut.

Sebenarnya dalam benak Bian tahu bahwa dirinya memang bersalah di sini. Bian tahu bahwa dirinya pasti sudah mengecewakan Mama. Baru saja beberapa hari yang lalu ketahuan berbohong soal ekstrakurikuler—eh sial, hari ini ketahuan merokok.

Habis sudah. Kurang lebih hampir sekitar dua jam Mama terus membawanya berputar-putar menaiki mobil sembari mendengarkan ceramah oleh sang mama mengenai bahaya merokok bagi anak muda.

Tapi, bukan itu yang membuat Bian memutuskan mengurung diri di kamar semalaman. Melainkan sebuah akhiran chat yang Papa kirimkan tadi sore untuknya.

Bian menghela napas kasar tatkala terdengar suara gagang pintu yang ditekan dari luar sana. Sepertinya lagi-lagi itu sang mama. Pasalnya Budhe Lasih mana berani mengusik dirinya? Bian mendengkus. Jangankan beranjak membukakan kunci pintu kamarnya, niat saja sedikitpun tak terlintas dalam benaknya.

Ini semua masalah hati! Dia terlanjur sakit hati mengingat pesan Papa, dan ya—pengebab Papa mengirimkan pesan seperti itu kan jelas-jelas karena laporan Mama, begitu batinnya.

“Bian, Mama minta maaf, Nak. Bukain dong pintunya?”

Entah sudah keberapa kalinya Mama berteriak memohon-mohon pada Bian agar dibukakan pintu kamarnya.

“Mama janji gak marah-marah lagi, Bi. Mama cuman mau ngobrol sama kamu sebentar aja.”

“Bian mau tidur, Ma. Emangnya masih kurang yang tadi sore di mobil? Bian tuh capek. Tenang aja, udah dibuang juga barangnya.” Bian jadi sewot seketika. Telinganya juga perlu diistirahatkan, bukan begitu? Toh, besok pagi masih harus bertemu sang papa dan lagi-lagi mendapat ceramah panjang kali lebar. Begitu pikirnya.

Mama pun sejak awal tidak berharap banyak saat kembali mendatangi kamar Bian untuk kesekian kalinya. Mama sejak awal tahu bagaimana kerasnya watak Bian. Mama sudah menduga kalau lagi-lagi dia akan gagal menyuruh Bian keluar untuk makan.

“Makanannya udah Mama angetin, Bi. Bawa masuk aja ke kamar sebelum Papa kamu pulang. Mama tau, kamu kaya gini karna Papa, kan? Mama minta maaf karna buru-buru kasih tau Papa tadi sore. Mama juga minta maaf ... karna Papa kamu kelewatan. Kamu gak perlu maafin Mama sekarang. Yang penting buat Mama—kamu gak lewatin makan malem, Bi.”

Sepersekian detik, seperti ada sesuatu yang menyengat dada Bian. Lantas dia beranjak turun dari ranjang. Saat kakinya menyentuh lantai, Bian kedinginan. Dia berjalan jinjit-jinjit menuju pintu. Menarik nafas sejenak dan memutar kunci pintu kamar yang sedari tadi menggantung di sana. Dan beberapa saat kemudian kepala anak laki-laki dengan rambut lembut hitam legam yang sedikit acak-acakan itu menyebul keluar. Mengejutkan sang mama yang masih setia berdiri di depan pintu kamarnya.

“Mau makan?” tanya Mama, disertai sebuah senyum penuh makna.

Bian mengangguk. Perlahan-lahan tubuh Bian kini muncul sepenuhnya dari balik pintu.

Bel pulang sekolah baru saja berbunyi, seiringan dengan Bian yang tengah menumpuk buku-buku pelajaran sebelum memasukan buku tersebut ke dalam tasnya. Sebagian murid mulai menghambur ke luar kelas. Tidak ada berdoa, atau bahkan salam yang diucapkan sebab sejak satu jam yang lalu kelas mereka tak kedatangan guru seorang pun.

Bian menatap layar ponselnya lamat-lamat. Sampai detik ini, sang mama belum juga membalas pesan yang dia kirimkan. Ke mana? Anak laki-laki itu bertanya-tanya.

“Liat apa tuh di hp?” tanya Zaid dengan tampang paling menyebalkan yang pernah Bian lihat.

Bian memutar bola matanya malas. Kemudian dia sengaja mengarahkan layar ponselnya pada Zaid, “Nih, Anjing! Gue liat roomchat! Gue mah gak kayak elo yang hobi nontonesek-esek,” hardik Bian.

Lantas sebuah buku tulis mendarat tepat di atas bibirnya dengan kasar. “Jaga bicaramu itu, ya, Bangsat...,” kata Zaid. Sengaja berbisik, takut kalau-kalau ada yang mendengar percakapan mereka. Alih-alih bergaduh kesakitan, Bian justru cengengesan. Agaknya senang sekali membuat temannya itu gelagapan.

“Lo yang mulai, Id.”

Meski seringkali bertengkar karena hal-hal sepele seperti yang baru saja terjadi—Bian paling dekat dengan Zaid. Bisa dibilang Zaid itu social butterfly. Temannya tersebar hampir di setiap kelas. Bian sendiri bukan seorang anak yang penutup, hanya malas jika harus bersosialisasi dengan banyak orang. Maka jadilah sebuah perpaduan yang pas antara mereka berdua.

“Bian!”

Muncul seseorang di ambang pintu kelas mereka. Rupanya itu si kakak kelas tercinta—alias Ozi sang OSIS. Laki-laki bertubuh kurus itu melongok sebentar, sebelum akhirnya melangkah masuk.

“Ngapain, Ji?” tanya Zaid penasaran. Tangannya sambil merangkul pundak Bian yang sedikit lebih tinggi darinya.

“Mamanya Bian di depan sekolah, tuh.”

Bian mendelik seketika. “Kok bisa?”

“Lah? Lo tanya gua, terus gua tanya ke siapa?” sahut Ozi.

Ozi terdengar sangat serius. Maka sepertinya benar. Entah alasan apa yang menyebabkan sang mama tidak membalas pesannya, dan malah menjemput Bian padahal harusnya hari ini dia melaksanakan ekstrakurikuler. Lantas Bian melepaskan rangkulannya Zaid dan langsung meraih tasnya.

“Makasih infonya, Ji.”

Tanpa mengatakan hal lainnya, Bian bergegas lari ke luar kelas. Meninggalkan Zaid dan Ozi begitu saja. Dia enggan membuat sang mama menunggu lama.

Sementara di dalam kelas Zaid dan Ozi saling menatap satu sama lain, kemudian mereka tergelak.

“Muka adek lo panik banget, Ji. Si paling bucin Mama tapi gengsian,” kata Zaid.

“Temen lo itu.”


Bian dapat langsung melihat mobil mamanya yang terparkir tepat di seberang gerbang sekolah. Degup jantungnya sangat kencang karena berlari kencang dari lantai dua gedung sekolah tersebut.

Sembari mengatur nafas, Bian menormalkan langkah kakinya. Mendekat ke arah mobil hitam di hadapannya.

Sampai saat tubuhnya sudah berada sangat dekat dengan pintu pengemudi, Bian mengetuk kaca mobil tersebut.

Kaca mobil pun terbuka. Menampilkan sosok Mama yang tengah tersenyum kikuk.

“Bi....”

“Mama gak baca chat dari, Bian?” tanya Bian seketika.

“Mama abis dari rumah Kakek kamu. Gak bawa handphone, Sayang. Ketinggalan,”

“Bian ekskul hari ini....”

Bian dapat melihat Mama mengerucutkan bibirnya sesaat. Yah, Bian paham pasti ada sedikit rasa kecewa dalam benak mamanya itu.

Mama menarik nafas panjang. Sadar diri bahwa ini merupakan kesalahannya. “Yaudah Mama pulang dulu, deh.” Mama kedengarannya pasrah. Sebab ingin mengajak Bian pulang saat itu juga sepertinya tidak mungkin. Bisa-bisa Bian marah karena diganggu jadwalnya. Apalagi kalau mengingat bermain bola basket adalah kegemaran Bian—Mama tidak sampai hati untuk meminta Bian bolos ekskul barang sekali saja.

“Mama gapapa?” tanya Bian, nyaris tak terdengar.

“Gapapa.”

“Nanti Bian pulang naik taxi aja, masih ada duit.”

Lantas tangan Mama terulur ke luar mobil. Mengusap lembut rahang anak laki-lakinya itu, kemudian tersenyum. “Tetep Mama jemput aja. Udah sana masuk lagi,” kata Mama.

Bian mengangkat sebelah alisnya. Dia agak ragu, tapi tik juga memberikan penolakan sedikit pun.

“Yaudah kalo gitu—”

“—Bian nitip tas sebentar, mau ganti baju, boleh?”

Mama mengangguk.

Setelah mengeluarkan jersey dari dalam tasnya, Bian langsung memberikan tas itu pada Mama—tanpa menutupnya.

“5 menit!” kata Bian, kemudian berlari kembali menuju gerbang sekolah.

Namun, sebelum langkah kakinya terlalu jauh Mama lebih dahulu berteriak memanggil namanya.

“BIAN!”

Dia menoleh, menatap Mama yang mengangkat sesuatu di tangannya. Menatap Mama yang memasang ekspresi wajah kecewa. Menatap Mama yang pada akhirnya meremat sebungkus rokok miliknya.

Bian tertangkap basah. Ketahuan. Dan sepertinya tidak akan selamat dari sang papa.

Jeffrey baru saja menutup laptopnya. Sekitar pukul sembilan malam pekerjaannya baru selesai. Niat hati ingin mengobrol dengan Ratu meski hanya sebentar pun harus ia urungkan, sebab istrinya itu telah berbaring dengan sangat nyaman di atas ranjang.

Jika dihitung dalam seminggu, sepertinya hanya sebanyak dua kali Jeffrey berbicara empat mata sembari membahas topik-topik acak bersama Ratu. Hampir sebagian besar percakapan mereka berlangsung melalui telepon karena kesibukan Jeffrey yang akhir-akhir ini sangat luar biasa.

Wajar saja jika faktor tersebut membuat Jeffrey berkali-kali lipat jauh merindukan sosok sang istri dibandingkan dengan biasanya. Namun sial, rencana menghabiskan malam panjang kali ini sepertinya harus ditunda demi kenyamanan Ratu pastinya.

Manik mata Jeffrey menatap lekat pada setiap inci tubuh wanita yang tengah berbaring di hadapannya itu. Entah sejak kapan selimut Ratu tersibak, dan menampilkan lekuk tubuh Ratu secara terang-terangan.

Akhir-akhir ini cuaca di Ibu Kota cukup panas. Belum turun hujan sejak seminggu yang lalu. Jadi sangat maklum jika para penduduknya merasa kegerahan seperti halnya Ratu. Meski sudah memakai AC sekalipun—tetap saja rasanya masih kurang. Oleh karena itu, malam ini Jeffrey melihat Ratu dengan pakaian tidur yang berbahan sangat tipis sampai sepertinya ia mampu melihat sesuatu di balik pakaian tersebut.

Jeffrey mengembuskan nafasnya dengan kasar. Agaknya ia merasa kesal sekarang—karena pekerjaan yang terus menyita waktunya bersama sang istri.

Dan dengan langkah gontai, Jeffrey menuju ranjang tempat di mana Ratu tengah terlelap. Jeffrey melepas kacamatanya, kemudian meletakan benda itu di atas sebuah nakas yang berada paling dekat dengan ranjang mereka.

Selanjutnya, penuh hati-hati Jeffrey ikut merebahkan tubuh di samping Ratu. Sengaja ia hapus jarak yang ada di antara mereka. Jeffrey rindu aroma tubuh istrinya itu.

Perlahan-lahan tangan Jeffrey mendekap tubuh Ratu, membuat sang empunya bergerak gelisah kemudian.

Ratu membuka matanya seketika. Tatapan mata keduanya saling beradu. Baik Jeffrey maupun Ratu seolah terkunci pandangannya. Sontak Jeffrey tersenyum tatkala tangan ratu menangkup wajahnya menggunakan satu tangan. Dan dengan sangat cepat bibir mereka saling menyatu. Saling memagut satu sama lain, hingga membuat Jeffrey kegirangan.

Lidah Jeffrey menjamah setiap detail di dalam mulut Ratu. Mengabsen satu per satu objek di balik bibir ranum itu. Membuat ciuman mereka semakin dalam. Bibir. Gerakan lidah Jeffrey. Mengambil alih kesadaran Ratu sepenuhnya. Jeffrey menang. Ia mendominasi Ratu malam ini.

Jeffrey dapat mendengar degupan jantung Ratu yang cukup kencang. Jeffrey mampu merasakan deru nafas Ratu yang kini memburu. Dan, Jeffrey tahu kalau ini juga sesuatu yang memang Ratu inginkan.

Sadar bahwa Ratu mulai terengah-engah, Jeffrey pun menarik dirinya. Ia sibuk menatap hasil dari perbuatannya barusan. Bibir Ratu saat ini sangat merah dan membengkak. Padahal baru sebentar, batinnya.

Jeffrey sadar, bahwa dirinya memang sudah kecanduan bibir milik sang istri. Bahkan seringkali ia kesulitan untuk mengontrol nafsunya sendiri hanya karena melihat benda merah kembar itu.

“Kamu sengaja gak, sih? Pakai baju tidur kaya gini.”

Mendengar pertanyaan Jeffrey barusan, lantas Ratu terkekeh. “Ya sengaja, orang lagi gerah,” jawab Ratu dengan santai.

Kemudian Jeffrey bangkit, meraih remote AC dan membuat suhu ruang kamar mereka jauh lebih rendah dari sebelumnya.

“Kalau segitu ya kedinginan, Mas!”

Jeffrey kembali naik ke atas ranjang, “Sengaja, Ra. Soalnya aku mau bikin kamu panas semaleman.” Setelah mengatakan itu, Jeffrey langsung meraup bibir Ratu tanpa memberikan aba-aba. Ratu tidak menolak sama sekali. Bahkan sejak awal memang yang ia pikirkan adalah menjadi santapan Jeffrey malam ini.

Jemari Ratu menelusup, menyentuh permukaan perut Jeffrey dengan sangat lembut.

Untuk sesaat Jeffrey berbisik lirrih, tepat di depan wajah ratu. Bahkan hidung mereka masih saling menempel. Ratu dapat melihat tatapan mata Jeffrey saat ini berubah. Seperti lebih dipenuhi oleh nafsu, berbeda dengan sebelumnya. “Aku mau kamu malem ini, Ra. Boleh?” kata Jeffrey.

Ratu meleleh. Bahkan sudah bertahun-tahun sejak pernikahan mereka. Jeffrey masih sangat menghargai semua keputusannya, sekalipun itu urusan ranjang.

Tanpa mengeluarkan sepatah katapun, jemari Ratu beranjak naik ke atas. Menjelajahi setiap inci perut hingga dada Jeffrey, membuat sang empunya merinding seketika. Setelah puas melihat ekspresi Jeffrey yang hampir gila karena menahan dirinya, kemudian Ratu mengangguk.

Jeffrey beringsut, memposisikan dirinya di atas Ratu. Di antara kedua paha istrinya. Sementara tangan Ratu sibuk menekan kepala Jeffrey, sengaja membawa ciuman mereka semakin panas. Mereka semakin intim. Dan di bawah sana, ada sesuatu yang seolah ingin segera dikeluarkan.

Ratu melenguh keras hanya karena satu sentuhan lembut yang berasal dari tangan Jeffrey di antara kedua kakinya.

“Mas....”

Jeffrey mengabaikan ucapan Ratu. Kini ia tengah sibuk melancarkan cium-cium lain di area leher Ratu. Menyesap permukaan kulit istrinya itu hingga menimbulkan tanda keunguan di sana. Sementara itu, tangan Jeffrey enggan menganggur rupanya. Dengan satu tarikan ia merusak tiap-tiap jahitan pakaian berbahan tipis yang Ratu kenakan. Suara kain yang sobek seperti menggema di dalam kamar mereka. Dalam minimnya pencahayaan, Jeffrey mendesak Ratu. Menghimpit Ratu di bawah sana, hingga membuat Ratu seolah kehilangan kewarasannya. Ratu semakin kuat mencengkram kemeja tidur yang Jeffrey gunakan.

Merasa pemanasan yang mereka lakukan cukup memakan banyak waktu, Jeffrey siap melucuti pakaiannya. Satu persatu kancing ia lepas tanpa merasa kesulitan sedikitpun, dan pandangan matanya masih terkunci pada manik mata Ratu yang berada di bawahnya.

“Ra, kayanya gak usah pakai pengam—”

Tok tok tok!

Suara pintu kamar yang diketuk dari luar menggema seketika. Persis seperti pencuri yang tertangkap basah, Jeffrey dan Ratu panik seketika.

“IYA, KENAPA?!” pekik Jeffrey. Berharap seseorang di luar sana mampu mendengar suaranya tanpa perlu repot-repot membukakan pintu.

“PAPA DISAMPER PAK RT! DISURUH NGERONDA KATANYA!” Rupanya itu Bian, yang membawa kabar buruk untuk Jeffrey.

Jeffrey merosot seketika. Tubuhnya ambruk di atas Ratu. “Bangsat, ada aja sih bangsat! Dikit lagi, astaga,” racau Jeffrey terdengar seperti orang paling putus asa di seluruh penjuru dunia.

Tak kuasa menahan tawanya, lantas Ratu terkikik. Konyol. Ini malam terkonyol yang pernah mereka lewati.

“PAPA??”

“BILANGIN PAK RT TUNGGU SEBENTAR, BI!” sahut Ratu menggantikan Jeffrey yang tampaknya sudah sangat pasrah dengan keadaan.

Jeffrey baru saja menutup laptopnya. Sekitar pukul sembilan malam pekerjaannya baru selesai. Niat hati ingin mengobrol dengan Ratu meski hanya sebentar pun harus ia urungkan, sebab istrinya itu telah berbaring dengan sangat nyaman di atas ranjang.

Jika dihitung dalam seminggu, sepertinya hanya sebanyak dua kali Jeffrey berbicara empat mata sembari membahas topik-topik acak bersama Ratu. Hampir sebagian besar percakapan mereka berlangsung melalui telepon karena kesibukan Jeffrey yang akhir-akhir ini sangat luar biasa.

Wajar saja jika faktor tersebut membuat Jeffrey berkali-kali lipat jauh merindukan sosok sang istri dibandingkan dengan biasanya. Namun sial, rencana menghabiskan malam panjang kali ini sepertinya harus ditunda demi kenyamanan Ratu pastinya.

Manik mata Jeffrey menatap lekat pada setiap inci tubuh wanita yang tengah berbaring di hadapannya itu. Entah sejak kapan selimut Ratu tersibak, dan menampilkan lekuk tubuh Ratu secara terang-terangan.

Akhir-akhir ini cuaca di Ibu Kota cukup panas. Belum turun hujan sejak seminggu yang lalu. Jadi sangat maklum jika para penduduknya merasa kegerahan seperti halnya Ratu. Meski sudah memakai AC sekalipun—tetap saja rasanya masih kurang. Oleh karena itu, malam ini Jeffrey melihat Ratu dengan pakaian tidur yang berbahan sangat tipis sampai sepertinya ia mampu melihat sesuatu di balik pakaian tersebut.

Jeffrey mengembuskan nafasnya dengan kasar. Agaknya ia merasa kesal sekarang—karena pekerjaan yang terus menyita waktunya bersama sang istri.

Dan dengan langkah gontai, Jeffrey menuju ranjang tempat di mana Ratu tengah terlelap. Jeffrey melepas kacamatanya, kemudian meletakan benda itu di atas sebuah nakas yang berada paling dekat dengan ranjang mereka.

Selanjutnya, penuh hati-hati Jeffrey ikut merebahkan tubuh di samping Ratu. Sengaja ia hapus jarak yang ada di antara mereka. Jeffrey rindu aroma tubuh istrinya itu.

Perlahan-lahan tangan Jeffrey mendekap tubuh Ratu, membuat sang empunya bergerak gelisah kemudian.

Ratu membuka matanya seketika. Tatapan mata keduanya saling beradu. Baik Jeffrey maupun Ratu seolah terkunci pandangannya. Sontak Jeffrey tersenyum tatkala tangan ratu menangkup wajahnya menggunakan satu tangan. Dan dengan sangat cepat bibir mereka saling menyatu. Saling memagut satu sama lain, hingga membuat Jeffrey kegirangan.

Lidah Jeffrey menjamah setiap detail di dalam mulut Ratu. Mengabsen satu per satu objek di balik bibir ranum itu. Membuat ciuman mereka semakin dalam. Bibir. Gerakan lidah Jeffrey. Mengambil alih kesadaran Ratu sepenuhnya. Jeffrey menang. Ia mendominasi Ratu malam ini.

Jeffrey dapat mendengar degupan jantung Ratu yang cukup kencang. Jeffrey mampu merasakan deru nafas Ratu yang kini memburu. Dan, Jeffrey tahu kalau ini juga sesuatu yang memang Ratu inginkan.

Sadar bahwa Ratu mulai terengah-engah, Jeffrey pun menarik dirinya. Ia sibuk menatap hasil dari perbuatannya barusan. Bibir Ratu saat ini sangat merah dan membengkak. Padahal baru sebentar, batinnya.

Jeffrey sadar, bahwa dirinya memang sudah kecanduan bibir milik sang istri. Bahkan seringkali ia kesulitan untuk mengontrol nafsunya sendiri hanya karena melihat benda merah kembar itu.

“Kamu sengaja gak, sih? Pakai baju tidur kaya gini.”

Mendengar pertanyaan Jeffrey barusan, lantas Ratu terkekeh. “Ya sengaja, orang lagi gerah,” jawab Ratu dengan santai.

Kemudian Jeffrey bangkit, meraih remote AC dan membuat suhu ruang kamar mereka jauh lebih rendah dari sebelumnya.

“Kalau segitu ya kedinginan, Mas!”

Jeffrey kembali naik ke atas ranjang, “Sengaja, Ra. Soalnya aku mau bikin kamu panas semaleman.” Setelah mengatakan itu, Jeffrey langsung meraup bibir Ratu tanpa memberikan aba-aba. Ratu tidak menolak sama sekali. Bahkan sejak awal memang yang ia pikirkan adalah menjadi santapan Jeffrey malam ini.

Jemari Ratu menelusup, menyentuh permukaan perut Jeffrey dengan sangat lembut.

Untuk sesaat Jeffrey berbisik lirrih, tepat di depan wajah ratu. Bahkan hidung mereka masih saling menempel. Ratu dapat melihat tatapan mata Jeffrey saat ini berubah. Seperti lebih dipenuhi oleh nafsu, berbeda dengan sebelumnya. “Aku mau kamu malem ini, Ra. Boleh?” kata Jeffrey.

Ratu meleleh. Bahkan sudah bertahun-tahun sejak pernikahan mereka. Jeffrey masih sangat menghargai semua keputusannya, sekalipun itu urusan ranjang.

Tanpa mengeluarkan sepatah katapun, jemari Ratu beranjak naik ke atas. Menjelajahi setiap inci perut hingga dada Jeffrey, membuat sang empunya merinding seketika. Setelah puas melihat ekspresi Jeffrey yang hampir gila karena menahan dirinya, kemudian Ratu mengangguk.

Jeffrey beringsut, memposisikan dirinya di atas Ratu. Di antara kedua paha istrinya. Sementara tangan Ratu sibuk menekan kepala Jeffrey, sengaja membawa ciuman mereka semakin panas. Mereka semakin intim. Dan di bawah sana, ada sesuatu yang seolah ingin segera dikeluarkan.

Ratu melenguh keras hanya karena satu sentuhan lembut yang berasal dari tangan Jeffrey di antara kedua kakinya.

“Mas....”

Jeffrey mengabaikan ucapan Ratu. Kini ia tengah sibuk melancarkan cium-cium lain di area leher Ratu. Menyesap permukaan kulit istrinya itu hingga menimbulkan tanda keunguan di sana. Sementara itu, tangan Jeffrey enggan menganggur rupanya. Dengan satu tarikan ia merusak tiap-tiap jahitan pakaian berbahan tipis yang Ratu kenakan. Suara kain yang sobek seperti menggema di dalam kamar mereka. Dalam minimnya pencahayaan, Jeffrey mendesak Ratu. Menghimpit Ratu di bawah sana, hingga membuat Ratu seolah kehilangan kewarasannya. Ratu semakin kuat mencengkram kemeja tidur yang Jeffrey gunakan.

Merasa pemanasan yang mereka lakukan cukup memakan banyak waktu, Jeffrey siap melucuti pakaiannya. Satu persatu kancing ia lepas tanpa merasa kesulitan sedikitpun, dan pandangan matanya masih terkunci pada manik mata Ratu yang berada di bawahnya.

“Ra, kayanya gak usah pakai pengam—”

Tok tok tok!

Suara pintu kamar yang diketuk dari luar menggema seketika. Persis seperti pencuri yang tertangkap basah, Jeffrey dan Ratu panik seketika.

“IYA, KENAPA?!” pekik Jeffrey. Berharap seseorang di luar sana mampu mendengar suaranya tanpa perlu repot-repot membukakan pintu.

“PAPA DISAMPER PAK RT! DISURUH NGERONDA KATANYA!” Rupanya itu Bian, yang membawa kabar buruk untuk Jeffrey.

Jeffrey merosot seketika. Tubuhnya ambruk di atas Ratu. “Bangsat, ada aja sih bangsat! Dikit lagi, astaga,” racau Jeffrey terdengar seperti orang paling putus asa di seluruh penjuru dunia.

Tak kuasa menahan tawanya, lantas Ratu terkikik. Konyol. Ini malam terkonyol yang pernah mereka lewati.

“PAPA??”

“BILANGIN PAK RT TUNGGU SEBENTAR, BI!” sahut Ratu menggantikan Jeffrey yang tampaknya sudah sangat pasrah dengan keadaan.

Bian hampir lupa kapan terakhir kali dia liburan ke tempat dengan begitu banyak wahana bermain seperti yang didatanginya bersama Om Jemi hari ini. Bianglala, komidi putar, bahkan rumah hantu pun mereka masuki.

Sore itu, kala langit masih cukup cerah. Kala angin berhembus sepoi-sepoi menyapa permukaan kulit Bian—Om Jemi menawarkannya untuk mampir melihat pantai. Kata Beliau sih sebagai penutup acara liburan dadakan mereka kali ini. Bian yang awalnya sudah tidak sabar untuk segera pulang, tiba-tiba saja mengurungkan niatnya.

Memangnya ada yang akan menolak jika diajak melihat pantai? Mungkin begitu batinnya. Maklum, sejak kecil melihat pantai sudah menjadi kegemaran untuk seorang Sabian Aditama.

Deburan ombak, hingga setiap tekstur pasir pantai yang acapkali menggelitik telapak kakinya menjadi sesuatu yang candu.

Dan begitu dirinya dan Om Jemi menginjak pasir pantai sore itu, Bian langsung berlari. Memisahkan diri pastinya. Sebab kalau terus berada di dekat Om Jemi, dia pasti tidak dapat menikmati keindahan pantai dengan santai.

“MAU KE MANA, BI?!” seru Om Jemi.

“JANGAN NGIKUTIN! NANTI BIAN BALIK KE MOBIL SENDIRI.”

Om Jemi menghela nafas panjang. Raut wajahnya tampak puas. Selain untuk menghibur dirinya sendiri, sejak awal memang niatnya untuk mengajak keponakannya itu refreshing. Om Jemi tahu kalau Bian pasti jarang sekali menghabiskan hari libur dengan jalan-jalan seperti ini bersama papanya. Om Jemi pikir dirinya dan Bian seperti saling membutuhkan satu sama lain saat libur panjang seperti ini. Yah, setidaknya itu yang dia pikirkan.


Bian menarik sudut bibirnya. Hal sederhana seperti melihat pantai saja mampu membuatnya tertawa, apalagi melihat pantai sambil ditemani Mama dan Papa secara bersamaan?

Kedengarannya seperti si manja, ya? Kenyataannya Bian acap kali merasa sendirian, merasa tidak diperhatikan dengan baik bahkan sejak dia masih begitu kecil. Masih duduk di bangku sekolah dasar lebih tepatnya. Sejak perusahaan sang papa semakin berkembang pesat—laki-laki itu jarang sekali berada di rumah. Pergi pagi, dan pulang malam—saat Bian sendiri sudah tertidur pulas.

Dulu, Bian kecil sering sekali menghabiskan waktu bersama Mama. Dimanjakan sedemikian rupa, sampai suatu hari salah satu dari temannya beranggapan bahwa sang mama memperlakukan Bian secara berlebihan. Mirip seperti seorang mama mengasuh anak perempuan, katanya.

Sejak saat itu Bian menutup diri, bahkan dari sang mama sekalipun.

Dan saat ini Bian rindu dengan kedua orangtuanya. Rindu diajak bicara empat mata oleh Mama, jalan-jalan dengan Mama dan Papa, juga makan malam di luar bersama.

Om Jemi atau bahkan Ayah Yudhis sekalipun sepertinya masih kurang cukup untuk mengisi kekosongan hati Bian. Namun, di sisi lain anak laki-laki yang begitu mirip dengan papanya itu terlalu malu untuk mengungkapkan isi hatinya atau bahasa kerennya adalah gengsi.

Saat tengah asik melamun, tiba-tiba saja Bian merasa ada yang menepuk pundaknya. Siapa lagi kalau bukan Om Jemi?

“Mau sampai kapan di sini? Besok? Lusa? Apa tahun depan, Bi? Bisa-bisanya kamu nyuruh orang tua nunggu di mobil lama-lama!” kata Om Jemi dalam sekali tarikan nafas.

Bian menggaruk pangkal hidungnya yang tidak gatal, “Perasaan baru lima menit.” Kemudian Bian cengangas-cengengesan ke arah Om Jemi.

“Apanya yang lima menit? Udah ayo pulang! Kamu mau langsung Om anter pulang ke rumah atau mau nginep di rumah Om lagi? Besok pagi baru Om anter pulang.”

Bian menggeleng semangat.

“Mau pulang ke rumah aja, Om.”