cakgrays

Jeffrey memandang sayu ke arah Ratu yang tengah diperiksa oleh seorang dokter ob-gyn sejak beberapa saat lalu. Tak henti-hentinya Jeffrey merapalkan sebuah doa dalam hatinya. Sangat berbanding terbalik dengan Ratu yang terlihat tengah cengangas-cengenges di sampingnya.

Entah apa hasilnya, Jeffrey harap itu bukanlah sesuatu yang buruk seperti pendarahan atau semacamnya.

Jeffrey membuka pintu ruang dokter ob-gyn menggunakan tangan kirinya—sementara tangan kanannya tengah sibuk memeluk pinggang Ratu kuat-kuat. Seakan-akan, wanita itu mungkin akan berlarian kesana kemari jika ia melepaskan tangannya

Seketika netra Jeffrey dan Ratu langsung disambut oleh seorang wanita paruh baya, dengan jas dokter yang cocok dipadukan dengan pakaiannya. Cantik, batin Ratu.

“Selamat pagi, Bu! Silahkan duduk. Ada keluhan apa?” kata sang Dokter Ob-gyn, sembari tersenyum.

Kemudian tanpa berpikir panjang, Jeffrey menarik sebuah kursi di hadapan sang dokter, dan memberi isyarat pada Ratu, agar ia segera duduk disana.

“Istri saya aneh, Dok,” cetus Jeffrey, begitu ia baru saja mendudukkan bokongnya.

Ratu yang di sebelahnya pun melotot. Ingin rasanya Ratu menenggelamkan dirinya di Samudra Pasifik saat itu juga. Sementara sang dokter hanya tersenyum, tak habis pikir melihat pasangan ajaib di hadapannya itu.

Jeffrey yang menyadari kebodohannya, lantas meringis, “Maksudnya, istri saya nunjukin gejala kehamilan—tapi dia menstruasi. Tolong diperiksa, Dok. Kira-kira istri saya kenapa ya?” tutur Jeffrey tersendat-sendat.

“Sebelumnya saya mau tanya ke Ibu, ya?” kata Dokter itu sembari menatap serius manik mata Ratu.

Sementara Ratu hanya manggut-manggut.

“Kapan terakhir kali Ibu menstruasi?”

“Kemarin, Dok.”

Lagi-lagi sang Dokter tersenyum. “Kalau bulan lalu? Kira-kira tanggal berapa?”

Hening. Ratu geming seketika. Dalam hati ia merutuki diri sendiri karena melupakan fase menstruasinya sendiri.

“Delapan belas Januari, Dok. Itu terakhir kali istri saya menstruasi di bulan lalu,” sahut Jeffrey semangat.

Tentu saja ia mengingat hari dimana malam pertama mereka berlangsung, dan sehari sebelumnya sudah dipastikan bahwa itu merupakan hari terakhir Ratu mengalami tamu bulanan.

Selanjutnya Jeffrey menoleh ke arah Ratu dan sengaja memamerkan senyum bangga.

“Baik. Apa ada gejala nyeri perut?”

Ratu melirik Jeffrey, “Ada, Dok. Tapi jarang.”

“Katanya gak nyeri, Ra?!”

Spontan Ratu menekan paha Jeffrey menggunakan tangannya, agar laki-laki itu bisa diam sesaat dan mendengar penjelasannya kepada dokter.

“Kira-kira berapa hari, atau berapa minggu sekali, Bu?” kata Dokter.

“Terakhir kali, bulan lalu.”

“Oke, baik. Ada mual?”

Ratu menggeleng cepat.

Detik kemudian, dokter di hadapan mereka itu menyodorkan sebuah benda kecil yang Jeffrey dan Ratu ketahui bernama testpack.

“Saya pikir Ibu belum melakukan test kehamilan apapun ya? Benar?”

Ratu tersenyum malu-malu.

“Silahkan, ini testpacknya.”

Tanpa pikir panjang—lantas Ratu berjalan menuju bilik toilet kecil yang ada di dalam ruang pemeriksaan tersebut.

Ratu mati-matian menahan detak jantungnya yang berdegup kencang. Kedua tangannya pun, gemetar. Ratu takut kalau-kalau nantinya hasil yang ditunjukkan oleh alat kecil di tangannya itu, tidak sesuai dengan keinginan Jeffrey. Namun di sisi lain, Ratu juga merasa takut jika hasil testpack itu menyatakan kehamilannya, karena sejujurnya ia belum terlalu siap.

Semenit, lima menit, Jeffrey dan sang dokter masih menunggu Ratu keluar dari dalam toilet.

Tatkala pintu toilet tersebut terbuka, sontak Jeffrey beranjak dari tempat duduknya. Ia menghampiri Ratu dengan tergesa serta deru nafasnya memburu.

“Gimana, Ra?” tanya Jeffrey.

“Positif.”

Kemudian tanpa memberi aba-aba, Jeffrey memeluk Ratu dengan begitu semangat. Senyuman laki-laki itu, tampak sangat bahagia.

“Lepas dulu, Jeff. Itu Bu Dokternya nungguin,” bisik Ratu mengingatkan.

Jeffrey terpaksa melepas pelukannya, lalu ia berjalan ke tempat duduknya sembari tersenyum sumringah, dan diikuti oleh Ratu.

“Begini, mungkin yang sebelumnya Ibu dan Bapak maksud dengan mens adalah flek implantasi. Nah, apa itu? Flek implantasi adalah kemunculan bercak darah yang jumlahnya sedikit, di luar jadwal mens. Biasa hanya sehari, atau dua hari aja dan warnanya bisa coklat—bahkan pink,”

“Bisa disebabkan karna rahim sudah ada pembuluh darah baru, sudah menebal, dan janinnya nempel disana—maka ada beberapa darah yang keluar,” ungkap Dokter tersebut.

Jeffrey sangat fokus mendengar penjelasan dari sang dokter, hingga akhirnya ia menyadari satu hal. “Tunggu, Dok.”

“Iya, Pak? Ada apa?”

“Jadi, kira-kira saya junior, usianya udah berapa minggu?” tanya Jeffrey penasaran.

“Baik, akan saya hitung berdasarkan HPHT atau hari pertama haid terakhir. Ibu ingat tanggal berapa?”

“Tanggal enam belas, Dok,” jawab Ratu.

Lantas keduanya menatap sang dokter, harap-harap cemas.

“Usia kandungan istri Bapak, adalah lima minggu.”

Jeffrey menutup pintu, dan langsung melangkah menuju kamar yang baru-baru ini—kembali dirinya, dan Ratu tiduri. Pasalnya sang istri sempat mengeluh yang tidak-tidak mengenai kasur di kamar mereka, yang sebelumnya.

Dalam benak Jeffrey merasa keanehan. Kala itu harusnya masih terlalu cepat untuk menutup tirai jendela yang mengarah langsung pada balkon unit apartemen mereka. Tapi, entah kenapa, Ratu memilih untuk menutup tirai tersebut rapat-rapat, seolah hari sudah gelap—atau mungkin, Ratu memang sengaja membiarkan tirai tersebut, dan tidak membukanya sejak tadi malam?

Jeffrey menggidikkan bahunya tak perduli. Toh harusnya ia tak perlu ambil pusing hanya karena sebuah tirai. Harusnya ia segera menghampiri sang istri kesayangannya yang seperti tengah tergila-gila pada dirinya itu.

Benar saja batinnya. Yang pertama kali menyambutnya tatkala ia membuka pintu kamar tersebut, adalah aroma parfum yang sangat menyengat dari dalam. Batin Jeffrey, seandainya itu bukan aroma parfumnya sendiri, mungkin ia akan merasakan mual. Jeffrey geleng-geleng—istri kesayangannya itu memang sangat aneh akhir-akhir ini.

“Ra—lah tidur?” Jeffrey mendengus begitu melihat Ratu yang tengah tertidur pulas diatas ranjang, mengingat sekitar setengah jam yang lalu, Ratu baru saja mengatakan bahwa ia sangat merindukan Jeffrey, hingga meminta laki-laki itu untuk pulang lebih awal dari biasanya.

Lantas Jeffrey memutuskan untuk mandi terlebih dahulu, sebelum ikut merebahkan diri bersama Ratu. Ia melepas dasi dan kemejanya, kemudian langsung melempar kemeja tersebut kedalam sebuah keranjang pakaian kotor yang berada di dalam kamar, sebab seperti itu lah yang selalu Ratu inginkan.

Dan tanpa berlama-lama, ia pun memasuki kamar mandi. Membersihkan seluruh tubuhnya, sembari memikirkan suatu hal yang memang selalu hinggap di dalam isi kepalanya.

Apa gue coba beli testpack aja kali ya? Daripada omongan Mama jadi beban pikiran kaya gini, batinnya.


Sebenarnya ini sama sekali bukan jam tidurnya. Tapi karena Jeffrey berniat untuk menemani Ratu tidur, maka ia sengaja langsung mengenakan piyama usai acara mandi beberapa menit yang lalu.

Jeffrey menoleh ke arah Ratu. Istrinya itu benar-benar tertidur dengan pulas. Bahkan posisinya tidak berubah sejak terakhir kali ia lihat.

Ia tersenyum, gemas batinnya. Kemudian Jeffrey menghambur ke atas ranjang, dan memeluk tubuh Ratu tanpa memberikan aba-aba, hingga membuat Ratu terbangun seketika.

“Aku udah pulang, udah mandi juga,” kata Jeffrey begitu melihat Ratu mengerjapkan matanya.

Alih-alih menjawab, Ratu memilih untuk kembali menutup matanya rapat-rapat dan menenggelamkan wajahnya pada dada milik suaminya itu.

Tak ada satu kalimat pun yang keluar. Ratu hanya sibuk menghirup oksigen dengan serakah di dalam dekapan hangat Jeffrey. Sementara Jeffrey yang diperlakukan seperti itu, tentu senang bukan main. Rasanya jarang sekali Ratu seperti itu.

Jeffrey mengusap-usap punggung Ratu dengan tangannya. Memberikan perasaan hangat serta nyaman bagi Ratu. Ah jangan lupakan bagaimana Jeffrey menghujani kening istrinya itu dengan kecupan manis yang datangnya terus menerus tanpa henti.

“Udah makan?” tanya Jeffrey.

Ratu hanya mengangguk.

“Kamu kena setan dimana ya? Masa jadi jinak gini, Ra?”

Detik selanjutnya sebuah cubitan maha dahsyat menyerang bagian samping perut Jeffrey. Membuat laki-laki itu memekik kaget.

“Dijaga ya mulutnya,” gumam Ratu, kemudian lanjut memeluk Jeffrey dengan erat.

“Sakit banget sumpah, bakal berbekas gue rasa.”

Mendengar perkataan itu, spontan Ratu melepas pelukannya dan mendudukkan dirinya seketika. Dengan gerakan terburu-buru, ia mengangkat piyama yang Jeffrey kenakan.

“Ihhh iya merah, Mas. Aku minta maaf—”

“Iya gapa—ANJING KOK NANGIS RA?!” tanya Jeffrey panik.

Ratu tak menjawab. Ia terus mengusap-usap satu spot pada pinggang Jeffrey yang tampak memerah karena ulahnya.

“Ra?!” Jeffrey menahan pundak Ratu, sebagai isyarat memerintahkan Ratu untuk berhenti.

Sembari menatap Jeffrey, Ratu mencebikkan bibirnya.

“Lo ngapain nangis?” tanya Jeffrey, sembari menahan tawa yang hendak keluar dari mulutnya.

Ini aneh. Wanita di hadapannya itu baru saja mencubitnya seperti biasa. Tapi kenapa kali ini ia menangis, seolah usai melakukan sebuah kesalahan yang fatal?

Ratu menggeleng lemah, “Gak tau ... gue cuman pengen nangis—,” jawabnya.

Sementara itu, raut wajah Jeffrey berubah menjadi serius dalam hitungan detik.

“Hamil kali ya?”

Kali ini Ratu menggeleng cepat, lalu memeluk Jeffrey dalam keadaan duduk. Ia terisak, lebih keras dari sebelumnya. Pertanyaan Jeffrey barusan kembali membuat Ratu sedih, sebab yang ia tahu, ia tengah kedatangan tamu bulanan sejak kemarin. Sebab Ratu tahu bahwa setelah kembali mengatakan hal itu, Jeffrey akan memasang wajah sedih dan hilang semangat seharian penuh.

Jeffrey membalas pelukan Ratu. Ia mengangguk paham atas apa maksud dari isakan Ratu.

Memiliki anak secepatnya memanglah keinginan Jeffrey. Tapi jika hal itu membebankan Ratu, dan membuat istrinya kesayangannya itu sampai stress—tentu saja Jeffrey lebih memilih untuk menunggu.

“Tidur lagi, yuk?” ajak laki-laki itu.

Jeffrey melepas pelukannya, lalu mengusap bekas air mata hingga cairan hidung milik Ratu menggunakan tangannya.

Tanpa menunggu persetujuan dari Ratu, ia merebahkan tubuh istrinya itu, dan kembali membawa Ratu ke dalam dekapannya.

“Ra, aku tau waktunya gak tepat buat ngomong gini sih—tapi aku takut lupa.” Jeffrey masih setia memeluk dan mengusap punggung Ratu.

“Ngomong aja,” lirih Ratu.

“Kamu ngerasa kalau dada kamu sizenya nambah gak?—aku ngerasa soalnya.”

Ratu menyalakan televisi, sembari menunggu kedatangan Jeffrey. Tak ada hal lain yang ia lakukan dalam seharian ini selain merebahkan diri, mandi, memainkan ponsel, dan menonton. Wanita itu bahkan belum sempat menelan sesuap nasi pun sejak pagi tadi. Hanya sepotong roti tawar, yang dipadukan dengan kental manis rasa vanila untuk mengisi perut di pagi hari.

Sebenarnya, ada banyak sekali stok makanan instan di dalam kulkas. Tapi entah kenapa, Ratu merasa jika hari ini tenaganya terkuras habis tanpa sebab. Alhasil, kini lambungnya terasa sangat perih.

Ratu menoleh begitu mendengar suara pintu yang terbuka dari luar. Ia beranjak dari sofa dengan malas.

“Pucet banget? Abis donor darah apa gimana?” cetus Jeffrey begitu netranya bertemu dengan netra sang istri.

Ratu geming. Alih-alih menyambut Jeffrey dengan semangat seperti biasanya—Ratu memilih untuk melempar tubuhnya sendiri kedalam pelukan Jeffrey. Beruntung Jeffrey dengan sigap menangkap tubuhnya, kalau tidak Ratu pasti sudah mendarat sempurna pada lantai kotor yang belum sempat ia pel sejak kemarin sore.

“Kenapa sih? Gak panas, tapi kok lemes banget?”

Ratu hanya menggeleng, lalu memeluk tubuh Jeffrey semakin erat. Selanjutnya, ia membenamkan wajahnya kedalam ceruk leher milik Jeffrey.

Dengan spontan Jeffrey ikut mengeratkan pelukannya. Membiarkan Ratu menghirup aroma tubuhnya dengan serakah, sambil terus mengusap punggung istrinya itu.

“Aku bawa lidah sapi loh. Tadi siapa yang katanya mau makan lidah sapi?”

Jeffrey melepaskan pelukannya, kemudian mengarahkan tangannya untuk mengusap lembut pipi hingga tengkuk Ratu. “Belum makan, Ra?”

Ratu mengangguk lemas. “Dari pagi.”

Mata Jeffrey membola seketika. “Wah udah gila lo.”

Jeffrey menarik tangan Ratu, tidak kasar tapi menuntut. Dibawanya wanita itu kearah meja makan, dan mendudukkan Ratu pada sebuah kursi kayu yang terletak pada salah satu sisi meja tersebut. “Perasaan gue tuh gak pernah pelit soal apapun, apalagi makanan. Bisa-bisanya lo gak makan seharian, padahal posisinya lo istri gue!” ungkap Jeffrey geram, sembari menyendok nasi kedalam piring yang baru saja ia ambil dari rak.

“Nih, makan! Jangan kaya orang susah!” seru Jeffrey, sementara Ratu hanya diam membisu.

Merasa tindakannya sudah cukup, Jeffrey memilih untuk melepaskan dasi, dan ikat pinggangnya. Bersiap untuk membersihkan tubuh, setelah pulang kerja. Kaki yang awalnya sudah berjalan meninggalkan dapur itu, tiba-tiba saja berhenti, tatkala ia menyadari bahwa tak ada pergerakan sedikitpun dari sang istri. Jeffrey menoleh, alih-alih melahap makanannya, Ratu justru menatap Jeffrey dengan tatapan yang sulit untuk diartikan.

Menyadari hal itu, Jeffrey kembali berjalan kearah meja makan demi menghampiri Ratu.

“Heh? Liat aku.” Jeffrey mengangkat dagu Ratu menggunakan tangannya. “Kamu kenapa?”

“Gapapa.”

“Terus kenapa gak di makan?” kata Jeffrey, matanya mengarah pada makanan di hadapan Ratu.

“Aku mau makan bareng,” lirih Ratu.

Jeffrey mengunci tatapan Ratu , mencari tahu sebenarnya apa yang salah dari istrinya itu, malam ini. Namun nihil.

“Aku gak tau kamu kenapa. Aku cuman tau kalau hari ini kamu gak enak badan. Selebihnya? Aku gak tau—”

“Pulang-pulang disambut sama kamu yang mukanya pucet aja udah bikin aku gak enak hati, Ra. Ditambah lagi, tau kalau kamu belum makan sama sekali.” Jeffrey menghela nafasnya dengan berat.

“Aku buat salah ya?” imbuhnya.

Ratu menggeleng.

“Terus kenapa?”

“Aku cuman mau ditemenin.”

Alis Jeffrey bertaut, “Aku kan udah disini. Aku cuman mau mandi sebentar, Ra. Ya? Badan aku kotor, kan dari luar seharian.”

Ratu membuang pandangannya, entah kenapa sebelumnya, semua baik-baik saja. Tapi setelah laki-laki dihadapannya itu pulang, ia justru merasakan rindu yang luar biasa kepada Jeffrey.

Selanjutnya ia menghela nafas panjang. Sebisa mungkin, Ratu mencoba menormalkan perasaannya.

“Yaudah, sana mandi.”

Jika biasanya Jeffrey akan bangun terlebih dahulu, kemudian bersiap untuk pergi ke kantor dengan cara mengendap-endap layaknya seorang maling, hanya karena khawatir membangunkan sang istri—maka hari ini kebalikannya, ia memilih untuk membangunkan Ratu pagi-pagi buta.

“Ra, bangun dong!” rengeknya, tak lupa sembari mengguncang-guncang tubuh Ratu dengan membabi buta.

Karena di luar sedang dilanda hujan berkapasitas sedang, ditambah lagi dengan minimnya pencahayaan sebab matahari benar-benar tertutup awan mendung pagi itu, Ratu memilih untuk tetap melanjutkan acara pura-pura tidurnya dan mengabaikan Jeffrey.

Namun Jeffrey tetaplah Jeffrey yang selalu ingin sesuatu berjalan seperti keinginannya. Lantas, meski dengan bersusah payah, sebab matanya masih sedikit berat—Jeffrey beranjak meraih benda apapun di dekatnya untuk dijadikan sebagai pentungan.

“RA BANGUN! AKU MAU DIBAWAIN BEKEL KAYA YANG LAINNYA!! RAAAA!” seru Jeffrey di tengah-tengah kegiatannya memukul-mukul bagian punggung sebuah gitar klasik, yang sebelumnya terpajang dengan apik di sudut ruangan.

Hingga Ratu yang merasa terusik pun, akhirnya memutuskan untuk menyerah. Membodohi seorang Jeffreyan adalah sebuah tindakan yang sia-sia.

“Diem, Jeff.”

Mendengar suara yang keluar dari mulut Ratu, Jeffrey menghentikan kegiatannya seketika. Ia beringsut meletakkan gitarnya dan lari menghambur ke arah Ratu yang masih setia berbaring di atas ranjang.

Ia memeluk perut Ratu, dan kepalanya bersandar pada dada istrinya itu, dengan nyaman. Seperti biasa, berpura-pura bertingkah gemas demi sesuatu, adalah bakat Jeffreyan.

“Aku mau bawa bekel, Ra. Masa Yudhis yang belum punya istri bisa ikutan trend, tapi aku enggak?”

Selanjutnya Jeffrey mengangkat kepalanya, memberikan Ratu sebuah tatapan paling melas dan diikuti dengan bibir mencebik yang sengajak ia buat-buat.

Ratu yang sudah hafal dengan trik suaminya itu, lantas menarik nafas panjang. Biasanya, jika tidak dituruti, Jeffrey akan merasa sakit hati kemudian murung seharian penuh.

Ya, seperti itulah sifat laki-laki 24 tahun yang tengah menempeli tubuhnya itu.

Kemudian dengan sangat terpaksa, Ratu mengiyakan. Entah apa yang akan ia masak pagi ini. Asalkan sudah bilang 'iya', maka semuanya beres, batin Ratu.

Jeffrey tidak memberi tanggapan apapun, dan masih setia memeluk tuh Ratu tanpa adanya celah untuk melepaskannya.

“Lepas dulu! Jadi dimasakin gak?!” tanya Ratu bersungut-sungut, dan dihadiahi gelengan kepala oleh Jeffrey.

“Cium aku dulu, Ra.”

“Udah minta dimasakin pagi-pagi, minta dicium juga. Banyak ma—”

Belum sempat Ratu menyelesaikan kalimatnya, Jeffrey lebih dulu mengecup singkat bibir Ratu.

“Bawel banget lo, yang ikhlas orang mah. Biar masuk surga!”

Ratu menatap Jeffrey yang tengah memainkan ponselnya. Sudah 2 hari sejak kedatangan mereka di pulau Bali, dan malam ini adalah malam terakhir mereka disana. Karena mau tidak mau, Jeffrey harus berada di kantor pada hari Seninnya.

Jeffrey sadar jika dirinya sedang ditatap, lantas membalas tatapan Ratu. Tangan kanannya menepuk-nepuk salah satu sisi ranjang yang masih kosong.

“Duduk sini, ngapain berdiri disitu?” kata Jeffrey.

Tanpa menjawab pertanyaan suaminya itu, Ratu berjalan menuju ranjang, dan mendudukan dirinya, lurus menghadap Jeffrey.

“Are you happy or tired?”

Pundak Ratu melemas seketika. Ia meraih tangan Jeffrey, dan membawa tangan itu untuk mengusap-usap pipinya sendiri.

Jeffrey terkekeh.

“Sebenernya happy—”

“Tapi?”

“Tapi capek banget, kakinya,” ungkap Ratu.

Jeffrey mengerti, mungkin karena Ratu lebih sering menghabiskan waktunya di dalam unit mereka. Maka bepergian jauh seperti ini pasti cukup menguras tenaganya.

“Maaf,” kata Jeffrey lirih.

“Buat apa?”

Selanjutnya laki-laki itu tersenyum culas, “Maaf soalnya aku gak punya kemampuan buat bawa pulau Bali ke apartemen kita.” Tawa Jeffrey mengakhiri kalimatnya, membuat Ratu mendengus sebal.

“Kamu tau gak? Kadang aku ngerasa kalau kamu sebenernya belum siap untuk jadi Papa—kadang juga sebaliknya.”

“Kenapa?”

“Karna tingkah lo lah! Apalagi emangnya?” serunya.

Kembali digenggamnya tangan Jeffrey. “Lo gak capek apa ya? Nyebelinnn teruss!” sambungnya.

Jeffrey menggeleng semangat. Kini giliran ia yang menggenggam tangan Ratu dengan sebelah tangannya, sementara yang satu lagi sibuk merapikan anak rambut milik wanita dihadapannya itu.

“Gue gak nyebelin, cuman ngajak lo bercanda.”

“Masa bercanda terus-terusan?”

“Gue pengen terus bercandain istri gue ini, biar dia terbiasa, dan kita sampai di titik dimana sense of humor kita berdua itu sama.”

“Lagian menurut gue, dengan bercanda dan ngegodain lo terus, bisa bikin kita berdua tetep deket, tanpa ngelakuin hubungan intim,” sambungnya.

Lantas nafas Ratu tercekat. Wajahnya berubah kemerahan. “Kok gitu? Itu teori darimana?”

“Dari gue,” Jeffrey cengengesan.

Ratu meringis, “Lo ... mau?”

“Apa, Ra?”

“Coba lagi?”

Sontak tawa Jeffrey memenuhi seluruh ruangan. Bahkan Ratu sempat berpikir, jika ada orang melintasi lorong kamar hotel mereka, pasti dapat mendengar tawa suaminya itu dengan jelas.

“Kenapa sih malah ketawa?!”

Jeffrey menggosok-gosok wajahnya dengan kedua telapak tangan. Raut wajah laki-laki itu nampak frustasi—berbanding terbalik dengan ekspresinya beberapa saat lalu.

Tak lama kemudian, terdengar suara hela nafas panjang. “Gue udah fix remed ya?” tanyanya dengan wajah nelangsa yang sengaja dibuat-buat.

Ratu menahan tawanya. Takut kalau-kalau tawanya nanti dapat melukai perasaan Jeffrey.

“Iya, jadi kamu mau remedial hari ini atau tidak sama sekali. Dik?” guraunya sembari mencubit pipi laki-laki dihadapannya itu.

Kurang dari 2 jam perjalanan mereka di jalur udara, namun entah kenapa tenggorokan Ratu seakan terlalu cepat mengering kali ini. Sebelumnya ia sudah menghabiskan 1 botol air mineral sendirian, dan saat ini netranya masih saja mengincar sesuatu yang tengah Jeffrey genggam ditangannya—sebotol air mineral lainnya.

Jeffrey yang semula sibuk melihat sekitar, sebab mereka menunggu seseorang yang Papa sebut-sebut sebagai tour guide mereka selama di Bali, akhirnya menoleh kearah Ratu tanpa diminta.

Laki-laki itu tertawa seketika. Melihat bagaimana suntuknya wajah Ratu pagi itu, dan jangan lupakan bibirnya yang terlihat lebih kering dari biasanya. Jeffrey akhirnya merangkul kepala Ratu kedalam pelukannya. Gemas. Dikecupnya pucuk kepala istrinya itu sebanyak 3 kali. Kemudian begitu ia melepaskan rangkulannya, Jeffrey langsung mengangkat botol air mineral di tangannya.

“Mau minum?”

Ratu mengangguk-angguk. Sudut bibirnya tertarik seketika. Kalau boleh jujur, sebenarnya ia selalu tidak habis pikir mengenai, bagaimana bisa laki-laki itu memiliki tingkat kepekaan yang luar biasa untuk hal-hal sesepele seperti ini, namun cenderung tidak peka terhadap hal-hal lain yang sering kali lebih penting menurut Ratu.

Jeffrey membuka tutup botol plastik yang sebenarnya dapat Ratu buka dengan sendirinya itu.

“Aku juga punya tangan, kalau kamu lupa.”

“Selagi ada gue, kenapa harus sendiri?” jawabnya.

Ratu terkekeh tak percaya mendengar jawaban Jeffrey. Selanjutnya, ia meraih botol tersebut dari tangan Jeffrey. “Iya Mas bucin,” kata Ratu singkat, lalu meneguk minumannya.

Baru saja usai dengan kegiatannya, tiba-tiba saja punggung tangan Jeffrey menyapu lembut area dagunya. Spontan Ratu memalingkan wajahnya.

“Pelan-pelan dong kalau minum, Mah. Jadi tumpah kemana-mana kan? Gimana sih Mama.”

“Anj— geli banget!”

Kurang dari 2 jam perjalanan mereka di jalur udara, namun entah kenapa tenggorokan Ratu seakan terlalu cepat mengering kali ini. Sebelumnya ia sudah menghabiskan 1 botol air mineral sendirian, dan saat ini netranya masih saja mengincar sesuatu yang tengah Jeffrey genggam ditangannya—sebotol air mineral lainnya.

Jeffrey yang semula sibuk melihat sekitar, sebab mereka menunggu seseorang yang Papa sebut-sebut sebagai tour guide mereka selama di Bali, akhirnya menoleh kearah Ratu tanpa diminta.

Laki-laki itu tertawa seketika. Melihat bagaimana suntuknya wajah Ratu pagi itu, dan jangan lupakan bibirnya yang terlihat lebih kering dari biasanya. Jeffrey akhirnya merangkul kepala Ratu kedalam pelukannya. Gemas. Dikecupnya pucuk kepala istrinya itu sebanyak 3 kali. Kemudian begitu ia melepaskan rangkulannya, Jeffrey langsung mengangkat botol air mineral di tangannya.

“Mau minum?”

Ratu mengangguk-angguk. Sudut bibirnya tertarik seketika. Kalau boleh jujur, sebenarnya ia selalu tidak habis pikir mengenai, bagaimana bisa laki-laki itu memiliki tingkat kepekaan yang luar biasa untuk hal-hal sesepele seperti ini, namun cenderung tidak peka terhadap hal-hal lain yang sering kali lebih penting menurut Ratu.

Jeffrey membuka tutup botol plastik yang sebenarnya dapat Ratu buka dengan sendirinya itu.

“Aku juga punya tangan, kalau kamu lupa.”

“Selagi ada gue, kenapa harus sendiri?” jawabnya.

Ratu terkekeh tak percaya mendengar jawaban Jeffrey. Selanjutnya, ia meraih botol tersebut dari tangan Jeffrey. “Iya Mas bucin,” kata Ratu singkat, lalu meneguk minumannya.

Baru saja usai dengan kegiatannya, tiba-tiba saja punggung tangan Jeffrey menyapu lembut area dagunya. Spontan Ratu memalingkan wajahnya.

“Pelan-pelan dong kalau minum, Mah. Jadi tumpah kemana-mana kan? Gimana sih Mama.”

“Anj— geli banget!”

Pukul 2 dini hari, Jeffrey baru saja menyelesaikan semua pekerjaan kantornya. Sebenarnya, tidak masalah kalaupun Jeffrey mengurus pekerjaan-pekerjaan itu dalam beberapa hari kedepan. Namun yang menjadi pertimbangan adalah, rencana liburannya dengan Ratu.

Rasanya sangat konyol jika harus membawa berkas-berkas penting selama perjalanan liburan. Oleh karena itu, Jeffrey sengaja menuntaskan semuanya dalam satu malam. Yah ... walaupun pada akhirnya harus merepotkan sang istri. Beruntung malam ini, Ratu sangat pengertian dan bertingkah seperti induk kucing yang sudah jinak.

Ratu memperhatikan bagaimana suaminya itu melamun hanya untuk mengumpulkan rasa kantuk.

Gemas. Melihat bagaimana mata Jeffrey menjadi sayu, serta bibir yang tanpa sengaja berpose mencebik. Ratu tersenyum.

“Mas?” tegur Ratu, membuyarkan lamunan Jeffrey.

Laki-laki itu menoleh, “Hmm?”

“Makasih.”

“Buat?

“Kamu sampai kaya gini, karna kita mau ke Bali ya?” Jelas sekali, tebakan Ratu tepat sasaran, membuat Jeffrey tersenyum kikuk.

Selanjutnya Ratu ikut merebahkan tubuh di samping Jeffrey. Sementara itu, Jeffrey langsung menggeser tubuhnya, enggan meninggalkan sedikit pun jarak diantara mereka.

“Sempit anjir, tempat lo masih lega banget tuh!” pekik Ratu dengan spontan.

Alih-alih merasa bersalah, Jeffrey justru terkekeh, kemudian memeluk Ratu dengan posesif di atas ranjang. Ratu dapat merasakan bagaimana hangatnya hembusan nafas Jeffrey, karna laki-laki itu tengah menenggelamkan wajah di ceruk lehernya.

“Gue kalau gak nikah sama lo, kalau liat lo nikah sama orang lain—bisa gila kayanya, Ra.”

“Hush!”

“Serius. Gue gak ngerti caranya suka sama perempuan lain, selain lo.” Jeffrey mengangkat wajahnya, kemudian mengecup dagu milik Ratu, dalam sekejap.

Ratu geming.

“Sebenernya lo bisa aja, dapetin yang seribu kali lebih baik dari gue. Tapi gak bakal gue biarin,” tutur Jeffrey, dan dibalas kekehan singkat oleh Ratu.

“Tidur, besok kerja.” Usai mengatakan hal tersebut, Ratu mengusap-usap lembut, mulai dari rambut hingga ke pipi Jeffrey, kemudian laki-laki itu terlelap hanya dalam hitungan detik.

“Lo ini ... umur berapa sih?” lirih Ratu disela-sela senyumnya.

Pukul 2 dini hari, Jeffrey baru saja menyelesaikan semua pekerjaan kantornya. Sebenarnya, tidak masalah kalaupun Jeffrey mengurus pekerjaan-pekerjaan itu dalam beberapa hari kedepan. Namun yang menjadi pertimbangan adalah, rencana liburannya dengan Ratu.

Rasanya sangat konyol jika harus membawa berkas-berkas penting selama perjalanan. Oleh karena itu, Jeffrey sengaja menuntaskan semuanya dalam satu malam. Yah ... walaupun pada akhirnya harus merepotkan sang istri. Beruntung malam ini, Ratu sangat pengertian dan bertingkah seperti induk kucing yang sudah jinak.

![]https://i.imgur.com/SsqsYwe.jpg

Ratu memperhatikan bagaimana suaminya itu melamun hanya untuk mengumpulkan rasa kantuk. Gemas. Melihat bagaimana mata Jeffrey menjadi sayu, serta bibir yang tanpa sengaja berpose mencebik. Ratu tersenyum.

“Mas?” tegur Ratu, membuyarkan lamunan Jeffrey.

Laki-laki itu menoleh, “Hmm?”

“Makasih.”

“Buat?

“Kamu sampai kaya gini, karna kita mau ke Bali ya?” Jelas sekali, tebakan Ratu tepat sasaran, membuat Jeffrey tersenyum kikuk.

Selanjutnya Ratu ikut merebahkan tubuh di samping Jeffrey. Sementara itu, Jeffrey langsung menggeser tubuhnya, enggan meninggalkan sedikit pun jarak diantara mereka.

“Sempit anjir, tempat lo masih lega banget tuh!” pekik Ratu dengan spontan.

Alih-alih merasa bersalah, Jeffrey justru terkekeh, kemudian memeluk Ratu dengan posesif di atas ranjang. Ratu dapat merasakan bagaimana hangatnya hembusan nafas Jeffrey, karna laki-laki itu tengah menenggelamkan wajah di ceruk lehernya.

“Gue kalau gak nikah sama lo, kalau liat lo nikah sama orang lain—bisa gila kayanya, Ra.”

“Hush!”

“Serius. Gue gak ngerti caranya suka sama perempuan lain, selain lo.” Jeffrey mengangkat wajahnya, kemudian mengecup dagu milik Ratu, dalam sekejap.

Ratu geming.

“Sebenernya lo bisa aja, dapetin yang seribu kali lebih baik dari gue. Tapi gak bakal gue biarin,” tutur Jeffrey, dan dibalas kekehan singkat oleh Ratu.

“Tidur, besok kerja.” Usai mengatakan hal tersebut, Ratu mengusap-usap lembut mulai dari rambut sampai ke pipi Jeffrey, hingga laki-laki itu terlelap hanya dalam hitungan detik saja.

“Lo ... umur berapa sih?” lirihnya.

Pukul 2 dini hari, Jeffrey baru saja menyelesaikan semua pekerjaan kantornya. Sebenarnya, tidak masalah kalaupun Jeffrey mengurus pekerjaan-pekerjaan itu dalam beberapa hari kedepan. Namun yang menjadi pertimbangan adalah, rencana liburannya dengan Ratu.

Rasanya sangat konyol jika harus membawa berkas-berkas penting selama perjalanan. Oleh karena itu, Jeffrey sengaja menuntaskan semuanya dalam satu malam. Yah ... walaupun pada akhirnya harus merepotkan sang istri. Beruntung malam ini, Ratu sangat pengertian dan bertingkah seperti induk kucing yang sudah jinak.

Ratu memperhatikan bagaimana suaminya itu melamun hanya untuk mengumpulkan rasa kantuk. Gemas. Melihat bagaimana mata Jeffrey menjadi sayu, serta bibir yang tanpa sengaja berpose mencebik. Ratu tersenyum.

“Mas?” tegur Ratu, membuyarkan lamunan Jeffrey.

Laki-laki itu menoleh, “Hmm?”

“Makasih.”

“Buat?

“Kamu sampai kaya gini, karna kita mau ke Bali ya?” Jelas sekali, tebakan Ratu tepat sasaran, membuat Jeffrey tersenyum kikuk.

Selanjutnya Ratu ikut merebahkan tubuh di samping Jeffrey. Sementara itu, Jeffrey langsung menggeser tubuhnya, enggan meninggalkan sedikit pun jarak diantara mereka.

“Sempit anjir, tempat lo masih lega banget tuh!” pekik Ratu dengan spontan.

Alih-alih merasa bersalah, Jeffrey justru terkekeh, kemudian memeluk Ratu dengan posesif di atas ranjang. Ratu dapat merasakan bagaimana hangatnya hembusan nafas Jeffrey, karna laki-laki itu tengah menenggelamkan wajah di ceruk lehernya.

“Gue kalau gak nikah sama lo, kalau liat lo nikah sama orang lain—bisa gila kayanya, Ra.”

“Hush!”

“Serius. Gue gak ngerti caranya suka sama perempuan lain, selain lo.” Jeffrey mengangkat wajahnya, kemudian mengecup dagu milik Ratu, dalam sekejap.

Ratu geming.

“Sebenernya lo bisa aja, dapetin yang seribu kali lebih baik dari gue. Tapi gak bakal gue biarin,” tutur Jeffrey, dan dibalas kekehan singkat oleh Ratu.

“Tidur, besok kerja.” Usai mengatakan hal tersebut, Ratu mengusap-usap lembut mulai dari rambut sampai ke pipi Jeffrey, hingga laki-laki itu terlelap hanya dalam hitungan detik saja.

“Lo ... umur berapa sih?” lirihnya.