cakgrays

“Istri kamu gimana?”

“Dia tau aku kesini sama kamu, dan yah—biasa aja. Mungkin karna masih suka bau duit aku.”

Jeffrey meneguk ludah kala mendengar percakapan 2 orang yang duduk tidak begitu jauh darinya. Ia lalu mengelus dada sambil geleng-geleng tak percaya.

“Kamu kenapa, Mas? Mual lagi?” tanya Ratu setengah panik.

“Enggak. Tadi aku kaya denger suara anjing,” sahutnya, sengaja menekankan intonasi pada setiap kata.

Sebenarnya wajar, jika di tempat umum seperti restoran yang mereka singgahi ini, siapapun dapat mendengar obrolan pengunjung lainnya meski tidak disengaja. Toh, si pembicara itu sendiri, memang seolah tidak berniat menyembunyikan pembicaraan mereka. Namun tetap saja, Jeffrey merasa risih. Terlebih lagi, ia datang ke restoran itu bersama Ratu.

Jeffrey harap Ratu tidak mendengar percakapan sampah itu sama sekali.

Ia memang tidak begitu paham soal kehamilan. Tapi Jeffrey tidak bodoh. Ia tahu bahwa kebanyakan ibu hamil akan jauh menjadi lebih sensitif daripada biasanya. Jeffrey takut kalau-kalau istrinya itu merasa tidak nyaman, atau sebagainya.

Rasanya ingin sekali ia melangkah pergi dari sana, namun melihat Ratu yang masih menikmati dessert di hadapannya, membuat Jeffrey mengurungkan niat.

Tidak mudah mengajak istrinya itu keluar rumah, butuh waktu cukup lama bagi Ratu untuk memilih pakaian. Pasalnya wanita itu mengklaim bahwa perutnya sudah mulai membuncit, dan ia merasa kurang percaya diri akan hal itu. Sampai-sampai Jeffrey membutuhkan banyak tenaga untuk merayu, serta membujuk Ratu.

Dipandanginya Ratu yang tengah tersenyum sumringah hanya karena semangkuk es krim rasa stroberi di hadapannya.

Jeffrey menghela hafas panjang.

“Jadi menurut kamu, istri kamu itu udah gak suka sama kamu, dan cuman suka sama duit kamu?”

“Iya. Kabar bagus kan?—

Lumayan lah, jadi punya pembantu pengertian di rumah.”*

Brak!

Jeffrey yang sudah muak mendengar kedua, sontak berdiri dan menggeser kursinya dengan sangat kasar.

“Kamu udah selesai belum, Ra? Aku mau pulang!” kata Jeffrey bersungut-sungut.

Melihat wajah suaminya yang mulai memerah itu, lantas Ratu menarik sudut bibirnya. Ia meraih selembar tisu dengan santai, kemudian berdiri.

“Tunggu sebentar.”

Selanjutnya, setelah mengatakan hal itu, Ratu berjalan menuju 2 orang yang menjadi sumber kekesalan Jeffrey malam itu.

“Permisi?” sapa Ratu kemudian tersenyum lebar.

“I—iya? Siapa?” tanya laki-laki yang ia hampiri itu.

“Bukan siapa-siapa, Pak. Saya cuman mau bilang—pertama, saya liat-liat muka Bapak ini gak seberapa. Kedua, saya doain semoga Bapak jatuh miskin ya, biar Bapak sekalian ditinggal sama istri Bapak yang di rumah. Ketiga, sorry tapi—mulut lo berisik banget, kalau ngomong udah kaya pakai toa! Tuh lo liat suami gue sampai gak mood gitu gara-gara mulut lo!” hardik Ratu tanpa memberi lawan bicaranya itu kesempatan untuk menjawab.

Setelah mengatakan hal itu, lantas ia kembali menghampiri Jeffrey.

“Lo gila sih kalau kata gue, Ra.” Sepersekian detik, Jeffrey bergidik ngeri, namun kemudian ia tersenyum bangga. Dirangkulnya pinggang Ratu dengan posesif, sebelum melangkah pergi dari sana. Mengabaikan beberapa pasang mata yang menatap istrinya.

Ratu mendengus sebal. “Pengen aku cabein, Anjir mulutnya!”

“Istri kamu gimana?”

*“Dia tau aku kesini sama kamu, dan yah—biasa aja. Mungkin karna masih suka bau duit aku.”

Jeffrey meneguk ludah kala mendengar percakapan 2 orang yang duduk tidak begitu jauh darinya. Ia lalu mengelus dada sambil geleng-geleng tak percaya.

“Kamu kenapa, Mas? Mual lagi?” tanya Ratu setengah panik.

“Enggak. Tadi aku kaya denger suara anjing,” sahutnya, sengaja menekankan intonasi pada setiap kata.

Sebenarnya wajar, jika di tempat umum seperti restoran yang mereka singgahi ini, siapapun dapat mendengar obrolan pengunjung lainnya meski tidak disengaja. Toh, si pembicara itu sendiri, memang seolah tidak berniat menyembunyikan pembicaraan mereka. Namun tetap saja, Jeffrey merasa risih. Terlebih lagi, ia datang ke restoran itu bersama Ratu.

Jeffrey harap Ratu tidak mendengar percakapan sampah itu sama sekali.

Ia memang tidak begitu paham soal kehamilan. Tapi Jeffrey tidak bodoh. Ia tahu bahwa kebanyakan ibu hamil akan jauh menjadi lebih sensitif daripada biasanya. Jeffrey takut kalau-kalau istrinya itu merasa tidak nyaman, atau sebagainya.

Rasanya ingin sekali ia melangkah pergi dari sana, namun melihat Ratu yang masih menikmati dessert di hadapannya, membuat Jeffrey mengurungkan niat.

Tidak mudah mengajak istrinya itu keluar rumah, butuh waktu cukup lama bagi Ratu untuk memilih pakaian. Pasalnya wanita itu mengklaim bahwa perutnya sudah mulai membuncit, dan ia merasa kurang percaya diri akan hal itu. Sampai-sampai Jeffrey membutuhkan banyak tenaga untuk merayu, serta membujuk Ratu.

Dipandanginya Ratu yang tengah tersenyum sumringah hanya karena semangkuk es krim rasa stroberi di hadapannya.

Jeffrey menghela hafas panjang.

“Jadi menurut kamu, istri kamu itu udah gak suka sama kamu, dan cuman suka sama duit kamu?”

“Iya. Kabar bagus kan?—

Lumayan lah, jadi punya pembantu pengertian di rumah.”*

Brak!

Jeffrey yang sudah muak mendengar kedua, sontak berdiri dan menggeser kursinya dengan sangat kasar.

“Kamu udah selesai belum, Ra? Aku mau pulang!” kata Jeffrey bersungut-sungut.

Melihat wajah suaminya yang mulai memerah itu, lantas Ratu menarik sudut bibirnya. Ia meraih selembar tisu dengan santai, kemudian berdiri.

“Tunggu sebentar.”

Selanjutnya, setelah mengatakan hal itu, Ratu berjalan menuju 2 orang yang menjadi sumber kekesalan Jeffrey malam itu.

“Permisi?” sapa Ratu kemudian tersenyum lebar.

“I—iya? Siapa?” tanya laki-laki yang ia hampiri itu.

“Bukan siapa-siapa, Pak. Saya cuman mau bilang—pertama, saya liat-liat muka Bapak ini gak seberapa. Kedua, saya doain semoga Bapak jatuh miskin ya, biar Bapak sekalian ditinggal sama istri Bapak yang di rumah. Ketiga, sorry tapi—mulut lo berisik banget, kalau ngomong udah kaya pakai toa! Tuh lo liat suami gue sampai gak mood gitu gara-gara mulut lo!” hardik Ratu tanpa memberi lawan bicaranya itu kesempatan untuk menjawab.

Setelah mengatakan hal itu, lantas ia kembali menghampiri Jeffrey.

“Lo gila sih kalau kata gue, Ra.” Sepersekian detik, Jeffrey bergidik ngeri, namun kemudian ia tersenyum bangga. Dirangkulnya pinggang Ratu dengan posesif, sebelum melangkah pergi dari sana. Mengabaikan beberapa pasang mata yang menatap istrinya.

Ratu mendengus sebal. “Pengen aku cabein, Anjir mulutnya!”

Setelah sibuk menata segala penjuru unit apartemen yang ia tempati, tentu saja Ratu kelelahan. Keningnya berkeringat—ternyata seperti ini rasanya melakukan pekerjaan rumah di masa kehamilan, batinnya. Beruntung Jeffrey sering kali melarangnya melakukan kegiatan seperti mengepel lantai dan menyikat kamar mandi. Meski kandungan Ratu baru akan menginjak usia 2 bulan, namun ia sudah merasa lebih cepat kelelahan daripada sebelumnya.

Ratu menghela nafas panjang. Sebenarnya ia ingin sekali menyambut sang Mama Mertua dengan sangat baik, tapi justru sudah tepar di atas sofa seperti saat ini. Kendati begitu, Ratu menarik sudut bibirnya—setidaknya unit yang ia sebut rumah itu, sudah cukup bersih dan nyaman untuk dikunjungi keluarga dari Jeffrey.

Tangan Ratu mengelus lembut perutnya yang sudah mulai membuncit. Ia senang, sejauh ini anak Jeffrey dalam kandungannya tidak bertingkah yang macam-macam. Ia bahkan hampir tidak pernah mengalami morning sickness. Hanya sekali, dua kali—dan itupun masih sangat normal. Berbeda dengan Jeffrey yang setiap hari dihantui dengan perasaan mual, dan perubahan mood yang sangat drastis.

Tiba-tiba bell unit tersebut berbunyi ditengah-tengah lamunan Ratu. Tanda ada seseorang di luar sana.

Ratu yakin sekali bahwa yang di luar itu, adalah Mertuanya. Lantas, Ratu beranjak dari tempat duduknya, berjalan dengan hati-hati seperti yang selalu Jeffrey perintahkan, menuju pintu masuk.

Dan benar saja, begitu pintu terbuka—ia langsung mendapat pelukan dari 4 orang sekaligus. Yah, siapa lagi kalau bukan Mama, Papa, Mba Kila, dan Jemian? Seperti halnya Teletubbies mereka memeluk Ratu cukup lama di depan pintu.

Sebenarnya Ratu tidak masalah sama sekali. Toh selama ini ia memang selalu merindukan kehangatan keluarga, dan kebetulan keluarga Jeffrey dengan senang hati membagi kehangatan itu. Tapi untuk kali ini, ia kehabisan nafas. Refleks Ratu mendorong tubuh Mama dan Mba Kila, yang otomatis mendorong Papa dan Jemian juga.

“ADUH JEMI KETATAP PINTU TAU MAH!” gaduh Jemian seketika.

Sementara Mama, Papa, dan Mba Kila sibuk menatap Ratu yang kesusahan bernafas.

“Engap ya, Sayang? Yuk duduk aja. Kita tolong bantuin Mamah tuntun adeknya nih!” kata Mama.

Lalu dengan sigap, keduanya menuntun Ratu kembali ke arah sofa, meninggalkan Jemian dan Papa yang masih di depan pintu.

“Itu Mba Ratu kenapa, Pah?” tanya Jemian penasaran.

“Hamil.”

“Jemi tau, Pah! Maksudnya yang barusan itu lho, kenapa?” Jemian mendengus sebal di akhir kalimatnya.

“Engap, Jem.”

Ha kan, memang benar, ngobrol bersama Papa adalah suatu tindakan yang sia-sia. Alih-alih mendapat jawaban atas pertanyaan, Jemian justru mendapat emosi di tengah hari bolong.

Papa sendiri malah tertawa puas melihat ekspresi kesal dari Jemian, persis seperti Jeffrey—anak tengahnya itu.

“Udah ayo masuk, anggep aja rumah sendiri,” kata Papa mempersilahkan Jemian, seperti layaknya pemilik rumah.

“TERSERAH!” Takut semakin kesal, Jemian langsung melenggang pergi begitu saja.


“Kamu abis ngapain sih? Kerja yang berat-berat ya?” tanya Mama sambil menaik turunkan tangannya, seolah tengah menuntun Ratu untuk bernafas.

Ratu tersenyum, “Abis bersih-bersih, sedikit.” Setelah mengatakan itu, Ratu membetulkan posisi duduknya, agar lebih tegap.

“Hamil muda itu masih rawan loh, Ra. Kamu gak boleh sampai kecapean,” sahut Mba Kila.

“Kenapa gak pake asisten rumah tangga aja, Mba?” sambung Jemian.

Ratu menggeleng cepat.

“Unit sekecil ini, ngapain pakai ART? Kan masih bisa dihandle sama aku, atau Jeffrey kalau cuman nyapu, ngepel, sama cuci piring. Lagian Jeffrey mau beli rumah—mendingan uangnya ditabung buat perabotan baru nanti,” tutur Ratu terbata-bata, karena masih mengatur nafas.

“Dia bilang gitu?”

“Apa pah?”

“Dia bilang gak mau pakai ART karna alasan itu?”

“Enggak, Pah. Ini pemikiran aku aja. Belum lagi kita harus nabung buat dia kan?” Ratu menatap dan mengelus lembut perutnya.

Begitu ia kembali menatap Papa, laki-laki paruh baya itu memasang raut wajah tak senang.

“Kamu tau gak kalau pemikiran kaya gitu itu salah? Sebagai suami, emang udah jadi tugas Jeffrey untuk cari uang. Ya, Papa tau kalau mungkin kamu mau menghemat. Tapi kamu tau kan penghasilan suami kamu berapa?—”

“Nak, diatas hemat, masih ada kenyamanan dan keselamatan yang harus kamu utamakan. Jeffrey gak akan kekurangan uang, selagi itu buat kamu dan anaknya. Papa gak mau ya, denger kabar kalau kamu dan anak kalian kenapa-napa. Itu tandanya anak Papa gagal.”

Ratu bergeming.

Apa yang Papa katakan, ada benarnya. Mungkin ia terlalu mengkhawatirkan Jeffrey sampai-sampai buta akan fakta sebenarnya. Padahal jelas-jelas, suaminya itu sudah berkali-kali menawarkan semua yang terbaik kepadanya sejak awal. Baik itu rumah, maupun ART, namun Ratu selalu saja menunda-nunda untuk mengiyakan pendapat Jeffrey.

Tepat pukul 5 sore, Jeffrey memandang Ratu yang masih tertidur lelap sejak siang tadi. Setelah mendatangi dokter kandungan, istrinya itu bak diserap habis seluruh tenaganya. Padahal seingat Jeffrey, sang dokter, atau bahkan dirinya tidak sama sekali meminta Ratu untuk melakukan sesuatu yang berat.

Jeffrey menekan saklar lampu. Seketika kamar mereka berdua jauh lebih terang daripada sebelumnya. Dapat Jeffrey lihat, wajah Ratu masih pucat, bahkan kening istrinya itu berkeringat dingin.

Dengan hati-hati Jeffrey naik keatas ranjang. Takut kalau-kalau pergerakannya dapat membangunkan Ratu.

Jeffrey merentangkan tangan kanannya, kemudian tangan kirinya perlahan-lahan mengangkat tengkuk sang istri. Diusapnya pucuk kepala Ratu perlahan-lahan. Sorot mata Jeffrey turun menatap lekukan demi lekukan pada wajah sang istri.

Jeffrey menyunggingkan senyumnya.

Ternyata benar kata orang-orang—ibu hamil akan memancarkan aura kecantikan yang berbeda dari sebelumnya. Meski pucat, dan ditambah dengan bercak jejak sarung bantal, wajah istrinya itu tampak cantik luar biasa.

Dalam keheningan, Jeffrey kembali mengingat-ingat keanehan yang muncul dalam diri Ratu beberapa hari yang lalu—Jeffrey terkekeh. Bisa-bisanya ia mengira bahwa usaha pertamanya telah gagal begitu saja hanya karena ketidaksabaran dalam dirinya. Bisa-bisanya ia meragukan sang bibit unggul yang telah ia tanamkan dalam rahim Ratu.

Kemudian karena suara kekehannya—Ratu menggeliat dalam tidurnya. Wanita itu akhirnya terbangun dan membuka matanya.

“Mas?” lirih Ratu, begitu ia membuka mata.

“Apa?”

“Aku mimpi kalau aku hamil.”

Hening sesaat. Jeffrey mencoba untuk mencerna apa yang baru saja Ratu katanya, lalu dengan gemas ia mendepak tubuh Ratu.

“Bukan mimpi, Ra. Kita beneran abis ke rumah sakit tadi siang, dan kamu beneran hamil.”

!Deg

Ratu beringsut mendorong tubuh Jeffrey, agar melepas pelukannya. Matanya membola seketika.

“Bercanda, kan?” tanya Ratu.

Jeffrey bingung harus menjawab apa, pasalnya ekspresi wajah Ratu kali ini sulit untuk diartikan. Dengan tatapan nanar, Ratu menyentuh perutnya yang memang tak lagi rata seperti sebelum-sebelumnya.

“Mas ... aku ... masih belum siap ngelahirin. Aku belum siap kebangun semaleman buat—ya—aku belum siap jadi orang tua,” kata Ratu terbata-bata. Tangannya sedikit gemetar.

Sementara itu, Jeffrey menaikkan sebelah alisnya. Jujur saja, apa yang baru saja Ratu katakan, cukup melukai egonya.

“Ra—.” Suara Jeffrey kemudian mengalihkan atensi Ratu dari perutnya.

“Kita—gue dan lo, bikin dia—,” ujar Jeffrey sembari menunjuk lurus kearah perut dengan jari telunjuknya. “Dalam keadaan sadar.”

“Gue tau kalau di malam itu, gue abis minum. Tapi gue gak teler, Ra. Gue sadar atas setiap perbuatan yang gue lakuin, dan ... gue yakin lo juga. Gue yakin kalau sebelum kita ngelakuin hubungan intim itu, gue sempet tanya ke lo, apa lo bener-bener udah siap atau belum. Gue yakin kalau sebelum kita ngelakuin itu, gue bahkan nyuruh lo tetep buka mata buat make sure kalau lo sadar kita ngelakuin itu dengan dan atas persetujuan lo—.” Nafas Jeffrey memburu.

“Terus menurut lo, kalau bukan anak kita yang keluar—apa, Ra? Mobil Aston Martin keluaran terbaru? Kipas angin cosmos wadesta? Atau apa sih?”

Kesal karena tak kunjung mendapat jawaban, lantas Jeffrey mendekat. Tangan kanannya meraih dagu Ratu. “Gue nanya, Ra. Jawab!”

Ratu geming. Untuk kedua kalinya, ia dihadapkan dengan Jeffrey yang seperti ini—baginya cukup menyeramkan.

Tak hanya enggan menjawab pertanyaan Jeffrey, Ratu juga enggan menatap manik mata suaminya itu. Ia takut.

Jeffrey menghela nafas. Dalam benaknya, ada begitu banyak argumen kekesalan yang ingin ia sampaikan. Dalam benaknya, ingin sekali rasanya ia memaki wanita di hadapannya itu hingga ia tersadar akan kesalahannya. Tapi dengan susah payah, Jeffrey mengurungkan niat.

Jeffrey memilih untuk kembali menarik Ratu ke dalam dekapannya. Dan Ratu dapat merasakan dengan jelas bagaimana kencangnya degup jantung Jeffrey kala itu.

“Aku minta maaf, barusan ngomongnya pakai urat. Maaf,” bisik Jeffrey. Tak lupa kedua tangannya sambil mengusap punggung sang istri.

“Yang ada di perut kamu itu—calon anak kita, Ra. Kalau kamu pikir aku siap, sebenernya enggak juga. Aku sama takutnya kaya kamu. Aku takut kalau aku gak bisa tanggung jawab atas kamu sama dia. Tapi menurut aku ... siap gak siap, kita harus siap—,”

“Karna itu udah jadi pilihan kita dari awal,” tutur Jeffrey dengan lembut.

Meski tak ada satu katapun yang keluar dari mulut Ratu, namun Jeffrey dapat merasakan kalau wanita itu membalas pelukannya, bahkan kini jauh lebih erat. Jeffrey mengerti, menjadi seorang ibu nantinya akan lebih berat. Menjadi seorang ibu nantinya bukan hanya perihal tanggung jawab yang dibutuhkan, tapi juga rasa sakit saat melahirkan, ditambah lagi dengan kesediaan Ratu untuk terus menggendong, bahkan menyusui anak mereka kelak, kurang lebih selama 2 tahun lamanya.

Pundak Ratu gemetar, menandakan istrinya itu tengah menahan tangisnya. Jeffrey yang menyadari hal itupun spontan mengecup pundak Ratu sebanyak tiga kali, seperti yang biasa ia lakukan setiap kali Ratu menangis dalam dekapannya.

“Ada aku, Ra. Ada aku terus disebelah kamu ... jadi jangan takut.”

Jeffrey memandang sayu ke arah Ratu yang tengah diperiksa oleh seorang dokter ob-gyn sejak beberapa saat lalu. Tak henti-hentinya Jeffrey merapalkan sebuah doa dalam hatinya. Sangat berbanding terbalik dengan Ratu yang terlihat tengah cengangas-cengenges di sampingnya.

Entah apa hasilnya, Jeffrey harap itu bukanlah sesuatu yang buruk seperti pendarahan atau semacamnya.

Jeffrey membuka pintu ruang dokter ob-gyn menggunakan tangan kirinya—sementara tangan kanannya tengah sibuk memeluk pinggang Ratu kuat-kuat. Seakan-akan, wanita itu mungkin akan berlarian kesana kemari jika ia melepaskan tangannya

Seketika netra Jeffrey dan Ratu langsung disambut oleh seorang wanita paruh baya, dengan jas dokter yang cocok dipadukan dengan pakaiannya. Cantik, batin Ratu.

“Selamat pagi, Bu! Silahkan duduk. Ada keluhan apa?” kata sang Dokter Ob-gyn, sembari tersenyum.

Kemudian tanpa berpikir panjang, Jeffrey menarik sebuah kursi di hadapan sang dokter, dan memberi isyarat pada Ratu, agar ia segera duduk disana.

“Istri saya aneh, Dok,” cetus Jeffrey, begitu ia baru saja mendudukkan bokongnya.

Ratu yang di sebelahnya pun melotot. Ingin rasanya Ratu menenggelamkan dirinya di Samudra Pasifik saat itu juga. Sementara sang dokter hanya tersenyum, tak habis pikir melihat pasangan ajaib di hadapannya itu.

Jeffrey yang menyadari kebodohannya, lantas meringis, “Maksudnya, istri saya nunjukin gejala kehamilan—tapi dia menstruasi. Tolong diperiksa, Dok. Kira-kira istri saya kenapa ya?” tutur Jeffrey tersendat-sendat.

“Sebelumnya saya mau tanya ke Ibu, ya?” kata Dokter itu sembari menatap serius manik mata Ratu.

Sementara Ratu hanya manggut-manggut.

“Kapan terakhir kali Ibu menstruasi?”

“Kemarin, Dok.”

Lagi-lagi sang Dokter tersenyum. “Kalau bulan lalu? Kira-kira tanggal berapa?”

Hening. Ratu geming seketika. Dalam hati ia merutuki diri sendiri karena melupakan fase menstruasinya sendiri.

“Delapan belas Januari, Dok. Itu terakhir kali istri saya menstruasi di bulan lalu,” sahut Jeffrey semangat.

Tentu saja ia mengingat hari dimana malam pertama mereka berlangsung, dan sehari sebelumnya sudah dipastikan bahwa itu merupakan hari terakhir Ratu mengalami tamu bulanan.

Selanjutnya Jeffrey menoleh ke arah Ratu dan sengaja memamerkan senyum bangga.

“Baik. Apa ada gejala nyeri perut?”

Ratu melirik Jeffrey, “Ada, Dok. Tapi jarang.”

“Katanya gak nyeri, Ra?!”

Spontan Ratu menekan paha Jeffrey menggunakan tangannya, agar laki-laki itu bisa diam sesaat dan mendengar penjelasannya kepada dokter.

“Kira-kira berapa hari, atau berapa minggu sekali, Bu?” kata Dokter.

“Terakhir kali, bulan lalu.”

“Oke, baik. Ada mual?”

Ratu menggeleng cepat.

Detik kemudian, dokter di hadapan mereka itu menyodorkan sebuah benda kecil yang Jeffrey dan Ratu ketahui bernama testpack.

“Saya pikir Ibu belum melakukan test kehamilan apapun ya? Benar?”

Ratu tersenyum malu-malu.

“Silahkan, ini testpacknya.”

Tanpa pikir panjang—lantas Ratu berjalan menuju bilik toilet kecil yang ada di dalam ruang pemeriksaan tersebut.

Ratu mati-matian menahan detak jantungnya yang berdegup kencang. Kedua tangannya pun, gemetar. Ratu takut kalau-kalau nantinya hasil yang ditunjukkan oleh alat kecil di tangannya itu, tidak sesuai dengan keinginan Jeffrey. Namun di sisi lain, Ratu juga merasa takut jika hasil testpack itu menyatakan kehamilannya, karena sejujurnya ia belum terlalu siap.

Semenit, lima menit, Jeffrey dan sang dokter masih menunggu Ratu keluar dari dalam toilet.

Tatkala pintu toilet tersebut terbuka, sontak Jeffrey beranjak dari tempat duduknya. Ia menghampiri Ratu dengan tergesa serta deru nafasnya memburu.

“Gimana, Ra?” tanya Jeffrey.

“Positif.”

Kemudian tanpa memberi aba-aba, Jeffrey memeluk Ratu dengan begitu semangat. Senyuman laki-laki itu, tampak sangat bahagia.

“Lepas dulu, Jeff. Itu Bu Dokternya nungguin,” bisik Ratu mengingatkan.

Jeffrey terpaksa melepas pelukannya, lalu ia berjalan ke tempat duduknya sembari tersenyum sumringah, dan diikuti oleh Ratu.

“Begini, mungkin yang sebelumnya Ibu dan Bapak maksud dengan mens adalah flek implantasi. Nah, apa itu? Flek implantasi adalah kemunculan bercak darah yang jumlahnya sedikit, di luar jadwal mens. Biasa hanya sehari, atau dua hari aja dan warnanya bisa coklat—bahkan pink,”

“Bisa disebabkan karna rahim sudah ada pembuluh darah baru, sudah menebal, dan janinnya nempel disana—maka ada beberapa darah yang keluar,” ungkap Dokter tersebut.

Jeffrey sangat fokus mendengar penjelasan dari sang dokter, hingga akhirnya ia menyadari satu hal. “Tunggu, Dok.”

“Iya, Pak? Ada apa?”

“Jadi, kira-kira saya junior, usianya udah berapa minggu?” tanya Jeffrey penasaran.

“Baik, akan saya hitung berdasarkan HPHT atau hari pertama haid terakhir. Ibu ingat tanggal berapa?”

“Tanggal enam belas, Dok,” jawab Ratu.

Lantas keduanya menatap sang dokter, harap-harap cemas.

“Usia kandungan istri Bapak, adalah lima minggu.”

Jeffrey menutup pintu, dan langsung melangkah menuju kamar yang baru-baru ini—kembali dirinya, dan Ratu tiduri. Pasalnya sang istri sempat mengeluh yang tidak-tidak mengenai kasur di kamar mereka, yang sebelumnya.

Dalam benak Jeffrey merasa keanehan. Kala itu harusnya masih terlalu cepat untuk menutup tirai jendela yang mengarah langsung pada balkon unit apartemen mereka. Tapi, entah kenapa, Ratu memilih untuk menutup tirai tersebut rapat-rapat, seolah hari sudah gelap—atau mungkin, Ratu memang sengaja membiarkan tirai tersebut, dan tidak membukanya sejak tadi malam?

Jeffrey menggidikkan bahunya tak perduli. Toh harusnya ia tak perlu ambil pusing hanya karena sebuah tirai. Harusnya ia segera menghampiri sang istri kesayangannya yang seperti tengah tergila-gila pada dirinya itu.

Benar saja batinnya. Yang pertama kali menyambutnya tatkala ia membuka pintu kamar tersebut, adalah aroma parfum yang sangat menyengat dari dalam. Batin Jeffrey, seandainya itu bukan aroma parfumnya sendiri, mungkin ia akan merasakan mual. Jeffrey geleng-geleng—istri kesayangannya itu memang sangat aneh akhir-akhir ini.

“Ra—lah tidur?” Jeffrey mendengus begitu melihat Ratu yang tengah tertidur pulas diatas ranjang, mengingat sekitar setengah jam yang lalu, Ratu baru saja mengatakan bahwa ia sangat merindukan Jeffrey, hingga meminta laki-laki itu untuk pulang lebih awal dari biasanya.

Lantas Jeffrey memutuskan untuk mandi terlebih dahulu, sebelum ikut merebahkan diri bersama Ratu. Ia melepas dasi dan kemejanya, kemudian langsung melempar kemeja tersebut kedalam sebuah keranjang pakaian kotor yang berada di dalam kamar, sebab seperti itu lah yang selalu Ratu inginkan.

Dan tanpa berlama-lama, ia pun memasuki kamar mandi. Membersihkan seluruh tubuhnya, sembari memikirkan suatu hal yang memang selalu hinggap di dalam isi kepalanya.

Apa gue coba beli testpack aja kali ya? Daripada omongan Mama jadi beban pikiran kaya gini, batinnya.


Sebenarnya ini sama sekali bukan jam tidurnya. Tapi karena Jeffrey berniat untuk menemani Ratu tidur, maka ia sengaja langsung mengenakan piyama usai acara mandi beberapa menit yang lalu.

Jeffrey menoleh ke arah Ratu. Istrinya itu benar-benar tertidur dengan pulas. Bahkan posisinya tidak berubah sejak terakhir kali ia lihat.

Ia tersenyum, gemas batinnya. Kemudian Jeffrey menghambur ke atas ranjang, dan memeluk tubuh Ratu tanpa memberikan aba-aba, hingga membuat Ratu terbangun seketika.

“Aku udah pulang, udah mandi juga,” kata Jeffrey begitu melihat Ratu mengerjapkan matanya.

Alih-alih menjawab, Ratu memilih untuk kembali menutup matanya rapat-rapat dan menenggelamkan wajahnya pada dada milik suaminya itu.

Tak ada satu kalimat pun yang keluar. Ratu hanya sibuk menghirup oksigen dengan serakah di dalam dekapan hangat Jeffrey. Sementara Jeffrey yang diperlakukan seperti itu, tentu senang bukan main. Rasanya jarang sekali Ratu seperti itu.

Jeffrey mengusap-usap punggung Ratu dengan tangannya. Memberikan perasaan hangat serta nyaman bagi Ratu. Ah jangan lupakan bagaimana Jeffrey menghujani kening istrinya itu dengan kecupan manis yang datangnya terus menerus tanpa henti.

“Udah makan?” tanya Jeffrey.

Ratu hanya mengangguk.

“Kamu kena setan dimana ya? Masa jadi jinak gini, Ra?”

Detik selanjutnya sebuah cubitan maha dahsyat menyerang bagian samping perut Jeffrey. Membuat laki-laki itu memekik kaget.

“Dijaga ya mulutnya,” gumam Ratu, kemudian lanjut memeluk Jeffrey dengan erat.

“Sakit banget sumpah, bakal berbekas gue rasa.”

Mendengar perkataan itu, spontan Ratu melepas pelukannya dan mendudukkan dirinya seketika. Dengan gerakan terburu-buru, ia mengangkat piyama yang Jeffrey kenakan.

“Ihhh iya merah, Mas. Aku minta maaf—”

“Iya gapa—ANJING KOK NANGIS RA?!” tanya Jeffrey panik.

Ratu tak menjawab. Ia terus mengusap-usap satu spot pada pinggang Jeffrey yang tampak memerah karena ulahnya.

“Ra?!” Jeffrey menahan pundak Ratu, sebagai isyarat memerintahkan Ratu untuk berhenti.

Sembari menatap Jeffrey, Ratu mencebikkan bibirnya.

“Lo ngapain nangis?” tanya Jeffrey, sembari menahan tawa yang hendak keluar dari mulutnya.

Ini aneh. Wanita di hadapannya itu baru saja mencubitnya seperti biasa. Tapi kenapa kali ini ia menangis, seolah usai melakukan sebuah kesalahan yang fatal?

Ratu menggeleng lemah, “Gak tau ... gue cuman pengen nangis—,” jawabnya.

Sementara itu, raut wajah Jeffrey berubah menjadi serius dalam hitungan detik.

“Hamil kali ya?”

Kali ini Ratu menggeleng cepat, lalu memeluk Jeffrey dalam keadaan duduk. Ia terisak, lebih keras dari sebelumnya. Pertanyaan Jeffrey barusan kembali membuat Ratu sedih, sebab yang ia tahu, ia tengah kedatangan tamu bulanan sejak kemarin. Sebab Ratu tahu bahwa setelah kembali mengatakan hal itu, Jeffrey akan memasang wajah sedih dan hilang semangat seharian penuh.

Jeffrey membalas pelukan Ratu. Ia mengangguk paham atas apa maksud dari isakan Ratu.

Memiliki anak secepatnya memanglah keinginan Jeffrey. Tapi jika hal itu membebankan Ratu, dan membuat istrinya kesayangannya itu sampai stress—tentu saja Jeffrey lebih memilih untuk menunggu.

“Tidur lagi, yuk?” ajak laki-laki itu.

Jeffrey melepas pelukannya, lalu mengusap bekas air mata hingga cairan hidung milik Ratu menggunakan tangannya.

Tanpa menunggu persetujuan dari Ratu, ia merebahkan tubuh istrinya itu, dan kembali membawa Ratu ke dalam dekapannya.

“Ra, aku tau waktunya gak tepat buat ngomong gini sih—tapi aku takut lupa.” Jeffrey masih setia memeluk dan mengusap punggung Ratu.

“Ngomong aja,” lirih Ratu.

“Kamu ngerasa kalau dada kamu sizenya nambah gak?—aku ngerasa soalnya.”

Ratu menyalakan televisi, sembari menunggu kedatangan Jeffrey. Tak ada hal lain yang ia lakukan dalam seharian ini selain merebahkan diri, mandi, memainkan ponsel, dan menonton. Wanita itu bahkan belum sempat menelan sesuap nasi pun sejak pagi tadi. Hanya sepotong roti tawar, yang dipadukan dengan kental manis rasa vanila untuk mengisi perut di pagi hari.

Sebenarnya, ada banyak sekali stok makanan instan di dalam kulkas. Tapi entah kenapa, Ratu merasa jika hari ini tenaganya terkuras habis tanpa sebab. Alhasil, kini lambungnya terasa sangat perih.

Ratu menoleh begitu mendengar suara pintu yang terbuka dari luar. Ia beranjak dari sofa dengan malas.

“Pucet banget? Abis donor darah apa gimana?” cetus Jeffrey begitu netranya bertemu dengan netra sang istri.

Ratu geming. Alih-alih menyambut Jeffrey dengan semangat seperti biasanya—Ratu memilih untuk melempar tubuhnya sendiri kedalam pelukan Jeffrey. Beruntung Jeffrey dengan sigap menangkap tubuhnya, kalau tidak Ratu pasti sudah mendarat sempurna pada lantai kotor yang belum sempat ia pel sejak kemarin sore.

“Kenapa sih? Gak panas, tapi kok lemes banget?”

Ratu hanya menggeleng, lalu memeluk tubuh Jeffrey semakin erat. Selanjutnya, ia membenamkan wajahnya kedalam ceruk leher milik Jeffrey.

Dengan spontan Jeffrey ikut mengeratkan pelukannya. Membiarkan Ratu menghirup aroma tubuhnya dengan serakah, sambil terus mengusap punggung istrinya itu.

“Aku bawa lidah sapi loh. Tadi siapa yang katanya mau makan lidah sapi?”

Jeffrey melepaskan pelukannya, kemudian mengarahkan tangannya untuk mengusap lembut pipi hingga tengkuk Ratu. “Belum makan, Ra?”

Ratu mengangguk lemas. “Dari pagi.”

Mata Jeffrey membola seketika. “Wah udah gila lo.”

Jeffrey menarik tangan Ratu, tidak kasar tapi menuntut. Dibawanya wanita itu kearah meja makan, dan mendudukkan Ratu pada sebuah kursi kayu yang terletak pada salah satu sisi meja tersebut. “Perasaan gue tuh gak pernah pelit soal apapun, apalagi makanan. Bisa-bisanya lo gak makan seharian, padahal posisinya lo istri gue!” ungkap Jeffrey geram, sembari menyendok nasi kedalam piring yang baru saja ia ambil dari rak.

“Nih, makan! Jangan kaya orang susah!” seru Jeffrey, sementara Ratu hanya diam membisu.

Merasa tindakannya sudah cukup, Jeffrey memilih untuk melepaskan dasi, dan ikat pinggangnya. Bersiap untuk membersihkan tubuh, setelah pulang kerja. Kaki yang awalnya sudah berjalan meninggalkan dapur itu, tiba-tiba saja berhenti, tatkala ia menyadari bahwa tak ada pergerakan sedikitpun dari sang istri. Jeffrey menoleh, alih-alih melahap makanannya, Ratu justru menatap Jeffrey dengan tatapan yang sulit untuk diartikan.

Menyadari hal itu, Jeffrey kembali berjalan kearah meja makan demi menghampiri Ratu.

“Heh? Liat aku.” Jeffrey mengangkat dagu Ratu menggunakan tangannya. “Kamu kenapa?”

“Gapapa.”

“Terus kenapa gak di makan?” kata Jeffrey, matanya mengarah pada makanan di hadapan Ratu.

“Aku mau makan bareng,” lirih Ratu.

Jeffrey mengunci tatapan Ratu , mencari tahu sebenarnya apa yang salah dari istrinya itu, malam ini. Namun nihil.

“Aku gak tau kamu kenapa. Aku cuman tau kalau hari ini kamu gak enak badan. Selebihnya? Aku gak tau—”

“Pulang-pulang disambut sama kamu yang mukanya pucet aja udah bikin aku gak enak hati, Ra. Ditambah lagi, tau kalau kamu belum makan sama sekali.” Jeffrey menghela nafasnya dengan berat.

“Aku buat salah ya?” imbuhnya.

Ratu menggeleng.

“Terus kenapa?”

“Aku cuman mau ditemenin.”

Alis Jeffrey bertaut, “Aku kan udah disini. Aku cuman mau mandi sebentar, Ra. Ya? Badan aku kotor, kan dari luar seharian.”

Ratu membuang pandangannya, entah kenapa sebelumnya, semua baik-baik saja. Tapi setelah laki-laki dihadapannya itu pulang, ia justru merasakan rindu yang luar biasa kepada Jeffrey.

Selanjutnya ia menghela nafas panjang. Sebisa mungkin, Ratu mencoba menormalkan perasaannya.

“Yaudah, sana mandi.”

Jika biasanya Jeffrey akan bangun terlebih dahulu, kemudian bersiap untuk pergi ke kantor dengan cara mengendap-endap layaknya seorang maling, hanya karena khawatir membangunkan sang istri—maka hari ini kebalikannya, ia memilih untuk membangunkan Ratu pagi-pagi buta.

“Ra, bangun dong!” rengeknya, tak lupa sembari mengguncang-guncang tubuh Ratu dengan membabi buta.

Karena di luar sedang dilanda hujan berkapasitas sedang, ditambah lagi dengan minimnya pencahayaan sebab matahari benar-benar tertutup awan mendung pagi itu, Ratu memilih untuk tetap melanjutkan acara pura-pura tidurnya dan mengabaikan Jeffrey.

Namun Jeffrey tetaplah Jeffrey yang selalu ingin sesuatu berjalan seperti keinginannya. Lantas, meski dengan bersusah payah, sebab matanya masih sedikit berat—Jeffrey beranjak meraih benda apapun di dekatnya untuk dijadikan sebagai pentungan.

“RA BANGUN! AKU MAU DIBAWAIN BEKEL KAYA YANG LAINNYA!! RAAAA!” seru Jeffrey di tengah-tengah kegiatannya memukul-mukul bagian punggung sebuah gitar klasik, yang sebelumnya terpajang dengan apik di sudut ruangan.

Hingga Ratu yang merasa terusik pun, akhirnya memutuskan untuk menyerah. Membodohi seorang Jeffreyan adalah sebuah tindakan yang sia-sia.

“Diem, Jeff.”

Mendengar suara yang keluar dari mulut Ratu, Jeffrey menghentikan kegiatannya seketika. Ia beringsut meletakkan gitarnya dan lari menghambur ke arah Ratu yang masih setia berbaring di atas ranjang.

Ia memeluk perut Ratu, dan kepalanya bersandar pada dada istrinya itu, dengan nyaman. Seperti biasa, berpura-pura bertingkah gemas demi sesuatu, adalah bakat Jeffreyan.

“Aku mau bawa bekel, Ra. Masa Yudhis yang belum punya istri bisa ikutan trend, tapi aku enggak?”

Selanjutnya Jeffrey mengangkat kepalanya, memberikan Ratu sebuah tatapan paling melas dan diikuti dengan bibir mencebik yang sengajak ia buat-buat.

Ratu yang sudah hafal dengan trik suaminya itu, lantas menarik nafas panjang. Biasanya, jika tidak dituruti, Jeffrey akan merasa sakit hati kemudian murung seharian penuh.

Ya, seperti itulah sifat laki-laki 24 tahun yang tengah menempeli tubuhnya itu.

Kemudian dengan sangat terpaksa, Ratu mengiyakan. Entah apa yang akan ia masak pagi ini. Asalkan sudah bilang 'iya', maka semuanya beres, batin Ratu.

Jeffrey tidak memberi tanggapan apapun, dan masih setia memeluk tuh Ratu tanpa adanya celah untuk melepaskannya.

“Lepas dulu! Jadi dimasakin gak?!” tanya Ratu bersungut-sungut, dan dihadiahi gelengan kepala oleh Jeffrey.

“Cium aku dulu, Ra.”

“Udah minta dimasakin pagi-pagi, minta dicium juga. Banyak ma—”

Belum sempat Ratu menyelesaikan kalimatnya, Jeffrey lebih dulu mengecup singkat bibir Ratu.

“Bawel banget lo, yang ikhlas orang mah. Biar masuk surga!”

Ratu menatap Jeffrey yang tengah memainkan ponselnya. Sudah 2 hari sejak kedatangan mereka di pulau Bali, dan malam ini adalah malam terakhir mereka disana. Karena mau tidak mau, Jeffrey harus berada di kantor pada hari Seninnya.

Jeffrey sadar jika dirinya sedang ditatap, lantas membalas tatapan Ratu. Tangan kanannya menepuk-nepuk salah satu sisi ranjang yang masih kosong.

“Duduk sini, ngapain berdiri disitu?” kata Jeffrey.

Tanpa menjawab pertanyaan suaminya itu, Ratu berjalan menuju ranjang, dan mendudukan dirinya, lurus menghadap Jeffrey.

“Are you happy or tired?”

Pundak Ratu melemas seketika. Ia meraih tangan Jeffrey, dan membawa tangan itu untuk mengusap-usap pipinya sendiri.

Jeffrey terkekeh.

“Sebenernya happy—”

“Tapi?”

“Tapi capek banget, kakinya,” ungkap Ratu.

Jeffrey mengerti, mungkin karena Ratu lebih sering menghabiskan waktunya di dalam unit mereka. Maka bepergian jauh seperti ini pasti cukup menguras tenaganya.

“Maaf,” kata Jeffrey lirih.

“Buat apa?”

Selanjutnya laki-laki itu tersenyum culas, “Maaf soalnya aku gak punya kemampuan buat bawa pulau Bali ke apartemen kita.” Tawa Jeffrey mengakhiri kalimatnya, membuat Ratu mendengus sebal.

“Kamu tau gak? Kadang aku ngerasa kalau kamu sebenernya belum siap untuk jadi Papa—kadang juga sebaliknya.”

“Kenapa?”

“Karna tingkah lo lah! Apalagi emangnya?” serunya.

Kembali digenggamnya tangan Jeffrey. “Lo gak capek apa ya? Nyebelinnn teruss!” sambungnya.

Jeffrey menggeleng semangat. Kini giliran ia yang menggenggam tangan Ratu dengan sebelah tangannya, sementara yang satu lagi sibuk merapikan anak rambut milik wanita dihadapannya itu.

“Gue gak nyebelin, cuman ngajak lo bercanda.”

“Masa bercanda terus-terusan?”

“Gue pengen terus bercandain istri gue ini, biar dia terbiasa, dan kita sampai di titik dimana sense of humor kita berdua itu sama.”

“Lagian menurut gue, dengan bercanda dan ngegodain lo terus, bisa bikin kita berdua tetep deket, tanpa ngelakuin hubungan intim,” sambungnya.

Lantas nafas Ratu tercekat. Wajahnya berubah kemerahan. “Kok gitu? Itu teori darimana?”

“Dari gue,” Jeffrey cengengesan.

Ratu meringis, “Lo ... mau?”

“Apa, Ra?”

“Coba lagi?”

Sontak tawa Jeffrey memenuhi seluruh ruangan. Bahkan Ratu sempat berpikir, jika ada orang melintasi lorong kamar hotel mereka, pasti dapat mendengar tawa suaminya itu dengan jelas.

“Kenapa sih malah ketawa?!”

Jeffrey menggosok-gosok wajahnya dengan kedua telapak tangan. Raut wajah laki-laki itu nampak frustasi—berbanding terbalik dengan ekspresinya beberapa saat lalu.

Tak lama kemudian, terdengar suara hela nafas panjang. “Gue udah fix remed ya?” tanyanya dengan wajah nelangsa yang sengaja dibuat-buat.

Ratu menahan tawanya. Takut kalau-kalau tawanya nanti dapat melukai perasaan Jeffrey.

“Iya, jadi kamu mau remedial hari ini atau tidak sama sekali. Dik?” guraunya sembari mencubit pipi laki-laki dihadapannya itu.

Kurang dari 2 jam perjalanan mereka di jalur udara, namun entah kenapa tenggorokan Ratu seakan terlalu cepat mengering kali ini. Sebelumnya ia sudah menghabiskan 1 botol air mineral sendirian, dan saat ini netranya masih saja mengincar sesuatu yang tengah Jeffrey genggam ditangannya—sebotol air mineral lainnya.

Jeffrey yang semula sibuk melihat sekitar, sebab mereka menunggu seseorang yang Papa sebut-sebut sebagai tour guide mereka selama di Bali, akhirnya menoleh kearah Ratu tanpa diminta.

Laki-laki itu tertawa seketika. Melihat bagaimana suntuknya wajah Ratu pagi itu, dan jangan lupakan bibirnya yang terlihat lebih kering dari biasanya. Jeffrey akhirnya merangkul kepala Ratu kedalam pelukannya. Gemas. Dikecupnya pucuk kepala istrinya itu sebanyak 3 kali. Kemudian begitu ia melepaskan rangkulannya, Jeffrey langsung mengangkat botol air mineral di tangannya.

“Mau minum?”

Ratu mengangguk-angguk. Sudut bibirnya tertarik seketika. Kalau boleh jujur, sebenarnya ia selalu tidak habis pikir mengenai, bagaimana bisa laki-laki itu memiliki tingkat kepekaan yang luar biasa untuk hal-hal sesepele seperti ini, namun cenderung tidak peka terhadap hal-hal lain yang sering kali lebih penting menurut Ratu.

Jeffrey membuka tutup botol plastik yang sebenarnya dapat Ratu buka dengan sendirinya itu.

“Aku juga punya tangan, kalau kamu lupa.”

“Selagi ada gue, kenapa harus sendiri?” jawabnya.

Ratu terkekeh tak percaya mendengar jawaban Jeffrey. Selanjutnya, ia meraih botol tersebut dari tangan Jeffrey. “Iya Mas bucin,” kata Ratu singkat, lalu meneguk minumannya.

Baru saja usai dengan kegiatannya, tiba-tiba saja punggung tangan Jeffrey menyapu lembut area dagunya. Spontan Ratu memalingkan wajahnya.

“Pelan-pelan dong kalau minum, Mah. Jadi tumpah kemana-mana kan? Gimana sih Mama.”

“Anj— geli banget!”