cakgrays

Ratu dikejutkan oleh keberadaan Jeffrey di atas ranjang, begitu ia keluar dari dalam kamar mandi.

“Kok udah pulang?” tanya wanita itu, dengan tatapan horornya.

Jeffrey menaikan sebelah alisnya sembari melonggarkan simpul dasi yang sebelumnya menghias bagian kerah kemejanya. “Emangnya kenapa?”

“Ya gapapa. Tapi kamu biasanya ngechat aku dulu, ngabarin kalau mau pulang,” kata Ratu. Ia menghampiri Jeffrey, membantu laki-laki itu melepas dasinya.

Tangan Jeffrey memeluk pinggang Ratu seketika, hingga Ratu sengaja memundurkan tubuhnya.

“Setakut itu ya, Ra? Kayanya kemarin udah mendingan.”

Alih-alih menjawab pertanyaan Jeffreyan, Ratu justru mengalihkan pandangan, kemudian berjalan menuju sebuah meja rias.

“Refleks aja.”

“Sebelum nikah, gue sering tiba-tiba meluk lo—gak ada tuh refleks kaya gini. Gue cuman mau peluk aja, gak boleh?” tutur Jeffrey dengan nada memelas.

Lantas Ratu yang mendengarnya pun ikut merasakan sesak di dadanya. Ratu memutar tubuhnya, kembali menghadap Jeffrey, lalu merentangkan kedua tangannya. Dan dalam hitungan detik, Jeffrey menghambur. Membawa Ratu kedalam pelukannya.

“Makasih loh, anda paling pengertian,” cicit Jeffrey yang masih setia mendekap tubuh Ratu.

“Kantor lagi hectic?”

“Enggak. Aku pengen caper aja.”

Ratu hanya geleng-geleng. Tangannya aktif mengusap-usap punggung Jeffrey, begitupun sebaliknya.

Sebenarnya, baik Jeffrey ataupun Ratu—keduanya sangat mendambakan sentuhan fisik seperti ini. Jadi wajar saja jika mereka dapat saling memberikan perasaan nyaman antara satu sama lainnya.

Jeffrey melepas pelukannya terlebih dahulu.

Ditatapnya wajah Ratu lekat-lekat. Seperti tengah memandangi sebuah objek paling indah sepanjang masa. Lalu dengan sekonyong-konyong laki-laki itu mengecup kening Ratu,

“Utang kamu udah lunas.”

Ratu dikejutkan oleh keberadaan Jeffrey di atas ranjang, begitu ia keluar dari dalam kamar mandi.

“Kok udah pulang?” tanya wanita itu, dengan tatapan horornya.

Jeffrey menaikan sebelah alisnya sembari melonggarkan simpul dasi yang sebelumnya menghias bagian kerah kemejanya. “Emangnya kenapa?”

“Ya gapapa. Tapi kamu biasanya ngechat aku dulu, ngabarin kalau mau pulang,” kata Ratu. Ia menghampiri Jeffrey, membantu laki-laki itu melepas dasinya.

Tangan Jeffrey memeluk pinggang Ratu seketika, hingga Ratu sengaja memundurkan tubuhnya.

“Setakut itu ya, Ra? Kayanya kemarin udah mendingan.”

Alih-alih menjawab pertanyaan Jeffreyan, Ratu justru mengalihkan pandangan, kemudian berjalan menuju sebuah meja rias.

“Refleks aja.”

“Sebelum nikah, gue sering tiba-tiba meluk lo—gak ada tuh refleks kaya gini. Gue cuman mau peluk aja, gak boleh?” tutur Jeffrey dengan nada memelas.

Lantas Ratu yang mendengarnya pun ikut merasakan sesak di dadanya. Ratu memutar tubuhnya, kembali menghadap Jeffrey, lalu merentangkan kedua tangannya. Dan dalam hitungan detik, Jeffrey menghambur. Membawa Ratu kedalam pelukannya.

“Makasih loh, anda paling pengertian,” cicit Jeffrey yang masih setia mendekap tubuh Ratu.

“Kantor lagi hectic?”

“Enggak. Aku pengen caper aja.”

Ratu hanya geleng-geleng. Tangannya aktif mengusap-usap punggung Jeffrey, begitupun sebaliknya.

Sebenarnya, baik Jeffrey ataupun Ratu—keduanya sangat mendambakan sentuhan fisik seperti ini. Jadi wajar saja jika mereka dapat saling memberikan perasaan nyaman antara satu sama lainnya.

Jeffrey melepas pelukannya terlebih dahulu.

Ditatapnya wajah Ratu lekat-lekat. Seperti tengah memandangi sebuah objek paling indah sepanjang masa. Lalu dengan sekonyong-konyong laki-laki itu mengecup kening Ratu,

“Utang kamu udah lunas.”

![] (https://i.imgur.com/2JnuTuz.jpg)

Ratu dikejutkan oleh keberadaan Jeffrey di atas ranjang, begitu ia keluar dari dalam kamar mandi.

“Kok udah pulang?” tanya wanita itu, dengan tatapan horornya.

Jeffrey menaikan sebelah alisnya sembari melonggarkan simpul dasi yang sebelumnya menghias bagian kerah kemejanya. “Emangnya kenapa?”

“Ya gapapa. Tapi kamu biasanya ngechat aku dulu, ngabarin kalau mau pulang,” kata Ratu. Ia menghampiri Jeffrey, membantu laki-laki itu melepas dasinya.

Tangan Jeffrey memeluk pinggang Ratu seketika, hingga Ratu sengaja memundurkan tubuhnya.

“Setakut itu ya, Ra? Kayanya kemarin udah mendingan.”

Alih-alih menjawab pertanyaan Jeffreyan, Ratu justru mengalihkan pandangan, kemudian berjalan menuju sebuah meja rias.

“Refleks aja.”

“Sebelum nikah, gue sering tiba-tiba meluk lo—gak ada tuh refleks kaya gini. Gue cuman mau peluk aja, gak boleh?” tutur Jeffrey dengan nada memelas.

Lantas Ratu yang mendengarnya pun ikut merasakan sesak di dadanya. Ratu memutar tubuhnya, kembali menghadap Jeffrey, lalu merentangkan kedua tangannya. Dan dalam hitungan detik, Jeffrey menghambur. Membawa Ratu kedalam pelukannya.

“Makasih loh, anda paling pengertian,” cicit Jeffrey yang masih setia mendekap tubuh Ratu.

“Kantor lagi hectic?”

“Enggak. Aku pengen caper aja.”

Ratu hanya geleng-geleng. Tangannya aktif mengusap-usap punggung Jeffrey, begitupun sebaliknya.

Sebenarnya, baik Jeffrey ataupun Ratu—keduanya sangat mendambakan sentuhan fisik seperti ini. Jadi wajar saja jika mereka dapat saling memberikan perasaan nyaman antara satu sama lainnya.

Jeffrey melepas pelukannya terlebih dahulu.

Ditatapnya wajah Ratu lekat-lekat. Seperti tengah memandangi sebuah objek paling indah sepanjang masa. Lalu dengan sekonyong-konyong laki-laki itu mengecup kening Ratu,

“Utang kamu udah lunas.”

![] https://i.imgur.com/2JnuTuz.jpg

Ratu dikejutkan oleh keberadaan Jeffrey di atas ranjang, begitu ia keluar dari dalam kamar mandi.

“Kok udah pulang?” tanya wanita itu, dengan tatapan horornya.

Jeffrey menaikan sebelah alisnya sembari melonggarkan simpul dasi yang sebelumnya menghias bagian kerah kemejanya. “Emangnya kenapa?”

“Ya gapapa. Tapi kamu biasanya ngechat aku dulu, ngabarin kalau mau pulang,” kata Ratu. Ia menghampiri Jeffrey, membantu laki-laki itu melepas dasinya.

Tangan Jeffrey memeluk pinggang Ratu seketika, hingga Ratu sengaja memundurkan tubuhnya.

“Setakut itu ya, Ra? Kayanya kemarin udah mendingan.”

Alih-alih menjawab pertanyaan Jeffreyan, Ratu justru mengalihkan pandangan, kemudian berjalan menuju sebuah meja rias.

“Refleks aja.”

“Sebelum nikah, gue sering tiba-tiba meluk lo—gak ada tuh refleks kaya gini. Gue cuman mau peluk aja, gak boleh?” tutur Jeffrey dengan nada memelas.

Lantas Ratu yang mendengarnya pun ikut merasakan sesak di dadanya. Ratu memutar tubuhnya, kembali menghadap Jeffrey, lalu merentangkan kedua tangannya. Dan dalam hitungan detik, Jeffrey menghambur. Membawa Ratu kedalam pelukannya.

“Makasih loh, anda paling pengertian,” cicit Jeffrey yang masih setia mendekap tubuh Ratu.

“Kantor lagi hectic?”

“Enggak. Aku pengen caper aja.”

Ratu hanya geleng-geleng. Tangannya aktif mengusap-usap punggung Jeffrey, begitupun sebaliknya.

Sebenarnya, baik Jeffrey ataupun Ratu—keduanya sangat mendambakan sentuhan fisik seperti ini. Jadi wajar saja jika mereka dapat saling memberikan perasaan nyaman antara satu sama lainnya.

Jeffrey melepas pelukannya terlebih dahulu.

Ditatapnya wajah Ratu lekat-lekat. Seperti tengah memandangi sebuah objek paling indah sepanjang masa. Lalu dengan sekonyong-konyong laki-laki itu mengecup kening Ratu,

“Utang kamu udah lunas.”

![]https://i.imgur.com/2JnuTuz.jpg

Ratu dikejutkan oleh keberadaan Jeffrey di atas ranjang, begitu ia keluar dari dalam kamar mandi.

“Kok udah pulang?” tanya wanita itu, dengan tatapan horornya.

Jeffrey menaikan sebelah alisnya sembari melonggarkan simpul dasi yang sebelumnya menghias bagian kerah kemejanya. “Emangnya kenapa?”

“Ya gapapa. Tapi kamu biasanya ngechat aku dulu, ngabarin kalau mau pulang,” kata Ratu. Ia menghampiri Jeffrey, membantu laki-laki itu melepas dasinya.

Tangan Jeffrey memeluk pinggang Ratu seketika, hingga Ratu sengaja memundurkan tubuhnya.

“Setakut itu ya, Ra? Kayanya kemarin udah mendingan.”

Alih-alih menjawab pertanyaan Jeffreyan, Ratu justru mengalihkan pandangan, kemudian berjalan menuju sebuah meja rias.

“Refleks aja.”

“Sebelum nikah, gue sering tiba-tiba meluk lo—gak ada tuh refleks kaya gini. Gue cuman mau peluk aja, gak boleh?” tutur Jeffrey dengan nada memelas.

Lantas Ratu yang mendengarnya pun ikut merasakan sesak di dadanya. Ratu memutar tubuhnya, kembali menghadap Jeffrey, lalu merentangkan kedua tangannya. Dan dalam hitungan detik, Jeffrey menghambur. Membawa Ratu kedalam pelukannya.

“Makasih loh, anda paling pengertian,” cicit Jeffrey yang masih setia mendekap tubuh Ratu.

“Kantor lagi hectic?”

“Enggak. Aku pengen caper aja.”

Ratu hanya geleng-geleng. Tangannya aktif mengusap-usap punggung Jeffrey, begitupun sebaliknya.

Sebenarnya, baik Jeffrey ataupun Ratu—keduanya sangat mendambakan sentuhan fisik seperti ini. Jadi wajar saja jika mereka dapat saling memberikan perasaan nyaman antara satu sama lainnya.

Jeffrey melepas pelukannya terlebih dahulu.

Ditatapnya wajah Ratu lekat-lekat. Seperti tengah memandangi sebuah objek paling indah sepanjang masa. Lalu dengan sekonyong-konyong laki-laki itu mengecup kening Ratu,

“Utang kamu udah lunas.”

Mobil yang dikendarai Jeffrey kini melaju perlahan memasuki area apartemen mewah yang sejak 2 hari lalu telah resmi menjadi hunian tetapnya bersama sang istri. Jeffrey menurunkan kaca mobilnya, lalu memberikan senyum simpul pada seorang penjaga keamanan.

“Malam, Pak!” sapa Jeffrey.

“Eh? Iya Mas, baru pulang tah?”

Lantas Jeffrey menganggukan kepalanya, “Iya, Pak.”

Keduanya bak tetangga hangat yang tengah menyapa satu sama lain. Wajar saja, pasalnya Jeffrey memang sudah lama mengenal Pak Heru—penjaga keamanan tersebut. Sejak beberapa tahun lalu, kala dirinya dan Ratu masih sama-sama kuliah, seringkali Jeffrey membawa 1 slot rokok untuk Pak Heru. Bukan tanpa alasan, melainkan untuk upah atas jasa memata-matai Ratu setiap harinya, bahkan hingga saat ini.

“Gimana, Pak?” tanya Jeffrey sembari menyodorkan 1 slot rokok kearah Pak Heru.

Lelaki paruh baya itu tersenyum, “Aman, Mas. Seharian ini istri sampean ndak kemana-mana kok e,” ujar Pak Heru, kemudian menerima pemberian Jeffrey dengan semangat.

“Bagus deh—makasih ya, Pak. Kalau gitu saya permisi dulu. Udah ditunggu majikan.”

Pak Heru terkekeh mendengar candaan Jeffrey, lalu mengangguk, “Nggih Mas!”


Jeffrey memasukkan angka untuk mengakses pintu unit apartemennya. Untuk sejenak, lelaki itu membayangkan kelak ia akan mengubah sandi tersebut dengan tanggal ulang tahun anaknya. Jeffrey menghela nafas berat. Nampaknya hanya dirinya lah yang paling mengidam-idamkan memiliki anak diusia yang terbilang masih muda.

Klek!

Pintu terbuka, alih-alih sambutan dari seorang istri yang ia terima, Jeffrey justru disambut dengan gelapnya pencahayaan didalam unit.

“Ra?” “Sayang?” Jeffrey memanggil-manggil Ratu, namun tak ada jawaban.

Langkahnya menuju pada sebuah kamar berukuran 3x6 dengan dinding berwarna coklat susu yang aromanya sama persis seperti Ratu.

Ini bini gue kemana sih? Batinnya.

Selanjutnya, netra Jeffrey menatap punggung Ratu yang tengah bergulung dengan selimutnya. “Ra? Lo udah tidur?”

Hening.

Dengan penuh keberanian Jeffrey mendekat, kemudian menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang. Jeffrey tersenyum, sementara ujung jemarinya sengaja mengetuk-ngetuk punggung Ratu.

“Akhirnya gak ada guling sialan,” bisik Jeffrey tepat dibelakang tengkuk Ratu. Membuat wanita yang semula terlelap itu, kini terbangun.

“Mundur atau gue tendang perut lo, Jeff?” tanya Ratu tiba-tiba mengejutkan Jeffrey.

Lantas Jeffrey beringsut seketika, “LOH BUKANNYA LO LAGI TIDUR?”

“Kebangun gara-gara lo!”

“Sorry, gue terlalu excited karna udah gak ada gulingnya,” tutur laki-laki itu.

“Jeff—” Ratu memutar tubuhnya, demi menghadap Jeffrey. “Aku beneran belum siap.”

Atmosfer diantara keduanya mendadak berubah. Hening. Hanya ada suara nafas Jeffrey dan Ratu yang saling bersahutan. Jeffrey merasa bersalah, seolah selama beberapa hari belakangan ini ia terlalu memaksakan egonya. Lantas Jeffrey membawa Ratu kedalam pelukannya. Ia sadar bahwa dirinya terlalu kekanak-kanakan.

“Iya, Ra. Gapapa. Gak masalah buat gue.”

Selanjutnya Ratu semakin erat memeluk Jeffrey. Sama seperti bertahun-tahun yang lalu, aroma yang melekat pada pakaian Jeffrey tak pernah sekalipun berubah. Kalau boleh jujur, justru Ratu lebih jatuh cinta pada aroma Jeffrey sepulang kerja, seperti malam ini.

Kalau biasanya ia hanya mampu mengagumi Jeffrey yang berada disebelahnya, sekarang laki-laki itu bahkan siap memeluknya seharian penuh—kalau kalau ia menginginkannya.

Jeffrey menarik sudut bibirnya saat Ratu menenggelamkan wajah kedalam dada bidang miliknya. “Aku mau mandi dulu, Ra.”

“Sebentar. Aku kangen banget,” ujar Ratu tanpa berpikir.

“Aneh banget. Kemarin sok-sokan dikasih pembates. Giliran udah kaya gini, malah gak mau lepas.”

“Lo wangi.”

“Bau keringat anjir.”

“Enggak. Lo wangi.”

Malam itu adalah satu hari setelah pesta pernikahan Ratu dan Jeffrey digelar. Jeffrey duduk disebuah bangku taman, ditemani oleh Yudhis, Matius, dan juga Dio. Menjadi sebuah pemandangan yang sama persis seperti saat mereka masih SMA dulu.

Jeffrey duduk dihadapan ketiganya dengan bibir mencebik.

“Lo gak malu pasang muka kaya gitu didepan kita?” tanya Yudhis, kemudian menghembuskan asap rokoknya ke sembarang arah.

Sementara Jeffrey menggidikkan bahunya. Mata lelaki itu memicing, mencari-cari keberadaan istrinya, namun nihil.

Matius mendecih, “Gimana semalem?” katanya, sontak dihadiahi pukulan di bagian kepala oleh Dio dan Yudhis.

“Sakit anjing!”

“Laklakan lo apa gak ada filternya?” tanya Yudhis bersungut-sungut.

“Eh tapi ... gue juga penasaran—” Selanjutnya Dio sibuk cengangas-cengenges setelah mengatakan hal tersubut.

“Asal lo tau Yud, yang kaya beginian tuh penting buat dibahas.” Raut wajah Matius berubah menjadi lebih serius dari sebelumnya.

“Apalagi lo tau kan, kalau temen lo yang satu ini agak blo'on urusan cewek?”

Merasa disindir, lantas Jeffrey pura-pura tidak mendengar. Ia sibuk menuangkan minuman kedalam gelas, lalu menyesapnya dengan santai. After party pernikahannnya terasa seperti sebuah neraka, karena pertanyaan-pertanyan frontal yang dilontarkan oleh teman-temannya—terutama matius, batinnya.

Jeffrey meringis, mengingat kejadian menyebalkan yang baru saja ia alami di pagi hari ini. Kejadian yang membuat pertanyaan Matius menjadi sangat sensitif bagi dirinya.


Flashback On

Pukul 8 pagi, Jeffrey baru saja membuka matanya. Alis lelaki itu bertaut, begitu cahaya matahari menyambut netranya dari luar jendela.

Jeffrey melenguh, sembari mengusap-usap waajahnya.

“Silau banget, Ra. Demi!”

Hening. Selanjutnya terdengar helaan nafas kasar yang kemudian menarik perhatian Jeffrey.

“Kenapa?”

Ratu yang tengah duduk ditepi ranjang pun menoleh, lantas menjatuhkan kepalanya di atas dada suaminya.

“Kenapa sih? Kok diem aja?” tanya Jeffrey kedua kalinya.

Alih-alih menjawab pertanyaan itu, Ratu malah memainkan ujung pakaian yang melekat pada tubuh Jeffrey.

“Amplop yang isinya cuman goceng semalem itu, jangan dipikirin kali, Ra.”

Mendengar perkataan itu, Ratu sekonyong-konyong memukul perut Jeffrey. Namun sang empunya justru tertawa lepas, mengingat sebuah amplop lusuh bertuliskan nama Jemian—adik laki-laki Jeffrey, yang berisikan uang bernilai lima ribu rupiah, dengan selotip sebagai perekat kedua sisi robeknya.

“Gue ngantuk banget.” Ratu membuka suara. Mengabaikan tawa Jeffrey, kemudian kebamli menyandarkan punggungnya pada tumpukan bantal dibelakangnya.

Jeffrey menatap intens kearah Ratu. Kantung mata gadis itu nampak sangat jelas. Sontak Jeffrey mendudukan tubuhnya, untuk menatap istrinya lebih dekat.

“Semalem gak tidur?” tanya lelaki itu dengan lembut.

Ratu menggeleng.

“Kenapa?”

“Gak bisa.”

“Kenapa gak bisa?”

Ratu menggaruk hidungnya yang tidak gatal, sembari menatap Jeffrey dengan tatapan yang sulit diartikan.

“Gue... takut tidur sama lo,”

Jeffrey geming seketika.

“Gue tau kita biasa tidur di kantor dalam satu ruangan, atau bahkan lo sering nginep di unit gue dari dulu. Tapi... gak satu kasur kaya gini kan? Gue takut.”

Lelaki dihadapannya itu, melongo tak percaya dengan apa yang baru saja Ratu katakan.

“Ra? Gue suami lo,” kata Jeffrey lirih.

“Iya tau.”

“Terus kenapa?—” Kalimat Jeffrey menggantung di udara.

“Maksud gue ... gue bahkan gak bakal apa-apain lo, sebelum lo siap?” Jeffrey lantas bangkit, setelah menyibak selimutnya. “Liat! Celana gue masih di tempatnya, Ra! Astaga,” papar Jeffrey dengan nada kesal.

Tiba-tiba saja wajah Ratu memanas, hingga semburat merah muncul di kedua pipinya.

“Lo ... tau darimana kalau itu yang gue maksud?”

Jeffrey memutar bola matanya malas. “Apalagi emangnya? Gak mungkin kan, lo takut gue begal diatas kasur?!”

Tawa Ratu pecah seketika, dan diikuti oleh Jeffrey.

“Jadi kapan, Ra?” tanya Jeffrey disela-sela tawa mereka.

“Apa?”

“Siapnya?”

Refleks Ratu melempar bantal kearah wajah Jeffrey, “Ngomong gitu lagi, gue cubit bibir lo!

Flashback Off


Jeffrey mengusak rambutnya dengan kasar, kemudian berdiri. Berniat meninggalkan ketiga sahabatnya.

“Mau kemana?” tanya Dio.

“Nyari bini gue—eh Yud, lo masih punya utang push up” Mata Jeffrey memicing, dengan jari telunjuk yang mengarah pada wajah Yudhis.

“Kan udahan anjing!” seru lelaki itu.

“Baru dua puluh lima kali kan Yus?” Matius mengangguk setuju.

“Sisa tujuh puluh lima kali lagi,” timpal Dio, membuat wajah Yudhis kusut seketika.

Dengan senyum menyebalkan, Jeffrey menepuk bahu sahabatnya itu. “Simpen aja utangnya, Yud. Nanti lo bayar di acara nikahan lo aja,” tutur Jeffrey, kemudian melenggang pergi meninggalkan ketiganya.

Satu persatu keluarga dan teman Jeffreyan maju ke depan untuk menyampaikan beberapa kesan dan pesan, serta ucapan selamat kepada kedua pasang sejoli tersebut.

“Saya punya satu cerita konyol tentang pasutri baru ini, semasa SMA.” Suara Yudhis mengalihkan perhatian banyak pasang mata yang ada disana.

Laki-laki itu tersenyum meledek kearah Jeffreyan yang tengah memeluk pinggang Ratu dengan sangat posesif di hadapannya.

“Dulu, kebetulan nyali Jeffreyan cuman segini.” Kalimatnya menggantung, karna ia sibuk menunjukkan ujung ruas jarinya kepada para tamu yang hadir disana.

“Temen-temen dia yang lain, gak mau dia suruh-suruh. Kecuali saya.”

“Saya selalu jadi perantara mereka berdua dalam segala hal, termasuk anter barang, anter makanan, sampai nganterin istrinya pulang kalau mereka lagi marahan.”

Mendengar ucapan Yudhis, lantas Jeffreyan menyusuri ingatan masa lalunya.

“Sampai ada masanya dimana orang-orang pikir, saya pacaran sama Ratu. Sialnya gosip itu sampai ke telinga Jeffreyan,” keluhnya, dan dibalas wajah tak berdosa oleh Jeffreyan.

“Gua aduin ke bapak lo!” ancam Yudhis kepada Jeffreyan.

Yudhis mengedarkan pandangannya, mencari keberadaan ayah dari teman lamanya itu.

“Om tau gak? Saya sumpah demi Tuhan gak pernah berantem sama siapapun waktu SMA. Saya ini anak baik-baik! Tapi ... cuman karna kisah cinta absurd mereka berdua ini, Om. Saya jadi bonyok!”

Suara gelak tawa Jeffreyan terdengar sangat jelas. Ia tertawa begitu mengingat kejadian tersebut. Wajah hingga telinganya memerah.

“DIA PUKULIN SAYA CUMAN KARNA DENGER GOSIP KALAU SAYA PACARAN SAMA RATU, OM!” seru Yudhis, dengan wajah sedih yang sengaja ia buat-buat.

Dio, Matius, dan beberapa tamu lainnya ikut tergelak mendengarkan kisah mengenai tingkah kekanakan-kanakan Jeffreyan, kecuali Ratu.

“Lo parah banget sih,” bisik Ratu yang masih terkejut mendengar pengakuan Yudhis.

“Tapi gak masalah,” ucap Yudhis kembali membuka suara.

“Saya seneng liat dia akhirnya nikah sama perempuan itu. Karna kalau bukan sama Ratu, saya pasti udah gantian mukulin dia hari ini.”

“Happy wedding, Jeff. Semoga kalian berdua cepet dapet momongan.”

Suara tepuk tangan terdengar mengiringi langkah kaki Yudhis menuju tempat duduknya. Namun dengan sigap Dio, dan Matius menarik paksa tubuhnya.

“Mau kemana, Yud?” tanya Dio.

“Tau nih, buru-buru amat?” sambung Matius.

Jeffreyan berdiri dari tempat duduknya, untuk menghampiri ketiga temannya tersebut.

“Janji adalah hutang. Lo mau mau push up 100x atau bayar pake duit?” tanya Jeffreyan, kemudian menyunggingkan senyumnya.

“Brengsek bener lo bertiga!”

Ratu menatap pantulan wajahnya pada sebuah cermin. Tangan kiri Ratu terangkat. Dikecupnya cincin pemberian Jeffreyan pada bulan Desember, tahun lalu.

Besok pagi, adalah hari pernikahan mereka berdua. Ada ketakutan yang hinggap dalam benaknya sejak beberapa hari lalu.

Gadis itu takut membayangkan jika nantinya setelah hari pernikahan, mereka baru menyadari ketidak cocokan akan satu sama lain.

Ratu berjalan dengan lemas kearah ranjangnya. Sudah semakin larut, namun rasa kantuk belum juga datang.

“Jeff ... gue- gue belum siap.”


Disinilah Ratu sekarang. Didalam ruangan serba putih, yang di penuhi oleh beberapa orang penata rias pengantin sejak pagi-pagi buta.

Ratu menyentuh keningnya sesaat sebelum seseorang memasangkan sebuah kain penutup wajah diatas kepalanya. Masih panas. Bahkan lebih panas dari semalam.

“Mba.”

Panggil Jemian yang entah sejak kapan sudah berdiri disebelahnya.

“Apa, Jem?”

Jemian tersenyum, kemudian mengacungkan kedua jempolnya. “Cuantik pol!” puji anak laki-laki itu, terhadap Ratu.

Diraihnya tangan Ratu dengan hati-hati.

“Mba tau? Mas Jeffrey pernah bilang ke Jemi, kalau dia takut nyakitin Mba dalam keadaan gak sadar. Mas Jeffrey baik. Tapi kadang-kadang, tingkah dia suka kelewatan.”

Jemian diam sejenak, kemudian tersenyum manis dengan mata berkaca-kaca. “Sebentar Mba, Jemi sedih keinget Mas Jeffrey mau nikah.” Jemian memandang langit-langit demi menahan air matanya.

“Lucu banget hehh!”

“Walaupun Mas Jeffrey suka gak bener, tapi Jemi sayang sama dia, Mba. Jemi gak mau Mas Jeffrey telat sadar kalau dia ngelakuin kesalahan, terus nyakitin orang yang dia sayang. Jadi Jemi minta ke Mba Le- Ratu, semisal nanti Mas Jeffrey nakal ... tolong langsung bilang ke Jemi ya, Mba?”

“Bilang ke kamu, biar apa?”

“Biar langsung Jemi pukulin di tempat. Tapi, jangan pernah tinggalin dia Mba. Tolong maafin dia, kalau dia buat salah,” pinta Jemian.

“Kalau aku gak bisa maafin, terus ninggalin dia?”

“Jemi bakal marah-

sama Mba.”


“Cantik banget iparku!” Kila menggenggam tangan Ratu dengan penuh semangat.

“Mba Kilaaa, aku kaget!”

Wanita itu terkekeh mendengar keluhan Ratu. Lantas memijat-mijat tangan Ratu, demi menyalurkan kehangatan.

“Jangan takut. Gak ada yang bakal berubah diantara kalian setelah pernikahan. Percaya deh sama aku. Jeffrey itu cinta banget sama kamu. Dia bakal bikin kamu nyaman dan terbiasa sama status baru kalian kedepannya,” tutur Kila dengan nada berbisik.

Ratu menghela nafasnya, dan memejamkan matanya sejenak.

“Ayo? Udah siap belum?”

Ratu mengangguk kecil.

“Papa, nih anak gadisnya udah siap!”


Seluruh pasang mata menatap kagum pada kecantikan yang dipancarkan oleh Ratu. Gadis itu didampingi oleh seorang lelaki paruh baya yang tidak lain adalah ayah kandung dari Jeffreyan.

Mereka berdua berjalan beriringan, dengan tangan Ratu yang menggenggam erat lengan Samuel. Sementara itu, para hadirin berdiri menyambut keduanya.

Disisi lain, Jeffreyan tak mampu lagi menahan senyumnya. Laki-laki itu terus memuji Ratu didalam hatinya.

Tangan Jeffrey terulur, dan langsung disambut oleh Ratu. “Yang serius, Mas!” bisik Samuel, sebelum akhirnya menyerahkan Ratu kepada anaknya.

“Kaki gue lemes, Jeff.”

“Ahahaha! Sama.”

Mereka berdua melangkah ke arah altar, untuk mengucap janji sehidup semati, kemudian saling bertukar cincin.

Seluruh tamu undangan nampak tersenyum haru, tak terkecuali Yudhis, Dio, dan Matius. Mereka bertiga turut merasa bahagia atas pernikahan sahabatnya.

Jeffreyan mengangkat veil yang Ratu kenakan dengan tergesa. Kemudian mengecup kening istrinya dalam sekejap.

“Aku ... udah boleh?” tanya Jeffrey. Netranya menatap kedua belah bibir milik Ratu.

Gemas, batin Ratu. Bahkan setelah pernikahan mereka, Jeffrey masih meminta izin untuk sekedar mencium bibirnya.

Ratu mengangguk singkat.

Detik kemudian, seluruh tamu undangan bersorak histeris, kala bibir Jeffreyan mendarat sempurna diatas bibir perempuan yang kini telah resmi menjadi istrinya.

Jeffrey menyesap bibir Ratu dengan sangat hati-hati. Menyalurkan perasaan bahagianya akan pernikahan mereka.

“Jadi gini rasanya ciuman bibir,” desis pria itu, begitu melepaskan ciumannya.

“Rating?”

“Mana bisa dirating sekarang? Ntar, kalau udah gak ada lipstiknya lah.”

Mendengar ucapan itu, wajah Ratu memerah sempurna.

“Takut banget, sumpah.”

Jeffreyan refleks mengangkat sudut bibirnya. Menahan tawa, setelah mendengar pengakuan yang baru saja istrinya lontarkan.

“Malem ini kan, Ra?”

“Malem ini kita itung amplop dulu,” jawab Ratu dengan sarkas.

Pecah sudah. Jeffreyan tak mampu lagi menahan tawanya diatas altar.


“Jeffrey bakal pegang terus janji Jeffrey ke Bunda. Sampai kapanpun, Bun.”

Flashback On

Jeffreyan tersenyum menatap semangkuk rawon buatan Bunda. Sudah kesekian kalinya ia memakan rawon dalam seminggu, sebagai syarat untuk bertamu ke rumah Ratu.

“Kamu kalau mau kesini, main aja. Jangan jadiin rawon sebagai alesan,” kata Bunda.

Wanita paruh baya itu tau segalanya. Ia tau tentang bagaimana perasaan Jeffreyan terhadap putrinya hanya dengan melihat tatapan mata laki-laki itu setiap kali berhadapan dengan Ratu.

Jeffrey terkekeh. “Lusa masak rawon lagi, Bun.”

“Bunda bosen. Emangnya kamu gak bosen sama rawon?”

“Enggak. Soalnya enak.”

Bunda menghela nafas pasrah.

“Bunda gak pernah larang Lea buat pacaran.”

Lantas Jeffreyan menoleh kearah Bunda. Rupanya Bunda salah paham akan dirinya.

“Jeffrey gak ngajak Ratu pacaran, bukan karna mikir kalau Bunda ngelarang.”

“Terus apa?”

“Jeffrey takut nyakitin Ratu, terus bikin dia pergi.”

Alis Bunda mengernyit seketika. “Kamu cowok, tapi penakut.”

Jeffrey mengusap wajahnya frustasi, setelah mendengar ucapan Bunda.

Hening, tak ada jawaban dari laki-laki itu.

“Walaupun kamu penakut, Bunda tetep paling percaya sama kamu, Jeff. Tolong jagain anak gadis Bunda ya?”

Sedikit senyuman tercetak jelas di wajah Jeffreyan. Ia mengangguk dengan penuh semangat. “Pasti, Bunda tenang aja. Jeffrey janji.”

“JEFF LO TAU DIMANA GUE TARO DOMPET GAK?” Suara Ratu dari dalam kamar, mengusik obrolan keduanya.

“Adaa sama gue, Ra. Tadi kan lo titip ke gue?”

“OH IYAAA!”

“Anak itu, kebiasaan deh teriak-teriak didalem rumah,” keluh Bunda, yang kemudian dibalas kekehan oleh Jeffreyan.

Setelah hari itu, Jeffrey tak pernah menyangka bahwa perkataan Bunda adalah pesan terakhir sebelum kepergiannya.

Selain Ratu, dirinya pun merasakan sesak bukan main kala dokter menyatakan waktu kematian Bunda. Namun disisi lain, ia harus tetap berdiri kokoh dibelakang Ratu pada saat itu.

Dan sejak hari dimana gadis itu melakukan percobaan bunuh diri, Jeffreyan sudah membulatkan tekad untuk bertanggung jawab sepenuhnya atas kehidupan Ratu—dengan kata lain, ia berencana untuk menikahi Ratu.

Malam ini, seperti yang sudah direncanakan sebelumnya, akan ada sebuah jamuan makan malam spesial bagi seluruh karyawan Tamacakra.

Senyum Ratu tak henti-hentinya mengembang setelah menghabiskan waktu seharian penuh bersama Jeffreyan, untuk mengelilingi kota Bandung. Semua tindakan dan perlakuan Jeffreyan di hari itu, membuatnya merasa sangat istimewa.

Mulai dari reservasi restauran bintang lima, sewa mobil dengan harga jutaan rupiah hanya untuk mengelilingi kota Bandung, hingga hal sederhana seperti terus memeluk pinggangnya ketika mereka berdua turun dari mobil.

Ratu menghirup udara disekitarnya dengan serakah. Bahkan ujung helai rambutnya memiliki aroma yang sama dengan laki-laki itu.

Bell didalam kamar hotel Ratu, berbunyi. Pertanda ada seseorang diluar sana.

Ceklek!

“Udah siap?” tanya Jeffrey begitu pandangannya bertemu dengan Ratu.

“Udah, tapi ini pendek banget gak sih?”

Jeffrey menurunkan tatapan matanya, kemudian kembali menatap Ratu dan menaikkan sebelah alisnya. “Lo gak nyaman?”

“Nyaman.”

“Terus?”

“Gak tau. Takut lo marahin masa?”

Mendengar jawaban itu, lantas Jeffreyan terkekeh.

“Lo mau pakai bikini juga, kalau perginya sama gue ya gak masalah, Ra.”

“Emang semua cowok sama aja!”

“Enggak. Bukan karna gue mau nikmatin bentuk badan lo. Tapi karna gue siap mukulin orang-orang yang punya niat macem-macem ke lo,” tutur laki-laki itu, kemudian menepuk-nepuk bisepnya dihadapan Ratu.

“Aduh, udah cukup ngang ngeng ngongnya!”

Jeffreyan tersenyum manis hingga kedua lubang pada pipinya nampak semakin jelas. “Ayo?”


Para rekan sekantornya sudah berkumpul di dalam ruang pertemuan yang merupakan salah satu fasilitas, dari hotel berbintang itu.

Ratu mengedarkan pandangannya. Menatap seluruh orang yang juga berpakaian formal, sama sepertinya.

Aneh, batinnya. Tema pakaian malam ini lebih terlihat seperti sedang menghadiri sebuah pesta pernikahan daripada makan malam bersama rekan kerja biasa.

Detik kemudian, netranya menangkap sosok yang tidak asing baginya—Jemian melambaikan tangan ditengah keramaian. Tak hanya Jemian, Ratu juga dapat melihat keberadaan kedua orang tua Jeffreyan, Kila, serta suaminya yang tengah menggendong anak pertama mereka.

“Jeff!”

“Hmm?”

“Lo ngerasa gak sih kalau orang-orangnya nambah?” Ratu meremat lengan Jeffreyan. Sementara laki-laki itu hanya menggidikkan bahunya.

“Kita kesana yuk?” ajak Jeffrey, dengan telunjuk yang mengarah pada sebuah tempat duduk yang letaknya berada di paling depan.

Setelah membawa Ratu ke tempat duduknya, Jeffreyan langsung melangkah pergi. Berjalan menuju microphone yang ada di depan sana.

Suara musik yang sebelumnya mengiringi jamuan makan malam, berangsur-angsur menghilang. Digantikan oleh suara Jeffreyan.

“Selamat malam semuanya!” sapa Jeffreyan kepada seluruh orang yang berada disana.

“MALAM!”

“Kemarin sore, waktu kita semua baru check in di hotel ini, tiba-tiba Yogi nyamperin saya. Dia cengengesan kaya biasanya, terus bilang ... Pak, family gatheringnya kok agak beda? Saya cuman bisa ketawa.”

“Malam ini, saya berdiri didepan sini, untuk kasih tau apa alasan sebenernya..”

“WADUH ADA APAAN NIH?!” teriak Yogi. Membuat seluruh orang yang ada disana tertawa.

“Family gathering tahun ini sengaja saya buat agak lebih istimewa, karena saya sekalian numpang acara.”

Hening. Atmosfer dalam ruang itu, kini berubah. Jeffreyan terdiam sejenak, untuk mengatur nafasnya.

“Teruntuk teman masa kecil saya, rekan kerja saya, sekaligus cinta pertama saya. Ratu Azalea. Bisa tolong kesini? Tadi niatnya saya yang mau ketempat duduk kamu. Tapi kaki saya udah kepalang lemes buat jalan ke sana.”

Sontak suara gelak tawa memenuhi ruangan tersebut. Sementara Ratu bingung bukan main.

Gemas melihat Ratu yang tak kunjung menghampiri Jeffreyan, lantas dengan sigap, Yudhis berjalan kearah Ratu dan membawanya menuju tempat Jeffreyan berada.

“Makasih Yudhis,” ucap Jeffrey, dan dibalas acungkan jempol oleh Yudhis.

“SAHAM DIS! MINTA SAHAM!” seru Dio dari kejauhan, yang langsung mendapatkan pukulan di kepalanya oleh Matius.

Ratu masih sibuk memikirkan apa yang sebenarnya tengah terjadi. Jantungnya berdegup sangat kencang, terlebih lagi setelah mendengar sorakan riuh para anak buahnya.

“Ra, gue tau mungkin lo kaget. Mungkin juga lo ngerasa kalau ini kecepetan karna gue baru aja bilang soal perasaan gue, dua hari yang lalu. Tapi ... ada disebelah lo selama tiga belas tahun terakhir, dan nyimpen perasaan suka selama sepuluh tahun, adalah waktu yang cukup lama buat gue.”

Gadis itu diam mematung. Memandang Jeffreyan yang mulai berlutut dihadapannya, sembari mengeluarkan sebuah kotak cincin berwarna putih.

“Ekhmm, gue udah siapin ini buat lo ... .”

“Jeff ... .”

“Nikah sama gue, Ra. Gue janji gak akan ada satu kesedihan pun yang bakal masuk ke kehidupan lo setelah itu,” ucap Jeffrey, kemudian membuka kotak cincin tersebut.

“Let all my happiness be yours, all your sadness be mine. Will you marry me, Ra? Lo yang paling tau kalau gue benci penolakan. So, please ... .”

Mata Ratu mulai memanas. Runtuh sudah pertahanannya. Gadis itu menangis dihadapan banyak orang, malam ini.

Namun, alih-alih menatap Jeffreyan, Ratu justru melihat kearah kerumunan orang. Hingga obsidiannya bertemu dengan obsidian sang Mama, dari laki-laki yang tengah berlutut dihadapanya.

Wanita paruh baya itu nampak tersenyum dari kejauhan, lalu menganggukkan kepalanya.

Ratu yang melihat itu, sontak menjatuhkan tubuhnya. Memeluk Jeffreyan dengan sangat erat, sembari menahan tangis harunya.

“Mau. Gue mau jadi istri lo, Jeff!” bisik Ratu dengan penuh penekanan.

Kedua lengan Jeffrey balas merengkuhnya kedalam dekapan penuh kehangatan. Diusapnya punggung Ratu, agar gadis itu merasa lebih tenang.

“Ra?”

Ratu berdeham.

“Salah urutan anjir, harusnya lo ambil dulu cincinya, baru peluk gue!” desis Jeffrey.

“Bisa-bisanya lo rusak momen haru ini, dengan ngomong kaya gitu? Bangsat!”