cakgrays

Murid-murid sepantaran Bian berhamburan keluar area sekolah. Sebagian menaiki mobil jemputan yang memang di sediakan oleh pihak sekolah, sebagian lainnya ada yang menunggu dijemput atau pulang menggunakan kendaraan pribadi yang mereka parkirkan di lahan kosong yang letaknya berada persis di samping gedung sekolah.

Bian celingak-celinguk, mencari keberadaan mobil milik sang papa atau mungkin mamanya. Namun nihil.

“Bi, lo belom dijemput?”

Dia menoleh dan mendapati Ozi di sebelahnya. Tumben sekali Ozi tidak melakukan kumpul OSIS atau biasanya dia akan mengikuti pelajaran tambahan lantaran sudah kelas akhir. Bian menatap Ozi dari atas ke bawah.

Bian menggeleng singkat, “Tas lo mana, Ji?” kini giliran dia yang melemparkan sebuah pertanyaan kepada Ozi.

“Masih di ruang OSIS. Ini gua cuman mau ke depan sebentar, mau beli minum.”

“Yaelah, gue kira lo pulang normal hari ini,” kata Bian.

Ozi menepuk pundak Bian pelan, “Om Jeffrey tuh, Bi.”

Seketika hawa dingin menjalar pada tubuh Bian tatkala dia menangkap sosok Papa di seberang tempatnya berdiri. Bian bergeming. Kali ini papanya benar-benar datang untuk menjemput dirinya. Tidak diwakili oleh Mama, Om Yudhis, atau bahkan sang supir kepercayaannya. Bahkan yang lebih mengejutkannya lagi, Papa mengendarai sebuah motor yang tampaknya cukup berumur, tapi masih sangat apik kelihatannya.

Bian menarik nafas dalam-dalam, “Gue balik duluan ya, Ji?” katanya, kemudian menyenggol siku Ozi.

Ozi pun mengangguk.

Dan dengan langkah besar-besar, Bian menghampiri Papa sembari tersenyum. Sudah pasti senang rasanya. Dijemput oleh seorang Jeffreyan Aditama yang selama ini sibuknya bukan main. Yang akhir-akhir ini jarang sekali berada di rumah. Yang absensi kehadiran kerap kali Bian nantikan. Tentunya sulit bagi Bian menyembunyikan senyuman di bibirnya.

“Kok jemputnya naik motor? Papa bangkrut?” tanya Bian sekonyong-konyong.

“Sembarangan banget kalau ngomong! Ini motornya Om Jemi tau,” kata Papa.

Lantas Bian mengernyitkan keningnya, “Kenapa Papa pake?” Bian sambil menaiki motor tersebut. Jangan ditiru, pasalnya dia tidak mengenakan helm.

“Papa pinjem—udah?”

Bian mengangguk meski Papa tidak melihatnya. “Udah!” sahutnya.

Motor yang mereka tumpangi itupun melaju kencang meninggalkan area sekolah, dan kemudian membelah padatnya jalanan sore itu.

Meski proporsi tubuh Bian cukup besar, tapi Bian masih kalah jika dibandingkan dengan sang papa. Maka dari itu—rasanya dibonceng oleh papanya seperti ini, sangatlah pas.

“Dulu Papa bonceng Mama kamu pakai motor ini.”

“Apa iya?”

“Iya.”

“Papa dari dulu udah suka naik motornya Om Jemi?” tanya Bian. Nada bicaranya diberi sedikit penekanan. Khawatir kalau-kalau Papa tak mendengar kata-katanya dengan jelas.

“Ini tadinya motor Papa, terus diminta Om Jemi.”

Karena sibuk mengontrol perasaan bahagianya sejak tadi, Bian sampai lupa kalau dirinya berniat untuk membelikan Mama sesuatu diantara jajaran pedagang kaki lima di depan sekolah.

“PAPA MAMPIR BELI JAJANAN, PA!” pekik Bian seketika.

“Jajanan apa?”

“APA AJA TERSERAH! BUAT SI MAMA!”

“Kamu ngapain, sih teriak-teriak? Papa gak budek!”


Deru suara motor terdengar begitu riuh tatkala motor tersebut mulai memasuki pekarangan rumah. Agaknya hal itu menyebabkan Mama dan Om Jemi ke luar. Menyambut Bian yang baru saja menuruni motor.

“Idih idih, segala ada Om Jemi,” kata Bian begitu beradu tatap dengan sang empunya nama.

“Mau nyulik kamu,” sahut Om Jemi tanpa basa-basi.

Nah kan, Bian sudah tahu sejak awal. Pasti kedatangan Om Jemi bukan hanya untuk berkunjung. Om Jemi itu sudah berkeluarga, tapi kalau soal liburan pasti yang akan dia bondong adalah Bian seorang. Supaya tidak repot katanya. Toh sang istri maupun kedua anaknya agak pemalas. Mungkin menurut mereka liburan di dalam rumah sudah lebih dari cukup.

Sementara Bian sendiri bukannya tidak suka. Dia hanya—yah, sedikit malas. Om Jemi ini terlalu aktif bagi Bian. Mentang-mentang tiga hari ke depan adalah long weekend, adik dari papanya itu seenaknya saja membooking waktu Bian. Padahal kan rencana Bian ingin mengajak Papa liburan—walaupun dia belum yakin Papa luang atau tidak, tapi tetap saja Bian merasa sangat direpotkan.

Dan, kalau dilihat dari ekspresi Mama dan Papa, sepertinya mereka berdua biasa-biasa saja. Alias mengizinkan Om Jemi untuk melakukan penculikan ini.

Dasar, dua orang tua gak peka!

Setelah mobil di luar sana benar-benar berhenti, Ratu dapat menghirup tipis-tipis aroma oli dan asap kendaraan khas kota Jakarta yang sepertinya menempel pada tiap-tiap inci mobil Jeffrey. Deru suara mesin mobil itu mati seketika. Menandakan sang pengemudi akan segera menampakkan batang hidungnya.

Ratu sengaja hanya mengintip dari balik jendela, sebab ia khawatir kalau-kalau si kecil Bian harus menghirup polusi udara yang baru saja Jeffrey bawa pulang. Jika tidak sedang menggendong Bian, mungkin Ratu akan berlari hingga ke depan pintu gerbang sejak tadi hanya untuk menyambut kepulangan suaminya itu.

Suara pintu mobil yang di tutup dengan cukup tenaga terdengar dari luar, membuat Bian yang sebelumnya tengah tertidur dalam pangkuan Ratu mengerjap seketika.

“Stthh...,” desis Ratu.

Awalnya ia pikir Bian akan menangis karena terkejut, namun kenyataannya tidak. Bayi laki-laki itu hanya menguap sesaat, sebelum kembali melanjutkan mimpinya.

“Bian-nya biar saya aja yang timang-timang, Bu. Kebetulan kerjaan saya di dapur udah selesai,” kata Budhe Lasih.

“Gak apa-apa, sama saya aja, Budhe.”

Budhe Lasih menggeleng. Ia tahu betul bagaimana lelahnya mengurus bayi seharian. Bahkan, Ratu masih ikut turun tangan dalam hal-hal lain—misalnya seperti menyiapkan makanan tadi siang.

Seketika raut wajah Budhe Lasih memelas. “Saya mau gendong juga, Bu. Kangen sama cucu di kampung,” lirihnya beralasan. Sebab, kalau tidak seperti itu, Ratu tidak akan mau menitipkan Bian kepadanya. Menurut Ratu, itu merepotkan orang lain.

Ratu nyaris tertawa. Bisa aja, batinnya.

Kemudian, dengan hati-hati Ratu menyerahkan tubuh mungil Bian kepada Budhe Lasih. Bayi laki-lakinya itu tertidur dengan sangat pulas rupanya. “Nitip Bian ya, Budhe,” bisik Ratu yang langsung dihadiahi anggukkan kepala oleh Budhe Lasih.

Tanpa menunggu lama, Budhe Lasih memilih untuk membawa Bian meninggalkan Ratu di ruang tamu sendirian.

Tapi tidak, pasalnya Jeffrey tiba-tiba saja muncul dari balik pintu dengan penampilan yang cukup memprihatinkan. Rambutnya sudah tidak lagi tertata rapi. Dasinya entah hilang ke mana. Kemeja yang ia kenakan pun sudah keluar dari sela-sela celana dan pinggangnya. Ratu tahu bahwa di kantor, Jeffrey sedang tidak baik-baik saja. Sebab, sejak beberapa hari yang lalu, suaminya itu terus saja bergadang di hadapan laptop meski sudah pulang ke rumah. Dan ya ia sadar bahwa belakangan ini suaminya itu selalu melenguh dalam tidurnya. Jeffrey seratus persen kelelahan.

Pandangan Ratu turun. Ia melihat seikat bunga yang Jeffrey genggam erat-erat di tangan kanannya. Sebenarnya Ratu sangat penasaran. Ada apa gerangan? Kenapa pulang membawa bunga? Tidak biasanya. Sempat Ratu ingin bertanya, namun sengaja diurungkan begitu saja niatnya tatkala ia mendengar Jeffrey menghela nafas berat.

“Mas? Are you okay?”

Jeffrey tak kunjung menjawab pertanyaan Ratu. Ia maju selangkah. Wajahnya tak berekspresi sama sekali, namun kedua tangannya terangkat dan ya—Ratu yang lebih dulu memeluknya. Menyalurkan perasaan nyaman dengan mengusap lembut punggung suaminya itu perlahan-lahan.

“Malem ini mandi air anget ya? Biar rileks. Terus, abis itu langsung tidur aja, Mas. Jangan nyalain laptop lagi. Pokoknya malem ini kamu harus istirahat,” tutur Ratu sembari terus mengusap punggung Jeffrey, hingga membuat sang empunya kini membalas pelukan Ratu tak kalah erat.

Masih dalam posisi berpelukan, Jeffrey menenggelamkan kepalanya pada ceruk leher Ratu. Mengecup pundak Ratu berulang-ulang kali sembari menunduk karena tinggi istrinya itu sedikit lebih rendah darinya.

Jeffrey sangat merindukan Ratu.

Sementara itu, Ratu terkekeh. “Santai aja, Mas. Bian belum genap satu tahun,” kata Ratu, membuat Jeffrey menghentikan kegiatannya seketika.

Laki-laki yang tengah mendekap erat tubuhnya itu pun mendengkus. “Yang barusan itu karna kangen, bukan napsu, ya!” Kemudian Jeffrey melepaskan tangannya yang sempat melingkar pada pinggang Ratu.

Ratu mengulum senyuman, lalu tangannya terulur untuk menyisir rambut Jeffrey yang berantakan menggunakan jari jemarinya dengan penuh perhatian, hingga Jeffrey memejamkan matanya seketika.

“Capek banget, ya?” tanya Ratu, kemudian dibalas anggukan seperti seorang anak kecil oleh Jeffrey.

Suaminya itu mencebik, “Boleh gak ... peluk lagi? Belum full batterynya” Menjadi kalimat pertama yang keluar dari bibir Jeffrey setelah kembali membuka mata saat sentuhan tangan Ratu sudah tidak ia rasakan di atas kepalanya.

“Mandi dulu. Nanti bobonya sambil dipeluk.”

Jeffrey menggeleng cepat. “Nanti pasti kamu sibuk ngurus Bian.”

Suaminya itu masih kekanak-kanakan. Bahkan di saat sudah memiliki anak seperti sekarang ini, sempat-sempatnya Jeffrey merasa cemburu kepada anaknya sendiri.

Ratu memijat pelipisnya yang tiba-tiba saja terasa cenat-cenut. “Makanya kata gue buruan lo mandi sebelum anak lo kebangun, Jeff!” seru Ratu.

Nah kan, kalau sudah seperti ini, nyali Jeffrey menciut seketika. Lantas, mau tidak mau, ia harus segera melakukan apa yang Ratu perintahkan.

“Semua cewek sama aja!” kata Jeffrey, kemudian berlagak mengibaskan rambut dengan gaya perempuan, lalu melangkah pergi meninggalkan Ratu.

Eits, tapi tunggu dulu!

Jeffrey melangkah mundur tanpa sepengetahuan Ratu yang tengah menutup pintu. Dan saat Ratu berbalik—cup! Jeffrey mencuri sebuah ciuman dari bibirnya!

“Happy Anniversary, Ra. I love you. I always do,” kata Jeffrey dalam satu tarikan nafas, kemudian sekonyong-konyong memberikan bunga yang sebelumnya terus ia genggam, kepada Ratu.

Selanjutnya apa? Ia lari belingsatan meninggalkan Ratu yang masih mematung di tempatnya sembari berteriak, “Bunganya buat dipajang, ya, Ra! BUKAN BUAT LALAPAN!”

Ratu mendelik seketika.

KURANG AJAR! Memangnya dia ini apa? Mbak Kunti, begitu?

Ratu memutar bola matanya malas, kemudian menyusul Jeffrey masuk ke dalam kamar mereka. Dan begitu memasuki kamar, ada sesuatu langsung menarik perhatiannya. Yaitu sebuah handuk yang masih setia bertengger pada tempatnya.

“MAS KAMU MAH KEBIASAAN ANDUKNYA GAK DIBAWA SEKALIAN!” seruan Ratu menggema hingga ke dalam kamar mandi.

Sementara itu, di dalam kamar mandi Jeffrey mati-matian menahan tawa yang hendak melesak keluar dari bibirnya. “LUPA SAYANG! AMPUN!”


No matter how many facts Jeffrey has fallen through, how bad the day he had passed, how many times he ended up at the same old tired lonely place. In the end, all of these things will vanish when Ratu—the woman with dazzling hazel eyes met Jeffrey's. As strong as dopamine and endorphin work, unconsciously painting every red and blue nightmare reality into a delicate golden daylight.

Sudah pukul empat sore, tapi matahari masih dengan sangat percaya diri menampakkan cahayanya. Silau. Sudah sejak pagi-pagi sekali, baik Gia maupun Laura tak kunjung menentukan UKM atau organisasi sasi mana yang harus mereka singgahi.

Mungkin karena sangking banyaknya pilihan, alhasil mereka berdua kewalahan untuk menilai mana yang bagus, dan menyenangkan bagi mereka berdua untuk jangka panjang.

Sementara keduanya tengah duduk dengan manis pada sebuah bangku panjang yang tersedia di sana, ada tiga orang laki-laki yang terus mondar-mandir sembari menawarkan selembaran kertas tanpa ekspresi sedikitpun. Seolah sudah lelah karena seharian terus membagikan selembaran tersebut kepada para mahasiswa baru yang juga berkeliaran di sana.

“Lo liat gak yang putih itu, Gi?” kata Laura yang tiba-tiba saja membuka suaranya.

“Liat. Lo pasti mau bilang dia ganteng.”

“Iya. Gantengnya tuh bukan ganteng yang gimana gitu, tapi ganteng im—.”

Kalimat Laura menggantung begitu saja di udara dan tersapu oleh angin tatkala ia melihat Gia berjalan menuju laki-laki yang ia maksud beberapa saat lalu dengan gaya petantang-petenteng bak seorang gadis penuh percaya diri.

“Hai, Kak! Itu brosur UKM apa ya?” Gia tiba-tiba bersuara di balik punggung laki-laki itu.

Dan laki-laki itu memutar tubuhnya seketika. “Yang gua pegang?” tanyanya sambil menaikkan sebelah alisnya.

“Iya.”

“Ini brosur band, tapi belum jadi UKM.”

Sontak Gia menarik sudut bibirnya. “Minta dua, Kak. Gue sama temen gue minat buat join,” kata Gia seketika membuat kening laki-laki itu berkerut.

“Lo ... yakin?”

“Yakin. Seratus persen!”

Gia sempat menangkap senyum laki-laki itu meski hanya sekejap. Imut, batinnya.

“Kenalin, Kak. Nama gue Gia, Gia Maureen.” Kemudian tangannya terulur, menjabat tangan laki-laki itu begitu saja.

“Nama lo siapa, Kak?” sambung Gia dengan nada penuh semangat.

“Elio Nathanael, tapi biasanya dipanggil Ethan.”

Sudah sekitar 4 sore, tapi matahari masih dengan sangat percaya diri menampakkan cahayanya. Silau. Sudah sejak pagi-pagi sekali baik Gia maupun Laura tak kunjung menentukan UKM atau organisasi sasi mana yang harus mereka singgahi.

Mungkin karena sangking banyaknya pilihan, alhasil mereka berdua kewalahan untuk menilai mana yang bagus, dan menyenangkan bagi mereka berdua untuk jangka panjang.

Sementara keduanya tengah duduk dengan manis pada sebuah panjang yang tersedia di sana, ada tiga orang laki-laki yang terus mondar-mandir sembari menawarkan selembaran kertas tanpa ekspresi sedikitpun. Seolah sudah lelah karena seharian terus membagikan selembaran tersebut kepada para mahasiswa baru yang juga berkeliaran di sana.

“Lo liat gak yang putih itu, Gi?” kata Laura yang tiba-tiba saja membuka suaranya.

“Liat. Lo pasti mau bilang dia ganteng.”

“Iya. Gantengnya tuh bukan ganteng yang gimana gitu, tapi ganteng im—.”

Kalimat Laura menggantung begitu saja di udara dan tersapu oleh angin tatkala ia melihat Gia berjalan menuju laki-laki yang ia maksud beberapa saat lalu dengan gaya petantang-petenteng bak seorang gadis penuh percaya diri.

“Hai, Kak! Itu brosur UKM apa ya?” Gia tiba-tiba bersuara di balik punggung laki-laki itu.

Dan laki-laki itu memutar tubuhnya seketika. “Yang gua pegang?” tanyanya sambil menaikkan sebelah alisnya.

“Iya.”

“Ini brosur band, tapi belum jadi UKM.”

Sontak Gia menarik sudut bibirnya. “Minta dua, Kak. Gue sama temen gue minat buat join,” kata Gia seketika membuat kening laki-laki itu berkerut.

“Lo ... yakin?”

“Yakin. Seratus persen!”

Gia sempat menangkap senyum laki-laki itu meski hanya sekejap. Imut, batinnya.

“Kenalin, Kak. Nama gue Gia, Gia Maureen.” Kemudian tangannya terulur, menjabat tangan laki-laki itu begitu saja.

“Nama lo siapa, Kak?” sambung Gia dengan nada penuh semangat.

“Elio Nathanael, tapi biasanya dipanggil Ethan.”

Elio Nathanael, atau yang lebih akrab dipanggil Ethan ingat saat kali pertama ia mengenal Yohan dan Arjuna satu tahun yang lalu, saat ketiganya masih sama-sama menjadi mahasiswa baru di Neo University. Para mahasiswa baru disarankan untuk memilih salah satu dari UKM yang ada sebagai wadah untuk menyalurkan bakat dan minat. Namun sayangnya tidak ada satupun jenis UKM yang mereka bertiga minati.

Sebenarnya hampir sebagian besar UKM yang tersedia tampak seperti ajang untuk adu kekerenan saja menurut point of view ketiganya. Hanya sedikit UKM yang berkesinambungan dengan kampus maupun fakultas yang ada. Tapi tidak ada yang salah, mengingat rata-rata mahasiswa kampus itu mendaftar kuliah hanya untuk formalitas saja. Yah, pasalnya mayoritas dari mahasiswanya berasal dari golongan atas yang sebenarnya tanpa sekolah tinggi-tinggi pun hidup mereka sudah terjamin karena harta yang konon katanya tidak akan habis meski dihajar oleh tujuh turunan! Mantap!

Masih untung ada yang berinisiatif mendirikan UKM. Agaknya mereka-mereka yang mengajukan untuk mendirikan UKM sebelumnya adalah mahasiswa-mahasiwa kurang kerjaan atau bahkan hanya karena malas pulang ke rumah lebih cepat, yang kebetulan aktif dan memiliki kretivitas tanpa batas.

Satu hal yang seringkali Ethan katakan selama kurang lebih satu tahun belakangan ini.

“Dari sekian banyak orang keren di sini, kenapa gak ada yang kepikiran bikin UKM band, sih?”

Dan yup! Begitu pula yang kira-kira dirasakan oleh Yohan dan juga Arjuna, hingga ketiganya memutuskan untuk bersatu, dan membuat UKM baru ditengah-tengah obrolan ngelantur yang dicetuskan oleh Ethan sebagai dalangnya.

flashback

“Lo yakin gak join UKM manapun, Than?” tanya Yohan penasaran tatkala Ethan tengah menyuap makanannya ke dalam mulut.

Ethan menggeleng, kemudian mengunyah makanan di dalam mulutnya dengan kecepatan dua kali lipat dari sebelumnya. “Yakin, lah. Kecuali ada UKM band.”

“Bikin sendiri aja kalo mau,” sahut Arjuna.

Baik Yohan maupun Ethan—keduanya sama-sama beralih menatap Arjuna dengan raut wajah serius.

“Emangnya bisa?”

Ethan mengangguk, sebagai tanda mengamini pertanyaan yang Yohan lemparkan pada Arjuna barusan.

“Dari yang gua tau, sih, bisa. Cuman ada syaratnya.”

“Apa?” tanya Ethan yang sepertinya sudah mulai tertarik dengan topik obrolan kali ini.

Sebelum menjawab, Arjuna memilih untuk menyedot es susu ovaltinenya terlebih dahulu.

“Bikin kelompok mahasiswa yang minatnya sama dulu. Misal lo, gua, sama Yohan kan minatnya bermusik ya? Kita kumpulin orang-orang dengan minat sama—minimal dua puluh orang. Terus jadi komunitas tuh. Nah, komunitasnya harus aktif minimal selama tahun, baru bisa diajuin ke BEM.”

“Ribet, Anjing!” potong Yohan.

“Bajingan! Yo pancen ngono kui carane!” sulut Arjuna.

“Dia ngomong apaan, Than?”

Lantas Ethan mengedikkan bahunya, sambil terkekeh. Agaknya pertemanan mereka memiliki kendala yang cukup serius meski hanya karena perbedaan suku antar ketiganya.

Detik kemudian Ethan merubah raut wajahnya menjadi lebih serius, namun tetap terlihat santai.

“Ayo buat...,” cetus Ethan sekonyong-konyong tanpa basa-basi sebelumnya.

“Buat apaan?”

“UKM band.”


UKM adalah Unit Kegiatan Kampus.

Elio Nathanael, meski nama pemberian orang tuanya terdengar sangat bagus tapi tetap saja teman terdekatnya memanggilnya dengan sebutan 'Ethan'.

Ethan ingat kali pertama ia mengenal Yohan dan Arjuna satu tahun yang lalu, saat ketiganya masih sama-sama menjadi mahasiswa baru di Neo University. Mereka diharuskan untuk memilih salah satu UKM sebagai sebuah wadah untuk menyalurkan bakat dan minat, namun sayangnya tidak ada satupun jenis UKM yang mereka minati.

Sebenarnya hampir sebagian besar UKM yang tersedia tampak seperti ajang untuk adu tingkat kekerenan saja menurut point of view ketiganya. Hanya sedikit UKM yang berkesinambungan dengan kampus maupun fakultas yang ada. Tapi tidak ada yang salah, mengingat rata-rata mahasiswa kampus itu kuliah hanya untuk formalitas saja. Yah, pasalnya mayoritas dari mahasiswanya berasal dari golongan atas yang sebenarnya tanpa sekolah tinggi-tinggi pun hidup mereka sudah terjamin karena harta yang konon katanya tidak akan habis meski dihajar oleh tujuh turunan!

Masih untung ada yang berinisiatif mendirikan UKM. Agaknya mereka-mereka yang mengajukan untuk mendirikan UKM sebelumnya adalah mahasiswa-mahasiwa gabut atau lebih sopannya yaitu mahasiswa kurang kerjaan di universitas ini.

Satu hal yang seringkali Ethan katakan selama kurang lebih satu tahun belakangan ini.

“Dari sekian banyak orang keren, kenapa gak ada yang kepikiran bikin UKM band, sih?”

Begitu pula yang kira-kira dirasakan oleh Yohan dan juga Arjuna, hingga ketiganya memutuskan untuk menentang peraturan yang mewajibkan untuk memilih setidaknya satu jenis UKM, dan berujung dengan rencana membuat UKM baru ditengah-tengah obrolan ngelantur yang dicetuskan oleh Ethan sendiri.

flashback

“Lo yakin gak join UKM manapun, Than?” tanya Yohan penasaran tatkala Ethan tengah menyuap makanannya ke dalam mulut.

Ethan menggeleng, kemudian mengunyah makanan di dalam mulutnya dengan kecepatan dua kali lipat dari sebelumnya. “Yakin, lah. Kecuali ada UKM band.”

“Bikin sendiri aja kalo mau,” sahut Arjuna.

Baik Yohan maupun Ethan—keduanya sama-sama beralih menatap Arjun dengan raut wajah serius.

“Emangnya bisa?”

Ethan mengangguk, sebagai tanda mengamini pertanyaan yang Yohan lemparkan pada Arjuna barusan.

“Dari yang gua tau, sih, bisa. Cuman ada syaratnya.”

“Apa?” tanya Ethan yang sepertinya sudah mulai tertarik dengan topik obrolan kali ini.

Sebelum menjawab, Arjuna memilih untuk menyedot es susu ovaltinenya terlebih dahulu.

“Bikin kelompok mahasiswa yang minatnya sama dulu. Misal lo, gua, sama Yohan kan minatnya bermusik ya? Kita kumpulin orang-orang dengan minat sama—minimal dua puluh orang. Terus jadi komunitas tuh. Nah, komunitasnya harus aktif minimal selama tahun, baru bisa diajuin ke BEM.”

“Ribet, Anjing!” potong Yohan.

“Bajingan! Yo pancen ngono kui carane!” sulut Arjuna. (Bajingan! Ya emang kaya gitu caranya!)

“Dia ngomong apaan, Than?”

Lantas Ethan mengedikkan bahunya, sambil terkekeh. Menjadi salah satu anak rantau dalam fakultas mereka agaknya merupakan masalah serius bagi Yohan.

“Ayo buat...,” cetus Ethan tanpa basa-basi sebelumnya.

“Buat apaan?”

“UKM band.”


UKM adalah Unit Kegiatan Kampus.

Elio Nathanael, meski nama pemberian orang tuanya terdengar sangat bagus tapi tetap saja teman terdekatnya memanggilnya dengan sebutan 'Ethan'.

Ethan ingat kali pertama ia mengenal Yohan dan Arjuna satu tahun yang lalu, saat ketiganya masih sama-sama menjadi mahasiswa baru di Neo University. Mereka diharuskan untuk memilih salah satu UKM sebagai sebuah wadah untuk menyalurkan bakat dan minat, namun sayangnya tidak ada satupun jenis UKM yang mereka minati.

Sebenarnya hampir sebagian besar UKM yang tersedia tampak seperti ajang untuk adu tingkat kekerenan saja menurut point of view ketiganya. Hanya sedikit UKM yang berkesinambungan dengan kampus maupun fakultas yang ada. Tapi tidak ada yang salah, mengingat rata-rata mahasiswa kampus itu kuliah hanya untuk formalitas saja. Yah, pasalnya mayoritas dari mahasiswanya berasal dari golongan atas yang sebenarnya tanpa sekolah tinggi-tinggi pun hidup mereka sudah terjamin karena harta yang konon katanya tidak akan habis meski dihajar oleh tujuh turunan!

Masih untung ada yang berinisiatif mendirikan UKM. Agaknya mereka-mereka yang mengajukan untuk mendirikan UKM sebelumnya adalah mahasiswa-mahasiwa gabut atau lebih sopannya yaitu mahasiswa kurang kerjaan di universitas ini.

Satu hal yang seringkali Ethan katakan selama kurang lebih satu tahun belakangan ini.

“Dari sekian banyak orang keren, kenapa gak ada yang kepikiran bikin UKM band, sih?”

Begitu pula yang kira-kira dirasakan oleh Yohan dan juga Arjuna, hingga ketiganya memutuskan untuk menentang peraturan yang mewajibkan untuk memilih setidaknya satu jenis UKM, dan berujung dengan rencana membuat UKM baru ditengah-tengah obrolan ngelantur yang dicetuskan oleh Ethan sendiri.

flashback

“Lo yakin gak join UKM manapun, Than?” tanya Yohan penasaran tatkala Ethan tengah menyuap makanannya ke dalam mulut.

Ethan menggeleng, kemudian mengunyah makanan di dalam mulutnya dengan kecepatan dua kali lipat dari sebelumnya. “Yakin, lah. Kecuali ada UKM band.”

“Bikin sendiri aja kalo mau,” sahut Arjuna.

Baik Yohan maupun Ethan—keduanya sama-sama beralih menatap Arjun dengan raut wajah serius.

“Emangnya bisa?”

Ethan mengangguk, sebagai tanda mengamini pertanyaan yang Yohan lemparkan pada Arjuna barusan.

“Dari yang gua tau, sih, bisa. Cuman ada syaratnya.”

“Apa?” tanya Ethan yang sepertinya sudah mulai tertarik dengan topik obrolan kali ini.

Sebelum menjawab, Arjuna memilih untuk menyedot es susu ovaltinenya terlebih dahulu.

“Bikin kelompok mahasiswa yang minatnya sama dulu. Misal lo, gua, sama Yohan kan minatnya bermusik ya? Kita kumpulin orang-orang dengan minat sama—minimal dua puluh orang. Terus jadi komunitas tuh. Nah, komunitasnya harus aktif minimal selama tahun, baru bisa diajuin ke BEM.”

“Ribet, Anjing!” potong Yohan.

“Bajingan! Yo pancen ngono kui carane!” sulut Arjuna. (Bajingan! Ya emang kaya gitu caranya!)

“Dia ngomong apaan, Than?”

Lantas Ethan mengedikkan bahunya, sambil terkekeh. Menjadi salah satu anak rantau dalam fakultas mereka agaknya merupakan masalah serius bagi Yohan.

“Ayo buat...,” cetus Ethan tanpa basa-basi sebelumnya.

“Buat apaan?”

“UKM band.”

Kalau soal urusan kumpul-kumpul keluarga seperti saat ini, Jemian lah yang paling bersemangat. Maklum, menjabat sebagai mahasiswa semester akhir agaknya membuat adik laki-laki dari Jeffrey itu stress bukan main. Ah, Jemian, si bontot itu meski sudah menginjak usia dewasa tetap saja maunya mendapat perhatian dari banyak orang.

“Gini dong, Jemi capek mikirin penelitian terus. Gak udah-udah perasaan.”

Sore itu, berkat kebaikan hati Papa, seluruh anggota keluarga Jeffrey berkumpul di rumah yang sudah sejak beberapa bulan lalu ia tempati bersama Ratu.

“Ya namanya juga orang kuliah. Kalau mau santai, jadi pengangguran aja,” sahut Mbak Kila yang baru saja datang dari dapur sembari membawa beberapa gelas es teh yang tersusun apik di atas nampan warna merah jambu, kesayangan Ratu.

Jemian mendengkus seketika, sementara Ratu terkekeh. Wanita itu mengusap bagian belakang kepala Jemian. “Sedikit lagi, Jem. Semangat, dong! Kamu loyo banget,” kata Ratu yang kemudian menarik sebuah kursi yang letaknya tak jauh dari tempat duduk Jemian.

“Biannya mana, Mbak?”

“Lagi sama Mama,” bisik Ratu kemudian tersenyum.

Ratu tahu soal perdebatan keluarga mereka siang tadi yang dipicu oleh Jeffrey. Tak ingin Mama mertuanya itu merasakan sakit hati berlarut-larut, lantas ia sengaja membiarkan Mama menggendong Bian kemanapun wanita paruh baya itu mau.

Suara gelak tawa kedua anak Mbak Kila seperti sebuah alunan musik yang sengaja diputar untuk meramaikan rumah itu. Melihat Ciara dan Leon yang berlarian ke sana kemari karena dikejar-kejar oleh ayahnya, membuat perasaan Ratu menghangat. Ia membayangkan kelak anaknya akan seperti itu saat tengah main bersama Jeffrey. Ratu tersenyum. Meski ia sudah lupa bagaimana rasanya bermain bersama orang tua, terlebih lagi bersama sosok Ayah—namun dengan sangat baik hati Tuhan membiarkan dirinya menyaksikan bagaimana hangat dan asyiknya keluarga Jeffrey. Bahkan Tuhan memberikan kesempatan bagi Ratu untuk merasakan langsung kehangatan keluarga itu.

“Mbak Kila liat Jeffrey?” tanya Ratu tatkala Mbak Kila baru saja usai meneguk es tehnya.

Wanita itu terkikik geli. “Di belakang, lagi proses pendisiplinan sama Papa,” kata Mbak Kila.

Jemian yang juga mengerti maksud dari perkataan Mbak Kila barusan, sontak tergelak bukan main. “Lagia, sih, Mas Jeffrey suka gak difilter dulu kata-katanya.”


Jeffrey dan Papa sama-sama menyesap kopi buatan Budhe Lasih beberapa saat lalu. Hitam kental, menyisakan sensasi rasa pahit setelahnya.

“Papa gak mau yang kaya tadi siang keulang lagi, ya, Mas. Kamu gak mau kan kalau suatu saat nanti punya cucu malah dilarang nemuin cucu kamu? Mana yang ngelarang anak kamu sendiri.... Kamu tahu gak hidup itu pasti selalu berkaitan sama karma?”

“Kenapa bahas karma segala, sih?” sungut Jeffrey.

“Lho, Papa serius. Apa yang lakukan, pasti akan kamu rasain di kemudian hari, Mas. Apalagi ke orang tua.”

“Tapi kalau udah minta maaf gak akan, kan?”

“Ya ... tergantung,” sahut Papa.

“Tergantung apa?”

“Tergantung Tuhan.”

Siapa sangka jika tiba-tiba Jeffrey pergi begitu saja meninggalkan Papa di halaman belakang rumah? Bahkan tanpa mengatakan sepatah katapun, Jeffrey berlari masuk ke dalam.

Papa hanya mencibir. Ikut masuk ke dalam, sebab tak ada gunanya ia sibuk memandangi langit yang sudah mulai gelap itu sendirian. Nanti kalau terkena sawan, kan panjang urusannya.


“MAMA MANA?!”

Melihat Jeffrey yang terengah-engah dari arah dapur membuat Ratu dan yang lainnya—yang tengah berada berada di ruang keluarga, lantas saling bertukar pandangan.

“Kenapa?” tanya Mbak Kila.

Enggan menghabiskan banyak waktu untuk berbasa-basi, lantas Jeffrey mengarahkan pandangannya pada Ratu. “Ra?”

“Mama kayaknya di atas deh, sama Budhe Lasih lagi ngajak Bian main,” sahut Ratu dengan raut wajah yang masih tampak kebingungan.

Jeffrey langsung berlari menuju lantai atas. Yang ada di pikirannya saat ini ialah harus secepatnya meminta maaf kepada Mama sebelum sebuah karma yang Papa katakan beberapa saat lalu jatuh tempo.

Anehnya seorang Jeffreyan Aditama....

Jemian hanya geleng-geleng melihat tingkah laku kakaknya itu. Ia tak berniat mengangkat suara sedikitpun, pasalnya ia tengah disibukan dengan buah bakwan kembar di masing-masing tangannya.


“MAMA!” seru Jeffrey tatkala melihat punggung mamanya.

Tanpa memperdulikan Budhe Lasih yang notabennya sebagai asisten rumah tangganya, Jeffrey sekonyong-konyong memeluk pundak Mama. “Maafin Mas Jeffrey ya? Maaf soal yang tadi siang.”

Paham dengan apa yang tengah terjadi, Budhe Lasih pun menggendong si kecil Bian, dan pergi meninggalkan keduanya.

“Udah Mama maafin,” kata Mama sembari mengusap lengan Jeffrey yang memeluk tubuhnya.

“Beneran?”

“Iya.”

Jeffrey beringsut ke hadapan Mama. “Kok cepet banget?” tanyanya penuh penasaran.

Mama terkekeh, “Iya, soalnya Mama ngerasa deja vu. Dulu Papa juga seposesif itu kalau soal anak-anaknya. Apalagi waktu Mbak Kila baru lahir.”

Jeffrey melongo seketika. Papanya itu, lagi-lagi berhasil memanipulasinya. Si tua bangka kebangetan, batinnya.

“EMANG IYA YA? APAPUN MAKANANNYA, MINUMNYA TETEP LUDAH SENDIRI?!” seru Jeffrey. Sengaja agar sang Papa mendengarnya.

Lalu tanpa merasa malu sedikitpun, Papa membalas cibiran Jeffrey tengan tawa terbahak-bahak. Agaknya Papa merasa sangat puas karena telah mempermainkan anak laki-lakinya itu.

“GAK JELAS! BAPAK-BAPAK GAK JELAS!”


Rumah milik Jeffrey mungkin tidak sebesar rumah kedua orangtuanya. Mungkin juga belum dapat menyaingi rumah keluarga Mbak Kila. Namun, pemilihan konsep yang tepat mampu membuat siapapun yang berkunjung ke sana merasa nyaman sampai ingin berlama-lama berada di sana.

Jeffrey sampai merasa kesal, kenapa para keluarganya ini tak kunjung pulang ke rumah masing-masing, meski jam dinding sudah menunjukan pukul setengah delapan malam. Alhasil Ratu harus repot-repot memperingatkan Jeffrey untuk mengontrol ekspresi wajahnya.

“Apaan tuh, Budhe?” tanya Jemian kepada Budhe Lasih yang berjalan melalui ruang keluarga dengan menenteng sebuah benda persegi panjang yang terlihat cukup besar.

Sontak yang lainnya ikut menoleh.

“Bingkai foto, Mas.”

Kening Mama berkerut, “Kamu udah foto keluarga, Mas?” tanya Mama, sambil menatap Jeffrey. Bingung, pasalnya baru beberapa hari yang lalu Jeffrey mengatakan bahwa akan membuat foto keluarga setidaknya saat Sabian sudah bisa tersenyum ke arah kamera dengan benar.

Jeffrey menggeleng.

“Ini bukan foto keluarga, Ma. Cuman waktu itu aku sama Jeffrey iseng aja minta dibuatin ginian dari foto lama kita.” sahut Ratu.

“Itu apa, sih? Terus buat apa?” tanya Mbak Kila penasaran.

Baik Jeffrey maupun Ratu, keduanya tersenyum, “Buat pajangan di kamar kita,” jawab mereka secara bersamaan.

Jeffrey menatap sekitar. Usai makan malam bersama di atas tikar, di lantai rumah sakit beberapa saat lalu ketiga temannya pamit untuk pulang, begitu pula dengan Mama, Papa, Jemian, dan Mbak Kila sekeluarga.

“Kamu tau gak?” kata Jeffrey memecah keheningan ruangan tempat Ratu tengah berbaring.

Ratu menggeleng, sembari mengerjapkan matanya.

“Tadi siang itu, cuman kamu yang ngelahirinnya udah kayak ditungguin sama satu kelurahan alias rame banget!” Jeffrey menarik sebuah kursi, dan mendudukkan dirinya tepat di samping tempat tidur Ratu. “Ada Papa, Mama, Jemian, Mbak Kila sama suami terus anak-anaknya, ditambah lagi si Yudhis yang bawa Matius sama Dio kesini. Banyak banget ternyata yang sayang sama kamu.”

Ratu sempat memutar bola matanya. Paling-paling juga Jeffrey sendirilah yang mengabari semua orang layaknya manusia paling heboh sedunia. Bisa-bisanya mengatakan kalimat penuh basa basi seperti barusan.

Kemudian dengan niat seadanya Ratu terkekeh, “Iya, Mas.”

Jeffrey menggaruk hidungnya yang tidak gatal, kemudian beranjak dan melangkahkan kakinya dengan asal. Kali ini ia bergimik mencari sesuatu di dalam ruangan tersebut.

“Cari apa, sih?” tanya Ratu dengan nada yang terdengar sedikit kesal.

“Remot. Mau nyalain TV.”

“Ngapain nyalain TV?”

“Bosen....”

Ratu berdecak. “Tadi tuh, ada yang bilang katanya kangen lah, nungguin bangun lah, alay banget pokoknya. Eh ternyata—biasa aja. Kirain bakal dipeluk kek, atau diapain gitu? Ini malah mau dianggurin. Dasar gak jelas!” Kemudian Ratu melempar tatapan sengit ke arah Jeffrey.

Emang dasar duta gengsi sedunia! batinnya.

Alih-alih merasa takut, Jeffrey malah cengangas-cengenges sambil berjalan kembali mendekati Ratu. Ia bukan kehilangan minat, bukan juga melupakan soal perasaan rindu, cemas, dan bahagia yang yang beberapa jam lalu ia rasakan. Jeffrey hanya sedikit malu. Malu untuk menatap mata Ratu dengan perasaan yang seperti tengah meletup-letup di hatinya itu, malam ini.

Melihat bagaimana merahnya pipi suaminya itu, lantas Ratu menahan senyumannya. Gemas. Tentu saja, Ratu yang paling tahu soal perasaan Jeffrey. Ratu yang paling tahu betapa laki-laki itu menantikan anak pertamanya lahir. Ratu juga yang paling tahu bahwa kini Jeffrey sedang mati-matian menahan tangis harunya.

“Mas ... sini...,” pinta Ratu sebelum menggeser tubuhnya.

Ranjang rumah sakit, tempat ia berbaring itu cukup luas. Itu sebabnya Ratu meminta Jeffrey untuk ikut berbaring di sebelahnya.

“Mau ngapain, Ra?”

“Cepet sini!”

Sesaat setelah mengerti maksud Ratu, lantas Jeffrey mematikan lampu yang paling terang dalam kamar inap tersebut. Ia sengaja membiarkan lampu berwarna kemuning yang menyala, membuat cahaya remanglah yang tersisa di sana.

Kemudian, dengan penuh hati-hati Jeffrey ikut merebahkan dirinya di samping Ratu. Kini aroma tubuh laki-laki itu menguar, memenuhi indera penciuman Ratu. Aroma manisnya milky melon yang sejak dulu Ratu sukai itu masih tercium dari tubuh Jeffrey hingga saat ini.

Melihat Jeffrey yang diam mematung di sampingnya, tentu saja membuat Ratu tidak akan tinggal diam. Ratu kembali menggeser tubuhnya, mengahapus jarak di antara dirinya dan juga Jeffrey. Lalu tanpa memberikan aba-aba, ia memeluk tubuh suaminya itu meski kesusahan.

“Aku juga kangen,” kata Ratu menanggapi pengakuan Jeffrey dalam pesan online sebelumnya. “Tadi aku takut banget karna aku pikir gak akan bangun lagi. Soalnya aku kaya liat Bunda sekilas.”

Sontak Jeffrey menoleh, “Aku gak suka obrolan kaya gini ah, Ra.”

“Aku belum selesai ngomong, Mas.” Ratu tak terima perkataannya dipotong begitu saja. “Kamu tau gak Bunda bilang apa?” tanyanya.

Jeffrey menggeleng singkat.

“Bunda gak bilang apa-apa selain titip makasih buat kamu.”

“Ra....”

“Bunda bilang makasih buat apa ya, Mas? Emangnya kamu ngapain?”

Hening. Tak ada jawaban dari Jeffrey.

Ingatan tentang masa lalu Jeffrey kini kembali terputar. Dimana sang bunda dari wanita di sampingnya ini, dengan penuh rasa percaya menitipkan putrinya kepada dirinya beberapa hari sebelum meninggal dunia.

”... tolong jagain anak gadisnya Bunda, ya?”

Jeffrey menggigit bibirnya, menahan sebuah isak tangis yang hendak keluar.

“MAS?! Kok nangis?” Ratu yang panik melihat Jeffrey yang tiba-tiba saja menangis sesenggukan spontan menarik selimutnya. Ia sibuk mengusap air mata Jeffrey tanpa memperdulikan rasanya nyeri pada perutnya.

“Aku gak tau kamu nangis kenapa ... udah dong. Cup cup cup. Kamu kangen sama Bunda?”

Jeffrey mengangguk.

“Yaudah nanti kalau aku udah boleh pulang dari sini, kita ajak Bian tengokin nenek sama kakeknya, ya?” kata Ratu, dan lagi-lagi hanya dihadiahi oleh sebuah anggukan.

Sampai detik ini, Jeffrey sama sekali tidak pernah membahas soal janji yang ia katakan kepada Bunda. Sampai detik ini, Jeffrey tidak pernah sekalipun membahas tentang masa lalu yang menurut akan melukai atau sekedar membuat Ratu merasa sedih. Jeffrey simpan rapat-rapat semuanya. Jeffrey kenang semuanya dalam ingatannya sendiri. Karena, menurutnya Ratu hanya perlu mengetahui hal-hal yang mampu membuatnya tersenyum—dan bukannya menangis.

Jeffrey mengusap wajahnya seketika. Ia ingat bahwa harusnya hari ini ia berbahagia sebab putranya baru saja lahir dengan sangat sehat.

“Aku gak nangis, tadi itu cuman gak sengaja kecolok,” elak Jeffrey, sambil memamerkan senyum bodoh di wajahnya.

“Lah?”

“Oh iya, kamu tau gak kenapa nama anak kita Sabian?”

Ratu mengerutkan keningnya. “Gak tau. Emangnya kenapa?” tanya Ratu penasaran.

“Tadinya aku pikir anak kita cewek, Ra. Mau aku kasih nama Sabine, diambil dari salah satu nama suku di Italia yang punya karakteristik menarik, family friendly, unik, terus cerdas.” Jeffrey tersenyum bangga atas dirinya. “Tapi ternyata cowok, yaudah jadi Sabian aja.” Kemudian raut wajahnya berubah seketika.

“Pasrah banget anjir.”

“Mau gimana lagi? Orang kamu tidurnya lama,” ungkap Jeffrey penuh penekanan.

“ITU KARNA OBAT BI—,”

Ceklek!

“Permisi, Mama. Bayinya haus,” kata seorang perawat yang tiba-tiba saja masuk dengan membawa Sabian dalam gendongannya.

Jeffrey mengunci layar ponselnya sebelum memasukkan ponsel tersebut ke dalam saku celananya. Ia sudah menenteng kantung plastik berisikan air mineral kemasan dan beberapa roti di dalamnya. Kemudian, dengan langkah besar ia berniat untuk kembali ke ruangan dimana Ratu berada. Mengingat saran yang Papa berikan beberapa saat lalu, ada benarnya kalau saat ini seharusnya ia menyingkirkan segala perasaan takut, dan juga pikiran buruknya.

Tidak ada waktu untuk menenangkan diri dan meninggalkan Ratu yang tengah dilanda kecemasan sendirian. Sebagai kepala keluarga, sudah sepantasnya Jeffrey menenangkan Ratu di saat-saat seperti ini. Lagi pula sering kali Ratu yang selalu meredakan kecemasannya dalam banyak hal—kali ini adalah giliran ia yang melakukan hal tersebut.

Sekitar pukul sepuluh pagi, langit kota Jakarta agaknya terlihat lebih gelap. Sangat mendung. Seperti karena sudah beberapa hari belakangan ini tidak turun hujan.

Jeffrey mempercepat langkah kakinya, ia ingin mengatakan sesuatu sebelum dokter anestesi dan para perawat membawa istrinya itu. Jeffrey tidak bercanda saat dirinya mengatakan hanya cukup dengan satu anak, pasalnya degup jantungnya sudah tak karuan hanya dengan mengetahui bahwa istrinya itu harus melahirkan secara caesar, bagaimana dengan sang istri? Pikirnya begitu.

“RA!” pekik Jeffrey tatkala melihat Ratu yang sudah didatangi oleh beberapa perawat dalam ruang sebelumnya. Benar saja, sepertinya Ratu akan segera dibawa untuk diberi suntikan anestesi. “Sebentar, Dok. Jangan dibawa dulu, saya mau ngomong sama istri saya.” Lantas dokter dan beberapa perawat di sana seolah mengerti dan meninggalkan Ratu yang tengah terduduk di atas kursi roda, dan juga Jeffrey yang kini berlutut di hadapannya.

“Ra?”

Ratu bergeming, ia bingung, entah apa yang harus ia katakan? Sementara lidahnya saja terasa begitu kelu karena sangking takutnya akan operasi besar yang sebentar lagi akan ia jalani.

“Jangan takut, ya, Ra? Aku emang gak ikut masuk dan liat kamu secara langsung—tapi, aku ada di luar, Ra. Kamu gak akan kenapa-kenapa kok. Aku janji kalau ini gak akan sakit. Kalau ternyata nanti rasanya sakit, kamu boleh cubitin aku sebanyak yang kamu mau, tapi syaratnya harus langsung pulih, oke?” Jeffrey meraih tangan Ratu, lalu menggenggamnya erat. “Abis ini, kalau kamu gak mau punya anak lagi gak apa-apa, Ra. Tapi yang ini harus bisa dilewatin, ya?” kata Jeffrey.

Alih-alih menjawab perkataan Jeffrey, Ratu justru memejamkan matanya. Ia gemetar, dan tentu saja tak luput dari pandangan Jeffrey.

“Aku gak takut. Aku gak takut. Aku gak takut,” gumam Ratu yang membuat Jeffrey memeluk tubuhnya seketika.

Jeffrey mengusap kepala hingga punggung Ratu dengan lembut. “Iya, jangan takut. Aku nunggu kamu di luar pokoknya.”

Ratu membalas pelukan Jeffrey, ia tahu bagaimana laki-laki yang tengah mendekapnya itu hanyalah seorang Jeffreyan Aditama yang nyatanya juga masih memiliki mental seperti anak kemarin sore. Ratu jelas tahu kalau dibalik perkataan penyemangat Jeffrey barusan, ia juga sama takutnya.

Berikutnya sang dokter anestesi dan para perawat kembali, dan meminta izin untuk membawa Ratu.


Sekiranya ada lebih dari lima orang di koridor rumah sakit yang tengah menunggu operasi caesar Ratu berlangsung. Jeffrey, Mama, Papa, Mbak Kila dan keluarga kecilnya, Jemian, serta Yudhis bersama dua lainnya. Siapa lagi kalau bukan Matius, dan Dio?

Mereka semua menunggu lampu tanda operasi tengah berlangsung itu mati. Sudah lebih dari satu jam, namun belum juga muncul tanda-tanda para dokter dan perawat akan keluar.

“Ayo taruhan?” bisik Yudhis pada Matius dan Dio yang tentu saja didengar oleh Jeffrey karena ia berdiri tak jauh dari ketiganya.

“Apaan?” sahut Dio.

“Anaknya si Jeff cowok apa cewek?”

Matius yang sebelumnya tidak merespon, kini melirik ke arah Yudhis. “Gue pilih cowok. Kalau sampai gue bener, lo lari keliling rumah sakit ini.”

“ANJ—”

“Language...,” lirih Jeffrey.

“Iye sorry.”

Tiba-tiba Jemian berdiri dari tempat duduknya, “Mas! Operasinya udah selesai, tuh!” seru Jemian membuyarkan perhatian yang lainnya.

Tak lama kemudian pintu ruang operasi terbuka, menampilkan sosok seorang dokter dengan raut wajah tersenyum. “Bapak Jeffreyan?”

“Iya, saya?”

“Selamat ... anak anda sehat, dan berjenis kelamin laki-laki.”

Mendengar itu, sontak semua orang yang berada di sana tersenyum lebar, kecuali Yudhis.