cakgrays

Jeffrey meletakkan ponselnya diatas nakas, sebelum beranjak dari tempat tidurnya. Laki-laki itu meraih sebuah pakaian yang sengaja ia tanggalkan tadi malam, kemudian memakainya.

“Nanti kalau udah nikah, enaknya tidur di kamar ini atau di kamar sebelah ya?” gumamnya, sembari menyisir rambut menggunakan tangan.

Jeffreyan terkekeh sendiri.

Ceklek!

Suara pintu kamar yang dibuka dari luar, mengejutkan Jeffrey.

“Sialan. Kaget!”

“Mikir apaan lo cengengesan gitu?” tuduh Ratu semangat.

“Enggak.”

Netra Jeffrey menangkap sesuatu yang aneh pada gadis dihadapannya itu. Lantas Jeffreyan melangkah mendekat. Menatap wajah Ratu lebih lekat, membuat yang ditatap sontak mengalihkan pandangannya.

“Bibir lo ... lo abis gigitin bibir ya, Ra?” Tanpa aba-aba, tangan Jeffreyan menarik dagu Ratu.

“Ini mata lo kenapa bengkak gini? Lo abis nih nangis nih pasti! Kenapa?!”

Ratu geming. Gadis itu ragu untuk menjawab pertanyaan yang baru saja Jeffrey lontarkan.

“Mulutnya dipake buat jawab!”

Alih-alih menjawab, Ratu justru sengaja membuang wajahnya agar tangan Jeffreyan terhempas. “Pinjem kunci mobil lo.”

“Buat?”

“Mau ngambil barang-barang gue.”

“Barang-barang apa yang lo maksud?”

Ratu menundukkan kepalanya. Enggan menatap Jeffrey. “Lipstik, kunciran, tas, sam-”

“Liat mata gue, Ra! Lo lagi ngomong sama siapa? Sama bakteri di lantai?” Belum sempat gadis itu mengakhiri kalimatnya, Jeffreyan lebih dulu memotongnya.

Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Ratu. Gadis itu membisu.

“LIAT SINI! LO KENAPA SIH?!”

“Gue harus beresin barang-barang gue yang ada di mobil lo!”

“YA KENAPA DIBERESIN? BIASANYA JUGA GAPAPA KAN?!”

“GAK ENAK SAMA CALON ISTRI LO!”

Hening, kala netra mereka saling bertemu satu sama lain. Jeffreyan berusaha keras mengatur deru nafasnya dihadapan Ratu.

“Udahlah gak jadi!” seru Ratu, kemudian memutar tubuhnya. Berniat untuk meninggalkan Jeffreyan begitu saja.

Namun, laki-laki itu lebih dahulu menarik tubuhnya. Jeffrey membawa Ratu masuk kedalam dekapannya.

“Gue suka sama lo, Ra. Cuman sama lo. Soal perjodohan yang semalem ... tolong lupain aja.” tutur Jeffrey.

“Jeff ... gue-”

“Maaf baru bilang kaya gini setelah bikin lo meledak.”

Jeffreyan melepaskan pelukannya. “Jangan nangis karna gue lagi.”

Tangan yang sebelumnya mengusap lembut pipi Ratu, kini beralih menyentuh rahangnya.

Hangat.

Jeffrey semakin menghimpit jarak di antara mereka. Membuat gadis itu memejamkan matanya perlahan.

“Ngapain merem, Ra?” tanya Jeffreyan, kemudian sengaja menyentuh bibirnya sembari menggelengkan kepala.

“Ihh takut banget sama Ratuuu ... .”

“JEFFREYAN!!!”

Ratu tengah menikmati pemandangan kota di malam hari melalui sebuah kaca besar, dari dalam unit apartemennya.

Gadis itu tersenyum, untuk kesekian kalinya di hari ini.

“Kopi?” Suara Jeffrey mengalihkan perhatian Ratu. Laki-laki itu menggenggam 2 cangkir berisikan kopi yang baru saja ia buat.

“Makasih.”

Jeffrey mengangguk, kemudian ikut duduk disebelah Ratu. Menyesap kopi miliknya, sembari memandangi wajah Ratu yang bercahaya karena terpapar sinar bulan. Tanpa sadar Jeffreyan menarik sudut bibirnya.

“Cantik.” Jeffrey membuka suara.

Ratu menoleh kearah laki-laki itu, dan membalas senyumnya.

“Emang. Alesan kenapa gue pilih apartemen ini, adalah view-nya. Kalau lagi gak mendung kaya gini, view langitnya cantik banget.” Setelah menyelesaikan kalimatnya, kini giliran Ratu yang menyesap kopinya.

“Maksud gue, lo yang cantik.”

Gadis itu tersedak seketika.

“Jeff ... .”

“Hmm?”

“Biasa aja lah. Gue kewalahan.”

Lantas Jeffreyan terkekeh dibuatnya. Ia pun menggeser tubuhnya, menghapus jarak diantara mereka berdua. “Lo percaya gak, kalau gue bilang ... gue udah nunggu momen kaya gini dari lama, Ra.”

“Dari kapan?” tanya Ratu sembari menatap intens kearah Jeffrey yang tengah menatap pemandangan kota.

“Sepuluh tahun yang lalu, mungkin? Waktu kita masih SD.”

Mendengar pengakuan itu, sontak Ratu membelalakkan matanya.

“Gila. Boong kan?”

“Gue suka sama lo, jauh sebelum lo mutusin buat confess waktu pensi SMA kita, Ra.”

“HAHH?! LO TAU?”

Jeffreyan menaikan alisnya. Ia menarik nafas panjang, lalu meletakkan cangkirnya diatas nakas.

“Lo inget gak waktu SD, cuman lo yang mau temenan sama gue karna gue anak pindahan dari Surabaya?” Pandangan Jeffrey masih setia menatap kearah kaca.

“Inget, karna cara ngomong lo beda sama yang lainnya.”

“Dulu, yang ada dipikiran gue adalah, gue beruntung bisa kenal sama lo. Cantik, pinter, dan baik. Udah, itu doang.”

“Lama-kelamaan, gue mulai egois buat milikin lo, Ra. Padahal kan wajar ya kalau anak SD punya banyak temen? Tapi gue gak suka. Gue cuman pengen kita ngabisin waktu berdua aja.”

Alih-alih merasa kesal, Ratu justru tertawa. “Lo udah toxic dari kecil, anjir?”

“HAHAHAH!”

Jeffreyan menarik tangan Ratu dengan lembut, dan memainkannya.

“Perasaan kaya gitu, akhirnya terus gue rasain sampai kita SMP. Nah, begitu SMP gue baru tau soal cinta-cintaan.”

“Gue sadar kalau ternyata gue suka sama lo, Ra. Tapi waktu itu, gue mikirnya, hubungan persahabatan kita juga termasuk hal yang sakral. Makanya gue tetep diem aja, dan simpen perasaan itu sendirian.”

“Sialannya lo malah ngira gue suka sama Vanya!” sambung Jeffrey, kesal.

Ratu melirik Jeffreyan. Mencoba mencari kebohongan dari apa yang baru saja ia ucapkan.

“Masuk SMA yang sama kaya lo, sama sekali bukan kebetulan. Itu emang planning gue.”

“SEREM!” seru Ratu.

“Gue sampe terbiasa denial sama perasaan gue sendiri. Gue selalu tanemin mindset kalau kita berdua cuman temen-

Tapi, begitu tau lo mulai deket dan jadian sama Hardin ... gue sakit hati,” ungkap Jeffrey. Nadanya bergetar diakhir kalimat.

“Gue juga mau ada diposisi dia, Ra. Gue mau ubah status kita. Tapi gak bisa.”

Sepersekian detik, Ratu dapat merasakan genggaman tangan Jeffrey pada tangannya semakin kuat.

“Gue takut nyakitin lo. Gue takut kalau kita pacaran, gue gak bakal bisa jagain lo lagi setelah putus. Gue takut lo pergi karna kesalahan gue, Ra.”

Ratu tertegun sejenak. “Jeff ... sini peluk!”

Jeffreyan menghambur. Menerima rentangan tangan Ratu dengan hangat, kemudian memeluk gadis itu erat-erat.

“Aaaaa bayi gedenya Ratuuu!” Ledek Ratu, sembari mengusap-usap tengkuk Jeffreyan.

“Selama ini, perasaan lo gak pernah sekalipun bertepuk sebelah tangan, Ra. Selama ini, gue sayang sama lo lebih dari sekedar temen. Maaf karna gue udah jadi pengecut selama bertahun-tahun. Maaf karna udah buat lo nunggu lama.” Jeffrey menghirup aroma tubuh Ratu setelahnya.

“Cup cupp, jangan nangis. Apa lo gak malu nangis depan gue kaya gini?!” ucap Ratu begitu menyadari air mata Jeffrey yang membasahi piyamanya.

“Enggak. Gue nangis depan orang yang gue sayang, itu tandanya gue tulus!” rengek laki-laki itu dalam dekapan Ratu.

“Pamit dong?”

“Hahahaha anjing lo, Ra.”

Mereka saling berpelukan dalam waktu yang cukup lama. Ratu menghela nafas lega, dan tersenyum. Sama seperti Jeffreyan, ia juga telah lama menanti momen seperti ini.

“Ra?” panggil Jeffrey.

“Kenapa?”

“Gue boleh nanya?”

“Tanya apa?”

“Lo ... mau pacaran dulu atau langsung nikah?”

Nafas Ratu tercekat. Sulit baginya untuk menjawab pertanyaan laki-laki itu.

“Kalau diem berarti maunya langsung kawin.”

“Lo mau gue guyur pake kopi panas, Jeff?”

“Bercanda!”

Jeffrey meletakkan ponselnya diatas nakas, sebelum beranjak dari tempat tidurnya. Laki-laki itu meraih sebuah pakaian yang sengaja ia tanggalkan tadi malam, kemudian memakainya.

“Nanti kalau udah nikah, enaknya tidur di kamar ini atau di kamar sebelah ya?” gumamnya, sembari menyisir rambut menggunakan tangan.

Jeffreyan terkekeh sendiri.

Ceklek!

Suara pintu kamar yang dibuka dari luar, mengejutkan Jeffrey.

“Sialan. Kaget!”

“Mikir apaan lo cengengesan gitu?” tuduh Ratu semangat.

“Enggak.”

Netra Jeffrey menangkap sesuatu yang aneh pada gadis dihadapannya itu. Lantas Jeffreyan melangkah mendekat. Menatap wajah Ratu lebih lekat, membuat yang ditatap sontak mengalihkan pandangannya.

“Bibir lo ... lo abis gigitin bibir ya, Ra?” Tanpa aba-aba, tangan Jeffreyan menarik dagu Ratu.

“Ini mata lo kenapa bengkak gini? Lo abis nih nangis nih pasti! Kenapa?!”

Ratu geming. Gadis itu ragu untuk menjawab pertanyaan yang baru saja Jeffrey lontarkan.

“Mulutnya dipake buat jawab!”

Alih-alih menjawab, Ratu justru sengaja membuang wajahnya agar tangan Jeffreyan terhempas. “Pinjem kunci mobil lo.”

“Buat?”

“Mau ngambil barang-barang gue.”

“Barang-barang apa yang lo maksud?”

Ratu menundukkan kepalanya. Enggan menatap Jeffrey. “Lipstik, kunciran, tas, sam-”

“Liat mata gue, Ra! Lo lagi ngomong sama siapa? Sama bakteri di lantai?” Belum sempat gadis itu mengakhiri kalimatnya, Jeffreyan lebih dulu memotongnya.

Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Ratu. Gadis itu membisu.

“LIAT SINI! LO KENAPA SIH?!”

“Gue harus beresin barang-barang gue yang ada di mobil lo!”

“YA KENAPA DIBERESIN? BIASANYA JUGA GAPAPA KAN?!”

“GAK ENAK SAMA CALON ISTRI LO!”

Hening, kala netra mereka saling bertemu satu sama lain. Jeffreyan berusaha keras mengatur deru nafasnya dihadapan Ratu.

“Udahlah gak jadi!” seru Ratu, kemudian memutar tubuhnya. Berniat untuk meninggalkan Jeffreyan begitu saja.

Namun, laki-laki itu lebih dahulu menarik tubuhnya. Jeffrey membawa Ratu masuk kedalam dekapannya.

“Gue suka sama lo, Ra. Cuman sama lo. Gue gak pernah bercanda waktu bilang kalau gue gak bakal ninggalin lo. Soal perjodohan yang semalem ... lupain aja.” tutur Jeffrey.

“Jeff ... gue-”

“Maaf baru bilang kaya gini setelah bikin lo meledak.”

Jeffreyan melepaskan pelukannya. “Jangan nangis karna gue lagi.”

Tangan yang sebelumnya mengusap lembut pipi Ratu, kini beralih menyentuh rahangnya.

Hangat.

Jeffrey mulai menghimpit jarak di antara mereka. Membuat gadis itu memejamkan matanya perlahan. Kemudian tersenyum. Dikecupnya kening Ratu, cukup lama dan diakhiri dengan sebuah pelukan.

“Papa bilang yang boleh cium bibir perempuan, cuman suaminya,” bisik Jeffreyan, dalam pelukannya.

Pintu ruangan Ratu terbuka, menampilkan sosok Jeffreyan yang sudah siap untuk pulang malam itu.

“Udah mau pulang?” tanya Jeffrey sembari menatap Ratu yang tengah merapikan mejanya.

Gadis itu mengangguk, kemudian meraih tasnya.

“Naik apa?”

“Gocar. Orangnya udah nunggu dibawah, gue duluan ya!” ujar Ratu sebelum akhirnya meninggalkan Jeffreyan.

Ratu melamun didalam lift. Setelah kejadian kemarin, kepalanya terus saja dipenuhi oleh pikiran-pikiran mengenai, apa alasan Jeffreyan terus menggodanya. Bahkan laki-laki itu rela membuang uangnya demi kelancaran aksi konyolnya tempo hari.

Suara helaan nafas panjang Ratu terdengar jelas. Ratu memijat batang hidungnya, kemudian meringis. “Gue bahkan gak ngerasa sakit hati lagi, sangking seringnya lo giniin.”

“Lo gak jelas. Tapi buat ngejauhin lo ... gue gak bisa.”

“Kira-kira mau sampai kapan ya gue begini?” lirih Ratu.

Ting!

Pintu lift terbuka. Gadis itu berjalan menuju sebuah mobil berwarna silver yang telah menunggunya di luar, sejak beberapa menit yang lalu.

“Ke alamat sesuai aplikasi ya, Bu?”

“Iya.”

Ratu pun masuk kedalam mobil tersebut. Menyandarkan tubuhnya, dan memejamkan mata hingga mobil itu melaju meninggalkan area kantor.

Sangat hening, pasalnya sang supir tak berniat membicarakan apapun atau sekedar menyalakan musik.

“Habis lampu merah ini belok kanan ya, Bu?”

Mendengar pertanyaan itu, lantas Ratu membuka matanya dan langsung menatap kearah spion.

Nafasnya tercekat, “Aston Martin? Jeffreyan?” batin Ratu.

Netranya menatap sebuah mobil yang nampak sangat familiar melalui kaca spion. Meski wajah si pengemudi tak terlihat jelas, gadis itu yakin bahwa sosok dibalik kemudi mobil tersebut adalah Jeffreyan.

Ratu menarik sudut bibirnya seketika. Gadis itu tersenyum penuh arti.

“Bu?”

“Iya??”

“Habis lampu merah ini, belok kanan kan?” sang supir mengulangi pertanyaannya.

“Oh- iya Pak.”

Lampu lalulintas yang sebelumnya berwarna merah, kini berganti hijau. Bersamaan dengan mobil yang Ratu tumpangi, mobil yang gadis itu curigai milik Jeffreyan pun ikut melaju dibelakangnya.


Satu hal yang Ratu sadari, setiap hari efektif di bulan itu, Jeffreyan selalu mengikuti mobil yang ia tumpangi dari belakang—untuk memastikan bahwa ia sampai di apartemen dengan selamat.

Pintu ruangan Ratu terbuka, menampilkan sosok Jeffreyan yang sudah siap untuk pulang malam itu.

“Udah mau pulang?” tanya Jeffrey sembari menatap Ratu yang tengah merapikan mejanya.

Gadis itu mengangguk, kemudian meraih tasnya.

“Naik apa?”

“Gocar. Orangnya udah nunggu dibawah, gue duluan ya!” ujar Ratu sebelum akhirnya meninggalkan Jeffreyan.

Ratu melamun didalam lift. Setelah kejadian kemarin, kepalanya terus saja dipenuhi oleh pikiran-pikiran mengenai, apa alasan Jeffreyan terus menggodanya. Bahkan laki-laki itu rela membuang uangnya demi kelancaran aksi konyolnya tempo hari.

Suara helaan nafas panjang Ratu terdengar jelas. Ratu memijat batang hidungnya, kemudian meringis. “Gue bahkan gak ngerasa sakit hati lagi, sangking seringnya lo giniin.”

“Lo gak jelas. Tapi buat ngejauhin lo ... gue gak bisa.”

“Kira-kira mau sampai kapan ya gue begini?” lirih Ratu.

Ting!

Pintu lift terbuka. Gadis itu berjalan menuju sebuah mobil berwarna silver yang telah menunggunya di luar, sejak beberapa menit yang lalu.

“Ke alamat sesuai aplikasi ya, Bu?”

“Iya.”

Ratu pun masuk kedalam mobil tersebut. Menyandarkan tubuhnya, dan memejamkan mata hingga mobil itu melaju meninggalkan area kantor.

Sangat hening, pasalnya sang supir tak berniat membicarakan apapun atau sekedar menyalakan musik.

“Habis lampu merah ini belok kanan ya, Bu?”

Mendengar pertanyaan itu, lantas Ratu membuka matanya dan langsung menatap kearah spion.

Nafasnya tercekat, “Aston Martin? Jeffreyan?” batin Ratu.

Netranya menatap sebuah mobil yang nampak sangat familiar melalui kaca spion. Meski wajah si pengemudi tak terlihat jelas, gadis itu yakin bahwa sosok dibalik kemudi mobil tersebut adalah Jeffreyan.

Ratu menarik sudut bibirnya seketika. Gadis itu tersenyum penuh arti.

“Bu?”

“Iya??”

“Habis lampu merah ini, belok kanan kan?” sang supir mengulangi pertanyaannya.

“Oh- iya Pak.”

Lampu lalulintas yang sebelumnya berwarna merah, kini berganti hijau. Bersamaan dengan mobil yang Ratu tumpangi, mobil yang gadis itu curigai milik Jeffreyan pun ikut melaju dibelakangnya.


Satu hal yang Ratu sadari, setiap hari efektif selama bulan November—Jeffreyan selalu mengikuti mobil yang ia tumpangi dari belakang, hanya untuk memastikan bahwa ia sampai di apartemen dengan selamat.

Pintu ruangan Ratu terbuka, menampilkan sosok Jeffreyan yang sudah siap untuk pulang malam itu.

“Udah mau pulang?” tanya Jeffrey sembari menatap Ratu yang tengah merapikan mejanya.

Gadis itu mengangguk, kemudian meraih tasnya.

“Naik apa?”

“Gocar. Orangnya udah nunggu dibawah, gue duluan ya!” ujar Ratu sebelum akhirnya meninggalkan Jeffreyan.

Ratu melamun didalam lift. Setelah kejadian kemarin, kepalanya terus saja dipenuhi oleh pikiran-pikiran mengenai, apa alasan Jeffreyan terus menggodanya. Bahkan laki-laki itu rela membuang uangnya demi kelancaran aksi konyolnya tempo hari.

Suara helaan nafas panjang Ratu terdengar jelas. Ratu memijat batang hidungnya, kemudian meringis. “Gue bahkan gak ngerasa sakit hati lagi, sangking seringnya lo giniin.”

“Lo gak jelas. Tapi buat ngejauhin lo ... gue gak bisa.”

“Kira-kira mau sampai kapan ya gue begini?” lirih Ratu.

Ting!

Pintu lift terbuka. Gadis itu berjalan menuju sebuah mobil berwarna silver yang telah menunggunya di luar, sejak beberapa menit yang lalu.

“Ke alamat sesuai aplikasi ya, Bu?”

“Iya.”

Ratu pun masuk kedalam mobil tersebut. Menyandarkan tubuhnya, dan memejamkan mata hingga mobil itu melaju meninggalkan area kantor.

Sangat hening, pasalnya sang supir tak berniat membicarakan apapun atau sekedar menyalakan musik.

“Habis lampu merah ini belok kanan ya, Bu?”

Mendengar pertanyaan itu, lantas Ratu membuka matanya dan langsung menatap kearah spion.

Nafasnya tercekat, “Aston Martin? Jeffreyan?” batin Ratu.

Netranya menatap sebuah mobil yang nampak sangat familiar melalui kaca spion. Meski wajah si pengemudi tak terlihat jelas, gadis itu yakin bahwa sosok dibalik kemudi mobil tersebut adalah Jeffreyan.

Ratu menarik sudut bibirnya seketika. Gadis itu tersenyum penuh arti.

“Bu?”

“Iya??”

“Habis lampu merah ini, belok kanan kan?” sang supir mengulangi pertanyaannya.

“Oh- iya Pak.”

Lampu lalulintas yang sebelumnya berwarna merah, kini berganti hijau. Bersamaan dengan mobil yang Ratu tumpangi, mobil yang gadis itu curigai milik Jeffreyan pun ikut melaju dibelakangnya.


Satu hal yang Ratu sadari, setiap hari efektif selama bulan November—Jeffreyan selalu mengikuti mobil yang ia tumpangi dari belakang, hanya untuk memastikan bahwa ia sampai di apartemen dengan selamat.

Pintu ruangan Ratu terbuka, menampilkan sosok Jeffreyan yang sudah siap untuk pulang malam itu.

“Udah mau pulang?” tanya Jeffrey sembari menatap Ratu yang tengah merapikan mejanya.

Gadis itu mengangguk, kemudian meraih tasnya.

“Naik apa?”

“Gocar. Orangnya udah nunggu dibawah, gue duluan ya!” ujar Ratu sebelum akhirnya meninggalkan Jeffreyan.

Ratu melamun didalam lift. Setelah kejadian kemarin, kepalanya terus saja dipenuhi oleh pikiran-pikiran mengenai, apa alasan Jeffreyan terus menggodanya. Bahkan laki-laki itu rela membuang uangnya demi kelancaran aksi konyolnya tempo hari.

Suara helaan nafas panjang Ratu terdengar jelas. Ratu memijat batang hidungnya, kemudian meringis. “Gue bahkan gak ngerasa sakit hati lagi, sangking seringnya lo giniin.”

“Lo gak jelas. Tapi buat ngejauhin lo ... gue gak bisa.”

“Kira-kira mau sampai kapan ya gue begini?” lirih Ratu.

Ting!

Pintu lift terbuka. Gadis itu berjalan menuju sebuah mobil berwarna silver yang telah menunggunya di luar, sejak beberapa menit yang lalu.

“Ke alamat sesuai aplikasi ya, Bu?”

“Iya.”

Ratu pun masuk kedalam mobil tersebut. Menyandarkan tubuhnya, dan memejamkan mata hingga mobil itu melaju meninggalkan area kantor.

Sangat hening, pasalnya sang supir tak berniat membicarakan apapun atau sekedar menyalakan musik.

“Habis lampu merah ini belok kanan ya, Bu?”

Mendengar pertanyaan itu, lantas Ratu membuka matanya dan langsung menatap kearah spion.

Nafasnya tercekat, “Aston Martin? Jeffreyan?” batin Ratu.

Netranya menatap sebuah mobil yang nampak sangat familiar melalui kaca spion. Meski wajah si pengemudi tak terlihat jelas, gadis itu yakin bahwa sosok dibalik kemudi mobil tersebut adalah Jeffreyan.

Ratu menarik sudut bibirnya seketika. Gadis itu tersenyum penuh arti.

“Bu?”

“Iya??”

“Habis lampu merah ini, belok kanan kan?” sang supir mengulangi pertanyaannya.

“Oh- iya Pak.”

Lampu lalulintas yang sebelumnya berwarna merah, kini berganti hijau. Bersamaan dengan mobil yang Ratu tumpangi, mobil yang gadis itu curigai milik Jeffreyan pun ikut melaju dibelakangnya.


Satu hal yang Ratu pahami, setiap hari efektif selama bulan November—Jeffreyan selalu mengikuti mobil yang ia tumpangi dari belakang, hanya untuk memastikan bahwa ia sampai di apartemen dengan selamat.

Pintu ruangan Ratu terbuka, menampilkan sosok Jeffreyan yang sudah siap untuk pulang malam itu.

“Udah mau pulang?” tanya Jeffrey sembari menatap Ratu yang tengah merapikan mejanya.

Gadis itu mengangguk, kemudian meraih tasnya.

“Naik apa?”

“Gocar. Orangnya udah nunggu dibawah, gue duluan ya!” ujar Ratu sebelum akhirnya meninggalkan Jeffreyan.

Ratu melamun didalam lift. Setelah kejadian kemarin, kepalanya terus saja dipenuhi oleh pikiran-pikiran mengenai, apa alasan Jeffreyan terus menggodanya. Bahkan laki-laki itu rela membuang uangnya demi kelancaran aksi konyolnya tempo hari.

Suara helaan nafas panjang Ratu terdengar jelas. Ratu memijat batang hidungnya, kemudian meringis. “Gue bahkan gak ngerasa sakit hati lagi, sangking seringnya lo giniin.”

“Lo gak jelas. Tapi buat ngejauhin lo ... gue gak bisa.”

“Kira-kira mau sampai kapan ya gue begini?” lirih Ratu.

Ting!

Pintu lift terbuka. Gadis itu berjalan menuju sebuah mobil berwarna silver yang telah menunggunya di luar, sejak beberapa menit yang lalu.

“Ke alamat sesuai aplikasi ya, Bu?”

“Iya.”

Ratu pun masuk kedalam mobil tersebut. Menyandarkan tubuhnya, dan memejamkan mata hingga mobil itu melaju meninggalkan area kantor.

Sangat hening, pasalnya sang supir tak berniat membicarakan apapun atau sekedar menyalakan musik.

“Habis lampu merah ini belok kanan ya, Bu?”

Mendengar pertanyaan itu, lantas Ratu membuka matanya dan langsung menatap kearah spion.

Nafasnya tercekat, “Aston Martin? Jeffreyan?” batin Ratu.

Netranya menatap sebuah mobil yang nampak sangat familiar melalui kaca spion. Meski wajah si pengemudi tak terlihat jelas, gadis itu yakin bahwa sosok dibalik kemudi mobil tersebut adalah Jeffreyan.

Ratu menarik sudut bibirnya seketika. Gadis itu tersenyum penuh arti.

“Bu?”

“Iya??”

“Habis lampu merah ini, belok kanan kan?” sang supir mengulangi pertanyaannya.

“Oh- iya Pak.”

Lampu lalulintas yang sebelumnya berwarna merah, kini berganti hijau. Bersamaan dengan mobil yang Ratu tumpangi, mobil yang gadis itu curigai milik Jeffreyan pun ikut melaju dibelakangnya.


Satu hal yang Ratu pahami, setiap hari efektif selama bulan November—Jeffreyan selalu mengikuti mobil yang ia tumpangi dari belakang, hanya untuk memastikan bahwa ia sampai di apartemen dengan selamat.

Pintu ruangan Ratu terbuka, menampilkan sosok Jeffreyan yang sudah siap untuk pulang malam itu.

“Udah mau pulang?” tanya Jeffrey sembari menatap Ratu yang tengah merapikan mejanya.

Gadis itu mengangguk, kemudian meraih tasnya.

“Naik apa?”

“Gocar. Orangnya udah nunggu dibawah, gue duluan ya!” ujar Ratu sebelum akhirnya meninggalkan Jeffreyan.

Ratu melamun didalam lift. Setelah kejadian kemarin, kepalanya terus saja dipenuhi oleh pikiran-pikiran mengenai, apa alasan Jeffreyan terus menggodanya. Bahkan laki-laki itu rela membuang uangnya demi kelancaran aksi konyolnya tempo hari.

Suara helaan nafas panjang Ratu terdengar jelas. Ratu memijat batang hidungnya, kemudian meringis. “Gue bahkan gak ngerasa sakit hati lagi, sangking seringnya lo giniin.”

“Lo gak jelas. Tapi buat ngejauhin lo ... gue gak bisa.”

“Kira-kira mau sampai kapan ya gue begini?” lirih Ratu.

Ting!

Pintu lift terbuka. Gadis itu berjalan menuju sebuah mobil berwarna silver yang telah menunggunya di luar, sejak beberapa menit yang lalu.

“Ke alamat sesuai aplikasi ya, Bu?”

“Iya.”

Ratu pun masuk kedalam mobil tersebut. Menyandarkan tubuhnya, dan memejamkan mata hingga mobil itu melaju meninggalkan area kantor.

Sangat hening, pasalnya sang supir tak berniat membicarakan apapun atau sekedar menyalakan musik.

“Habis lampu merah ini belok kanan ya, Bu?”

Mendengar pertanyaan itu, lantas Ratu membuka matanya dan langsung menatap kearah spion.

Nafasnya tercekat, “Aston Martin? Jeffreyan?” batin Ratu.

Netranya menatap sebuah mobil yang nampak sangat familiar melalui kaca spion. Meski wajah si pengemudi tak terlihat jelas, gadis itu yakin bahwa sosok dibalik kemudi mobil tersebut adalah Jeffreyan.

Ratu menarik sudut bibirnya seketika. Gadis itu tersenyum penuh arti.

“Bu?”

“Iya??”

“Habis lampu merah ini, belok kanan kan?” sang supir mengulangi pertanyaannya.

“Oh- iya Pak.”

Lampu lalulintas yang sebelumnya berwarna merah, kini berganti hijau. Bersamaan dengan mobil yang Ratu tumpangi, mobil yang gadis itu curigai milik Jeffreyan pun ikut melaju dibelakangnya.


Satu hal yang Ratu pahami, setiap hari efektif selama bulan November—Jeffreyan selalu mengikuti mobil yang ia tumpangi dari belakang, hanya untuk memastikan bahwa ia sampai di apartemen dengan selamat.

Pukul setengah sembilan malam. Ratu duduk di sebuah sofa sembari memainkan ponsel, dalam minimnya pencahayaan unit apartemennya kala itu. Bukan karena adanya pemadaman listrik mendadak, melainkan karena ia terlalu malas berdiri untuk sekedar menekan saklar lampu.

Tadi, setelah mengantar Ratu, Jeffreyan pergi begitu saja tanpa sepatah katapun. Laki-laki itu bahkan tidak turun dari mobil, untuk mengantar Ratu hingga ke depan pintu unit apartemennya seperti biasa.

Ratu menghela nafasnya, kesal.

“Seenggaknya lo chat gue atau apa kek?”

“Masa lupa?”

Gadis itu meraih sebuah bingkai foto mini yang sengaja ia pajang diatas sebuah nakas yang terletak disisi sofa.

“Happy birthday Ratu, happy birthday Ratu, happy birthday, happy birthday, happy birthday Ratuu!”

“Nyanyi blo'on!”

“Disuruh ngucapin langsung, malah gak ngucapin sama sekali!” hardik Ratu pada sebuah foto yang ada digenggamannya.

Ratu mengacak rambutnya dengan kasar. Tiba-tiba saja terdengar suara password yang dimasukkan dari balik pintu unit apartemennya.

“Gelap banget, udah kaya rumah hantu!” seru seseorang, membuat Ratu beranjak dari tempat duduknya seketika.

“JEFFREY?!”

“Bawain dong, kue ulang tahun lo nih!”

“Demi apa?”

“Demikian,” jawab Jeffrey seadanya, kemudian berniat menyalakan lampu.

“Jangan dinyalain ... .” pinta Ratu, yang langsung dibalas tatapan bingung Jeffreyan.

“Kenapa?”

“Ada lilinnya kan? Gue mau tiup lilin sambil gelap-gelapan.”

Jeffrey menyerah. Lantas ia mengambil posisi duduk paling nyaman diatas sofa. Tangan Jeffreyan menata beberapa lilin diatas kue tersebut dengan perlahan—khawatir kalau-kalau gerakan tangannya dapat merusak keindahan kue itu.

“TUNGGU!”

“Apaan sih?!”

“INIII ... korek siapa? Lo ngerokok??” tuduh Ratu, sembari ngangkat benda itu tinggi-tinggi.

Tiba-tiba saja wajah Jeffreyan mendekat, menepis jarak diantara mereka. Ditatapnya wajah Ratu dalam kegelapan, “HAHHH!”

Ratu geming.

“Bau rokok gak?” tanya Jeffrey setelah kembali mendudukkan bokongnya.

Gadis itu menggeleng, membuat Jeffreyan terkekeh seketika.

“Emangnya di dunia ini, cuman perokok yang boleh punya korek? Iya??– Sini koreknya. Mau tiup lilin gak?”

“Ini punya lo? Kok gue gak pernah tau kalau lo suka nyimpen korek?”

Jeffrey mengusap wajahnya frustasi. Laki-laki itu nampak seperti tengah menarik nafasnya dalam-dalam.

“Beli. Ini baru beli! ASTAGA RATU ARGHHH!”

Detik selanjutnya suara gelak tawa Ratu terdengar puas, pasalnya ia berhasil membuat laki-laki dihadapannya itu naik pitam.

“Udah puas? Sekarang siniin koreknya!”

Setelah perdebatan panjang yang terjadi, akhirnya Jeffreyan dapat menyalakan lilin ulang tahun untuk Ratu.

Kini wajah keduanya nampak lebih jelas, karena tersorot cahaya lilin. Netra mereka saling bertemu satu sama lain. Hening, tak ada sepatah katapun yang terucap.

“Ekhm ... happy birthday Ra. Semoga panjang umur,” ucap Jeffrey singkat.

“Udah gitu doang?”

“Sisanya udah didalem hati. Sekarang giliran lo make a wish, terus tiup lilinnya.” Ratu menampilkan senyum masam seketika.

“Buruan kali ... keburu kebakaran nih kuenya.”

Lantas Ratu menutup mata rapat-rapat, kemudian membuat harapan sebelum akhirnya meniup lilin dihadapannya.

Jeffreyan tersenyum. Tangannya terulur, mengusap pucuk kepala Ratu dengan lembut. “Kadonya nyusul ya? Belum sempet beli,” bisik Jeffrey, dan dihadiahi anggukan kecil oleh gadis itu.

“Jeff ... .”

“Apa?”

“Lo langsung pulang abis ini?” Jeffrey menggeleng.

“Nginep sini, capek nyetir.”