cakgrays

Ratu tengah fokus pada objek dihadapannya. Dengan lembut dan hati-hati, gadis itu mencukur rambut yang mulai tumbuh di sekitar wajah tampan milik Jeffreyan.

“Jangan nyengir-nyengir bisa gak? Nanti bibir lo kena, terus berdarah gimana?!” seru Ratu sembari memukul pundak Jeffrey.

Lantas Jeffreyan menahan senyumnya. Tangan laki-laki itu melingkar pada pinggang Ratu. Membuat jantung Ratu berdegup lebih cepat daripada sebelumnya.

“Selesaiiii!” sorak Ratu semangat, kemudian mengelap pisau tersebut, deang selembar tisu.

“Asik juga kaya gini. Besok-besok gue lupa nyukur jenggot lagi deh.” Jeffreyan menyandarkan kepalanya pada pundak Ratu. Kaki gadis itu masih setia berada di setiap sisi pinggang Jeffreyan, sementara ia duduk diatas sebuah meja—tempat wastafel berada.

Jeffrey semakin memeluk Ratu dengan posesif didalam kamar mandi. Wajahnya menatap lurus cermin yang terletak dibelakang gadis itu. Jeffrey tersenyum, kemudian memejamkan matanya.

“Kenapa ya, gue bisa tetep nyaman ada di deket lo setelah bertahun-tahun?”

“Gak tau- Jeffrey! Jangan ndusel! Lepas!” pekik Ratu kesal.

Jeffrey terkekeh, “Rambut lo wanginya kaya biskuit masa, Ra.”

“Kangen banget bangsat, udah jarang skinship gini. Gara-gara kantor lagi hectic.” Jeffrey kembali memeluk tubuh Ratu. Kali ini tangan Jeffrey mengusap lembut punggung gadis itu. Membuat sang empunya semakin hanyut dalam perasaan nyaman.

“Vibes gue kaya selingkuhan di film-film gini.”

“Patokan lo kenapa film terus sih?” tanya Jeffrey, kemudian melepas pelukannya.

Tangan Jeffrey terulur, menyentuh rahang Ratu sembari menatapnya dengan tatapan penuh makna. “Kalau menurut gue, vibes lo sekarang kaya istri sah.”

“Pipi lo lucu,” ujar Ratu.

“Bolong ya?”

“Iyaa hahaha.”

Jeffrey merapikan anak rambut Ratu, kemudian tangannya beralih pada sebuah kalung yang telah lama bertengger di leher gadis itu. “Tahun ini mau kado apa, Ra?” tanya Jeffrey. Netranya tak beralih sedikitpun dari wajah Ratu.

“Kita dinner aja yuk? Tahun ini lo harus ucapin langsung.”

“Maunya gitu?”

Ratu mengangguk semangat.

“Eum ... kalau itu, liat nanti deh.” Setelah mengakhiri kalimatnya, Jeffreyan kini beralih meraih sebotol cairan pembersih wajah.

“Tunggu sini, temenin gue cuci muka.”

Ratu tengah fokus pada sebuah objek dihadapannya. Dengan lembut dan hati-hati, gadis itu mencukur rambut yang mulai tumbuh di sekitar wajah tampan milik Jeffreyan.

“Jangan nyengir-nyengir bisa gak? Nanti bibir lo kena, terus berdarah gimana?!” seru Ratu sembari memukul pundak Jeffrey.

Lantas Jeffreyan menahan senyumnya. Tangan laki-laki itu melingkar pada pinggang Ratu. Membuat jantung Ratu berdegup lebih cepat daripada sebelumnya.

“Jeff, jangan bertingkah!” kata Ratu, kemudian mengelap pisau tersebut.

“Asik juga kaya gini. Besok-besok gue lupa nyukur jenggot lagi deh.” Jeffreyan menyandarkan kepalanya pada pundak Ratu. Masih dalam posisi semula, kaki gadis itu melingkar pada pinggang Jeffreyan, sementara ia duduk diatas sebuah meja—tempat wastafel berada.

Jeffrey semakin memeluk Ratu dengan posesif didalam kamar mandi. Wajahnya menatap lurus cermin yang terletak dibelakang gadis itu. Jeffrey tersenyum, kemudian memejamkan matanya.

“Kenapa ya, gue bisa tetep nyaman ada di deket lo setelah bertahun-tahun?”

“Gak tau- Jeffrey! Jangan ngomong di leher gue! Lepas!” pekik Ratu kesal.

Jeffrey terkekeh, “Rambut lo wanginya kaya biskuit masa, Ra.”

“Kangen banget bangsat, udah jarang skinship gini. Gara-gara kantor lagi hectic.” Jeffrey kembali memeluk tubuh Ratu. Kali ini tangan Jeffrey mengusap lembut punggung gadis itu. Membuat sang empunya semakin hanyut dalam perasaan nyaman.

“Vibes gue kaya selingkuhan di film-film gini.”

“Patokan lo kenapa film terus sih?” tanya Jeffrey, kemudian melepas pelukannya.

Tangan Jeffrey terulur, menyentuh rahang Ratu sembari menatapnya dengan tatapan penuh makna. “Kalau menurut gue, vibes lo sekarang kaya istri sah.”

“Pipi lo lucu.”

“Bolong ya?”

“Iyaa hahaha.”

Jeffrey merapikan anak rambut Ratu, kemudian tangannya beralih pada sebuah kalung yang telah lama bertengger di leher gadis itu. “Tahun ini mau kado apa, Ra?” tanya Jeffrey. Netranya tak beralih sedikitpun dari wajah Ratu.

“Kita dinner aja yuk? Tahun ini lo harus ucapin langsung.”

“Maunya gitu?”

Ratu mengangguk semangat.

“Eum ... kalau itu, liat nanti deh.” Setelah mengakhiri kalimatnya, Jeffreyan kini beralih meraih sebotol cairan pembersih wajah.

“Tunggu sini, temenin gue cuci muka.”

Suara deritan pintu mengalihkan fokus Jeffreyan. Ia tersenyum ketika melihat Ratu muncul dari balik pintu ruangannya.

“Lepas kacamata, gulung kemeja, abis itu cuci tangannya Jeffreyan!” kata Ratu.

Jeffrey pun menuruti perintah Ratu. Laki-laki itu melepaskan kacamata, dan menggulung lengan kemejanya.

“Yes mommy,” sahut Jeffrey dengan nada meledek.

Ia melangkah menuju sebuah wastafel yang berada didalam ruangan itu. Membasuh tangannya dengan malas.

“Jempolnya Jeffreyan! Jempolnya belum basah!”

Jeffrey berdecak sebal, namun tersenyum seketika.

“Udah kaya Mama,” ucap Jeffrey dengan lirih.

Ratu membuka bungkusan makanan milik Jeffreyan, dan meletakkannya diatas sebuah piring yang sengaja ia bawa sebelumnya.

Seperti biasa, laki-laki itu lebih memilih makan menggunakan tangan dibandingkan sebuah sendok. Jeffreyan duduk bersila, kemudian berdoa, dan langsung menyantap makanannya.

“Mana yang lebih enak, ayam bakar atau dendeng balado?” tanya Ratu. penasaran.

Alih-alih menjawab, Jeffreyan justru menyodorkan tangannya ke depan mulut Ratu.

Sementara Ratu hanya menatap Jeffrey dengan canggung. Hening, Jeffrey masih setia mengangkat tangannya. Menunggu Ratu untuk membuka mulutnya.

“Pegel, Ra.”

Dengan ragu gadis itu pun membuka mulutnya, dan menerima suapan dari Jeffreyan.

“Pinter! Enak mana?”

“Enakan ayam bakar!” seru Ratu.

“Ah payah! Cobain lagi, tadi dendengnya kurang banyak.”

Jeffreyan kembali menyodorkan tangannya. Kali ini Ratu membuka mulutnya tanpa rasa ragu. Membuat Jeffrey senang bukan main didalam hatinya.

“Tetep enakan ayam bakar,” protes Ratu, dan dibalas kekehan oleh Jeffreyan.

“Ra?”

“Apa?”

“Lo kan punya unit apartemen nih, nanti kalau lo nikah ... gimana?” tanya Jeffreyan, kemudian melahap makanannya.

Salah satu sudut alis Ratu terangkat, “Random banget pertanyaan?”

Jeffrey menggidikkan bahunya, “Jawab aja!”

“Emm ... sebenernya gue bakal lebih seneng kalau tinggal disitu, karna udah nyaman. Tapi ya tergantung-”

“Tergantung apa?”

“Semisal Nana maunya kita tinggal di Korea, yaudah. Gue bakal ikutin keputusan dia.”

Helaan nafas panjang Jeffreyan terdengar jelas. “Kenapa nikah sama Nana yang cuman bisa porotin lo, sementara ada gue yang bisa lo porotin?”

“Ide bagus. Lo mau nikahin gue?”

Jeffrey geming.

“Jangan sering-sering bercanda kaya barusan, Jeff,” tukas Ratu.

Sudah hampir 2 jam laki-laki itu duduk diatas ranjang Ratu.

Tadi, pagi-pagi sekali Jeffreyan memasuki unit apartemen Ratu. Berniat mengajak gadis itu pergi mencari beberapa pakaian untuk dikenakan pada acara pernikahan kakaknya. Namun sialnya, Ratu masih tertidur pulas hingga saat ini.

Sorot mata Jeffrey tak sekalipun lepas dari Ratu. Ia terus saja tersenyum kala gadis itu merasa gelisah dalam tidurnya.

“Mama pernah bilang, katanya cara bedain cewek itu cantik atau enggak, diliat dari tidurnya. Kalau dia tidur dan tetep keliatan cantik, udah pasti pas bangun pun cantik banget-”

“Gue kira selama ini lo suka pura-pura tidur. Tapi setelah liat lo hari ini ... gue sadar kalau lo itu spec dewi, Ra.”

Tangan Jeffrey terulur. Jemarinya menyingkirkan beberapa anak rambut pada wajah Ratu.

“Tahan Jeffrey. Inget kata Papa, gak boleh sentuh-sentuh cewek yang lagi gak sadar ... apalagi dicium,” ucap Jeffrey pada dirinya sendiri dengan lirih.

Lantas laki-laki itu menggeleng. Mencoba mengumpulkan kembali akal sehatnya yang sempat hilang.

“RATU AZALEA, WAKTUMU SUDAH HABIS!”

Teriakan Jeffrey dengan suara bariton yang dibuat-buat itu, menggema didalam kamar Ratu. Membuat si empunya membuka mata seketika.

“JEFFREY BRENGSEK GUE KIRA LAGI DI AKHIRAT! BABI! KAGET JEFF! Males banget ah, biadab lo!” seru Ratu begitu melihat Jeffreyan yang tengah terduduk di samping tubuhnya.

“Bangun makanya.”

“Tau ah, ngeselin tau gak?! Gue kaget beneran!”

Detik kemudian gadis itu memunggunginya, dan menahan sebuah isak tangis.

“Eh kok nangis sih?” tanya Jeffrey.

Jeffrey beringsut ke tengah ranjang, dan membalikan tubuh Ratu yang tengah menangis. Sorot mata laki-laki itu, kini berubah. Jeffreyan panik.

Dengan sigap, ia membantu Ratu untuk duduk.

“Maaf, maaf, maafin ya? Janji gak gue ulangin lagi Ra. Kaget banget?” ucap Jeffrey. Kedua tangannya menggenggam pundak Ratu.

Ratu geming.

Gelisah karena tak kunjungan mendapat jawaban dari bibir Ratu. Sontak Jeffrey membawa Ratu dalam pelukannya. Khawatir kalau-kalau gadis itu akan marah berkepanjangan kepada dirinya.

“Maafin ya? Ssttt sstt, janji gak ngagetin lagi kok. Tadi gue nungguin lo tidur, hampir 2 jam tau.”

“Mau ngapain?” jawab Ratu yang masih berada dalam pelukan Jeffrey.

“Cari baju, buat ke nikahan Mba Kila.”

Ratu mengusap air matanya seketika, kemudian melepaskan pelukan dari laki-laki di hadapannya itu.

“Mau nikah beneran?!”

“Masa boongan?”

“Bukan. Maksud gue, tiba-tiba banget? Baru semalem lo kasih tau ke gue.”

Jeffrey menggaruk pelipisnya yang tidak gatal.

“Karna lagi pandemi, jadi tanpa resepsi Ra,” tutur Jeffrey.

“Kasian, padahal Kak Kila satu-satunya anak perempuan di keluarga lo. Apalagi dia anak pertama.”

“Resepsi bisa nyusul kapan aja.”

“Iya sih ... .”

“Udah sana mandi.”

“Yaudah, keluar lo dari kamar gue!”

“Gak perlu lo suruh!”

Setelah lama perjalanan menuju perusahaan milik keluarga Aditama yaitu Tamacakra, akhirnya mereka berdua pun tiba.

Jantung Ratu berdegup kencang. Ia menarik nafas dalam-dalam. Gadis itu gelisah. Ini adalah hari pertamanya bekerja, selain menjadi seorang model.

“Jeff, rok gue kependekan gak sih?” tanya Ratu.

Jeffrey menggeleng sembari memberikan kartu pengenal yang sengaja ia siapkan jauh-jauh hari.

“Gue kayanya gak cocok deh pake rok kerja kaya gini. Kurus banget!”

“Enggak. Lo cantik.”

“Emang siapa yang bilang gue jelek? Gue kan cuman bilang kalo gue kurus!” seru Ratu kesekian kalinya.

Jeffrey yang merasa jengah, lantas membuka seat belt nya. “Mau turun gak?”

“Mau.”


Jeffrey dan Ratu berjalan beriringan begitu pintu lift terbuka. Membuat beberapa karyawan menatap iri keduanya.

“Kenapa gue diliatin ya?” bisik Ratu.

“Mereka ngeliatin gue.”

Tiba-tiba saja, Jeffreyan menghentikan langkahnya. Tepat dihadapan jajaran ketua divisi, yang menyambut kehadirannya dengan senyuman hangat.

“Selamat pagi semua!” sapa Jeffreyan dengan semangat.

“Selamat pagi Pak!”

“Perkenalkan, Ratu Azalea. Kedepannya beliau akan menjadi Direktur PMO, untuk project kita tahun ini.”

Ratu membelalakkan matanya seketika, dibelakang tubuh Jeffreyan. Sementara itu, para ketua divisi yang berada disana sibuk bersorak dan bertepuk tangan—sebagai tanda penyambutan atas bergabungnya Ratu.


“Lo udah gila gak sih Jeff?”

“Emangnya Papa nyuruh gitu?”

“Jeff! Jalannya pelan-pelan!”

Laki-laki itu tak menghiraukan sama sekali celotehan yang keluar dari mulut Ratu sejak beberapa menit lalu.

Namun detik kemudian Jeffrey memutar tubuhnya. “Sstthh! Jangan berisik ...” titah laki-laki itu.

“Kenapa?”

“Didalem ada CEO-nya,” ucap Jeffrey dengan lirikan mata mengarah pada sebuah pintu ruangan yang berada tepat di sisi kanannya.

“Papa?”

“Bukan.”

“Loh, kok bukan?”

Ceklek!

Pintu terbuka setelah Jeffrey sedikit mendorongnya. Laki-laki itu berjalan menuju sebuah kursi putar dibalik meja.

“Kosong ruangannya Jeff,” kata Ratu.

Baru saja gadis itu memutar tubuhnya setelah menutup pintu, ia dibuat terheran dengan senyuman laki-laki itu.

Air wajah Ratu berubah seketika kala menyadari bahwa nama yang tertera pada sebuah papan nama diatas meja dihadapannya adalah 'Jeffreyan Aditama'

“Jeff ... .”

“Selamat bergabung di perusahaan saya. Semoga kamu betah ya? Ini berkas-berkas yang perlu kamu pelajari,” ujar Jeffrey, sembari menyodorkan sebuah tumpukan berkas ditangannya.

“Wahh ... gila sih? Brengsek lo!”

Mobil Jeffreyan melaju, membelah padatnya punggung jalan kota Jakarta pagi itu.

“Yakin gak mau lo pegang aja?”

“Apanya?”

Ratu mengangkat tangan kanannya, menampilkan sebuah dompet yang tengah ia genggam.

“Gak mau Ra. Tolong selalu sediain cash aja,” ucap Jeffrey yang tengah fokus mengemudi.

“Mana yang isinya paling banyak?”

“BRI itu isinya uang jajan dari Mama, sama tabungan kecil. Gue biasa nabung dari SMP, lo tau kan?”

“Iya.”

Mobil Jeffrey berhenti. Sama seperti pengguna jalan lainnya, ia pun tengah menunggu lampu merah berganti.

“Kalo yang BCA?” sambung Ratu.

“Gold itu tabungan masa depan.”

“Bedanya sama tabungan kecil BRI, apa?”

“Waktu pemakaiannya. Tabungan masa depan, tujuannya buat biaya nikah, sama ngebesarin Jeffrey junior.”

Jeffrey terkekeh sembari melajukan kembali mobilnya.

“Ngeri-ngeri sedap ya Bapak? Mantap!”

“Papa sering bilang, kalo semua itu harus direncanakan secara matang sejak dini.” Lantas keduanya kini tertawa.

“Terus kalo BCA platinum?” tanya Ratu semangat. Ini adalah bagian yang ditunggu-tunggu. Pasalnya Jeffrey selalu meminta ia melakukan penarikan uang menggunakan kartu tersebut.

“Yang item?”

“Platinum Jeff!”

“Itu punya lo,” jawab Jeffrey santai.  Laki-laki itu tersenyum hingga lubang pada pipinya nampak semakin jelas.

“Gue nanya serius tau ... .”

“Isinya gaji gue. Buat lo. Itu punya lo, Ra. Bener-bener cuman gue pake kalo lagi sama lo.”

“Yaudah-”

Kalimat Ratu menggantung di udara. Gadis itu memindahkan beberapa kartu dari dalam dompet Jeffreyan kedalam dompetnya.

“Kalo gitu, ini dompet lo. SIM, STNK, sama BCA platinum ada di dalemnya.”

“Tapikan Ra ... .” timpal Jeffrey.

“Sebenernya tanpa jaminan pun, gue gak bakal kemana-mana kali Jeff. Gue gak masalah sih kalo lo titipin ginian. Tapi menurut gue, jangan sampai lo gak pegang uang sama sekali kaya hari ini. Tau gak kenapa?”

“Kenapa?”

“Ada 5 tanda laki-laki berwibawa menurut gue. Satu, gaya pakaian. Dua, cara ngomong. Tiga, cara berpikir. Empat, cara bersikap. Nahhh ... yang terakhir nih, ada uangnya.”

“HAHAHAHA GILA!”

“Kok ketawaaa?! Bener kan? Gak salah dong gue? Semakin banyak uangnya, semakin berwibawa dia,” tutur Ratu.

Laki-laki yang tengah mengemudi disebelahnya itu menganggukan kepala. Seolah setuju dengan pernyataan yang baru saja Ratu lontarkan.

“Bener. Gue kalo liat Papa langsung, bawaannya takut.”

“Karena itu bokap lo anjir!”

“Bukan. Karena uang dia lebih banyak!”

“HAHAHAHA GAK SANGGUP!”

Mobil Jeffreyan melaju membelah padatnya punggung jalan kota Jakarta pagi itu.

“Yakin gak mau lo pegang aja?”

“Apanya?”

Ratu mengangkat tangan kanannya, menampilkan sebuah dompet yang tengah ia genggam.

“Gak mau Ra. Tolong selalu sediain cash aja,” ucap Jeffrey yang tengah fokus mengemudi.

“Mana yang isinya paling banyak?”

“BRI itu isinya uang jajan dari Mama, sama tabungan kecil. Gue biasa nabung dari SMP, lo tau kan?”

“Iya.”

Mobil Jeffrey berhenti. Sama seperti pengguna jalan lainnya, ia pun tengah menunggu lampu merah berganti.

“Kalo yang BCA?” sambung Ratu.

“Gold itu tabungan masa depan.”

“Bedanya sama tabungan kecil BRI, apa?”

“Waktu pemakaiannya. Tabungan masa depan, tujuannya buat biaya nikah, sama ngebesarin Jeffrey junior.”

Jeffrey terkekeh sembari melajukan kembali mobilnya.

“Ngeri-ngeri sedap ya Bapak? Mantap!”

“Papa sering bilang, kalo semua itu harus direncanakan secara matang sejak dini.” Lantas keduanya kini tertawa.

“Terus kalo BCA platinum?” tanya Ratu semangat. Ini adalah bagian yang ditunggu-tunggu. Pasalnya Jeffrey selalu meminta ia melakukan penarikan uang menggunakan kartu tersebut.

“Yang item?”

“Platinum Jeff!”

“Itu punya lo,” jawab Jeffrey santai.  Laki-laki itu tersenyum hingga lubang pada pipinya nampak semakin jelas.

“Gue nanya serius tau ... .”

“Isinya gaji gue. Buat lo. Itu punya lo, Ra. Bener-bener cuman gue pake kalo lagi sama lo.”

“Yaudah-”

Kalimat Ratu menggantung di udara. Gadis itu memindahkan beberapa kartu dari dalam dompet Jeffreyan kedalam dompetnya.

“Kalo gitu, ini dompet lo. SIM, STNK, sama BCA platinum ada di dalemnya.”

“Tapikan Ra ... .” timpal Jeffrey.

“Sebenernya tanpa jaminan pun, gue gak bakal kemana-mana kali Jeff. Gue gak masalah sih kalo lo titipin ginian. Tapi menurut gue, jangan sampai lo gak pegang uang sama sekali kaya hari ini. Tau gak kenapa?”

“Kenapa?”

“Ada 5 tanda laki-laki berwibawa menurut gue. Satu, gaya pakaian. Dua, cara ngomong. Tiga, cara berpikir. Empat, cara bersikap. Nahhh ... yang terakhir nih, ada uangnya.”

“HAHAHAHA GILA!”

“Kok ketawaaa?! Bener kan? Gak salah dong gue? Semakin banyak uangnya, semakin berwibawa dia,” tutur Ratu.

Laki-laki yang tengah mengemudi disebelahnya itu menganggukan kepala. Seolah setuju dengan pernyataan yang baru saja Ratu lontarkan.

“Bener. Gue kalo liat Papa langsung, bawaannya takut.”

“Karena itu bokap lo anjir!”

“Bukan. Karena uang dia lebih banyak!”

“HAHAHAHA GAK SANGGUP!”

“Yakin gak mau lo pegang aja?”

“Apanya?”

Ratu mengangkat tangan kanannya, menampilkan sebuah dompet yang tengah ia genggam.

“Gak mau Ra. Tolong selalu sediain cash aja,” ucap Jeffrey yang tengah fokus mengemudi.

“Mana yang isinya paling banyak?”

“BRI itu isinya uang jajan dari Mama, sama tabungan kecil. Gue biasa nabung dari SMP, lo tau kan?”

“Iya.”

Mobil Jeffrey berhenti. Sama seperti pengguna jalan lainnya, ia pun tengah menunggu lampu merah berganti.

“Kalo yang BCA?” sambung Ratu.

“Gold itu tabungan masa depan.”

“Bedanya sama tabungan kecil BRI, apa?”

“Waktu pemakaiannya. Tabungan masa depan, tujuannya buat biaya nikah, sama ngebesarin Jeffrey junior.”

Jeffrey terkekeh sembari melajukan kembali mobilnya.

“Ngeri-ngeri sedap ya Bapak? Mantap!”

“Papa sering bilang, kalo semua itu harus direncanakan secara matang sejak dini.” Lantas keduanya kini tertawa.

“Terus kalo BCA platinum?” tanya Ratu semangat. Ini adalah bagian yang ditunggu-tunggu. Pasalnya Jeffrey selalu meminta ia melakukan penarikan uang menggunakan kartu tersebut.

“Yang item?”

“Platinum Jeff!”

“Itu punya lo,” jawab Jeffrey santai.  Laki-laki itu tersenyum hingga lubang pada pipinya nampak semakin jelas.

“Gue nanya serius tau ... .”

“Isinya gaji gue. Buat lo. Itu punya lo, Ra. Bener-bener cuman gue pake kalo lagi sama lo.”

“Yaudah-”

Kalimat Ratu menggantung di udara. Gadis itu memindahkan beberapa kartu dari dalam dompet Jeffreyan kedalam dompetnya.

“Kalo gitu, ini dompet lo. SIM, STNK, sama BCA platinum ada di dalemnya.”

“Tapikan Ra ... .” timpal Jeffrey.

“Sebenernya tanpa jaminan pun, gue gak bakal kemana-mana kali Jeff. Gue gak masalah sih kalo lo titipin ginian. Tapi menurut gue, jangan sampai lo gak pegang uang sama sekali kaya hari ini. Tau gak kenapa?”

“Kenapa?”

“Ada 5 tanda laki-laki berwibawa menurut gue. Satu, gaya pakaian. Dua, cara ngomong. Tiga, cara berpikir. Empat, cara bersikap. Nahhh ... yang terakhir nih, ada uangnya.”

“HAHAHAHA GILA!”

“Kok ketawaaa?! Bener kan? Gak salah dong gue? Semakin banyak uangnya, semakin berwibawa dia,” tutur Ratu.

Laki-laki yang tengah mengemudi disebelahnya itu menganggukan kepala. Seolah setuju dengan pernyataan yang baru saja Ratu lontarkan.

“Bener. Gue kalo liat Papa langsung, bawaannya takut.”

“Karena itu bokap lo anjir!”

“Bukan. Karena uang dia lebih banyak!”

“HAHAHAHA GAK SANGGUP!”

Ratu meletakkan ponselnya, sesaat setelah melihat galeri dalam benda pipih tersebut. Ia tersenyum getir, mengingat hanya sedikit potret Bundanya yang tersimpan disana.

Gadis itu memijat pelipisnya. Sedikit pusing, karena menangis semalaman.

Suasana rumahnya menjadi lebih sepi dari biasanya. Ia menuruni ranjang, dan berjalan menuju sebuah kamar mandi yang berada di luar kamar tidurnya.

“Bunda?” ucap Ratu dengan nada lirih.

Mata Ratu menatap kosong ke dalam kamar mandi tersebut. Konyol batinnya, sebuah lantai yang dingin, lembab, serta berair itu mampu merenggut nyawa Bunda dalam semalam—satu-satunya keluarga yang tersisa dalam hidupnya, setelah kematian Ayah 12 tahun silam.

Kala Ayahnya meninggal karena kecelakaan maut yang disebabkan oleh supir bus, Ratu selalu menangis dalam pelukan Bunda, setiap malam. Lalu bagaimana dengan hari ini? Bagaimana dengan esok, lusa, dan seterusnya?

Rasanya baru kemarin ia mengajak Bunda untuk makan malam bersama seseorang yang sejak 2 tahun kebelakang, namanya terus ia simpan di hati.

Belum sempat Ratu mengatakan alasan dibalik rencana makan malam itu. Belum sempat Ratu berterima kasih atas jerih payah Bunda karna telah menyaksikannya beranjak dewasa.

Jantung gadis itu berdegup kian kencang. Perlahan Ratu melangkahkan kakinya ke dalam kamar mandi. Ia bersimpuh seperti saat terakhir kali melihat tubuh Bundanya.

Tubuh Ratu bergetar hebat. Isak tangis hingga raungan pun lolos dari mulutnya. Sesak.

Muncul sebuah ide gila di kepalanya. Gadis yang penampilannya kini telah berantakan itu tertawa dengan lantang.

Bunda satu-satunya keluarga yang aku punya, tapi kenapa Tuhan ambil?

Gak pernah ada sedikitpun bayangan di kepala aku, kalau Bunda bakal pergi duluan, nyusul kaya Ayah. Waktu Ayah pergi, aku kuat karna ada Bunda. Sekarang gimana? Harus apa?

Bun, Lea tetep ada di dunia ini, itu karna Bunda. Tapi kalau sekarang Bunda ninggalin aku juga ... mending aku ikut mati aja.

Detik kemudian, darah segar mengalir dari pelipisnya, sesaat setelah gadis itu membenturkan kepalanya pada lantai kamar mandi dengan keras. Mengabaikan seseorang yang tengah memanggil-manggil namanya.

“RATU!” Nafas Jeffrey tercekat tatkala ia menemukan Ratu yang tengah bersimpuh di dalam kamar mandi.

Beberapa menit yang lalu, ketika mobilnya memasuki pekarangan rumah gadis itu, Jeffrey mampu mendengar tangisan Ratu dengan jelas. Ia berlari memasuki rumah, dan mendapati gadis itu tengah bersimpuh di dalam kamar mandi.

“LO GILA YA!? BANGUN!” seru Jeffrey sembari menarik kasar tubuh Ratu. Sementara sang empu hanya tersenyum menatap laki-laki itu.

“Bagus, sekarang aku malah ngehaluin Jeffrey Bun.” Lirihnya.

Jeffrey membawa tubuh Ratu keluar dari kamar mandi, dan menjatuhkannya ke atas ranjang dengan kesal. Wajahnya memerah. “TOLOL! LO TAU TOLOL GAK RA?! Dimana sih akal lo Ra?!” hardik Jeffrey.

Kemudian ia memeluk tubuh Ratu dengan posesif. Jeffrey marah atas apa yang telah gadis itu lakukan, namun perasaan takut akan kehilangan jauh lebih besar dibandingkan amarahnya.

Ratu meringis, ia tertawa lirih. “Ini beneran Jeffrey ya?”

Jeffrey geming.

“Jeff ... gue cuman ... cuman gak mau sendirian ... .” ucap Ratu dengan lirih.

“Gue ada disini Ra. Gue janji bakal selalu ada buat lo, tanpa lo minta.”

Ratu tersenyum dalam pelukan laki-laki itu, meski air matanya terus bercucuran. “Nanti lo pasti ninggalin gue, kok.”

Mendengar perkataan itu, Jeffrey melepas pelukannya. Ia mengepal tangan Ratu kuat-kuat, dan mengunci pandangan gadis itu.

“Dengerin Ra! Gue gak akan kemana-mana. Gue cuman buat lo. Gak perduli suatu saat nanti bakal ada orang yang nyuruh gue ninggalin lo, gue akan tetep ada di tempat gue Ra. Disebelah lo. Sekalipun orang itu keluarga gue sendiri.”

“Jadi tolong ... jangan ngelakuin hal-hal tolol kaya gini lagi Ra. Gue mohon. Karna ... gue takut kehilangan lo.”

Ratu memeluk tubuh Jeffrey seketika. Menyembunyikan wajahnya dalam ceruk leher laki-laki itu.

“Makasih, Jeff.”

“Bersihin lukanya yuk? Apa mau ke rumah sakit aja?” tanya Jeffrey sembari membalas pelukan Ratu. Ia mengeratkan pelukan, kemudian menggoyangkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri—menyalurkan perasaan nyaman untuk gadis dalam dekapannya itu. Dan, sesekali Jeffreyan mengecup lembut pucuk kepala Ratu.

“Gak usah, lo obatin aja ... .”

Ratu meletakkan ponselnya, sesaat setelah melihat galeri pada benda pipih tersebut. Ia tersenyum getir, mengingat hanya sedikit potret Bundanya yang tersimpan disana.

Gadis itu memijat pelipisnya. Pusing, akibat menangis semalaman, juga pada pagi harinya.

Suasana rumahnya menjadi jauh lebih sepi dari biasanya. Ia menuruni ranjang, dan berjalan menuju sebuah kamar mandi yang berada diluar kamar tidurnya.

“Bunda?” ucap Ratu dengan nada lirih.

Mata Ratu menatap kosong ke dalam kamar mandi tersebut. Konyol batinnya, sebuah lantai yang dingin, lembab, serta berair itu mampu merenggut nyawa Bunda—satu-satunya keluarga yang tersisa dalam hidupnya, setelah kematian Ayah 12 tahun silam.

Kala Ayahnya meninggal akibat kecelakaan maut yang disebabkan oleh supir bus, Ratu selalu menangis setiap malam dalam pelukan Bunda. Lalu bagaimana dengan hari ini? Bagaimana dengan esok, lusa, dan seterusnya?

Rasanya baru kemarin ia mengajak Bunda untuk makan malam bersama seseorang yang sejak 2 tahun kebelakang, namanya ia simpan dihatinya.

Belum sempat Ratu mengatakan alasan dibalik rencana makan malam itu. Belum sempat Ratu berterima kasih atas jerih payah Bunda karna telah membesarkan sampai ia beranjak dewasa.

Ratu berharap bahwa waktu dapat terputar kembali. Kalau saja malam itu dirinya yang menggantikan Bunda—terjatuh dalam kamar mandi, mungkin saat ini ia masih bisa melihat wanita paruh baya itu, meski dari kejauhan.

Jantung gadis itu berdegup kian kencang. Perlahan Ratu melangkahkan kakinya kedalam kamar mandi. Ia bersimpuh seperti saat terakhir kali melihat tubuh Bundanya.

Tubuhnya bergetar hebat. Ratu menangis dengan berbagai macam raungan yang turut keluar dari mulut. Sesak.

Muncul sebuah ide gila di kepalanya. Gadis yang penampilannya kini tengah berantakan itu tertawa dengan lantang.

Bunda satu-satunya keluarga yang aku punya, tapi kenapa Tuhan rampas?

Gak pernah ada sedikitpun bayangan di kepala aku, kalau Bunda bakal pergi duluan, sama kaya Ayah. Aku bisa ikhlas atas kepergian Ayah, karna ada Bunda. Sekarang gimana? Harus apa?

Bun, Lea tetep ada di dunia ini, itu karna Bunda. Tapi kalau sekarang Bunda ninggalin aku juga ... mending aku ikut mati aja.

Detik kemudian, darah segar mengalir dari pelipisnya. Ratu terus membentur kepalanya pada ubin kamar mandi dengan keras. Mengabaikan seseorang yang tengah memanggil-manggil namanya.

“RATU!” Nafas Jeffrey tercekat tatkala ia menemukan Ratu dalam kondisi terburuknya.

Beberapa menit yang lalu, sesaat setelah mobilnya memasuki pekarangan rumah gadis itu, Jeffrey mampu mendengar tangisan Ratu dengan jelas. Ia berlari memasuki rumah, dan menemukan Ratu yang tengah bersimpuh didalam kamar mandi dengan pakaian tidur yang berlumuran darah.

“BANGUN! SINI BANGUN!” seru Jeffrey sembari menarik kasar tubuh Ratu. Sementara yang empu hanya tersenyum menatap laki-laki itu.

“Bagus, sekarang aku malah ngehaluin Jeffrey Bun.” Lirihnya.

Jeffrey geming. Ia membawa tubuh Ratu keluar dari kamar mandi, dan menjatuhkannya ke atas ranjang. Wajahnya memerah. “TOLOL! LO TAU TOLOL GAK RA?! LO TOLOL!” hardik Jeffrey.

Kemudian ia memeluk tubuh Ratu dengan posesif. Jeffrey marah atas apa yang telah gadis itu lakukan, namun perasaan takut akan kehilangan jauh lebih besar dibandingkan amarahnya.

“Jeff ... gue cuman ... cuman gak mau sendirian ... .” ucap Ratu dengan lirih.

“Gue ada disini Ra. Gue janji bakal selalu ada buat lo, tanpa lo minta.”

Ratu tertawa, meski air matanya terus bercucuran. “Nanti lo pasti ninggalin gue, kok.”

Mendengar perkataan itu, Jeffrey melepas pelukannya. Ia mengepal tangan Ratu kuat-kuat, dan mengunci pandangan gadis itu.

“Dengerin Ra! Gue gak akan kemana-mana. Gue cuman milik lo, sama Tuhan. Gak perduli suatu saat nanti bakal ada orang yang nyuruh gue ninggalin lo, gue akan tetep ada di tempat gue Ra. Disebelah lo. Sekalipun orang itu keluarga gue sendiri.”

“Jadi tolong ... jangan ngelakuin hal-hal tolol kaya gini lagi Ra. Gue mohon. Karna ... LO TAU GAK KALO JANTUNG GUE MAU COPOT ANJING!?”

Ratu memeluk tubuh Jeffrey seketika. Menyembunyikan wajahnya dalam ceruk leher laki-laki.

“Makasih, Jeff.”

“Bersihin lukanya yuk? Apa mau ke rumah sakit aja?” tanya Jeffrey sembari membalas pelukan Ratu. Ia mengeratkan pelukan, kemudian menggoyangkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri—memberikan sensasi nyaman bagi gadis dalam pelukannya.Sesekali Jeffreyan mengecup lembut pucuk kepala Ratu.

“Gak usah, lo obatin aja ... .”