cakgrays

Jeffrey masuk ke dalam unit apartemen dan merebahkan dirinya di atas sofa. Tidak ada suara Ratu kali ini, ia yakin bahwa istrinya itu tengah tertidur pulas di dalam kamar, tentu saja batinnya. Ini sudah pukul sepuluh malam, dan bodohnya ia lupa memberi kabar kepada Ratu sebelumnya. Jeffrey menghela nafas. Sebenarnya bukanlah menjadi maksud hatinya untuk tidak mengabari Ratu, namun tiba-tiba saja ada beberapa pekerjaan yang memang harus ia selesai secepatnya. Meskipun ada Yudhis yang berkerja sebagai sekertarisnya, Jeffrey merasa bahwa pekerjaan di kantor juga menjadi tanggung jawabnya.

Ia bertanya-tanya, apakah Ratu sudah makan malam ini? Apa saja yang istrinya itu lakukan seharian ini? Namun ia hanya bisa menelan pikirannya sendiri.

Jeffrey berjalan menuju kamar mereka, kemudian ia tersenyum simpul. Memori ingatannya terlempar ke beberapa tahun yang lalu, ketika ia dan Ratu masih mengklaim bahwa hubungan mereka hanyalah sebatas teman. Dulu, Jeffrey sering sekali masuk ke dalam apartemen Ratu tatkala wanita itu tengah tertidur seperti saat ini. Wajah Ratu yang teduh saat tidur, seolah-olah menarik Jeffrey untuk menciumi seluruh tempat diwajahnya itu.

Kalau dulu, mungkin Jeffrey akan segera membangunkan Ratu agar pikirannya sendiri kembali jernih, namun sekarang ia justru menghampiri Ratu. Benar-benar mendaratkan kecupan-kecupan manis di wajah istrinya itu, lalu tersenyum gemas.

“Maaf pulangnya telat, terus lupa ngabarin. Tadi aku tiba-tiba ada—.”

“Mas... .” Belum sempat Jeffrey menyelesaikan kalimatnya, Ratu lebih dahulu memotong.

Namun Jeffrey biasa-biasa saja. Justru ia semakin tersenyum kala istrinya itu bersusah payah membuka mata. Tidur sangat pulas rupanya.

“Iya, Ra?” sahut Jeffrey lembut. Tangannya terulur mengusap kepala Ratu perlahan-lahan.

“Mau dipeluk.”

“Aku belum mandi, tau.”

Alih-alih sewot menyuruh Jeffrey lekas mandi seperti biasanya, Ratu justru mencengkeram kuat-kuat bagian lengan kemeja Jeffrey, persis seperti anak usia satu tahun yang menggenggam pakaian ibunya.

“Gak peduli deh gue, Jeff, mau peluk! Cepet!” pinta Ratu yang tiba-tiba membuka matanya sempurna.

Kemudian, ia bangkit dari posisi tidur dan memeluk tubuh Jeffrey. Menghirup aroma tubuh suaminya itu dengan serakah. Sementara Jeffrey hanya pasrah. Dipikir-pikir Ratu cukup jarang memperlakukannya seperti ini sebelum hamil, jadi menurut Jeffrey momen dimana tingkah laku manja istrinya itu kumat, adalah sebuah keuntungan baginya.

“Anak kita kayanya suka sama aku deh,” cetus Jeffrey.

Ratu menggeleng seketika.

“Bukan cuman dia, tapi aku juga,” kata Ratu lirih.

Jeffrey terkekeh. Tangannya kemudian melingkar sempurna pada pinggang Ratu. “Kalau itu sih, aku udah tau, ya.”

Jeffrey masuk ke dalam unit apartemen dan merebahkan dirinya di atas sofa. Tidak ada suara Ratu kali ini, ia yakin bahwa istrinya itu tengah tertidur pulas di dalam kamar, tentu saja batinnya. Ini sudah pukul sepuluh malam, dan bodohnya ia lupa memberi kabar kepada Ratu sebelumnya. Jeffrey menghela nafas. Sebenarnya bukanlah menjadi maksud hatinya untuk tidak mengabari Ratu, namun tiba-tiba saja ada beberapa pekerjaan yang memang harus ia selesai secepatnya. Meskipun ada Yudhis yang berkerja sebagai sekertarisnya, Jeffrey merasa bahwa pekerjaan di kantor juga menjadi tanggung jawabnya.

Ia bertanya-tanya, apakah Ratu sudah makan malam ini? Apa saja yang istrinya itu lakukan seharian ini? Namun ia hanya bisa menelan pikirannya sendiri.

Jeffrey berjalan menuju kamar mereka, kemudian ia tersenyum simpul. Memori terlempar ke beberapa tahun yang lalu, ketika ia dan Ratu masih mengklaim bahwa hubungan mereka hanyalah sebatas teman. Dulu, Jeffrey sering sekali masuk ke dalam apartemen Ratu tatkala wanita itu tengah tertidur seperti saat ini. Wajah Ratu yang teduh saat tidur, seolah-olah menarik Jeffrey untuk menciumi seluruh tempat diwajahnya itu.

Kalau dulu, mungkin Jeffrey akan segera membangunkan Ratu agar pikirannya sendiri kembali jernih, namun sekarang ia justru menghampiri Ratu. Benar-benar mendaratkan kecupan-kecupan manis di wajah istrinya itu, lalu tersenyum gemas.

“Maaf pulangnya telat, terus lupa ngabarin. Tadi aku tiba-tiba ada—.”

“Mas... .” Belum sempat Jeffrey menyelesaikan kalimatnya, Ratu lebih dahulu memotong.

Namun Jeffrey biasa-biasa saja. Justru ia semakin tersenyum kala istrinya itu bersusah payah membuka mata. Tidur sangat pulas rupanya.

“Iya, Ra?” sahut Jeffrey lembut. Tangannya terulur mengusap kepala Ratu perlahan-lahan.

“Mau dipeluk.”

“Aku belum mandi, tau.”

Alih-alih sewot menyuruh Jeffrey lekas mandi seperti biasanya, Ratu justru mencengkeram kuat-kuat bagian lengan kemeja Jeffrey, persis seperti anak usia satu tahun yang menggenggam pakaian ibunya.

“Gak peduli deh gue, Jeff, mau peluk! Cepet!” pinta Ratu yang tiba-tiba membuka matanya sempurna.

Kemudian, ia bangkit dari posisi tidur dan memeluk tubuh Jeffrey. Menghirup aroma tubuh suaminya itu dengan serakah. Sementara Jeffrey hanya pasrah. Dipikir-pikir Ratu cukup jarang memperlakukannya seperti ini sebelum hamil, jadi menurut Jeffrey momen dimana tingkah laku manja istrinya itu kumat, adalah sebuah keuntungan baginya.

“Anak kita kayanya suka sama aku deh,” cetus Jeffrey.

Ratu menggeleng seketika.

“Bukan cuman dia, tapi aku juga,” kata Ratu lirih.

Jeffrey terkekeh. Tangannya kemudian melingkar sempurna pada pinggang Ratu. “Kalau itu sih aku udah tau, ya.”

Sudah melewati dua bulan masa kehamilan, dan dokter mengatakan bahwa keadaan janin dalam perut Ratu sangat sehat. Couvade syndrom yang beberapa hari kebelakang ini Jeffrey alami pun tampaknya sudah berangsur-angsur menghilang, pasalnya Jeffrey sudah jarang mengeluh akibat merasa mual pada perutnya.

Sore ini, Jeffrey membawa Ratu jalan-jalan. Menghirup udara segar di taman kota, dengan telanjang kaki sebab sandalnya ditenteng oleh Jeffrey sendiri.

Kata dokter, jalan kaki untuk seorang ibu hamil itu banyak manfaatnya. Seperti, memelihara tekanan darah, menjaga kenaikan berat badan, hingga membuat ibu hamil merasa lebih nyaman dan senang karena efek pengeluaran dopamin. Yah, benar saja, bukti saat ini istrinya itu tengah mesam-mesem di sampingnya. Jeffrey mengikuti pandangan Ratu, istrinya itu tengah menatap pada seekor anjing anjing pug yang sangat lincah meski telah diikat di bagian leher.

Jeffrey menarik sudut bibirnya. “Mau?” kata Jeffrey.

Merasa tengah diajak bicara, lantas Ratu menoleh ke arah Jeffrey. Sebelah alis Ratu terangkat. “Emangnya bumil boleh pelihara hewan?” tanya Ratu. Pasalnya sering kali ia mendengar tentang larangan memelihara hewan bagi ibu hamil.

Sebelum menjawab pertanyaan Ratu, Jeffrey menuntun Ratu dengan hati-hati menuju salah satu bangku yang ad di taman tersebut, membuat Ratu terkekeh. Jeffrey berlebihan baginya. Ratu diperlukan layaknya seorang wanita yang tengah hamil, dengan perut yang sudah besar. Namun, di sisi lain ia sangat senang diperlakukan sedetail itu.

Melanjutkan perbincangan yang sempat terjeda barusan, “Yang gak boleh itu pelihara binatang liar, Ra. Misal, ada kucing warteg terus kamu bawa pulang ke rumah, itu gak boleh. Kalau kamu mau pelihara, kita bisa adopsi anak anjing yang asal-usulnya jelas, terus divaksin,” tutur Jeffrey dengan lembut.

Manik mata Ratu berbinar seketika. “Aku mau.”

“Tapi ada syaratnya—,” kalimat Jeffrey menggantung di udara. “Kamu harus langsung cuci tangan, kalau abis kontak fisik sama anjingnya nanti. Kamu gak boleh ndusel-ndusel ke anjing. Kamu gak boleh deket-deket sama kotorannya, dan urusan kandang jadi tanggung jawab aku.”

Layaknya pernyataan yang tidak dapat terbantahkan, Ratu tahu jika tidak ada satu poin pun dalam aturan yang Jeffrey katakan barusan, yang mampu ia ubah. Lantas Ratu hanya bisa mengangguk patuh.

“Mau anak anjing jenis apa?” tanya Jeffrey.

Ratu menggerakkan dagunya tepat ke arah dimana seorang anjing pug yang menjadi awal pembicaraan mereka mengenai peliharaan sebelumnya berada.

“Mau anjing yang mukanya tolol kaya gitu, Mas.” Kemudian Ratu menjebik gemas.

“Astaga mulutnya, dikontrol ya ibu,” kata Jeffrey tak habis fikir.

“Kenapa sih? Padahal aku bener. Kamu gak ngerasa kalau anjing punya orang itu, mukanya tolol?” sanggah Ratu.

“Ya iya, tapi jangan doggy shaming gitu dong lo. Nanti kalau dia denger terus sakit hati, gimana?”

Ratu tertawa seketika. Entah karena ia yang memiliki selera humor yang begitu rendah, atau karena perkataan Jeffrey yang barusan, memang terdengar cukup menggelitik. Namun, tiba-tiba saja tawa Ratu terhenti karena ada sesuatu yang kini membuat merasakan desiran aneh acap kali ia tertawa. Seperti ada sesuatu yang mengganjal di dalam perutnya, siapa lagi kalau bukan Jeffrey junior?

Jeffrey yang peka melihat perubahan ekspresi pada wajah istrinya itu, sontak merasa khawatir.

“Kenapa?” tanya Jeffrey.

Ratu menggeleng. “Gapapa. Anak kita kayanya kurang suka kalau aku ketawa brutal,” kata Ratu.

“Nyeri, Ra?”

“Enggak, cuman rasanya aneh.”

Jeffrey mengangguk paham. Batinnya, mungkin terasa seperti ada benda asing yang akan ikut bergerak naik dan turun, setiap kali istrinya itu tertawa. Kemudian, dengan lembut tangan Jeffrey menyentuh perut Ratu. Diusapnya perut Ratu yang kini sudah tidak lagi rata seperti berbulan yang lalu. Jeffrey menyalurkan kehangatan pada telapak tangannya.

“Baik-baik ya di dalam perut istri aku!”

Ratu tampak sibuk mondar-mandir sejak tadi, namun entah apa yang tengah ia lakukan. Mulai dari memindahkan remote televisi yang sebenarnya sudah terletak dengan apik di samping televisi tersebut, menyusun setiap brush make up nya berdasarkan dengan fungsinya.

Sebenarnya sejak tadi—semua gerak-gerik Ratu tak pernah sekalipun lepas dari pandangan Jeffrey. Sempat beberapa kali Jeffrey menahan tawanya, seperti saat Ratu keliru memakai sendal di dalam unit apartemen mereka. Tapi apa boleh buat? Jeffrey merasa harus memberi istrinya itu pelajaran. Sebab, jika tidak begitu, Ratu pasti akan mengulangi kesalahan yang sama.

Jeffrey meletakkan ponselnya di atas nakas. Sebelum merebahkan diri di tempat tidur, Jeffrey sudah mandi terlebih dahulu. Oleh karena itu, saat ini ia dapat langsung menarik selimutnya, dan berencana tidur memunggungi Ratu malam itu.

Sementara itu, Ratu sadar jika saat ini Jeffrey tengah menerapkan silent treatment untuknya. Jeffrey memang seperti itu sejak dulu. Kalau marah, ia pasti lebih memilih diam.

Meskipun Jeffrey tahu betul jika melakukan silent treatment seperti halnya saat ini memang tidaklah baik, tapi menurutnya itu adalah cara yang paling efisien untuk menunjukkan sebuah perasaan kesal atau bahkan marah yang tengah ia alami selain harus berbicara dengan cara teriak-teriak, atau bahkan memukul. Sebab menurutnya, silent treatment cukup berguna, asalkan dilakukan dengan porai yang pas.

Lantas Ratu berjalan ke arah ranjang, tempat suaminya itu berbaring. Ikut merebahkan tubuh, kemudian menarik selimut hingga menutupi dadanya. Merasa diabaikan oleh Jeffrey yang tidur sambil memunggunginya—sontak Ratu mendengus sebal.

Ia terus menggeser tubuhnya hingga tidak menyisakan space kosong diantara dirinya dan juga Jeffrey.

Kemudian, dengan sangat hati-hati, Ratu mengetuk punggung Jeffrey seolah tengah mengetuk pintu rumah.

“Knock knock knock,” cicit Ratu.

Hening.

Merasa harus berusaha lebih keras, lantas Ratu kembali mengetuk punggung Jeffrey dengan sedikit tambahan tenaga.

“Knock knock knock.”

“Who?” sahut Jeffrey yang masih memunggunginya.

“Maafin aku, Mas.”

Jeffrey membuka matanya tatkala salah satu tangan Ratu memeluk pinggangnya begitu saja.

“Aku bilang who? Bukan what?” kata Jeffrey.

“Ratuu, Mas! Istri kamu.”

Mendengar jawaban itu, Jeffrey langsung memutar tubuhnya. Keduanya kini saling menatap, dan hanya berjarak sekitar 2 centi meter saja.

“Apa jaminannya, kalau kamu gak akan ngilangin kaya hari ini lagi?”

Ratu meneguk salivanya seketika, usai mendengar penuturan Jeffrey yang menggunakan nada serius.

“A—aku ... aku berhenti koleksi poca,” kata Ratu terbata-bata.

Detik kemudian Jeffrey tersenyum. Ia mengeluarkan jari kelingkingnya, sebagai pertanda untuk mengajak Ratu berjanji.

“Janji, ya?” ucap Jeffrey.

“Janji,” kata Ratu, lalu mengaitkan jari kelingkingnya dengan milik Jeffrey.

Lalu dengan gerakan cepat, Jeffrey menarik tubuh Ratu masuk kedalam dekapannya. Tak lupa diusapnya pucuk kepala Ratu dengan lembut.

“Tidur, Ra.”

“Istri kamu gimana?”

“Dia tau aku kesini sama kamu, dan yah—biasa aja. Mungkin karna masih suka bau duit aku.”

Jeffrey meneguk ludah kala mendengar percakapan 2 orang yang duduk tidak begitu jauh darinya. Ia lalu mengelus dada sambil geleng-geleng tak percaya.

“Kamu kenapa, Mas? Mual lagi?” tanya Ratu setengah panik.

“Enggak. Tadi aku kaya denger suara anjing,” sahutnya, sengaja menekankan intonasi pada setiap kata.

Sebenarnya wajar, jika di tempat umum seperti restoran yang mereka singgahi ini, siapapun dapat mendengar obrolan pengunjung lainnya meski tidak disengaja. Toh, si pembicara itu sendiri, memang seolah tidak berniat menyembunyikan pembicaraan mereka. Namun tetap saja, Jeffrey merasa risih. Terlebih lagi, ia datang ke restoran itu bersama Ratu.

Jeffrey harap Ratu tidak mendengar percakapan sampah itu sama sekali.

Ia memang tidak begitu paham soal kehamilan. Tapi Jeffrey tidak bodoh. Ia tahu bahwa kebanyakan ibu hamil akan jauh menjadi lebih sensitif daripada biasanya. Jeffrey takut kalau-kalau istrinya itu merasa tidak nyaman, atau sebagainya.

Rasanya ingin sekali ia melangkah pergi dari sana, namun melihat Ratu yang masih menikmati dessert di hadapannya, membuat Jeffrey mengurungkan niat.

Tidak mudah mengajak istrinya itu keluar rumah, butuh waktu cukup lama bagi Ratu untuk memilih pakaian. Pasalnya wanita itu mengklaim bahwa perutnya sudah mulai membuncit, dan ia merasa kurang percaya diri akan hal itu. Sampai-sampai Jeffrey membutuhkan banyak tenaga untuk merayu, serta membujuk Ratu.

Dipandanginya Ratu yang tengah tersenyum sumringah hanya karena semangkuk es krim rasa stroberi di hadapannya.

Jeffrey menghela hafas panjang.

“Jadi menurut kamu, istri kamu itu udah gak suka sama kamu, dan cuman suka sama duit kamu?”

“Iya. Kabar bagus kan?—

Lumayan lah, jadi punya pembantu pengertian di rumah.”

Brak!

Jeffrey yang sudah muak mendengar kedua, sontak berdiri dan menggeser kursinya dengan sangat kasar.

“Kamu udah selesai belum, Ra? Aku mau pulang!” kata Jeffrey bersungut-sungut.

Melihat wajah suaminya yang mulai memerah itu, lantas Ratu menarik sudut bibirnya. Ia meraih selembar tisu dengan santai, kemudian berdiri.

“Tunggu sebentar.”

Selanjutnya, setelah mengatakan hal itu, Ratu berjalan menuju 2 orang yang menjadi sumber kekesalan Jeffrey malam itu.

“Permisi?” sapa Ratu kemudian tersenyum lebar.

“I—iya? Siapa?” tanya laki-laki yang ia hampiri itu.

“Bukan siapa-siapa, Pak. Saya cuman mau bilang—pertama, saya liat-liat muka Bapak ini gak seberapa. Kedua, saya doain semoga Bapak jatuh miskin ya, biar Bapak sekalian ditinggal sama istri Bapak yang di rumah. Ketiga, sorry tapi—mulut lo berisik banget, kalau ngomong udah kaya pakai toa! Tuh lo liat suami gue sampai gak mood gitu gara-gara mulut lo!” hardik Ratu tanpa memberi lawan bicaranya itu kesempatan untuk menjawab.

Setelah mengatakan hal itu, lantas ia kembali menghampiri Jeffrey.

“Lo gila sih kalau kata gue, Ra.” Sepersekian detik, Jeffrey bergidik ngeri, namun kemudian ia tersenyum bangga. Dirangkulnya pinggang Ratu dengan posesif, sebelum melangkah pergi dari sana. Mengabaikan beberapa pasang mata yang menatap istrinya.

Ratu mendengus sebal. “Pengen aku cabein, Anjir mulutnya!”

“Istri kamu gimana?”

“Dia tau aku kesini sama kamu, dan yah—biasa aja. Mungkin karna masih suka bau duit aku.”

Jeffrey meneguk ludah kala mendengar percakapan 2 orang yang duduk tidak begitu jauh darinya. Ia lalu mengelus dada sambil geleng-geleng tak percaya.

“Kamu kenapa, Mas? Mual lagi?” tanya Ratu setengah panik.

“Enggak. Tadi aku kaya denger suara anjing,” sahutnya, sengaja menekankan intonasi pada setiap kata.

Sebenarnya wajar, jika di tempat umum seperti restoran yang mereka singgahi ini, siapapun dapat mendengar obrolan pengunjung lainnya meski tidak disengaja. Toh, si pembicara itu sendiri, memang seolah tidak berniat menyembunyikan pembicaraan mereka. Namun tetap saja, Jeffrey merasa risih. Terlebih lagi, ia datang ke restoran itu bersama Ratu.

Jeffrey harap Ratu tidak mendengar percakapan sampah itu sama sekali.

Ia memang tidak begitu paham soal kehamilan. Tapi Jeffrey tidak bodoh. Ia tahu bahwa kebanyakan ibu hamil akan jauh menjadi lebih sensitif daripada biasanya. Jeffrey takut kalau-kalau istrinya itu merasa tidak nyaman, atau sebagainya.

Rasanya ingin sekali ia melangkah pergi dari sana, namun melihat Ratu yang masih menikmati dessert di hadapannya, membuat Jeffrey mengurungkan niat.

Tidak mudah mengajak istrinya itu keluar rumah, butuh waktu cukup lama bagi Ratu untuk memilih pakaian. Pasalnya wanita itu mengklaim bahwa perutnya sudah mulai membuncit, dan ia merasa kurang percaya diri akan hal itu. Sampai-sampai Jeffrey membutuhkan banyak tenaga untuk merayu, serta membujuk Ratu.

Dipandanginya Ratu yang tengah tersenyum sumringah hanya karena semangkuk es krim rasa stroberi di hadapannya.

Jeffrey menghela hafas panjang.

“Jadi menurut kamu, istri kamu itu udah gak suka sama kamu, dan cuman suka sama duit kamu?”

“Iya. Kabar bagus kan?—

Lumayan lah, jadi punya pembantu pengertian di rumah.”

Brak!

Jeffrey yang sudah muak mendengar kedua, sontak berdiri dan menggeser kursinya dengan sangat kasar.

“Kamu udah selesai belum, Ra? Aku mau pulang!” kata Jeffrey bersungut-sungut.

Melihat wajah suaminya yang mulai memerah itu, lantas Ratu menarik sudut bibirnya. Ia meraih selembar tisu dengan santai, kemudian berdiri.

“Tunggu sebentar.”

Selanjutnya, setelah mengatakan hal itu, Ratu berjalan menuju 2 orang yang menjadi sumber kekesalan Jeffrey malam itu.

“Permisi?” sapa Ratu kemudian tersenyum lebar.

“I—iya? Siapa?” tanya laki-laki yang ia hampiri itu.

“Bukan siapa-siapa, Pak. Saya cuman mau bilang—pertama, saya liat-liat muka Bapak ini gak seberapa. Kedua, saya doain semoga Bapak jatuh miskin ya, biar Bapak sekalian ditinggal sama istri Bapak yang di rumah. Ketiga, sorry tapi—mulut lo berisik banget, kalau ngomong udah kaya pakai toa! Tuh lo liat suami gue sampai gak mood gitu gara-gara mulut lo!” hardik Ratu tanpa memberi lawan bicaranya itu kesempatan untuk menjawab.

Setelah mengatakan hal itu, lantas ia kembali menghampiri Jeffrey.

“Lo gila sih kalau kata gue, Ra.” Sepersekian detik, Jeffrey bergidik ngeri, namun kemudian ia tersenyum bangga. Dirangkulnya pinggang Ratu dengan posesif, sebelum melangkah pergi dari sana. Mengabaikan beberapa pasang mata yang menatap istrinya.

Ratu mendengus sebal. “Pengen aku cabein, Anjir mulutnya!”

“Istri kamu gimana?”

“Dia tau aku kesini sama kamu, dan yah—biasa aja. Mungkin karna masih suka bau duit aku.”

Jeffrey meneguk ludah kala mendengar percakapan 2 orang yang duduk tidak begitu jauh darinya. Ia lalu mengelus dada sambil geleng-geleng tak percaya.

“Kamu kenapa, Mas? Mual lagi?” tanya Ratu setengah panik.

“Enggak. Tadi aku kaya denger suara anjing,” sahutnya, sengaja menekankan intonasi pada setiap kata.

Sebenarnya wajar, jika di tempat umum seperti restoran yang mereka singgahi ini, siapapun dapat mendengar obrolan pengunjung lainnya meski tidak disengaja. Toh, si pembicara itu sendiri, memang seolah tidak berniat menyembunyikan pembicaraan mereka. Namun tetap saja, Jeffrey merasa risih. Terlebih lagi, ia datang ke restoran itu bersama Ratu.

Jeffrey harap Ratu tidak mendengar percakapan sampah itu sama sekali.

Ia memang tidak begitu paham soal kehamilan. Tapi Jeffrey tidak bodoh. Ia tahu bahwa kebanyakan ibu hamil akan jauh menjadi lebih sensitif daripada biasanya. Jeffrey takut kalau-kalau istrinya itu merasa tidak nyaman, atau sebagainya.

Rasanya ingin sekali ia melangkah pergi dari sana, namun melihat Ratu yang masih menikmati dessert di hadapannya, membuat Jeffrey mengurungkan niat.

Tidak mudah mengajak istrinya itu keluar rumah, butuh waktu cukup lama bagi Ratu untuk memilih pakaian. Pasalnya wanita itu mengklaim bahwa perutnya sudah mulai membuncit, dan ia merasa kurang percaya diri akan hal itu. Sampai-sampai Jeffrey membutuhkan banyak tenaga untuk merayu, serta membujuk Ratu.

Dipandanginya Ratu yang tengah tersenyum sumringah hanya karena semangkuk es krim rasa stroberi di hadapannya.

Jeffrey menghela hafas panjang.

“Jadi menurut kamu, istri kamu itu udah gak suka sama kamu, dan cuman suka sama duit kamu?”

“Iya. Kabar bagus kan?—

Lumayan lah, jadi punya pembantu pengertian di rumah.”*

Brak!

Jeffrey yang sudah muak mendengar kedua, sontak berdiri dan menggeser kursinya dengan sangat kasar.

“Kamu udah selesai belum, Ra? Aku mau pulang!” kata Jeffrey bersungut-sungut.

Melihat wajah suaminya yang mulai memerah itu, lantas Ratu menarik sudut bibirnya. Ia meraih selembar tisu dengan santai, kemudian berdiri.

“Tunggu sebentar.”

Selanjutnya, setelah mengatakan hal itu, Ratu berjalan menuju 2 orang yang menjadi sumber kekesalan Jeffrey malam itu.

“Permisi?” sapa Ratu kemudian tersenyum lebar.

“I—iya? Siapa?” tanya laki-laki yang ia hampiri itu.

“Bukan siapa-siapa, Pak. Saya cuman mau bilang—pertama, saya liat-liat muka Bapak ini gak seberapa. Kedua, saya doain semoga Bapak jatuh miskin ya, biar Bapak sekalian ditinggal sama istri Bapak yang di rumah. Ketiga, sorry tapi—mulut lo berisik banget, kalau ngomong udah kaya pakai toa! Tuh lo liat suami gue sampai gak mood gitu gara-gara mulut lo!” hardik Ratu tanpa memberi lawan bicaranya itu kesempatan untuk menjawab.

Setelah mengatakan hal itu, lantas ia kembali menghampiri Jeffrey.

“Lo gila sih kalau kata gue, Ra.” Sepersekian detik, Jeffrey bergidik ngeri, namun kemudian ia tersenyum bangga. Dirangkulnya pinggang Ratu dengan posesif, sebelum melangkah pergi dari sana. Mengabaikan beberapa pasang mata yang menatap istrinya.

Ratu mendengus sebal. “Pengen aku cabein, Anjir mulutnya!”

“Istri kamu gimana?”

*“Dia tau aku kesini sama kamu, dan yah—biasa aja. Mungkin karna masih suka bau duit aku.”

Jeffrey meneguk ludah kala mendengar percakapan 2 orang yang duduk tidak begitu jauh darinya. Ia lalu mengelus dada sambil geleng-geleng tak percaya.

“Kamu kenapa, Mas? Mual lagi?” tanya Ratu setengah panik.

“Enggak. Tadi aku kaya denger suara anjing,” sahutnya, sengaja menekankan intonasi pada setiap kata.

Sebenarnya wajar, jika di tempat umum seperti restoran yang mereka singgahi ini, siapapun dapat mendengar obrolan pengunjung lainnya meski tidak disengaja. Toh, si pembicara itu sendiri, memang seolah tidak berniat menyembunyikan pembicaraan mereka. Namun tetap saja, Jeffrey merasa risih. Terlebih lagi, ia datang ke restoran itu bersama Ratu.

Jeffrey harap Ratu tidak mendengar percakapan sampah itu sama sekali.

Ia memang tidak begitu paham soal kehamilan. Tapi Jeffrey tidak bodoh. Ia tahu bahwa kebanyakan ibu hamil akan jauh menjadi lebih sensitif daripada biasanya. Jeffrey takut kalau-kalau istrinya itu merasa tidak nyaman, atau sebagainya.

Rasanya ingin sekali ia melangkah pergi dari sana, namun melihat Ratu yang masih menikmati dessert di hadapannya, membuat Jeffrey mengurungkan niat.

Tidak mudah mengajak istrinya itu keluar rumah, butuh waktu cukup lama bagi Ratu untuk memilih pakaian. Pasalnya wanita itu mengklaim bahwa perutnya sudah mulai membuncit, dan ia merasa kurang percaya diri akan hal itu. Sampai-sampai Jeffrey membutuhkan banyak tenaga untuk merayu, serta membujuk Ratu.

Dipandanginya Ratu yang tengah tersenyum sumringah hanya karena semangkuk es krim rasa stroberi di hadapannya.

Jeffrey menghela hafas panjang.

“Jadi menurut kamu, istri kamu itu udah gak suka sama kamu, dan cuman suka sama duit kamu?”

“Iya. Kabar bagus kan?—

Lumayan lah, jadi punya pembantu pengertian di rumah.”*

Brak!

Jeffrey yang sudah muak mendengar kedua, sontak berdiri dan menggeser kursinya dengan sangat kasar.

“Kamu udah selesai belum, Ra? Aku mau pulang!” kata Jeffrey bersungut-sungut.

Melihat wajah suaminya yang mulai memerah itu, lantas Ratu menarik sudut bibirnya. Ia meraih selembar tisu dengan santai, kemudian berdiri.

“Tunggu sebentar.”

Selanjutnya, setelah mengatakan hal itu, Ratu berjalan menuju 2 orang yang menjadi sumber kekesalan Jeffrey malam itu.

“Permisi?” sapa Ratu kemudian tersenyum lebar.

“I—iya? Siapa?” tanya laki-laki yang ia hampiri itu.

“Bukan siapa-siapa, Pak. Saya cuman mau bilang—pertama, saya liat-liat muka Bapak ini gak seberapa. Kedua, saya doain semoga Bapak jatuh miskin ya, biar Bapak sekalian ditinggal sama istri Bapak yang di rumah. Ketiga, sorry tapi—mulut lo berisik banget, kalau ngomong udah kaya pakai toa! Tuh lo liat suami gue sampai gak mood gitu gara-gara mulut lo!” hardik Ratu tanpa memberi lawan bicaranya itu kesempatan untuk menjawab.

Setelah mengatakan hal itu, lantas ia kembali menghampiri Jeffrey.

“Lo gila sih kalau kata gue, Ra.” Sepersekian detik, Jeffrey bergidik ngeri, namun kemudian ia tersenyum bangga. Dirangkulnya pinggang Ratu dengan posesif, sebelum melangkah pergi dari sana. Mengabaikan beberapa pasang mata yang menatap istrinya.

Ratu mendengus sebal. “Pengen aku cabein, Anjir mulutnya!”

Setelah sibuk menata segala penjuru unit apartemen yang ia tempati, tentu saja Ratu kelelahan. Keningnya berkeringat—ternyata seperti ini rasanya melakukan pekerjaan rumah di masa kehamilan, batinnya. Beruntung Jeffrey sering kali melarangnya melakukan kegiatan seperti mengepel lantai dan menyikat kamar mandi. Meski kandungan Ratu baru akan menginjak usia 2 bulan, namun ia sudah merasa lebih cepat kelelahan daripada sebelumnya.

Ratu menghela nafas panjang. Sebenarnya ia ingin sekali menyambut sang Mama Mertua dengan sangat baik, tapi justru sudah tepar di atas sofa seperti saat ini. Kendati begitu, Ratu menarik sudut bibirnya—setidaknya unit yang ia sebut rumah itu, sudah cukup bersih dan nyaman untuk dikunjungi keluarga dari Jeffrey.

Tangan Ratu mengelus lembut perutnya yang sudah mulai membuncit. Ia senang, sejauh ini anak Jeffrey dalam kandungannya tidak bertingkah yang macam-macam. Ia bahkan hampir tidak pernah mengalami morning sickness. Hanya sekali, dua kali—dan itupun masih sangat normal. Berbeda dengan Jeffrey yang setiap hari dihantui dengan perasaan mual, dan perubahan mood yang sangat drastis.

Tiba-tiba bell unit tersebut berbunyi ditengah-tengah lamunan Ratu. Tanda ada seseorang di luar sana.

Ratu yakin sekali bahwa yang di luar itu, adalah Mertuanya. Lantas, Ratu beranjak dari tempat duduknya, berjalan dengan hati-hati seperti yang selalu Jeffrey perintahkan, menuju pintu masuk.

Dan benar saja, begitu pintu terbuka—ia langsung mendapat pelukan dari 4 orang sekaligus. Yah, siapa lagi kalau bukan Mama, Papa, Mba Kila, dan Jemian? Seperti halnya Teletubbies mereka memeluk Ratu cukup lama di depan pintu.

Sebenarnya Ratu tidak masalah sama sekali. Toh selama ini ia memang selalu merindukan kehangatan keluarga, dan kebetulan keluarga Jeffrey dengan senang hati membagi kehangatan itu. Tapi untuk kali ini, ia kehabisan nafas. Refleks Ratu mendorong tubuh Mama dan Mba Kila, yang otomatis mendorong Papa dan Jemian juga.

“ADUH JEMI KETATAP PINTU TAU MAH!” gaduh Jemian seketika.

Sementara Mama, Papa, dan Mba Kila sibuk menatap Ratu yang kesusahan bernafas.

“Engap ya, Sayang? Yuk duduk aja. Kita tolong bantuin Mamah tuntun adeknya nih!” kata Mama.

Lalu dengan sigap, keduanya menuntun Ratu kembali ke arah sofa, meninggalkan Jemian dan Papa yang masih di depan pintu.

“Itu Mba Ratu kenapa, Pah?” tanya Jemian penasaran.

“Hamil.”

“Jemi tau, Pah! Maksudnya yang barusan itu lho, kenapa?” Jemian mendengus sebal di akhir kalimatnya.

“Engap, Jem.”

Ha kan, memang benar, ngobrol bersama Papa adalah suatu tindakan yang sia-sia. Alih-alih mendapat jawaban atas pertanyaan, Jemian justru mendapat emosi di tengah hari bolong.

Papa sendiri malah tertawa puas melihat ekspresi kesal dari Jemian, persis seperti Jeffrey—anak tengahnya itu.

“Udah ayo masuk, anggep aja rumah sendiri,” kata Papa mempersilahkan Jemian, seperti layaknya pemilik rumah.

“TERSERAH!” Takut semakin kesal, Jemian langsung melenggang pergi begitu saja.


“Kamu abis ngapain sih? Kerja yang berat-berat ya?” tanya Mama sambil menaik turunkan tangannya, seolah tengah menuntun Ratu untuk bernafas.

Ratu tersenyum, “Abis bersih-bersih, sedikit.” Setelah mengatakan itu, Ratu membetulkan posisi duduknya, agar lebih tegap.

“Hamil muda itu masih rawan loh, Ra. Kamu gak boleh sampai kecapean,” sahut Mba Kila.

“Kenapa gak pake asisten rumah tangga aja, Mba?” sambung Jemian.

Ratu menggeleng cepat.

“Unit sekecil ini, ngapain pakai ART? Kan masih bisa dihandle sama aku, atau Jeffrey kalau cuman nyapu, ngepel, sama cuci piring. Lagian Jeffrey mau beli rumah—mendingan uangnya ditabung buat perabotan baru nanti,” tutur Ratu terbata-bata, karena masih mengatur nafas.

“Dia bilang gitu?”

“Apa pah?”

“Dia bilang gak mau pakai ART karna alasan itu?”

“Enggak, Pah. Ini pemikiran aku aja. Belum lagi kita harus nabung buat dia kan?” Ratu menatap dan mengelus lembut perutnya.

Begitu ia kembali menatap Papa, laki-laki paruh baya itu memasang raut wajah tak senang.

“Kamu tau gak kalau pemikiran kaya gitu itu salah? Sebagai suami, emang udah jadi tugas Jeffrey untuk cari uang. Ya, Papa tau kalau mungkin kamu mau menghemat. Tapi kamu tau kan penghasilan suami kamu berapa?—”

“Nak, diatas hemat, masih ada kenyamanan dan keselamatan yang harus kamu utamakan. Jeffrey gak akan kekurangan uang, selagi itu buat kamu dan anaknya. Papa gak mau ya, denger kabar kalau kamu dan anak kalian kenapa-napa. Itu tandanya anak Papa gagal.”

Ratu bergeming.

Apa yang Papa katakan, ada benarnya. Mungkin ia terlalu mengkhawatirkan Jeffrey sampai-sampai buta akan fakta sebenarnya. Padahal jelas-jelas, suaminya itu sudah berkali-kali menawarkan semua yang terbaik kepadanya sejak awal. Baik itu rumah, maupun ART, namun Ratu selalu saja menunda-nunda untuk mengiyakan pendapat Jeffrey.

Tepat pukul 5 sore, Jeffrey memandang Ratu yang masih tertidur lelap sejak siang tadi. Setelah mendatangi dokter kandungan, istrinya itu bak diserap habis seluruh tenaganya. Padahal seingat Jeffrey, sang dokter, atau bahkan dirinya tidak sama sekali meminta Ratu untuk melakukan sesuatu yang berat.

Jeffrey menekan saklar lampu. Seketika kamar mereka berdua jauh lebih terang daripada sebelumnya. Dapat Jeffrey lihat, wajah Ratu masih pucat, bahkan kening istrinya itu berkeringat dingin.

Dengan hati-hati Jeffrey naik keatas ranjang. Takut kalau-kalau pergerakannya dapat membangunkan Ratu.

Jeffrey merentangkan tangan kanannya, kemudian tangan kirinya perlahan-lahan mengangkat tengkuk sang istri. Diusapnya pucuk kepala Ratu perlahan-lahan. Sorot mata Jeffrey turun menatap lekukan demi lekukan pada wajah sang istri.

Jeffrey menyunggingkan senyumnya.

Ternyata benar kata orang-orang—ibu hamil akan memancarkan aura kecantikan yang berbeda dari sebelumnya. Meski pucat, dan ditambah dengan bercak jejak sarung bantal, wajah istrinya itu tampak cantik luar biasa.

Dalam keheningan, Jeffrey kembali mengingat-ingat keanehan yang muncul dalam diri Ratu beberapa hari yang lalu—Jeffrey terkekeh. Bisa-bisanya ia mengira bahwa usaha pertamanya telah gagal begitu saja hanya karena ketidaksabaran dalam dirinya. Bisa-bisanya ia meragukan sang bibit unggul yang telah ia tanamkan dalam rahim Ratu.

Kemudian karena suara kekehannya—Ratu menggeliat dalam tidurnya. Wanita itu akhirnya terbangun dan membuka matanya.

“Mas?” lirih Ratu, begitu ia membuka mata.

“Apa?”

“Aku mimpi kalau aku hamil.”

Hening sesaat. Jeffrey mencoba untuk mencerna apa yang baru saja Ratu katanya, lalu dengan gemas ia mendepak tubuh Ratu.

“Bukan mimpi, Ra. Kita beneran abis ke rumah sakit tadi siang, dan kamu beneran hamil.”

!Deg

Ratu beringsut mendorong tubuh Jeffrey, agar melepas pelukannya. Matanya membola seketika.

“Bercanda, kan?” tanya Ratu.

Jeffrey bingung harus menjawab apa, pasalnya ekspresi wajah Ratu kali ini sulit untuk diartikan. Dengan tatapan nanar, Ratu menyentuh perutnya yang memang tak lagi rata seperti sebelum-sebelumnya.

“Mas ... aku ... masih belum siap ngelahirin. Aku belum siap kebangun semaleman buat—ya—aku belum siap jadi orang tua,” kata Ratu terbata-bata. Tangannya sedikit gemetar.

Sementara itu, Jeffrey menaikkan sebelah alisnya. Jujur saja, apa yang baru saja Ratu katakan, cukup melukai egonya.

“Ra—.” Suara Jeffrey kemudian mengalihkan atensi Ratu dari perutnya.

“Kita—gue dan lo, bikin dia—,” ujar Jeffrey sembari menunjuk lurus kearah perut dengan jari telunjuknya. “Dalam keadaan sadar.”

“Gue tau kalau di malam itu, gue abis minum. Tapi gue gak teler, Ra. Gue sadar atas setiap perbuatan yang gue lakuin, dan ... gue yakin lo juga. Gue yakin kalau sebelum kita ngelakuin hubungan intim itu, gue sempet tanya ke lo, apa lo bener-bener udah siap atau belum. Gue yakin kalau sebelum kita ngelakuin itu, gue bahkan nyuruh lo tetep buka mata buat make sure kalau lo sadar kita ngelakuin itu dengan dan atas persetujuan lo—.” Nafas Jeffrey memburu.

“Terus menurut lo, kalau bukan anak kita yang keluar—apa, Ra? Mobil Aston Martin keluaran terbaru? Kipas angin cosmos wadesta? Atau apa sih?”

Kesal karena tak kunjung mendapat jawaban, lantas Jeffrey mendekat. Tangan kanannya meraih dagu Ratu. “Gue nanya, Ra. Jawab!”

Ratu geming. Untuk kedua kalinya, ia dihadapkan dengan Jeffrey yang seperti ini—baginya cukup menyeramkan.

Tak hanya enggan menjawab pertanyaan Jeffrey, Ratu juga enggan menatap manik mata suaminya itu. Ia takut.

Jeffrey menghela nafas. Dalam benaknya, ada begitu banyak argumen kekesalan yang ingin ia sampaikan. Dalam benaknya, ingin sekali rasanya ia memaki wanita di hadapannya itu hingga ia tersadar akan kesalahannya. Tapi dengan susah payah, Jeffrey mengurungkan niat.

Jeffrey memilih untuk kembali menarik Ratu ke dalam dekapannya. Dan Ratu dapat merasakan dengan jelas bagaimana kencangnya degup jantung Jeffrey kala itu.

“Aku minta maaf, barusan ngomongnya pakai urat. Maaf,” bisik Jeffrey. Tak lupa kedua tangannya sambil mengusap punggung sang istri.

“Yang ada di perut kamu itu—calon anak kita, Ra. Kalau kamu pikir aku siap, sebenernya enggak juga. Aku sama takutnya kaya kamu. Aku takut kalau aku gak bisa tanggung jawab atas kamu sama dia. Tapi menurut aku ... siap gak siap, kita harus siap—,”

“Karna itu udah jadi pilihan kita dari awal,” tutur Jeffrey dengan lembut.

Meski tak ada satu katapun yang keluar dari mulut Ratu, namun Jeffrey dapat merasakan kalau wanita itu membalas pelukannya, bahkan kini jauh lebih erat. Jeffrey mengerti, menjadi seorang ibu nantinya akan lebih berat. Menjadi seorang ibu nantinya bukan hanya perihal tanggung jawab yang dibutuhkan, tapi juga rasa sakit saat melahirkan, ditambah lagi dengan kesediaan Ratu untuk terus menggendong, bahkan menyusui anak mereka kelak, kurang lebih selama 2 tahun lamanya.

Pundak Ratu gemetar, menandakan istrinya itu tengah menahan tangisnya. Jeffrey yang menyadari hal itupun spontan mengecup pundak Ratu sebanyak tiga kali, seperti yang biasa ia lakukan setiap kali Ratu menangis dalam dekapannya.

“Ada aku, Ra. Ada aku terus disebelah kamu ... jadi jangan takut.”