cakgrays

Pintu ruangan Ratu terbuka, menampilkan sosok Jeffreyan yang sudah siap untuk pulang malam itu.

“Udah mau pulang?” tanya Jeffrey sembari menatap Ratu yang tengah merapikan mejanya.

Gadis itu mengangguk, kemudian meraih tasnya.

“Naik apa?”

“Gocar. Orangnya udah nunggu dibawah, gue duluan ya!” ujar Ratu sebelum akhirnya meninggalkan Jeffreyan.

Ratu melamun didalam lift. Setelah kejadian kemarin, kepalanya terus saja dipenuhi oleh pikiran-pikiran mengenai, apa alasan Jeffreyan terus menggodanya. Bahkan laki-laki itu rela membuang uangnya demi kelancaran aksi konyolnya tempo hari.

Suara helaan nafas panjang Ratu terdengar jelas. Ratu memijat batang hidungnya, kemudian meringis. “Gue bahkan gak ngerasa sakit hati lagi, sangking seringnya lo giniin.”

“Lo gak jelas. Tapi buat ngejauhin lo ... gue gak bisa.”

“Kira-kira mau sampai kapan ya gue begini?” lirih Ratu.

Ting!

Pintu lift terbuka. Gadis itu berjalan menuju sebuah mobil berwarna silver yang telah menunggunya di luar, sejak beberapa menit yang lalu.

“Ke alamat sesuai aplikasi ya, Bu?”

“Iya.”

Ratu pun masuk kedalam mobil tersebut. Menyandarkan tubuhnya, dan memejamkan mata hingga mobil itu melaju meninggalkan area kantor.

Sangat hening, pasalnya sang supir tak berniat membicarakan apapun atau sekedar menyalakan musik.

“Habis lampu merah ini belok kanan ya, Bu?”

Mendengar pertanyaan itu, lantas Ratu membuka matanya dan langsung menatap kearah spion.

Nafasnya tercekat, “Aston Martin? Jeffreyan?” batin Ratu.

Netranya menatap sebuah mobil yang nampak sangat familiar melalui kaca spion. Meski wajah si pengemudi tak terlihat jelas, gadis itu yakin bahwa sosok dibalik kemudi mobil tersebut adalah Jeffreyan.

Ratu menarik sudut bibirnya seketika. Gadis itu tersenyum penuh arti.

“Bu?”

“Iya??”

“Habis lampu merah ini, belok kanan kan?” sang supir mengulangi pertanyaannya.

“Oh- iya Pak.”

Lampu lalulintas yang sebelumnya berwarna merah, kini berganti hijau. Bersamaan dengan mobil yang Ratu tumpangi, mobil yang gadis itu curigai milik Jeffreyan pun ikut melaju dibelakangnya.


Satu hal yang Ratu sadari, setiap hari efektif selama bulan November—Jeffreyan selalu mengikuti mobil yang ia tumpangi dari belakang, hanya untuk memastikan bahwa ia sampai di apartemen dengan selamat.

Pintu ruangan Ratu terbuka, menampilkan sosok Jeffreyan yang sudah siap untuk pulang malam itu.

“Udah mau pulang?” tanya Jeffrey sembari menatap Ratu yang tengah merapikan mejanya.

Gadis itu mengangguk, kemudian meraih tasnya.

“Naik apa?”

“Gocar. Orangnya udah nunggu dibawah, gue duluan ya!” ujar Ratu sebelum akhirnya meninggalkan Jeffreyan.

Ratu melamun didalam lift. Setelah kejadian kemarin, kepalanya terus saja dipenuhi oleh pikiran-pikiran mengenai, apa alasan Jeffreyan terus menggodanya. Bahkan laki-laki itu rela membuang uangnya demi kelancaran aksi konyolnya tempo hari.

Suara helaan nafas panjang Ratu terdengar jelas. Ratu memijat batang hidungnya, kemudian meringis. “Gue bahkan gak ngerasa sakit hati lagi, sangking seringnya lo giniin.”

“Lo gak jelas. Tapi buat ngejauhin lo ... gue gak bisa.”

“Kira-kira mau sampai kapan ya gue begini?” lirih Ratu.

Ting!

Pintu lift terbuka. Gadis itu berjalan menuju sebuah mobil berwarna silver yang telah menunggunya di luar, sejak beberapa menit yang lalu.

“Ke alamat sesuai aplikasi ya, Bu?”

“Iya.”

Ratu pun masuk kedalam mobil tersebut. Menyandarkan tubuhnya, dan memejamkan mata hingga mobil itu melaju meninggalkan area kantor.

Sangat hening, pasalnya sang supir tak berniat membicarakan apapun atau sekedar menyalakan musik.

“Habis lampu merah ini belok kanan ya, Bu?”

Mendengar pertanyaan itu, lantas Ratu membuka matanya dan langsung menatap kearah spion.

Nafasnya tercekat, “Aston Martin? Jeffreyan?” batin Ratu.

Netranya menatap sebuah mobil yang nampak sangat familiar melalui kaca spion. Meski wajah si pengemudi tak terlihat jelas, gadis itu yakin bahwa sosok dibalik kemudi mobil tersebut adalah Jeffreyan.

Ratu menarik sudut bibirnya seketika. Gadis itu tersenyum penuh arti.

“Bu?”

“Iya??”

“Habis lampu merah ini, belok kanan kan?” sang supir mengulangi pertanyaannya.

“Oh- iya Pak.”

Lampu lalulintas yang sebelumnya berwarna merah, kini berganti hijau. Bersamaan dengan mobil yang Ratu tumpangi, mobil yang gadis itu curigai milik Jeffreyan pun ikut melaju dibelakangnya.


Satu hal yang Ratu sadari, setiap hari efektif selama bulan November—Jeffreyan selalu mengikuti mobil yang ia tumpangi dari belakang, hanya untuk memastikan bahwa ia sampai di apartemen dengan selamat.

Pintu ruangan Ratu terbuka, menampilkan sosok Jeffreyan yang sudah siap untuk pulang malam itu.

“Udah mau pulang?” tanya Jeffrey sembari menatap Ratu yang tengah merapikan mejanya.

Gadis itu mengangguk, kemudian meraih tasnya.

“Naik apa?”

“Gocar. Orangnya udah nunggu dibawah, gue duluan ya!” ujar Ratu sebelum akhirnya meninggalkan Jeffreyan.

Ratu melamun didalam lift. Setelah kejadian kemarin, kepalanya terus saja dipenuhi oleh pikiran-pikiran mengenai, apa alasan Jeffreyan terus menggodanya. Bahkan laki-laki itu rela membuang uangnya demi kelancaran aksi konyolnya tempo hari.

Suara helaan nafas panjang Ratu terdengar jelas. Ratu memijat batang hidungnya, kemudian meringis. “Gue bahkan gak ngerasa sakit hati lagi, sangking seringnya lo giniin.”

“Lo gak jelas. Tapi buat ngejauhin lo ... gue gak bisa.”

“Kira-kira mau sampai kapan ya gue begini?” lirih Ratu.

Ting!

Pintu lift terbuka. Gadis itu berjalan menuju sebuah mobil berwarna silver yang telah menunggunya di luar, sejak beberapa menit yang lalu.

“Ke alamat sesuai aplikasi ya, Bu?”

“Iya.”

Ratu pun masuk kedalam mobil tersebut. Menyandarkan tubuhnya, dan memejamkan mata hingga mobil itu melaju meninggalkan area kantor.

Sangat hening, pasalnya sang supir tak berniat membicarakan apapun atau sekedar menyalakan musik.

“Habis lampu merah ini belok kanan ya, Bu?”

Mendengar pertanyaan itu, lantas Ratu membuka matanya dan langsung menatap kearah spion.

Nafasnya tercekat, “Aston Martin? Jeffreyan?” batin Ratu.

Netranya menatap sebuah mobil yang nampak sangat familiar melalui kaca spion. Meski wajah si pengemudi tak terlihat jelas, gadis itu yakin bahwa sosok dibalik kemudi mobil tersebut adalah Jeffreyan.

Ratu menarik sudut bibirnya seketika. Gadis itu tersenyum penuh arti.

“Bu?”

“Iya??”

“Habis lampu merah ini, belok kanan kan?” sang supir mengulangi pertanyaannya.

“Oh- iya Pak.”

Lampu lalulintas yang sebelumnya berwarna merah, kini berganti hijau. Bersamaan dengan mobil yang Ratu tumpangi, mobil yang gadis itu curigai milik Jeffreyan pun ikut melaju dibelakangnya.


Satu hal yang Ratu pahami, setiap hari efektif selama bulan November—Jeffreyan selalu mengikuti mobil yang ia tumpangi dari belakang, hanya untuk memastikan bahwa ia sampai di apartemen dengan selamat.

Pintu ruangan Ratu terbuka, menampilkan sosok Jeffreyan yang sudah siap untuk pulang malam itu.

“Udah mau pulang?” tanya Jeffrey sembari menatap Ratu yang tengah merapikan mejanya.

Gadis itu mengangguk, kemudian meraih tasnya.

“Naik apa?”

“Gocar. Orangnya udah nunggu dibawah, gue duluan ya!” ujar Ratu sebelum akhirnya meninggalkan Jeffreyan.

Ratu melamun didalam lift. Setelah kejadian kemarin, kepalanya terus saja dipenuhi oleh pikiran-pikiran mengenai, apa alasan Jeffreyan terus menggodanya. Bahkan laki-laki itu rela membuang uangnya demi kelancaran aksi konyolnya tempo hari.

Suara helaan nafas panjang Ratu terdengar jelas. Ratu memijat batang hidungnya, kemudian meringis. “Gue bahkan gak ngerasa sakit hati lagi, sangking seringnya lo giniin.”

“Lo gak jelas. Tapi buat ngejauhin lo ... gue gak bisa.”

“Kira-kira mau sampai kapan ya gue begini?” lirih Ratu.

Ting!

Pintu lift terbuka. Gadis itu berjalan menuju sebuah mobil berwarna silver yang telah menunggunya di luar, sejak beberapa menit yang lalu.

“Ke alamat sesuai aplikasi ya, Bu?”

“Iya.”

Ratu pun masuk kedalam mobil tersebut. Menyandarkan tubuhnya, dan memejamkan mata hingga mobil itu melaju meninggalkan area kantor.

Sangat hening, pasalnya sang supir tak berniat membicarakan apapun atau sekedar menyalakan musik.

“Habis lampu merah ini belok kanan ya, Bu?”

Mendengar pertanyaan itu, lantas Ratu membuka matanya dan langsung menatap kearah spion.

Nafasnya tercekat, “Aston Martin? Jeffreyan?” batin Ratu.

Netranya menatap sebuah mobil yang nampak sangat familiar melalui kaca spion. Meski wajah si pengemudi tak terlihat jelas, gadis itu yakin bahwa sosok dibalik kemudi mobil tersebut adalah Jeffreyan.

Ratu menarik sudut bibirnya seketika. Gadis itu tersenyum penuh arti.

“Bu?”

“Iya??”

“Habis lampu merah ini, belok kanan kan?” sang supir mengulangi pertanyaannya.

“Oh- iya Pak.”

Lampu lalulintas yang sebelumnya berwarna merah, kini berganti hijau. Bersamaan dengan mobil yang Ratu tumpangi, mobil yang gadis itu curigai milik Jeffreyan pun ikut melaju dibelakangnya.


Satu hal yang Ratu pahami, setiap hari efektif selama bulan November—Jeffreyan selalu mengikuti mobil yang ia tumpangi dari belakang, hanya untuk memastikan bahwa ia sampai di apartemen dengan selamat.

Pintu ruangan Ratu terbuka, menampilkan sosok Jeffreyan yang sudah siap untuk pulang malam itu.

“Udah mau pulang?” tanya Jeffrey sembari menatap Ratu yang tengah merapikan mejanya.

Gadis itu mengangguk, kemudian meraih tasnya.

“Naik apa?”

“Gocar. Orangnya udah nunggu dibawah, gue duluan ya!” ujar Ratu sebelum akhirnya meninggalkan Jeffreyan.

Ratu melamun didalam lift. Setelah kejadian kemarin, kepalanya terus saja dipenuhi oleh pikiran-pikiran mengenai, apa alasan Jeffreyan terus menggodanya. Bahkan laki-laki itu rela membuang uangnya demi kelancaran aksi konyolnya tempo hari.

Suara helaan nafas panjang Ratu terdengar jelas. Ratu memijat batang hidungnya, kemudian meringis. “Gue bahkan gak ngerasa sakit hati lagi, sangking seringnya lo giniin.”

“Lo gak jelas. Tapi buat ngejauhin lo ... gue gak bisa.”

“Kira-kira mau sampai kapan ya gue begini?” lirih Ratu.

Ting!

Pintu lift terbuka. Gadis itu berjalan menuju sebuah mobil berwarna silver yang telah menunggunya di luar, sejak beberapa menit yang lalu.

“Ke alamat sesuai aplikasi ya, Bu?”

“Iya.”

Ratu pun masuk kedalam mobil tersebut. Menyandarkan tubuhnya, dan memejamkan mata hingga mobil itu melaju meninggalkan area kantor.

Sangat hening, pasalnya sang supir tak berniat membicarakan apapun atau sekedar menyalakan musik.

“Habis lampu merah ini belok kanan ya, Bu?”

Mendengar pertanyaan itu, lantas Ratu membuka matanya dan langsung menatap kearah spion.

Nafasnya tercekat, “Aston Martin? Jeffreyan?” batin Ratu.

Netranya menatap sebuah mobil yang nampak sangat familiar melalui kaca spion. Meski wajah si pengemudi tak terlihat jelas, gadis itu yakin bahwa sosok dibalik kemudi mobil tersebut adalah Jeffreyan.

Ratu menarik sudut bibirnya seketika. Gadis itu tersenyum penuh arti.

“Bu?”

“Iya??”

“Habis lampu merah ini, belok kanan kan?” sang supir mengulangi pertanyaannya.

“Oh- iya Pak.”

Lampu lalulintas yang sebelumnya berwarna merah, kini berganti hijau. Bersamaan dengan mobil yang Ratu tumpangi, mobil yang gadis itu curigai milik Jeffreyan pun ikut melaju dibelakangnya.


Satu hal yang Ratu pahami, setiap hari efektif selama bulan November—Jeffreyan selalu mengikuti mobil yang ia tumpangi dari belakang, hanya untuk memastikan bahwa ia sampai di apartemen dengan selamat.

Pukul setengah sembilan malam. Ratu duduk di sebuah sofa sembari memainkan ponsel, dalam minimnya pencahayaan unit apartemennya kala itu. Bukan karena adanya pemadaman listrik mendadak, melainkan karena ia terlalu malas berdiri untuk sekedar menekan saklar lampu.

Tadi, setelah mengantar Ratu, Jeffreyan pergi begitu saja tanpa sepatah katapun. Laki-laki itu bahkan tidak turun dari mobil, untuk mengantar Ratu hingga ke depan pintu unit apartemennya seperti biasa.

Ratu menghela nafasnya, kesal.

“Seenggaknya lo chat gue atau apa kek?”

“Masa lupa?”

Gadis itu meraih sebuah bingkai foto mini yang sengaja ia pajang diatas sebuah nakas yang terletak disisi sofa.

“Happy birthday Ratu, happy birthday Ratu, happy birthday, happy birthday, happy birthday Ratuu!”

“Nyanyi blo'on!”

“Disuruh ngucapin langsung, malah gak ngucapin sama sekali!” hardik Ratu pada sebuah foto yang ada digenggamannya.

Ratu mengacak rambutnya dengan kasar. Tiba-tiba saja terdengar suara password yang dimasukkan dari balik pintu unit apartemennya.

“Gelap banget, udah kaya rumah hantu!” seru seseorang, membuat Ratu beranjak dari tempat duduknya seketika.

“JEFFREY?!”

“Bawain dong, kue ulang tahun lo nih!”

“Demi apa?”

“Demikian,” jawab Jeffrey seadanya, kemudian berniat menyalakan lampu.

“Jangan dinyalain ... .” pinta Ratu, yang langsung dibalas tatapan bingung Jeffreyan.

“Kenapa?”

“Ada lilinnya kan? Gue mau tiup lilin sambil gelap-gelapan.”

Jeffrey menyerah. Lantas ia mengambil posisi duduk paling nyaman diatas sofa. Tangan Jeffreyan menata beberapa lilin diatas kue tersebut dengan perlahan—khawatir kalau-kalau gerakan tangannya dapat merusak keindahan kue itu.

“TUNGGU!”

“Apaan sih?!”

“INIII ... korek siapa? Lo ngerokok??” tuduh Ratu, sembari ngangkat benda itu tinggi-tinggi.

Tiba-tiba saja wajah Jeffreyan mendekat, menepis jarak diantara mereka. Ditatapnya wajah Ratu dalam kegelapan, “HAHHH!”

Ratu geming.

“Bau rokok gak?” tanya Jeffrey setelah kembali mendudukkan bokongnya.

Gadis itu menggeleng, membuat Jeffreyan terkekeh seketika.

“Emangnya di dunia ini, cuman perokok yang boleh punya korek? Iya??– Sini koreknya. Mau tiup lilin gak?”

“Ini punya lo? Kok gue gak pernah tau kalau lo suka nyimpen korek?”

Jeffrey mengusap wajahnya frustasi. Laki-laki itu nampak seperti tengah menarik nafasnya dalam-dalam.

“Beli. Ini baru beli! ASTAGA RATU ARGHHH!”

Detik selanjutnya suara gelak tawa Ratu terdengar puas, pasalnya ia berhasil membuat laki-laki dihadapannya itu naik pitam.

“Udah puas? Sekarang siniin koreknya!”

Setelah perdebatan panjang yang terjadi, akhirnya Jeffreyan dapat menyalakan lilin ulang tahun untuk Ratu.

Kini wajah keduanya nampak lebih jelas, karena tersorot cahaya lilin. Netra mereka saling bertemu satu sama lain. Hening, tak ada sepatah katapun yang terucap.

“Ekhm ... happy birthday Ra. Semoga panjang umur,” ucap Jeffrey singkat.

“Udah gitu doang?”

“Sisanya udah didalem hati. Sekarang giliran lo make a wish, terus tiup lilinnya.” Ratu menampilkan senyum masam seketika.

“Buruan kali ... keburu kebakaran nih kuenya.”

Lantas Ratu menutup mata rapat-rapat, kemudian membuat harapan sebelum akhirnya meniup lilin dihadapannya.

Jeffreyan tersenyum. Tangannya terulur, mengusap pucuk kepala Ratu dengan lembut. “Kadonya nyusul ya? Belum sempet beli,” bisik Jeffrey, dan dihadiahi anggukan kecil oleh gadis itu.

“Jeff ... .”

“Apa?”

“Lo langsung pulang abis ini?” Jeffrey menggeleng.

“Nginep sini, capek nyetir.”

Ratu tengah fokus pada objek dihadapannya. Dengan lembut dan hati-hati, gadis itu mencukur rambut yang mulai tumbuh di sekitar wajah tampan milik Jeffreyan.

“Jangan nyengir-nyengir bisa gak? Nanti bibir lo kena, terus berdarah gimana?!” seru Ratu sembari memukul pundak Jeffrey.

Lantas Jeffreyan menahan senyumnya. Tangan laki-laki itu melingkar pada pinggang Ratu. Membuat jantung Ratu berdegup lebih cepat daripada sebelumnya.

“Selesaiiii!” sorak Ratu semangat, kemudian mengelap pisau tersebut, deang selembar tisu.

“Asik juga kaya gini. Besok-besok gue lupa nyukur jenggot lagi deh.” Jeffreyan menyandarkan kepalanya pada pundak Ratu. Kaki gadis itu masih setia berada di setiap sisi pinggang Jeffreyan, sementara ia duduk diatas sebuah meja—tempat wastafel berada.

Jeffrey semakin memeluk Ratu dengan posesif didalam kamar mandi. Wajahnya menatap lurus cermin yang terletak dibelakang gadis itu. Jeffrey tersenyum, kemudian memejamkan matanya.

“Kenapa ya, gue bisa tetep nyaman ada di deket lo setelah bertahun-tahun?”

“Gak tau- Jeffrey! Jangan ndusel! Lepas!” pekik Ratu kesal.

Jeffrey terkekeh, “Rambut lo wanginya kaya biskuit masa, Ra.”

“Kangen banget bangsat, udah jarang skinship gini. Gara-gara kantor lagi hectic.” Jeffrey kembali memeluk tubuh Ratu. Kali ini tangan Jeffrey mengusap lembut punggung gadis itu. Membuat sang empunya semakin hanyut dalam perasaan nyaman.

“Vibes gue kaya selingkuhan di film-film gini.”

“Patokan lo kenapa film terus sih?” tanya Jeffrey, kemudian melepas pelukannya.

Tangan Jeffrey terulur, menyentuh rahang Ratu sembari menatapnya dengan tatapan penuh makna. “Kalau menurut gue, vibes lo sekarang kaya istri sah.”

“Pipi lo lucu,” ujar Ratu.

“Bolong ya?”

“Iyaa hahaha.”

Jeffrey merapikan anak rambut Ratu, kemudian tangannya beralih pada sebuah kalung yang telah lama bertengger di leher gadis itu. “Tahun ini mau kado apa, Ra?” tanya Jeffrey. Netranya tak beralih sedikitpun dari wajah Ratu.

“Kita dinner aja yuk? Tahun ini lo harus ucapin langsung.”

“Maunya gitu?”

Ratu mengangguk semangat.

“Eum ... kalau itu, liat nanti deh.” Setelah mengakhiri kalimatnya, Jeffreyan kini beralih meraih sebotol cairan pembersih wajah.

“Tunggu sini, temenin gue cuci muka.”

Ratu tengah fokus pada sebuah objek dihadapannya. Dengan lembut dan hati-hati, gadis itu mencukur rambut yang mulai tumbuh di sekitar wajah tampan milik Jeffreyan.

“Jangan nyengir-nyengir bisa gak? Nanti bibir lo kena, terus berdarah gimana?!” seru Ratu sembari memukul pundak Jeffrey.

Lantas Jeffreyan menahan senyumnya. Tangan laki-laki itu melingkar pada pinggang Ratu. Membuat jantung Ratu berdegup lebih cepat daripada sebelumnya.

“Jeff, jangan bertingkah!” kata Ratu, kemudian mengelap pisau tersebut.

“Asik juga kaya gini. Besok-besok gue lupa nyukur jenggot lagi deh.” Jeffreyan menyandarkan kepalanya pada pundak Ratu. Masih dalam posisi semula, kaki gadis itu melingkar pada pinggang Jeffreyan, sementara ia duduk diatas sebuah meja—tempat wastafel berada.

Jeffrey semakin memeluk Ratu dengan posesif didalam kamar mandi. Wajahnya menatap lurus cermin yang terletak dibelakang gadis itu. Jeffrey tersenyum, kemudian memejamkan matanya.

“Kenapa ya, gue bisa tetep nyaman ada di deket lo setelah bertahun-tahun?”

“Gak tau- Jeffrey! Jangan ngomong di leher gue! Lepas!” pekik Ratu kesal.

Jeffrey terkekeh, “Rambut lo wanginya kaya biskuit masa, Ra.”

“Kangen banget bangsat, udah jarang skinship gini. Gara-gara kantor lagi hectic.” Jeffrey kembali memeluk tubuh Ratu. Kali ini tangan Jeffrey mengusap lembut punggung gadis itu. Membuat sang empunya semakin hanyut dalam perasaan nyaman.

“Vibes gue kaya selingkuhan di film-film gini.”

“Patokan lo kenapa film terus sih?” tanya Jeffrey, kemudian melepas pelukannya.

Tangan Jeffrey terulur, menyentuh rahang Ratu sembari menatapnya dengan tatapan penuh makna. “Kalau menurut gue, vibes lo sekarang kaya istri sah.”

“Pipi lo lucu.”

“Bolong ya?”

“Iyaa hahaha.”

Jeffrey merapikan anak rambut Ratu, kemudian tangannya beralih pada sebuah kalung yang telah lama bertengger di leher gadis itu. “Tahun ini mau kado apa, Ra?” tanya Jeffrey. Netranya tak beralih sedikitpun dari wajah Ratu.

“Kita dinner aja yuk? Tahun ini lo harus ucapin langsung.”

“Maunya gitu?”

Ratu mengangguk semangat.

“Eum ... kalau itu, liat nanti deh.” Setelah mengakhiri kalimatnya, Jeffreyan kini beralih meraih sebotol cairan pembersih wajah.

“Tunggu sini, temenin gue cuci muka.”

Suara deritan pintu mengalihkan fokus Jeffreyan. Ia tersenyum ketika melihat Ratu muncul dari balik pintu ruangannya.

“Lepas kacamata, gulung kemeja, abis itu cuci tangannya Jeffreyan!” kata Ratu.

Jeffrey pun menuruti perintah Ratu. Laki-laki itu melepaskan kacamata, dan menggulung lengan kemejanya.

“Yes mommy,” sahut Jeffrey dengan nada meledek.

Ia melangkah menuju sebuah wastafel yang berada didalam ruangan itu. Membasuh tangannya dengan malas.

“Jempolnya Jeffreyan! Jempolnya belum basah!”

Jeffrey berdecak sebal, namun tersenyum seketika.

“Udah kaya Mama,” ucap Jeffrey dengan lirih.

Ratu membuka bungkusan makanan milik Jeffreyan, dan meletakkannya diatas sebuah piring yang sengaja ia bawa sebelumnya.

Seperti biasa, laki-laki itu lebih memilih makan menggunakan tangan dibandingkan sebuah sendok. Jeffreyan duduk bersila, kemudian berdoa, dan langsung menyantap makanannya.

“Mana yang lebih enak, ayam bakar atau dendeng balado?” tanya Ratu. penasaran.

Alih-alih menjawab, Jeffreyan justru menyodorkan tangannya ke depan mulut Ratu.

Sementara Ratu hanya menatap Jeffrey dengan canggung. Hening, Jeffrey masih setia mengangkat tangannya. Menunggu Ratu untuk membuka mulutnya.

“Pegel, Ra.”

Dengan ragu gadis itu pun membuka mulutnya, dan menerima suapan dari Jeffreyan.

“Pinter! Enak mana?”

“Enakan ayam bakar!” seru Ratu.

“Ah payah! Cobain lagi, tadi dendengnya kurang banyak.”

Jeffreyan kembali menyodorkan tangannya. Kali ini Ratu membuka mulutnya tanpa rasa ragu. Membuat Jeffrey senang bukan main didalam hatinya.

“Tetep enakan ayam bakar,” protes Ratu, dan dibalas kekehan oleh Jeffreyan.

“Ra?”

“Apa?”

“Lo kan punya unit apartemen nih, nanti kalau lo nikah ... gimana?” tanya Jeffreyan, kemudian melahap makanannya.

Salah satu sudut alis Ratu terangkat, “Random banget pertanyaan?”

Jeffrey menggidikkan bahunya, “Jawab aja!”

“Emm ... sebenernya gue bakal lebih seneng kalau tinggal disitu, karna udah nyaman. Tapi ya tergantung-”

“Tergantung apa?”

“Semisal Nana maunya kita tinggal di Korea, yaudah. Gue bakal ikutin keputusan dia.”

Helaan nafas panjang Jeffreyan terdengar jelas. “Kenapa nikah sama Nana yang cuman bisa porotin lo, sementara ada gue yang bisa lo porotin?”

“Ide bagus. Lo mau nikahin gue?”

Jeffrey geming.

“Jangan sering-sering bercanda kaya barusan, Jeff,” tukas Ratu.

Sudah hampir 2 jam laki-laki itu duduk diatas ranjang Ratu.

Tadi, pagi-pagi sekali Jeffreyan memasuki unit apartemen Ratu. Berniat mengajak gadis itu pergi mencari beberapa pakaian untuk dikenakan pada acara pernikahan kakaknya. Namun sialnya, Ratu masih tertidur pulas hingga saat ini.

Sorot mata Jeffrey tak sekalipun lepas dari Ratu. Ia terus saja tersenyum kala gadis itu merasa gelisah dalam tidurnya.

“Mama pernah bilang, katanya cara bedain cewek itu cantik atau enggak, diliat dari tidurnya. Kalau dia tidur dan tetep keliatan cantik, udah pasti pas bangun pun cantik banget-”

“Gue kira selama ini lo suka pura-pura tidur. Tapi setelah liat lo hari ini ... gue sadar kalau lo itu spec dewi, Ra.”

Tangan Jeffrey terulur. Jemarinya menyingkirkan beberapa anak rambut pada wajah Ratu.

“Tahan Jeffrey. Inget kata Papa, gak boleh sentuh-sentuh cewek yang lagi gak sadar ... apalagi dicium,” ucap Jeffrey pada dirinya sendiri dengan lirih.

Lantas laki-laki itu menggeleng. Mencoba mengumpulkan kembali akal sehatnya yang sempat hilang.

“RATU AZALEA, WAKTUMU SUDAH HABIS!”

Teriakan Jeffrey dengan suara bariton yang dibuat-buat itu, menggema didalam kamar Ratu. Membuat si empunya membuka mata seketika.

“JEFFREY BRENGSEK GUE KIRA LAGI DI AKHIRAT! BABI! KAGET JEFF! Males banget ah, biadab lo!” seru Ratu begitu melihat Jeffreyan yang tengah terduduk di samping tubuhnya.

“Bangun makanya.”

“Tau ah, ngeselin tau gak?! Gue kaget beneran!”

Detik kemudian gadis itu memunggunginya, dan menahan sebuah isak tangis.

“Eh kok nangis sih?” tanya Jeffrey.

Jeffrey beringsut ke tengah ranjang, dan membalikan tubuh Ratu yang tengah menangis. Sorot mata laki-laki itu, kini berubah. Jeffreyan panik.

Dengan sigap, ia membantu Ratu untuk duduk.

“Maaf, maaf, maafin ya? Janji gak gue ulangin lagi Ra. Kaget banget?” ucap Jeffrey. Kedua tangannya menggenggam pundak Ratu.

Ratu geming.

Gelisah karena tak kunjungan mendapat jawaban dari bibir Ratu. Sontak Jeffrey membawa Ratu dalam pelukannya. Khawatir kalau-kalau gadis itu akan marah berkepanjangan kepada dirinya.

“Maafin ya? Ssttt sstt, janji gak ngagetin lagi kok. Tadi gue nungguin lo tidur, hampir 2 jam tau.”

“Mau ngapain?” jawab Ratu yang masih berada dalam pelukan Jeffrey.

“Cari baju, buat ke nikahan Mba Kila.”

Ratu mengusap air matanya seketika, kemudian melepaskan pelukan dari laki-laki di hadapannya itu.

“Mau nikah beneran?!”

“Masa boongan?”

“Bukan. Maksud gue, tiba-tiba banget? Baru semalem lo kasih tau ke gue.”

Jeffrey menggaruk pelipisnya yang tidak gatal.

“Karna lagi pandemi, jadi tanpa resepsi Ra,” tutur Jeffrey.

“Kasian, padahal Kak Kila satu-satunya anak perempuan di keluarga lo. Apalagi dia anak pertama.”

“Resepsi bisa nyusul kapan aja.”

“Iya sih ... .”

“Udah sana mandi.”

“Yaudah, keluar lo dari kamar gue!”

“Gak perlu lo suruh!”