cakgrays

Sejak awal trimester ketiga, agaknya kini membuat Jeffrey maupun Ratu sudah mulai terbiasa akan hal-hal yang sebelumnya mampu membuat heboh satu rumah, seperti janin dalam perut Ratu yang mulai aktif menendang ke sana dan ke sini sampai Ratu yang tiba-tiba saja merasakan kontraksi palsu atau Braxton Hicks. Mengingat Ratu bukan lagi hamil di usia muda—Jeffrey sengaja mempekerjakan dua orang lagi untuk menjaga rumahnya. Ya, memang seperti itu yang ia katakan pada Ratu, meski kenyataannya Jeffrey melakukanya karena takut kalau-kalau ada sesuatu yang terjadi pada istrinya saat ia sendiri tidak sedang berada di rumah.

Sejak jauh-jauh hari, Jeffrey sudah menyiapkan segala sesuatu yang nantinya akan diperlukan pada saat Ratu melahirkan. Seperti rumah sakit yang menurutnya penanganan di sana cukup baik, hingga menyelesaikan beberapa pekerjaan penting yang deadline-nya pun terbilang masih sangat jauh. Pasalnya Jeffrey berniat semaksimal mungkin untuk menemani Ratu saat memasuki masa-masa menjelang melahirkan.

Namun, sayang niat baiknya itu justru membuat ia kekurangan waktu untuk berbicara santai dengan sang istri. Ratu acap kali telah lebih dulu tertidur pulas saat ia baru saja menginjakkan kaki ke dalam rumah. Alhasil Jeffrey hanya dapat mendengar informasi dari Budhe Lasih—seorang wanita paruh baya yang merupakan asisten rumah tangganya, seperti malam ini.

“Tadi Ibu makannya lahap Pak. Mungkin karna sesuai sama yang dipengenin,” tutur Budhe Lasih, sembari menyuguhkan segelas air putih dingin untuk Jeffrey.

Jeffrey terkekeh, “Emangnya hari ini masak apa, Budhe?” tanyanya penasaran.

Lantas Budhe Lasih mengangkat salah satu tutup mangkuk kaca yang berbeda di atas meja makan. “Ibu minta kulit melinjo ditumis sama ikan teri kaya gini, Pak. Bapak mau makan?”

Jeffrey menggeleng singkat, kemudian menepuk-nepuk perutnya. “Saya udah makan di luar,” kata Jeffrey, kemudian dihadiahi anggukan oleh Budhe Lasih.

Memang akhir-akhir ini Jeffrey lebih sering makan malam di luar. Karena ia memiliki maag, maka wajib hukumnya makan tepat waktu.

“Tidur Budhe. Saya mau masuk ke kamar dulu, kangen si Nyonya Besar.”

Jika biasanya Budhe Lasih akan tertawa tatkala mendengar kata Nyonya Besar keluar dari mulut Jeffrey—kali ini wanita paruh baya itu justru menampilkan ekspresi wajah seperti orang yang tengah khawatir.

“Pak,”

Jeffrey yang sebelumnya sudah memutar tubuh dan siap melenggang pergi, kini mengurungkan niatnya. Ia kembali menghadap Budhe Lasih. “Ada masalah apa?” sahut Jeffrey.

“Belakangan ini Ibu lagi mellow, mungkin karna jarang ketemu Bapak. Napsu makannya emang bagus, tapi Ibu selalu diem di kamar. Kalau boleh saya kasih saran, baiknya Bapak ajak Ibu buat ngobrol. Kasihan kalau suasana hatinya sedih waktu hamil tua kaya sekarang ini, Pak.”

Jeffrey menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. Ia tahu betul hal itu memang harus dilakukan. Ia tahu betul bahwa Ratu sepertinya merasa kurang diperhatikan akhir-akhir ini. Namun alasan ia sibuk, adalah untuk calon anaknya nanti.

Kemudian Jeffrey hanya menarik sudut bibirnya, singkat. “Iya, Budhe, nanti saya ngobrol sama Ratu. Sekarang kayanya udah tidur,” ucapnya terdengar lirih.

“Baik-baik ya, Pak, sama Ibu. Bener deh kasihan liat Ibu gak semangat. Saya doain semoga semua urusan lancar sampai melahirkan.”


Setelah pembicaraan singkat namun sangat sensitif di dapur beberapa saat lalu, Jeffrey memasuki kamarnya dengan ekspresi muka masam. Mau bagaimana lagi? Ia sudah berusaha untuk selalu membagi waktu namun sayangnya hanya ada 24 jam dalam sehari, dan menurutnya itu tidak cukup.

Pantas saja ia merasa bahwa istrinya itu lebih dingin dari biasanya. Ternyata ada sesuatu yang mungkin mengganjal di hatinya.

Jeffrey juga ingin menghabiskan waktu bersama Ratu kalau ia sempat. Jeffrey juga ingin melakukan pembicaraan secara mendalam mengenai perasaannya dan juga Ratu seperti biasa. Jeffrey ingin melakukan banyak hal, namun di sisi lain juga banyak hal yang harus ia selesaikan secepatnya.

Jeffrey manatap Ratu yang tengah terlelap dalam tidurnya. Sepertinya sudah lama sekali ia tidak pernah melakukan hubungan intim dengan wanita itu. Jeffrey ingat terakhir kali mereka melakukan itu, menyebabkan Ratu mengalami kontraksi hebat. Setelah dilarikan ke rumah sakit, usut punya usut penyebab terjadinya kontraksi yang Ratu alami adalah kecerobohan Jeffrey yang tidak menggunakan pengaman. Pasalnya menurut keterangan dokter, sperma dapat memicu kontraksi pada ibu hamil, dan yang lebih parahnya lagi berkemungkinan untuk menggugurkan janin. Sejak saat itu Jeffrey selalu merasa bersalah acap kali nafsunya mulai meningkat tat kala berada di sekitar Ratu. Alhasil ia akan menghabiskan waktu berlama-lama di dalam kamar mandi untuk mengatasi masalahnya sendiri. Tentu saja ia tidak mau Ratu merasa menderita karena sakit perut lagi.

Jeffrey menghela nafas panjang. Ia ingat pernah berkata kalau selain berhubungan intim, saling melempar lelucon juga merupakan usaha mempererat hubungan pernikahan. Namun sial, jangankan untuk melempar lelucon, sekedar berbicara tatap muka saja sulitnya setengah mati, batin Jeffrey.

Ia berjalan menuju ranjang tempat Ratu berbaring. Kemudian dengan gerakan hati-hati dikecupnya kening Ratu.

“Aku pulang, Ra.”

Tak ada respon. Tentu saja itu karena Ratu yang tertidur dengan sangat pulas sejak beberapa jam yang lalu.

Jeffrey mendengkus. Lantas ia memutuskan untuk segera membersihkan diri di kamar mandi, agar dapat ikut berbaring di samping Ratu secepatnya.

Sejak kedatangan Jemian, tak banyak yang Ratu lakukan, pasalnya ia merasa bahwa tubuhnya benar-benar sangat lemas kali ini. Ditambah lagi dengan sembelit yang memang sudah ia alami sejak beberapa hari yang lalu.

Tangan Ratu terkulai lemas, kakinya pun kini sulit digerakkan. Batinnya mengeluh, ini pertama kalinya Ratu merasakan hal tersebut. Kepalanya terus berkedut, pening. Ia ingin memanggil Jemian di luar kamar, namun tenggorokannya terasa begitu kering.

Mungkin ini semua akibat ia yang terus memuntahkan isi perutnya sejak pagi. Meskipun Ratu sudah mengikuti perkataan Jeffrey untuk tetap memakan sesuatu sekedar untuk mengisi perut, namun tetap saja semua itu akan ia muntahkan lagi dan lagi.

Ratu menghela nafas, Jemian pasti tengah sibuk menonton siaran televisi, karena suara televisi di luar sana terdengar ngaring sampai kedalam kamarnya.

“Jem ... Jemian ...,” lirih Ratu.

Jemian tak kunjung memberikan jawaban apapun. Kemudian, mau tidak mau Ratu beranjak dari tempat tidurnya. Dengan kaki yang sedikit gemetar karena sangking lemasnya, Ratu berjalan keluar kamar.

“Jem ....”

Mendengar suara Ratu, refleks Jemian menoleh. “Loh Mbak? Kenapa?” tanya Jemian.

Jemian beringsut menghampiri Ratu. Melihat kondisi tubuh dan raut wajah iparnya yang terlihat aneh itu, lantas Jemian berinisiatif untuk membopong Ratu ke arah sofa.

“Kenapa Mbak?”

“Aku pusing banget, Jem. Tolong anterin ke dokter ya? Takut ada apa-apa,” pinta Ratu.

“Mau sekarang, Mbak?”

Ratu mengangguk pelan. Lalu Jemian mengurungkan niatnya untuk mendudukkan tubuh Ratu pada sofa. “Mbak mau ganti baju dulu, atau nggak usah?” tanya Jemian, yang mungkin terdengar lembut namun dalam hatinya ia sudah panik bukan main.

“Nggak, Jem. Langsung aja.”

Tanpa basa-basi lagi, Jemian langsung menuntun tubuh Ratu dengan sangat hati-hati. Perkiraannya, jarak dari unit Ratu ke parkiran mobil cukup jauh. Jemian merutuki Kakaknya yang tak kunjung membeli rumah untuk ditempati. Kalau seperti ini segalanya menjadi repot. Jemian sadar bahwa tubuhnya tidak sebesar dan sekuat Jeffrey untuk menggendong Ratu, oleh karena itu ia hanya bisa bersabar dengan langkah kaki kecil-kecil milik ipranya tersebut.


Setiba di rumah sakit, Ratu langsung masuk ke UGD untuk diperiksa. Jemian menunggu dengan harap dan cemas. Takut kalau-kalau Ratu kenapa-napa. Kemudian dengan sangat terpaksa ia harus mengganggu pekerjaan Jeffrey dengan menelpon Kakaknya itu.

Tutt!

“Halo? Mas!” seru Jemian dengan nada panik.

“Kenapa?”

“Bisa gak kerjanya lanjut besok aja? Mbak Ratu masuk UGD!”

“HAH?!”

Bagai mendengar sambaran petir, jantung Jemian hampir saja melompat keluar tatkala mendengar Jeffrey berteriak diseberang telepon.

“Kagetnya nanti aja, Mas. Mas e mendingan kesini sekarang! Jantung Jemi nderedeg! Mana gak punya uang.” Jemian tidak berbohong. Ia memang tidak membawa sepeser uang pun, dan ia yakin hal yang sama juga dilakukan oleh saudara iparnya yang tengah diperiksa di dalam sana. Pasalnya baik Jemian dan juga Ratu, mereka berdua sama-sama terburu-buru meninggalkan apartemen.


Tiba-tiba saja, seorang dokter yang memang berjaga di ruang UGD tersebut keluar, “Anda keluarga pasien?” tanyanya.

Jemian ngangguk. “Iya, saya Adiknya, Dok.”

Sebelum pembicaraan keduanya berlanjut, kedatangan Jeffrey membuat mereka berdua terkejut.

“Istri saya gimana, Dok?!” kata Jeffrey menggebu-gebu.

“Sebelumnya Bapak bisa tenang terlebih dahulu?”

Jeffrey mengusap wajahnya gusar, lalu menarik nafas dalam-dalam dan membuangnya perlahan-lahan.

“Istri Bapak mengalami Hiperemesis Gravidarum, atau biasa disebut HEG. Ini merupakan keadaan muntah-muntah yang jauh lebih parah dibandingkan dengan morning sickness, Pak. Penyebab pastinya belum diketahui sampai sekarang. Tapi ini wajar, dan normal terjadi pada saat ibu hamil masih berada dalam masa trimester pertama. Saya menyarankan supaya istri bapak diopname sampai sekitar 2 atau 3 hari kedepan, karena mau bagaimanapun juga janin membutuhkan nutrisi untuk berkembang, tapi jika makanan yang masuk ke dalam perut Ibu hamil selalu dimuntahkan keluar maka nutrisi tersebut tidak terpenuhi, dan janin akan terganggu perkembangannya,” tutur dokter itu panjang lebar.

Selanjutnya, dengan sengaja Jemian menepuk pundak Jeffrey. Ia mencoba untuk menguatkan Kakaknya itu, sebab Jemian tahu bahwa Jeffrey pasti sangat gelisah saat ini karena mendengar penjelasan mengenai kondisi Ratu dan janin dalam kandungannya.


Jeffrey diam melamun di sudut rumah sakit. Setelah berpikir panjang, akhirnya ia memutuskan untuk membiarkan Ratu diopname. Ia tidak mau terjadi apa-apa lagi nantinya.

Jeffrey sudah cukup menyesal karena menurutnya, ia kurang memperhatikan Ratu. Bahkan setelah Ratu mengutarakan keluhannya pun, Jeffrey justru lebih memilih mengutamakan pekerjaannya terlebih dahulu. Meski ini semua terjadi di luar dugaannya, namun tetap saja ia merasa bersalah. Dalam benak Jeffrey, seharusnya tadi siang ia pulang dan mengecheck langsung kondisi istrinya itu, dan bukannya malah meminta Jemian untuk menjaga Ratu.

Sekarang, bahkan sekedar melihat wajah istrinya di dalam ruang kamar inap saja, Jeffrey takut. Takut kalau-kalau yang ia lihat adalah kondisi terburuk Ratu. Jeffrey takut kalau Ratu kesal melihatnya, karena ia gagal menjadi suami yang siaga.

“Mas.” Suara Jemian membuyarkan lamunannya. “Dicariin sama Mbak Ratu, tuh. Jemi mau pulang dulu, mau nugas,” kata adiknya itu.

“Ratu gimana?”

“Gimana apanya?” tanya Jemian, bingung dengan maksud perkataan Jeffrey.

Jeffrey menghela nafas, terdengar pasrah. “Gimana keadaannya?” jawabnya kemudian.

Lantas, Jemian mengulas senyum seketika. Ia dapat menangkap sinyal bahwa Jeffrey tengah khawatir, namun enggan untuk menemui Ratu saat ini.

“Dicariin sama Mbak Ratu, Mas. Mendingan Mas Jeffrey langsung masuk aja, ngapain malah tanya Jemi? Nanti kalo Mbak Ratu kenapa-napa karna nyariin Mas, gimana?” ledek Jemian, dan dihadiahi oleh dengkusan kesal oleh Jeffrey selanjutnya.

Detik kemudian Jeffrey beranjak. Ia berniat untuk menemui Ratu secepatnya, karena mendengar perkataan Jemian barusan. *Yah, memangnya suami mana yang tidak takut jika istrinya kenapa-napa?”

Baru saja ingin melangkah, Jemian lebih dahulu menyodorkan tangannya.

“Apa?” tanya Jeffrey.

“Ongkos buat pulang, Mas.”

“Kamu kan naik mobil?

“Lho lho lhoh, bensine pie?”

Jeffrey masuk ke dalam unit apartemen dan merebahkan dirinya di atas sofa. Tidak ada suara Ratu kali ini, ia yakin bahwa istrinya itu tengah tertidur pulas di dalam kamar, tentu saja batinnya. Ini sudah pukul sepuluh malam, dan bodohnya ia lupa memberi kabar kepada Ratu sebelumnya. Jeffrey menghela nafas. Sebenarnya bukanlah menjadi maksud hatinya untuk tidak mengabari Ratu, namun tiba-tiba saja ada beberapa pekerjaan yang memang harus ia selesai secepatnya. Meskipun ada Yudhis yang berkerja sebagai sekertarisnya, Jeffrey merasa bahwa pekerjaan di kantor juga menjadi tanggung jawabnya.

Ia bertanya-tanya, apakah Ratu sudah makan malam ini? Apa saja yang istrinya itu lakukan seharian ini? Namun ia hanya bisa menelan pikirannya sendiri.

Jeffrey berjalan menuju kamar mereka, kemudian ia tersenyum simpul. Memori ingatannya terlempar ke beberapa tahun yang lalu, ketika ia dan Ratu masih mengklaim bahwa hubungan mereka hanyalah sebatas teman. Dulu, Jeffrey sering sekali masuk ke dalam apartemen Ratu tatkala wanita itu tengah tertidur seperti saat ini. Wajah Ratu yang teduh saat tidur, seolah-olah menarik Jeffrey untuk menciumi seluruh tempat diwajahnya itu.

Kalau dulu, mungkin Jeffrey akan segera membangunkan Ratu agar pikirannya sendiri kembali jernih, namun sekarang ia justru menghampiri Ratu. Benar-benar mendaratkan kecupan-kecupan manis di wajah istrinya itu, lalu tersenyum gemas.

“Maaf pulangnya telat, terus lupa ngabarin. Tadi aku tiba-tiba ada—.”

“Mas... .” Belum sempat Jeffrey menyelesaikan kalimatnya, Ratu lebih dahulu memotong.

Namun Jeffrey biasa-biasa saja. Justru ia semakin tersenyum kala istrinya itu bersusah payah membuka mata. Tidur sangat pulas rupanya.

“Iya, Ra?” sahut Jeffrey lembut. Tangannya terulur mengusap kepala Ratu perlahan-lahan.

“Mau dipeluk.”

“Aku belum mandi, tau.”

Alih-alih sewot menyuruh Jeffrey lekas mandi seperti biasanya, Ratu justru mencengkeram kuat-kuat bagian lengan kemeja Jeffrey, persis seperti anak usia satu tahun yang menggenggam pakaian ibunya.

“Gak peduli deh gue, Jeff, mau peluk! Cepet!” pinta Ratu yang tiba-tiba membuka matanya sempurna.

Kemudian, ia bangkit dari posisi tidur dan memeluk tubuh Jeffrey. Menghirup aroma tubuh suaminya itu dengan serakah. Sementara Jeffrey hanya pasrah. Dipikir-pikir Ratu cukup jarang memperlakukannya seperti ini sebelum hamil, jadi menurut Jeffrey momen dimana tingkah laku manja istrinya itu kumat, adalah sebuah keuntungan baginya.

“Anak kita kayanya suka sama aku deh,” cetus Jeffrey.

Ratu menggeleng seketika.

“Bukan cuman dia, tapi aku juga,” kata Ratu lirih.

Jeffrey terkekeh. Tangannya kemudian melingkar sempurna pada pinggang Ratu. “Kalau itu sih, aku udah tau, ya.”

Jeffrey masuk ke dalam unit apartemen dan merebahkan dirinya di atas sofa. Tidak ada suara Ratu kali ini, ia yakin bahwa istrinya itu tengah tertidur pulas di dalam kamar, tentu saja batinnya. Ini sudah pukul sepuluh malam, dan bodohnya ia lupa memberi kabar kepada Ratu sebelumnya. Jeffrey menghela nafas. Sebenarnya bukanlah menjadi maksud hatinya untuk tidak mengabari Ratu, namun tiba-tiba saja ada beberapa pekerjaan yang memang harus ia selesai secepatnya. Meskipun ada Yudhis yang berkerja sebagai sekertarisnya, Jeffrey merasa bahwa pekerjaan di kantor juga menjadi tanggung jawabnya.

Ia bertanya-tanya, apakah Ratu sudah makan malam ini? Apa saja yang istrinya itu lakukan seharian ini? Namun ia hanya bisa menelan pikirannya sendiri.

Jeffrey berjalan menuju kamar mereka, kemudian ia tersenyum simpul. Memori terlempar ke beberapa tahun yang lalu, ketika ia dan Ratu masih mengklaim bahwa hubungan mereka hanyalah sebatas teman. Dulu, Jeffrey sering sekali masuk ke dalam apartemen Ratu tatkala wanita itu tengah tertidur seperti saat ini. Wajah Ratu yang teduh saat tidur, seolah-olah menarik Jeffrey untuk menciumi seluruh tempat diwajahnya itu.

Kalau dulu, mungkin Jeffrey akan segera membangunkan Ratu agar pikirannya sendiri kembali jernih, namun sekarang ia justru menghampiri Ratu. Benar-benar mendaratkan kecupan-kecupan manis di wajah istrinya itu, lalu tersenyum gemas.

“Maaf pulangnya telat, terus lupa ngabarin. Tadi aku tiba-tiba ada—.”

“Mas... .” Belum sempat Jeffrey menyelesaikan kalimatnya, Ratu lebih dahulu memotong.

Namun Jeffrey biasa-biasa saja. Justru ia semakin tersenyum kala istrinya itu bersusah payah membuka mata. Tidur sangat pulas rupanya.

“Iya, Ra?” sahut Jeffrey lembut. Tangannya terulur mengusap kepala Ratu perlahan-lahan.

“Mau dipeluk.”

“Aku belum mandi, tau.”

Alih-alih sewot menyuruh Jeffrey lekas mandi seperti biasanya, Ratu justru mencengkeram kuat-kuat bagian lengan kemeja Jeffrey, persis seperti anak usia satu tahun yang menggenggam pakaian ibunya.

“Gak peduli deh gue, Jeff, mau peluk! Cepet!” pinta Ratu yang tiba-tiba membuka matanya sempurna.

Kemudian, ia bangkit dari posisi tidur dan memeluk tubuh Jeffrey. Menghirup aroma tubuh suaminya itu dengan serakah. Sementara Jeffrey hanya pasrah. Dipikir-pikir Ratu cukup jarang memperlakukannya seperti ini sebelum hamil, jadi menurut Jeffrey momen dimana tingkah laku manja istrinya itu kumat, adalah sebuah keuntungan baginya.

“Anak kita kayanya suka sama aku deh,” cetus Jeffrey.

Ratu menggeleng seketika.

“Bukan cuman dia, tapi aku juga,” kata Ratu lirih.

Jeffrey terkekeh. Tangannya kemudian melingkar sempurna pada pinggang Ratu. “Kalau itu sih aku udah tau, ya.”

Sudah melewati dua bulan masa kehamilan, dan dokter mengatakan bahwa keadaan janin dalam perut Ratu sangat sehat. Couvade syndrom yang beberapa hari kebelakang ini Jeffrey alami pun tampaknya sudah berangsur-angsur menghilang, pasalnya Jeffrey sudah jarang mengeluh akibat merasa mual pada perutnya.

Sore ini, Jeffrey membawa Ratu jalan-jalan. Menghirup udara segar di taman kota, dengan telanjang kaki sebab sandalnya ditenteng oleh Jeffrey sendiri.

Kata dokter, jalan kaki untuk seorang ibu hamil itu banyak manfaatnya. Seperti, memelihara tekanan darah, menjaga kenaikan berat badan, hingga membuat ibu hamil merasa lebih nyaman dan senang karena efek pengeluaran dopamin. Yah, benar saja, bukti saat ini istrinya itu tengah mesam-mesem di sampingnya. Jeffrey mengikuti pandangan Ratu, istrinya itu tengah menatap pada seekor anjing anjing pug yang sangat lincah meski telah diikat di bagian leher.

Jeffrey menarik sudut bibirnya. “Mau?” kata Jeffrey.

Merasa tengah diajak bicara, lantas Ratu menoleh ke arah Jeffrey. Sebelah alis Ratu terangkat. “Emangnya bumil boleh pelihara hewan?” tanya Ratu. Pasalnya sering kali ia mendengar tentang larangan memelihara hewan bagi ibu hamil.

Sebelum menjawab pertanyaan Ratu, Jeffrey menuntun Ratu dengan hati-hati menuju salah satu bangku yang ad di taman tersebut, membuat Ratu terkekeh. Jeffrey berlebihan baginya. Ratu diperlukan layaknya seorang wanita yang tengah hamil, dengan perut yang sudah besar. Namun, di sisi lain ia sangat senang diperlakukan sedetail itu.

Melanjutkan perbincangan yang sempat terjeda barusan, “Yang gak boleh itu pelihara binatang liar, Ra. Misal, ada kucing warteg terus kamu bawa pulang ke rumah, itu gak boleh. Kalau kamu mau pelihara, kita bisa adopsi anak anjing yang asal-usulnya jelas, terus divaksin,” tutur Jeffrey dengan lembut.

Manik mata Ratu berbinar seketika. “Aku mau.”

“Tapi ada syaratnya—,” kalimat Jeffrey menggantung di udara. “Kamu harus langsung cuci tangan, kalau abis kontak fisik sama anjingnya nanti. Kamu gak boleh ndusel-ndusel ke anjing. Kamu gak boleh deket-deket sama kotorannya, dan urusan kandang jadi tanggung jawab aku.”

Layaknya pernyataan yang tidak dapat terbantahkan, Ratu tahu jika tidak ada satu poin pun dalam aturan yang Jeffrey katakan barusan, yang mampu ia ubah. Lantas Ratu hanya bisa mengangguk patuh.

“Mau anak anjing jenis apa?” tanya Jeffrey.

Ratu menggerakkan dagunya tepat ke arah dimana seorang anjing pug yang menjadi awal pembicaraan mereka mengenai peliharaan sebelumnya berada.

“Mau anjing yang mukanya tolol kaya gitu, Mas.” Kemudian Ratu menjebik gemas.

“Astaga mulutnya, dikontrol ya ibu,” kata Jeffrey tak habis fikir.

“Kenapa sih? Padahal aku bener. Kamu gak ngerasa kalau anjing punya orang itu, mukanya tolol?” sanggah Ratu.

“Ya iya, tapi jangan doggy shaming gitu dong lo. Nanti kalau dia denger terus sakit hati, gimana?”

Ratu tertawa seketika. Entah karena ia yang memiliki selera humor yang begitu rendah, atau karena perkataan Jeffrey yang barusan, memang terdengar cukup menggelitik. Namun, tiba-tiba saja tawa Ratu terhenti karena ada sesuatu yang kini membuat merasakan desiran aneh acap kali ia tertawa. Seperti ada sesuatu yang mengganjal di dalam perutnya, siapa lagi kalau bukan Jeffrey junior?

Jeffrey yang peka melihat perubahan ekspresi pada wajah istrinya itu, sontak merasa khawatir.

“Kenapa?” tanya Jeffrey.

Ratu menggeleng. “Gapapa. Anak kita kayanya kurang suka kalau aku ketawa brutal,” kata Ratu.

“Nyeri, Ra?”

“Enggak, cuman rasanya aneh.”

Jeffrey mengangguk paham. Batinnya, mungkin terasa seperti ada benda asing yang akan ikut bergerak naik dan turun, setiap kali istrinya itu tertawa. Kemudian, dengan lembut tangan Jeffrey menyentuh perut Ratu. Diusapnya perut Ratu yang kini sudah tidak lagi rata seperti berbulan yang lalu. Jeffrey menyalurkan kehangatan pada telapak tangannya.

“Baik-baik ya di dalam perut istri aku!”

Ratu tampak sibuk mondar-mandir sejak tadi, namun entah apa yang tengah ia lakukan. Mulai dari memindahkan remote televisi yang sebenarnya sudah terletak dengan apik di samping televisi tersebut, menyusun setiap brush make up nya berdasarkan dengan fungsinya.

Sebenarnya sejak tadi—semua gerak-gerik Ratu tak pernah sekalipun lepas dari pandangan Jeffrey. Sempat beberapa kali Jeffrey menahan tawanya, seperti saat Ratu keliru memakai sendal di dalam unit apartemen mereka. Tapi apa boleh buat? Jeffrey merasa harus memberi istrinya itu pelajaran. Sebab, jika tidak begitu, Ratu pasti akan mengulangi kesalahan yang sama.

Jeffrey meletakkan ponselnya di atas nakas. Sebelum merebahkan diri di tempat tidur, Jeffrey sudah mandi terlebih dahulu. Oleh karena itu, saat ini ia dapat langsung menarik selimutnya, dan berencana tidur memunggungi Ratu malam itu.

Sementara itu, Ratu sadar jika saat ini Jeffrey tengah menerapkan silent treatment untuknya. Jeffrey memang seperti itu sejak dulu. Kalau marah, ia pasti lebih memilih diam.

Meskipun Jeffrey tahu betul jika melakukan silent treatment seperti halnya saat ini memang tidaklah baik, tapi menurutnya itu adalah cara yang paling efisien untuk menunjukkan sebuah perasaan kesal atau bahkan marah yang tengah ia alami selain harus berbicara dengan cara teriak-teriak, atau bahkan memukul. Sebab menurutnya, silent treatment cukup berguna, asalkan dilakukan dengan porai yang pas.

Lantas Ratu berjalan ke arah ranjang, tempat suaminya itu berbaring. Ikut merebahkan tubuh, kemudian menarik selimut hingga menutupi dadanya. Merasa diabaikan oleh Jeffrey yang tidur sambil memunggunginya—sontak Ratu mendengus sebal.

Ia terus menggeser tubuhnya hingga tidak menyisakan space kosong diantara dirinya dan juga Jeffrey.

Kemudian, dengan sangat hati-hati, Ratu mengetuk punggung Jeffrey seolah tengah mengetuk pintu rumah.

“Knock knock knock,” cicit Ratu.

Hening.

Merasa harus berusaha lebih keras, lantas Ratu kembali mengetuk punggung Jeffrey dengan sedikit tambahan tenaga.

“Knock knock knock.”

“Who?” sahut Jeffrey yang masih memunggunginya.

“Maafin aku, Mas.”

Jeffrey membuka matanya tatkala salah satu tangan Ratu memeluk pinggangnya begitu saja.

“Aku bilang who? Bukan what?” kata Jeffrey.

“Ratuu, Mas! Istri kamu.”

Mendengar jawaban itu, Jeffrey langsung memutar tubuhnya. Keduanya kini saling menatap, dan hanya berjarak sekitar 2 centi meter saja.

“Apa jaminannya, kalau kamu gak akan ngilangin kaya hari ini lagi?”

Ratu meneguk salivanya seketika, usai mendengar penuturan Jeffrey yang menggunakan nada serius.

“A—aku ... aku berhenti koleksi poca,” kata Ratu terbata-bata.

Detik kemudian Jeffrey tersenyum. Ia mengeluarkan jari kelingkingnya, sebagai pertanda untuk mengajak Ratu berjanji.

“Janji, ya?” ucap Jeffrey.

“Janji,” kata Ratu, lalu mengaitkan jari kelingkingnya dengan milik Jeffrey.

Lalu dengan gerakan cepat, Jeffrey menarik tubuh Ratu masuk kedalam dekapannya. Tak lupa diusapnya pucuk kepala Ratu dengan lembut.

“Tidur, Ra.”

“Istri kamu gimana?”

“Dia tau aku kesini sama kamu, dan yah—biasa aja. Mungkin karna masih suka bau duit aku.”

Jeffrey meneguk ludah kala mendengar percakapan 2 orang yang duduk tidak begitu jauh darinya. Ia lalu mengelus dada sambil geleng-geleng tak percaya.

“Kamu kenapa, Mas? Mual lagi?” tanya Ratu setengah panik.

“Enggak. Tadi aku kaya denger suara anjing,” sahutnya, sengaja menekankan intonasi pada setiap kata.

Sebenarnya wajar, jika di tempat umum seperti restoran yang mereka singgahi ini, siapapun dapat mendengar obrolan pengunjung lainnya meski tidak disengaja. Toh, si pembicara itu sendiri, memang seolah tidak berniat menyembunyikan pembicaraan mereka. Namun tetap saja, Jeffrey merasa risih. Terlebih lagi, ia datang ke restoran itu bersama Ratu.

Jeffrey harap Ratu tidak mendengar percakapan sampah itu sama sekali.

Ia memang tidak begitu paham soal kehamilan. Tapi Jeffrey tidak bodoh. Ia tahu bahwa kebanyakan ibu hamil akan jauh menjadi lebih sensitif daripada biasanya. Jeffrey takut kalau-kalau istrinya itu merasa tidak nyaman, atau sebagainya.

Rasanya ingin sekali ia melangkah pergi dari sana, namun melihat Ratu yang masih menikmati dessert di hadapannya, membuat Jeffrey mengurungkan niat.

Tidak mudah mengajak istrinya itu keluar rumah, butuh waktu cukup lama bagi Ratu untuk memilih pakaian. Pasalnya wanita itu mengklaim bahwa perutnya sudah mulai membuncit, dan ia merasa kurang percaya diri akan hal itu. Sampai-sampai Jeffrey membutuhkan banyak tenaga untuk merayu, serta membujuk Ratu.

Dipandanginya Ratu yang tengah tersenyum sumringah hanya karena semangkuk es krim rasa stroberi di hadapannya.

Jeffrey menghela hafas panjang.

“Jadi menurut kamu, istri kamu itu udah gak suka sama kamu, dan cuman suka sama duit kamu?”

“Iya. Kabar bagus kan?—

Lumayan lah, jadi punya pembantu pengertian di rumah.”

Brak!

Jeffrey yang sudah muak mendengar kedua, sontak berdiri dan menggeser kursinya dengan sangat kasar.

“Kamu udah selesai belum, Ra? Aku mau pulang!” kata Jeffrey bersungut-sungut.

Melihat wajah suaminya yang mulai memerah itu, lantas Ratu menarik sudut bibirnya. Ia meraih selembar tisu dengan santai, kemudian berdiri.

“Tunggu sebentar.”

Selanjutnya, setelah mengatakan hal itu, Ratu berjalan menuju 2 orang yang menjadi sumber kekesalan Jeffrey malam itu.

“Permisi?” sapa Ratu kemudian tersenyum lebar.

“I—iya? Siapa?” tanya laki-laki yang ia hampiri itu.

“Bukan siapa-siapa, Pak. Saya cuman mau bilang—pertama, saya liat-liat muka Bapak ini gak seberapa. Kedua, saya doain semoga Bapak jatuh miskin ya, biar Bapak sekalian ditinggal sama istri Bapak yang di rumah. Ketiga, sorry tapi—mulut lo berisik banget, kalau ngomong udah kaya pakai toa! Tuh lo liat suami gue sampai gak mood gitu gara-gara mulut lo!” hardik Ratu tanpa memberi lawan bicaranya itu kesempatan untuk menjawab.

Setelah mengatakan hal itu, lantas ia kembali menghampiri Jeffrey.

“Lo gila sih kalau kata gue, Ra.” Sepersekian detik, Jeffrey bergidik ngeri, namun kemudian ia tersenyum bangga. Dirangkulnya pinggang Ratu dengan posesif, sebelum melangkah pergi dari sana. Mengabaikan beberapa pasang mata yang menatap istrinya.

Ratu mendengus sebal. “Pengen aku cabein, Anjir mulutnya!”

“Istri kamu gimana?”

“Dia tau aku kesini sama kamu, dan yah—biasa aja. Mungkin karna masih suka bau duit aku.”

Jeffrey meneguk ludah kala mendengar percakapan 2 orang yang duduk tidak begitu jauh darinya. Ia lalu mengelus dada sambil geleng-geleng tak percaya.

“Kamu kenapa, Mas? Mual lagi?” tanya Ratu setengah panik.

“Enggak. Tadi aku kaya denger suara anjing,” sahutnya, sengaja menekankan intonasi pada setiap kata.

Sebenarnya wajar, jika di tempat umum seperti restoran yang mereka singgahi ini, siapapun dapat mendengar obrolan pengunjung lainnya meski tidak disengaja. Toh, si pembicara itu sendiri, memang seolah tidak berniat menyembunyikan pembicaraan mereka. Namun tetap saja, Jeffrey merasa risih. Terlebih lagi, ia datang ke restoran itu bersama Ratu.

Jeffrey harap Ratu tidak mendengar percakapan sampah itu sama sekali.

Ia memang tidak begitu paham soal kehamilan. Tapi Jeffrey tidak bodoh. Ia tahu bahwa kebanyakan ibu hamil akan jauh menjadi lebih sensitif daripada biasanya. Jeffrey takut kalau-kalau istrinya itu merasa tidak nyaman, atau sebagainya.

Rasanya ingin sekali ia melangkah pergi dari sana, namun melihat Ratu yang masih menikmati dessert di hadapannya, membuat Jeffrey mengurungkan niat.

Tidak mudah mengajak istrinya itu keluar rumah, butuh waktu cukup lama bagi Ratu untuk memilih pakaian. Pasalnya wanita itu mengklaim bahwa perutnya sudah mulai membuncit, dan ia merasa kurang percaya diri akan hal itu. Sampai-sampai Jeffrey membutuhkan banyak tenaga untuk merayu, serta membujuk Ratu.

Dipandanginya Ratu yang tengah tersenyum sumringah hanya karena semangkuk es krim rasa stroberi di hadapannya.

Jeffrey menghela hafas panjang.

“Jadi menurut kamu, istri kamu itu udah gak suka sama kamu, dan cuman suka sama duit kamu?”

“Iya. Kabar bagus kan?—

Lumayan lah, jadi punya pembantu pengertian di rumah.”

Brak!

Jeffrey yang sudah muak mendengar kedua, sontak berdiri dan menggeser kursinya dengan sangat kasar.

“Kamu udah selesai belum, Ra? Aku mau pulang!” kata Jeffrey bersungut-sungut.

Melihat wajah suaminya yang mulai memerah itu, lantas Ratu menarik sudut bibirnya. Ia meraih selembar tisu dengan santai, kemudian berdiri.

“Tunggu sebentar.”

Selanjutnya, setelah mengatakan hal itu, Ratu berjalan menuju 2 orang yang menjadi sumber kekesalan Jeffrey malam itu.

“Permisi?” sapa Ratu kemudian tersenyum lebar.

“I—iya? Siapa?” tanya laki-laki yang ia hampiri itu.

“Bukan siapa-siapa, Pak. Saya cuman mau bilang—pertama, saya liat-liat muka Bapak ini gak seberapa. Kedua, saya doain semoga Bapak jatuh miskin ya, biar Bapak sekalian ditinggal sama istri Bapak yang di rumah. Ketiga, sorry tapi—mulut lo berisik banget, kalau ngomong udah kaya pakai toa! Tuh lo liat suami gue sampai gak mood gitu gara-gara mulut lo!” hardik Ratu tanpa memberi lawan bicaranya itu kesempatan untuk menjawab.

Setelah mengatakan hal itu, lantas ia kembali menghampiri Jeffrey.

“Lo gila sih kalau kata gue, Ra.” Sepersekian detik, Jeffrey bergidik ngeri, namun kemudian ia tersenyum bangga. Dirangkulnya pinggang Ratu dengan posesif, sebelum melangkah pergi dari sana. Mengabaikan beberapa pasang mata yang menatap istrinya.

Ratu mendengus sebal. “Pengen aku cabein, Anjir mulutnya!”

“Istri kamu gimana?”

“Dia tau aku kesini sama kamu, dan yah—biasa aja. Mungkin karna masih suka bau duit aku.”

Jeffrey meneguk ludah kala mendengar percakapan 2 orang yang duduk tidak begitu jauh darinya. Ia lalu mengelus dada sambil geleng-geleng tak percaya.

“Kamu kenapa, Mas? Mual lagi?” tanya Ratu setengah panik.

“Enggak. Tadi aku kaya denger suara anjing,” sahutnya, sengaja menekankan intonasi pada setiap kata.

Sebenarnya wajar, jika di tempat umum seperti restoran yang mereka singgahi ini, siapapun dapat mendengar obrolan pengunjung lainnya meski tidak disengaja. Toh, si pembicara itu sendiri, memang seolah tidak berniat menyembunyikan pembicaraan mereka. Namun tetap saja, Jeffrey merasa risih. Terlebih lagi, ia datang ke restoran itu bersama Ratu.

Jeffrey harap Ratu tidak mendengar percakapan sampah itu sama sekali.

Ia memang tidak begitu paham soal kehamilan. Tapi Jeffrey tidak bodoh. Ia tahu bahwa kebanyakan ibu hamil akan jauh menjadi lebih sensitif daripada biasanya. Jeffrey takut kalau-kalau istrinya itu merasa tidak nyaman, atau sebagainya.

Rasanya ingin sekali ia melangkah pergi dari sana, namun melihat Ratu yang masih menikmati dessert di hadapannya, membuat Jeffrey mengurungkan niat.

Tidak mudah mengajak istrinya itu keluar rumah, butuh waktu cukup lama bagi Ratu untuk memilih pakaian. Pasalnya wanita itu mengklaim bahwa perutnya sudah mulai membuncit, dan ia merasa kurang percaya diri akan hal itu. Sampai-sampai Jeffrey membutuhkan banyak tenaga untuk merayu, serta membujuk Ratu.

Dipandanginya Ratu yang tengah tersenyum sumringah hanya karena semangkuk es krim rasa stroberi di hadapannya.

Jeffrey menghela hafas panjang.

“Jadi menurut kamu, istri kamu itu udah gak suka sama kamu, dan cuman suka sama duit kamu?”

“Iya. Kabar bagus kan?—

Lumayan lah, jadi punya pembantu pengertian di rumah.”*

Brak!

Jeffrey yang sudah muak mendengar kedua, sontak berdiri dan menggeser kursinya dengan sangat kasar.

“Kamu udah selesai belum, Ra? Aku mau pulang!” kata Jeffrey bersungut-sungut.

Melihat wajah suaminya yang mulai memerah itu, lantas Ratu menarik sudut bibirnya. Ia meraih selembar tisu dengan santai, kemudian berdiri.

“Tunggu sebentar.”

Selanjutnya, setelah mengatakan hal itu, Ratu berjalan menuju 2 orang yang menjadi sumber kekesalan Jeffrey malam itu.

“Permisi?” sapa Ratu kemudian tersenyum lebar.

“I—iya? Siapa?” tanya laki-laki yang ia hampiri itu.

“Bukan siapa-siapa, Pak. Saya cuman mau bilang—pertama, saya liat-liat muka Bapak ini gak seberapa. Kedua, saya doain semoga Bapak jatuh miskin ya, biar Bapak sekalian ditinggal sama istri Bapak yang di rumah. Ketiga, sorry tapi—mulut lo berisik banget, kalau ngomong udah kaya pakai toa! Tuh lo liat suami gue sampai gak mood gitu gara-gara mulut lo!” hardik Ratu tanpa memberi lawan bicaranya itu kesempatan untuk menjawab.

Setelah mengatakan hal itu, lantas ia kembali menghampiri Jeffrey.

“Lo gila sih kalau kata gue, Ra.” Sepersekian detik, Jeffrey bergidik ngeri, namun kemudian ia tersenyum bangga. Dirangkulnya pinggang Ratu dengan posesif, sebelum melangkah pergi dari sana. Mengabaikan beberapa pasang mata yang menatap istrinya.

Ratu mendengus sebal. “Pengen aku cabein, Anjir mulutnya!”

“Istri kamu gimana?”

*“Dia tau aku kesini sama kamu, dan yah—biasa aja. Mungkin karna masih suka bau duit aku.”

Jeffrey meneguk ludah kala mendengar percakapan 2 orang yang duduk tidak begitu jauh darinya. Ia lalu mengelus dada sambil geleng-geleng tak percaya.

“Kamu kenapa, Mas? Mual lagi?” tanya Ratu setengah panik.

“Enggak. Tadi aku kaya denger suara anjing,” sahutnya, sengaja menekankan intonasi pada setiap kata.

Sebenarnya wajar, jika di tempat umum seperti restoran yang mereka singgahi ini, siapapun dapat mendengar obrolan pengunjung lainnya meski tidak disengaja. Toh, si pembicara itu sendiri, memang seolah tidak berniat menyembunyikan pembicaraan mereka. Namun tetap saja, Jeffrey merasa risih. Terlebih lagi, ia datang ke restoran itu bersama Ratu.

Jeffrey harap Ratu tidak mendengar percakapan sampah itu sama sekali.

Ia memang tidak begitu paham soal kehamilan. Tapi Jeffrey tidak bodoh. Ia tahu bahwa kebanyakan ibu hamil akan jauh menjadi lebih sensitif daripada biasanya. Jeffrey takut kalau-kalau istrinya itu merasa tidak nyaman, atau sebagainya.

Rasanya ingin sekali ia melangkah pergi dari sana, namun melihat Ratu yang masih menikmati dessert di hadapannya, membuat Jeffrey mengurungkan niat.

Tidak mudah mengajak istrinya itu keluar rumah, butuh waktu cukup lama bagi Ratu untuk memilih pakaian. Pasalnya wanita itu mengklaim bahwa perutnya sudah mulai membuncit, dan ia merasa kurang percaya diri akan hal itu. Sampai-sampai Jeffrey membutuhkan banyak tenaga untuk merayu, serta membujuk Ratu.

Dipandanginya Ratu yang tengah tersenyum sumringah hanya karena semangkuk es krim rasa stroberi di hadapannya.

Jeffrey menghela hafas panjang.

“Jadi menurut kamu, istri kamu itu udah gak suka sama kamu, dan cuman suka sama duit kamu?”

“Iya. Kabar bagus kan?—

Lumayan lah, jadi punya pembantu pengertian di rumah.”*

Brak!

Jeffrey yang sudah muak mendengar kedua, sontak berdiri dan menggeser kursinya dengan sangat kasar.

“Kamu udah selesai belum, Ra? Aku mau pulang!” kata Jeffrey bersungut-sungut.

Melihat wajah suaminya yang mulai memerah itu, lantas Ratu menarik sudut bibirnya. Ia meraih selembar tisu dengan santai, kemudian berdiri.

“Tunggu sebentar.”

Selanjutnya, setelah mengatakan hal itu, Ratu berjalan menuju 2 orang yang menjadi sumber kekesalan Jeffrey malam itu.

“Permisi?” sapa Ratu kemudian tersenyum lebar.

“I—iya? Siapa?” tanya laki-laki yang ia hampiri itu.

“Bukan siapa-siapa, Pak. Saya cuman mau bilang—pertama, saya liat-liat muka Bapak ini gak seberapa. Kedua, saya doain semoga Bapak jatuh miskin ya, biar Bapak sekalian ditinggal sama istri Bapak yang di rumah. Ketiga, sorry tapi—mulut lo berisik banget, kalau ngomong udah kaya pakai toa! Tuh lo liat suami gue sampai gak mood gitu gara-gara mulut lo!” hardik Ratu tanpa memberi lawan bicaranya itu kesempatan untuk menjawab.

Setelah mengatakan hal itu, lantas ia kembali menghampiri Jeffrey.

“Lo gila sih kalau kata gue, Ra.” Sepersekian detik, Jeffrey bergidik ngeri, namun kemudian ia tersenyum bangga. Dirangkulnya pinggang Ratu dengan posesif, sebelum melangkah pergi dari sana. Mengabaikan beberapa pasang mata yang menatap istrinya.

Ratu mendengus sebal. “Pengen aku cabein, Anjir mulutnya!”