cakgrays

Untuk beberapa saat, Jeffrey terdiam, kemudian melirik sang Mama yang masih setia melototinya. Sementara Papa tengah sibuk menenangkan istrinya itu.

“Mentang-mentang udah nikah, kamu lupa ya kalo masih punya orang tua?!” pekik Mama membuat Jemian lagi-lagi berjengit kaget.

“Udah Mah, udah. Masa anaknya main, malah dimaki-maki?” kata Papa disusul anggukan setuju oleh Jeffrey.

Sebenarnya kemarahan Mama siang itu, bukan tanpa sebab. Pemicunya adalah Jeffrey sendiri. Sudah puluhan kali Ratu mengajaknya untuk mengunjungi rumah Papa, namun Jeffrey selalu saja menolak. Takut ditanya perihal anak, katanya.

Kalau sudah begini, mau bagaimana lagi? Kalau tidak segera diajak berdamai, akan semakin repot nantinya, batin Jeffrey.

“Di kantor lagi hactic, Mah. Ini Mas tadinya cuman pengen nganterin mantu Mama. Minta diajarin bikin taman soal—akhh!” Tanpa aba-aba Ratu mencubit pinggang Jeffrey. Bisa-bisanya ia berbohong menggunakan nama istrinya.

Mama mengerutkan keningnya, “Kenapa?” tanya Mama.

“Enggak. Tadi kaya digigit semut.”

Selanjutnya Jemian yang sebelumnya tengah fokus menonton One Piece itu, kini ikut nimbrung dengan keempatnya.

“Iya tuh, Mba Ratu nanyain Mama terus ke Jemi. Mau belajar nanem janda bolong katanya,” timpal Jemian membuat Jeffrey dan Ratu, setengah mati menahan tawanya agar tidak keluar.

“Yang bener? Emang mantu Mama yang cantik ini, mau pelihara janda bolong?”

“Tanem Mah,” kata Papa.

“Iya, itu maksud Mama. Sama aja.”

Papa menggeleng frustasi.

“Iya, Mah. Lea mau coba ngerawat tanaman.”

Ratu tentu saja terpaksa, agar sang mertua tidak sakit hati. Senyum Mama mengembang, dan langsung beranjak dari tempat duduknya.

“Ayo sini. Nanti Mama kasih beberapa, buat kamu!” Kemudian dengan sekonyong-konyong, Mama menarik tangan Ratu penuh semangat. Seketika wanita paruh baya itu lupa dengan apa yang baru saja ia ributkan.

Begitu keduanya pergi, lantas Papa tertawa.

“Tumben kompak?” tanya Papa pada Jemian.

Alih-alih menjawab pertanyaan Papa, Jemian justru menatap Jeffrey dengan sorot mata berbinar. Hingga membuat Jeffrey keheranan.

“Apa?” tanya Jeffrey singkat, dengan sebelah alis yang terangkat.

“DP mobil Mass ... Papa seret!”

“Boong, mana mungkin Papa seret?” tuduh Jeffrey.

Lantas Papa melempari Jemian dengan bungkus permen jahe yang baru saja dilahapnya. “Adikmu itu minta Aston Martin!”

“Dulu Mas Jeffrey juga minta Aston Martin,” sahut Jemian.

“Dulu Mas Jeffrey tuh punya tabungan juga. Terus dia minta yang sesuai sama budget dia. Lah kamu udah asal sebut, maunya yang paling baru, Papa bayarin semuanya pula.”

“Papa gak ngerti kenapa anak jaman sekarang maunya mobil-mobil seharga seribu kontrakan begitu. Dulu jaman Papa, naik mobil kijang aja, udah bangga. Kamu itu anak Samuel, bukan anak presiden, Jem!”

Jeffrey tertawa renyah mendengar perkataan Papa barusan. Sebenarnya wajar saja di usia Jemian saat ini, ada banyak keinginan tak masuk akal dalam dirinya yang merujuk kearah hedonisme. Apalagi jika dilihat dari latar belakang keluarga mereka, sangat memungkinkan adiknya itu meminta sesuatu tanpa berpikir terlebih dahulu.

Tapi, yang namanya orang tua, tentu saja tidak menginginkan anaknya tumbuh dengan cara yang salah. Maka dari itu, Papa memilih untuk tidak menuruti keinginan Jemian. Beruntung Jemian tidak memaksa, ya walaupun tetap membahas hal yang sama selama beberapa hari kebelakang ini.

Dalam benak, Jeffrey menghangat. Membayangkan bagaimana nantinya jika ia dan Ratu memiliki seorang anak, dalam rumah tangga mereka. Tiba-tiba saja, muncul keinginan untuk menjadi orang tua yang luwes namun bisa tetap mengontrol anaknya, seperti halnya Papa. Meskipun Papa terkesan tidak pernah serius, tapi caranya mendidik anak-anaknya, patut diacungi jempol.

Jeffrey melempar kunci mobilnya keatas meja berlapis kaca di tengah-tengah mereka beriga.

“Ambil, pake punya Mas kalau mau,” kata Jeffrey singkat, kemudian dihadiahi pelukan membabi buta oleh Jemian.

“Mas Jeffrey emang paling top markotop! Yang lain beng beng!” seru Jemian, semangat.

“Tapi abis ini anterin Mas pulang dulu. Sekalian test drive.”

Jemian mengangguk patuh, sembari mengacungkan ibu jarinya.

Papa tersenyum, “Papa punya feeling yang kemarin itu ... pasti gol, Mas,” cetusnya.

Jemian mengernyit, “Apanya yang gol?”

“Anak kecil gak boleh tau.”

Untuk beberapa saat, Jeffrey terdiam, kemudian melirik sang Mama yang masih setia melototinya. Sementara Papa tengah sibuk menenangkan istrinya itu.

“Mentang-mentang udah nikah, kamu lupa ya kalo masih punya orang tua?!” pekik Mama membuat Jemian lagi-lagi berjengit kaget.

“Udah Mah, udah. Masa anaknya main, malah dimaki-maki?” kata Papa disusul anggukan setuju oleh Jeffrey.

Sebenarnya kemarahan Mama siang itu, bukan tanpa sebab. Pemicunya adalah Jeffrey sendiri. Sudah puluhan kali Ratu mengajaknya untuk mengunjungi rumah Papa, namun Jeffrey selalu saja menolak. Takut ditanya perihal anak, katanya.

Kalau sudah begini, mau bagaimana lagi? Kalau tidak segera diajak berdamai, akan semakin repot nantinya, batin Jeffrey.

“Di kantor lagi hactic, Mah. Ini Mas tadinya cuman pengen nganterin mantu Mama. Minta diajarin bikin taman soal—akhh!” Tanpa aba-aba Ratu mencubit pinggang Jeffrey. Bisa-bisanya ia berbohong menggunakan nama istrinya.

Mama mengerutkan keningnya, “Kenapa?” tanya Mama.

“Enggak. Tadi kaya digigit semut.”

Selanjutnya Jemian yang sebelumnya tengah fokus menonton One Piece itu, kini ikut nimbrung dengan keempatnya.

“Iya tuh, Mba Ratu nanyain Mama terus ke Jemi. Mau belajar nanem janda bolong katanya,” timpal Jemian membuat Jeffrey dan Ratu, setengah mati menahan tawanya agar tidak keluar.

“Yang bener? Emang mantu Mama yang cantik ini, mau pelihara janda bolong?”

“Tanem Mah,” kata Papa.

“Iya, itu maksud Mama. Sama aja.”

Papa menggeleng frustasi.

“Iya, Mah. Lea mau coba ngerawat tanaman.”

Ratu tentu saja terpaksa, agar sang mertua tidak sakit hati. Senyum Mama mengembang, dan langsung beranjak dari tempat duduknya.

“Ayo sini. Nanti Mama kasih beberapa, buat kamu!” Kemudian dengan sekonyong-konyong, Mama menarik tangan Ratu penuh semangat. Seketika wanita paruh baya itu lupa dengan apa yang baru saja ia ributkan.

Begitu keduanya pergi, lantas Papa tertawa.

“Tumben kompak?” tanya Papa pada Jemian.

Alih-alih menjawab pertanyaan Papa, Jemian justru menatap Jeffrey dengan sorot mata berbinar. Hingga membuat Jeffrey keheranan.

“Apa?” tanya Jeffrey singkat, dengan sebelah alis yang terangkat.

“DP mobil Mass ... Papa seret!”

“Boong, mana mungkin Papa seret?” tuduh Jeffrey.

Lantas Papa melempari Jemian dengan bungkus permen jahe yang baru saja dilahapnya. “Adikmu itu minta Aston Martin!”

“Dulu Mas Jeffrey juga minta Aston Martin,” sahut Jemian.

“Dulu Mas Jeffrey tuh punya tabungan juga. Terus dia minta yang sesuai sama budget dia. Lah kamu udah asal sebut, maunya yang paling baru, Papa bayarin semuanya pula.”

“Papa gak ngerti kenapa anak jaman sekarang maunya mobil-mobil seharga seribu kontrakan begitu. Dulu jaman Papa, naik mobil kijang aja, udah bangga. Kamu itu anak Samuel, bukan anak presiden, Jem!”

Jeffrey tertawa renyah mendengar perkataan Papa barusan. Sebenarnya wajar saja di usia Jemian saat ini, ada banyak keinginan tak masuk akal dalam dirinya yang merujuk kearah hedonisme. Apalagi jika dilihat dari latar belakang keluarga mereka, sangat memungkinkan adiknya itu meminta sesuatu tanpa berpikir terlebih dahulu.

Tapi, yang namanya orang tua, tentu saja tidak menginginkan anaknya tumbuh dengan cara yang salah. Maka dari itu, Papa memilih untuk tidak menuruti keinginan Jemian. Beruntung Jemian tidak memaksa, ya walaupun tetap membahas hal yang sama selama beberapa hari kebelakang ini.

Dalam benak, Jeffrey menghangat. Membayangkan bagaimana nantinya jika ia dan Ratu memiliki seorang anak, dalam rumah tangga mereka. Tiba-tiba saja, muncul keinginan untuk menjadi orang tua yang luwes namun bisa tetap mengontrol anaknya, seperti halnya Papa. Meskipun Papa terkesan tidak pernah serius, tapi caranya mendidik anak-anaknya, patut diacungi jempol.

Jeffrey melempar kunci mobilnya keatas meja berlapis kaca di tengah-tengah mereka beriga.

“Ambil, pake punya Mas kalau mau,” kata Jeffrey singkat, kemudian dihadiahi pelukan membabi buta oleh Jemian.

“Mas Jeffrey emang paling top markotop! Yang lain beng beng!” seru Jemian, semangat.

“Tapi abis ini anterin Mas pulang dulu. Sekalian test drive.”

Jemian mengangguk patuh, sembari mengacungkan ibu jarinya.

Papa tersenyum, “Papa punya feeling yang kemarin itu ... pasti gol,” cetusnya.

Jemian mengernyit, “Apanya yang gol?”

“Anak kecil gak boleh tau.”

Jeffrey menggenggam tangan mungil Ratu sembari menyetir kemudi mobil. Sesekali ia mengecup punggung tangan istrinya itu, dengan senyuman yang terus mengembang sejak tadi pada wajahnya.

“Bisa biasa aja gak?” tanya Ratu, jengah.

“Ini biasa aja,” jawab Jeffrey.

Ratu berdecak kesal, “Biasa apanya? Kamu tuh cium tangan aku, tiap menit!”

“Emangnya kenapa sih? Ada masalah sama cium tangan? Aku cium tangan kamu, ya karna kamu istri aku. Lagian kalau aku cium tangan Matius kan gak mungkin, Ra,” tutur Jeffrey tanpa menghadap Ratu. Netranya tetap fokus menatap jalanan didepannya.

Ratu menghela nafas panjang, “Tangan gue basah!”

Mendengar itu, lantas Jeffrey melirik Ratu dengan wajah kesal yang sengaja dibuat-buat.

“Yang bener aja? Orang cuman dicium, bukan dijilat!” sungut Jeffrey, dan dibalas dengan tawa renyah khas milik Ratu.

Mobil Jeffrey melaju dengan kecepatan sedang, membelah keramaian jalanan kota Jakarta pagi itu. Minimnya awan, membuat sinar matahari terik menyoroti Jalanan. Untungnya kondisi kota Jakarta belakangan ini sangat bersahabat.

“Mau makan dimana, Ra?” Jeffrey kembali membuka suara.

“Sekalian aja di rumah Mama.” Laki-laki itu mengangguk-angguk.

Selang beberapa menit setelahnya, mobil Jeffrey memasuki pekarangan rumah mewah bergaya klasik milik orang tuanya. Rasanya belum penuh satu bulan, sejak terakhir kali dirinya dan Ratu mengadakan after party di halaman rumah tersebut, kini tatanannya sudah banyak yang berubah. Maklum, sang Mama hobi sekali mendekorasi taman. Konon kata Mama, menata taman adalah healing paling bersahabat dengan kantong. Nyatanya hampir setiap pagi di hari weekend, wanita paruh baya itu membeli tanaman, dan hiasan baru, bernilai belasan juta untuk taman tersebut.

Ratu bersiap untuk turun dari mobil, namun sebelum itu, Jeffrey lebih dahulu menahan lengannya.

“Kenapa?” tanya Ratu.

“Nanti kalau Mama bahas anak, bilang aja aku belum siap.”

“Kok gitu? Kenapa boong?”

“Biar Mama gak bawel, Ra.”

Ratu meraih tangan Jeffrey, kemudian digenggamnya erat-erat. “Kamu mau punya anak kan?”

Jeffrey mengangguk.

“Kita udah usaha, selebihnya terserah Tuhan aja. Aku akan bilang gitu ke Mama. Toh kita nikahnya juga masih baru, aku yakin Mama gak bakal nuntut, justru kalau Mama tau, kita bisa minta doa sama dia. Doa orang tua tuh manjur loh, Mas.”

Kemudian Jeffrey menarik sudut bibirnya. Semua yang istrinya itu katakan memang ada benarnya. Ia terlalu berprasangka buruk terhadap sang Mama, tanpa disadari ia terlalu berprasangka buruk terhadap sang Mama.

Tangannya bergerak untuk mengelus rambut Ratu, lalu mencium keningnya istrinya itu sebentar.

“Gue gak salah pilih istri ternyata,” ujarnya secara terang-terangan.

Ratu naik keatas ranjang, dan tanpa memberi aba-aba, ia bersandar di pundak Jeffrey. Suaminya yang tengah menonton acara televisi itu, lantas mengalihkan perhatiannya.

Selanjutnya Jeffrey mematikan televisi, dan mulai fokus memandangi wajah Ratu dalam minimnya pencahayaan kamar. Dengan hati-hati ia memijit kening Ratu, lantaran istrinya itu nampak seolah kehabisan daya malam ini.

“Kenapa, Ra?” tanya Jeffrey, membuat wanita itu mendongakkan kepalanya.

“Mas, menurut kamu ... nikah sama sahabat sendiri tuh gimana??”

“Hmm ... kalau menurut aku ya, oke sih. Luar biasa spektakuler hahaha. Bahkan kaya lebih seru tau, Ra. Karna ketika kita nikah sama orang yang bisa jadi sahabat buat diri kita tuh rasanya berkali-kali lipat lebih menyenangkan. Tau gak kenapa?”

“Kenapa?”

“Nikah tuh komitmen seumur hidup. Sementara perasaan sayang dan cinta biasanya ada limitnya.”

Ratu mengangkat alisnya, “Terus?”

“Banyak orang yang masih pacaran di luaran sana, akhirnya sampai juga di titik putus. Kalau sahabatan, emangnya bisa putus?”

Hening, Jeffrey menarik nafasnya.

“Kalau sahabatan bisa putus, mungkin sekarang lo sama gue udah hidup masing-masing kali,” tuturnya.

Ratu berdehem singkat, “Jadi alesan lo nikahin gue, karna kita sahabatan?”

“Salah.”

“Terus karna apa?”

“Karna gue cari teman hidup, bukan sekedar istri, dan feeling gue bilang kalau lo orangnya.”

Setelah mendengar perkataan Jeffrey, Ratu tersenyum cerah, “Lo kalau tiap hari kaya gini, bawaannya adem deh. Gue suka,” kata Ratu.

“Gini gimana?”

“Cara ngomong lo barusan kaya orang cerdas.”

“Emang cerdas, Ra!” sungut Jeffrey seketika.

Disinilah Jeffrey sekarang. Berdiri tepat dihadapan Ratu yang tengah menyambutnya di depan pintu. Senyum laki-laki itu merekah, setelah hampir sebulan menjalani kehidupan pernikahan, ini kali pertama sang istri menyambut kepulangannya dengan hangat.

Jeffrey melangkah masuk, sembari menarik pinggang ramping milik Ratu, kemudian mengecup keningnya sebanyak tiga kali. Entah apa maksudnya.

Terdengar helaan nafas lega.

“Widih, situ capek banget nih kayanya.”

Jeffrey pun menjatuhkan jas kerjanya, serta melempar kunci mobil yang sebelumnya ia genggam ke sembarang arah, hingga benda logam itu menimbulkan dentingan yang lumayan keras.

Selanjutnya secara tiba-tiba ia memeluk tubuh Ratu. Tidak memaksa, namun cukup erat. Jeffrey menyandarkan kepalanya di atas kepala Ratu, sementara wanita itu hanya pasrah saja, sembari memberikan usapan lembut pada punggung Jeffrey.

“Mas Jeffie mau ngeteh?” tanya Ratu, lembut.

Jeffrey menggeleng, membuat Ratu terkekeh gemas. “Terus Mas Jeffie mau apa?”

“Ra ... maafin aku ya, kalau kemarin-kemarin aku bikin kamu stress.” Jeffrey mengeratkan pelukannya.

Ratu mendesah. Datang lagi Jeffrey yang seperti ini. Jeffrey yang overthinkingnya seringkali mengalah-ngalahi para gadis remaja di luaran sana. Perlahan-lahan Ratu melepas pelukannya, khawatir kalau-kalau Jeffrey ngambek lagi, seperti biasanya.

“Kamu tau gak? Orang tua dulu, suka bilang kalau abis dari luar tuh mandi dulu. Biar seger, hawanya enak. Bukan kaya gini, masa pulang-pulang langsung ngajak deeptalk?!” tutur Ratu. Kedua tangannya sibuk bermain-main di area wajah Jeffrey.

“Orang tuanya siapa yang bilang?” sahut Jeffrey dan dibalas kekehan oleh Ratu.

“Aku serius!”

“Yaudah aku mandi dulu deh. Tapi abis itu kita lanjutin!”

“Lanjutin apa?”

“Deeptalk!”

“Abis itu makan!” kata Ratu dengan bersungut-sungut.

Bukannya apa. Jeffrey seringkali melupakan kegiatan makan malam seperti barusan. Asalkan tidur sembari dipeluk sang istri, ia kuat menahan lapar katanya. Padahal jelas-jelas Jeffrey sadar bahwa ia memiliki penyakit maag.

“Pulang kerja tuh mandi, terus makan, abis it—

Belum selesai dengan ucapannya, Jeffrey lebih dahulu mengecup bibir Ratu kemudian nyelonong begitu saja kedalam kamar mandi, membuat sang empunya memekik kesal. “Itu bibir lo main sat set sat set aja?! Gak sopan!”

“APA RA? AKU GAK DENGER! TOLONG BAWAIN HANDUK AKU DONG.”


Ratu memandang Jeffrey yang tengah berdiri sesaat setelah menghabiskan makanannya. Dalam hati Ratu mengucap syukur berkali-kali, untung saja ia dan laki-laki itu sudah berbaikan.

Membayangkan seorang Jeffrey yang setinggi itu, serta beberapa otot yang nampak timbul pada bagian tubuhnya, Ratu dibuat ngeri sendiri. Ya walaupun jelas-jelas Jeffrey tidak mungkin melakukan hal-hal yang akan melukainya, tapi tetap saja.

Ratu menggeleng kuat-kuat, lantas meneguk ludahnya, dan tersenyum. Sebisa mungkin ia mengahapus pikiran itu, dan terlihat biasa saja didepan suaminya itu.

“Mau tidur?”

“Mau deeptalk anjir, tadikan janjinya gitu!”

Ratu tertawa seketika. Jeffrey yang sedang dalam mode gemas seperti ini, tidak ada tandingannya.

“Yaudah, lo mau bahas apa sih emangnya?” Ditatapnya wajah Jeffrey. Kedua netra Ratu lurus kepadanya.

“Gendong aku ke kamar, Ra.”

Ratu menarik nafas, “Udah gila ya?” Sementara Jeffrey hanya memberikan senyum bodoh sebagai respon.

Laki-laki itu kembali mendudukkan dirinya.

“Mas yang bener dong, jadi apa enggak?!”

“Duduk sini.” Jeffrey menepuk pahanya, membuat Ratu refleks mengangkat sebelah alis.

Alih-alih menuruti perintah suaminya itu, Ratu justru menarik sebuah kursi, “Disini aja.”

Raut wajah Jeffrey berubah seketika, ia nampak lebih serius kali ini. Tanpa mengatakan apapun, sorot mata Jeffrey seolah memberi perintah paten bagi Ratu agar duduk dipangkuannya itu.

Mau tidak mau Ratu beralih tempat duduk. Ia menuruti kemauan Jeffrey. Dengan hati-hati Ratu duduk di atas pangkuan Jeffrey, tapi bukan menghadapnya, melainkan duduk dengan posisi menyerong.

Sebenarnya Jeffrey sama sekali tidak bermaksud macam-macam pada istri 'macannya' itu. Ia hanya ingin memeluk tubuh Ratu. Tangan Jeffrey melingkar erat, di perut Ratu. Sementara kepalanya bersandar pada pundak sebelah kanan milik wanita itu.

“Aku gak jadi liat akun gembokan kamu.”

Sejenak Ratu bingung harus menjawab apa.

“Itu privasi kamu,” tambah Jeffrey.

“Tapi aku buka akun gembokan kamu, Mas. Jadi, aku gak masalah kalau kamu mau liat punyaku juga.”

Jeffrey menggeleng-geleng. “Enggak. Aku gak perlu liat akun itu, Ra. Aku maunya mulai sekarang, kita berdua sama-sama saling terbuka satu sama lain. Aku nyesel soal masalah kemarin.”

“Aku nyesel, kita punya banyak waktu berduaan tapi gak pernah dimanfaatin sebaik-baiknya.”

Ratu mengangguk setuju dengan perkataan Jeffrey.

“Ternyata waktu empat belas tahun yang udah kita lewatin itu, masih belum cukup, Ra.”

Memang benar, dalam menjalani kehidupan pernikahan, ada begitu banyak aspek yang perlu diperhatikan. Sudah tumbuh bersama dan saling mengenal sejak lama saja belum cukup. Karena menikah bukan hanya perihal hidup bersama selamanya.

“Iya, aku juga maunya kamu kalau ada apa-apa bilang. Kalau ngerasa apa-apa juga bilang. Pokoknya kita berdua jangan sampai nih, overthinking masing-masing kaya kemarin. Akhirnya jadi salah paham, terus berantem,” ajak Ratu. Tangannya sembari menepuk-nepuk punggung tangan Jeffrey dengan lembut.

Ratu mendapati telinga suaminya itu memerah seketika, “Kenapa?”

“Gue kaya ... pengen nyosor setiap kali liat bibir lo kalau lagi ngomong.”

Sontak Ratu beranjak dari pangkuan Jeffrey, “IH SUMPAH YA GUE LAKBAN BIBIR LO LAMA-LAMA!”

Nyaris tidak ada suara langkah kaki yang laki-laki itu keluarkan. Ia berjalan perlahan-lahan sembari menahan tubuhnya agar tidak sempoyongan menuju sebuah unit apartemen yang letaknya sekitar 10 meter lagi darinya.


Jeffrey memijit batang hidungnya. Setelah perdebatan sengit antara dirinya dan Ratu kemarin pagi, pikiran Jeffrey menjadi kalut. Ia butuh sedikit alcohol untuk menenangkan diri. Lantas, sepulang dari acara seminar yang ia hadiri, Jeffrey memutuskan untuk pergi menemui temannya—Yudhis. Pasalnya Yudhis bak bandar minuman keras yang sering kali muncul di film-film. Dia punya lebih dari seribu satu botol minuman keras dengan berbagai merk terkenal. Ya setidaknya itu yang Jeffrey tau.

Sebelumnya Jeffrey berniat untuk pergi ke sebuah club malam, di tengah keramaian kota Jakarta. Namun begitu memarkirkan mobilnya, Jeffrey dapat melihat ada begitu banyak wanita berpakaian seksi yang masuk kedalam sana. Nyalinya menciut seketika. Batinnya ketakutan membayangkan kalau-kalau ia melakukan sebuah kebodohan yang dapat menyebabkan dirinya kehilangan Ratu di kemudian hari. Kemudian karena perasaan itu, ia buru-buru menancapkan gas untuk segera pergi dari sana.


Langkah Jeffrey terhenti. Ia memasukan beberapa angka untuk membuka pintu unit apartemennya.

Meski toleransi Jeffrey pada alkohol cukup tinggi, tapi malam itu ia cukup berantakan. Rambut serta dasi yang sudah tidak berbentuk, ditambah lagi bau alkohol yang begitu menyengat, membuat Ratu panik setengah mati begitu menyambut kedatangan Jeffrey.

“Yudhisnya mana?” tanya Ratu. Ia hanya melihat seorang Jeffreyan yang muncul dari balik pintu. Seingatnya, tadi Jeffrey mengatakan bahwa dirinya akan pulang diantar Yudhis.

Tak ada jawaban.

Jeffrey sekonyong-konyong meninggalkan Ratu, menuju kamar mereka. Laki-laki itu menjatuhkan tubuhnya pada sebuah sofa yang letaknya berada tepat di bagian depan tempat tidur.

Matanya terpejam, dan nafasnya teratur. Berbanding terbalik dengan Ratu yang detak jantungnya bergemuruh kencang melihat suaminya yang seperti itu.

“Yudhisnya mana?” tanya Ratu sekali lagi.

“Gak ada. Gue pulang sendiri.” Tanpa berniat membuka matanya, Jeffrey menjawab pertanyaan Ratu.

Hening. Sesaat kemudian, terdengar suara nafas yang terkesan sangat sesak. Sontak Jeffrey membuka matanya, dan menoleh kebelakang. Sorot matanya mendapati Ratu yang tengah terduduk di tepi ranjang dengan mata berkaca-kaca.

“Kenapa?”

Alih-alih menjawab, Ratu justru mengerutkan keningnya, hingga sepersekian detik Jeffrey tersadar bahwa istrinya itu tengah menahan sebuah air mata yang hendak keluar.

Seperti halnya pemadam kebakaran yang mendengar sebuah alarm kebakaran, Jeffrey beringsut dari tempat duduknya. Membawa Ratu masuk kedalam dekapannya. Ya, mau sekesal apapun seorang Jeffreyan terhadap Ratu, ia tidak akan membiarkan istrinya itu menangis sendirian dihadapannya.

“Katanya pulang sama Yudhis?”

“Lo kangen sama dia atau gimana? Nanyain Yudhis terus.”

“Bego banget, capek. Lo bisa mati, kalau teler pas nyetir!” seru Ratu, membuat Jeffrey terkekeh seketika.

Masih dalam posisi berpelukan. Jeffrey menghirup aroma tubuh Ratu dengan serakah. Berkali-kali ia mengecup pundak Ratu yang hanya dilapisi dengan piyama tipis berwarna putih miliknya. “Gue udah pecat dia, Ra.” Lirih Jeffrey.

Ratu mengangguk dalam pelukan Jeffrey.

“Sumpah demi Tuhan, dia gak pernah ngirimin foto bugil—

—Gue juga gak akan tertarik sama dia, Ra.”

Lagi-lagi Ratu hanya membalas perkataan Jeffrey dengan anggukan.

“Lo udah kepalang benci ya sama gue?” cicit Jeffrey, dengan nada memelas.

Ratu menggeleng, “Gue baca akun gembokan lo,” kata Ratu.

Selanjutnya Jeffrey lebih dulu melepaskan pelukan mereka. Matanya membola tak percaya, “Demi apa?—Lo baca darimana sampai mana, Ra?!”

Ratu menarik nafas dalam-dalam. Tangannya terulur menyentuh kening Jeffrey, kemudian mengusap rambut suaminya itu dengan lembut. Sorot mata, serta raut wajah Ratu tampak lebih hangat dari sebelumnya.

“Gue cemburu kok. Cemburu banget sampai gak tau gimana cara nyampein ke lo selain marah-marah. Emangnya istri mana yang gak cemburu kalau suaminya digodain sama cewek lain, Jeff? Tapi di lain sisi, gue terbiasa tahan semua rasa cemburu gue dari dulu, dan baru meledak aja hari ini. Gue minta maaf, gara-gara itu lo jadi overthinking. Gue gak nikah atas dasar kasihan Jeff. Udah gila lo mikir kaya gitu!” tutur Ratu.

Tangannya kini beralih pada pipi Jeffrey. Diusapnya pipi itu, hingga Jeffrey merasa terlena.

“Gue gak pernah ngerasa najis sama sentuhan fisik dari lo, Jeffreyan!” Dengan gemas, kedua tangan Ratu membekap pipi Jeffrey. “Gue suka.”

Jeffrey geming.

“Terus satu lagi ... maaf karna udah nuduh lo yang eng—”

Belum sempat Ratu menyelesaikan kalimatnya, bibir Jeffrey lebih dahulu mendarat di atas bibirnya. Sementara tangan laki-laki menahan tengkuknya dengan kuat.

Sedetik, lima detik, sepuluh detik Jeffrey masih setia menyesap bibir Ratu. Bahkan kini Ratu dapat menyesuaikan deru nafas suaminya itu.

Ratu merasakan ada sesuatu yang mengalir di wajahnya, lalu dengan sekali tepukan pada pundak Jeffrey, laki-laki itu langsung menarik wajahnya.

Tawa Ratu menggelegar seketika, sesaat setelah ia melihat wajah Jeffrey. “Aneh banget masa malah nangis?!” ledeknya, sementara Jeffrey hanya mencebikkan bibir.

“Gak mau ribut lagi, Ra. Aku minta maaf.” Jeffrey menarik tangan Ratu, kemudian mengecup punggung, dan telapak tangannya berkali-kali.

Mendengar permintaan Jeffrey yang satu itu, Ratu tersenyum. “Aku juga gak mau.”

Selanjutnya Jeffrey beranjak, mengecup kening istrinya itu. “Aku mandi dulu sebentar, abis itu kita tidur,” ucap Jeffrey. Namun Ratu justru menarik tangannya.

Jeffrey menaikan sebelah alisnya, “Kenapa?”

“Lakuin apa yang lo mau sekarang, Jeff.”

“Maksudnya?”

“Lo tau maksud gue apa.”

Jeffrey menatap Ratu lamat-lamat. Ia tidak menemukan ekspresi candaan di wajah cantik istrinya itu. Nampak jelas bahwa Ratu tengah serius dengan apa yang baru saja keluar dari mulutnya.

“Gue lagi gak punya cukup kesadaran buat nahan nafsu malem ini, Ra. Jadi tolong jangan mancing-mancing, kalau lo gak mau nyesel nantinya.” Jeffrey memberikan peringatan.

Ratu menggeleng. Tangan kanannya masih setia menggenggam tangan Jeffrey, sementara tangan kirinya perlahan-lahan membuka satu persatu kancing piyama yang ia kenakan. Membuat Jeffrey menyeringai dalam remangnya pencahayaan kamar mereka. Seringai yang mampu membuat bulu kuduk Ratu berdiri seketika.

Lantas dengan kasar tangan Jeffrey menyambar dagu Ratu. Hanya dengan melihat tatapan Jeffrey, Ratu merasa tengah ditelanjangi oleh laki-laki itu.

Jeffrey mendekat wajahnya, ia semakin mengunci pandangan Ratu. “Gue mau kita ngelakuin itu sambil buka mata, bisa kan? Buat pastiin kalau kita sama-sama ngelakuinnya dalam keadaan sadar.” bisik Jeffrey.

Bukan hanya sorot matanya, namun nada bicara serta aura Jeffrey ikut berubah. Detak jantung dan deru nafas Ratu saling memburu seketika.

“Lo sadar?”

“Iya.”

“Mana yang lebih ringan, kapas 100 kg atau besi 100 kg?”

Jeffrey tertawa remeh, “Lo. Lo lebih ringan, soalnya cuman 46 kg. Bisa dimulai sekarang?”

Ratu mengangguk setuju, sebelum akhirnya Jeffrey kembali melahap bibirnya.

Kali ini Jeffrey jauh lebih bernafsu dan kasar dari sebelumnya. Suara decakan bibir mereka terdengar memenuhi ruangan. Ada perasaan takut, serta candu tersendiri yang Ratu rasakan.

Tangan Jeffrey bergerak secara aktif. Mulai dari punggung, pinggul, hingga perut rata Ratu, berhasil ia jamah.

Perlahan tapi pasti, bibirnya turun kebawah. Mengincar leher mulus milik istrinya itu. Jeffrey meninggalkan beberapa bekas biru keunguan disana, membuat sang empunya merintih menahan rasa sakit yang diakibatkan oleh hisapan bibirnya.

Tangan Jeffrey yang semula hanya menari-nari di atas permukaan kulit Ratu, kini sibuk berusaha membuka kaitan bra yang dikenakan oleh Ratu.

Setelah berhasil, Jeffrey kembali menghentikan kegiatannya.

“Aku bisa berhenti sekarang, kalau kamu mau.”

Ratu menggigit bibirnya, bingung. Ia meneguk saliva yang sepertinya telah tercampur dengan milik Jeffreyan beberapa saat tadi. “Lanjutin aja, tapi tolong pelan-pelan. Aku takut.”

Jeffrey terkekeh singkat, kemudian mengangguk.

Mereka kembali memagut bibir satu sama lain. Sebelum akhirnya Jeffrey menuntun tangan Ratu untuk melucuti seluruh pakaiannya.

Selanjutnya malam itu menjadi malam paling panas diantara mereka berdua, setelah pernikahan.

Nyaris tidak ada suara langkah kaki yang laki-laki itu keluarkan. Ia berjalan perlahan-lahan sembari menahan tubuhnya agar tidak sempoyongan menuju sebuah unit apartemen yang letaknya sekitar 10 meter lagi darinya.


Jeffrey memijit batang hidungnya. Setelah perdebatan sengit antara dirinya dan Ratu kemarin pagi, pikiran Jeffrey menjadi kalut. Ia butuh sedikit alcohol untuk menenangkan diri. Lantas, sepulang dari acara seminar yang ia hadiri, Jeffrey memutuskan untuk pergi menemui temannya—Yudhis. Pasalnya Yudhis bak bandar minuman keras yang sering kali muncul di film-film. Dia punya lebih dari seribu satu botol minuman keras dengan berbagai merk terkenal. Ya setidaknya itu yang Jeffrey tau.

Sebelumnya Jeffrey berniat untuk pergi ke sebuah club malam, di tengah keramaian kota Jakarta. Namun begitu memarkirkan mobilnya, Jeffrey dapat melihat ada begitu banyak wanita berpakaian seksi yang masuk kedalam sana. Nyalinya menciut seketika. Batinnya ketakutan membayangkan kalau-kalau ia melakukan sebuah kebodohan yang dapat menyebabkan dirinya kehilangan Ratu di kemudian hari. Kemudian karena perasaan itu, ia buru-buru menancapkan gas untuk segera pergi dari sana.


Langkah Jeffrey terhenti. Ia memasukan beberapa angka untuk membuka pintu unit apartemennya.

Meski toleransi Jeffrey pada alkohol cukup tinggi, tapi malam itu ia cukup berantakan. Rambut serta dasi yang sudah tidak berbentuk, ditambah lagi bau alkohol yang begitu menyengat, membuat Ratu panik setengah mati begitu menyambut kedatangan Jeffrey.

“Yudhisnya mana?” tanya Ratu. Ia hanya melihat seorang Jeffreyan yang muncul dari balik pintu. Seingatnya, tadi Jeffrey mengatakan bahwa dirinya akan pulang diantar Yudhis.

Tak ada jawaban.

Jeffrey sekonyong-konyong meninggalkan Ratu, menuju kamar mereka. Laki-laki itu menjatuhkan tubuhnya pada sebuah sofa yang letaknya berada tepat di bagian depan tempat tidur.

Matanya terpejam, dan nafasnya teratur. Berbanding terbalik dengan Ratu yang detak jantungnya bergemuruh kencang melihat suaminya yang seperti itu.

“Yudhisnya mana?” tanya Ratu sekali lagi.

“Gak ada. Gue pulang sendiri.” Tanpa berniat membuka matanya, Jeffrey menjawab pertanyaan Ratu.

Hening. Sesaat kemudian, terdengar suara nafas yang terkesan sangat sesak. Sontak Jeffrey membuka matanya, dan menoleh kebelakang. Sorot matanya mendapati Ratu yang tengah terduduk di tepi ranjang dengan mata berkaca-kaca.

“Kenapa?”

Alih-alih menjawab, Ratu justru mengerutkan keningnya, hingga sepersekian detik Jeffrey tersadar bahwa istrinya itu tengah menahan sebuah air mata yang hendak keluar.

Seperti halnya pemadam kebakaran yang mendengar sebuah alarm kebakaran, Jeffrey beringsut dari tempat duduknya. Membawa Ratu masuk kedalam dekapannya. Ya, mau sekesal apapun seorang Jeffreyan terhadap Ratu, ia tidak akan membiarkan istrinya itu menangis sendirian dihadapannya.

“Katanya pulang sama Yudhis?”

“Lo kangen sama dia atau gimana? Nanyain Yudhis terus.”

“Bego banget, capek. Lo bisa mati, kalau teler pas nyetir!” seru Ratu, membuat Jeffrey terkekeh seketika.

Masih dalam posisi berpelukan. Jeffrey menghirup aroma tubuh Ratu dengan serakah. Berkali-kali ia mengecup pundak Ratu yang hanya dilapisi dengan piyama tipis berwarna putih miliknya. “Gue udah pecat dia, Ra.” Lirih Jeffrey.

Ratu mengangguk dalam pelukan Jeffrey.

“Sumpah demi Tuhan, dia gak pernah ngirimin foto bugil—

—Gue juga gak akan tertarik sama dia, Ra.”

Lagi-lagi Ratu hanya membalas perkataan Jeffrey dengan anggukan.

“Lo udah kepalang benci ya sama gue?” cicit Jeffrey, dengan nada memelas.

Ratu menggeleng, “Gue baca akun gembokan lo,” kata Ratu.

Selanjutnya Jeffrey lebih dulu melepaskan pelukan mereka. Matanya membola tak percaya, “Demi apa?—Lo baca darimana sampai mana, Ra?!”

Ratu menarik nafas dalam-dalam. Tangannya terulur menyentuh kening Jeffrey, kemudian mengusap rambut suaminya itu dengan lembut. Sorot mata, serta raut wajah Ratu tampak lebih hangat dari sebelumnya.

“Gue cemburu kok. Cemburu banget sampai gak tau gimana cara nyampein ke lo selain marah-marah. Emangnya istri mana yang gak cemburu kalau suaminya digodain sama cewek lain, Jeff? Tapi di lain sisi, gue terbiasa tahan semua rasa cemburu gue dari dulu, dan baru meledak aja hari ini. Gue minta maaf, gara-gara itu lo jadi overthinking. Gue gak nikah atas dasar kasihan Jeff. Udah gila lo mikir kaya gitu!” tutur Ratu.

Tangannya kini beralih pada pipi Jeffrey. Diusapnya pipi itu, hingga Jeffrey merasa terlena.

“Gue gak pernah ngerasa najis sama sentuhan fisik dari lo, Jeffreyan!” Dengan gemas, kedua tangan Ratu membekap pipi Jeffrey. “Gue suka.”

Jeffrey geming.

“Terus satu lagi ... maaf karna udah nuduh lo yang eng—”

Belum sempat Ratu menyelesaikan kalimatnya, bibir Jeffrey lebih dahulu mendarat di atas bibirnya. Sementara tangan laki-laki menahan tengkuknya dengan kuat.

Sedetik, lima detik, sepuluh detik Jeffrey masih setia menyesap bibir Ratu. Bahkan kini Ratu dapat menyesuaikan deru nafas suaminya itu.

Ratu merasakan ada sesuatu yang mengalir di wajahnya, lalu dengan sekali tepukan pada pundak Jeffrey, laki-laki itu langsung menarik wajahnya.

Tawa Ratu menggelegar seketika, sesaat setelah ia melihat wajah Jeffrey. “Aneh banget masa malah nangis?!” ledeknya, sementara Jeffrey hanya mencebikkan bibir.

“Gak mau ribut lagi, Ra. Aku minta maaf.” Jeffrey menarik tangan Ratu, kemudian mengecup punggung, dan telapak tangannya berkali-kali.

Mendengar permintaan Jeffrey yang satu itu, Ratu tersenyum. “Aku juga gak mau.”

Selanjutnya Jeffrey beranjak, mengecup kening istrinya itu. “Aku mandi dulu sebentar, abis itu kita tidur,” ucap Jeffrey. Namun Ratu justru menarik tangannya.

Jeffrey menaikan sebelah alisnya, “Kenapa?”

“Lakuin apa yang lo mau sekarang, Jeff.”

“Maksudnya?”

“Lo tau maksud gue apa.”

Jeffrey menatap Ratu lamat-lamat. Ia tidak menemukan ekspresi candaan di wajah cantik istrinya itu. Nampak jelas bahwa Ratu tengah serius dengan apa yang baru saja keluar dari mulutnya.

“Gue lagi gak punya cukup kesadaran buat nahan nafsu malem ini, Ra. Jadi tolong jangan mancing-mancing, kalau lo gak mau nyesel nantinya.” Jeffrey memberikan peringatan.

Ratu menggeleng. Tangan kanannya masih setia menggenggam tangan Jeffrey, sementara tangan kirinya perlahan-lahan membuka satu persatu kancing piyama yang ia kenakan. Membuat Jeffrey menyeringai dalam remangnya pencahayaan kamar mereka. Seringai yang mampu membuat bulu kuduk Ratu berdiri seketika.

Lantas dengan kasar tangan Jeffrey menyambar dagu Ratu. Hanya dengan melihat tatapan Jeffrey, Ratu merasa tengah ditelanjangi oleh laki-laki itu.

Jeffrey mendekat wajahnya, ia semakin mengunci pandangan Ratu. “Gue mau kita ngelakuin itu sambil buka mata, bisa kan? Buat pastiin kalau kita sama-sama ngelakuinnya dalam keadaan sadar.” bisik Jeffrey.

Bukan hanya sorot matanya, namun nada bicara serta aura Jeffrey ikut berubah. Detak jantung dan deru nafas Ratu saling memburu seketika.

“Lo sadar?”

“Iya.”

“Mana yang lebih ringan, kapas 100 kg atau besi 100 kg?”

Jeffrey tertawa remeh, “Lo. Lo lebih ringan, soalnya cuman 46 kg. Bisa dimulai sekarang?”

Ratu mengangguk setuju, sebelum akhirnya Jeffrey kembali melahap bibirnya.

Kali ini Jeffrey jauh lebih bernafsu dan kasar dari sebelumnya. Suara decakan bibir mereka terdengar memenuhi ruangan. Ada perasaan takut, serta candu tersendiri yang Ratu rasakan.

Tangan Jeffrey bergerak secara aktif. Mulai dari punggung, pinggul, hingga perut rata Ratu, berhasil ia jamah.

Perlahan tapi pasti, bibirnya turun kebawah. Mengincar leher mulus milik istrinya itu. Jeffrey meninggalkan beberapa bekas biru keunguan disana, membuat sang empunya merintih menahan rasa sakit yang diakibatkan oleh hisapan bibirnya.

Tangan Jeffrey yang semula hanya menari-nari di atas permukaan kulit Ratu, kini sibuk berusaha membuka kaitan bra yang dikenakan oleh Ratu.

Setelah berhasil, Jeffrey kembali menghentikan kegiatannya.

“Aku bisa berhenti sekarang, kalau kamu mau.”

Ratu menggigit bibirnya, bingung. Ia meneguk saliva yang sepertinya telah tercampur dengan milik Jeffreyan beberapa saat tadi. “Lanjutin aja, tapi tolong pelan-pelan. Aku takut.”

Jeffrey terkekeh singkat, kemudian mengangguk.

Mereka kembali memagut bibir satu sama lain. Sebelum akhirnya Jeffrey menuntun tangan Ratu untuk melucuti seluruh pakaiannya.

Selanjutnya malam itu menjadi malam paling panas diantara mereka berdua, setelah pernikahan.

Setelah merapikan beberapa benda di atas meja kerjanya, Jeffrey segera meraih jas dan ponselnya. Usai sudah agenda lembur di kantor malam ini, pasalnya kini ia memiliki seorang wanita yang menunggunya di rumah.

Jeffrey membuka pintu ruangan itu dengan semangat. Membuat beberapa karyawan yang masih berada disana, sedikit terkejut dibuatnya. Maklum, tuntutan pekerjaan membuat sebagian dari karyawan Jeffrey tersebut, harus menghabiskan malam-malam mereka disana.

Namun, tidak sedikit pula dari mereka yang masih menyandang status bujangan atau sekedar tempat tinggalnya berada jauh dari kantor, akhirnya memutuskan untuk tinggal di kantor dan hanya akan pulang setiap hari Sabtu sampai Minggu saja.

“Lah si Bapak belum pulang?” tanya salah satu karyawan Jeffrey—Dananjaya namanya.

“Ini mau pulang.”

Danan hanya manggut-manggut saja mendengar jawaban Jeffrey.

“Saya pesenin kalian jajan, kayanya sebentar lagi nyampe,” kata Jeffrey, dan dijawab sorakan bahagia dari para kaum bujang yang berada disana.

Selanjutnya Jeffrey menepuk pundak Danan, dan menatap yang lainnya. “Semangat! Mumpung masih muda.”

“BONUS PAK BONUS!” seru Yogi yang merupakan karyawan kebanggaan istrinya, kala ia masih masih menjadi bagian dari Tamacakra.

Jeffrey mengarahkan jari telunjuk ke keningnya sendiri, “Stress ya dia? Setahun bisa berkali-kali minta bonus!”

“Sekalian amal, Pak!”

“Yang ada gue melarat!”

Tawa yang lainnya pecah.

Sebisa mungkin Jeffrey menjaga komunikasi antara dirinya dan para anak buahnya itu. Terutama dengan karyawan-karyawan usia produktif disana. Bukan tanpa alasan, sejak dulu sang Papa sering berpesan berpesan demikian,

“Bangun perusahaan itu ibarat kerja kelompok. Kalau kompak, hasilnya pasti bikin kamu sama yang lainnya ngerasa puas. Tapi kalau kerja sendiri-sendiri, komunikasi gak ada, ngerasa lebih tinggi satu sama lain, pasti hasilnya ancur, Mas”

Jeffrey menarik sudut bibirnya sesaat setelah mengingat perkataan Papa.

“Pulang sama Bu Nadin, Pak?” Pertanyaan Yogi yang barusan saja, sontak membuat Jeffrey mengerutkan keningnya.

“Enggak.”

“Loh, itu Bu Nadin masih di ruangannya. Tadi saya tanya, katanya nungguin Bapak.”

“Dia belum pulang?”

“Iya, Pak.”

Setelah merapikan beberapa benda di atas meja kerjanya, Jeffrey dengan segera meraih jas dan ponselnya. Usai sudah agenda lembur di kantor malam itu, pasalnya ada seorang wanita yang menunggunya untuk pulang ke rumah.

Jeffrey membuka pintu ruangannya. Membuat beberapa programmer dan tester yang masih berada disana, sedikit terkejut dibuatnya. Maklum, tuntutan pekerjaan membuat sebagian dari karyawan Jeffrey menghabiskan malam-malam mereka di kantor.

Namun, tentunya tidak menjadi masalah bagi mereka, karena status bujangan yang mereka miliki, pun tidak sedikit pula yang tempat tinggalnya sangat jauh dari kantor kemudian memutuskan untuk tinggal di kantor dan hanya akan pulang setiap weekend.

“Lah si Bapak belum pulang?” tanya salah satu karyawan Jeffrey—Dananjaya namanya.

“Ini mau pulang.”

Danan hanya manggut-manggut saja.

“Saya pesenin kalian jajan, kayanya sebentar lagi nyampe,” kata Jeffrey, dan dijawab sorakan bahagia dari beberapa orang yang tengah berada disekitarnya.

Selanjutnya Jeffrey mendekat, menepuk pundak Danan, dan menatap yang lainnya. “Semangat! Mumpung masih muda.”

“BONUS PAK BONUS!” seru Yogi yang merupakan karyawan kebanggaan istrinya, kala ia masih masih bekerja di kantor itu.

Jeffrey menggosokkan jari telunjuk ke keningnya sendiri, “Stress ya dia? Setahun bisa berkali-kali minta bonus!”

“Sekalian amal, Pak!”

“Yang ada gue melarat!”

Tawa yang lainnya pecah.

Begitu lah hubungan antara Jeffrey dengan para karyawannya. Sebisa mungkin Jeffrey menjaga komunikasi antara dirinya dan para anak buahnya. Tentu saja bukan tanpa alasan, sebab sang Papa pernah berpesan demikian.

“Bangun perusahaan itu ibarat kerja kelompok. Kalau kompak, hasilnya pasti bikin kamu sama yang lainnya ngerasa puas. Tapi kalau kerja sendiri-sendiri, komunikasi gak ada, ngerasa lebih tinggi satu sama lain, pasti hasilnya ancur, Mas”

Kira-kira seperti itulah yang Papa katakan kepada Jeffrey, beberapa tahun yang lalu.

“Pulang sama Bu Nadin, Pak?” Pertanyaan Yogi yang barusan saja, sontak membuat Jeffrey mengerutkan keningnya.

“Enggak.”

“Loh, itu Bu Nadin masih di ruangannya. Tadi saya tanya, katanya nungguin Bapak.”

“Dia belum pulang?”

“Iya, Pak.”

Jeffrey baru saja membuka pintu unit apartemennya. Wajah lelahnya nampak begitu lelah. Jelas, sebenarnya ia memiliki begitu banyak anak buah di kantor. Namun, yang namanya pemimpin sudah sewajarnya pula menjadi otak atas segala sesuatu yang dilakukan oleh para bawahannya. Dibandingkan lelah fisik, pikirannya jauh lebih lelah.

Dengan kasar Jeffrey mengusap wajahnya. Setiap hari, setiap kali ia pulang dari kantor, tak sekalipun Ratu pernah menyambutnya dengan pelukan hangat begitu ia membuka pintu.

Jeffrey harus berjalan menghampiri Ratu di dalam kamar terlebih dahulu, selanjutnya meminta izin hanya untuk memeluk istrinya itu—sama seperti sore ini.

“Ra, aku pulang ... .” Jeffrey menarik bibirnya kala melihat Ratu.

Sejak dulu, mau selelah apapun Jeffreyan, Ratu akan selalu menjadi obat paling mujarab bagi dirinya.

Jangankan sekedar kelelahan—pernah sekali Jeffrey terserang demam tinggi hingga seluruh keluarganya dibuat khawatir karena ia tak kunjung membuka matanya. Dan Ratu lah satu-satunya orang yang mampu menyadarkan Jeffrey hanya dengan usapan lembut tangannya. Ratu mengusap lembut kening Jeffrey, sembari merapalkan nama laki-laki itu.

Jeffrey langsung mendudukkan dirinya tepat dipinggir ranjang. Menatap lamat-lamat Ratu yang tengah bersandar pada tumpukan dan menatap balik kearahnya.

“Diem aja ... sakit perut?” tanya Jeffrey. Nadanya terdengar sangat rendah, namun tetap halus masuk kedalam indera pendengaran Ratu.

Wanita itu mengangguk.

Lantas dengan hati-hati Jeffrey beralih. Ia duduk disebelah Ratu, kemudian merentangkan tangan kanannya, agar Ratu dapat bersandar pada bahunya. Sementara itu, tangan kiri Jeffrey sibuk memberikan usapan demi usapan lembut bagi perut rata Ratu.

“Kalau hamil gak bakalan sakit kaya gini tau,” cicit Jeffrey, diakhiri dengan kekehan khasnya.

Ratu mendengus. “Iya, tapi pas ngelahirin jadi berkali-kali lipat sakitnya!”

Jeffrey kembali terkekeh, begitu mendengar jawaban wanita itu.

“Aku boleh cium gak?”

“Belum mandi.”

Selanjutnya Jeffrey tetap mendaratkan ciuman pada kening Ratu.

“JEFFREY MAHHH, LO BELUM MANDIIIII!!” seru Ratu seketika. Dengan kesal ia mengusap keningnya menggunakan tangan.

“Bisa-bisanya lo elap bekas bibir gue, Ra?—Nih, rasain!!! HUJAN BIBIRR!!”

Jeffrey menciumi setiap inci wajah Ratu, tanpa terkecuali. Hingga wanita itu tertawa kegelian dibuatnya. “JEFFREY HAHH UDAHAN ANJINGG! BAU JIGONG!!”