Rumah Papa
Untuk beberapa saat, Jeffrey terdiam, kemudian melirik sang Mama yang masih setia melototinya. Sementara Papa tengah sibuk menenangkan istrinya itu.
“Mentang-mentang udah nikah, kamu lupa ya kalo masih punya orang tua?!” pekik Mama membuat Jemian lagi-lagi berjengit kaget.
“Udah Mah, udah. Masa anaknya main, malah dimaki-maki?” kata Papa disusul anggukan setuju oleh Jeffrey.
Sebenarnya kemarahan Mama siang itu, bukan tanpa sebab. Pemicunya adalah Jeffrey sendiri. Sudah puluhan kali Ratu mengajaknya untuk mengunjungi rumah Papa, namun Jeffrey selalu saja menolak. Takut ditanya perihal anak, katanya.
Kalau sudah begini, mau bagaimana lagi? Kalau tidak segera diajak berdamai, akan semakin repot nantinya, batin Jeffrey.
“Di kantor lagi hactic, Mah. Ini Mas tadinya cuman pengen nganterin mantu Mama. Minta diajarin bikin taman soal—akhh!” Tanpa aba-aba Ratu mencubit pinggang Jeffrey. Bisa-bisanya ia berbohong menggunakan nama istrinya.
Mama mengerutkan keningnya, “Kenapa?” tanya Mama.
“Enggak. Tadi kaya digigit semut.”
Selanjutnya Jemian yang sebelumnya tengah fokus menonton One Piece itu, kini ikut nimbrung dengan keempatnya.
“Iya tuh, Mba Ratu nanyain Mama terus ke Jemi. Mau belajar nanem janda bolong katanya,” timpal Jemian membuat Jeffrey dan Ratu, setengah mati menahan tawanya agar tidak keluar.
“Yang bener? Emang mantu Mama yang cantik ini, mau pelihara janda bolong?”
“Tanem Mah,” kata Papa.
“Iya, itu maksud Mama. Sama aja.”
Papa menggeleng frustasi.
“Iya, Mah. Lea mau coba ngerawat tanaman.”
Ratu tentu saja terpaksa, agar sang mertua tidak sakit hati. Senyum Mama mengembang, dan langsung beranjak dari tempat duduknya.
“Ayo sini. Nanti Mama kasih beberapa, buat kamu!” Kemudian dengan sekonyong-konyong, Mama menarik tangan Ratu penuh semangat. Seketika wanita paruh baya itu lupa dengan apa yang baru saja ia ributkan.
Begitu keduanya pergi, lantas Papa tertawa.
“Tumben kompak?” tanya Papa pada Jemian.
Alih-alih menjawab pertanyaan Papa, Jemian justru menatap Jeffrey dengan sorot mata berbinar. Hingga membuat Jeffrey keheranan.
“Apa?” tanya Jeffrey singkat, dengan sebelah alis yang terangkat.
“DP mobil Mass ... Papa seret!”
“Boong, mana mungkin Papa seret?” tuduh Jeffrey.
Lantas Papa melempari Jemian dengan bungkus permen jahe yang baru saja dilahapnya. “Adikmu itu minta Aston Martin!”
“Dulu Mas Jeffrey juga minta Aston Martin,” sahut Jemian.
“Dulu Mas Jeffrey tuh punya tabungan juga. Terus dia minta yang sesuai sama budget dia. Lah kamu udah asal sebut, maunya yang paling baru, Papa bayarin semuanya pula.”
“Papa gak ngerti kenapa anak jaman sekarang maunya mobil-mobil seharga seribu kontrakan begitu. Dulu jaman Papa, naik mobil kijang aja, udah bangga. Kamu itu anak Samuel, bukan anak presiden, Jem!”
Jeffrey tertawa renyah mendengar perkataan Papa barusan. Sebenarnya wajar saja di usia Jemian saat ini, ada banyak keinginan tak masuk akal dalam dirinya yang merujuk kearah hedonisme. Apalagi jika dilihat dari latar belakang keluarga mereka, sangat memungkinkan adiknya itu meminta sesuatu tanpa berpikir terlebih dahulu.
Tapi, yang namanya orang tua, tentu saja tidak menginginkan anaknya tumbuh dengan cara yang salah. Maka dari itu, Papa memilih untuk tidak menuruti keinginan Jemian. Beruntung Jemian tidak memaksa, ya walaupun tetap membahas hal yang sama selama beberapa hari kebelakang ini.
Dalam benak, Jeffrey menghangat. Membayangkan bagaimana nantinya jika ia dan Ratu memiliki seorang anak, dalam rumah tangga mereka. Tiba-tiba saja, muncul keinginan untuk menjadi orang tua yang luwes namun bisa tetap mengontrol anaknya, seperti halnya Papa. Meskipun Papa terkesan tidak pernah serius, tapi caranya mendidik anak-anaknya, patut diacungi jempol.
Jeffrey melempar kunci mobilnya keatas meja berlapis kaca di tengah-tengah mereka beriga.
“Ambil, pake punya Mas kalau mau,” kata Jeffrey singkat, kemudian dihadiahi pelukan membabi buta oleh Jemian.
“Mas Jeffrey emang paling top markotop! Yang lain beng beng!” seru Jemian, semangat.
“Tapi abis ini anterin Mas pulang dulu. Sekalian test drive.”
Jemian mengangguk patuh, sembari mengacungkan ibu jarinya.
Papa tersenyum, “Papa punya feeling yang kemarin itu ... pasti gol, Mas,” cetusnya.
Jemian mengernyit, “Apanya yang gol?”
“Anak kecil gak boleh tau.”