cakgrays

Ratu menatap Jeffrey yang tengah memainkan ponselnya. Sudah 2 hari sejak kedatangan mereka di pulau Bali, dan malam ini adalah malam terakhir mereka disana. Karena mau tidak mau, Jeffrey harus berada di kantor pada hari Seninnya.

Jeffrey sadar jika dirinya sedang ditatap, lantas membalas tatapan Ratu. Tangan kanannya menepuk-nepuk salah satu sisi ranjang yang masih kosong.

“Duduk sini, ngapain berdiri disitu?” kata Jeffrey.

Tanpa menjawab pertanyaan suaminya itu, Ratu berjalan menuju ranjang, dan mendudukan dirinya, lurus menghadap Jeffrey.

“Are you happy or tired?”

Pundak Ratu melemas seketika. Ia meraih tangan Jeffrey, dan membawa tangan itu untuk mengusap-usap pipinya sendiri.

Jeffrey terkekeh.

“Sebenernya happy—”

“Tapi?”

“Tapi capek banget, kakinya,” ungkap Ratu.

Jeffrey mengerti, mungkin karena Ratu lebih sering menghabiskan waktunya di dalam unit mereka. Maka bepergian jauh seperti ini pasti cukup menguras tenaganya.

“Maaf,” kata Jeffrey lirih.

“Buat apa?”

Selanjutnya laki-laki itu tersenyum culas, “Maaf soalnya aku gak punya kemampuan buat bawa pulau Bali ke apartemen kita.” Tawa Jeffrey mengakhiri kalimatnya, membuat Ratu mendengus sebal.

“Kamu tau gak? Kadang aku ngerasa kalau kamu sebenernya belum siap untuk jadi Papa—kadang juga sebaliknya.”

“Kenapa?”

“Karna tingkah lo lah! Apalagi emangnya?” serunya.

Kembali digenggamnya tangan Jeffrey. “Lo gak capek apa ya? Nyebelinnn teruss!” sambungnya.

Jeffrey menggeleng semangat. Kini giliran ia yang menggenggam tangan Ratu dengan sebelah tangannya, sementara yang satu lagi sibuk merapikan anak rambut milik wanita dihadapannya itu.

“Gue gak nyebelin, cuman ngajak lo bercanda.”

“Masa bercanda terus-terusan?”

“Gue pengen terus bercandain istri gue ini, biar dia terbiasa, dan kita sampai di titik dimana sense of humor kita berdua itu sama.”

“Lagian menurut gue, dengan bercanda dan ngegodain lo terus, bisa bikin kita berdua tetep deket, tanpa ngelakuin hubungan intim,” sambungnya.

Lantas nafas Ratu tercekat. Wajahnya berubah kemerahan. “Kok gitu? Itu teori darimana?”

“Dari gue,” Jeffrey cengengesan.

Ratu meringis, “Lo ... mau?”

“Apa, Ra?”

“Coba lagi?”

Sontak tawa Jeffrey memenuhi seluruh ruangan. Bahkan Ratu sempat berpikir, jika ada orang melintasi lorong kamar hotel mereka, pasti dapat mendengar tawa suaminya itu dengan jelas.

“Kenapa sih malah ketawa?!”

Jeffrey menggosok-gosok wajahnya dengan kedua telapak tangan. Raut wajah laki-laki itu nampak frustasi—berbanding terbalik dengan ekspresinya beberapa saat lalu.

Tak lama kemudian, terdengar suara hela nafas panjang. “Gue udah fix remed ya?” tanyanya dengan wajah nelangsa yang sengaja dibuat-buat.

Ratu menahan tawanya. Takut kalau-kalau tawanya nanti dapat melukai perasaan Jeffrey.

“Iya, jadi kamu mau remedial hari ini atau tidak sama sekali. Dik?” guraunya sembari mencubit pipi laki-laki dihadapannya itu.

Kurang dari 2 jam perjalanan mereka di jalur udara, namun entah kenapa tenggorokan Ratu seakan terlalu cepat mengering kali ini. Sebelumnya ia sudah menghabiskan 1 botol air mineral sendirian, dan saat ini netranya masih saja mengincar sesuatu yang tengah Jeffrey genggam ditangannya—sebotol air mineral lainnya.

Jeffrey yang semula sibuk melihat sekitar, sebab mereka menunggu seseorang yang Papa sebut-sebut sebagai tour guide mereka selama di Bali, akhirnya menoleh kearah Ratu tanpa diminta.

Laki-laki itu tertawa seketika. Melihat bagaimana suntuknya wajah Ratu pagi itu, dan jangan lupakan bibirnya yang terlihat lebih kering dari biasanya. Jeffrey akhirnya merangkul kepala Ratu kedalam pelukannya. Gemas. Dikecupnya pucuk kepala istrinya itu sebanyak 3 kali. Kemudian begitu ia melepaskan rangkulannya, Jeffrey langsung mengangkat botol air mineral di tangannya.

“Mau minum?”

Ratu mengangguk-angguk. Sudut bibirnya tertarik seketika. Kalau boleh jujur, sebenarnya ia selalu tidak habis pikir mengenai, bagaimana bisa laki-laki itu memiliki tingkat kepekaan yang luar biasa untuk hal-hal sesepele seperti ini, namun cenderung tidak peka terhadap hal-hal lain yang sering kali lebih penting menurut Ratu.

Jeffrey membuka tutup botol plastik yang sebenarnya dapat Ratu buka dengan sendirinya itu.

“Aku juga punya tangan, kalau kamu lupa.”

“Selagi ada gue, kenapa harus sendiri?” jawabnya.

Ratu terkekeh tak percaya mendengar jawaban Jeffrey. Selanjutnya, ia meraih botol tersebut dari tangan Jeffrey. “Iya Mas bucin,” kata Ratu singkat, lalu meneguk minumannya.

Baru saja usai dengan kegiatannya, tiba-tiba saja punggung tangan Jeffrey menyapu lembut area dagunya. Spontan Ratu memalingkan wajahnya.

“Pelan-pelan dong kalau minum, Mah. Jadi tumpah kemana-mana kan? Gimana sih Mama.”

“Anj— geli banget!”

Kurang dari 2 jam perjalanan mereka di jalur udara, namun entah kenapa tenggorokan Ratu seakan terlalu cepat mengering kali ini. Sebelumnya ia sudah menghabiskan 1 botol air mineral sendirian, dan saat ini netranya masih saja mengincar sesuatu yang tengah Jeffrey genggam ditangannya—sebotol air mineral lainnya.

Jeffrey yang semula sibuk melihat sekitar, sebab mereka menunggu seseorang yang Papa sebut-sebut sebagai tour guide mereka selama di Bali, akhirnya menoleh kearah Ratu tanpa diminta.

Laki-laki itu tertawa seketika. Melihat bagaimana suntuknya wajah Ratu pagi itu, dan jangan lupakan bibirnya yang terlihat lebih kering dari biasanya. Jeffrey akhirnya merangkul kepala Ratu kedalam pelukannya. Gemas. Dikecupnya pucuk kepala istrinya itu sebanyak 3 kali. Kemudian begitu ia melepaskan rangkulannya, Jeffrey langsung mengangkat botol air mineral di tangannya.

“Mau minum?”

Ratu mengangguk-angguk. Sudut bibirnya tertarik seketika. Kalau boleh jujur, sebenarnya ia selalu tidak habis pikir mengenai, bagaimana bisa laki-laki itu memiliki tingkat kepekaan yang luar biasa untuk hal-hal sesepele seperti ini, namun cenderung tidak peka terhadap hal-hal lain yang sering kali lebih penting menurut Ratu.

Jeffrey membuka tutup botol plastik yang sebenarnya dapat Ratu buka dengan sendirinya itu.

“Aku juga punya tangan, kalau kamu lupa.”

“Selagi ada gue, kenapa harus sendiri?” jawabnya.

Ratu terkekeh tak percaya mendengar jawaban Jeffrey. Selanjutnya, ia meraih botol tersebut dari tangan Jeffrey. “Iya Mas bucin,” kata Ratu singkat, lalu meneguk minumannya.

Baru saja usai dengan kegiatannya, tiba-tiba saja punggung tangan Jeffrey menyapu lembut area dagunya. Spontan Ratu memalingkan wajahnya.

“Pelan-pelan dong kalau minum, Mah. Jadi tumpah kemana-mana kan? Gimana sih Mama.”

“Anj— geli banget!”

Pukul 2 dini hari, Jeffrey baru saja menyelesaikan semua pekerjaan kantornya. Sebenarnya, tidak masalah kalaupun Jeffrey mengurus pekerjaan-pekerjaan itu dalam beberapa hari kedepan. Namun yang menjadi pertimbangan adalah, rencana liburannya dengan Ratu.

Rasanya sangat konyol jika harus membawa berkas-berkas penting selama perjalanan liburan. Oleh karena itu, Jeffrey sengaja menuntaskan semuanya dalam satu malam. Yah ... walaupun pada akhirnya harus merepotkan sang istri. Beruntung malam ini, Ratu sangat pengertian dan bertingkah seperti induk kucing yang sudah jinak.

Ratu memperhatikan bagaimana suaminya itu melamun hanya untuk mengumpulkan rasa kantuk.

Gemas. Melihat bagaimana mata Jeffrey menjadi sayu, serta bibir yang tanpa sengaja berpose mencebik. Ratu tersenyum.

“Mas?” tegur Ratu, membuyarkan lamunan Jeffrey.

Laki-laki itu menoleh, “Hmm?”

“Makasih.”

“Buat?

“Kamu sampai kaya gini, karna kita mau ke Bali ya?” Jelas sekali, tebakan Ratu tepat sasaran, membuat Jeffrey tersenyum kikuk.

Selanjutnya Ratu ikut merebahkan tubuh di samping Jeffrey. Sementara itu, Jeffrey langsung menggeser tubuhnya, enggan meninggalkan sedikit pun jarak diantara mereka.

“Sempit anjir, tempat lo masih lega banget tuh!” pekik Ratu dengan spontan.

Alih-alih merasa bersalah, Jeffrey justru terkekeh, kemudian memeluk Ratu dengan posesif di atas ranjang. Ratu dapat merasakan bagaimana hangatnya hembusan nafas Jeffrey, karna laki-laki itu tengah menenggelamkan wajah di ceruk lehernya.

“Gue kalau gak nikah sama lo, kalau liat lo nikah sama orang lain—bisa gila kayanya, Ra.”

“Hush!”

“Serius. Gue gak ngerti caranya suka sama perempuan lain, selain lo.” Jeffrey mengangkat wajahnya, kemudian mengecup dagu milik Ratu, dalam sekejap.

Ratu geming.

“Sebenernya lo bisa aja, dapetin yang seribu kali lebih baik dari gue. Tapi gak bakal gue biarin,” tutur Jeffrey, dan dibalas kekehan singkat oleh Ratu.

“Tidur, besok kerja.” Usai mengatakan hal tersebut, Ratu mengusap-usap lembut, mulai dari rambut hingga ke pipi Jeffrey, kemudian laki-laki itu terlelap hanya dalam hitungan detik.

“Lo ini ... umur berapa sih?” lirih Ratu disela-sela senyumnya.

Pukul 2 dini hari, Jeffrey baru saja menyelesaikan semua pekerjaan kantornya. Sebenarnya, tidak masalah kalaupun Jeffrey mengurus pekerjaan-pekerjaan itu dalam beberapa hari kedepan. Namun yang menjadi pertimbangan adalah, rencana liburannya dengan Ratu.

Rasanya sangat konyol jika harus membawa berkas-berkas penting selama perjalanan. Oleh karena itu, Jeffrey sengaja menuntaskan semuanya dalam satu malam. Yah ... walaupun pada akhirnya harus merepotkan sang istri. Beruntung malam ini, Ratu sangat pengertian dan bertingkah seperti induk kucing yang sudah jinak.

![]https://i.imgur.com/SsqsYwe.jpg

Ratu memperhatikan bagaimana suaminya itu melamun hanya untuk mengumpulkan rasa kantuk. Gemas. Melihat bagaimana mata Jeffrey menjadi sayu, serta bibir yang tanpa sengaja berpose mencebik. Ratu tersenyum.

“Mas?” tegur Ratu, membuyarkan lamunan Jeffrey.

Laki-laki itu menoleh, “Hmm?”

“Makasih.”

“Buat?

“Kamu sampai kaya gini, karna kita mau ke Bali ya?” Jelas sekali, tebakan Ratu tepat sasaran, membuat Jeffrey tersenyum kikuk.

Selanjutnya Ratu ikut merebahkan tubuh di samping Jeffrey. Sementara itu, Jeffrey langsung menggeser tubuhnya, enggan meninggalkan sedikit pun jarak diantara mereka.

“Sempit anjir, tempat lo masih lega banget tuh!” pekik Ratu dengan spontan.

Alih-alih merasa bersalah, Jeffrey justru terkekeh, kemudian memeluk Ratu dengan posesif di atas ranjang. Ratu dapat merasakan bagaimana hangatnya hembusan nafas Jeffrey, karna laki-laki itu tengah menenggelamkan wajah di ceruk lehernya.

“Gue kalau gak nikah sama lo, kalau liat lo nikah sama orang lain—bisa gila kayanya, Ra.”

“Hush!”

“Serius. Gue gak ngerti caranya suka sama perempuan lain, selain lo.” Jeffrey mengangkat wajahnya, kemudian mengecup dagu milik Ratu, dalam sekejap.

Ratu geming.

“Sebenernya lo bisa aja, dapetin yang seribu kali lebih baik dari gue. Tapi gak bakal gue biarin,” tutur Jeffrey, dan dibalas kekehan singkat oleh Ratu.

“Tidur, besok kerja.” Usai mengatakan hal tersebut, Ratu mengusap-usap lembut mulai dari rambut sampai ke pipi Jeffrey, hingga laki-laki itu terlelap hanya dalam hitungan detik saja.

“Lo ... umur berapa sih?” lirihnya.

Pukul 2 dini hari, Jeffrey baru saja menyelesaikan semua pekerjaan kantornya. Sebenarnya, tidak masalah kalaupun Jeffrey mengurus pekerjaan-pekerjaan itu dalam beberapa hari kedepan. Namun yang menjadi pertimbangan adalah, rencana liburannya dengan Ratu.

Rasanya sangat konyol jika harus membawa berkas-berkas penting selama perjalanan. Oleh karena itu, Jeffrey sengaja menuntaskan semuanya dalam satu malam. Yah ... walaupun pada akhirnya harus merepotkan sang istri. Beruntung malam ini, Ratu sangat pengertian dan bertingkah seperti induk kucing yang sudah jinak.

Ratu memperhatikan bagaimana suaminya itu melamun hanya untuk mengumpulkan rasa kantuk. Gemas. Melihat bagaimana mata Jeffrey menjadi sayu, serta bibir yang tanpa sengaja berpose mencebik. Ratu tersenyum.

“Mas?” tegur Ratu, membuyarkan lamunan Jeffrey.

Laki-laki itu menoleh, “Hmm?”

“Makasih.”

“Buat?

“Kamu sampai kaya gini, karna kita mau ke Bali ya?” Jelas sekali, tebakan Ratu tepat sasaran, membuat Jeffrey tersenyum kikuk.

Selanjutnya Ratu ikut merebahkan tubuh di samping Jeffrey. Sementara itu, Jeffrey langsung menggeser tubuhnya, enggan meninggalkan sedikit pun jarak diantara mereka.

“Sempit anjir, tempat lo masih lega banget tuh!” pekik Ratu dengan spontan.

Alih-alih merasa bersalah, Jeffrey justru terkekeh, kemudian memeluk Ratu dengan posesif di atas ranjang. Ratu dapat merasakan bagaimana hangatnya hembusan nafas Jeffrey, karna laki-laki itu tengah menenggelamkan wajah di ceruk lehernya.

“Gue kalau gak nikah sama lo, kalau liat lo nikah sama orang lain—bisa gila kayanya, Ra.”

“Hush!”

“Serius. Gue gak ngerti caranya suka sama perempuan lain, selain lo.” Jeffrey mengangkat wajahnya, kemudian mengecup dagu milik Ratu, dalam sekejap.

Ratu geming.

“Sebenernya lo bisa aja, dapetin yang seribu kali lebih baik dari gue. Tapi gak bakal gue biarin,” tutur Jeffrey, dan dibalas kekehan singkat oleh Ratu.

“Tidur, besok kerja.” Usai mengatakan hal tersebut, Ratu mengusap-usap lembut mulai dari rambut sampai ke pipi Jeffrey, hingga laki-laki itu terlelap hanya dalam hitungan detik saja.

“Lo ... umur berapa sih?” lirihnya.

Untuk beberapa saat, Jeffrey terdiam, kemudian melirik sang Mama yang masih setia melototinya. Sementara Papa tengah sibuk menenangkan istrinya itu.

“Mentang-mentang udah nikah, kamu lupa ya kalo masih punya orang tua?!” pekik Mama membuat Jemian lagi-lagi berjengit kaget.

“Udah Mah, udah. Masa anaknya main, malah dimaki-maki?” kata Papa disusul anggukan setuju oleh Jeffrey.

Sebenarnya kemarahan Mama siang itu, bukan tanpa sebab. Pemicunya adalah Jeffrey sendiri. Sudah puluhan kali Ratu mengajaknya untuk mengunjungi rumah Papa, namun Jeffrey selalu saja menolak. Takut ditanya perihal anak, katanya.

Kalau sudah begini, mau bagaimana lagi? Kalau tidak segera diajak berdamai, akan semakin repot nantinya, batin Jeffrey.

“Di kantor lagi hactic, Mah. Ini Mas tadinya cuman pengen nganterin mantu Mama. Minta diajarin bikin taman soal—akhh!” Tanpa aba-aba Ratu mencubit pinggang Jeffrey. Bisa-bisanya ia berbohong menggunakan nama istrinya.

Mama mengerutkan keningnya, “Kenapa?” tanya Mama.

“Enggak. Tadi kaya digigit semut.”

Selanjutnya Jemian yang sebelumnya tengah fokus menonton One Piece itu, kini ikut nimbrung dengan keempatnya.

“Iya tuh, Mba Ratu nanyain Mama terus ke Jemi. Mau belajar nanem janda bolong katanya,” timpal Jemian membuat Jeffrey dan Ratu, setengah mati menahan tawanya agar tidak keluar.

“Yang bener? Emang mantu Mama yang cantik ini, mau pelihara janda bolong?”

“Tanem Mah,” kata Papa.

“Iya, itu maksud Mama. Sama aja.”

Papa menggeleng frustasi.

“Iya, Mah. Lea mau coba ngerawat tanaman.”

Ratu tentu saja terpaksa, agar sang mertua tidak sakit hati. Senyum Mama mengembang, dan langsung beranjak dari tempat duduknya.

“Ayo sini. Nanti Mama kasih beberapa, buat kamu!” Kemudian dengan sekonyong-konyong, Mama menarik tangan Ratu penuh semangat. Seketika wanita paruh baya itu lupa dengan apa yang baru saja ia ributkan.

Begitu keduanya pergi, lantas Papa tertawa.

“Tumben kompak?” tanya Papa pada Jemian.

Alih-alih menjawab pertanyaan Papa, Jemian justru menatap Jeffrey dengan sorot mata berbinar. Hingga membuat Jeffrey keheranan.

“Apa?” tanya Jeffrey singkat, dengan sebelah alis yang terangkat.

“DP mobil Mass ... Papa seret!”

“Boong, mana mungkin Papa seret?” tuduh Jeffrey.

Lantas Papa melempari Jemian dengan bungkus permen jahe yang baru saja dilahapnya. “Adikmu itu minta Aston Martin!”

“Dulu Mas Jeffrey juga minta Aston Martin,” sahut Jemian.

“Dulu Mas Jeffrey tuh punya tabungan juga. Terus dia minta yang sesuai sama budget dia. Lah kamu udah asal sebut, maunya yang paling baru, Papa bayarin semuanya pula.”

“Papa gak ngerti kenapa anak jaman sekarang maunya mobil-mobil seharga seribu kontrakan begitu. Dulu jaman Papa, naik mobil kijang aja, udah bangga. Kamu itu anak Samuel, bukan anak presiden, Jem!”

Jeffrey tertawa renyah mendengar perkataan Papa barusan. Sebenarnya wajar saja di usia Jemian saat ini, ada banyak keinginan tak masuk akal dalam dirinya yang merujuk kearah hedonisme. Apalagi jika dilihat dari latar belakang keluarga mereka, sangat memungkinkan adiknya itu meminta sesuatu tanpa berpikir terlebih dahulu.

Tapi, yang namanya orang tua, tentu saja tidak menginginkan anaknya tumbuh dengan cara yang salah. Maka dari itu, Papa memilih untuk tidak menuruti keinginan Jemian. Beruntung Jemian tidak memaksa, ya walaupun tetap membahas hal yang sama selama beberapa hari kebelakang ini.

Dalam benak, Jeffrey menghangat. Membayangkan bagaimana nantinya jika ia dan Ratu memiliki seorang anak, dalam rumah tangga mereka. Tiba-tiba saja, muncul keinginan untuk menjadi orang tua yang luwes namun bisa tetap mengontrol anaknya, seperti halnya Papa. Meskipun Papa terkesan tidak pernah serius, tapi caranya mendidik anak-anaknya, patut diacungi jempol.

Jeffrey melempar kunci mobilnya keatas meja berlapis kaca di tengah-tengah mereka beriga.

“Ambil, pake punya Mas kalau mau,” kata Jeffrey singkat, kemudian dihadiahi pelukan membabi buta oleh Jemian.

“Mas Jeffrey emang paling top markotop! Yang lain beng beng!” seru Jemian, semangat.

“Tapi abis ini anterin Mas pulang dulu. Sekalian test drive.”

Jemian mengangguk patuh, sembari mengacungkan ibu jarinya.

Papa tersenyum, “Papa punya feeling yang kemarin itu ... pasti gol, Mas,” cetusnya.

Jemian mengernyit, “Apanya yang gol?”

“Anak kecil gak boleh tau.”

Untuk beberapa saat, Jeffrey terdiam, kemudian melirik sang Mama yang masih setia melototinya. Sementara Papa tengah sibuk menenangkan istrinya itu.

“Mentang-mentang udah nikah, kamu lupa ya kalo masih punya orang tua?!” pekik Mama membuat Jemian lagi-lagi berjengit kaget.

“Udah Mah, udah. Masa anaknya main, malah dimaki-maki?” kata Papa disusul anggukan setuju oleh Jeffrey.

Sebenarnya kemarahan Mama siang itu, bukan tanpa sebab. Pemicunya adalah Jeffrey sendiri. Sudah puluhan kali Ratu mengajaknya untuk mengunjungi rumah Papa, namun Jeffrey selalu saja menolak. Takut ditanya perihal anak, katanya.

Kalau sudah begini, mau bagaimana lagi? Kalau tidak segera diajak berdamai, akan semakin repot nantinya, batin Jeffrey.

“Di kantor lagi hactic, Mah. Ini Mas tadinya cuman pengen nganterin mantu Mama. Minta diajarin bikin taman soal—akhh!” Tanpa aba-aba Ratu mencubit pinggang Jeffrey. Bisa-bisanya ia berbohong menggunakan nama istrinya.

Mama mengerutkan keningnya, “Kenapa?” tanya Mama.

“Enggak. Tadi kaya digigit semut.”

Selanjutnya Jemian yang sebelumnya tengah fokus menonton One Piece itu, kini ikut nimbrung dengan keempatnya.

“Iya tuh, Mba Ratu nanyain Mama terus ke Jemi. Mau belajar nanem janda bolong katanya,” timpal Jemian membuat Jeffrey dan Ratu, setengah mati menahan tawanya agar tidak keluar.

“Yang bener? Emang mantu Mama yang cantik ini, mau pelihara janda bolong?”

“Tanem Mah,” kata Papa.

“Iya, itu maksud Mama. Sama aja.”

Papa menggeleng frustasi.

“Iya, Mah. Lea mau coba ngerawat tanaman.”

Ratu tentu saja terpaksa, agar sang mertua tidak sakit hati. Senyum Mama mengembang, dan langsung beranjak dari tempat duduknya.

“Ayo sini. Nanti Mama kasih beberapa, buat kamu!” Kemudian dengan sekonyong-konyong, Mama menarik tangan Ratu penuh semangat. Seketika wanita paruh baya itu lupa dengan apa yang baru saja ia ributkan.

Begitu keduanya pergi, lantas Papa tertawa.

“Tumben kompak?” tanya Papa pada Jemian.

Alih-alih menjawab pertanyaan Papa, Jemian justru menatap Jeffrey dengan sorot mata berbinar. Hingga membuat Jeffrey keheranan.

“Apa?” tanya Jeffrey singkat, dengan sebelah alis yang terangkat.

“DP mobil Mass ... Papa seret!”

“Boong, mana mungkin Papa seret?” tuduh Jeffrey.

Lantas Papa melempari Jemian dengan bungkus permen jahe yang baru saja dilahapnya. “Adikmu itu minta Aston Martin!”

“Dulu Mas Jeffrey juga minta Aston Martin,” sahut Jemian.

“Dulu Mas Jeffrey tuh punya tabungan juga. Terus dia minta yang sesuai sama budget dia. Lah kamu udah asal sebut, maunya yang paling baru, Papa bayarin semuanya pula.”

“Papa gak ngerti kenapa anak jaman sekarang maunya mobil-mobil seharga seribu kontrakan begitu. Dulu jaman Papa, naik mobil kijang aja, udah bangga. Kamu itu anak Samuel, bukan anak presiden, Jem!”

Jeffrey tertawa renyah mendengar perkataan Papa barusan. Sebenarnya wajar saja di usia Jemian saat ini, ada banyak keinginan tak masuk akal dalam dirinya yang merujuk kearah hedonisme. Apalagi jika dilihat dari latar belakang keluarga mereka, sangat memungkinkan adiknya itu meminta sesuatu tanpa berpikir terlebih dahulu.

Tapi, yang namanya orang tua, tentu saja tidak menginginkan anaknya tumbuh dengan cara yang salah. Maka dari itu, Papa memilih untuk tidak menuruti keinginan Jemian. Beruntung Jemian tidak memaksa, ya walaupun tetap membahas hal yang sama selama beberapa hari kebelakang ini.

Dalam benak, Jeffrey menghangat. Membayangkan bagaimana nantinya jika ia dan Ratu memiliki seorang anak, dalam rumah tangga mereka. Tiba-tiba saja, muncul keinginan untuk menjadi orang tua yang luwes namun bisa tetap mengontrol anaknya, seperti halnya Papa. Meskipun Papa terkesan tidak pernah serius, tapi caranya mendidik anak-anaknya, patut diacungi jempol.

Jeffrey melempar kunci mobilnya keatas meja berlapis kaca di tengah-tengah mereka beriga.

“Ambil, pake punya Mas kalau mau,” kata Jeffrey singkat, kemudian dihadiahi pelukan membabi buta oleh Jemian.

“Mas Jeffrey emang paling top markotop! Yang lain beng beng!” seru Jemian, semangat.

“Tapi abis ini anterin Mas pulang dulu. Sekalian test drive.”

Jemian mengangguk patuh, sembari mengacungkan ibu jarinya.

Papa tersenyum, “Papa punya feeling yang kemarin itu ... pasti gol,” cetusnya.

Jemian mengernyit, “Apanya yang gol?”

“Anak kecil gak boleh tau.”

Jeffrey menggenggam tangan mungil Ratu sembari menyetir kemudi mobil. Sesekali ia mengecup punggung tangan istrinya itu, dengan senyuman yang terus mengembang sejak tadi pada wajahnya.

“Bisa biasa aja gak?” tanya Ratu, jengah.

“Ini biasa aja,” jawab Jeffrey.

Ratu berdecak kesal, “Biasa apanya? Kamu tuh cium tangan aku, tiap menit!”

“Emangnya kenapa sih? Ada masalah sama cium tangan? Aku cium tangan kamu, ya karna kamu istri aku. Lagian kalau aku cium tangan Matius kan gak mungkin, Ra,” tutur Jeffrey tanpa menghadap Ratu. Netranya tetap fokus menatap jalanan didepannya.

Ratu menghela nafas panjang, “Tangan gue basah!”

Mendengar itu, lantas Jeffrey melirik Ratu dengan wajah kesal yang sengaja dibuat-buat.

“Yang bener aja? Orang cuman dicium, bukan dijilat!” sungut Jeffrey, dan dibalas dengan tawa renyah khas milik Ratu.

Mobil Jeffrey melaju dengan kecepatan sedang, membelah keramaian jalanan kota Jakarta pagi itu. Minimnya awan, membuat sinar matahari terik menyoroti Jalanan. Untungnya kondisi kota Jakarta belakangan ini sangat bersahabat.

“Mau makan dimana, Ra?” Jeffrey kembali membuka suara.

“Sekalian aja di rumah Mama.” Laki-laki itu mengangguk-angguk.

Selang beberapa menit setelahnya, mobil Jeffrey memasuki pekarangan rumah mewah bergaya klasik milik orang tuanya. Rasanya belum penuh satu bulan, sejak terakhir kali dirinya dan Ratu mengadakan after party di halaman rumah tersebut, kini tatanannya sudah banyak yang berubah. Maklum, sang Mama hobi sekali mendekorasi taman. Konon kata Mama, menata taman adalah healing paling bersahabat dengan kantong. Nyatanya hampir setiap pagi di hari weekend, wanita paruh baya itu membeli tanaman, dan hiasan baru, bernilai belasan juta untuk taman tersebut.

Ratu bersiap untuk turun dari mobil, namun sebelum itu, Jeffrey lebih dahulu menahan lengannya.

“Kenapa?” tanya Ratu.

“Nanti kalau Mama bahas anak, bilang aja aku belum siap.”

“Kok gitu? Kenapa boong?”

“Biar Mama gak bawel, Ra.”

Ratu meraih tangan Jeffrey, kemudian digenggamnya erat-erat. “Kamu mau punya anak kan?”

Jeffrey mengangguk.

“Kita udah usaha, selebihnya terserah Tuhan aja. Aku akan bilang gitu ke Mama. Toh kita nikahnya juga masih baru, aku yakin Mama gak bakal nuntut, justru kalau Mama tau, kita bisa minta doa sama dia. Doa orang tua tuh manjur loh, Mas.”

Kemudian Jeffrey menarik sudut bibirnya. Semua yang istrinya itu katakan memang ada benarnya. Ia terlalu berprasangka buruk terhadap sang Mama, tanpa disadari ia terlalu berprasangka buruk terhadap sang Mama.

Tangannya bergerak untuk mengelus rambut Ratu, lalu mencium keningnya istrinya itu sebentar.

“Gue gak salah pilih istri ternyata,” ujarnya secara terang-terangan.

Ratu naik keatas ranjang, dan tanpa memberi aba-aba, ia bersandar di pundak Jeffrey. Suaminya yang tengah menonton acara televisi itu, lantas mengalihkan perhatiannya.

Selanjutnya Jeffrey mematikan televisi, dan mulai fokus memandangi wajah Ratu dalam minimnya pencahayaan kamar. Dengan hati-hati ia memijit kening Ratu, lantaran istrinya itu nampak seolah kehabisan daya malam ini.

“Kenapa, Ra?” tanya Jeffrey, membuat wanita itu mendongakkan kepalanya.

“Mas, menurut kamu ... nikah sama sahabat sendiri tuh gimana??”

“Hmm ... kalau menurut aku ya, oke sih. Luar biasa spektakuler hahaha. Bahkan kaya lebih seru tau, Ra. Karna ketika kita nikah sama orang yang bisa jadi sahabat buat diri kita tuh rasanya berkali-kali lipat lebih menyenangkan. Tau gak kenapa?”

“Kenapa?”

“Nikah tuh komitmen seumur hidup. Sementara perasaan sayang dan cinta biasanya ada limitnya.”

Ratu mengangkat alisnya, “Terus?”

“Banyak orang yang masih pacaran di luaran sana, akhirnya sampai juga di titik putus. Kalau sahabatan, emangnya bisa putus?”

Hening, Jeffrey menarik nafasnya.

“Kalau sahabatan bisa putus, mungkin sekarang lo sama gue udah hidup masing-masing kali,” tuturnya.

Ratu berdehem singkat, “Jadi alesan lo nikahin gue, karna kita sahabatan?”

“Salah.”

“Terus karna apa?”

“Karna gue cari teman hidup, bukan sekedar istri, dan feeling gue bilang kalau lo orangnya.”

Setelah mendengar perkataan Jeffrey, Ratu tersenyum cerah, “Lo kalau tiap hari kaya gini, bawaannya adem deh. Gue suka,” kata Ratu.

“Gini gimana?”

“Cara ngomong lo barusan kaya orang cerdas.”

“Emang cerdas, Ra!” sungut Jeffrey seketika.