cakgrays

Flashback On

Malam itu, sepulang menemui Randy, Eve berniat memejamkan mata sejenak. Ia berbaring diatas ranjang kesayangannya dengan nyaman, tanpa berniat menyalakan lampu sebelumnya.

Beberapa menit berlalu, hingga Eve merasakan semilir angin menerpa permukaan kulitnya. Dingin, dan aneh. Pasalnya jendela kamar masih tertutup rapat, begitupun pendingin ruangan yang sedang dalam keadaan mati kala itu.

Eve membuka matanya. Sebuah bayangan hitam di sudut ruangan seolah mendekat kearah ranjang.

“Siapa?”

Kalimat itu lolos begitu saja, meski Eve yakin bahwa hanya dirinya yang berada didalam unit apartemen itu.

Gadis itu berjalan kearah saklar lampu yang letaknya berada di luar pintu kamar, dan menghadap sebuah ruang tamu.

Klik!

Begitu lampu menyala, pandangannya langsung tertuju pada suatu objek yang berada diatas sofa—sebuah boneka dengan visualisasi menyeramkan milik Devin.

Jantungnya berdegup lebih kencang hanya dengan melihat boneka itu. Eve ketakutan.


Sabtu, 11 Desember 2021

Eve baru saja terbangun dari tidurnya. Ia menatap jam dinding didalam kamarnya, pukul 6:12 sore. Gadis itu setengah terkejut, “Semalem cuman mimpi? Gila, gua tidur lebih dari dua puluh jam!” serunya.

Ia beringsut, menuruni ranjang. Berniat menyeduh secangkir kopi agar rasa kantuknya lekas pergi.

Tak ada yang aneh, atmosfer dalam unit apartemen itu sama seperti biasanya. Eve mengaduk kopi tanpa ekspresi. Gadis itu tengah melamun.

Diangkatnya sendok teh yang sebelumnya ia gunakan. Jika biasanya ia akan melempar sendok tersebut begitu saja kearah wastafel, kali ini Eve hanya dapat mematung.

Sebuah pantulan seperti mata berwarna merah muncul di bagian sendok yang mengarah pada dirinya.

Eve menjatuhkan sendok itu. Bibirnya gemetar. Detik selanjutnya ia berjongkok dan membenamkan wajah kedalam lengannya yang bertumpu pada lutut. Eve menangis.

“Devin, aku takut, tolong-”

Gadis itu tersadar. Begitu membuka matanya, ia masih berada diatas ranjang, dengan piyama yang basah, dan tubuh bermandikan keringat. Mimpi lagi? Batinnya.

Diraihnya ponsel yang berada diatas nakas. Jantung Eve seakan nyaris melompat keluar begitu ia melihat layar ponselnya. Pukul 6:13 sore.


Minggu, 12 Desember 2021

Sudah hari kedua semenjak ketakutan menyelimuti hatinya. Eve sempat mengira bahwa semuanya hanyalah mimpi. Namun setelah ia memastikan keberadaan boneka Rannisha di dalam unit apartemennya, Eve pun tersadar, bahwa apa yang sudah ia alami bukanlah sekedar mimpi. Terlebih lagi perdebatannya dengan Devin dua hari lalu—mengenai boneka yang laki-laki itu tinggalkan di apartemennya begitu saja, benar adanya.

Ini pukul 11 malam. Eve tengah terkulai lemas diatas ranjangnya. Gadis itu terserang demam setelah menyadari semuanya. Alisnya terus saja bertaut dalam tidur, menampilkan ekspresi cemas. Nafasnya tersengal-sengal, masih dengan mata yang tertutup rapat. Tiba-tiba saja hawa dingin menjalar dalam tubuhnya.

Mata Eve membola seketika. Ia menangis dalam diam. Sebuah tangan besar seakan menekan jantungnya. Sangat sesak.

Ditatapnya sebuah makhluk yang melayang di langit-langit kamar. Rambutnya panjang menjuntai, hingga menutupi sebagian wajah Eve. Sekujur tubuhnya berlumuran cairan merah pekat, berbau anyir yang menetes membasahi seluruh permukaan ranjang.

Lidah Eve terlalu kelu untuk berteriak. Entah sejak kapan lampu unit apartemennya mati. Seluruh benda tiba-tiba saja terjatuh dari tempatnya. Menimbulkan suara yang amat bising di dalam kamarnya.

Gadis itu berdoa dalam hati. Berusaha sekuat tenaga untuk memejamkan matanya. Namun makhluk diatasnya justru kian mendekat, seakan ingin menimpa tubuh Eve. Sontak ia memejamkan matanya, sebelum akhirnya terbangun di sebuah ranjang tua.

Netra Eve menelisik ke seluruh penjuru ruangan yang terasa asing baginya. Gadis itu beranjak dari tempatnya. Berniat memeriksa apakah ada semacam pintu keluar disana. Namun nihil.

Aroma anyir dan busuk menguar di udara. Rambutnya jatuh berantakan diatas dahinya, Eve nampak putus asa.

“Evelyn ... .” Suara lirih menyebut namanya.

Sesosok wanita berdiri menjulang, dengan gaun tidur berwarna putih yang dipenuhi darah, tengah menatap kearahnya.

Sorot mata wanita itu menyeramkan. Samar-samar sebuah pintu muncul dibalik tubuhnya.

“Lewat sini!”

Eve menatap pintu itu.

“Tutup matamu. Jalan lurus, dan kamu akan keluar.” timpal wanita itu.

Seolah terhipnotis—Eve memejamkan matanya, berjalan lurus kedepan, kemudian meraih gagang pintu tersebut dan menekannya.

Pintu terbuka, Eve pun terbangun diatas tempat tidurnya.

Flashback ON

Malam itu, sepulang menemui Randy, Eve berniat memejamkan mata sejenak. Ia berbaring diatas ranjang kesayangannya dengan nyaman, tanpa berniat menyalakan lampu sebelumnya.

Beberapa menit berlalu, hingga Eve merasakan semilir angin menerpa permukaan kulitnya. Dingin, dan aneh. Pasalnya jendela kamar masih tertutup rapat, begitupun pendingin ruangan yang sedang dalam keadaan mati kala itu.

Eve membuka matanya. Sebuah bayangan hitam di sudut ruangan seolah mendekat kearah ranjang.

“Siapa?”

Kalimat itu lolos begitu saja, meski Eve yakin bahwa hanya dirinya yang berada didalam unit apartemen itu.

Gadis itu berjalan kearah saklar lampu yang letaknya berada di luar pintu kamar, dan menghadap sebuah ruang tamu.

Klik!

Begitu lampu menyala, pandangannya langsung tertuju pada suatu objek yang berada diatas sofa—sebuah boneka dengan visualisasi menyeramkan milik Devin.

Jantungnya berdegup lebih kencang hanya dengan melihat boneka itu. Eve ketakutan.


Sabtu, 11 Desember 2021

Eve baru saja terbangun dari tidurnya. Ia menatap jam dinding didalam kamarnya, pukul 6:12 sore. Gadis itu setengah terkejut, “Semalem cuman mimpi? Gila, gua tidur lebih dari dua puluh jam!” serunya.

Ia beringsut, menuruni ranjang. Berniat menyeduh secangkir kopi agar rasa kantuknya lekas pergi.

Tak ada yang aneh, atmosfer dalam unit apartemen itu sama seperti biasanya. Eve mengaduk kopi tanpa ekspresi. Gadis itu tengah melamun.

Diangkatnya sendok teh yang sebelumnya ia gunakan. Jika biasanya ia akan melempar sendok tersebut begitu saja kearah wastafel, kali ini Eve hanya dapat mematung.

Sebuah pantulan seperti mata berwarna merah muncul dibagian sendok yang mengarah pada dirinya.

Eve menjatuhkan sendok itu. Bibirnya gemetar. Detik selanjutnya ia berjongkok dan membenamkan wajah kedalam lengannya yang bertumpu pada lutut. Eve menangis.

“Devin, aku takut, tolong-”

Gadis itu tersadar. Begitu membuka matanya, ia masih berada diatas ranjang, dengan piyama yang basah, dan tubuh bermandikan keringat. Mimpi lagi? Batinnya.

Diraihnya ponsel yang berada diatas nakas. Jantung Eve seakan nyaris melompat keluar begitu ia melihat layar ponselnya. Pukul 6:13 sore.


Minggu, 12 Desember 2021

Sudah hari kedua semenjak ketakutan menyelimuti hatinya. Eve sempat mengira bahwa semuanya hanyalah mimpi. Namun setelah ia memastikan keberadaan boneka Rannisha di dalam unit apartemennya, Eve pun tersadar, bahwa apa yang sudah ia alami bukanlah sekedar mimpi. Terlebih lagi perdebatannya dengan Devin dua hari lalu—mengenai boneka yang laki-laki itu tinggalkan di apartemennya begitu saja, benar adanya.

Ini pukul 11 malam. Eve tengah terkulai lemas diatas ranjangnya. Gadis itu terserang demam setelah menyadari semuanya. Alisnya terus saja bertaut dalam tidur, menampilkan ekspresi cemas. Nafasnya tersengal-sengal, masih dengan mata yang tertutup rapat. Tiba-tiba saja hawa dingin menjalar dalam tubuhnya.

Mata Eve membola seketika. Ia menangis dalam diam. Sebuah tangan besar seakan menekan jantungnya. Sangat sesak.

Ditatapnya sebuah makhluk yang melayang di langit-langit kamar. Rambutnya panjang menjuntai, hingga menutupi sebagian wajah Eve. Sekujur tubuhnya berlumuran cairan merah pekat, berbau anyir yang menetes membasahi seluruh permukaan ranjang.

Lidah Eve terlalu kelu untuk berteriak. Entah sejak kapan lampu unit apartemenya mati. Seluruh benda tiba-tiba saja terjatuh dari tempatnya. Menimbulkan suara yang amat bising di dalam kamarnya.

Gadis itu berdoa dalam hati. Berusaha sekuat tenaga untuk memejamkan matanya. Namun makhluk diatasnya justru kian mendekat, seakan ingin menimpa tubuh Eve. Sontak ia memejamkan matanya, sebelum akhirnya terbangun di sebuah ranjang tua.

Netra Eve menelisik keseluruh penjuru ruangan yang terasa asing baginya. Gadis itu beranjak dari tempatnya. Berniat memeriksa apakah ada semacam pintu keluar disana. Namun nihil.

Aroma anyir dan busuk menguar diudara. Rambutnya jatuh berantakan diatas dahinya, Eve nampak putus asa.

“Evelyn ... .” Suara lirih menyebut namanya.

Sesosok wanita berdiri menjulang, dengan gaun tidur berwarna putih yang dipenuhi darah, tengah menatap kearahnya.

Sorot mata wanita itu menyeramkan. Samar-samar sebuah pintu muncul dibalik tubuhnya.

“Lewat sini!”

Eve menatap pintu itu.

“Tutup matamu. Jalan lurus, dan kamu akan keluar.” timpal wanita itu.

Seolah terhipnotis—Eve memejamkan matanya, berjalan lurus kedepan, kemudian meraih gagang pintu tersebut dan menekannya.

Pintu terbuka, Eve pun terbangun diatas tempat tidurnya.

Sebuah Kisah Cinta Tragis di Awal Tahun 1799 Silam

Kala itu, Rannielle menatap nanar sebuah rumah besar berarsitektur khas Belanda dihadapannya. Halaman rumah yang sangat luas, hingga mampu membuat setiap orang yang menatapnya, langsung menyadari bahwa pemilik rumah tersebut adalah seseorang yang berkedudukan tinggi dalam pemerintahan Hindia Belanda—pada masa penjajahan.

Tangan Rannielle terus saja mengusap lembut perutnya, sembari menggumamkan sebuah kalimat singkat. “Laten we je vader zien. (Mari kita lihat ayahmu)”

“Elle?” sapa seorang laki-laki berkulit putih itu secara tiba-tiba.

“Jayden? Saya kira kamu ada dirumah. Saya baru saja ingin masuk kesana.” Tunjuk gadis itu mengarah pada rumah besar dihadapannya.

“Apa? Untuk apa kamu ke rumah saya?”

Alih-alih menjawab pertanyaan laki-laki itu, Rannielle justru tersenyum sendu sembari lagi-lagi mengusap perutnya.

“Saya hamil—onze kinderen. (anak kita)”

Wat bedoel je?! (apa maksudmu) Jangan gila, saya sudah memiliki istri!”

Plak!

Wajah Jayden memerah akibat sebuah tamparan yang dilayangkan oleh Rannielle. Tawa sumbang gadis itu, terdengar mengerikan bagi Jayden.

“Ternyata itu alasan kamu tiba-tiba menghilang?! HAHAHA!”

Jayden bergeming.

Rannielle meludah tepat dihadapan laki-laki itu. Batinnya seakan tersayat. Gadis itu menyesal karena dengan mudah memberikan mahkotanya begitu saja pada seseorang seperti Jayden. Bibirnya bergetar, menahan sebuah isak tangis yang hendak keluar. Namun tiba-tiba saja sorot matanya berubah.

“Baik, kalau begitu apakah istri kamu sudah mengetahui perbuatanmu?” sindir Rannielle, seraya menyentuh dada bidang milik Jayden.

Dengan kasar laki-laki itu menepis tangannya. Khawatir jika nantinya ada yang melihat mereka berdua.

“Keparat! Perempuan murahan, pergi kamu dari rumah saya!” seru Jayden.

“Dengar Jayden! Kamu tidak perlu bertanggung jawab. Cukup duduk manis didalam rumahmu, dan tunggu bagaimana reaksi istrimu setelah mengetahui segalanya!” ancam Rannielle sebelum akhirnya pergi meninggalkan Jayden yang tengah membeku karena ucapannya.


Langit malam itu, nampak pekat. Cahaya bintang dan bulan, tertutup awan mendung yang siap untuk menumpahkan hujan. Rannielle meninggalkan saudari kembarnya—Rannisha, sendirian di dalam kamar, karena gadis itu tengah tertidur pulas. Sudah cukup larut, namun Rannielle masih terjaga, karena pikiran yang terus-menerus memutari kepalanya. Ia menatap lurus pada sebuah cermin yang kini tengah memantulkan bayangan dirinya. Perut gadis itu kini mulai sulit untuk ditutupi, sebab usia kandungannya sudah menginjak 7 minggu.

“Bagaimana reaksi Bapak kalau mengetahui ini?” Lirih Rannielle.


Jayden melompat masuk kedalam kamar seorang perempuan yang sempat ia temui tadi siang, melalui jendela. Ia terus memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk jika istrinya yang juga tengah mengandung mengetahui tentang perselingkuhannya dengan anak seorang pribumi belakangan ini. Ditatapnya seorang gadis yang tengah tertidur lelap diatas ranjang. Detik kemudian Jayden merogoh sebuah belati yang telah ia sembunyikan didalam saku beberapa saat sebelumnya. Nafas lelaki itu menggebu-gebu, rasa takut dan amarahnya kini telah menjadi satu. Lantas Jayden mendekat kearah ranjang. Dengan sekali ayunan, belati itu menancap sempurna pada dada Rannisha—membuat mata gadis itu membola seketika.

Prangg!

“RANNISHA!”

Jantung Jayden berdegup kencang sesaat setelah ia mendengar jeritan seorang perempuan dibelakangnya. Kepala laki-laki itu berdeyut sangat kuat begitu ia menyadari apa yang telah ia lakukan, sementara matanya melirik pada seorang gadis yang telah terbujur kaku pada sebuah ranjang dihadapannya. Sial, itu bukan perempuan yang aku maksud! Batinnya.

Rannielle beringsut kearah tubuh Rannisha berada. Ia menangis tanpa menghiraukan Jayden yang tengah berdiri tepat dibelakangnya.

“Saya tidak akan membiarkan kamu mengatakan semuanya kepada istri saya.” Bisik Jayden, sebelum akhrinya leyangkan belati pada genggamannya untuk yang kedua kalinya—pada tubuh yang berbeda.

Tubuh Rannielle merosot seketika, sebab lehernya mengeluarkan banyak darah. Sorot matanya memandang Jayden dengan penuh kebencian, sebelum akhirnya ia menarik sudut bibirnya. “Jayden De Groot... S-saya bersumpah.. Kamu laki-laki paling BIADABB!!!”

“Latte atau Americano?” Tawar Hardin begitu melangkah memasuki cafe yang telah direkomendasikan oleh Ratu.

“Latte aja.”

Untuk pertama kalinya Ratu mengunjungi cafe tersebut bersama laki-laki selain Jeffreyan.

Ratu merogoh tasnya—mengeluarkan sebuah buku yang berniat untuk Hardin pinjam.

“Minuman datanggg..” Kata Hardin semangat, sontak membuat Ratu menarik sudut bibirnya.

“Lo girang banget, beda sama dikelas.”

“Masa sih?”

Ratu mengangguk manis, kemudian menyodorkan sebuah buku tulis kepada Hardin. “Nih bukunya, cepet disalin!”

“Banyak banget?!”

“Gue sengaja nulis contoh soalnya tau. Kalo lo rasa gak penting-penting banget, ya gausah ditulis.” Tutur Ratu.

Hardin geming.

Mengamati bagaimana cara Ratu berbicara sembari menatap langsung kearah matanya—bagi Hardin, itu adalah sebuah hal yang menarik.

“Ra, cowok lo gak marah tau lo jalan sama cowok lain?”

“Cowok gue?”

“Jeffrey, cowok lo kan?”

Mendengar perkataan itu, sontak Ratu tergelak bukan main.

“Kok ketawa?”

“Kita temen doang anjir!”

Hardin meletakkan penanya. Ia menatap lurus manik mata Ratu, mencoba mencari kebohongan dari perkataan yang baru saja keluar dari mulutnya. Namun nihil.

Detik kemudian Hardin mengalihkan pandangannya. Berpura-pura batuk, kemudian tersenyum merekah.

“Dih, kenapa lo senyum-senyum?”

“Lo tau nyanyian di iklannya Mastin gak sih?” Tanya laki-laki itu, sembari menahan senyumnya.

“Yang mana?”

“Khaabarr gembiraa! Untuk kita semuaa~”

“Latte atau Americano?” Tawar Hardin begitu melangkah memasuki cafe yang telah direkomendasikan oleh Ratu.

“Latte aja.”

Untuk pertama kalinya Ratu mengunjungi cafe tersebut bersama laki-laki selain Jeffreyan.

Ratu merogoh tasnya—mengeluarkan sebuah buku yang berniat untuk Hardin pinjam.

“Minuman datanggg..” Kata Hardin semangat, sontak membuat Ratu menarik sudut bibirnya.

“Lo girang banget, beda sama dikelas.”

“Masa sih?”

Ratu mengangguk manis, kemudian menyodorkan sebuah buku tulis kepada Hardin. “Nih bukunya, cepet disalin!”

“Banyak banget?!”

*“Gue sengaja nulis contoh soalnya tau. Kalo lo rasa gak penting-penting banget, ya gausah ditulis.” Tutur Ratu.

Hardin geming.

Mengamati bagaimana cara Ratu berbicara sembari menatap langsung kearah matanya—bagi Hardin, itu adalah sebuah hal yang menarik.

“Ra, cowok lo gak marah tau lo jalan sama cowok lain?”

“Cowok gue?”

“Jeffrey, cowok lo kan?”

Mendengar perkataan itu, sontak Ratu tergelak bukan main.

“Kok ketawa?”

“Kita temen doang anjir!”

Hardin meletakkan penanya. Ia menatap lurus manik mata Ratu, mencoba mencari kebohongan dari perkataan gadis itu barusan. Namun nihil.

Detik kemudian Hardin mengalihkan pandangannya. Berpura-pura batuk, kemudian tersenyum merekah.

“Dih, kenapa lo senyum-senyum?”

“Lo tau nyanyian di iklannya Mastin gak sih?” Tanya laki-laki itu, sembari menahan senyumnya.

“Yang mana?”

“Khaabarr gembiraa! Untuk kita semuaa~”

Anne tengah memainkan pasir pantai menggunakan kedua kakinya. Netranya menatap laki-laki yang tengah melamun disebelahnya, sejak beberapa saat lalu.

“Dean?”

Tak ada jawaban. Lantas Anne kembali menatap lurus ke depan—pada deburan ombak yang menyapu tepi pantai kala itu. Sebetulnya Anne sendiri bertanya-tanya, apa maksud Aradean mengajaknya ke tempat ini. Namun melihat kondisi Aradean, gadis itu memilih bungkam.

Semilir angin menerpa wajah keduanya, membuat Aradean semakin hanyut dalam pikirannya sendiri—mengabaikan Anne yang juga tengah berada disana.

Gadis itu mulai menggigil. Suhu udara hari ini cukup rendah, pikirannya. Terlebih lagi cahaya matahari yang sudah mulai tenggelam, sebab akan berganti tugas dengan rembulan.

“Sebenernya, kita mau ngapain kesini?” Akhirnya kalimat itu sukses membuat Aradean menoleh.

Namun laki-laki itu masih setia membisu, hanya saja kali ini obsidiannya menatap dalam kearah Anne.

Lengannya menarik Anne, merengkuh gadis itu dalam kedinginan.

Malam itu, untuk pertama kalinya seorang Aradean Draco merasakan takut akan kehilangan.

Adrianne Calia, hanyalah seorang gadis yang tanpa sengaja ia temui beberapa hari yang lalu. Namun mampu membuatnya bimbang akan suatu hal.

Dean masih mendekap tubuh gadis itu dengan erat, seraya memejamkan matanya. Aroma Anne, tubuh kecil Anne, bahkan tepukan lembut yang Anne berikan pada punggungnya malam ini akan menjadi kenangan yang selalu Aradean ingat.

Ingatkan Anne bahwa kalimat “sebentar” yang Aradean ucapan adalah sebuah kebohongan besar! Entah apa yang laki-laki itu lakukan di dalam kamarnya selama berjam-jam.

Setelah membeli beberapa hal yang dibutuhkan—oleh Anne—mereka berdua pun berniat segera kembali menuju villa.

Sebelumnya Dean mengatakan bahwa ia akan menginap di villa malam ini. Tak ada tanggapan yang berarti dari Adrianne, sebab gadis itu bingung. Haruskah ia merasa senang sebab malam ini akan ditemani oleh seorang Aradean, atau takut karena yang akan menemaninya adalah seorang Aradean?

Senyum masam tercetak jelas pada raut wajahnya. Anne terus saja mengubah gaya duduknya, membuat Dean menoleh.

“Kenapa lagi kali ini?” Tanya laki-laki itu, hanya dibalas gelengan kepala oleh Anne.

Mendengar hela nafas kesal yang Dean timbulkan, lantas Anne memberanikan diri untuk menjawab.

“Pembalut.” Bisik gadis itu lirih, namun masih cukup jelas untuk Aradean dengar.

Mobil menepi dan berhenti seketika. Ah, suasana canggung seperti ini lagi, batin Anne.

“Red day?” Tanya Dean, dibalas anggukan oleh Anne.

Aradean menutup matanya, menghitung dalam hati— sekiranya sampai sebuah hasrat yang tiba-tiba saja muncul dalam dirinya dapat menghilang.

satu

dua

tiga

empat

Lengan kekarnya menarik tubuh Anne—gagal dalam mengatur hasratnya—ia rengkuh tubuh gadis itu, seraya menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Adrianne.

Anne membeku seketika. Entah apa yang harus ia lakukan. Haruskah ia berteriak?

Hembusan nafas laki-laki itu menerpa permukaan kulitnya. Dingin. Anne membalas pelukan Aradean. Semakin jelas terasa saat bibir laki-laki itu menyentuh lekukan lehernya. Lembut, dingin, serta lembab. Anne takut.

Tubuhnya menegang, dan rasa ketakutan itu ia salurkan pada genggaman tangannya. Anne mencengkram pundak Dean, namun laki-laki itu tak menghiraukannya sedikitpun.

Aradean tidak pernah kehilangan nafsunya akan darah—ia hanya senantiasa menahannya seperti saat ini.

Bibir Aradean masih setia menjamah ceruk leher Anne. Laki-laki itu tengah berusaha menahan nafsunya akan darah Anne, sebab ini belum waktunya.

Detik kemudian kesadaran Aradean kembali. Namun akan menjadi aneh jika ia membuat jarak dengan Anne tiba-tiba, setidaknya begitu batinnya. Lantas bibir Aradean mengecup setiap inci leher gadis itu, hingga Anne melenguh dibuatnya.

Kecupan-kecupan ringan itu kini mulai naik—bibir ranum Adrianne adalah tujuannya.

Anne semakin mempererat cengkraman tangannya pada punggung Aradean. Jantungnya berdegup dengan kencang, sementara matanya memejam rapat-rapat. Wajah gadis itu memanas hingga muncul semburat merah pada pipinya.

Aradean menghentikan kegiatannya, sebelum sempat mendarat bibirnya pada bibir Anne. Netranya menatap wajah Anne lamat-lamat. Disentuhnya sudut bibir gadis itu dengan lembut, lantas Dean tersenyum. Dipagutnya bibir Adrianne dalam keheningan. Sangat lembut, hingga membuat gadis itu berhenti mencengkram punggungnya dan berbalik membalas ciuman yang ia berikan.

Ingatkan Anne bahwa kalimat “sebentar” yang Aradean ucapan adalah sebuah kebohongan besar! Entah apa yang laki-laki itu lakukan di dalam kamarnya selama berjam-jam.

Setelah membeli beberapa hal yang dibutuhkan—oleh Anne—mereka berdua pun berniat segera kembali menuju villa.

Sebelumnya Dean mengatakan bahwa ia akan menginap di villa malam ini. Tak ada tanggapan yang berarti dari Adrianne, sebab gadis itu bingung. Haruskah ia merasa senang sebab malam ini akan ditemani oleh seorang Aradean, atau takut karena yang akan menemaninya adalah seorang Aradean?

Senyum masam tercetak jelas pada raut wajahnya. Anne terus saja mengubah gaya duduknya, membuat Dean menoleh.

“Kenapa lagi kali ini?” Tanya laki-laki itu, hanya dibalas gelengan kepala oleh Anne.

Mendengar hela nafas kesal yang Dean timbulkan, lantas Anne memberanikan diri untuk menjawab.

“Pembalut.” Bisik gadis itu lirih, namun masih cukup jelas untuk Aradean dengar.

Mobil menepi dan berhenti seketika. Ah, suasana canggung seperti ini lagi, batin Anne.

“Red day?” Tanya Dean, dibalas anggukan oleh Anne.

Aradean menutup matanya, menghitung sekiranya sampai sebuah hasrat yang tiba-tiba saja muncul dalam dirinya dapat menghilang.

Lengan kekarnya menarik tubuh Anne—untuk kedua kalinya—ia rengkuh tubuh gadis itu, seraya menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Adrianne.

Anne membeku seketika. Entah apa yang harus ia lakukan. Haruskah ia berteriak?

Hembusan nafas laki-laki itu menerpa permukaan kulitnya. Dingin. Anne membalas pelukan Aradean. Semakin jelas terasa saat bibir laki-laki itu menyentuh lekukan lehernya. Lembut, dingin, serta lembab. Anne takut.

Tubuhnya menegang, dan rasa ketakutan itu ia salurkan pada genggaman tangannya. Anne mencengkram pundak Dean, namun laki-laki itu tak menghiraukannya sedikitpun.

Aradean tidak pernah kehilangan nafsunya akan darah—selama ini ia hanya menahannya seperti saat ini.

Bibir Aradean masih setia menjamah ceruk leher Anne. Laki-laki itu tengah berusaha menahan nafsunya akan darah Anne, sebab ini belum waktunya.

Detik kemudian kesadaran Aradean kembali. Namun akan menjadi aneh jika ia membuat jarak dengan Anne tiba-tiba, begitu batinnya. Lantas bibir Aradean mengecup setiap inci leher gadis itu, hingga Anne melenguh dibuatnya.

Kecupan-kecupan ringan itu kini mulai naik—bibir ranum Adrianne adalah tujuannya.

Anne semakin mempererat genggaman tangannya pada punggung Aradean. Matanya memejam rapat-rapat. Wajah gadis itu memanas hingga muncul semburat merah pada pipinya.

Ciuman Aradean tiba-tiba saja berhenti, sebelum sempat mendarat pada bibir Anne. Netranya menatap wajah Anne lamat-lamat. Disentuhnya sudut bibir gadis itu dengan lembut, lantas Dean tersenyum kemudian memagut bibir Adrianne dalam keheningan. Sangat lembut, hingga membuat gadis itu berhenti meremas punggungnya dan berbalik membalas ciuman yang ia berikan.

Aradean memasuki pekarangan villa dengan tergesa-gesa. Batinnya harap-harap cemas, sebab aroma tubuh Marvian tidak berada disana.

Lantas laki-laki itu melompat pada sebuah balkon dilantai dua, yang mengarah ke kolam renang. Rahang Dean seketika mengeras. Tepat seperti dugaannya, Marvian telah kehilangan kontrol atas dirinya.

“Dean, tolong!” Pekik Anne dibawah kukungan Marvian.

Sekujur tubuhnya bergetar ketakutan. Marvian tampak seolah akan melecehkannya, sebenarnya tidak.

Laki-laki itu tengah kehausan sembari menatap ngeri pada ceruk leher Adrianne. Aredean benci ketika saudaranya itu tengah dikuasai oleh sisi liarnya.

Detik kemudian Aradean meninju wajah milik Marvian hingga laki-laki terjatuh kemudian terbentur sebuah nakas yang letaknya tepat disebelah ranjang tempat Anne tengah berbaring.

Ditariknya tubuh Anne kedalam dekapannya. Mencoba menenangkan gadis yang nafasnya kini terengah-engah itu.

“Lo tunggu disini sebentar, biar gue urus dia.” Ujar Dean sebelum mengalihkan pandangannya kearah Marvian.

Anne hanya mengangguk, sebab lidahnya seperti mati rasa.

Dengan sorot mata seolah siap membunuh laki-laki dihadapannya itu, Aradean menarik kuat kerah pakaian Marvian, membawanya keluar dari ruangan tersebut.

“Lo mau mati hah?!” Seru Dean, lagi-lagi melayangkan tinjunya.

“Gue gak sadar. Sumpah tenggorokan gue tiba-tiba kering Kak. Maaf.”

Marvian bersimpuh tepat dibawah Aradean. Ia sadar jika kebodohannya akan menimbulkan malapetaka, mengingat laki-laki yang tengah berdiri dihadapannya ini adalah Aradean Draco.

“Pergi.”

“Dean sorry, gue rasa dia liat taring gue.” Tutur Marvian hati-hati.

Detik kemudian tubuhnya terjerembab berkat tendangan dari kaki panjang milik Aradean.

“BRENGSEK!”

#Villa Keluarga Draco

Aradean memasuki pekarangan villa dengan tergesa-gesa. Batinnya harap-harap cemas, sebab aroma tubuh Marvian tidak berada disana.

Lantas laki-laki itu melompat pada sebuah balkon dilantai dua, yang mengarah ke kolam renang. Rahang Dean seketika mengeras. Tepat seperti dugaannya, Marvian telah kehilangan kontrol atas dirinya.

“Dean, tolong!” Pekik Anne dibawah kukungan Marvian.

Sekujur tubuhnya bergetar ketakutan. Marvian tampak seolah akan melecehkannya, sebenarnya tidak.

Laki-laki itu tengah kehausan sembari menatap ngeri pada ceruk leher Adrianne. Aredean benci ketika saudaranya itu tengah dikuasai oleh sisi liarnya.

Detik kemudian Aradean meninju wajah milik Marvian hingga laki-laki terjatuh kemudian terbentur sebuah nakas yang letaknya tepat disebelah ranjang tempat Anne tengah berbaring.

Ditariknya tubuh Anne kedalam dekapannya. Mencoba menenangkan gadis yang nafasnya kini terengah-engah itu.

“Lo tunggu disini sebentar, biar gue urus dia.” Ujar Dean sebelum mengalihkan pandangannya kearah Marvian.

Anne hanya mengangguk, sebab lidahnya seperti mati rasa.

Dengan sorot mata seolah siap membunuh laki-laki dihadapannya itu, Aradean menarik kuat kerah pakaian Marvian, membawanya keluar dari ruangan tersebut.

“Lo mau mati hah?!” Seru Dean, lagi-lagi melayangkan tinjunya.

“Gue gak sadar. Sumpah tenggorokan gue tiba-tiba kering Kak. Maaf.”

Marvian bersimpuh tepat dibawah Aradean. Ia sadar jika kebodohannya akan menimbulkan malapetaka, mengingat laki-laki yang tengah berdiri dihadapannya ini adalah Aradean Draco.

“Pergi.”

“Dean sorry, gue rasa dia liat taring gue.” Tutur Marvian hati-hati.

Detik kemudian tubuhnya terjerembab berkat tendangan dari kaki panjang milik Aradean.

“BRENGSEK!”