cakgrays

Sebenarnya apa yang Bian harapkan sejauh ini?

Sejak awal Bian tahu bahwa dirinyalah yang paling bersalah di sini. Mulai dari menarik diri dari kedua orang tuanya, merokok diam-diam bahkan saat umurnya belum menyentuh tujuh belas tahun, sampai belaga membisu di dalam rumah. Kekacauan-kekacauan ini memang asalnya dari dirinya sendiri. Egonya berantakan. Tidak terkendali sama sekali. Meski dalam keadaan sadar sekalipun, Bian enggan mengalah.

Kalau dipikir-pikir, dia punya tempat yang nyaman untuk pulang. Lantas kenapa masih mencari tempat lainnya?

Kalau dipikir-pikir, ada benarnya apa yang Ayah Yudhis katakan. Nanti tiba saatnya Papa tidak peduli lagi, bagaimana?

Tapi sudah kepalang basah, batinnya. Bian yang masih berusia enam belas tahun lebih sedikit itu bingung memikirkan bagaimana caranya agar keluar dari kekacauan ini? Dibilang gengsi ya memang benar. Minta maaf duluan? Lalu bagaimana dengan perkataan sang papa yang sempat melukai perasaannya itu?

Bian menghela napas kasar. Tepat setelahnya terdengar suara knop pintu yang ditekan. Lalu dengan dada yang berdebar kencang, bocah laki-laki itu memejamkan matanya rapat-rapat. Siasat pura-pura tidurpun Bian lakukan.

“Bi, Papa tau kamu belum tidur, kan?”

Demi Tuhan jantung Bian hampir melompat keluar saat mendengar suara berat papanya itu di dalam keheningan kamar.

Bian sedikit tergoda untuk membuka matanya tatkala dia merasakan ranjangnya ikut bergerak begitu dinaiki oleh Papa—tapi dengan cepat Bian mengurungkan niatnya.

“Kamu selalu kunci pintu kamar akhir-akhir ini, tapi kayanya sekarang kelupaan. Iya, kan?”

Spontan Bian mengeratkan genggaman pada selimut yang tengah menutupi mulai dari leher hingga ujung kakinya.

“Soal chat waktu itu, Papa minta maaf karna gak ngefilter kata-katanya dulu. Papa minta maaf kalau dampaknya sampai bener-bener ngelukain perasaan kamu,” kata Papa sambil menatap lekat-lekat punggung Bian.

“Papa cuman ... gak nyangka waktu tau kamu ngerokok, Bi. Papa juga kalut—takut kalau Mama kamu nyalahin dirinya sendiri. Ngerasa gagal jadi orang tua karna anak satu-satunya udah berani ngerokok padahal masih sekecil ini.”

Tangan Papa menepuk pelan pundak Bian.

Bian dapat mengendus aroma parfum dan pengharum mobil yang menguar dari tubuh Papa.

Apa-apaan ini? Jadi Papa langsung datang ke kamarnya begitu sampai di rumah??

“Papa sih maunya kita bisa ngobrol sekarang, sebentar aja. Tapi kalau kamu belum siap, gak masalah. Papa gak akan maksa, karna yang terpenting Papa udah minta maaf ke kamu. Oh iya, ngomong-ngomong Papa juga sempet dimusuhin sama Mama karna chat itu.” Papa terkekeh kemudian.

“Sabian—Papa emang jarang ngobrol sama kamu. Jarang ada waktu buat kamu. Tapi Mama kamu dua puluh empat per tujuh ada buat kamu, Bi. Jadi jangan ngerasa kalau kamu itu sendirian. Anak laki-laki gak harus deket sama papanya aja, itu yang perlu diubah dari mindset kamu. Papa juga gak lepas tangan gitu aja, kok, soal kamu. Papa tetep mau pastiin kalau anak Papa ini baik-baik aja—tapi lagi ... maaf kalau menurut kamu banyak yang salah dari cara Papa.”

“Papa amatiran ini ... butuh bantuan anaknya buat jadi orang tua yang lebih baik lagi.”

Papa menarik nafas dalam-dalam, kemudian membalikkan posisi tubuh Bian yang sebelumnya sengaja memunggunginya, kini menjadi terlentang. “Boleh nipu asal pakai logika. Mana ada orang tidur tapi nangis kayak kamu!”

Nah kan, ketahuan!

Bian mengusap sudut matanya dengan kasar, dan masih dalam keadaan terpejam. Agaknya enggan bertemu tatap dengan sang papa, dan pastinya ini membuat Papa menahan tawanya seketika.

Bian takut kalau-kalau dia membuka mata, Papa justru akan semakin mengolok-olok dirinya.

Papa mendecih, “Yang kaya gini sok-sokan ngerokok!”

Habis sudah. Mau disimpan di mana muka Bian besok pagi? Sudah kepalang malu. Bian hanya mampu menutupi wajahnya menggunakan selimut. Untuk sesaat Bian lupa caranya bernapas yang baik itu seperti apa. Dia panik bukan main!

Sementara Papa yang melihat respon Bian yang ternyata di luar dugaannya itu, kini beranjak. Khawatir kalau tetap berada di sekitar Bian untuk saat ini justru membuat bocah itu semakin canggung dengannya nanti.

“Yaudah, Papa mau bersih-bersih dulu. Tapi Papa masih nunggu kamu minta maaf soal ngerokok itu, lho—

jangan lupa ya!”

Selanjutnya, tanpa menunggu jawaban dari Bian, Papa langsung pergi meninggalkan kamar itu dan tidak lupa kembali menutup pintunya, rapat.

Delapan hari setelah memutuskan untuk menghindari Papa, keadaan hati Bian tak kunjung membaik. Hubungannya dan Papa justru semakin renggang. Papa yang selalu mencuri-curi waktu sekedar untuk berbicara secara empat mata dengan Bian, harus berkali-kali mengurungkan niat karena faktor Bian sendiri yang sengaja memberi gestur penolakan.

Bingung. Pertengkaran antara seorang anak dan orang tua memang kadang kala sulit untuk dijelaskan. Sulit untuk diselesaikan. Jauh berbeda dengan pertengkaran karena adanya salah paham antar teman sebaya. Mungkin juga faktor perbedaan pendapat karena usia yang terpaut jauh cukup mempengaruhi komunikasi dua arah mereka. Perasaan canggung, dan segan sangat mungkin muncul di tengah-tengah Papa dan Bian.

Pernah sesekali Papa melucu di hadapan Bian. Saat mereka tengah duduk di sisi meja makan lebih tepatnya. Bian tetap acuh. Merasa bahwa dia seharusnya menahan tawa, dan bahkan tetap memasang wajah super kaku di depan Papa.

Kalau boleh jujur, Bian sendiri tidak yakin apakah yang dia lakukan itu benar atau salah. Tapi mengingat pesan yang Papa kirimkan beberapa hari yang lalu, dia masih kesal. Masih sakit hati, mungkin? Dan entah kapan waktu yang pasti bagi hatinya itu akan membaik.

Lalu bagaimana dengan Mama?

Biasa saja. Bian hanya mengeluarkan suara saat benar-benar diperlukan. Selebihnya? Tidak. Bian lebih memilih untuk diam. Menghabiskan waktu di kamar sendirian. Dan hanya akan keluar saat makan atau untuk berangkat sekolah.

Sebenarnya Bian sama sekali tidak kesal dengan Mama. Hanya malas untuk bicara saat tengah berada di rumah. Menghindar dan belaga bisu memang sering kali dilakukan oleh anak-anak seusia Bian saat terjebak dalam sebuah konflik di dalam keluarga. Untung ya, Papa masih baik hati dan tidak berniat memutus arus aliran uang saku Sabian Aditama.

Bocah itu kini sibuk melipat-lipat secarik kertas di tangannya. Sebut saja dia gila. Kertas berisikan permintaan izin untuk melakukan perkemahan yang beberapa saat lalu dibagikan oleh wali kelasnya disulapnya menjadi pesawat kertas. Zaid yang sedari tadi menyaksikan kebodohan kawannya itupun lantas memandang jengah ke arah Bian.

Bisa-bisanya, batin Zaid tak percaya.

Sayangnya Zaid tidak berani menegur Bian seenaknya seperti biasa. Sebab akhir-akhir ini keadaan hati Bian sangat buruk. Cepat sekali berubah seperti halnya langit kota Jakarta. Sebentar cerah, sebentar mendung, sebentar lagi hujan. Takut tersambar petir amarah lebih tepatnya.

“Bi, lo mau ke kantin gak?” tanya Zaid hati-hati.

Ada jeda sebelum akhirnya Bian menggeleng. Jangankan jajan ke kantin, minum air putih saja dia malas setengah mati.

Lalu tanpa banyak basa-basi, Zaid melangkah pergi. Meninggalkan Bian yang masih sibuk berkutat dengan pesawat kertasnya.

Bermenit-menit berlalu, hingga ujung mata Bian menangkap uluran tangan dari seorang gadis di hadapannya. Tangan yang terlihat sangat kecil, namun sepertinya pas untuk digenggam. Tangan yang terlihat cantik meski tanpa menggunakan perhiasan apapun pada jari maupun pergelangannya

Bian mengangkat kepalanya. Kemudian manik mata mereka bertemu. “Apa?” tanya Bian seketika.

“Mau ikut gak?”

“Ke mana?”

Tanpa suara gadis itu menarik tangan Bian. Membawanya menuju anak tangga yang jarang digunakan oleh para siswa karena letaknya ada di bagian sudut gedung sekolah. Dan, ya! Mereka berdua akhirnya menguasai tempat itu sekarang. Hanya berdua, di jam makan siang.

“Ajeng, ini ngapain kita ke sini?”

Ajeng menyodorkan sebuah kotak makan berisikan roti tawar dengan susu kental manis rasa coklat sebagai selainya. “Jangan ego kamu doang yang dikasih makan, Sab. Perut juga perlu. Aku ngajak kamu makan di sini biar kamu tetep keliatan keren di depan Zaid.”

Bian tergelak seketika.

Mana boleh ada gadis semenarik Ajeng? Lucunya. Bahkan dia sangat paham soal ego setinggi langit milik Bian di saat orang-orang terdekatnya bahkan seolah tak acuh?

Bian menarik sudut bibirnya. Dia tersipu malu di hadapan gadis bendahara kelas. Ah, ini kah yang dimaksud cinta monyet? Masa bodo, yang penting hatinya kini berbunga-bunga di tengah gersang.

Akhir-akhir ini memang gadis itulah yang menjadi tempatnya bercerita. Soal Mama, Papa, bahkan hal-hal acak lainnya. Bian selalu suka cara Ajeng merespon keluh kesahnya. Sangat detail. Sampai-sampai hal sesepele apapun dia berikan tanggapan. Bian selalu suka cara Ajeng menatap lurus matanya kala dirinya tengah menceritakan sesuatu. Dan yang paling penting, suara gadis itu kini menjadi menghantar tidur paling merdu saat Bian kesulitan tidur hanya karena tiba-tiba saja memikirkan papanya.

“Ini serius buat aku?”

Ajeng mengangguk semangat.

“Aku udah sarapan tadi pagi—itu cepetan dimakan! Nanti keburu selesai jam istirahatnya.”

Astaga. Mungkin kalau Ajeng mampu membaca pikiran Bian, maka dia akan tahu betapa tergila-gila laki-laki di hadapannya itu kepada dirinya saat ini.

Bian duduk di atas ranjangnya. Ranjang yang berdekatan dengan jendela kaca yang mengarah langsung ke sebuah balkon.

Pundak anak laki-laki itu merosot, sebelum akhirnya memutuskan untuk merebahkan diri di samping guling bersarung seprei warna abu-abu yang sejak tadi menemaninya dalam kegelapan kamar.

“Hadeh,” desahnya.

Ada sedikit rasa menyesal karena melewatkan makan malam. Kini perutnya terasa sangat kosong, bahkan Bian mampu mendengar suara perutnya sendirian. Bian mencibir diri sendiri. Memang agak sial hari yang dilewatinya kali ini. Bisa-bisanya rokok yang bahkan sudah lebih dari seminggu lama beranda di dalam tasnya itu melompat ke luar tas, terlebih lagi saat Mama yang memegang tersebut.

Sebenarnya dalam benak Bian tahu bahwa dirinya memang bersalah di sini. Bian tahu bahwa dirinya pasti sudah mengecewakan Mama. Baru saja beberapa hari yang lalu ketahuan berbohong soal ekstrakurikuler—eh sial, hari ini ketahuan merokok.

Habis sudah. Kurang lebih hampir sekitar dua jam Mama terus membawanya berputar-putar menaiki mobil sembari mendengarkan ceramah oleh sang mama mengenai bahaya merokok bagi anak muda.

Tapi, bukan itu yang membuat Bian memutuskan mengurung diri di kamar semalaman. Melainkan sebuah akhiran chat yang Papa kirimkan tadi sore untuknya.

Bian menghela napas kasar tatkala terdengar suara gagang pintu yang ditekan dari luar sana. Sepertinya lagi-lagi itu sang mama. Pasalnya Budhe Lasih mana berani mengusik dirinya? Bian mendengkus. Jangankan beranjak membukakan kunci pintu kamarnya, niat saja sedikitpun tak terlintas dalam benaknya.

Ini semua masalah hati! Dia terlanjur sakit hati mengingat pesan Papa, dan ya—pengebab Papa mengirimkan pesan seperti itu kan jelas-jelas karena laporan Mama, begitu batinnya.

“Bian, Mama minta maaf, Nak. Bukain dong pintunya?”

Entah sudah keberapa kalinya Mama berteriak memohon-mohon pada Bian agar dibukakan pintu kamarnya.

“Mama janji gak marah-marah lagi, Bi. Mama cuman mau ngobrol sama kamu sebentar aja.”

“Bian mau tidur, Ma. Emangnya masih kurang yang tadi sore di mobil? Bian tuh capek. Tenang aja, udah dibuang juga barangnya.” Bian jadi sewot seketika. Telinganya juga perlu diistirahatkan, bukan begitu? Toh, besok pagi masih harus bertemu sang papa dan lagi-lagi mendapat ceramah panjang kali lebar. Begitu pikirnya.

Mama pun sejak awal tidak berharap banyak saat kembali mendatangi kamar Bian untuk kesekian kalinya. Mama sejak awal tahu bagaimana kerasnya watak Bian. Mama sudah menduga kalau lagi-lagi dia akan gagal menyuruh Bian keluar untuk makan.

“Makanannya udah Mama angetin, Bi. Bawa masuk aja ke kamar sebelum Papa kamu pulang. Mama tau, kamu kaya gini karna Papa, kan? Mama minta maaf karna buru-buru kasih tau Papa tadi sore. Mama juga minta maaf ... karna Papa kamu kelewatan. Kamu gak perlu maafin Mama sekarang. Yang penting buat Mama—kamu gak lewatin makan malem, Bi.”

Sepersekian detik, seperti ada sesuatu yang menyengat dada Bian. Lantas dia beranjak turun dari ranjang. Saat kakinya menyentuh lantai, Bian kedinginan. Dia berjalan jinjit-jinjit menuju pintu. Menarik nafas sejenak dan memutar kunci pintu kamar yang sedari tadi menggantung di sana. Dan beberapa saat kemudian kepala anak laki-laki dengan rambut lembut hitam legam yang sedikit acak-acakan itu menyebul keluar. Mengejutkan sang mama yang masih setia berdiri di depan pintu kamarnya.

“Mau makan?” tanya Mama, disertai sebuah senyum penuh makna.

Bian mengangguk. Perlahan-lahan tubuh Bian kini muncul sepenuhnya dari balik pintu.

Bian duduk di atas ranjangnya. Ranjang yang berdekatan dengan jendela kaca yang mengarah langsung ke sebuah balkon.

Pundak anak laki-laki itu merosot, sebelum akhirnya memutuskan untuk merebahkan diri di samping guling bersarung seprei warna abu-abu yang sejak tadi menemaninya dalam kegelapan kamar.

“Hadeh,” desahnya.

Ada sedikit rasa menyesal karena melewatkan makan malam. Kini perutnya terasa sangat kosong, bahkan Bian mampu mendengar suara perutnya sendirian. Bian mencibir diri sendiri. Memang agak sial hari yang dilewatinya kali ini. Bisa-bisanya rokok yang bahkan sudah lebih dari seminggu lama beranda di dalam tasnya itu melompat ke luar tas, terlebih lagi saat Mama yang memegang tersebut.

Sebenarnya dalam benak Bian tahu bahwa dirinya memang bersalah di sini. Bian tahu bahwa dirinya pasti sudah mengecewakan Mama. Baru saja beberapa hari yang lalu ketahuan berbohong soal ekstrakurikuler—eh sial, hari ini ketahuan merokok.

Habis sudah. Kurang lebih hampir sekitar dua jam Mama terus membawanya berputar-putar menaiki mobil sembari mendengarkan ceramah oleh sang mama mengenai bahaya merokok bagi anak muda.

Tapi, bukan itu yang membuat Bian memutuskan mengurung diri di kamar semalaman. Melainkan sebuah akhiran chat yang Papa kirimkan tadi sore untuknya.

Bian menghela napas kasar tatkala terdengar suara gagang pintu yang ditekan dari luar sana. Sepertinya lagi-lagi itu sang mama. Pasalnya Budhe Lasih mana berani mengusik dirinya? Bian mendengkus. Jangankan beranjak membukakan kunci pintu kamarnya, niat saja sedikitpun tak terlintas dalam benaknya.

Ini semua masalah hati! Dia terlanjur sakit hati mengingat pesan Papa, dan ya—pengebab Papa mengirimkan pesan seperti itu kan jelas-jelas karena laporan Mama, begitu batinnya.

“Bian, Mama minta maaf, Nak. Bukain dong pintunya?”

Entah sudah keberapa kalinya Mama berteriak memohon-mohon pada Bian agar dibukakan pintu kamarnya.

“Mama janji gak marah-marah lagi, Bi. Mama cuman mau ngobrol sama kamu sebentar aja.”

“Bian mau tidur, Ma. Emangnya masih kurang yang tadi sore di mobil? Bian tuh capek. Tenang aja, udah dibuang juga barangnya.” Bian jadi sewot seketika. Telinganya juga perlu diistirahatkan, bukan begitu? Toh, besok pagi masih harus bertemu sang papa dan lagi-lagi mendapat ceramah panjang kali lebar. Begitu pikirnya.

Mama pun sejak awal tidak berharap banyak saat kembali mendatangi kamar Bian untuk kesekian kalinya. Mama sejak awal tahu bagaimana kerasnya watak Bian. Mama sudah menduga kalau lagi-lagi dia akan gagal menyuruh Bian keluar untuk makan.

“Makanannya udah Mama angetin, Bi. Bawa masuk aja ke kamar sebelum Papa kamu pulang. Mama tau, kamu kaya gini karna Papa, kan? Mama minta maaf karna buru-buru kasih tau Papa tadi sore. Mama juga minta maaf ... karna Papa kamu kelewatan. Kamu gak perlu maafin Mama sekarang. Yang penting buat Mama—kamu gak lewatin makan malem, Bi.”

Sepersekian detik, seperti ada sesuatu yang menyengat dada Bian. Lantas dia beranjak turun dari ranjang. Saat kakinya menyentuh lantai, Bian kedinginan. Dia berjalan jinjit-jinjit menuju pintu. Menarik nafas sejenak dan memutar kunci pintu kamar yang sedari tadi menggantung di sana. Dan beberapa saat kemudian kepala anak laki-laki dengan rambut lembut hitam legam yang sedikit acak-acakan itu menyebul keluar. Mengejutkan sang mama yang masih setia berdiri di depan pintu kamarnya.

“Mau makan?” tanya Mama, disertai sebuah senyum penuh makna.

Bian mengangguk. Perlahan-lahan tubuh Bian kini muncul sepenuhnya dari balik pintu.

Bel pulang sekolah baru saja berbunyi, seiringan dengan Bian yang tengah menumpuk buku-buku pelajaran sebelum memasukan buku tersebut ke dalam tasnya. Sebagian murid mulai menghambur ke luar kelas. Tidak ada berdoa, atau bahkan salam yang diucapkan sebab sejak satu jam yang lalu kelas mereka tak kedatangan guru seorang pun.

Bian menatap layar ponselnya lamat-lamat. Sampai detik ini, sang mama belum juga membalas pesan yang dia kirimkan. Ke mana? Anak laki-laki itu bertanya-tanya.

“Liat apa tuh di hp?” tanya Zaid dengan tampang paling menyebalkan yang pernah Bian lihat.

Bian memutar bola matanya malas. Kemudian dia sengaja mengarahkan layar ponselnya pada Zaid, “Nih, Anjing! Gue liat roomchat! Gue mah gak kayak elo yang hobi nontonesek-esek,” hardik Bian.

Lantas sebuah buku tulis mendarat tepat di atas bibirnya dengan kasar. “Jaga bicaramu itu, ya, Bangsat...,” kata Zaid. Sengaja berbisik, takut kalau-kalau ada yang mendengar percakapan mereka. Alih-alih bergaduh kesakitan, Bian justru cengengesan. Agaknya senang sekali membuat temannya itu gelagapan.

“Lo yang mulai, Id.”

Meski seringkali bertengkar karena hal-hal sepele seperti yang baru saja terjadi—Bian paling dekat dengan Zaid. Bisa dibilang Zaid itu social butterfly. Temannya tersebar hampir di setiap kelas. Bian sendiri bukan seorang anak yang penutup, hanya malas jika harus bersosialisasi dengan banyak orang. Maka jadilah sebuah perpaduan yang pas antara mereka berdua.

“Bian!”

Muncul seseorang di ambang pintu kelas mereka. Rupanya itu si kakak kelas tercinta—alias Ozi sang OSIS. Laki-laki bertubuh kurus itu melongok sebentar, sebelum akhirnya melangkah masuk.

“Ngapain, Ji?” tanya Zaid penasaran. Tangannya sambil merangkul pundak Bian yang sedikit lebih tinggi darinya.

“Mamanya Bian di depan sekolah, tuh.”

Bian mendelik seketika. “Kok bisa?”

“Lah? Lo tanya gua, terus gua tanya ke siapa?” sahut Ozi.

Ozi terdengar sangat serius. Maka sepertinya benar. Entah alasan apa yang menyebabkan sang mama tidak membalas pesannya, dan malah menjemput Bian padahal harusnya hari ini dia melaksanakan ekstrakurikuler. Lantas Bian melepaskan rangkulannya Zaid dan langsung meraih tasnya.

“Makasih infonya, Ji.”

Tanpa mengatakan hal lainnya, Bian bergegas lari ke luar kelas. Meninggalkan Zaid dan Ozi begitu saja. Dia enggan membuat sang mama menunggu lama.

Sementara di dalam kelas Zaid dan Ozi saling menatap satu sama lain, kemudian mereka tergelak.

“Muka adek lo panik banget, Ji. Si paling bucin Mama tapi gengsian,” kata Zaid.

“Temen lo itu.”


Bian dapat langsung melihat mobil mamanya yang terparkir tepat di seberang gerbang sekolah. Degup jantungnya sangat kencang karena berlari kencang dari lantai dua gedung sekolah tersebut.

Sembari mengatur nafas, Bian menormalkan langkah kakinya. Mendekat ke arah mobil hitam di hadapannya.

Sampai saat tubuhnya sudah berada sangat dekat dengan pintu pengemudi, Bian mengetuk kaca mobil tersebut.

Kaca mobil pun terbuka. Menampilkan sosok Mama yang tengah tersenyum kikuk.

“Bi....”

“Mama gak baca chat dari, Bian?” tanya Bian seketika.

“Mama abis dari rumah Kakek kamu. Gak bawa handphone, Sayang. Ketinggalan,”

“Bian ekskul hari ini....”

Bian dapat melihat Mama mengerucutkan bibirnya sesaat. Yah, Bian paham pasti ada sedikit rasa kecewa dalam benak mamanya itu.

Mama menarik nafas panjang. Sadar diri bahwa ini merupakan kesalahannya. “Yaudah Mama pulang dulu, deh.” Mama kedengarannya pasrah. Sebab ingin mengajak Bian pulang saat itu juga sepertinya tidak mungkin. Bisa-bisa Bian marah karena diganggu jadwalnya. Apalagi kalau mengingat bermain bola basket adalah kegemaran Bian—Mama tidak sampai hati untuk meminta Bian bolos ekskul barang sekali saja.

“Mama gapapa?” tanya Bian, nyaris tak terdengar.

“Gapapa.”

“Nanti Bian pulang naik taxi aja, masih ada duit.”

Lantas tangan Mama terulur ke luar mobil. Mengusap lembut rahang anak laki-lakinya itu, kemudian tersenyum. “Tetep Mama jemput aja. Udah sana masuk lagi,” kata Mama.

Bian mengangkat sebelah alisnya. Dia agak ragu, tapi tik juga memberikan penolakan sedikit pun.

“Yaudah kalo gitu—”

“—Bian nitip tas sebentar, mau ganti baju, boleh?”

Mama mengangguk.

Setelah mengeluarkan jersey dari dalam tasnya, Bian langsung memberikan tas itu pada Mama—tanpa menutupnya.

“5 menit!” kata Bian, kemudian berlari kembali menuju gerbang sekolah.

Namun, sebelum langkah kakinya terlalu jauh Mama lebih dahulu berteriak memanggil namanya.

“BIAN!”

Dia menoleh, menatap Mama yang mengangkat sesuatu di tangannya. Menatap Mama yang memasang ekspresi wajah kecewa. Menatap Mama yang pada akhirnya meremat sebungkus rokok miliknya.

Bian tertangkap basah. Ketahuan. Dan sepertinya tidak akan selamat dari sang papa.

Jeffrey baru saja menutup laptopnya. Sekitar pukul sembilan malam pekerjaannya baru selesai. Niat hati ingin mengobrol dengan Ratu meski hanya sebentar pun harus ia urungkan, sebab istrinya itu telah berbaring dengan sangat nyaman di atas ranjang.

Jika dihitung dalam seminggu, sepertinya hanya sebanyak dua kali Jeffrey berbicara empat mata sembari membahas topik-topik acak bersama Ratu. Hampir sebagian besar percakapan mereka berlangsung melalui telepon karena kesibukan Jeffrey yang akhir-akhir ini sangat luar biasa.

Wajar saja jika faktor tersebut membuat Jeffrey berkali-kali lipat jauh merindukan sosok sang istri dibandingkan dengan biasanya. Namun sial, rencana menghabiskan malam panjang kali ini sepertinya harus ditunda demi kenyamanan Ratu pastinya.

Manik mata Jeffrey menatap lekat pada setiap inci tubuh wanita yang tengah berbaring di hadapannya itu. Entah sejak kapan selimut Ratu tersibak, dan menampilkan lekuk tubuh Ratu secara terang-terangan.

Akhir-akhir ini cuaca di Ibu Kota cukup panas. Belum turun hujan sejak seminggu yang lalu. Jadi sangat maklum jika para penduduknya merasa kegerahan seperti halnya Ratu. Meski sudah memakai AC sekalipun—tetap saja rasanya masih kurang. Oleh karena itu, malam ini Jeffrey melihat Ratu dengan pakaian tidur yang berbahan sangat tipis sampai sepertinya ia mampu melihat sesuatu di balik pakaian tersebut.

Jeffrey mengembuskan nafasnya dengan kasar. Agaknya ia merasa kesal sekarang—karena pekerjaan yang terus menyita waktunya bersama sang istri.

Dan dengan langkah gontai, Jeffrey menuju ranjang tempat di mana Ratu tengah terlelap. Jeffrey melepas kacamatanya, kemudian meletakan benda itu di atas sebuah nakas yang berada paling dekat dengan ranjang mereka.

Selanjutnya, penuh hati-hati Jeffrey ikut merebahkan tubuh di samping Ratu. Sengaja ia hapus jarak yang ada di antara mereka. Jeffrey rindu aroma tubuh istrinya itu.

Perlahan-lahan tangan Jeffrey mendekap tubuh Ratu, membuat sang empunya bergerak gelisah kemudian.

Ratu membuka matanya seketika. Tatapan mata keduanya saling beradu. Baik Jeffrey maupun Ratu seolah terkunci pandangannya. Sontak Jeffrey tersenyum tatkala tangan ratu menangkup wajahnya menggunakan satu tangan. Dan dengan sangat cepat bibir mereka saling menyatu. Saling memagut satu sama lain, hingga membuat Jeffrey kegirangan.

Lidah Jeffrey menjamah setiap detail di dalam mulut Ratu. Mengabsen satu per satu objek di balik bibir ranum itu. Membuat ciuman mereka semakin dalam. Bibir. Gerakan lidah Jeffrey. Mengambil alih kesadaran Ratu sepenuhnya. Jeffrey menang. Ia mendominasi Ratu malam ini.

Jeffrey dapat mendengar degupan jantung Ratu yang cukup kencang. Jeffrey mampu merasakan deru nafas Ratu yang kini memburu. Dan, Jeffrey tahu kalau ini juga sesuatu yang memang Ratu inginkan.

Sadar bahwa Ratu mulai terengah-engah, Jeffrey pun menarik dirinya. Ia sibuk menatap hasil dari perbuatannya barusan. Bibir Ratu saat ini sangat merah dan membengkak. Padahal baru sebentar, batinnya.

Jeffrey sadar, bahwa dirinya memang sudah kecanduan bibir milik sang istri. Bahkan seringkali ia kesulitan untuk mengontrol nafsunya sendiri hanya karena melihat benda merah kembar itu.

“Kamu sengaja gak, sih? Pakai baju tidur kaya gini.”

Mendengar pertanyaan Jeffrey barusan, lantas Ratu terkekeh. “Ya sengaja, orang lagi gerah,” jawab Ratu dengan santai.

Kemudian Jeffrey bangkit, meraih remote AC dan membuat suhu ruang kamar mereka jauh lebih rendah dari sebelumnya.

“Kalau segitu ya kedinginan, Mas!”

Jeffrey kembali naik ke atas ranjang, “Sengaja, Ra. Soalnya aku mau bikin kamu panas semaleman.” Setelah mengatakan itu, Jeffrey langsung meraup bibir Ratu tanpa memberikan aba-aba. Ratu tidak menolak sama sekali. Bahkan sejak awal memang yang ia pikirkan adalah menjadi santapan Jeffrey malam ini.

Jemari Ratu menelusup, menyentuh permukaan perut Jeffrey dengan sangat lembut.

Untuk sesaat Jeffrey berbisik lirrih, tepat di depan wajah ratu. Bahkan hidung mereka masih saling menempel. Ratu dapat melihat tatapan mata Jeffrey saat ini berubah. Seperti lebih dipenuhi oleh nafsu, berbeda dengan sebelumnya. “Aku mau kamu malem ini, Ra. Boleh?” kata Jeffrey.

Ratu meleleh. Bahkan sudah bertahun-tahun sejak pernikahan mereka. Jeffrey masih sangat menghargai semua keputusannya, sekalipun itu urusan ranjang.

Tanpa mengeluarkan sepatah katapun, jemari Ratu beranjak naik ke atas. Menjelajahi setiap inci perut hingga dada Jeffrey, membuat sang empunya merinding seketika. Setelah puas melihat ekspresi Jeffrey yang hampir gila karena menahan dirinya, kemudian Ratu mengangguk.

Jeffrey beringsut, memposisikan dirinya di atas Ratu. Di antara kedua paha istrinya. Sementara tangan Ratu sibuk menekan kepala Jeffrey, sengaja membawa ciuman mereka semakin panas. Mereka semakin intim. Dan di bawah sana, ada sesuatu yang seolah ingin segera dikeluarkan.

Ratu melenguh keras hanya karena satu sentuhan lembut yang berasal dari tangan Jeffrey di antara kedua kakinya.

“Mas....”

Jeffrey mengabaikan ucapan Ratu. Kini ia tengah sibuk melancarkan cium-cium lain di area leher Ratu. Menyesap permukaan kulit istrinya itu hingga menimbulkan tanda keunguan di sana. Sementara itu, tangan Jeffrey enggan menganggur rupanya. Dengan satu tarikan ia merusak tiap-tiap jahitan pakaian berbahan tipis yang Ratu kenakan. Suara kain yang sobek seperti menggema di dalam kamar mereka. Dalam minimnya pencahayaan, Jeffrey mendesak Ratu. Menghimpit Ratu di bawah sana, hingga membuat Ratu seolah kehilangan kewarasannya. Ratu semakin kuat mencengkram kemeja tidur yang Jeffrey gunakan.

Merasa pemanasan yang mereka lakukan cukup memakan banyak waktu, Jeffrey siap melucuti pakaiannya. Satu persatu kancing ia lepas tanpa merasa kesulitan sedikitpun, dan pandangan matanya masih terkunci pada manik mata Ratu yang berada di bawahnya.

“Ra, kayanya gak usah pakai pengam—”

Tok tok tok!

Suara pintu kamar yang diketuk dari luar menggema seketika. Persis seperti pencuri yang tertangkap basah, Jeffrey dan Ratu panik seketika.

“IYA, KENAPA?!” pekik Jeffrey. Berharap seseorang di luar sana mampu mendengar suaranya tanpa perlu repot-repot membukakan pintu.

“PAPA DISAMPER PAK RT! DISURUH NGERONDA KATANYA!” Rupanya itu Bian, yang membawa kabar buruk untuk Jeffrey.

Jeffrey merosot seketika. Tubuhnya ambruk di atas Ratu. “Bangsat, ada aja sih bangsat! Dikit lagi, astaga,” racau Jeffrey terdengar seperti orang paling putus asa di seluruh penjuru dunia.

Tak kuasa menahan tawanya, lantas Ratu terkikik. Konyol. Ini malam terkonyol yang pernah mereka lewati.

“PAPA??”

“BILANGIN PAK RT TUNGGU SEBENTAR, BI!” sahut Ratu menggantikan Jeffrey yang tampaknya sudah sangat pasrah dengan keadaan.

Jeffrey baru saja menutup laptopnya. Sekitar pukul sembilan malam pekerjaannya baru selesai. Niat hati ingin mengobrol dengan Ratu meski hanya sebentar pun harus ia urungkan, sebab istrinya itu telah berbaring dengan sangat nyaman di atas ranjang.

Jika dihitung dalam seminggu, sepertinya hanya sebanyak dua kali Jeffrey berbicara empat mata sembari membahas topik-topik acak bersama Ratu. Hampir sebagian besar percakapan mereka berlangsung melalui telepon karena kesibukan Jeffrey yang akhir-akhir ini sangat luar biasa.

Wajar saja jika faktor tersebut membuat Jeffrey berkali-kali lipat jauh merindukan sosok sang istri dibandingkan dengan biasanya. Namun sial, rencana menghabiskan malam panjang kali ini sepertinya harus ditunda demi kenyamanan Ratu pastinya.

Manik mata Jeffrey menatap lekat pada setiap inci tubuh wanita yang tengah berbaring di hadapannya itu. Entah sejak kapan selimut Ratu tersibak, dan menampilkan lekuk tubuh Ratu secara terang-terangan.

Akhir-akhir ini cuaca di Ibu Kota cukup panas. Belum turun hujan sejak seminggu yang lalu. Jadi sangat maklum jika para penduduknya merasa kegerahan seperti halnya Ratu. Meski sudah memakai AC sekalipun—tetap saja rasanya masih kurang. Oleh karena itu, malam ini Jeffrey melihat Ratu dengan pakaian tidur yang berbahan sangat tipis sampai sepertinya ia mampu melihat sesuatu di balik pakaian tersebut.

Jeffrey mengembuskan nafasnya dengan kasar. Agaknya ia merasa kesal sekarang—karena pekerjaan yang terus menyita waktunya bersama sang istri.

Dan dengan langkah gontai, Jeffrey menuju ranjang tempat di mana Ratu tengah terlelap. Jeffrey melepas kacamatanya, kemudian meletakan benda itu di atas sebuah nakas yang berada paling dekat dengan ranjang mereka.

Selanjutnya, penuh hati-hati Jeffrey ikut merebahkan tubuh di samping Ratu. Sengaja ia hapus jarak yang ada di antara mereka. Jeffrey rindu aroma tubuh istrinya itu.

Perlahan-lahan tangan Jeffrey mendekap tubuh Ratu, membuat sang empunya bergerak gelisah kemudian.

Ratu membuka matanya seketika. Tatapan mata keduanya saling beradu. Baik Jeffrey maupun Ratu seolah terkunci pandangannya. Sontak Jeffrey tersenyum tatkala tangan ratu menangkup wajahnya menggunakan satu tangan. Dan dengan sangat cepat bibir mereka saling menyatu. Saling memagut satu sama lain, hingga membuat Jeffrey kegirangan.

Lidah Jeffrey menjamah setiap detail di dalam mulut Ratu. Mengabsen satu per satu objek di balik bibir ranum itu. Membuat ciuman mereka semakin dalam. Bibir. Gerakan lidah Jeffrey. Mengambil alih kesadaran Ratu sepenuhnya. Jeffrey menang. Ia mendominasi Ratu malam ini.

Jeffrey dapat mendengar degupan jantung Ratu yang cukup kencang. Jeffrey mampu merasakan deru nafas Ratu yang kini memburu. Dan, Jeffrey tahu kalau ini juga sesuatu yang memang Ratu inginkan.

Sadar bahwa Ratu mulai terengah-engah, Jeffrey pun menarik dirinya. Ia sibuk menatap hasil dari perbuatannya barusan. Bibir Ratu saat ini sangat merah dan membengkak. Padahal baru sebentar, batinnya.

Jeffrey sadar, bahwa dirinya memang sudah kecanduan bibir milik sang istri. Bahkan seringkali ia kesulitan untuk mengontrol nafsunya sendiri hanya karena melihat benda merah kembar itu.

“Kamu sengaja gak, sih? Pakai baju tidur kaya gini.”

Mendengar pertanyaan Jeffrey barusan, lantas Ratu terkekeh. “Ya sengaja, orang lagi gerah,” jawab Ratu dengan santai.

Kemudian Jeffrey bangkit, meraih remote AC dan membuat suhu ruang kamar mereka jauh lebih rendah dari sebelumnya.

“Kalau segitu ya kedinginan, Mas!”

Jeffrey kembali naik ke atas ranjang, “Sengaja, Ra. Soalnya aku mau bikin kamu panas semaleman.” Setelah mengatakan itu, Jeffrey langsung meraup bibir Ratu tanpa memberikan aba-aba. Ratu tidak menolak sama sekali. Bahkan sejak awal memang yang ia pikirkan adalah menjadi santapan Jeffrey malam ini.

Jemari Ratu menelusup, menyentuh permukaan perut Jeffrey dengan sangat lembut.

Untuk sesaat Jeffrey berbisik lirrih, tepat di depan wajah ratu. Bahkan hidung mereka masih saling menempel. Ratu dapat melihat tatapan mata Jeffrey saat ini berubah. Seperti lebih dipenuhi oleh nafsu, berbeda dengan sebelumnya. “Aku mau kamu malem ini, Ra. Boleh?” kata Jeffrey.

Ratu meleleh. Bahkan sudah bertahun-tahun sejak pernikahan mereka. Jeffrey masih sangat menghargai semua keputusannya, sekalipun itu urusan ranjang.

Tanpa mengeluarkan sepatah katapun, jemari Ratu beranjak naik ke atas. Menjelajahi setiap inci perut hingga dada Jeffrey, membuat sang empunya merinding seketika. Setelah puas melihat ekspresi Jeffrey yang hampir gila karena menahan dirinya, kemudian Ratu mengangguk.

Jeffrey beringsut, memposisikan dirinya di atas Ratu. Di antara kedua paha istrinya. Sementara tangan Ratu sibuk menekan kepala Jeffrey, sengaja membawa ciuman mereka semakin panas. Mereka semakin intim. Dan di bawah sana, ada sesuatu yang seolah ingin segera dikeluarkan.

Ratu melenguh keras hanya karena satu sentuhan lembut yang berasal dari tangan Jeffrey di antara kedua kakinya.

“Mas....”

Jeffrey mengabaikan ucapan Ratu. Kini ia tengah sibuk melancarkan cium-cium lain di area leher Ratu. Menyesap permukaan kulit istrinya itu hingga menimbulkan tanda keunguan di sana. Sementara itu, tangan Jeffrey enggan menganggur rupanya. Dengan satu tarikan ia merusak tiap-tiap jahitan pakaian berbahan tipis yang Ratu kenakan. Suara kain yang sobek seperti menggema di dalam kamar mereka. Dalam minimnya pencahayaan, Jeffrey mendesak Ratu. Menghimpit Ratu di bawah sana, hingga membuat Ratu seolah kehilangan kewarasannya. Ratu semakin kuat mencengkram kemeja tidur yang Jeffrey gunakan.

Merasa pemanasan yang mereka lakukan cukup memakan banyak waktu, Jeffrey siap melucuti pakaiannya. Satu persatu kancing ia lepas tanpa merasa kesulitan sedikitpun, dan pandangan matanya masih terkunci pada manik mata Ratu yang berada di bawahnya.

“Ra, kayanya gak usah pakai pengam—”

Tok tok tok!

Suara pintu kamar yang diketuk dari luar menggema seketika. Persis seperti pencuri yang tertangkap basah, Jeffrey dan Ratu panik seketika.

“IYA, KENAPA?!” pekik Jeffrey. Berharap seseorang di luar sana mampu mendengar suaranya tanpa perlu repot-repot membukakan pintu.

“PAPA DISAMPER PAK RT! DISURUH NGERONDA KATANYA!” Rupanya itu Bian, yang membawa kabar buruk untuk Jeffrey.

Jeffrey merosot seketika. Tubuhnya ambruk di atas Ratu. “Bangsat, ada aja sih bangsat! Dikit lagi, astaga,” racau Jeffrey terdengar seperti orang paling putus asa di seluruh penjuru dunia.

Tak kuasa menahan tawanya, lantas Ratu terkikik. Konyol. Ini malam terkonyol yang pernah mereka lewati.

“PAPA??”

“BILANGIN PAK RT TUNGGU SEBENTAR, BI!” sahut Ratu menggantikan Jeffrey yang tampaknya sudah sangat pasrah dengan keadaan.

Bian hampir lupa kapan terakhir kali dia liburan ke tempat dengan begitu banyak wahana bermain seperti yang didatanginya bersama Om Jemi hari ini. Bianglala, komidi putar, bahkan rumah hantu pun mereka masuki.

Sore itu, kala langit masih cukup cerah. Kala angin berhembus sepoi-sepoi menyapa permukaan kulit Bian—Om Jemi menawarkannya untuk mampir melihat pantai. Kata Beliau sih sebagai penutup acara liburan dadakan mereka kali ini. Bian yang awalnya sudah tidak sabar untuk segera pulang, tiba-tiba saja mengurungkan niatnya.

Memangnya ada yang akan menolak jika diajak melihat pantai? Mungkin begitu batinnya. Maklum, sejak kecil melihat pantai sudah menjadi kegemaran untuk seorang Sabian Aditama.

Deburan ombak, hingga setiap tekstur pasir pantai yang acapkali menggelitik telapak kakinya menjadi sesuatu yang candu.

Dan begitu dirinya dan Om Jemi menginjak pasir pantai sore itu, Bian langsung berlari. Memisahkan diri pastinya. Sebab kalau terus berada di dekat Om Jemi, dia pasti tidak dapat menikmati keindahan pantai dengan santai.

“MAU KE MANA, BI?!” seru Om Jemi.

“JANGAN NGIKUTIN! NANTI BIAN BALIK KE MOBIL SENDIRI.”

Om Jemi menghela nafas panjang. Raut wajahnya tampak puas. Selain untuk menghibur dirinya sendiri, sejak awal memang niatnya untuk mengajak keponakannya itu refreshing. Om Jemi tahu kalau Bian pasti jarang sekali menghabiskan hari libur dengan jalan-jalan seperti ini bersama papanya. Om Jemi pikir dirinya dan Bian seperti saling membutuhkan satu sama lain saat libur panjang seperti ini. Yah, setidaknya itu yang dia pikirkan.


Bian menarik sudut bibirnya. Hal sederhana seperti melihat pantai saja mampu membuatnya tertawa, apalagi melihat pantai sambil ditemani Mama dan Papa secara bersamaan?

Kedengarannya seperti si manja, ya? Kenyataannya Bian acap kali merasa sendirian, merasa tidak diperhatikan dengan baik bahkan sejak dia masih begitu kecil. Masih duduk di bangku sekolah dasar lebih tepatnya. Sejak perusahaan sang papa semakin berkembang pesat—laki-laki itu jarang sekali berada di rumah. Pergi pagi, dan pulang malam—saat Bian sendiri sudah tertidur pulas.

Dulu, Bian kecil sering sekali menghabiskan waktu bersama Mama. Dimanjakan sedemikian rupa, sampai suatu hari salah satu dari temannya beranggapan bahwa sang mama memperlakukan Bian secara berlebihan. Mirip seperti seorang mama mengasuh anak perempuan, katanya.

Sejak saat itu Bian menutup diri, bahkan dari sang mama sekalipun.

Dan saat ini Bian rindu dengan kedua orangtuanya. Rindu diajak bicara empat mata oleh Mama, jalan-jalan dengan Mama dan Papa, juga makan malam di luar bersama.

Om Jemi atau bahkan Ayah Yudhis sekalipun sepertinya masih kurang cukup untuk mengisi kekosongan hati Bian. Namun, di sisi lain anak laki-laki yang begitu mirip dengan papanya itu terlalu malu untuk mengungkapkan isi hatinya atau bahasa kerennya adalah gengsi.

Saat tengah asik melamun, tiba-tiba saja Bian merasa ada yang menepuk pundaknya. Siapa lagi kalau bukan Om Jemi?

“Mau sampai kapan di sini? Besok? Lusa? Apa tahun depan, Bi? Bisa-bisanya kamu nyuruh orang tua nunggu di mobil lama-lama!” kata Om Jemi dalam sekali tarikan nafas.

Bian menggaruk pangkal hidungnya yang tidak gatal, “Perasaan baru lima menit.” Kemudian Bian cengangas-cengengesan ke arah Om Jemi.

“Apanya yang lima menit? Udah ayo pulang! Kamu mau langsung Om anter pulang ke rumah atau mau nginep di rumah Om lagi? Besok pagi baru Om anter pulang.”

Bian menggeleng semangat.

“Mau pulang ke rumah aja, Om.”

Murid-murid sepantaran Bian berhamburan keluar area sekolah. Sebagian menaiki mobil jemputan yang memang di sediakan oleh pihak sekolah, sebagian lainnya ada yang menunggu dijemput atau pulang menggunakan kendaraan pribadi yang mereka parkirkan di lahan kosong yang letaknya berada persis di samping gedung sekolah.

Bian celingak-celinguk, mencari keberadaan mobil milik sang papa atau mungkin mamanya. Namun nihil.

“Bi, lo belom dijemput?”

Dia menoleh dan mendapati Ozi di sebelahnya. Tumben sekali Ozi tidak melakukan kumpul OSIS atau biasanya dia akan mengikuti pelajaran tambahan lantaran sudah kelas akhir. Bian menatap Ozi dari atas ke bawah.

Bian menggeleng singkat, “Tas lo mana, Ji?” kini giliran dia yang melemparkan sebuah pertanyaan kepada Ozi.

“Masih di ruang OSIS. Ini gua cuman mau ke depan sebentar, mau beli minum.”

“Yaelah, gue kira lo pulang normal hari ini,” kata Bian.

Ozi menepuk pundak Bian pelan, “Om Jeffrey tuh, Bi.”

Seketika hawa dingin menjalar pada tubuh Bian tatkala dia menangkap sosok Papa di seberang tempatnya berdiri. Bian bergeming. Kali ini papanya benar-benar datang untuk menjemput dirinya. Tidak diwakili oleh Mama, Om Yudhis, atau bahkan sang supir kepercayaannya. Bahkan yang lebih mengejutkannya lagi, Papa mengendarai sebuah motor yang tampaknya cukup berumur, tapi masih sangat apik kelihatannya.

Bian menarik nafas dalam-dalam, “Gue balik duluan ya, Ji?” katanya, kemudian menyenggol siku Ozi.

Ozi pun mengangguk.

Dan dengan langkah besar-besar, Bian menghampiri Papa sembari tersenyum. Sudah pasti senang rasanya. Dijemput oleh seorang Jeffreyan Aditama yang selama ini sibuknya bukan main. Yang akhir-akhir ini jarang sekali berada di rumah. Yang absensi kehadiran kerap kali Bian nantikan. Tentunya sulit bagi Bian menyembunyikan senyuman di bibirnya.

“Kok jemputnya naik motor? Papa bangkrut?” tanya Bian sekonyong-konyong.

“Sembarangan banget kalau ngomong! Ini motornya Om Jemi tau,” kata Papa.

Lantas Bian mengernyitkan keningnya, “Kenapa Papa pake?” Bian sambil menaiki motor tersebut. Jangan ditiru, pasalnya dia tidak mengenakan helm.

“Papa pinjem—udah?”

Bian mengangguk meski Papa tidak melihatnya. “Udah!” sahutnya.

Motor yang mereka tumpangi itupun melaju kencang meninggalkan area sekolah, dan kemudian membelah padatnya jalanan sore itu.

Meski proporsi tubuh Bian cukup besar, tapi Bian masih kalah jika dibandingkan dengan sang papa. Maka dari itu—rasanya dibonceng oleh papanya seperti ini, sangatlah pas.

“Dulu Papa bonceng Mama kamu pakai motor ini.”

“Apa iya?”

“Iya.”

“Papa dari dulu udah suka naik motornya Om Jemi?” tanya Bian. Nada bicaranya diberi sedikit penekanan. Khawatir kalau-kalau Papa tak mendengar kata-katanya dengan jelas.

“Ini tadinya motor Papa, terus diminta Om Jemi.”

Karena sibuk mengontrol perasaan bahagianya sejak tadi, Bian sampai lupa kalau dirinya berniat untuk membelikan Mama sesuatu diantara jajaran pedagang kaki lima di depan sekolah.

“PAPA MAMPIR BELI JAJANAN, PA!” pekik Bian seketika.

“Jajanan apa?”

“APA AJA TERSERAH! BUAT SI MAMA!”

“Kamu ngapain, sih teriak-teriak? Papa gak budek!”


Deru suara motor terdengar begitu riuh tatkala motor tersebut mulai memasuki pekarangan rumah. Agaknya hal itu menyebabkan Mama dan Om Jemi ke luar. Menyambut Bian yang baru saja menuruni motor.

“Idih idih, segala ada Om Jemi,” kata Bian begitu beradu tatap dengan sang empunya nama.

“Mau nyulik kamu,” sahut Om Jemi tanpa basa-basi.

Nah kan, Bian sudah tahu sejak awal. Pasti kedatangan Om Jemi bukan hanya untuk berkunjung. Om Jemi itu sudah berkeluarga, tapi kalau soal liburan pasti yang akan dia bondong adalah Bian seorang. Supaya tidak repot katanya. Toh sang istri maupun kedua anaknya agak pemalas. Mungkin menurut mereka liburan di dalam rumah sudah lebih dari cukup.

Sementara Bian sendiri bukannya tidak suka. Dia hanya—yah, sedikit malas. Om Jemi ini terlalu aktif bagi Bian. Mentang-mentang tiga hari ke depan adalah long weekend, adik dari papanya itu seenaknya saja membooking waktu Bian. Padahal kan rencana Bian ingin mengajak Papa liburan—walaupun dia belum yakin Papa luang atau tidak, tapi tetap saja Bian merasa sangat direpotkan.

Dan, kalau dilihat dari ekspresi Mama dan Papa, sepertinya mereka berdua biasa-biasa saja. Alias mengizinkan Om Jemi untuk melakukan penculikan ini.

Dasar, dua orang tua gak peka!

Setelah mobil di luar sana benar-benar berhenti, Ratu dapat menghirup tipis-tipis aroma oli dan asap kendaraan khas kota Jakarta yang sepertinya menempel pada tiap-tiap inci mobil Jeffrey. Deru suara mesin mobil itu mati seketika. Menandakan sang pengemudi akan segera menampakkan batang hidungnya.

Ratu sengaja hanya mengintip dari balik jendela, sebab ia khawatir kalau-kalau si kecil Bian harus menghirup polusi udara yang baru saja Jeffrey bawa pulang. Jika tidak sedang menggendong Bian, mungkin Ratu akan berlari hingga ke depan pintu gerbang sejak tadi hanya untuk menyambut kepulangan suaminya itu.

Suara pintu mobil yang di tutup dengan cukup tenaga terdengar dari luar, membuat Bian yang sebelumnya tengah tertidur dalam pangkuan Ratu mengerjap seketika.

“Stthh...,” desis Ratu.

Awalnya ia pikir Bian akan menangis karena terkejut, namun kenyataannya tidak. Bayi laki-laki itu hanya menguap sesaat, sebelum kembali melanjutkan mimpinya.

“Bian-nya biar saya aja yang timang-timang, Bu. Kebetulan kerjaan saya di dapur udah selesai,” kata Budhe Lasih.

“Gak apa-apa, sama saya aja, Budhe.”

Budhe Lasih menggeleng. Ia tahu betul bagaimana lelahnya mengurus bayi seharian. Bahkan, Ratu masih ikut turun tangan dalam hal-hal lain—misalnya seperti menyiapkan makanan tadi siang.

Seketika raut wajah Budhe Lasih memelas. “Saya mau gendong juga, Bu. Kangen sama cucu di kampung,” lirihnya beralasan. Sebab, kalau tidak seperti itu, Ratu tidak akan mau menitipkan Bian kepadanya. Menurut Ratu, itu merepotkan orang lain.

Ratu nyaris tertawa. Bisa aja, batinnya.

Kemudian, dengan hati-hati Ratu menyerahkan tubuh mungil Bian kepada Budhe Lasih. Bayi laki-lakinya itu tertidur dengan sangat pulas rupanya. “Nitip Bian ya, Budhe,” bisik Ratu yang langsung dihadiahi anggukkan kepala oleh Budhe Lasih.

Tanpa menunggu lama, Budhe Lasih memilih untuk membawa Bian meninggalkan Ratu di ruang tamu sendirian.

Tapi tidak, pasalnya Jeffrey tiba-tiba saja muncul dari balik pintu dengan penampilan yang cukup memprihatinkan. Rambutnya sudah tidak lagi tertata rapi. Dasinya entah hilang ke mana. Kemeja yang ia kenakan pun sudah keluar dari sela-sela celana dan pinggangnya. Ratu tahu bahwa di kantor, Jeffrey sedang tidak baik-baik saja. Sebab, sejak beberapa hari yang lalu, suaminya itu terus saja bergadang di hadapan laptop meski sudah pulang ke rumah. Dan ya ia sadar bahwa belakangan ini suaminya itu selalu melenguh dalam tidurnya. Jeffrey seratus persen kelelahan.

Pandangan Ratu turun. Ia melihat seikat bunga yang Jeffrey genggam erat-erat di tangan kanannya. Sebenarnya Ratu sangat penasaran. Ada apa gerangan? Kenapa pulang membawa bunga? Tidak biasanya. Sempat Ratu ingin bertanya, namun sengaja diurungkan begitu saja niatnya tatkala ia mendengar Jeffrey menghela nafas berat.

“Mas? Are you okay?”

Jeffrey tak kunjung menjawab pertanyaan Ratu. Ia maju selangkah. Wajahnya tak berekspresi sama sekali, namun kedua tangannya terangkat dan ya—Ratu yang lebih dulu memeluknya. Menyalurkan perasaan nyaman dengan mengusap lembut punggung suaminya itu perlahan-lahan.

“Malem ini mandi air anget ya? Biar rileks. Terus, abis itu langsung tidur aja, Mas. Jangan nyalain laptop lagi. Pokoknya malem ini kamu harus istirahat,” tutur Ratu sembari terus mengusap punggung Jeffrey, hingga membuat sang empunya kini membalas pelukan Ratu tak kalah erat.

Masih dalam posisi berpelukan, Jeffrey menenggelamkan kepalanya pada ceruk leher Ratu. Mengecup pundak Ratu berulang-ulang kali sembari menunduk karena tinggi istrinya itu sedikit lebih rendah darinya.

Jeffrey sangat merindukan Ratu.

Sementara itu, Ratu terkekeh. “Santai aja, Mas. Bian belum genap satu tahun,” kata Ratu, membuat Jeffrey menghentikan kegiatannya seketika.

Laki-laki yang tengah mendekap erat tubuhnya itu pun mendengkus. “Yang barusan itu karna kangen, bukan napsu, ya!” Kemudian Jeffrey melepaskan tangannya yang sempat melingkar pada pinggang Ratu.

Ratu mengulum senyuman, lalu tangannya terulur untuk menyisir rambut Jeffrey yang berantakan menggunakan jari jemarinya dengan penuh perhatian, hingga Jeffrey memejamkan matanya seketika.

“Capek banget, ya?” tanya Ratu, kemudian dibalas anggukan seperti seorang anak kecil oleh Jeffrey.

Suaminya itu mencebik, “Boleh gak ... peluk lagi? Belum full batterynya” Menjadi kalimat pertama yang keluar dari bibir Jeffrey setelah kembali membuka mata saat sentuhan tangan Ratu sudah tidak ia rasakan di atas kepalanya.

“Mandi dulu. Nanti bobonya sambil dipeluk.”

Jeffrey menggeleng cepat. “Nanti pasti kamu sibuk ngurus Bian.”

Suaminya itu masih kekanak-kanakan. Bahkan di saat sudah memiliki anak seperti sekarang ini, sempat-sempatnya Jeffrey merasa cemburu kepada anaknya sendiri.

Ratu memijat pelipisnya yang tiba-tiba saja terasa cenat-cenut. “Makanya kata gue buruan lo mandi sebelum anak lo kebangun, Jeff!” seru Ratu.

Nah kan, kalau sudah seperti ini, nyali Jeffrey menciut seketika. Lantas, mau tidak mau, ia harus segera melakukan apa yang Ratu perintahkan.

“Semua cewek sama aja!” kata Jeffrey, kemudian berlagak mengibaskan rambut dengan gaya perempuan, lalu melangkah pergi meninggalkan Ratu.

Eits, tapi tunggu dulu!

Jeffrey melangkah mundur tanpa sepengetahuan Ratu yang tengah menutup pintu. Dan saat Ratu berbalik—cup! Jeffrey mencuri sebuah ciuman dari bibirnya!

“Happy Anniversary, Ra. I love you. I always do,” kata Jeffrey dalam satu tarikan nafas, kemudian sekonyong-konyong memberikan bunga yang sebelumnya terus ia genggam, kepada Ratu.

Selanjutnya apa? Ia lari belingsatan meninggalkan Ratu yang masih mematung di tempatnya sembari berteriak, “Bunganya buat dipajang, ya, Ra! BUKAN BUAT LALAPAN!”

Ratu mendelik seketika.

KURANG AJAR! Memangnya dia ini apa? Mbak Kunti, begitu?

Ratu memutar bola matanya malas, kemudian menyusul Jeffrey masuk ke dalam kamar mereka. Dan begitu memasuki kamar, ada sesuatu langsung menarik perhatiannya. Yaitu sebuah handuk yang masih setia bertengger pada tempatnya.

“MAS KAMU MAH KEBIASAAN ANDUKNYA GAK DIBAWA SEKALIAN!” seruan Ratu menggema hingga ke dalam kamar mandi.

Sementara itu, di dalam kamar mandi Jeffrey mati-matian menahan tawa yang hendak melesak keluar dari bibirnya. “LUPA SAYANG! AMPUN!”


No matter how many facts Jeffrey has fallen through, how bad the day he had passed, how many times he ended up at the same old tired lonely place. In the end, all of these things will vanish when Ratu—the woman with dazzling hazel eyes met Jeffrey's. As strong as dopamine and endorphin work, unconsciously painting every red and blue nightmare reality into a delicate golden daylight.