cakgrays

Sudah pukul empat sore, tapi matahari masih dengan sangat percaya diri menampakkan cahayanya. Silau. Sudah sejak pagi-pagi sekali, baik Gia maupun Laura tak kunjung menentukan UKM atau organisasi sasi mana yang harus mereka singgahi.

Mungkin karena sangking banyaknya pilihan, alhasil mereka berdua kewalahan untuk menilai mana yang bagus, dan menyenangkan bagi mereka berdua untuk jangka panjang.

Sementara keduanya tengah duduk dengan manis pada sebuah bangku panjang yang tersedia di sana, ada tiga orang laki-laki yang terus mondar-mandir sembari menawarkan selembaran kertas tanpa ekspresi sedikitpun. Seolah sudah lelah karena seharian terus membagikan selembaran tersebut kepada para mahasiswa baru yang juga berkeliaran di sana.

“Lo liat gak yang putih itu, Gi?” kata Laura yang tiba-tiba saja membuka suaranya.

“Liat. Lo pasti mau bilang dia ganteng.”

“Iya. Gantengnya tuh bukan ganteng yang gimana gitu, tapi ganteng im—.”

Kalimat Laura menggantung begitu saja di udara dan tersapu oleh angin tatkala ia melihat Gia berjalan menuju laki-laki yang ia maksud beberapa saat lalu dengan gaya petantang-petenteng bak seorang gadis penuh percaya diri.

“Hai, Kak! Itu brosur UKM apa ya?” Gia tiba-tiba bersuara di balik punggung laki-laki itu.

Dan laki-laki itu memutar tubuhnya seketika. “Yang gua pegang?” tanyanya sambil menaikkan sebelah alisnya.

“Iya.”

“Ini brosur band, tapi belum jadi UKM.”

Sontak Gia menarik sudut bibirnya. “Minta dua, Kak. Gue sama temen gue minat buat join,” kata Gia seketika membuat kening laki-laki itu berkerut.

“Lo ... yakin?”

“Yakin. Seratus persen!”

Gia sempat menangkap senyum laki-laki itu meski hanya sekejap. Imut, batinnya.

“Kenalin, Kak. Nama gue Gia, Gia Maureen.” Kemudian tangannya terulur, menjabat tangan laki-laki itu begitu saja.

“Nama lo siapa, Kak?” sambung Gia dengan nada penuh semangat.

“Elio Nathanael, tapi biasanya dipanggil Ethan.”

Sudah sekitar 4 sore, tapi matahari masih dengan sangat percaya diri menampakkan cahayanya. Silau. Sudah sejak pagi-pagi sekali baik Gia maupun Laura tak kunjung menentukan UKM atau organisasi sasi mana yang harus mereka singgahi.

Mungkin karena sangking banyaknya pilihan, alhasil mereka berdua kewalahan untuk menilai mana yang bagus, dan menyenangkan bagi mereka berdua untuk jangka panjang.

Sementara keduanya tengah duduk dengan manis pada sebuah panjang yang tersedia di sana, ada tiga orang laki-laki yang terus mondar-mandir sembari menawarkan selembaran kertas tanpa ekspresi sedikitpun. Seolah sudah lelah karena seharian terus membagikan selembaran tersebut kepada para mahasiswa baru yang juga berkeliaran di sana.

“Lo liat gak yang putih itu, Gi?” kata Laura yang tiba-tiba saja membuka suaranya.

“Liat. Lo pasti mau bilang dia ganteng.”

“Iya. Gantengnya tuh bukan ganteng yang gimana gitu, tapi ganteng im—.”

Kalimat Laura menggantung begitu saja di udara dan tersapu oleh angin tatkala ia melihat Gia berjalan menuju laki-laki yang ia maksud beberapa saat lalu dengan gaya petantang-petenteng bak seorang gadis penuh percaya diri.

“Hai, Kak! Itu brosur UKM apa ya?” Gia tiba-tiba bersuara di balik punggung laki-laki itu.

Dan laki-laki itu memutar tubuhnya seketika. “Yang gua pegang?” tanyanya sambil menaikkan sebelah alisnya.

“Iya.”

“Ini brosur band, tapi belum jadi UKM.”

Sontak Gia menarik sudut bibirnya. “Minta dua, Kak. Gue sama temen gue minat buat join,” kata Gia seketika membuat kening laki-laki itu berkerut.

“Lo ... yakin?”

“Yakin. Seratus persen!”

Gia sempat menangkap senyum laki-laki itu meski hanya sekejap. Imut, batinnya.

“Kenalin, Kak. Nama gue Gia, Gia Maureen.” Kemudian tangannya terulur, menjabat tangan laki-laki itu begitu saja.

“Nama lo siapa, Kak?” sambung Gia dengan nada penuh semangat.

“Elio Nathanael, tapi biasanya dipanggil Ethan.”

Elio Nathanael, atau yang lebih akrab dipanggil Ethan ingat saat kali pertama ia mengenal Yohan dan Arjuna satu tahun yang lalu, saat ketiganya masih sama-sama menjadi mahasiswa baru di Neo University. Para mahasiswa baru disarankan untuk memilih salah satu dari UKM yang ada sebagai wadah untuk menyalurkan bakat dan minat. Namun sayangnya tidak ada satupun jenis UKM yang mereka bertiga minati.

Sebenarnya hampir sebagian besar UKM yang tersedia tampak seperti ajang untuk adu kekerenan saja menurut point of view ketiganya. Hanya sedikit UKM yang berkesinambungan dengan kampus maupun fakultas yang ada. Tapi tidak ada yang salah, mengingat rata-rata mahasiswa kampus itu mendaftar kuliah hanya untuk formalitas saja. Yah, pasalnya mayoritas dari mahasiswanya berasal dari golongan atas yang sebenarnya tanpa sekolah tinggi-tinggi pun hidup mereka sudah terjamin karena harta yang konon katanya tidak akan habis meski dihajar oleh tujuh turunan! Mantap!

Masih untung ada yang berinisiatif mendirikan UKM. Agaknya mereka-mereka yang mengajukan untuk mendirikan UKM sebelumnya adalah mahasiswa-mahasiwa kurang kerjaan atau bahkan hanya karena malas pulang ke rumah lebih cepat, yang kebetulan aktif dan memiliki kretivitas tanpa batas.

Satu hal yang seringkali Ethan katakan selama kurang lebih satu tahun belakangan ini.

“Dari sekian banyak orang keren di sini, kenapa gak ada yang kepikiran bikin UKM band, sih?”

Dan yup! Begitu pula yang kira-kira dirasakan oleh Yohan dan juga Arjuna, hingga ketiganya memutuskan untuk bersatu, dan membuat UKM baru ditengah-tengah obrolan ngelantur yang dicetuskan oleh Ethan sebagai dalangnya.

flashback

“Lo yakin gak join UKM manapun, Than?” tanya Yohan penasaran tatkala Ethan tengah menyuap makanannya ke dalam mulut.

Ethan menggeleng, kemudian mengunyah makanan di dalam mulutnya dengan kecepatan dua kali lipat dari sebelumnya. “Yakin, lah. Kecuali ada UKM band.”

“Bikin sendiri aja kalo mau,” sahut Arjuna.

Baik Yohan maupun Ethan—keduanya sama-sama beralih menatap Arjuna dengan raut wajah serius.

“Emangnya bisa?”

Ethan mengangguk, sebagai tanda mengamini pertanyaan yang Yohan lemparkan pada Arjuna barusan.

“Dari yang gua tau, sih, bisa. Cuman ada syaratnya.”

“Apa?” tanya Ethan yang sepertinya sudah mulai tertarik dengan topik obrolan kali ini.

Sebelum menjawab, Arjuna memilih untuk menyedot es susu ovaltinenya terlebih dahulu.

“Bikin kelompok mahasiswa yang minatnya sama dulu. Misal lo, gua, sama Yohan kan minatnya bermusik ya? Kita kumpulin orang-orang dengan minat sama—minimal dua puluh orang. Terus jadi komunitas tuh. Nah, komunitasnya harus aktif minimal selama tahun, baru bisa diajuin ke BEM.”

“Ribet, Anjing!” potong Yohan.

“Bajingan! Yo pancen ngono kui carane!” sulut Arjuna.

“Dia ngomong apaan, Than?”

Lantas Ethan mengedikkan bahunya, sambil terkekeh. Agaknya pertemanan mereka memiliki kendala yang cukup serius meski hanya karena perbedaan suku antar ketiganya.

Detik kemudian Ethan merubah raut wajahnya menjadi lebih serius, namun tetap terlihat santai.

“Ayo buat...,” cetus Ethan sekonyong-konyong tanpa basa-basi sebelumnya.

“Buat apaan?”

“UKM band.”


UKM adalah Unit Kegiatan Kampus.

Elio Nathanael, meski nama pemberian orang tuanya terdengar sangat bagus tapi tetap saja teman terdekatnya memanggilnya dengan sebutan 'Ethan'.

Ethan ingat kali pertama ia mengenal Yohan dan Arjuna satu tahun yang lalu, saat ketiganya masih sama-sama menjadi mahasiswa baru di Neo University. Mereka diharuskan untuk memilih salah satu UKM sebagai sebuah wadah untuk menyalurkan bakat dan minat, namun sayangnya tidak ada satupun jenis UKM yang mereka minati.

Sebenarnya hampir sebagian besar UKM yang tersedia tampak seperti ajang untuk adu tingkat kekerenan saja menurut point of view ketiganya. Hanya sedikit UKM yang berkesinambungan dengan kampus maupun fakultas yang ada. Tapi tidak ada yang salah, mengingat rata-rata mahasiswa kampus itu kuliah hanya untuk formalitas saja. Yah, pasalnya mayoritas dari mahasiswanya berasal dari golongan atas yang sebenarnya tanpa sekolah tinggi-tinggi pun hidup mereka sudah terjamin karena harta yang konon katanya tidak akan habis meski dihajar oleh tujuh turunan!

Masih untung ada yang berinisiatif mendirikan UKM. Agaknya mereka-mereka yang mengajukan untuk mendirikan UKM sebelumnya adalah mahasiswa-mahasiwa gabut atau lebih sopannya yaitu mahasiswa kurang kerjaan di universitas ini.

Satu hal yang seringkali Ethan katakan selama kurang lebih satu tahun belakangan ini.

“Dari sekian banyak orang keren, kenapa gak ada yang kepikiran bikin UKM band, sih?”

Begitu pula yang kira-kira dirasakan oleh Yohan dan juga Arjuna, hingga ketiganya memutuskan untuk menentang peraturan yang mewajibkan untuk memilih setidaknya satu jenis UKM, dan berujung dengan rencana membuat UKM baru ditengah-tengah obrolan ngelantur yang dicetuskan oleh Ethan sendiri.

flashback

“Lo yakin gak join UKM manapun, Than?” tanya Yohan penasaran tatkala Ethan tengah menyuap makanannya ke dalam mulut.

Ethan menggeleng, kemudian mengunyah makanan di dalam mulutnya dengan kecepatan dua kali lipat dari sebelumnya. “Yakin, lah. Kecuali ada UKM band.”

“Bikin sendiri aja kalo mau,” sahut Arjuna.

Baik Yohan maupun Ethan—keduanya sama-sama beralih menatap Arjun dengan raut wajah serius.

“Emangnya bisa?”

Ethan mengangguk, sebagai tanda mengamini pertanyaan yang Yohan lemparkan pada Arjuna barusan.

“Dari yang gua tau, sih, bisa. Cuman ada syaratnya.”

“Apa?” tanya Ethan yang sepertinya sudah mulai tertarik dengan topik obrolan kali ini.

Sebelum menjawab, Arjuna memilih untuk menyedot es susu ovaltinenya terlebih dahulu.

“Bikin kelompok mahasiswa yang minatnya sama dulu. Misal lo, gua, sama Yohan kan minatnya bermusik ya? Kita kumpulin orang-orang dengan minat sama—minimal dua puluh orang. Terus jadi komunitas tuh. Nah, komunitasnya harus aktif minimal selama tahun, baru bisa diajuin ke BEM.”

“Ribet, Anjing!” potong Yohan.

“Bajingan! Yo pancen ngono kui carane!” sulut Arjuna. (Bajingan! Ya emang kaya gitu caranya!)

“Dia ngomong apaan, Than?”

Lantas Ethan mengedikkan bahunya, sambil terkekeh. Menjadi salah satu anak rantau dalam fakultas mereka agaknya merupakan masalah serius bagi Yohan.

“Ayo buat...,” cetus Ethan tanpa basa-basi sebelumnya.

“Buat apaan?”

“UKM band.”


UKM adalah Unit Kegiatan Kampus.

Elio Nathanael, meski nama pemberian orang tuanya terdengar sangat bagus tapi tetap saja teman terdekatnya memanggilnya dengan sebutan 'Ethan'.

Ethan ingat kali pertama ia mengenal Yohan dan Arjuna satu tahun yang lalu, saat ketiganya masih sama-sama menjadi mahasiswa baru di Neo University. Mereka diharuskan untuk memilih salah satu UKM sebagai sebuah wadah untuk menyalurkan bakat dan minat, namun sayangnya tidak ada satupun jenis UKM yang mereka minati.

Sebenarnya hampir sebagian besar UKM yang tersedia tampak seperti ajang untuk adu tingkat kekerenan saja menurut point of view ketiganya. Hanya sedikit UKM yang berkesinambungan dengan kampus maupun fakultas yang ada. Tapi tidak ada yang salah, mengingat rata-rata mahasiswa kampus itu kuliah hanya untuk formalitas saja. Yah, pasalnya mayoritas dari mahasiswanya berasal dari golongan atas yang sebenarnya tanpa sekolah tinggi-tinggi pun hidup mereka sudah terjamin karena harta yang konon katanya tidak akan habis meski dihajar oleh tujuh turunan!

Masih untung ada yang berinisiatif mendirikan UKM. Agaknya mereka-mereka yang mengajukan untuk mendirikan UKM sebelumnya adalah mahasiswa-mahasiwa gabut atau lebih sopannya yaitu mahasiswa kurang kerjaan di universitas ini.

Satu hal yang seringkali Ethan katakan selama kurang lebih satu tahun belakangan ini.

“Dari sekian banyak orang keren, kenapa gak ada yang kepikiran bikin UKM band, sih?”

Begitu pula yang kira-kira dirasakan oleh Yohan dan juga Arjuna, hingga ketiganya memutuskan untuk menentang peraturan yang mewajibkan untuk memilih setidaknya satu jenis UKM, dan berujung dengan rencana membuat UKM baru ditengah-tengah obrolan ngelantur yang dicetuskan oleh Ethan sendiri.

flashback

“Lo yakin gak join UKM manapun, Than?” tanya Yohan penasaran tatkala Ethan tengah menyuap makanannya ke dalam mulut.

Ethan menggeleng, kemudian mengunyah makanan di dalam mulutnya dengan kecepatan dua kali lipat dari sebelumnya. “Yakin, lah. Kecuali ada UKM band.”

“Bikin sendiri aja kalo mau,” sahut Arjuna.

Baik Yohan maupun Ethan—keduanya sama-sama beralih menatap Arjun dengan raut wajah serius.

“Emangnya bisa?”

Ethan mengangguk, sebagai tanda mengamini pertanyaan yang Yohan lemparkan pada Arjuna barusan.

“Dari yang gua tau, sih, bisa. Cuman ada syaratnya.”

“Apa?” tanya Ethan yang sepertinya sudah mulai tertarik dengan topik obrolan kali ini.

Sebelum menjawab, Arjuna memilih untuk menyedot es susu ovaltinenya terlebih dahulu.

“Bikin kelompok mahasiswa yang minatnya sama dulu. Misal lo, gua, sama Yohan kan minatnya bermusik ya? Kita kumpulin orang-orang dengan minat sama—minimal dua puluh orang. Terus jadi komunitas tuh. Nah, komunitasnya harus aktif minimal selama tahun, baru bisa diajuin ke BEM.”

“Ribet, Anjing!” potong Yohan.

“Bajingan! Yo pancen ngono kui carane!” sulut Arjuna. (Bajingan! Ya emang kaya gitu caranya!)

“Dia ngomong apaan, Than?”

Lantas Ethan mengedikkan bahunya, sambil terkekeh. Menjadi salah satu anak rantau dalam fakultas mereka agaknya merupakan masalah serius bagi Yohan.

“Ayo buat...,” cetus Ethan tanpa basa-basi sebelumnya.

“Buat apaan?”

“UKM band.”

Kalau soal urusan kumpul-kumpul keluarga seperti saat ini, Jemian lah yang paling bersemangat. Maklum, menjabat sebagai mahasiswa semester akhir agaknya membuat adik laki-laki dari Jeffrey itu stress bukan main. Ah, Jemian, si bontot itu meski sudah menginjak usia dewasa tetap saja maunya mendapat perhatian dari banyak orang.

“Gini dong, Jemi capek mikirin penelitian terus. Gak udah-udah perasaan.”

Sore itu, berkat kebaikan hati Papa, seluruh anggota keluarga Jeffrey berkumpul di rumah yang sudah sejak beberapa bulan lalu ia tempati bersama Ratu.

“Ya namanya juga orang kuliah. Kalau mau santai, jadi pengangguran aja,” sahut Mbak Kila yang baru saja datang dari dapur sembari membawa beberapa gelas es teh yang tersusun apik di atas nampan warna merah jambu, kesayangan Ratu.

Jemian mendengkus seketika, sementara Ratu terkekeh. Wanita itu mengusap bagian belakang kepala Jemian. “Sedikit lagi, Jem. Semangat, dong! Kamu loyo banget,” kata Ratu yang kemudian menarik sebuah kursi yang letaknya tak jauh dari tempat duduk Jemian.

“Biannya mana, Mbak?”

“Lagi sama Mama,” bisik Ratu kemudian tersenyum.

Ratu tahu soal perdebatan keluarga mereka siang tadi yang dipicu oleh Jeffrey. Tak ingin Mama mertuanya itu merasakan sakit hati berlarut-larut, lantas ia sengaja membiarkan Mama menggendong Bian kemanapun wanita paruh baya itu mau.

Suara gelak tawa kedua anak Mbak Kila seperti sebuah alunan musik yang sengaja diputar untuk meramaikan rumah itu. Melihat Ciara dan Leon yang berlarian ke sana kemari karena dikejar-kejar oleh ayahnya, membuat perasaan Ratu menghangat. Ia membayangkan kelak anaknya akan seperti itu saat tengah main bersama Jeffrey. Ratu tersenyum. Meski ia sudah lupa bagaimana rasanya bermain bersama orang tua, terlebih lagi bersama sosok Ayah—namun dengan sangat baik hati Tuhan membiarkan dirinya menyaksikan bagaimana hangat dan asyiknya keluarga Jeffrey. Bahkan Tuhan memberikan kesempatan bagi Ratu untuk merasakan langsung kehangatan keluarga itu.

“Mbak Kila liat Jeffrey?” tanya Ratu tatkala Mbak Kila baru saja usai meneguk es tehnya.

Wanita itu terkikik geli. “Di belakang, lagi proses pendisiplinan sama Papa,” kata Mbak Kila.

Jemian yang juga mengerti maksud dari perkataan Mbak Kila barusan, sontak tergelak bukan main. “Lagia, sih, Mas Jeffrey suka gak difilter dulu kata-katanya.”


Jeffrey dan Papa sama-sama menyesap kopi buatan Budhe Lasih beberapa saat lalu. Hitam kental, menyisakan sensasi rasa pahit setelahnya.

“Papa gak mau yang kaya tadi siang keulang lagi, ya, Mas. Kamu gak mau kan kalau suatu saat nanti punya cucu malah dilarang nemuin cucu kamu? Mana yang ngelarang anak kamu sendiri.... Kamu tahu gak hidup itu pasti selalu berkaitan sama karma?”

“Kenapa bahas karma segala, sih?” sungut Jeffrey.

“Lho, Papa serius. Apa yang lakukan, pasti akan kamu rasain di kemudian hari, Mas. Apalagi ke orang tua.”

“Tapi kalau udah minta maaf gak akan, kan?”

“Ya ... tergantung,” sahut Papa.

“Tergantung apa?”

“Tergantung Tuhan.”

Siapa sangka jika tiba-tiba Jeffrey pergi begitu saja meninggalkan Papa di halaman belakang rumah? Bahkan tanpa mengatakan sepatah katapun, Jeffrey berlari masuk ke dalam.

Papa hanya mencibir. Ikut masuk ke dalam, sebab tak ada gunanya ia sibuk memandangi langit yang sudah mulai gelap itu sendirian. Nanti kalau terkena sawan, kan panjang urusannya.


“MAMA MANA?!”

Melihat Jeffrey yang terengah-engah dari arah dapur membuat Ratu dan yang lainnya—yang tengah berada berada di ruang keluarga, lantas saling bertukar pandangan.

“Kenapa?” tanya Mbak Kila.

Enggan menghabiskan banyak waktu untuk berbasa-basi, lantas Jeffrey mengarahkan pandangannya pada Ratu. “Ra?”

“Mama kayaknya di atas deh, sama Budhe Lasih lagi ngajak Bian main,” sahut Ratu dengan raut wajah yang masih tampak kebingungan.

Jeffrey langsung berlari menuju lantai atas. Yang ada di pikirannya saat ini ialah harus secepatnya meminta maaf kepada Mama sebelum sebuah karma yang Papa katakan beberapa saat lalu jatuh tempo.

Anehnya seorang Jeffreyan Aditama....

Jemian hanya geleng-geleng melihat tingkah laku kakaknya itu. Ia tak berniat mengangkat suara sedikitpun, pasalnya ia tengah disibukan dengan buah bakwan kembar di masing-masing tangannya.


“MAMA!” seru Jeffrey tatkala melihat punggung mamanya.

Tanpa memperdulikan Budhe Lasih yang notabennya sebagai asisten rumah tangganya, Jeffrey sekonyong-konyong memeluk pundak Mama. “Maafin Mas Jeffrey ya? Maaf soal yang tadi siang.”

Paham dengan apa yang tengah terjadi, Budhe Lasih pun menggendong si kecil Bian, dan pergi meninggalkan keduanya.

“Udah Mama maafin,” kata Mama sembari mengusap lengan Jeffrey yang memeluk tubuhnya.

“Beneran?”

“Iya.”

Jeffrey beringsut ke hadapan Mama. “Kok cepet banget?” tanyanya penuh penasaran.

Mama terkekeh, “Iya, soalnya Mama ngerasa deja vu. Dulu Papa juga seposesif itu kalau soal anak-anaknya. Apalagi waktu Mbak Kila baru lahir.”

Jeffrey melongo seketika. Papanya itu, lagi-lagi berhasil memanipulasinya. Si tua bangka kebangetan, batinnya.

“EMANG IYA YA? APAPUN MAKANANNYA, MINUMNYA TETEP LUDAH SENDIRI?!” seru Jeffrey. Sengaja agar sang Papa mendengarnya.

Lalu tanpa merasa malu sedikitpun, Papa membalas cibiran Jeffrey tengan tawa terbahak-bahak. Agaknya Papa merasa sangat puas karena telah mempermainkan anak laki-lakinya itu.

“GAK JELAS! BAPAK-BAPAK GAK JELAS!”


Rumah milik Jeffrey mungkin tidak sebesar rumah kedua orangtuanya. Mungkin juga belum dapat menyaingi rumah keluarga Mbak Kila. Namun, pemilihan konsep yang tepat mampu membuat siapapun yang berkunjung ke sana merasa nyaman sampai ingin berlama-lama berada di sana.

Jeffrey sampai merasa kesal, kenapa para keluarganya ini tak kunjung pulang ke rumah masing-masing, meski jam dinding sudah menunjukan pukul setengah delapan malam. Alhasil Ratu harus repot-repot memperingatkan Jeffrey untuk mengontrol ekspresi wajahnya.

“Apaan tuh, Budhe?” tanya Jemian kepada Budhe Lasih yang berjalan melalui ruang keluarga dengan menenteng sebuah benda persegi panjang yang terlihat cukup besar.

Sontak yang lainnya ikut menoleh.

“Bingkai foto, Mas.”

Kening Mama berkerut, “Kamu udah foto keluarga, Mas?” tanya Mama, sambil menatap Jeffrey. Bingung, pasalnya baru beberapa hari yang lalu Jeffrey mengatakan bahwa akan membuat foto keluarga setidaknya saat Sabian sudah bisa tersenyum ke arah kamera dengan benar.

Jeffrey menggeleng.

“Ini bukan foto keluarga, Ma. Cuman waktu itu aku sama Jeffrey iseng aja minta dibuatin ginian dari foto lama kita.” sahut Ratu.

“Itu apa, sih? Terus buat apa?” tanya Mbak Kila penasaran.

Baik Jeffrey maupun Ratu, keduanya tersenyum, “Buat pajangan di kamar kita,” jawab mereka secara bersamaan.

Jeffrey menatap sekitar. Usai makan malam bersama di atas tikar, di lantai rumah sakit beberapa saat lalu ketiga temannya pamit untuk pulang, begitu pula dengan Mama, Papa, Jemian, dan Mbak Kila sekeluarga.

“Kamu tau gak?” kata Jeffrey memecah keheningan ruangan tempat Ratu tengah berbaring.

Ratu menggeleng, sembari mengerjapkan matanya.

“Tadi siang itu, cuman kamu yang ngelahirinnya udah kayak ditungguin sama satu kelurahan alias rame banget!” Jeffrey menarik sebuah kursi, dan mendudukkan dirinya tepat di samping tempat tidur Ratu. “Ada Papa, Mama, Jemian, Mbak Kila sama suami terus anak-anaknya, ditambah lagi si Yudhis yang bawa Matius sama Dio kesini. Banyak banget ternyata yang sayang sama kamu.”

Ratu sempat memutar bola matanya. Paling-paling juga Jeffrey sendirilah yang mengabari semua orang layaknya manusia paling heboh sedunia. Bisa-bisanya mengatakan kalimat penuh basa basi seperti barusan.

Kemudian dengan niat seadanya Ratu terkekeh, “Iya, Mas.”

Jeffrey menggaruk hidungnya yang tidak gatal, kemudian beranjak dan melangkahkan kakinya dengan asal. Kali ini ia bergimik mencari sesuatu di dalam ruangan tersebut.

“Cari apa, sih?” tanya Ratu dengan nada yang terdengar sedikit kesal.

“Remot. Mau nyalain TV.”

“Ngapain nyalain TV?”

“Bosen....”

Ratu berdecak. “Tadi tuh, ada yang bilang katanya kangen lah, nungguin bangun lah, alay banget pokoknya. Eh ternyata—biasa aja. Kirain bakal dipeluk kek, atau diapain gitu? Ini malah mau dianggurin. Dasar gak jelas!” Kemudian Ratu melempar tatapan sengit ke arah Jeffrey.

Emang dasar duta gengsi sedunia! batinnya.

Alih-alih merasa takut, Jeffrey malah cengangas-cengenges sambil berjalan kembali mendekati Ratu. Ia bukan kehilangan minat, bukan juga melupakan soal perasaan rindu, cemas, dan bahagia yang yang beberapa jam lalu ia rasakan. Jeffrey hanya sedikit malu. Malu untuk menatap mata Ratu dengan perasaan yang seperti tengah meletup-letup di hatinya itu, malam ini.

Melihat bagaimana merahnya pipi suaminya itu, lantas Ratu menahan senyumannya. Gemas. Tentu saja, Ratu yang paling tahu soal perasaan Jeffrey. Ratu yang paling tahu betapa laki-laki itu menantikan anak pertamanya lahir. Ratu juga yang paling tahu bahwa kini Jeffrey sedang mati-matian menahan tangis harunya.

“Mas ... sini...,” pinta Ratu sebelum menggeser tubuhnya.

Ranjang rumah sakit, tempat ia berbaring itu cukup luas. Itu sebabnya Ratu meminta Jeffrey untuk ikut berbaring di sebelahnya.

“Mau ngapain, Ra?”

“Cepet sini!”

Sesaat setelah mengerti maksud Ratu, lantas Jeffrey mematikan lampu yang paling terang dalam kamar inap tersebut. Ia sengaja membiarkan lampu berwarna kemuning yang menyala, membuat cahaya remanglah yang tersisa di sana.

Kemudian, dengan penuh hati-hati Jeffrey ikut merebahkan dirinya di samping Ratu. Kini aroma tubuh laki-laki itu menguar, memenuhi indera penciuman Ratu. Aroma manisnya milky melon yang sejak dulu Ratu sukai itu masih tercium dari tubuh Jeffrey hingga saat ini.

Melihat Jeffrey yang diam mematung di sampingnya, tentu saja membuat Ratu tidak akan tinggal diam. Ratu kembali menggeser tubuhnya, mengahapus jarak di antara dirinya dan juga Jeffrey. Lalu tanpa memberikan aba-aba, ia memeluk tubuh suaminya itu meski kesusahan.

“Aku juga kangen,” kata Ratu menanggapi pengakuan Jeffrey dalam pesan online sebelumnya. “Tadi aku takut banget karna aku pikir gak akan bangun lagi. Soalnya aku kaya liat Bunda sekilas.”

Sontak Jeffrey menoleh, “Aku gak suka obrolan kaya gini ah, Ra.”

“Aku belum selesai ngomong, Mas.” Ratu tak terima perkataannya dipotong begitu saja. “Kamu tau gak Bunda bilang apa?” tanyanya.

Jeffrey menggeleng singkat.

“Bunda gak bilang apa-apa selain titip makasih buat kamu.”

“Ra....”

“Bunda bilang makasih buat apa ya, Mas? Emangnya kamu ngapain?”

Hening. Tak ada jawaban dari Jeffrey.

Ingatan tentang masa lalu Jeffrey kini kembali terputar. Dimana sang bunda dari wanita di sampingnya ini, dengan penuh rasa percaya menitipkan putrinya kepada dirinya beberapa hari sebelum meninggal dunia.

”... tolong jagain anak gadisnya Bunda, ya?”

Jeffrey menggigit bibirnya, menahan sebuah isak tangis yang hendak keluar.

“MAS?! Kok nangis?” Ratu yang panik melihat Jeffrey yang tiba-tiba saja menangis sesenggukan spontan menarik selimutnya. Ia sibuk mengusap air mata Jeffrey tanpa memperdulikan rasanya nyeri pada perutnya.

“Aku gak tau kamu nangis kenapa ... udah dong. Cup cup cup. Kamu kangen sama Bunda?”

Jeffrey mengangguk.

“Yaudah nanti kalau aku udah boleh pulang dari sini, kita ajak Bian tengokin nenek sama kakeknya, ya?” kata Ratu, dan lagi-lagi hanya dihadiahi oleh sebuah anggukan.

Sampai detik ini, Jeffrey sama sekali tidak pernah membahas soal janji yang ia katakan kepada Bunda. Sampai detik ini, Jeffrey tidak pernah sekalipun membahas tentang masa lalu yang menurut akan melukai atau sekedar membuat Ratu merasa sedih. Jeffrey simpan rapat-rapat semuanya. Jeffrey kenang semuanya dalam ingatannya sendiri. Karena, menurutnya Ratu hanya perlu mengetahui hal-hal yang mampu membuatnya tersenyum—dan bukannya menangis.

Jeffrey mengusap wajahnya seketika. Ia ingat bahwa harusnya hari ini ia berbahagia sebab putranya baru saja lahir dengan sangat sehat.

“Aku gak nangis, tadi itu cuman gak sengaja kecolok,” elak Jeffrey, sambil memamerkan senyum bodoh di wajahnya.

“Lah?”

“Oh iya, kamu tau gak kenapa nama anak kita Sabian?”

Ratu mengerutkan keningnya. “Gak tau. Emangnya kenapa?” tanya Ratu penasaran.

“Tadinya aku pikir anak kita cewek, Ra. Mau aku kasih nama Sabine, diambil dari salah satu nama suku di Italia yang punya karakteristik menarik, family friendly, unik, terus cerdas.” Jeffrey tersenyum bangga atas dirinya. “Tapi ternyata cowok, yaudah jadi Sabian aja.” Kemudian raut wajahnya berubah seketika.

“Pasrah banget anjir.”

“Mau gimana lagi? Orang kamu tidurnya lama,” ungkap Jeffrey penuh penekanan.

“ITU KARNA OBAT BI—,”

Ceklek!

“Permisi, Mama. Bayinya haus,” kata seorang perawat yang tiba-tiba saja masuk dengan membawa Sabian dalam gendongannya.

Jeffrey mengunci layar ponselnya sebelum memasukkan ponsel tersebut ke dalam saku celananya. Ia sudah menenteng kantung plastik berisikan air mineral kemasan dan beberapa roti di dalamnya. Kemudian, dengan langkah besar ia berniat untuk kembali ke ruangan dimana Ratu berada. Mengingat saran yang Papa berikan beberapa saat lalu, ada benarnya kalau saat ini seharusnya ia menyingkirkan segala perasaan takut, dan juga pikiran buruknya.

Tidak ada waktu untuk menenangkan diri dan meninggalkan Ratu yang tengah dilanda kecemasan sendirian. Sebagai kepala keluarga, sudah sepantasnya Jeffrey menenangkan Ratu di saat-saat seperti ini. Lagi pula sering kali Ratu yang selalu meredakan kecemasannya dalam banyak hal—kali ini adalah giliran ia yang melakukan hal tersebut.

Sekitar pukul sepuluh pagi, langit kota Jakarta agaknya terlihat lebih gelap. Sangat mendung. Seperti karena sudah beberapa hari belakangan ini tidak turun hujan.

Jeffrey mempercepat langkah kakinya, ia ingin mengatakan sesuatu sebelum dokter anestesi dan para perawat membawa istrinya itu. Jeffrey tidak bercanda saat dirinya mengatakan hanya cukup dengan satu anak, pasalnya degup jantungnya sudah tak karuan hanya dengan mengetahui bahwa istrinya itu harus melahirkan secara caesar, bagaimana dengan sang istri? Pikirnya begitu.

“RA!” pekik Jeffrey tatkala melihat Ratu yang sudah didatangi oleh beberapa perawat dalam ruang sebelumnya. Benar saja, sepertinya Ratu akan segera dibawa untuk diberi suntikan anestesi. “Sebentar, Dok. Jangan dibawa dulu, saya mau ngomong sama istri saya.” Lantas dokter dan beberapa perawat di sana seolah mengerti dan meninggalkan Ratu yang tengah terduduk di atas kursi roda, dan juga Jeffrey yang kini berlutut di hadapannya.

“Ra?”

Ratu bergeming, ia bingung, entah apa yang harus ia katakan? Sementara lidahnya saja terasa begitu kelu karena sangking takutnya akan operasi besar yang sebentar lagi akan ia jalani.

“Jangan takut, ya, Ra? Aku emang gak ikut masuk dan liat kamu secara langsung—tapi, aku ada di luar, Ra. Kamu gak akan kenapa-kenapa kok. Aku janji kalau ini gak akan sakit. Kalau ternyata nanti rasanya sakit, kamu boleh cubitin aku sebanyak yang kamu mau, tapi syaratnya harus langsung pulih, oke?” Jeffrey meraih tangan Ratu, lalu menggenggamnya erat. “Abis ini, kalau kamu gak mau punya anak lagi gak apa-apa, Ra. Tapi yang ini harus bisa dilewatin, ya?” kata Jeffrey.

Alih-alih menjawab perkataan Jeffrey, Ratu justru memejamkan matanya. Ia gemetar, dan tentu saja tak luput dari pandangan Jeffrey.

“Aku gak takut. Aku gak takut. Aku gak takut,” gumam Ratu yang membuat Jeffrey memeluk tubuhnya seketika.

Jeffrey mengusap kepala hingga punggung Ratu dengan lembut. “Iya, jangan takut. Aku nunggu kamu di luar pokoknya.”

Ratu membalas pelukan Jeffrey, ia tahu bagaimana laki-laki yang tengah mendekapnya itu hanyalah seorang Jeffreyan Aditama yang nyatanya juga masih memiliki mental seperti anak kemarin sore. Ratu jelas tahu kalau dibalik perkataan penyemangat Jeffrey barusan, ia juga sama takutnya.

Berikutnya sang dokter anestesi dan para perawat kembali, dan meminta izin untuk membawa Ratu.


Sekiranya ada lebih dari lima orang di koridor rumah sakit yang tengah menunggu operasi caesar Ratu berlangsung. Jeffrey, Mama, Papa, Mbak Kila dan keluarga kecilnya, Jemian, serta Yudhis bersama dua lainnya. Siapa lagi kalau bukan Matius, dan Dio?

Mereka semua menunggu lampu tanda operasi tengah berlangsung itu mati. Sudah lebih dari satu jam, namun belum juga muncul tanda-tanda para dokter dan perawat akan keluar.

“Ayo taruhan?” bisik Yudhis pada Matius dan Dio yang tentu saja didengar oleh Jeffrey karena ia berdiri tak jauh dari ketiganya.

“Apaan?” sahut Dio.

“Anaknya si Jeff cowok apa cewek?”

Matius yang sebelumnya tidak merespon, kini melirik ke arah Yudhis. “Gue pilih cowok. Kalau sampai gue bener, lo lari keliling rumah sakit ini.”

“ANJ—”

“Language...,” lirih Jeffrey.

“Iye sorry.”

Tiba-tiba Jemian berdiri dari tempat duduknya, “Mas! Operasinya udah selesai, tuh!” seru Jemian membuyarkan perhatian yang lainnya.

Tak lama kemudian pintu ruang operasi terbuka, menampilkan sosok seorang dokter dengan raut wajah tersenyum. “Bapak Jeffreyan?”

“Iya, saya?”

“Selamat ... anak anda sehat, dan berjenis kelamin laki-laki.”

Mendengar itu, sontak semua orang yang berada di sana tersenyum lebar, kecuali Yudhis.

Ratu mengelus perutnya dengan gerakan memutar. Detak jantungnya tak karuan tatkala melihat ekspresi wajah yang dokter dihadapannya itu tunjukkan. Alis bertaut, serta jemari yang terus menerus memainkan pena di tangannya—bukan hanya membuat Ratu cemas, tapi juga Jeffrey.

Beberapa saat lalu Ratu baru saja selesai melakukan pemeriksaan pasalnya ia merasa bahwa bayi dalam kandungannya itu tidak seaktif biasanya—sejak dua hari yang lalu. Sebelumnya, menurut perkiraan dokter kelahiran anak pertama Jeffrey itu adalah minggu depan, namun karena tidak ingin dilanda perasaan cemas terus-menerus Ratu memilih untuk mendatangi dokter kandungannya lebih cepat dibandingkan dengan jadwal yang sudah ditentukan.

“Jadi gimana, Dok?” tanya Jeffrey memecah keheningan.

“Sebelumnya saya pernah bilang kalau pintu panggul istri Bapak terlalu sempit....”

“Jadi harus caesar ya?” Belum sempat sang dokter menyelesaikan kalimatnya, Ratu lebih dahulu memotong dengan pertanyaan—membuat dokter tersebut tersenyum masam.

“Iya, Bu, dan di luar praduga saya detak jantung bayi dalam kandungan Ibu mulai melemah, sementara posisi bayi belum sesuai prosedur untuk melakukan persalinan normal. Saya sebagai dokter yang menangani Ibu selama masa kehamilan menyarankan supaya Ibu melakukan persalinan secara caesar, karena itu adalah yang terbaik untuk saat ini.”

Lantas Ratu menoleh ke arah Jeffrey, kemudian dengan sigap Jeffrey menggenggam tangannya.

Jeffrey tahu sejak sang dokter mengatakan bahwa panggul Ratu lumayan sempit untuk melakukan persalinan secara normal. Jeffrey tahu kalau akan tiba saatnya dokter di hadapannya itu mengatakan hal demikian. Hanya saja Jeffrey tidak memiliki cukup keberanian untuk mengatakannya pada Ratu. Pasalnya Ratu acap kali membayangkan tentang melahirkan anak secara normal dan didampingi olehnya. *Kalau caesar kan gak bisa ikut nemenin di dalam,” batinnya.

“Gapapa, Ra. Jangan takut ... itu nanti dibius kok. Iya, kan, Dok?” kata Jeffrey yang berusaha meyakinkan Ratu dan diamini oleh sang dokter.

“Iya. Bius regional, berupa anestesi spinal. Jadi Ibu tidak akan merasakan nyeri dari pinggang ke bawah. Tapi Ibu tetap dalam keadaan terjaga, jadi bisa langsung melihat bayinya setelah lahir.”

Mendengar itu, Ratu meneguk salivanya. Membayangkan bagaimana bayi yang selama berbulan-bulan dalam perutnya itu akan dikeluarkan dengan cara merobek perutnya. Ratu menggeleng semangat untuk menghilangkan pikirannya tersebut.

“Persetujuan Ibu dan Bapak ditunggu secepatnya agar dapat segera dilakukan persalinan karna seperti yang saya bilang sebelumnya—detak jantung bayi dalam kandungan Ibu mulai melemah.”

Melihat Ratu yang hanya diam membisu disampingnya, Jeffrey menarik tangan yang sebelumnya menggenggam tangan Ratu. Kini ia sibuk merangkul pundak istrinya itu. Jeffrey menghela nafas panjang, kemudian menganggukan kepalanya untuk merespon ucapan sang dokter obygn itu. “Kita ikutin yang menurut anda terbaik, Dok.”


Selang beberapa menit, Ratu dan Jeffrey diarahkan ke ruangan lain oleh seorang perawat. Usut punya usut untuk menunggu sekaligus mempersiapkan proses persalinan nanti.

Ratu tak henti-hentinya mengusap wajahnya kasar. Ia takut. Takut kalau-kalau nantinya proses melahirkan anak pertamanya ini akan terasa sangat sakit dan membekas dalam ingatannya. Ratu juga takut tatkala membayangkan jika salah satu dokter yang menanganinya melakukan sebuah kesalahan yang mungkin akan menyebabkan salah satu diantara ia dan anaknya tidak selamat.

Ratu terus menggenggam tangan Jeffrey kuat-kuat. Enggan untuk ditinggal rupanya. Dalam hati Ratu berdoa agar Jeffrey diperbolehkan untuk menemaninya nanti. Ia setuju dengan anggapan bahwa sebelum memiliki anak bukan hanya finansial yang perlu diperhatikan, tapi juga mental.

“Mas.”

“Hm? Kenapa, Ra?”

Lantas Ratu memamerkan senyum masam. “Nanti kamu ikut masuk, kan?” tanyanya dengan hati-hati.

“Aku gak tau. Tapi kayaknya gak bisa, Ra. Caesar kan termasuk operasi besar(?) Jadi kemungkinan aku disuruh nunggu di luar,” tutur Jeffrey lembut.

Melihat kening Ratu yang lagi-lagi berkerut, Jeffrey tersenyum manis. Ibu jarinya sengaja memijit kening Ratu dengan gemas. “Jangan gitu, nanti kamu cepet keriput. Aku keluar sebentar, ya?”

“Mau kemana?”

“Beli minum buat kamu. Nanti kalau perawatnya balik lagi, ajak ngobrol jangan diem aja. Rileks, Ra.” Setelah mengatakan itu, kedua tangan Jeffrey menangkup pipi Ratu kemudian sengaja mengecup wajah istrinya itu sebanyak tiga kali sebelum akhirnya pergi untuk membeli air mineral kemasan seperti yang ia katakan.

Ratu mengelus perutnya dengan gerakan memutar. Detak jantungnya tak karuan tatkala melihat ekspresi wajah yang dokter dihadapannya itu tunjukkan. Alis bertaut, serta jemari yang terus menerus memainkan pena di tangannya—bukan hanya membuat Ratu cemas, tapi juga Jeffrey.

Beberapa saat lalu Ratu baru saja selesai melakukan pemeriksaan pasalnya ia merasa bahwa bayi dalam kandungannya itu tidak seaktif biasanya—sejak dua hari yang lalu. Sebelumnya, menurut perkiraan dokter kelahiran anak pertama Jeffrey itu adalah minggu depan, namun karena tidak ingin dilanda perasaan cemas terus-menerus Ratu memilih untuk mendatangi dokter kandungannya lebih cepat dibandingkan dengan jadwal yang sudah ditentukan.

“Jadi gimana, Dok?” tanya Jeffrey memecah keheningan.

“Sebelumnya saya pernah bilang kalau pintu panggul istri Bapak terlalu sempit....”

“Jadi harus caesar ya?” Belum sempat sang dokter menyelesaikan kalimatnya, Ratu lebih dahulu memotong dengan pertanyaan—membuat dokter tersebut tersenyum masam.

“Iya, Bu, dan di luar praduga saya detak jantung bayi dalam kandungan Ibu mulai melemah, sementara posisi bayi belum sesuai prosedur untuk melakukan persalinan normal. Saya sebagai dokter yang menangani Ibu selama masa kehamilan menyarankan supaya Ibu melakukan persalinan secara caesar, karena itu adalah yang terbaik untuk saat ini.”

Lantas Ratu menoleh ke arah Jeffrey, kemudian dengan sigap Jeffrey menggenggam tangannya.

Jeffrey tahu sejak sang dokter mengatakan bahwa panggul Ratu lumayan sempit untuk melakukan persalinan secara normal. Jeffrey tahu kalau akan tiba saatnya dokter di hadapannya itu mengatakan hal demikian. Hanya saja Jeffrey tidak memiliki cukup keberanian untuk mengatakannya pada Ratu. Pasalnya Ratu acap kali membayangkan tentang melahirkan anak secara normal dan didampingi olehnya. *Kalau caesar kan gak bisa ikut nemenin di dalam,” batinnya.

“Gapapa, Ra. Jangan takut ... itu nanti dibius kok. Iya, kan, Dok?” kata Jeffrey yang berusaha meyakinkan Ratu dan diamini oleh sang dokter.

“Iya. Bius regional, berupa anestesi spinal. Jadi Ibu tidak akan merasakan nyeri dari pinggang ke bawah. Tapi Ibu tetap dalam keadaan terjaga, jadi bisa langsung melihat bayinya setelah lahir.”

Mendengar itu, Ratu meneguk salivanya. Membayangkan bagaimana bayi yang selama berbulan-bulan dalam perutnya itu akan dikeluarkan dengan cara merobek perutnya. Ratu menggeleng semangat untuk menghilangkan pikirannya tersebut.

“Persetujuan Ibu dan Bapak ditunggu secepatnya agar dapat segera dilakukan persalinan karna seperti yang saya bilang sebelumnya—detak jantung bayi dalam kandungan Ibu mulai melemah.”

Melihat Ratu yang hanya diam membisu disampingnya, Jeffrey menarik tangan yang sebelumnya menggenggam tangan Ratu. Kini ia sibuk merangkul pundak istrinya itu. Jeffrey menghela nafas panjang, kemudian menganggukan kepalanya untuk merespon ucapan sang dokter obygn itu. “Kita ikutin yang menurut anda terbaik, Dok.”


Selang beberapa menit, Ratu dan Jeffrey diarahkan ke ruangan lain oleh seorang perawat. Usut punya usut untuk menunggu sekaligus mempersiapkan proses persalinan nanti.

Ratu tak henti-hentinya mengusap wajahnya kasar. Ia takut. Takut kalau-kalau nantinya proses melahirkan anak pertamanya ini akan terasa sangat sakit dan membekas dalam ingatannya. Ratu juga takut tatkala membayangkan jika salah satu dokter yang menanganinya melakukan sebuah kesalahan yang mungkin akan menyebabkan salah satu diantara ia dan anaknya tidak selamat.

Ratu terus menggenggam tangan Jeffrey kuat-kuat. Enggan untuk ditinggal rupanya. Dalam hati Ratu berdoa agar Jeffrey diperbolehkan untuk menemaninya nanti. Ia setuju dengan anggapan bahwa sebelum memiliki anak bukan hanya finansial yang perlu diperhatikan, tapi juga mental.

“Mas.”

“Hm? Kenapa, Ra?”

Lantas Ratu memamerkan senyum masam. “Nanti kamu ikut masuk, kan?” tanyanya dengan hati-hati.

“Aku gak tau. Tapi kayaknya gak bisa, Ra. Caesar kan termasuk operasi besar(?) Jadi kemungkinan aku disuruh nunggu di luar,” tutur Jeffrey lembut.

Melihat kening Ratu yang lagi-lagi berkerut, Jeffrey tersenyum manis. Ibu jarinya sengaja memijit kening Ratu dengan gemas. “Jangan gitu, nanti kamu cepet keriput. Aku keluar sebentar, ya?”

“Mau kemana?”

“Beli minum buat kamu. Nanti kalau perawatnya balik lagi, ajak ngobrol jangan diem aja. Rileks, Ra.” Setelah mengatakan itu, kedua tangan Jeffrey menangkup pipi Ratu kemudian sengaja mengecup wajah istrinya itu sebanyak tiga kali sebelum akhirnya pergi untuk membeli air mineral kemasan seperti yang ia katakan.